You are on page 1of 25

A.

Gambaran Umum

Suatu zat dapat berguna sebagai antibakteri jika zat tersebut mampu

menghambat atau membunuh bakteri tanpa membahayakan manusia serta

dapat menembus membran sehingga dapat mencapai tempat bekteri tersebut

berada (Mustikaningtias, 2014). Menurut Priyanto (2008) berdasarkan

kemampuan membunuhnya, bakteri dibagi menjadi dua yaitu :

1. Narrow spectrum (Spektrum sempit)

Hanya efektif terhadap bakteri gram negatif atau bakteri gram positif saja.

Contoh antibiotik untuk bakteri kelompok gram positif adalah penicillin,

bacetiracin, clindamycin, erithromycin, incomycin dan novabiosin.

Sedangkan contoh untuk bakteri kelompok gram negatif adalah polimycin

dan streptomycin.

2. Board spectrum (Spektrum luas)

Efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Contohnya

tetracycline, kloramfenikol, gentamisin, neomisin, dan spektomisin.

Berdasarkan sifatnya atau intensitasnya antibakteri dibagi menjadi dua yaitu :

1. Bakteriostatik

Jenis ini hanya menghentikan pertumbuhan bakteri tanpa membunuh

bakterinya. Contohnya kloramfenikol, eritomisin, klindamisin,

sulfonamides, dan tetrasiklin.

2. Bakteriosidal

a. Jenis ini dapat membunuh bakteri. Contohnya β-laktam, metronidasol,

dan quinolon.
Antibakteri menurut Mustikaningtias (2014) dibagi menjadi 2

berdasarkan sumbernya yaitu:

1. Antibiotik

Antibakteri yang berasal dari mikroorganisme

2. Antimikroba

Antibakteri yang berasal dari senyawa non organik atau sintetis

Antiseptik atau disinfektan digunakan untuk mencegah infeksi dengan

mengaplikasikannya ditempat yang biasa terdapat mikroba dan kerjanya tidak

selektif. Antiseptik diaplikasikan pada jaringaan hidum contohnya

klorheksidin, hidrogen peroksida, iodium, dan rivanol. Sedangkan disinfektan

diaplikasikan pada benda mati seperti peralatan medis atau ruang operasi untuk

sterilisasi. Contoh disinfektan adalah benzalkonium klorit dan natrium

hipoklorit (Priyanto, 2008).

B. Klasifikasi Antibakteri

Klasifikasi antibakteri menurut Priyanto (2008) adalah:

1. Penghambat sintesis dinding sel

Dinding sel bakteri berfungsi melindungi membran sitoplasma

memelihara bentuk sel, dan mencegah lisis karena tekanan osmosis. Jika

dinding sel rusak atau tidak terbentuk maka sel akan lisis atau tidak dapat

membelah.

a. β-laktam

Semua bakteri yang masuk ke dalam golongan ini memiliki cincin β-

laktam dalam struktur kimianya yang menyebabkan bakteri tersebut


efektif. Jika cincin β-laktam rusak atau terbuka maka aktivitasnya akan

hilang.

1) Penisilin dan derivatnya

Penisilin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu penisilin alamiah yang

berasal dari jamur, penisilin hasil modifikasi, dan penisilin hasil

semi sintesis. Absorpsi penisilin ada yang kurang baik jika

diberikan secara oral karena ada yang dapat rusak oleh asam

lambung. Golongan ini relatif aman dan hanya berbahaya bagi

orang yang hipersensitif karena dapat menyebabkan syok

anafilaktik. Contoh dari golongan ini adalah penisilin G, penisilin

V, methisilin, cloksasilin, amoksilin, ampisilin, karbenisilin, dan

tekarsilin.

2) Sefalosforin

Kelebihan golongan ini adalah intensitas efeknya lebih baik,

spektrum lebih luas, tahan terhadap asam lambung, dan relatif tidak

menimbulkan alergi. Contohnya adalah cefadroxil, cefamandol,

cefotaxim, dan cefepime.

b. Polipeptida

Golongan polipeptida hanya digunakan untuk pemakaian luar karena

absorpsi gastrointestinalnya buruk dan efek toksiknya besar. Ada 2

jenis golongan polipeptida yaitu vankomisin dan basitrasin.

Vankomisin toksik terhadap pendengeran sehingga dapat menyebabkan

tuli, sedangkan basitrasin dapat menyebabkan neprotoksik.


2. Penghambat sintesis protein

Sintesis protein bakteri terjadi pada ribosom yang terdiri dari 30S dan 50S.

