You are on page 1of 31

REFREAT

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah
RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

Disusun Oleh:
Diary Arina Qonita
1210221137

Pembimbing:
Letkol CKM dr. Ahmad Rusli Budi, Sp. B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Diary Arina Qonita


NIM : 1210221137
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Bedah
Judul : BPH

Magelang, September 2017


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah RST dr.Soedjono Tingkat II Magelang

Pembimbing

Letkol CKM dr. Ahmad Rusli Budi, Sp. B

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Benign
Prostatic Hiperplasia”. Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan mengenai Luka Bakar Listrik dan merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing, Letkol CKM dr. Ahmad Rusli Budi, Sp. B yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan
kasus ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan
kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang
akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua.

Magelang, September 2017

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering


mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pada tahap usia tertentu banyak
pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan buang air kecil. Gejala
ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna


pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas usia
50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang.
Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah
dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian
bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian
bermanifestasi dengan gejala klinik.

Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi


saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif hingga tindakan
operasi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

I. KELENJAR PROSTAT
I. I Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak
disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat
berbentuk seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami
pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar
aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan
lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.

Gambar 1. Alat Reproduksi Pria

Pada bagian anterior digantung oleh ligamentum pubo-prostatika yang


melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia denonvilliers
berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup keras dan biasanya
dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai suatu stadium lanjut.
Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus ejakulatorius yang berjalan
secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar uretra prostatika persis
dibagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat

5
pada bladder outlet dan spingter interna sedangkan dibagian inferiornya terdapat
diafragama urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal
membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita
lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih tipis.

Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior, posterior,
medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal, prostat dibagi
atas 4 bagian utama:

1. Zona anterior atau ventral, terdiri atas lapisan fibromuskular dan


nonglandular. Ini merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat.
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang
glandular, membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ
ini. Secara skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu
corong yang bagian distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian
atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona sentral yang
berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada
uretra pars prostatika bagian distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang
glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji
sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum
dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara
pada uretra prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini
membentuk suatu corong yang berisikan segmen uretra proximal
dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan
dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang
terkecil (5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik
yang berbentuk silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra.
Zona transisional dan kelenjar periuretral bersama-sama kadang-
kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.

6
Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat

Prostat diperdarahi oleh arteri vesika inferior, arteri pudendalis


interna arteri hemoroidalis medialis. Arteri utama memasuki prostat pada
bagian infero-lateral persis dibawah bladder neck, ini harus diligasi atau
didiatermi pada waktu operasi prostatektomi. Darah vena prostat dialirkan
kedalam fleksus vena periprostatika yang berhubungan dengan vena
dorsalis penis, kemudian dialirkan ke vena iliaka interna yang juga
berhubungan dengan pleksus vena presakral. Oleh karena struktur inilah
sering dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang
pelvis dan vertebra lumbalis.
Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung kemih
bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatis dan parasimpatis. Aliran lymph
dari prostat dialirkan kedalam lymph node iliaka interna (hipogastrika),
sacral, vesikal dan iliaka aksterna

I. II Fisiologi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat dikelilingi oleh otot polos yang berkontraksi selama


ejakulasi, mengeluarkan lebih kurang 0,5 ml cairan prostat tetapi fungsi
pasti cairan ini belum diketahui, paling tidak sebagai medium pembawa
sperma.

7
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin,
dapat dianggap imbangannya (counterpart) dengan payudara pada wanita.
Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti, tetapi pada
pengebirian kelenjar prostat jelas akan mengecil. Jadi prostat dipengaruhi
oleh hormon androgen, ternyata bagian yang sensitive terhadap androgen
adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive terhadap estrogen adalah
bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang sedangkan
estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut.

II. HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA

II. I Definisi

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana


kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang
biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.

Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia

8
II. II Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak
adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara
estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat,
(4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk
dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan
sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.

b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di
dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis).

