You are on page 1of 33

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Disusun Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Stase Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:
Adam Nur Rahman J510170087
Baiq Selsilya Prapita Nilda J510170108

Pembimbing:
Dr. Sudarmanto, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD DR. HARJONO S PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
REFERAT
PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Disusun oleh:
Adam Nur Rahman J510170087
Baiq Selsilya Prapita Nilda J510170108

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari tanggal 2018

Pembimbing:
Dr. Sudarmanto, Sp.A (…………………………….)

Dipresentasikan dihadapan
Dr. Sudarmanto, Sp.A …………………………….)

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan
jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat
mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.
Demam rematik akut adalah sinonim dari demam rematik dengan penekanan
akut, sedangkan yang dimasuk demam rematik inaktif adalah pasien-pasien
dengan demam rematik tanpa tanda-tanda radang.
Dikatakan bahwa demam rematik dapat ditemukan di seluruh dunia,
dan mengenai semua umur tapi 90% dari serangan pertama terdapat pada
umur 5-15 tahun sedangkan yang terjadi dibawah umur 5 tahun sangat jarang.
Yang sangat penting dari penyakit demam rematik akut ini adalah
dalam hal kemampuannya menyebabkan katup-katup jantung menjadi
fibrosis, yang akan menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit
jantung yang kronis dan berat. Penyakit demam rematik dapat mengakibatkan
gejala sisa (sequel) yang amat penting pada jantung sebagai akibat berat
ringannya karditis selama serangan akur demam rematik. Cukup banyak
dilaporkan insiden dari kekambuhan demam rematik yang berlanjut dan
mengakibatkan Penyakit Jantung Rematik.
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5
per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di
negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000
penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal
diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.

3
B. Rumusan Masalah
Pada referat ini membahas mengenai demam rematik dan penyakit
jantung rematik yang pembahasannya kami batasi mengenai definisi,
epidemiologi, etiopatogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang,
tatalaksana, komplikasi.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk memahami serta menambah pengetahuan
tentang demam rematik dan penyakit jantung rematik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEMAM REMATIK
1. Definisi
Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non
supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan
ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai
banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat. Demam
rematik akut adalah sinonim dari demam rematik dengan penekanan akut,
sedangkan yang dimaksud demam rematik inaktif adalah pasien-pasien dengan
demam rematik tanpa tanda-tanda radang. Demam rematik dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut dapat timbul kembali
berulang-ulang, yang disebut dengan kekambuhan (recurrent). Dan biasanya
setelah peradangan kuman Streptococcus Grup A (SGA) beta hemolitik, demam
rematik tersebut dapat berlangsung terus menerus melebihi 6 bulan yang disebut
demam rematik menahun.

2. Epidemiologi
Meskipun individu-individu segala umur dapat diserang oleh demam
rematik akut, tetapi demam rematik akut ini banyak terdapat pada anak-anak dan
orang usia muda (5-15 tahun). Ada dua keadaan terpenting dari segi
epidemiologic pada demam rematik akut ini yaitu kemiskinan dan kepadatan
penduduk. Tetapi pada saat wabah demam rematik tahun 1980 di Amerika pasien-
pasien anak yang terserang juga pada kelompok ekonomi menengah dan atas.
Setelah perang dunia kedua dilaporkan bahwa di Amerika dan Eropa insiden
demam rematik menurun, tetapi demam rematik masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang.
Majeed 1992, melaporkan insiden demam rematik dan penyakit jantung
rematik di Eropa dan Amerika menurun sedangkan di negara tropis dan sub tropis

5
masih terlihat peningkatan yang agresif , seperti kegawatan karditis dan payah
jantung yang meningkat.
Ternyata insiden yang tinggi dari karditis adalah pada anak muda dan
terjadinya kelainan katup jantung adalah sebagai akibat kekurangan kemampuan
untuk melakukan pencegahan sekunder demam rematik dan penyakit jantung
rematik. Taranta A dan Markowitz M, 1984, melaporkan bahwa demam rematik
adalah penyebab utama terjadinya penyakit jantung untuk usia 5-30 tahun.
Demam rematik dan penyakit jantung rematik adalah penyebab utama kematian
akibat penyakit jantung untuk usia dibawah 45 tahun dan juga dilaporkan 25-40%
penyakit jantung disebabkan oleh penyakit jantung rematik untuk semua umur.

3. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Demam rematik disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai
sekuel dari infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring tetapi bukan
pada kulit. Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi
koloninya dan kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis. Sel ini terdiri dari
sitoplasma yang dikelilingi oleh tiga lapisan membran, yang disusun terutama dari
lipoprotein. Diluar membran sitoplasma adalah dinding sel, terdiri dari tiga
komponen:
1. Komponen bagian dalam adalah peptigoglikan yang memberi kekakuan dinding
sel.
2. Polisakarida dinding sel atau KH spesifik grup. KH ini terbukti memiliki
determinan antigenik bersama dengan glikoprotein pada katup jantung manusia.
3. Komponen ketiga terdiri dari mosaik protein yang dilabel sebagai protein M
yakni antigen spesifik tipe dari streptococcus grup A. adanya protein M ini
menghambat fagositosis.
Streptococcus menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler, termasuk dua
hemolisisn atau streptolisin S yang stabil pada oksigen, serta streptolisin O yang
labil terhadap oksigen.
Tingkat serangan demam rematik akut setelah infeksi streptococcus
bervariasi tergantung infeksinya, yaitu 0,3 sampai 3 persen. Faktor predisposisi

6
yang penting meliputi riwayat keluarga yang menderita demam rematik, status
sosial ekonomi rendah (kemiskinan, sanitasi yang buruk), dan usia antara 6
sampai 15 tahun (dengan puncak insidensi pada usia 8 tahun).

4. Patogenesis
Adanya infeksi Streptococcus Grup A beta hemolitikus di faring atau
tonsil merangsang timbulnya antibody untuk menyerang infeksi tersebut. Antibodi
yang dihasilkan oleh tubuh mengalami reaksi immunology mediated inflammation
and damage (autoimun) dengan jaringan tubuh manusia yang mempunyai antigen
yang mirip dengan antigen yang dimiliki oleh bakteri Streptococcus Grup A beta
hemolitikus (molecular mimicry) seperti pada jantung, sendi, otak dan otot polos.

Gambar 1. Struktur Streptokokkus Grup A Beta hemolitikus


Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada
jantung, otak, sendi dan kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai
pankarditis, dengan miokarditis sebagai bagian yang paling utama. Saat ini,
diketahui bahwa komponen katup yang mungkin sama atau lebih penting
dibandingkan keterlibatan otot jantung maupun pericardium. Pada miokarditis
rematik, kontraktilitas miokard jarang mengalami kerusakan dan kadar troponin
serum tidak mengalami peningkatan. Pada penyakit jantung rematik tidak hanya
terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya,
namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan
tertariknya korda tendineae).

7
Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat
mengalami kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada
katup trikuspid dan pulmonalis.
Lesi patognomonis demam rematik adalah badan Aschoff sebagai
diagnostic histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-
tanda keaktifan kelainan jantung dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda
gambaran klinis menghilang atau masih ada keaktifan laten. Badan Aschoff ini
umumnya terdapat pada septum fibrosa intervaskular, di jaringan ikat perivaskular
dan di daerah subendotelial. Pada Penyakit jantung rematik biasanya terkena
ketiga lapisan endokard, miokard dan perikard secara bersamaan atau sendiri-
sendiri atau kombinasi. Pada endokard yang terkena utama adalah katup-katup
jantung dan 50% mengenai katup mitral. Pada keadaan dini demam rematik akut
katup-katup ini akan merah, edema dan menebal dengan vegetasi yang disebut
sebagai verruceae. Setlah agak tenang katup-katup yang terkena menjadi tebal,
fibrotic, pendek dan tumpul yang menimbulkan stenosis.

Gambar 2. Aschoff Body

5. Manifestasi Klinis
Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria
tersebut dibagi menjadi tiga bagian :
(1) lima gejala mayor
(2) empat gejala minor

8
(3) bukti pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi streptococcus grup A.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Demam Rematik

Kriteria Mayor
1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat
karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian
penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi
penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara
klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan
sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung
kongestif. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali
muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung
kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat.