Antibakteri golongan ini bekerja pada ribosom 30S atau 50S atau

keduanya. Terganggunya aktivitas ribosom dapat menyebabkan gangguan

transkripsi mRNA kedalam protein.

a. Golongan aminoglikosida

Aminoglikosida berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal atau dapat

membunuh bakteri. Toksisitasnya sangat besar dan indeks terapinya

sempit sehingga golongan ini hanya digunakan untuk infeksi berat yang

belum diketahui penyebabnya. Contohnya adalah gentamisin dan

streptomisin.

b. Golongan kloramfenikol

Kloramfenikol berspektrum luas, efektif untuk bekteri aerob dan

anaerob kecuali pseudomonas. Obat ini dapat menyebabkan anemia

aplastika, depresi sumsum tulang belakang, gangguan pernapasan,

mual, distensi, dan cyanosis.

c. Golongan tetrasiklin

Tetrasiklin berspektrum luas dan harganya murah. Tetrasiklin efektif

terhadap infeksi gram negatif, positif, dan negatif fakultatif, serta

kuman anaerob. Selain itu tetrasiklin juga efektif terhadap infeksi

riketsia, klamidia, kolera, dan mikoplasma penyebab pneumonia.

Contohnya adalah tetrasiklin, klortetrasiklin, oxitetrasiklin,

demekloksiklin, minoksiklin, dan doksisiklin. Absorpsi tertrasiklin


dapat terhambat dengan adanya makanan kecuali doksisiklin dan

minoksiklin.

d. Golongan makrolid

Golongan makrolid memiliki struktur yang makro atau besar. Golongan

ini mudah diabsorbsi gastrointestinal tetapi penyerapannya dapat

terhambat jika terdapat makanan. Contohnya eritromisin, roksitromisin,

azitromisin, klaritromisin, dan spiramisin.

e. Golongan klindamisin

Klindamisin dapat menembus hampir semua membran termasuk tulang

dan efektif terhadap bakteri anaerob. Contohnya adalah klindamisin

dan linkomisin.

3. Antagonis asam folat atau sulfonamid

Sulfonamid bekerja menghambat sintesis asam folat yang berguna untuk

sintesis DNA atau RNA. Contohnya sulfametoksazol, trimetorfin,

sulfasetamid, sulfadiazin, sulfapiridin, dan sulfasalazin.

4. Quinolon atau fluoroquinolon

Golongan ini relatif baru yang ada awalnya digunakan untuk antiinfeksi

saluran kemih. Selain itu juga efektif terhadap sigella, salmonela, E. coli,

atau campylobacter

C. Mekanisme Kerja Obat Antibakteri

Berdasarkan mekanisme kerjanya antibakteri dibagi menjadi 5

golongan yaitu (Ganiswara, 1995) :


1. Penghambat metabolisme sel

Antibakteri ini memiliki efek bakteriostatik. Contohnya adalah

sulfonamid, trimetoprim, asam paminosalisilat (PAS) dan sulfon.

2. Penghambat sintesis dinding sel

Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel dan memiliki

efek bakteriosidal. Tekanan osmotik dalam sel mikroba lebih tinggi

daripada di luar sel sehingga mengalami kerusakan dinding sel mikroba

dan menyebabkan terjadinya lisis mikroba yang peka.

3. Pengganggu keutuhan membran sel

Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari

dalam sel mikroba. Antibakteri yang termasuk kelompok ini adalah

polimiksin, golongan polien, dan antibiotik kemoterapetik.

4. Penghambat sintesis protein sel

Antibakteri yang bekerja dengan menghambat sintesa protein adalah

kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan antibiotika

golongan aminoglikosida.

5. Penghambat sintesis asam nukleat sel

Antibiotik yang termasuk golongan ini adalah asam nalidiksat, rifampisin,

sulfonamid, trimetoprim. Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja

seperti ini pada umumnya kurang mempunyai sifat toksisitas selektif

karena bersifat sitotoksis terhadap sel tubuh manusia.


A. Definisi Analgetik
Analgetik atau obat penghalang nyeri merupakan zat yang dapat
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran.
Kesadaran akan rasa sakit terdiri dari dua proses, yakni:
1. Penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi
emosional dan individu terhadap rangsangan sakit.
2. Obat analgetik mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi
ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan
reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Tjay
dan Rahardjo, 2007).

