You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Pneumonia adalah suatu infeksi atau inflamasi saluran napas
bagian bawah yaitu pada parenkim paru dan didapatkan konsolidasi ruang
alveolar yang disebabkan oleh bermacam penyebab seperti bakteri, virus,
dan jamur. Gejala yang timbul biasanya dengan adanya demam, batuk,
sesak/peningkatan frekuensi pernapasan, retraksi dinding dada, napas
cuping hidung dan terkadang dapat terjadi sianosis.7 Pneumonia sering
terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal
masa kanak-kanak serta secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit
primer atau komplikasi dari penyakit lain.7
Menurut WHO pneumonia dibagi menjadi dua berdasarkan atas
lokasi didapatnya pneumonia tersebut yaitu Community Acquired
Pneumonia (CAP) dan Hospitalized Acquired Pneumonia (HAP).8

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia.
Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh
pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Di
Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian
pada balita setelah diare. WHO (World Health Organization)
memperkirakan 16% kematian anak dibawah usia 5 tahun disebabkan oleh
pneumonia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa
kejadian pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami
peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1 % menjadi 2,7 % pada tahun
2013. Kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia tahun 2007 cukup
tinggi, yaitu sebesar 15,5%. Demikian juga hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi
pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun
2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.9
Prevalensi pneumonia pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan

1
rentang antar provinsi sebesar 0-13,2%. Sedangkan prevalensi pada anak
balita (1-4 tahun) adalah 1% dengan rentang antar provinsi sebesar 0,1% -
14,8%. Masing- masing pada bayi dan balita prevalensi tertinggi dijumpai
pada provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%) sedangkan provinsi
lainnya di bawah 10%.9

2.3 ETIOLOGI
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting
pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum
etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spectrum
mikroorganisme penyebab pada neonates dan bayi kecil berbeda dengan
anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonates dan bayi kecil
meliputi streptokokus grup B dan bakteri gram negative seperti E. colli,
pseudomonas sp, atau klebseilla sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak
balita pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumonia, Hemophillus influenza type B, Staphylococcus aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma Pneumoniae.1
Penyebabnya dari pneumonia adalah bakteri, virus, jamur, pajanan
bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak
langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa menyebabkan pneumonia
adalah Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang
menyebabkan pneumonia adalah adenovirus, rhinovirus, influenza virus,
respiratory syncytial virus (RSV) dan para influenza virus. 5,2
Pada negara berkembang pneumonia lebih sering disebabkan oleh
bakteri dibandingkan virus. Sedangkan pada negara maju, virus menjadi
penyebab tersering. Pola mikroorganisme penyebab pneumonia biasanya
berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Banyak faktor yang bisa
meningkatkan risiko pneumonia seperti penurunan imunitas karena
penyakit tertentu atau obat serta lama dirawat di rumah sakit.5,2

2
Tabel 2.1. Etiologi Pneumonia dikelompokkan berdasarkan Usia

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir-20 hari Bakteri : Bakteri :
E.Colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria Monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum

Virus :
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks
1 minggu – Bakteri : Bakteri :
3 bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Hamophillus influenza tipe
B
Virus : Moraxella catharallis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza 1,2,3
Respiratory Synctial virus
Virus :
Virus sitomegalo
4 bulan-5 tahun Bakteri : Bakteri :
Chlamydia trachomatis Hamophillus influenza tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharallis
Neisseria meningitidis
Virus : Staphylococcus aureus
Virus Adeno
Virus influenza Virus :
Virus parainfluenza Virus varisella zoster

3
Virus rino
Respiratory Synctial Virus
5 tahun-remaja Bakteri : Bakteri :
Chlamydia trachomatis Hamophillus influenza tipe
Mycoplasma pneumoniae B
Streptococcus pneumoniae Legionella sp
Staphylococcus aureus

Virus :
Virus adeno
Virus Epstein Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Synctial virus
Virus varisella zoster
Sumber : Setyanto,2009

