You are on page 1of 17

DIFTERI

By : Haryani (10101001035)

RESUME

Difteri adalah penyakit akut yang mengancam


nyawa yang disebabkan Corynebacterium
diphtheria, terutama menyerang tonsil,
faring,laring, hidung, adakalanya menyerang
selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Corynebacterium
diphtheriaea adalah organisme yang minimal
melakukan invasive, secara umum jarang memasuki
aliran darah, tetapi berkembang local pada
membrane mukosa atau pada jaringan yang rusak
dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang
tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan
system limpatik.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan
penderita atau carrier; jarang sekali penularan
melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari
lesi penderita difteri. Penyakit ini ditandai dengan
adanya membrane semu di tonsil dan sekitarnya.
Tindakan pemberantasan yang efektif adalah
dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(massal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi
dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang
mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid,
antigen “acellular pertussis: (DTaP, yang digunakan
di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung
whole cell pertussis (DTP).

BAB I
PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI

Difteria masih merupakan penyakit endemic


dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an
terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada
negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program
imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi
epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada
tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan
menjalar ke negara-negara tetangga.1
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit
yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak
mulai diadakannya program imunisasi DPT(di
Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan
kematian akibat difteria berkurang sangat banyak.
Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan
angka kematian di Indonesia menurut laporan
Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit
di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS),
Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan
Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.1
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi,
biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di
Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat
71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14
tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000
kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR=
2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari
15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun
1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200
kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun
atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus
difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan
Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus
(77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat
dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak
yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima
adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun
kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan
penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak
bagian dunia berkembang, termasuk beberapa
negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur,
Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini
mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja
dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena,
banyak dari remaja dan orang dewasa belum
menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster
toksoid difteri. 9
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta,
Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang,
Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda.
Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria,
terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1
tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10
tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota
Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa
dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun
serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi
Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009
penemuan kasus difteri cenderung terjadi
penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12
kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus),
meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan
provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada
tahun 2008.10
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang
di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini
adalah salah satu penyebab paling umum dari
penyakit dan kematian pada anak-anak.9

BAB II
PEMBAHASAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI

1. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut
terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung,
adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit
serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.
Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin
spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak
sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria
faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti
dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang
ditandai dengan pembengkakan dan oedema di
leher dengan pembentukan membran pada trachea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan
napas.6
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis
dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan myocarditis dengan heart
block dan kegagalan jantung kongestif yang
progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis
difteri.5 Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-
macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit
kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian
dari impetigo.(Kadun,2006)

2. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah
Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu
exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri
merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap
panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi
toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena
mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi
sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius
dan type gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat
dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe
4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe
gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya
termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium
diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian
yang tidak ganas dapat ditemukan pada
tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.1,2,5
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan
yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan
mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan
mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri
membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang
disebut pseudomembran pada faring. Di dalam
pseudomembran, bakteri berkembang serta
menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini
meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan
tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas.
Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius,
bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak
vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap
difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan
drastis.4

3. Triad Epidemiologi Difteria


3.1. Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-
satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.
Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi
ialah pada anak –anak berusia 2 sampai 5 tahun.
Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi
rendah. 2
3.2. Agent

Corynebacterium diphtheria
sumber
:http://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/
difteri-sebagai-contoh-food-and-water-borne-
disease/

3.3. Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan
penularan penyakit.

4. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah
manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak
dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini
2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan
carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di
daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang
lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel
disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran
putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah
membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-
kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan
Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya
akan mengalami hiperplasia dan mengandung
toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat
menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai
jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama
pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat
menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita
yang paling berat didapatkan pada difterifauncial
dan faringea karena terjadi penyumbatan membran
pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada
obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung
yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat
komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.3
Sumber : http://obatpropolis.com/penyakit-
difteri

5. Masa Inkubasi dan Klinis


Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10
hari). Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua
membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung
pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe
difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah :
1. Difteria Hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya
2% ). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi
kemudian sekret yang keluar tercampur darah
sedikit yang berasal dari pseudomembran.
Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai
laring dan faring. Penderita diobati seperti
penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi
antibiotic. Bila tidak diobati akan berlangsung
mingguan dan merupakan sumber utama
penularan.6
2. Difteria Faring dan Tonsil

Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala


mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput
lender dan tidak membentuk pseudomembran
sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil
biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan
memberikan imunitas pada penderita. Pada
penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang
akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu
tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang
mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring.
Napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar
regional sehingga leher tampak seperti leher sapi
(bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956)
menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar
tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan
Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap
membrane yang menutupi dinding posterior faring
atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu
maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria. 6
Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta
stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan
faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum
mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi
penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis,
polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan
kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin
dapat ditemukan albuminaria ringan.6

3. Difteria Laring dan Trakea

Dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas


berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat
celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. 5
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan
tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer
mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa
suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat
dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak
retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran
kelenjar regional akan menyebabkan bull neck (
leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan
ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat
sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong
dengan tindakan trakeostomi sebagai pertolongan
pertama.6
4. Difteria Cutaneous ( kulit )

Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan


vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri,
pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak
terasa apa apa.5 Di Amerika Serikat, difteri
kutaneus sering dikaitkan dengan orang-orang
tunawisma. Merupakan keadaan yang jarang sekali
terjadi. Tan Eng Tie (1965 ) mendapatkan 30%
infeksi kulit yang diperiksanya mengandung kuman
difteria. Dapat pula timbul di daerah konjungtiva,
vagina dan umbilicus.6

6. Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau
lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.Pembagian
berdasarkan berat ringannya penyakit juga
diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut :

1. Infeksi Ringan: bila pseudomembran hanya


terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.6
2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah
menyerang sampai faring (dindingbelakang rongga
mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.6
3.Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang
berat disertai dengan gejalakomplikasi
sepertimiokarditis (radang otot jantung),paralisis
(kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang
ginjal).6

7. Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat
dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium
Diphtheriae 6

2. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan
imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada
bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-
anak usia sekolah dasar.1,6

3.Pencarian dan kemudian mengobati karier


difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji
negatif (mungkin penderita karier pernah
mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan C.
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu
dilakukan tonsilektomi.6

8. Pengobatan 8
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-
turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama
2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang
lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar
nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.

2.Pengobatan Khusus
-Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih
dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%.Sebelum pemberian
ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu.
-Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti
antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan
untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
-Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus
difteria yang disertai gejala.

3.Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga
agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.

4.Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya
diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu
biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.

5.Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan
keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin
100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi /
adenoidektomi.

BAB III
Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan
• Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphtheria, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa
dengan kuman penyebabnya.
• Sumber penularan penyakit difteri ini adalah
manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui
kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier. Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection dan difteri
kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
• Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi 3
yaitu, difteri hidung, difteri faring, difteri laring
dan difteri kutaneus.
• Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa
penularan penderita 2-4 minggu sejak masa
inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa
sampai 6 bulan.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Adapsedomembrane bisa dipharynx,larynx
atau tonsil
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi
(bullneck), disebabkan karena pembengkakakn
kelenjar leher
• Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini
dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan,
Infeksi sedang dan Infeksi berat
• Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu
:a. Isolasi penderita
• b. Imunisasi, dengan memberikan imunisasi DPT
pada bayi dan vaksin DT pada anak usia
sekolah dasar
• c. Pencegahan dan kemudian mengobati karier
difteria
• Pengobatan difteria dilakukan untuk
menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.a. Pengobatan umum
• b. Pengobatan khusus, yaitu dengan memberikan
antitoksin (Anti Diptheriar Serum ), antibiotic
dan kortikosteroid
• c. Pengobatan penyulit
• d. Pengobatan kontak
• e. Pengobatan karier

• 2. Saran
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang bisa
mengakibatkan miokarditis untuk itu
mencegah penyebaran infeksi merupakan
tindakan yang harus dilakukan, untuk itu
petugas kesehatan (perawat) harus tahu hal itu
dan keluarga harus sensitif terhadap keadaan
anak jika mengidap difteri.

Daftar Pustaka
1Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi

Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga:


Jakarta.

2Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-
178.

8Buescher, E Stephen. 2007.Di pht heri a in Nelson


Textbook of Pediatrics 18th
Chapter 186. USA: Saunders

Anonim. 2010.Dift eria pada Buku Ajar Infeksi &


Pediatri Tropis Hal 312-21.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI

You might also like