B. Golongan Obat Analgetik


Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik
non-opioid atau integumental analgesic dan analgetik narkotik atau analgesik
opioid.
1. Analgesik opioid
Analgesik opioid memiliki daya menghilangkan nyeri yang kuat
dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat dan dapat
mengurangi tingkat kesadaran serta menyebabkan adiktif. Analgesik
opioid dapat dibedakan menjadi tiga golongan utama berdasarkan
sumber dan zat kimianya, yaitu.
a. Golongan opioid semi sintesis, diturunkan dari rumus molekul
morfin, contohnya heroin, kodein, nalokson dan nalorfin.
b. Golongan morfin dan alkaloid ilmiah lainnya.
c. Golongan opioid sintesis, secara kimia tidak memiliki kaitan
dengan rumus molekul opioid, tetapi memiliki efek yang sama
dengan opioid (Becker, 2010).

2. Analgesik non-opioid
Analgesik non-opioid dinamakan juga analgetika perifer, karena
tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat dan tidak menurunkan
kesadaran atau mengakibatkan adiktif. Analgesik non-opioid meliputi
asetaminofen dan golongan nonsteroidal anti inflammatory drugs
(NSAIDs). Analgesik non-opioid memiliki efek samping yang lebih
rendah dibandingkan dengan analgesik opioid. Berdasarkan beberapa
penelitian NSAIDs lebih baik dibandingkan opioid apabila dosisnya
tepat (Becker, 2010).
Dosis NSAID yang diberikan untuk meredakan nyeri biasanya
lebih tinggi dibandingkan untuk anti inflamasi. Analgesik NSAID
memiliki kelompok, yaitu.
a. Salisilat, salah satu contohnya yaitu aspirin. Aspirin merupakan
penghambat prostaglandin yang mengurangi proses inflamasi.
Aspirin tidak boleh dipakai bersama-sama dengan NSAID,
karena dapat mengurangi kadar NSAID dalam darah dan
efektifitasnya.
b. Derivat asam para klorobenzoat atau indol, contohnya
indometasin dan tolmetin. Obat ini biasa dipakai untuk rematik,
gout dan osteoartritis.
c. Fanamat, contohnya meklofenamat sodium monohidrat dan asam
mefenamat.
d. Asam-asam fenilasetat, contohnya diklofenak sodium atau
voltaren .
e. Oksikam, contohnya piroksikam atau feldelene.
f. Derivat pirazolon, contohnya fenilbutazon dan aminopirin.
g. Lain-lain, contohnya ketorlak atau toradol (Kee dan Hayes,
1996).

C. Mekanisme Kerja Obat Analgetik


1. Mekanisme kerja Analgetik Opioid
Mekanisme kerja utamanya ialah menghambat enzim
sikloogsigenase dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan
dengan kerja analgetiknya dan efek sampingnya (Katzung, 1997).
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan
diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan
antidepresi trisiklik. Mekanisme supreaditif ini tidak diketahui dengan
tepat mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan
biotransformasi opioid yang berperan dalam kerja opioid. Beberapa
fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk
menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi
napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu dan selain
itu ada efek hipotensi fenotiazin.
2. Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam
mengatur nyeri dan temperature. AINS secara selektif dapat
mempengaruhi hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh
ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis
prostaglandin (PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan
aliran darah ke perifer (vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas
banyak keluar dari tubuh.

Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus


atau di tempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa
inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG dan
histamin. PG dan brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan
membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG
dan brandikinin sehingga menghambat terjadinya perangsangan
reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetik dan
antipiretik adalah golongan salisilat dan asetominafin (Tjay dan
Rahardjo, 2007).
D. Indikasi dan Kontra Indikasi Obat Analgetik
Dalam pengguna obat analgetik memiliki indikasi dan kontra
indikasi antara lain :
1. Analgetik Opioid
a. Morfin dan Alkaloid Opium
Indikasi
 Meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan dengan analgesic non-opioid
 Mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema
pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
 Mengehentikan diare
Kontraindikasi
 Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem,
kifoskoliosis, korpulmonarale kronik dan obesitas yang ekstrim.
b. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin Lain
Indikasi
 Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetric dan sebagai obat praanestetik.
Kontraindikasi
 Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat.
Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain
penekanSSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor
pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala
eksitasi dan demam (Katzung, 1997).
2. Obat Analgetik Non-narkotik
a. Salisilat
Indikasi
 Mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit kepala, nyeri sendi,
nyeri haid, neuralgia dan myalgia.
 Demam reumatik akut
 Kontraindikasi
 Pada anak dibawah 12 tahun
b. Parasetamol
Indikasi
 Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan
antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai
analgesic lainnya, parasetamol sebaiknya tidka diberikan terlalu
lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik.
Kontraindikasi
 Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar secara menahun
terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati
analgesik (Katzung, 1997).
c. Asam mefenamat
Indikasi
 Sebagai analgesic, sebagai anti-inflamasi,
Kontraindikasi
 Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada anak dibawah 14 tahun
dan wanita hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari. Penelitian
klinis menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid
mengurangi kehilangan darah secara bermakna.
d. Ibuprofen
Indikasi
 Bersifat analgesik dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu
kuat.
Kontraindikasi
 Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan
menyusui karena ibuprofen relative lebih lama dikenal dan
tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesik.
E. Memilih Analgetik Yang Tepat
Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan
mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll. Hal
ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pemeriksaan biasa
dilakukan oleh dengan menangani keluhan atau gejala dengan tujuan
mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak dapat dihilangkan, akan tetapi usaha
maksimal dapat dilakukan dengan penilaian yang teliti tanpa melupakan
evaluasi respons terapi. Oleh karena itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai
dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap sesuai dengan toleransi pasien dan
sasaran terapi (Jimmy, 2015).