2.4 KLASIFIKASI
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomis, etiologi,
epidemiologi dan derajat berat ringannya gejala klinis sebagai berikut :
10,2,15

a) Klasifikasi anatomis :
 Pneumonia lobaris
 Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
 Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)
b) Klasifikasi klinis dan epidemiologis :
 Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia
(CAP) CAP adalah infeksi pneumonia yang didapat karena
terjadinya penularan yang dimana patogen penyebabnya
biasanya masuk melalui inhalasi atau aspirasi ke segmen paru
atau lobus paru-paru

4
 Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia
(HAP) HAP adalah pneumonia yang muncul setelah penderita
dirawat lebih dari 48 jam di rumah sakit tanpa adanya
pemberian intubasi endotrakeal
 Pneumonia pada penderita dengan keadaan
immunocompromised Pneumonia pada penderita dengan
keadaan imun yang terganggu akan memperlihatkan gejala
klinis yang berat dengan riwayat infeksi bakteri berat 3 kali atau
lebih dalam 12 bulan terakhir.
c) Klasifikasi etiologi :
a. Pneumonia bakteri tipikal:
 Streptococcus pneumonia, bakteri gram positif, anaerob
fakultatif
 Staphylococcus aureus, bakteri gram positif, anaerob
fakultatif
 Enterococcus sp.
 Pseudomonas aeruginosa, bakteri gram negatif, anaerob
yang memiliki bau yang sangat khas
 Klebsiella pneumonia, bakteri gram negatif, anaerob
fakultatif
 Haemophilus influenza, bakteri gram negatif anaerob
b. Pneumonia bakteri atipikal:
 Mycoplasma sp.
 Chlamedia sp.
 Legionella sp.
c. Pneumonia virus, seperti:
 Cytomegalovirus
 Virus Herpes Simplex
 Virus Varcella-Zoster
d. Pneumonia jamur
 Candida sp.

5
 Aspergillus sp.
 Cryptococcus neoformans
d) Klasifikasi derajat berat ringannya klinis :
Berdasarkan derajat beratnya klinis menurut WHO
sebelumnya, pneumonia dikelompokkan menjadi :

a. Bukan pneumonia
b. Pneumonia
- Batuk
- Dyspneu
- Tachypneu
Auskultas : ronki (+), suara napas menurun, suara napas
bronkial
c. Pneumonia berat
Batuk/sesak napas disertai salah satu di bawah ini :
- Retraksi dinding dada
- Napas cuping hidung
- Grunting (merintih)
Auskultasi : ronki (+), suara napas menurun, suara napas
bronkial

d. Pneumonia sangat berat


Batuk/sesak napas disertai salah satu di bawah ini :
- Sianosis sentral
- Tidak bisa minum
- Muntah
- Kejang, letargi, kesadaran menurun
- Anggukan kepala (head nodding)
Auskultasi: ronki, suara napas menurun, suara napas
bronkial
Tahun 2014 WHO mengeluarkan revisi dalam panduan untuk
mengklasifikasikan dan menangani pneumonia pada anak-
anak. Klasifikasi yang baru meliputi:6

6
a. Bukan pneumonia
b. Pneumonia
- Napas cepat:
• Usia < 2 bulan : ≥60 x/menit
• Usia 2 – 12 bulan : ≥50 x/menit
• Usia 1 – 5 tahun : ≥40 x/menit
• Usia 5 – 8 tahun : ≥30 x/menit
- Retraksi dinding dada
- Napas cuping hidung
- Merintih
Auskultasi: : ronki (+), suara napas menurun, suara
napas bronkial
c. Pneumonia berat/sangat berat
Batuk/sesak napas disertai salah satu di bawah ini :
- Sianosis sentral
- Tidak bisa minum
- Muntah
- Kejang, letargi, kesadaran menurun
- Anggukan kepala (head nodding)
Auskultasi : ronki (+), suara napas menurun, suara
napas bronkial
2.2. PATOGENESIS
Pneumonia dapat terjadi akibat pengaruh dari 3 faktor antara lain :
host, mikroorganisme yang menyerang (agent), dan interaksi lingkungan
(environment). Berbagai macam cara penularan pneumonia antara lain :
melalui droplet dapat disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,
sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator disebabkan oleh
Enterobacter sp dan P. aeruginosa.5,8
Pada kondisi sehat atau imunitas host baik maka tidak terjadi
pertumbuhan mikroorganisme (agent) di paru karena adanya mekanisme
pertahanan paru yang berfungsi dengan baik. Penyakit muncul ketika
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh (host), mikroorganisme