9
2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba
panas, dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada
demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah.
Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi
dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang
tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang
mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis
yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu
criteria mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor,
poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam
dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau
antibodi anti Streptococcus lainnya yang tinggi.

3. Khorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak
bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat
juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim
disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan emosi. Khorea jarang dijumpai pada
penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada
perempuan. Khorea Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang
sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam
rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Khorea merupakan
manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gejala
lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat khorea mulai timbul.

4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam
rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah,
tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan
meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema
anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak
bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan

10
ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian
tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan
memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada
kasus yang berat.

Gambar 3. Eritema marginatum

5. Nodul subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan
terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna
vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah
digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai
sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat
karditis.

Gambar 4. Nodul Subkutan

11
Gambar 5. Manifestasi klinis demam rematik akut

Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu
kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang
didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik
atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita
seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau
bahkan tidak terdiagnosis.

2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan
atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri
pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari
yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan
sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.

3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya


mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung
sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan
pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu

12
banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang
bermakna.

4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah,
kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan
peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan
pada demam rematik, kecuali jika khorea merupakan satu-satunya manifestasi
mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat
pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak
meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung
kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada
semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka
kemungkinan adanya infeksi Streptococcus akut dapat dipertanyakan.

5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan


abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering
dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk
demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan
pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik.

Bukti yang mendukung


Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik
standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya
infeksi Streptococcus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit
Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun,
dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut.
Infeksi Streptococcus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan
usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut.
Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan
adanya infeksi Streptococcus akut.

13
6. Diagnosis
Diagnosis pada demam rematik memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti. Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria
Jones dimana didapatkan minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan
dua gejala minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya
infeksi streptococcus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala
mayor dengan dua gejala minor.

Tabel 2. Manifestasi Klinis Demam Rematik


Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:
1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam rematik.
2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang datang ke
tenaga medis setelah berbulan-bulan dari onset serangan demam rematik.
3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak
memenuhi kriteria Jones.

14
Pada tahun 2002 – 2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis
Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan kriteria Jones yang
telah direvisi).
Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:
- a primary episode of RF
- recurrent attacks of RF in patients without RHD
- recurrent attacks of RF in patients with RHD
- rheumatic chorea
- insidious onset rheumatic carditis
- chronic RHD.

Tabel 3. Kriteria diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik


(berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi).

15
1. Pemeriksaan Fisik
Status lokalis:
 Sendi : Poliartritis
Inspeksi terlihat bengkak dan merah pada sendi.
Palpasi teraba hangat.
 Jantung : Karditis
Pada Auskultasi
-Apakah terdengar murmur atau bising jantung : high pitch, blowing,
holosystoic/pansistolik, apical (mitral regurgirtasi)
pansistolik murmur : Pada auskultasi hampir selalu ditemukan murmur sistolik
pada regurgitasi mitral akibat rematik. Murmur biasanya holosistolik, dimulai saat
bunyi jantung pertama, meliputi seluruh fase sistole, punktum maksimum di apeks
menjalar ke lateral kiri aksila dan ke punggung. Intensitas
murmur biasanya sedang sampai tinggi, yang jadi ciri khas adalah intensitas
murmur sama mulai dari awal sampai akhir terjadi : pada katup yang terjadi defek
setelah bunyi jantung I (penutupan katup mitral) tekanan left ventrikel lebih tinggi
dari left atrium sehingga terjadi regurgitasi dari LV ke LA, regurgitasi ini
terdengar sebagai bising pan sistolik.
Mid-diastolik murmur : bising diastolic terdengar segera setelah katup mitral
terbuka (OS) di mana arah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri melewati
katup sempit pada keadaan tekanan atrium tinggi sehingga terjadi turbulensi dan
terdengar sebagai mid-diastolic murmur berfrekuensi rendah dan kasar, punktum
maksimum di apeks.
Opening snap : katup mitral terbuka saat akhir isovolumetrik. Apabila daun katup
kaku tetapi masih mobile tekanan atrium kiri yang tinggi menyebabkan
pembukaan mendadak dan berbunyi dinamakan opening snap, pada keadaan
normal pembukaan katup mitral tidak berbunyi tetapi jika katup tidak mobile
karena terlalu kaku, OS tidak ada.
S3 : bunyi jantung III biasa terjadi pada MI, terdengar sesudah pembukaan katup
mitral pada apeks, frekuensi rendah. S3 terjadi akibat fase pengisian cepat pada