F. Dosis Terapeutik Obat Analgetik


Dosis terapeutik adalah dosis obat yang memiliki satuaan ukuran
aman. Obat yang memiliki indeks trapeutik tinggi lebih aman daripada obat
yang memiliki indeks terapeutik rendah. Menurut Tjay dan Rahardjo (2007),
Beberapa obat NSAID yang memilik dosis terapeutik antara lain :
a. Asam Mefenamat
Memiliki daya antiradang sedang. Dosis pada nyeri akut adalah 500
mg d.c/p.c, kemudian 3-4 dd250 mg selama maksimal 7 hari.
b. Diklofenax
Dosis oral 3 dd 25-50 mg d.c/p.c , rektal 1 dd 50-100 mg.
Merupakan NSAIDyang sering digunakan pada kasus migrain dan
encok.
c. Ibuprofen
Menurut Gunawan (2007), ibuprofen efektif antiinflamasi pada
dosis 1200-2400 mg sehari. Kadar maksimal pada plasma sekitar 1-
2 jam serta waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Tetapi
ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh ibu hamil dan menyusui.
d. Ketoprofen
Dosis 2 kali sehari 100 mg sudah memberikan efek terapi.
e. Naproksen
Dosis untuk penyakit reumatik adalah2 kali 250-375 mg sehari. Bila
perlu dapat diberikan 2 kali 500 mg perhari.
f. Indometasin
Karena toksisitasnya dosis nya 2-4 kali 25 mg sehari sudah memberi
efek terapi. Untuk mengurangi gejala rematik di malam hari doasis
diberikan 50-100 mg sebelum tidur.
g. Fenoprofen
Memiliki waktu paruh 2 jam. Dosis nya ialah 600-800 mg, 4 kali
sehari.
h. Parasetamol
Memiliki dosis oral : 0.5-1 gram tiap 4-6 jam hingga maksimum 4
jam perhari. Anak 2 bulan : 60 mg pada demam pasca operasi.
3 bulan-1 tahun : 60-120 mg perhari, dosis-dosis ini boleh diulang
tiap 4-6 jam bila diperlukan (maksimum sebanyak 4 dosis dalam
waktu 24 jam).

A. Antiviral
Virus adalah organisme yang hanya memiliki satu asam nukleat
(DNS/RNA) yang dikelilingi oleh lapisan protein. Infeksi virus dapat ditangani
dengan vaksinasi, kemoterapi, maupun antibodi (Neal, 2006). Virus bereplikasi
sendiri dalam beberapa tahap. Antiviral bertujuan untuk mencegah replikasi
virus dengan menghambat tahap-tahap replikasi sehingga virus terhambat
bereproduksi (Kee dan Hayes, 1996).
Vaksinasi digunakan untuk mencegah dan mengontrol penyebaran
virus. Kemoterapi digunakan untuk mengobati gejala-gejala penyakit yang
disebabkan oleh virus dan berusaha menghilangkan virus dari dalam tubuh.
Antibodi adalah stimulasi mekanisme resistensi alami hospes untuk
mempersingkat durasi penyakit. Berdasarkan cara kerjanya antiviral dibagi
menjadi tiga yaitu (Neal, 2006):
1. Menghentikan virus memasuki hospes
a. Amantadin
Bekerja dengan cara menghambat protein M2 transmembran yang
penting untuk pelepasan selubung virus influenza A. Spektrum luas
dan biasa digunakan sebagai vaksin influenza (Neal, 2006).
b. Zanamivir
Zanamivir secara spesifik menghambat neuraminidase influenza A dan
B sehingga virus sulit terlepas dari sel yang terinfeksi. Obat ini dapat
mengurangi gejala jika diberikan dalam 48 jam sejak dimulainya gejala
(Neal, 2006).
c. Imunoglobulin
Imunoglobulin manusia mengandung antibodi spesifik yang dapat
melawan antigen superfisial virus dan dapat menggaggu masuknya
virus kedalam sel hospes. Imunoglobulin normal dapat digunakan
sementara untuk melawan hepatitis A, campak, dan rubela (Neal,
2006).