7
(agent) dan lingkungan (environment). Ketika mekanisme pertahanan paru
tidak menjalankan fungsi dengan baik maka agent dapat menuju alveoli
melalui saluran pernapasan sehingga mengakibatkan inflamasi pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.9
Adapun perjalanan penyakit pneumonia terbagi dalam beberapa
tahap, sebagai berikut :5,8

a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ Kongestif)


Stadium ini disebut juga hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut antara lain histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskular paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus dilalui oleh oksigen dan karbondioksida,
yang akan mengakibatkan gangguan proses pertukaran gas sehingga
terjadi penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)


Stadium ini disebut juga dengan hepatisasi merah. Hal ini terjadi
sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh host sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan terasa
seperti hepar. Pada stadium ini udara di dalam alveoli sangat minimal
hingga tidak ada sehingga penderita akan terlihat sesak. Stadium ini
berlangsung singkat, yaitu selama 48 jam.

8
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Stadium selanjutnya disebut juga hepatisasi kelabu. Hal ini
dikarenakan sel- sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
mulai direabsorbsi, lobus masih tetap padat karena adanya fibrin dan
leukosit, warna merah berubah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Pada stadium ini terjadi penurunan respon imun dan peradangan
sehingga dinamakan sebagai stadium resolusi. Sisa-sisa sel fibrin dan
eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
struktur semula.

2.5 DIAGNOSIS
Pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis pneumonia
antara lain dari gejala klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
a. Anamnesis
Gejala pneumonia virus dan bakteri kadang tidak terlalu berbeda.
Pada anak berusia dibawah 5 tahun, gejala ditemukan biasanya batuk
berdahak sputum kehijauan atau kuning bisa disertai kesulitan bernapas,
dengan atau tanpa demam, pneumonia biasanya didiagnosis dari adanya
napas cepat atau retraksi saat inhalasi. Suara wheezing dan demam
tinggi lebih sering ditemukan pada pneumonia virus. Dalam keadaan
yang lebih berat, penderita biasanya tidak bisa makan dan minum, tidak
sadar, hipotermia, dan kejang.1
Gejala klinis dari derajat berat pneumonia dapat dibagi menjadi
dua, gejala ringan dan sedang berat. Gejala ringan meliputi demam
<38,5oC, penurunan pernapasan yang ringan, nafsu makan normal, tidak
muntah, saturasi oksigen ≥95%. Gejala sedang berat yaitu demam

9
≥38,5oC, takipneu, takikardi, kesulitan bernapas, menurunnya nafsu
makan atau kehilangan nafsu makan, muntah, tanda dehidrasi, saturasi
oksigen <95%.2
b. Pemeriksaan fisis

Temuan pada pemeriksaan fisis dapat menentukan derajat berat


pneumonia. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam, takipnea,
retraksi (subcostal, intercostal, suprasternal), napas cuping hidung,
head nodding, sianosis, deviasi trakea, tanda-tanda terdapatnya
konsolidasi seperti: ekspansi dada yang berkurang; peningkatan vokal
fremitus, suara redup yang terlokalisir pada perkusi; suara napas yang
melemah, bronkial atau bronkovesikuler, rhonki, wheezing dapat
terdengar pada auskultasi.3,4,5
c. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikir
meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000 - 40.000/mm 3 dengan
predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukan
prognosis yang buruk. Pemeriksaan darah lengkap pada pneumonia
umumnya didapatkan dengan leukositosis dengan neutrofil yang
mendominasi pada hitung jenis. Leukosit >30.000 dengan dominasi
neutrofil mengarah ke bakteri hampir selalu mengarah ke infeksi
bakteri, sering ditemukan bacteremia, dan risiko terjadinya
komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamidia Pneumoniae
kadang-kadang ditemukan eusinofilia. Efusi pleura merupakan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein
>2,5 g/dl, dan glukosa relative lebih rendah dari pada glukosa
darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan Laju Endap
Darah (LED) yang meningkat. Trombositosis >500.000 khas pada
pneumonia bakterial. Infeksi yang disebabkan oleh virus biasanya
menyebabkan trombositopenia. Kultur darah merupakan cara yang