16
ventrikel kiri dengan tekanan meningkat.hal yang sama terjadi pada ventrikel
kanan dengan Trikuspid insufisiensi.
- Takikardi : Denyut jantung diatas normal. N: 60-100 x/menit
- Third heart sound
- Rales and edema
- Pericardial friction rub
 Khorea
Inspeksi : gerakan yang tidak disadari
Palpasi : kelemahan otot : ketidakmampuan memegang/ menggapai tangan
 Eritema Marginatum
Inspeksi : ada atau tidaknya kemerahan yang ditengahnya pucat, makular,
serpiginous pattern
Palpasi : kemerahan akan menghilang pada penekanan
 Nodul Subkutan
Inspeksi : ada/ tidaknya massa
Palpasi : tidak nyeri, mudah digerakan dari dasarnya

2. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Kultur tenggorok : fase akut, tidak sensitive Streptococcus B hemolyticus
 Dalam agar darah :
Koloni keabuan, translucent, diameter 1 – 2 mm, dikelilingi halo tidak
berwarna, transparant akibat disolusi sel-sel darah merah. Gram (+)
 ASTO (antibody Streptoccocus Titer O) dan Antistreptoccocal DNAse B
(ADB) test : terbentuknya antibodi-antibodi ini sangat dipengaruhi umur dan
lingkungan. Titer ASTO (+) > 210 Todd pada orang dewasa dan > 320 Todd
pada anak-anak. Sedangkan ADB (+) >120 pada orang dewasa dan > 240 pada
anak-anak. Antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu kedua sampai minggu ke
tiga setelah fase akut DR atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman SGA di
tenggorokan.

17
• Mengeluarkan toxin + enzyme terjadinya antibody, tetapi tidak menyebabkan
imunitas
• Pengukuran antibody mendeteksi infeksi streptococcus yang baru/belum lama
terjadi
• Streptococcus tidak bermigrasi dari pharynx ke jantung atau sendi-sendi.
Tidak ada penyebaran kuman diseluruh tubuh.
 Acute-phase reactants, Erythroscyte Sedimentation Rate (ESR) and C-reactive
protein (CRP) : non-spesific tapi berguna untuk memonitoring perjalanan
penyakit.
 Blood culture : menyingkirkan diagnosis banding : septic bakeremia, infective
endocarditis and disseminated gonococcal infections.
 Rheumatoid Factor : menyingkirkan Rheumatoid arthritis
 Rontgen thorax : cardiomegaly dan CHF karena karditis

Gambar 6. Gambaran radiologi cardiomegali


 EKG : PR interval memanjang (AV blok derajat I) dan mitral valvular stenosis.
AV blok derajat II dan III mungkin terjadi dan Aortic valvular : jarang
PR Interval normal:
– Jarak antara permulaan P sampai dengan permulaan QRS
– Normalnya 0,12-0,20 detik
– Bila PR <0,12, hantaran dipercepat

18
– Bila PR >0,20, terjadi blok di AV

Gambar 7. Normal PR interval

Gambar 8. Pemanjangan PR interval

7. Diagnosis Banding
Arthritis reumatoid juvenile sering didiagnosis sebagai demam rematik
akut. Temuan klinis yang mengarah ke arthritis reumatoid juvenile antara lain :
keterlibatan dari sendi-sendi kecil di perifer, sendi-sendi besar terkena secara
simetris tanpa adanya arthritis yang berpindah, kepucatan pada sendi yang
terkena, tidak ada bukti infeksi streptococcus, perjalanan penyakit yang lebih
indolen, dan tidak adanya respon awal terhadap terapi salisilat selama 24 sampai
48 jam.
Penyakit vaskular kolagen (systemic lupus erythematosus ; SLE, penyakit
jaringan penyambung campuran); arthritis yang reaktif, termasuk arthritis

