You are on page 1of 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan

1. Landasan Teoritis Perforasi Gaster

a. Definisi

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi

yang komplek dari lambung, usus halus, usus besar, akibat dari

bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.Perforasi dari usus

mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi

bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah

peritonitis) (Mansjoer, 2010).

Tukak gaster/perforasi gaster adalah luka pada lapisan

perut. Tukak gaster dapat diobati Sebagian kecil dari tukak ini

mungkin menjadi kanker (McCoy, 2010). Tukak gaster merupakan

luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar

tukak ditutupi debris (Tarigan, 2011).

b. Etiologi

I. Perforasi non-trauma, misalnya :

a. Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia

b. Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan

stress ulcer.

c. Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid :

terutama pada pasien usia lanjut.


d. Adanya faktor predisposisi : termasuk ulkus peptic

e. Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma

f. Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan

perforasi esofagus, gaster, atau usus dengan infeksi

intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.

II. Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya :

a. trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik

saat endoskopi.

b. Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen

(misalnya tusukan pisau)

c. Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih

umum pada anak daripada dewasa dan termasuk trauma

yang berhubungan dengan pemasangan alat, cedera

gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk pengaman.

c. Manifestasi Klinis

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut.

Penderita yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat,

seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama

dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh

asam lambung, empedu dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung

akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut

kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan

nyeri seluruh perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi


bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia.Adanya nyeri di

bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan

bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam

yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara

sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.

Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan

defans muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas

di bawah diafragma.Peristaltis usus menurun sampai menghilang

akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis

bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,

hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik.

Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap

gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan

peritoneum.Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak,

seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan

mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti

pada saat palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan

tes obturator.

d. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri

dan mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang

tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal


memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko

kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster.Namun, mereka yang

sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap

kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster.Kebocoran cairan

asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis

kimia yang dalam.Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel

makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap

menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk

beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis

bakterial kemudian.

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks

sel-sel inflamasi akut.Omentum dan organ dalam cenderung untuk

melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya

terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di

area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan

pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada

peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel,

hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya

lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses abdomen.

Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi

organ, dan syok dapat terjadi.


e. Pemeriksaan Penunjang

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat

dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi

dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan

kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas,

sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan

metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit

sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.

1. Radiologi

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut

abdomen.Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara,

cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri.Udara

bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem

gastrointestinal.Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral

duodenum, dan usus besar.Pada kasus perforasi usus kecil, yang

dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang

sangat kecil dilepaskan.Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20

menit setelah perforasi.

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat

penting, karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi

bedah.Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah

dalam memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah

pasien perlu dioperasi.Deteksi pneumoperitoneum minimal pada


pasien dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah

tugas diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan

abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan

teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam

melakukannya, ia menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam

posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi

dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat

penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit

sebelum pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas

dapat mencapai titik tertinggi di abdomen.Banyak peneliti

menunjukkan kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80%

kasus. Udara bebas tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus

lateral kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi

dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine

menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus.Sekitar 50%

pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya

adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal.Di sini dapat terlihat

gambaran oval kecil atau linear.Gambaran udara bentuk segitiga kecil

juga dapat tampak di antara lekukan usus.Meskipun, paling sering

terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di

bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan


adanya udara bebas di atas kumpulan cairan di bagian tengah

abdomen.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi

akut abdomen.Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas

dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak

homogen karena terdapat kandungan lambung.Pemeriksaan ini

khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil

menggunakan teknik kandung kemih penuh.Kebanyakan,

ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

3. CT scan

CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk

mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti

gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif.Oleh

karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi

gaster.Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya

agar dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya

tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif.Jendela untuk

parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini.

Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara

pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat

melihat gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil


posisi decubitus kiri.CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi

kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal.Walaupun

sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan

dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.

Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara

bebas tidak terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan

substansi kontras nonionik untuk membuktikan keraguan kita.Salah

satu caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa

nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan

memberikan kontras yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5

menit sebelum scanning, yang membantu untuk menunjukkan kontras

tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat diberikan pada

keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan pembentukkan

granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis menyatakan

bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.

f. Penatalaksanaan

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki

keadaan umumnya sebelum operasi.Pemberian cairan dan koreksi

elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak

diberikan.Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada,

kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik

langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.


Tujuan dari terapi bedah adalah :

1. Koreksi masalah anatomi yang mendasari

2. Koreksi penyebab peritonitis

3. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat

menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri

(seperti darah, makanan, sekresi lambung)

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan.

Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit

primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik,

penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan

memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan

untuk mencegah kekambuhan.

g. Komplikasi

1. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan

bakteri pada gaster

2. Kegagalan luka operasi

a. Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap

lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat

b. Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka

operasi :

1) Malnutrisi

2) Sepsis
3) Uremia

4) Diabetes mellitus

5) Terapi kortikosteroid

6) Obesitas

7) Batuk yang berat

8) Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)

3. Abses abdominal terlokalisasi

4. Kegagalan multiorgan dan syok septik

a. Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang

menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam,

hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan endotoksemia),

leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi,

dan kolaps sirkuler.

b. Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :

1) Hilangnya tonus vasomotor

2) Peningkatan permeabilitas kapiler

3) Depresi myocardial

4) Pemakaian leukosit dan trombosit

5) Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin,

serotonin, dan prostaglandin, menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler

6) Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler


c. Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih

buruk dari gram-positif, mungkin karena hubungan dengan

endotoksemia.

5. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH

6. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan

dengan kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan

dengan defek proteksi oleh mukosa gaster

7. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperative

8. Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan

predisposisi delirium postoperatif:

i. Usia lanjut

ii. Ketergantungan obat

iii. Demensia

iv. Abnormalitan metabolic

v. Infeksi

vi. Riwayat delirium sebelumnya

vii. Hipoksia

viii. Hipotensi Intraoperatif/postoperatif

2. Landasan Teoritis Mobilisasi

a. Definsi

Mobilisasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan setelah operasi

dimulai dari latihan ringan diatas tempat tidur sampai dengan

bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan


berjalan ke luar kamar (Brunner & Suddarth, 2002).Carpenito

(2000) menjelaskan bahwa mobilisasi merupakan faktor utama dalam

mempercepat pemulihan dan pencegahan terjadinya komplikasi

pasca bedah, mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari

lama rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama

seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot

diseluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan pernafasan,

dan gangguan peristaltik maupun berkemih. Kedua definisi tersebut

dapat disimpulkan bahwa mobilisasi adalah suatu upaya

mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara

membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.

Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang

diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari

yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun

kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010).

Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara

bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan

aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009).


b. Tujuan

Beberapa tujuan dari mobilisasi menurut Susan J.Garrison (2004),

antara lain:

1. Mempertahankan fungsi tubuh

2. Memperlancar peredaran darah

3. Membantu pernafasan menjadi lebih baik

4. Mempertahankan tonus otot

5. Memperlancar eliminasi alvi dan urine

6. Mempercepat proses penutupan jahitan operasi

7. Mengembalikan aktivitas tertentu, sehingga pasien dapat

kembali normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.

c. Indikasi

Indikasi di perbolehkan untuk latihan rentang gerak menurut

Potter,P (2006).

1. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran

Salah satu efek yang ditimbulkan pada anestesi umum

adalah efek anesthesia yaitu analgesia yang di sertai hilangnya

kesadaran (Zunlida dalam Sulistia, 2007).


2. Kelemahan otot

Menurut Zunlida dalam Sulistia (2007) salah satu efek

dari trias anesthesia adalah efek relaksasi otot.

3. Fase rehabilitasi fisik

Beberapa fisioterapis menempatkan latihan pasif sebagai

preliminary exercise bagi pasien yang dalam fase rehabilitasi

fisik sebelum pemberian terapi latihan yang bersifat motor

relearning (Irfan, 2012).

4. Klien dengan tirah baring lama

Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat

bermanfaat dalam menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan

sendi pada pasien dengan tirah baring lama. Jenis latihan

mobilisasi dapat di berikan sedini mungkin untuk menghindari

adanya komlplikasi akibat kurang gerak, seperti kontraktur,

kekakuan sendi, dan lain-lain (Irfan, 2012).

d. Kontraindikasi

Kontra indikasi untuk latihan rentang gerak menurut Potter &

Perry (2006).

1. Trombus/emboli pada pembuluh darah

2. Kelainan sendi atau tulang


3. Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)

4. Trauma medulla spinalis atau trauma system saraf pusat

i. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status

perkawinan, alamat, nama penaggung jawab, hubungan klien

dengan penanggung jawab.

2. Primary Survey

a. Airway

Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat atau cair)

setelah dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi dan

jalan nafas paten atau tidak, penggunaan OPA dan ETT.

b. Breathing

Amati pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu

pernafasan, perubahan pernafasan (rata-rata, kedalaman, pola),

terpasang ventilator dengan mode control volume atau pressure

volume, auskultasi suara nafas tambahan.

c. Circulation

Perubahan frekuensi jantung: takikardi yang disertai bradikardi,

takikardi, distritmia. Tekanan pada pusat vasomotor akan

meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung


yang menyebabkan nadi lambat. Amati perubahan trekanan

darah, suhu, akral dan capillary refill time (CRT). Inspeksi

membran mukosa: warna dan kelembaban, turgor kulit.

d. Disability

Kaji penurunan tingkat kesadaran, tanda-tanda respon mata dan

adanya nyeri.

e. Exposure

Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya pendarahan, jumlah

dan warna cairan drainage.