2. Menghambat sintesis asam nukleat


a. Asiklovir
Virus herpes simpleks atau virus varisela zoster mengandung timidin
kinase yang dapat mengubah asiklovir menjadi bentuk monofosfat.
Monofosfat mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes hingga
menjadi asikloguanosin trifosfat yang dapat menghambat polimerase
dan sintesis DNA virus. Asiklovir dapat diberikan secara oral atau
parenteral dan efektif melawan virus herpes (Neal, 2006).
b. Gansiklovir
Gansiklovir harus diberikan secara intravena karena toksisitasnya
neutropenia, hanya dapat digunakan untuk mengobati infeksi virus
sitomegalo, kurang disarankan jika ingin digunakan pada penderita
immunocompromised (Neal, 2006).
c. Zidovudin
Zidovudin bekerja dengan cara menghambat transkriptase reversa HIV
dan digunakan secara oral pada terapi AIDS. Contoh inhibitor
transkriptase reversa nukleosida (NRTI) adalah stavudin, didanosin,
zalsitabin. Contoh inhibitor transkriptase reversa nonnukleosida
(NNRTI) adalah nevirapin dan evavirenz yang bekerja dengan cara
mendenaturasi transkriptase reversa (Neal, 2006).
3. Inhibitor protease
Inhibitor protease bekerja dengan cara menranslansi mRNA menjadi
poliprotein inert. Poliprotein diubah menjadi protein matur yang esensial
oleh suatu protase yang spesifik virus HIV (Neal, 2006).
Virus adalah organisme yang hanya memiliki satu asam nukleat
(DNA/RNA) yang dikelilingi oleh lapisan protein. Infeksi virus dapat
ditangani dengan vaksinasi, kemoterapi, maupun antibodi. Virus
bereplikasi untuk memperbanyak diri dan terjadi pada beberapa tahap.
Antiviral bertujuan untuk mencegah replikasi virus dengan
menghambat tahap-tahap replikasi sehingga virus terhambat
bereproduksi (Kee dan Hayes, 1996).

1. Mekanisme infeksi virus


a. Virus masuk ketubuh manusia
Virus menginfeksi tubuh dapat melalui beberapa cara yaitu
melalui udara, makanan dan bahan terkontaminasi lainnya. Virus
masuk ke dalam tubuh dapat melalui kulit, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, saluran darah, saluran urogenital dan plasenta.
Pada tahap infeksi lokal kemungkinan gejala infeksi sudah mulai
terlihat, tergantung pada konsentrasi virus, infektifitas dan virulensi
virus.
b. Replikasi dan penyebaran virus
Setelah virus masuk ke dalam sel, virus akan bereplikasi
pada sel yang terinfeksi, kemudian dapat menginfeksi sel-sel
disekitarnya secara ekstraselular maupun secara intraselular.
Penyebaran secara ekstraselular adalah virus keluar dari sel yang
terinfeksi melalui cairan limfa dan sel limfosit atau makrofag.
Sedangkan penyebaran secara intraselular terjadi melalui proses fusi
dari beberapa sel yang terinfeksi di sekitarnya.
c. Diseminasi virus melalui pembuluh darah
Replikasi virus di organ tempat terjadinya infeksi, dapat
berhubungan dengan saluran darah atau saluran saraf tepi sehingga
menyebabkan terjadinya penyebaran virus ke seluruh tubuh dan
menimbulkan kelainan-kelainan pada organ tubuh lain (Gunawan,
2009).