19
poststreptococcal; serum sickness; dan infeksius arthritis (seperti
gonokokus), kadang-kadang perlu dibedakan.
Infeksi virus yang disertai arthritis akut (rubella, parvovirus, virus hepatitis
B, herpesvirus, enterovirus) lebih sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit-
penyakit hematologi seperti anemia sel sabit dan leukemia, dianjurkan untuk tetap
dipikirkan sebagai diagnosis banding.
Hanya karditis yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada
jantung. Tanda klinis ringan dari karditis menghilang secara cepat dalam jangka
waktu mingguan, tetapi pada pasien dengan karditis berat baru hilang setelah 2-6
bulan. Khorea secara bertahap berkurang setelah 6 sampai 7 bulan atau lebih lama
dan biasanya tidak menimbulkan sekuel neurologis yang permanen.

8. Penatalaksanaan
Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan
fisik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan
darah lengkap, reaktan fase akut (LED, protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer
anti streptolisin O (dan titer antibodi kedua, terutama pada pasien dengan khorea),
foto Rontgen, dan elektrokardiografi. Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan
untuk menjelaskan apakah terjadi kerusakan pada jantung : pemeriksaan
ekhokardiografi dua dimensi dan Doppler yang biasa dilakukan.
Pengobatan terhadap Demam Rematik ditunjukkan pada 3 hal yaitu : 1)
Pencegahan primer pada saat serangan Demam Rematik. 2) Penegahan skunder
Demam Rematik. 3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah
baring, penggunaan antiinflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan khorea.
Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada
saat serangan Demam Rematik dan diberikan fase awal serangan. Jenis
antibiotika, dosis dan frekuensi pemberiannya dapat dilihat pada tabel 4.
Pencegahan sekunder Demam Rematik bertujuan untuk mencegah serangan
ulangan Demam Rematik, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan
katup katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup
jantung. Jenis antibiotika yang digunakan dapat dilihat pada tabel 4 dan durasi

20
pencegahan sekunder dapat dilihat pada tabel 5. Pada serangan Demam Rematik
sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau khorea.
Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu
diberikan pada penderita Demam Rematik dengan manifestasi mayor karditis dan
artritis. Petunjuk mengenai tirah baring dan dan ambulasi dapat dilihat pada tabel
6 dan penggunaan anti inflamasi dapat dilihat pada tabel 7. Pada penderita
Demam Rematik dengan gagal jantung perlu diberikan diuretika, restriksi cairan
dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita Demam Rematik masih
kontroversi karena resiko intoksikasi dan aritmia. Pada penderita khorea
dianjurkan mengurangi stres fisik dan emosi. Penggunaan anti inflamasi untuk
mengatasi khorea masih kontroversi. Untuk kasus khorea yang berat fenobarbital
atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan valproic acid,
chlorpromazin dan diazepam. Penderita Penyakit Jantung Rematik tanpa gejala
tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan
memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis
memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan
intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal
dan memerlukan follow up jangka panjang.

21
Tabel 4. Pencegahan primer dan sekunder Demam Rematik
Penisilin benzathine G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan
secara intramuskular, diberikan untuk eradikasi streptococcus. Pada pasien yang
mempunyai alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40
mg/kgBB perhari dalam dua sampai empat dosis selama 10 hari. Terapi anti-
inflamasi atau supresi dengan salisilat atau steroid tidak boleh diberikan sampai
ditegakkannya diagnosis pasti. Ketika diagnosis demam rematik akut ditegakkan,
diperlukan edukasi kepada pasien dan orang tuanya tentang perlunya pemakaian
antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah infeksi streptococcus berikutnya.
Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian profilaksis untuk menangani
endokarditis infektif.

22
Tabel 5. Durasi pencegahan sekunder Demam Rematik

Tabel 6. Petunjuk tirah baring dan ambulasi


Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala
dan berkisar dari seminggu (untuk arthritis) hingga beberapa minggu untuk
karditis berat. Tirah baring diikuti periode untuk ambulasi di dalam rumah dengan
durasi bervariasi sebelum anak diperbolehkan untuk kembali ke sekolah. Aktivitas
bebas diperbolehkan bila laju endap darah sudah kembali ke normal, kecuali pada
anak dengan kerusakan jantung yang cukup berat.