10
spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus.5
 C-Reactive Protein (CRP)
C-reactive Protein adalah suatu fase akut yang disintesis oleh sel
hepatosit. Sebagai respons atau inflamasi jarinan, produksi CRP
secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6,
IL-1, dan Tumor Necroting Faktor (TNF). Secara klinis digunakan
untuk alat diagnostik unutk membedakan antara faktor infeksi dan
noninfeksi, infeksi bakteri. Kadar CRP biasanya lebih rendah
pada infeksi virus dibantingkan infeksi bakteri. CRP kadang juga
digunakan untuk evaluasi respond terapi antibiotik.
 Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto thoraks AP/lateral bertujuan untuk
menentukan lokasi anatomi dalam paru. Gambaran patchy infiltrate
dan terdapat gambaran air bronchogram merupakan gambaran
pada foto thoraks penderita pneumonia. Peningkatan corakan
bronkovaskular,peribronkial cuffing dan hiperaerasi. gambaran foto
rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrate ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kegua paru.5
 Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan melalui usapan
spesimen tenggorokan, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi trakea,
pungsi pleura, darah, aspirasi paru dan bilasan bronkus.
Pemeriksaan ini sulit dilakukan dari segi teknis maupun biaya.5
Pemeriksaan mikroniologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


a. Asma bronkiale
Pada umumnya asma terjadi pada usia lebih dari 9-12 bulan,
namun mayoritas pada usia lebih dari 2 tahun. Pada penderita asma
biasanya ditemukan riwayat asma pada keluarga, serangan yang terjadi

11
berulang atau episodik, ekspirasi memanjang, ronki lebih terbatas,
pulmonary inflation lebih ringan, pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan eosinophilia, bereaksi terhadap bronkodilator serta
epineprin.5,6
b. Bronkiolitis akut
Pada bronkiolitis akut, inflamasi terjadi di bronkiolus, sering
terjadi pada usia < 2 tahun, gejala khas berupa napas cepat, wheezing
dan retraksi dada, ditandai dengan respiratory distress dan
overdistensi pada paru. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan
hiperinflasi paru, intercostal space melebar, penekanan diafragma
dan sudut kostofrenikus menyempit. Diameter anteroposterior
meningkat pada foto lateral.3,7
c. Bronkitis akut
Bronkitis akut merupakan inflamasi pada bronkus, gejala obstruksi
dan gangguan pertukaran tidak nyata atau ringan, terdapat ronki basah
dan kasar, serta dapat berkembang menjadi bronkiolitis.1,5,6