3. Secondary Survey

a. Riwayat Kesehatan

i. Alasan Masuk

Alasan klien masuk RS dan ICU.

ii. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya terdapat nyeri post operasi dan nyeri tekan pada

abdomen, penurunan bising usus, distensi pada abdomen,

perubahan status hemodinamik dan terdapat luka balutan operasi.

iii. Riwayat Kesehatan Dahulu

Riwayat operasi pada abdomen, riwayat penyakit

gasstrointestinal, riwayat konsumsi NSAID dan merokok serta

riwayat penyakit lain yang pernah diderita.

iv. Riwayat Kesehatan Keluarga


Penyakit yang pernah diderita keluarga yang mungkin ada

hubungan dengan penyakit klien sekarang seperti penyakit

gastrointestinal, riwayat penyakit turunan maupun penyakit

kronis.

e. Pemeriksaan Fisik Head to Toe

i. Kepala : Tidak terdapat kelainan

ii. Mata: Simetris, ukuran pupil normal, reflek cahaya positif,

konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

iii. Hidung: sinus, polip, sekresi dan darah tidak ada, cavum nasi

simetris.

iv. Telinga: simetris, tidak ada lesi, cairan dan darah.

v. Mulut: Kelembapan dan warna mukosa, caris ada atau tidak, gigi

berlubang, kelengkapan gigim stomatitis dan kebersihan lidah.

vi. Leher: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan getah bening.

vii. Thoraks

Paru: pergerakan dinding dada simetris, penggunaan otot bantu

pernafasan, suara nafas ronki.

Jantung: batas normal, S1 dan S2 regular, gallop dan murmur

tidak ada, bunyi jantung teratur.

viii. Abdomen

Inspeksi terdapat balutan luka operasi dan slang drainage, tidak

ada asitesm palpasi hati teraba 2 jari dibawah iga, dan limpa tidak

membesar, perkusi bunyi redup, penurunan bisisng usus.


Peristaltik usus dan distensi abdominal adalah pengkajian yang

harus dilakukan pada gastrointestinal.

ix. Ekstremitas

Inspeksi adanya udem, kekakukan dan kekuatan otot.

x. Integumen

Amati turgor kulit, adanya lesi dan kelembaban.

b. Diagnosa Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan

volume cairan aktif

2. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasif

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan luka insisi

4. Risiko perfusi jaringan gastrointestinal tidak efektif berhubungan

dengan pendarahan akut gastrointestinal.

f. Rencana Asuhan Keperawatan

Tabel Diagnosa Keperawatan (NANDA) dan Perencanaan

(NOC,NIC) Teoritis.

Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi


(NANDA) Keperawatan (NIC)
Kekurangan volume 1. Keseimbangan 1. Manajemen
cairan berhubungan cairan Cairan
dengan kehilangan cairan Indikator: Aktivitas:
aktif a. TD dbn a. Monitor status
b. Tekanan arteri hidrasi
Definisi: Keadaan rata-rata DBN b. Monitor status
Individu yang mengalami c. Tekanan vena hemodinamik
penurunan cairan sentral DBN c. Monitor TTV
intravaskuler, interstisial, d. Palpasi nadi d. Monitor respon
dan atau intrasel. perifer normal pasien untuk
e. Hipotensi meresepkan
Batasan Karakteristik: Ortostatik (-) terapi elektrolit
a. Perubahan status f. Keseimbangan e. Kaji
mental intake & output ketersediaan
b. Kelemahan g. Kestabilan berat produk darah
c. Penurunan turgor badan untuk transfusi
kulit h. Mata cekung (-) f. Persiapkan
d. Penurunan turgor i. Hidrasi kulit untuk
lidah normal administrasi
e. Kulit/membran j. Kelembaban produk darah
mukosa kering mukosa kulit g. Berikan terapi
f. Frekuensi nadi normal IV
meningkat k. Elektrolit serum Berikan cairan
g. Penurunan DBN h. Berikan
Tekanan Darah l. Hematokrit DBN diuretic
h. Penurunan i. Nasogastrik
Volume Nadi 2. Hidrasi untuk
i. Penurunan tekanan Indikator: mengganti
nadi a. Turgor kulit kehilangan
j. Penurunan baik cairan
pengisian vena b. Kelembaban 2. Manajemen
k. Penurunan haluan membran Cairan dan
urin mukosa normal. Elektrolit
l. Konsentrasi urin c. Asupan cairan a. Pantau tingkat
meningkat normal serum lektrolit
m. Suhu tubuh d. Output uurin b. Pantau albumin
meningkat normal serum dan kadar
n. Hematokrit e. Mata cekung (-) total protein
meningkat f. Penurunan c. Pantau
o. Penurunan berat tekanan darah (- ketidakseimbang
badan tiba-tiba ) an asam-basa
g. Denyut nadi d. Kenali dan
cepat (-) laporkan adanya
h. Peningkatan ketidakseimbang
Suhu Tubuh (-) an elektrolit
e. Pantau
kehilangan cairan
dan elektrolit
f. Pantau
kecukupan
ventilasi
g. Pantau EKG
untuk perubahan
yang
berhubungan
dengan kalium
abnormal,
kalsium dan
magnesium
h. Identifikasi
pengobatan yang
dapat mengubah
status elektrolit.