23
Tabel 7. Rekomendasi penggunaan Antiinflamasi
Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat
demam rematik akut sudah didiagnosis. Untuk karditis ringan hingga sedang,
penggunaan aspirin saja sebagai anti inflamasi direkomendasikan dengan dosis
90-100 mg/kgBB perhari yang dibagi dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar salisilat yang
adekuat di dalam darah adalah sekitar 20-25 mg/100 mL. Dosis ini dilanjutkan
selama 4 sampai 8 minggu, tergantung pada respon klinis. Setelah perbaikan,
terapi dikurangi secara bertahap selama 4-6 minggu selagi monitor reaktan fase
akut.
Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi
secara bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala
sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung arthritis pada
demam rematik akut. Pemberian prednisone ( 2 mg/kgBB perhari dalam 4 dosis
untuk 2 sampai 6 minggu ) diindikasikan hanya pada kasus karditis berat.
Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi
setengah duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis
berat dengan onset akut. Digoksin digunakan dengan hati-hati, dimulai dengan
setengah dosis rekomendasi biasa, karena beberapa pasien dengan karditis rematik
sangat sensitif terhadap pemberian digitalis. Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB
setiap 6 sampai 12 jam, jika terdapat indikasi.

24
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik
dan emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G
1,2 juta unit, sebagai awalan eradikasi streptococcus dan juga setiap 28 hari untuk
pencegahan rekurensi, seperti pada pasien dengan gejala rematik lainnya. Tanpa
profilaksis sekitar 25% pasien dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang
menjadi penyakit katup jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada
kasus yang berat, obat-obatan berikut dapat diberikan : fenobarbital (15-30 mg
setiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap
8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam valproat, klorpromazine, diazepam, atau
steroid.

9. Prognosis
Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan
prognosis. Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut
diperngaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya
kerusakan jantung pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih
besarnya kemungkinan insiden penyakit jantung residual.
2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan
katup meningkat pada setiap kekambuhan.
3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung
pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup
sering membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis.

B. PENYAKIT JANTUNG REMATIK


1. Definisi
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit
jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut
sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang

25
mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit
jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.
Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari
demam rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari
fibrin dan sel-sel darah di sepanjang perbatasan dari satu atau lebih katup jantung.
Katup mitral paling sering terkena, selanjutnya diikuti oleh katup aorta;
manifestasi ke jantung-kanan jarang ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya
peradangan, verrucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan
serangan berulang dari demam rematik, verrucae baru terbentuk di bekas tempat
tumbuhnya verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda tendinea
menjadi terkena.

Gambar 8. Vegetasi pada katup jantung

2. Patofisiologi
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang
disebabkan Streptococcus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap
infeksi Streptococcus secara hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau
manifestasi demam reumatik, sebagai berikut (1) Streptococcus grup A akan
menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen Streptococcus akan menyebabkan
pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan bereaksi
dengan antigen Streptococcus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenik
sama seperti Streptococcus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan
antara antigen Streptococcus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi

26
tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.

Gambar 9. Patofisiologi penyakit jantung rematik

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada


lapisan jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan
pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan
tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat sistolik sehingga
mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik dari
ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan curah sekuncup
ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri,
peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding
atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah
hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru
mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri pulmonalis,
hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.

27
3. Pola Kelainan Katup
1. Insufisiensi mitral
Insufisiensi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang biasanya
meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan serta penebalan
korda tendineae. Selama demam rematik akut dengan karditis berat, gagal jantung
disebabkan oleh kombinasi dari insufisiensi mitral yang berpasangan
dengan peradangan pada perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium.
Oleh karena tingginya volume pengisian dan proses peradangan, ventrikel kiri
mengalami pembesaran. Atrium kiri berdilatasi saat darah yang mengalami
regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan
kongesti pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri.
Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada pasien
dengan insufisensi mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih dari
separuh pasien dengan insufisiensi mitral akut tidak lagi mempunyai murmur
mitral setelah 1 tahun. Pada pasien dengan insufisiensi mitral kronik yang berat,
tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan
berkembang menjadi gagal jantung kanan. Insufisiensi mitral berat dapat
berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses rematik yang progresif, onset
dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif.