2. Mekanisme kerja antivirus


a. Farmakokinetik
Obat diabsorpsi dengan lambat, tergantung pada dosis dan
luas didistribusikan ke tubuh dan jaringan organ. Waktu paruhnya
adalah sekitar 2-3 jam pada fungsi ginjal normal. Asiklovir
diekskresikan tanpa mengalami perubahan ke dalam urin (Kee dan
Hayes, 1996).
b. Farmakodinamik
Asiklovir menghambat sintesa DNAuntuk mencegah
replikasi virus. Reaksi yang ditimbulkan oleh obat yang diberikan
secara oral lebih lama dibandingkan dengan obat yang diberikan
secara parenteral. Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak adalah
2 jam baik secara oral maupun parenteral dan keduanya memiliki
lama kerja yang serupa.
Zidovudin diperkirakan menekan replikasi virus HIV dengan
pertambahan jumlah limfosit T4. Namun seiring perkembagan
penyakit, limfosit ini juga akan menurun. Jika zidovudin diberikan
dalam waktu 20 jam setelah terpapar virus, biasanya obat akan
mencegah limfosit terinfeksi oleh virus. Obat ini biasanya diberikan
untuk memperpanjang usia penderita AIDS (Kee dan Hayes, 1996).

3. Penggolongan antivirus
Obat antivirus terdapat dalam dua bagian besar yaitu
antinonretrovirus dan antiretrovirus. Klasifikasi obat antivirus adalah
sebagai berikut :
a. Anti nonretrovirus
 Antivirus untuk Herpes
Obat anti virus yang aktif terhadap virus herpes umumnya
merupakan antimetabolit yang mengalami bioaktivasi melalui
enzim kinase sel hospes atau virus untuk membentuk senyawa
yang dapat menghambat DNA polimerase virus. Obat antivirus
untuk herpes adalah asiklovir, ansiklovir, famsiklovir,
foskarnet, trifuridin, valaksiklovir (Katzung, 2013).
 Antivirus untuk influenza
Antivirus ini bertujuan untuk pengobatan pada saluran
pernapasan termasuk influenza tipe A & B dan virus sinsitial
pernapasan (RSV). Obat antivirus untuk influenza adalah
amantadine, rimantadin, inhibitor neuraminidase, dan ribavirin.
 Antivirus untuk HBV dan HCV
Antivirus yang termasuk golongan antivirus ini adalah
lamivudine, adefovir, interferon, entekavir.
b. Anti retrovirus
 Nucloside Reverse Transcriptase Inhhibitor (NRTI)
Obat yang termasuk golongan antivirus ini adalah zidovudin,
stavudin, lamivudine, zalsitabin, emtrisitabin, dan abakavir.
 Nucleotide Reverse Transcriptase Inhhibitor (NtRTI)
Obat yang termasuk golongan antivirus ini adalah tenofovir
disoproksil.
 Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Obat yang termasuk golongan antivirus ini adalah nevirapin,
delavirdin, dan efavirenz.
 Protease Inhibitor
Protease Inhibitor bekerja dengan cara berikatan secara
reversible dengan situs aktif HIV – protease. HIV-protease
sangat penting untuk infektivitas virus dan pelepasan
poliprotein virus.
 Viral Entry Inhibitor
Obat yang termasuk golongan antivirus ini adalah enfuvirtid
(Katzung, 2013).

4. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi dan kontraindikasi dari beberapa obat virus, diantaranya:
a. Asiklovir
Indikasi : Infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik
(termasuk keratitis herpetik, herpetik ensefalitis, herpes genitalia,
herpes neonatal dan herpes labialis) dan infeksi VZV (varisela dan
herpes zoster).
Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal, kehamilan dan menyusui
b. Gansiklovir
Indikasi: Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien
immunocompromised (misalnya : AIDS), baik untuk terapi dan
pencegahan. Infeksi sitomegalovirus pada pasien defisiensi imun
Kontraindikasi: kehamilan, ibu menyusui, hipersensitivitas terhadap
asiklovir atau gansiklovir, neutropenia, trombositopenia.
c. Interferon
Indikasi: Infeksi HBV, infeksi HSV, Human Immunodeficiency
Virus (HIV).
Kontraindikasi: Penyakit autoimun (tiroiditis).
d. Lamivudine
Indikasi: infeksi HIV, infeksi hepatitis B kronik
Kontraindikasi: wanita menyusui, hipersensitivitas
e. Zalsitabin
Indikasi: Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat
lanjut yang tidak responsive terhadap zidovudin dalam kombinasi
dengan anti HIV lainnya.
Kontraindikasi: Pada penderita neuropati perifer, stomatitis, dan
pankreatitis.
f. Tenofovir Disoproksil
Indikasi: Infeksi HIV, dikombinasi dengan efavienz.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas.
g. Sakuinavir
Indikasi: Infeksi HIV, dikombinasi dengan anti HIV lainnya.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas dan ibu hamil menyusi
h. Amantadin
Indikasi: penyakit parkinson, tetapi tidak termasuk gejala
ekstrpiramidal yang disebabkan oleh efek samping obat
Kontraindikasi: epilepsi, riwayat lambung, ganggungan ginjal berat,
kehamilan, menyusui
i. Ribavirin
Indikasi: hepatitis C dengan usia > 18 tahun
Kontraindikasi: wanita hamil dan ibu menyusui, penyakit jantung,
penyakit tiroid, sirosis hati, riwayat kondisi psikiatrik berat.
j. Nevirapin
Indikasi: infeksi HIV
Kontraindikasi: hipersensitivias, menyusui, gangguan fungsi hati
berat (Katzung, 2013).