Penurunan Curah 1. Keefektifan 1. Perawatan


Jantung Pompa Jantung jantung
a. tekanan sistol dan 1) Lakukan
diastol tidak jauh pengkajian
berdeviasi dari komprehensif
nilai normal terhadap perfusi
b. urin output dalam perifer (seperti
batas normal nadi, edema, CRT,
c. intake output 24 warna dan suhu
jam seimbang ekstremitas)
d. tidak ada 2) Monitor tanda-
disritmia tanda vital
e. tidak ada bunyi 3) Monitor status
jantung abnormal kardiologi
f. tidak ada pucat 4) Monitor adanya
atau sianosis disritmia dari segi
ritme dan
konduksi jantung
5) Monitor tanda dan
gejala penurunan
curah jantung
6) Dokumentasikan
adanya disritmia
7) Monitor
keseimbangan
cairan
8) Monitor hasil
labor seperti
elektrolit dan
enzim jantung
9) Monitor adanya
fluktuasi tekanan
darah
10) Monitor respons
pasien setelah
disritmia
11) Berikan terapi
untuk disritmia
sesuai aturan
12) Monitor respon
pasien terhadap
pengobatan
aritmia
Ketidakefektifan Status pernapasan: 1. Manajemen Jalan
Bersihan Jalan Nafas kepatenan jalan Napas
napas Aktivitas :
Indikator : 1) Buka jalan
1. Frekuensi napas napas
normal menggunakan
2. Irama napas teknik angkat
normal dagu atau
3. Suara napas dorong rahang,
normal yang sesuai
4. Akumulasi 2) Posisikan
sputum pasien untuk
berkurang memaksimalka
n potensi
Status Pernapasan : ventilasi
Pertukaran gas 3) Masukkan
Indikator OPA/NPA,
1. PaO2 normal sesuai
2. PaCO2 normal 4) Lakukan
3. PH arteri fisioterapi dada,
normal sesuai
4. Saturasi 5) Hilangkan
oksigen sesuai sekresi melalui
5. Sianosis tidak peningkatan
ada batuk atau
suction
6) Auskultasi
suara napas,
mencatat area
yang
mengalami
penurunan atau
tidak ada
ventilasi dan
adanya suara
adventif
7) Melakukan
pengisapan
endotrakheal
atau
nasotrakheal,
yang sesuai
8) Memberikan
perawatan
aerosol, yang
sesuai
9) Memberikan
perawatan
nebulizer, yang
sesuai
10) Berikan udara
humidifier atau
oksigen, yang
sesuai
11) Monitor status
pernapasan dan
oksigenasi
pasien, yang
sesuai

2. Suction Jalan
Napas
Aktivitas:
1) Tentukan
kebutuhan
pengisapan mulut
dan / atau trakea
2) Auskultasi suara
nafas sebelum dan
sesudah suction
3) Gunakan alat
kewaspadaan
universal : sarung
tangan, kacamata ,
dan masker , yang
sesuai
4) Gunakan peralatan
steril sekali pakai
untuk setiap
prosedur hisap
trakea
5) Pantau status
oksigen pasien
(tingkat SaO2 dan
PaO2 ) dan status
hemodinamik (
tingkat MAP dan
irama jantung )
segera sebelum
selama ,dan
setelah
penyedotan
6) Hentikan
pengisapan trakea
dan beri oksigen
tambahan jika
pasien mengalami
bradikardia,
peningkatan
ventrikel ektopi ,
dan / atau
desaturasi
7) Catat jenis dan
jumlah sekresi
yang diperoleh

You might also like