2. Stenosis Mitral
Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis pada
cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan muskulus
papilaris. Stenosis mitral yang signifikan menyebabkan peningkatan tekanan dan
pembesaran serta hipertrofi atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis, peningkatan
rersistensi vaskuler di paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta
hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang kemudian diikuti gagal jantung kanan.

3. Insufisiensi Aorta
Pada insufisiensi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup aorta
menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari

28
darah menyebabkan volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi
ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dengan insufisiensi aorta lebih sering
terjadi daripada insufisiensi aorta saja. Tekanan darah sistolik meningkat,
sedangkan tekanan diastolik semakin rendah. Pada insufisiensi aorta berat, jantung
membesar dengan apeks ventrikel kiri terangkat. Murmur timbul segera
bersamaan dengan bunyi jantung kedua dan berlanjut hingga akhir diastolik.
Murmur tipe ejeksi sistolik sering terdengar karena adanya peningkatan stroke
volume.

4. Kelainan Katup Trikuspid


Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut.
Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan.
Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena
jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik
yang meningkat selama inspirasi.

5. Kelainan Katup Pulmonal


Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan
temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir
sama dengan insufisiensi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan.
Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta
Doppler.

4. Penatalaksanaan Operatif
a. Mitral stenosis
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional
III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub
valvular, kommisurotomi atau penggantian katup).

29
b. Insufisiensi Mitral
Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita
insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat
bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel
kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup
(valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi
mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve replacement). Katup biologik
(bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun,
wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra
indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley,
St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan
antikoagulan untuk selamanya.

c. Stenosis Aorta
Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif.
Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow
up untuk menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis
dengan pelebaran katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang
dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penggantian katup
karena usia, adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang berat.
Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun tanpa
gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg
harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien
menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik
aorta yang diukur denagn teknik Doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan
valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup.
Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian katup dan risiko
meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran
jantung dengan gagal jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda
yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan
memakai katup sintetis. Keuntungan katup jaringan ini adalah

30
kemungkinan tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan
perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup
sintetis.

d. Insufisiensi Aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra
indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup
jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan
antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita
insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi
pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita
penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan
mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.

5. Prognosis
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptococcus diatasi.
Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam
rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan
penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik katup tidak
menghilang. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata
demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun
pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah
bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.

31
BAB III
KESIMPULAN

Demam rematik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik non


supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan
ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai
banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan sistem saraf pusat.
Penyakit demam rematik dan gejala sisanya, yaitu penyakit jantung
rematik, merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai
pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Pada penyakit jantung rematik tidak
hanya terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada
permukaannya, namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan
pelebaran annulus dan tertariknya korda tendineae). Katup mitral merupakan
katup yang paling sering dan paling berat mengalami kerusakan dibandingkan
dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid dan pulmonalis.
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones
dimana didapatkan minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua
gejala minor, ditambah adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya
infeksi streptococcus. Dua gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala
mayor dengan dua gejala minor.
Penatalaksanaan pada demam rematik maupun penyakit jantung rematik
antara lain tirah baring, eradikasi streptococcus, pemberian obat anti-inflamasi,
pencegahan primer dan sekunder serta tindakan operatif pada kelainan katup.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna
Publishing, 2009
2. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson
Textbook of Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.
p.1961-63
3. Madden S, Kelly L. Update on Acute Rheumatic Fever. Clinical Review.
Canadian Family Physician Journal. [data base on the internet] 2009. [cited
on November 4, 2012]. 55:475-8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2682299/pdf/0550475.pdf.
4. Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta : FKUI, 2002.
599-613
5. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 2008
6. Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. p. 613-27
7. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO Expert
Consultation. Geneva 29 October – 1 November 2001
8. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's
Principles of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book.
2005 : 1977-79
9. Uziel Y, Perl L, Hashkes PJ. Post-sreptococcal Reactive Arthritis in Children:
a Distinct Entity from Acute Rheumatic Fever. Pediatric Rheumatology
Journal [data base on the internet] 2011. [cited on November 4, 2012]. 9:32.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3217846/pdf/1546-0096-
932.pdf.

33

You might also like