Anti jamur
1. Mekanisme Infeksi Jamur
Kulit pada keadaan normal memiliki daya tahan yang baik
terhadap kuman dan jamur karena adanya lapisan pelindung dan
terdapatnya flora bakteri yang memelihara suatu keseimbangan biologis.
Akan tetapi bila lapisan pelindung tersebut rusak atau keseimbangan
mikroorganisme terganggu, maka spora-spora dan fungi dapat dengan
mudah mengakibatkan infeksi. Terutama pada kulit yang lembab.
Penularan terjadi oleh spora-spora yang dilepaskan penderita mikosis
bersamaan dengan serpihan kulit. Spora ini terdapat dimana-mana,
seperti di tanah, debu dan juga di udara.
Setelah terjadi infeksi, spora tumbuh menjadi mycellium dengan
menggunakan serpihan kulit sebagai makanan. Enzim-enzim yang
diproduksi fungi dapat menembus ke bagian dalam kulit dan
mengakibatkan suatu peradangan. Peradangan tersebut terlihat seperti
bercak-bercak merah dengan batas-batas yang jelas dan menimbulkan
rasa gatal-gatal lokal maupun sistemik (Kee dan Hayes 1996).

2. Mekanisme Kerja antijamur


Mekanisme kerja obat antijamur dengan cara mempengaruhi
sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan
dinding sel jamur yaitu kitin, beta glukan dan manooprotein (Kee dan
Hayes, 1996).
a. Sterol membran plasma
Ergosterol adalah komponen yang penting untuk menjaga
integritas membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan
keseimbangan dinding membran sel jamur, kerja obat antijamur
adalah dengan cara langsung (golongan polien) menghambat sintesis
ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergostserol dan
channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan
permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan
kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak langsung
(golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan
cara menganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450
(demetilasi prekursor ergosterol) (Gunawan, 2009).
b. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur mengganggu sintesis asam nuleat
dengan cara menterminasi dini rantai RNA dan menginterupsi
sintesis DNA.
c. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur tersusun atas mannoproteins, kitin, dan
alfa-beta glukan yang berfungsi untuk menjaga rigiditas dan bentuk
sel, metabolisme, dan pertukaran ion pada membran sel (Gunawan,
2009).