2.7 PENATALAKSANAAN
1. Oksigen
Terapi oksigen diberikan apabila terdapat tanda-tanda hipoksemia;
gelisah, sianosis dan lain-lain. Pada usia < 2 tahun biasanya diberikan
2 liter/menit sedangkan pada usia > 2 tahun dapat diberikan oksigen
hingga 4 liter/ menit.9,8
2. Cairan dan makanan bergizi
- Cairan : komposisi paling sederhana adalah Dextrose 5%,
komposisi lain tergantung kebutuhan, jumlah 60-70% kebutuhan
total, beberapa sumber menyatakan dapat diberikan sesuai
kebutuhan maintenance.
- Makanan : bila tidak dapat peroral, dapat dipertimbangkan
pemberian intravena seperti asam amino dan emulsi lemak.
3. Antibiotika / Antiviral
Berdasarkan panduan WHO 2014, pemberian antibiotika pada anak
yang menderita pneumonia, sebagai berikut :7
12
- Rekomendasi 1
Anak-anak dengan pernapasan cepat tanpa adanya retraksi
dinding dada atau tanda bahaya umum harus diberikan
amoksisilin: setidaknya 40mg/kg/dosis dua kali sehari (80mg /
kg / hari) selama lima hari. Di daerah dengan prevalensi HIV
yang rendah, amoksisilin diberikan selama tiga hari. Anak-anak
dengan pernapasan cepat yang gagal dengan pengobatan lini
pertama dengan amoksisilin harus memiliki pilihan untuk
rujukan ke fasilitas untuk mendapatkan pengobatan lini kedua.
- Rekomendasi 2
Anak usia 2-59 bulan dengan adanya retraksi dinding dada
harus diberikan amoxicillin 40mg/ kg/dosis dua kali sehari
selama lima hari.
- Rekomendasi 3
Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan retraksi dada atau
pneumonia berat harus diberikan ampisilin parenteral (atau
penisilin) dan gentamisin sebagai pengobatan lini pertama.
- Ampisilin: 50 mg / kg, atau benzil penisilin: 50 000 unit per
kg IM/ / IV setiap 6 jam selama lima hari
- Gentamisin: 7,5 mg / kg IM / IV sekali sehari selama lima
hari
Ceftriaxone digunakan sebagai pengobatan lini kedua pada anak
dengan pneumonia berat setelah gagal pada pengobatan lini
pertama.
- Rekomendasi 4
Ampisilin (atau penisilin apabila ampisilin tidak tersedia)
ditambah gentamisin atau ceftriaxone direkomendasikan
sebagai lini pertama antibiotik untuk bayi yang terinfeksi HIV
dan untuk anak di bawah usia 5 tahun dengan pneumonia berat.
Untuk bayi yang terinfeksi HIV dan untuk anak-anak dengan
pneumonia berat yang tidak merespon pengobatan dengan
ampisilin atau penisilin ditambah gentamisin, ceftriaxone
dianjurkan untuk digunakan sebagai pengobatan lini kedua
13
- Rekomendasi 5
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumonia
jirovecii (sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP)
direkomendasikan sebagai pengobatan tambahan untuk bayi
yang terinfeksi HIV dan berusia 2 bulan hingga 1 tahun dengan
retraksi dada atau pneumonia berat.
Pengobatan kotrimoksazol secara empiris untuk Pneumonia
jirovecii pneumonia (PCP) tidak rekomendasikan untuk anak-
anak yang terinfeksi HIV dan usia lebih 1 tahun dengan
pneumonia berat.
4. Simptomatis
- Suction melalui nasal atau tenggorokan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan secret
- Antipiretik (Parasetamol 10mg/kgBB/kali) bila didapat demam
- Bila terdapat wheezing (mengi) berikan nebulasi β 2 agonis
(Salbutamol) 0,1 mg/kgBB/hari tiap 6 jam.
- D5 ¼ NS Sebagai rumatan, akan tetapiutamakan rehidrasi oral
dan ASI.
2.8 KOMPLIKASI
1. Gagal napas dan sirkulasi
Penderita pneumonia sering kesulitan bernapas sehingga tidak
mungkin bagi mereka untuk tetap cukup bernapas tanpa bantuan agar
tetap hidup. Bantuan pernapasan non-invasif yang dapat membantu
seperti mesin untuk jalan napas dengan bilevel tekanan positif,dalam
kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau perlu dan ventilator
dapat digunakan untuk membantu pernapasan. Pneumonia dapat
menyebabkan gagal napas dengan pencetus Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS). Hasil dari gabungan infeksi dan respon
inflamasi dalam paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat
kental, kekentalan ini menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan
penyaringan udara untuk cairan alveoli.13,8
2. Syok sepsis dan septik
Kondisi ini merupakan komplikasi potensial dari pneumonia. Sepsis
terjadi karena mikroorganisme masuk ke aliran darah sistemik dan
14
adanya respon sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis seringkali
terjadi pada pneumonia karena bakteri, dimana Streptoccocus
pneumonia merupakan salah satu penyebabnya. Individu dengan sepsis
atau syok septik membutuhkan unit perawatan intensif di rumah
sakit.5,9,13