3. Penggolongan anti jamur


Obat Antifungi dibedakana menjadi dua yaitu :
a. Infeksi fungi sistemik
Penyakit akibat infeksi fungi sistemik adalah candidiasis
sistemik, meningitis kriptokokkal, blastomikosis, histoplasmosis,
dan parakokkidiomikosis.
b. Infeksi fungi superfisial
Penyakit infeksi fungi superfisial adalah dermatomikoses
dan candidiasis. Dermatomikoses terjadi pada kulit, rambut dan
kuku disebabkan karena Trichopyton, Microsporum dan
Epidermophyton sp. Candidiasis terjadi pada membran mukosa
mulut, vagina dan juga kulit.
Berdasarkan cara kerjanya atau struktur kimianya, antifungi
dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Antifungi Poliena
Antifungi poliena bekerja dengan cara mengikat ergosterol
pada dinding sel jamur oleh polien sehingga membran sel jamur
bocor dan lisis. Polien hanya dapat merusak sel yang memiliki
ergosterol pada dinding selnya, sedangkan dinding sel manusia tidak
mengandung ergosterol melainkan kolesterol sehingga antifungi
polien tidak dapat merusak sel manusia. Contoh antifungi polien
adalah Nistatin dan Amfoterisin B yang mempunyai afinitas bersar
terhadap ergosterol dibandingkan kolesterol (Priyanto, 2008).
b. Antifungi Azol
Semua antifungi golongan ini memiliki cincin azol.
Golongan azol bekerja dengan cara menghambat sintesis ergosterol
dan merupakan antifungi berspektrum luas. Golongan azol dengan 2
nitrogen (N) disebut imidazol, sedangkan yang memiliki 3 N disebut
triazol. Contoh imidazol topikal adalah clotrimazol, econazol, dan
sulconazol. Contoh imidazol topikal dan sistemik adalah mikonazol,
ketokonazol. Contoh triazol sistemik adalah flukonazol dan
itrakonazol (Priyanto, 2008).
c. Antifungi Golongan Lain
Obat antifungal lainnya adalah terbinafin, flusitosin dan
griseofulfin yang digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada
permukaan kulit, kuku, dan rambut. Flusitosin dapat diberikan
secara parenteral misalnya intravena. Terbinafin bekerja
menghambat sintesis ergosterol, sedangkan griseofulfin terikat di
keratin sehingga kulit resisten terhadap infeksi jamur (Priyanto,
2008).
Menurut indikasi klinisnya, antijamur dapat dibagi dua golongan
yaitu:
a. Antijamur untuk infeksi sistemik
Contohnya adalah amfoterisin B, flusitosin, imidazol (ketokonazol,
flukonazol, mikonazol) dan hidroksistilbamidin.
b. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan
Contohnya adalah griseofulvin, golongan imidazol (mikonazol,
klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol),
nistatin, tolnaftat, dan antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam
undesilenat dan natamisin) (Rahardjo, 2009).

4. Indikasi dan Kontraindikasi


a. Amfoterisin B
Indikasi: infeksi jamur sistemik (histoplasmosis, kandidiasis,
kriptokokus, blastomitosis), keratitis, candiduria pada saluran urin.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap amfoterisin B, gangguan
fungsi ginjal, hipokalemia, gangguan hati, hipersensitivitas
b. Nisitatin
Indikasi: infeksi kandidiasis mulut, kulit, orofaringeal trhush,
vaginal candidia.
Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap nistatin
c. Ketokenazol
Indikasi: infeksi jamur C.albicans, C.tropicalis, C.parapsilosis,
C.glabrata, C.neoformans, golongan blastomyces, golongan
histoplasma, Coccidioides, dan jamur lainnya. infeksi jamur pada
kulit badan, pada lipatan kulit, pada kaki, untuk mengatasi panu, dan
juga sering dipakai untuk mengatasi ketombe.
Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap ketokenazol, memiliki
gangguan jantung, ibu hamil dan menyusui, penyakit hepar akut.
d. Mikonazol
Indikasi: meningitis akibat infeksi jamur, infeksi kandung kemih
oleh jamur, infeksi vagina, kandidiasis mulut.
Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap obat mikonazol
e. Klotrimazol
Indikasi: dermatifotosis kandididiasis, saluran nafas dan cerna,
kandidiasis orofaringeal, esofageal dan vaginal.
Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap klotrimazol, ibu hamil.
f. Fluostatin
Indikasi: Keratitis, candiduria pada saluran urin, arthritis.
Kontraindikasi: hipersensitivitas fluostatin, gangguan ginjal.
g. Terbinafin
Indikasi: onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa disebabkan
dermatofita.
Kontraindikasi: hipersensitivitas terbinafin

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, 1995, Farmakologi dan Terapan Edisi IV, Universitas Indonesia,


Jakarta.

Karasutisna, T., 2001, Infeksi Odontogenik Edisi 1, Bagian Bedah Mulut Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung

MIMIS Edisi 15 Bahasa Indonesia 2014

Mustikaningtias, I., 2014, Lecture Antibiotik, Laboratorium Farmakologi dan


Farmasi Klinik Jurusan Farmasi Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan


Edisi II, Leskonfi, Depok
Becker, D. E., 2010, Pain management: part 1: managing acute and postoperative
dental pain, Anesth Prog, American Dental Society of
Anesthesiology, 57: p 67-69.
Barus, Jimmy., 2015, Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia,
Continuing Medical Education, Vol. 42 (3): 167-171
Gunawan.G.Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Katzung, B. G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, ed IV. Jakarta : EGC.
Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996, Farmakologi: pendekatan proses keperawatan.
Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan, Drs.,Rahardja, Kirana, Drs. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta
: Gramedia.

You might also like