3. Efusi pleura, Empyema dan abses


Infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan
bertambahnya cairan dalam ruang yang mengelilingi paru (rongga
pleura). Jika mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura,
kumpulan cairan ini disebut empyema. Bila cairan pleura ada pada
orang dengan pneumonia,cairan ini sering diambil dengan jarum
(toracocentesis) dan diperiksa,tergantung dari hasil pemeriksaan ini.
Perlu pengaliran lengkap dari cairan ini,sering memerlukan selang
pada dada. Pada kasus empyema berat perlu tindakan pembedahan.
Sedangkan abses pada paru biasanya dapat dilihat dengan foto thorax
dengan sinar x atau CT scan.9,13

2.9 PROGNOSIS
Dengan terapi adekuat, mortalitas pneumonia diperkirakan dapat
mencapai kurang dari 1%. Hal tersebut bergantung kepada umur anak,
beratnya penyakit dan penyulit yang menyertai seperti, adanya apnea
yang berkepanjangan, asidosis respiratorik berat yang tidak
terkompensasi, dehidrasi berat dan penyakit penyerta lain seperti kelainan
kongenital, cystic fibrosis dan penyakit jantung bawaan.13

2.10 PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :13
- Perbaikan sosial ekonomi: perumahan, sanitasi, nutrisi, higienitas.
- Imunisasi: terhadap infeksi lain, kadang menurunkan pula
pneumonia.
- Bila ada faktor predisposisi: pengobatan dini dan adekuat, bila
mungkin menjauhkan infeksi.

15
Vaksin khusus: pneumococcus dengan vaksin 23-valent
pneumococcal, Haemophillus Influenza dengan Vaksin konjugat H.
Influenza memiliki jadwal yang rutin diberikan pada anak-anak, atau
dengan rifampin prophylaxis untuk yang beresiko tinggi

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Roux, David M., Heather J. Zar. Community-acquired pneumonia in


children- a changing spectrum disease. Pediatric radiol. Volume 47(11).
Halaman 1392-1398. 2017.
2. World Health Organization. Revised WHO Classification and Treatment of
Childhood Pneumonia at Health Facilities. World Health Organization.
Switzerland. 2016.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Kemenkes RI. 2007. h. 10-15.
4. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI. 2016.
5. Mackenzie, G. The definition and classification of pneumonia.
Pneumonia, 2016; 8, 14.
6. Gaston B. Pneumonia. Pediatr Rev. 2010;23:132–40.
7. Setyanto, D.B., Suardi, A.U, Setiawati, L., Triasih, R., Yani, F.F.
Pneumonia. Dalam: Pudjiadi, A.H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N.S.,
Gandapaura, E.P., Harmoniati, E.D., penyunting. Pedoman Pelayanan
Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: BP IDAI. 2010; pp.250-5.
8. Mandell GL, Douglas RG, Bennett JE, Dolin R. Mandell, Douglas, and
Bennett’s principles of practice of infectious diseases. 5th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone, 2008; pp.2416–7.
9. Bridges CB, Fukuda K, Uyeki TM, Cox NJ.. Singleton JA; Centers for
Disease Control and Prevention, Advisory Committee on Immunization
Practices.Prevention and control of influenza. Recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR
Recomm Rep. 2010; pp.51:1–31.
10. Guyton A.C, Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.
Jakarta: ECG.
11. Pneumonia.October.2011.http://www.thoracic.org/education/breathing-in-
america/ resources/chapter-15-pneumonia.pdf. Accessed : 20th october
2017.
12. Pneumonia among Children in Developing Countries. CDC. 13 October
2005.CDC.http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/pneumchilddevc
ount_t htm. Accessed: 20th October 2017.
13. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Karen J. Moredante, Hal B.
Jenson. Pneumonia. Dalam: Nelson Essentials of pediatrics. Edisi 5.
Philadelphia: Elsevier Inc; 2012. h. 503-509.
14. Said, M. Pneumonia. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI 2008. h. 350-364.

17
15. Wojsyk I, Banaszak, Breborowicz A. Pneumonia in Children. 2013 : 137-
138.
16. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
2010. Hal : 333-347.

18

You might also like