9
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun,
tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

c. Interaksi stroma epitel


Sebuah penelitian membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-
sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma.

d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.

b. Teori stem cell


Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan
epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam
jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang
keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan

10
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada
androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi
dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

II. III Patofisiologi


Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona
transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari
zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah
menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim
5α reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula,
dan divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh
pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau
lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatimus.
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian
buli- buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke
ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

11
II. IV Manifestasi Klinis

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)

Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :


Obstruksi Iritasi

 Hesistansi  Frekuensi

 Pancaran miksi lemah  Nokturi

 Intermitensi  Urgensi

 Miksi tidak puas  Disuria

 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang terjadi,


jika ada disebabkan oleh
 Terminal dribbling (menetes) ketidakstabilan detrusor sehingga
terjadi kontraksi involunter.
 Volume urine menurun

 Mengejan saat berkemih

Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia


Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat
masih tergantung tiga faktor, yaitu:

 Volume kelenjar periuretral

 Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

 Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot


buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli
mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi
yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor


pencetus antara lain :

1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan


yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)

12
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/
infeksi prostat)

3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot


detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan


dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat
beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring
System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta
untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat.

13
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara


lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).

c. Gejala di luar saluran kemih

Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti


penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intra abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrikIV
Diagnosis

a. Pemeriksaan Fisik

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat


memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya
kelainan lain sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :

 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal


 Adakah asimetri
 Adakah nodul pada prostat
 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih
dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.

14
Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila
sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang
ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan
massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma
di daerah meatus.

Tabel 3. Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran


klinis

15
2) Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa


urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin
yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat
pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang
disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12
ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

b. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium :
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)

16
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia.

Gambar 5. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat


Hiperplasia
3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:
a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar
prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar
USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum
mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan
dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang
dicurigai memiliki keganasan prostat.

17
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus
: ½ (H x W x L)
c. Sistoskopi:
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah “cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran
kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia

d. Ultrasonografi trans abdominal


 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.

18
Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal

Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia


4. Pemeriksaan lain :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
 Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan
kateterisasi/USG setelah miksi
 Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada
BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s
dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur
jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah
buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan
pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100
sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien
diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin
ditentukan oleh USG atau kateterisasi.

19
Gambar 10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH
Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran
urin lebih dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia
prostat, terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang
dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100 mL.

III. V. PENATALAKSANAAN

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan


medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja.
Namun adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan
medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan
miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika,
(4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi
volume residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal
ini dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.

20
Tabel 4. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal
Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka  TUMT
waiting adrenergik α  TUBD
Penghambat Endourologi  Stent uretra
reduktese α  TUNA
Fisioterapi 1. TURP
Hormonal 2. TUIP
3. TULP
Elektovaporasi

Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala Retensi urinaria+gejala yang


AUA berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Gejala ringan Gejala sedang Batu buli
(AUA≤7)/ Infeksi saluran urinaria
tdk ada /berat berulang
gejala Tes(AUA≥8)
diagnostic Insufisiensi renal
Uroflow
Residu urin postvoid Operasi

Pilihan terapi

Terapi non-invasif Terapi invasif

Tes diagnostic
Pressure flow
Watchful waiting Terapi medis Uretrosistoskopi
USG prostat

Terapi minimal invasif Operasi

Bagan 1. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia


21
Penatalaksanaan Nilai indeks gejala Efek samping
BPH
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi
retensi urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
5 alpha-reductase Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
inhibitors Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
heat Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-
10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-
23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%

Tabel 5. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat


Hiperplasia

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4)

22
kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu
lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan
cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergik α.
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin
(Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti
terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan
meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala
dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.

23
Gambar 14. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik (1-ARs)

2) Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh
enzim 5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran
prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim
gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat
dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem
pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat
dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum

24
dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia.
Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi
mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan
intermitensi.

Gambar 11. Microwave Transurethral

2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA


menyetujui transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem
untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy
radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region
prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan
akibat panas. Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan
mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).

Gambar 12. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

25
1) Operasi transurethral.
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah
memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan
memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP)
digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk
BPH. Dengan TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan
melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan
diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan
irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh
darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades
adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi
sistemik dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi
air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang
mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat
bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema
otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya
sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan
reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang sistostomi terlebih dauhlu
sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke
sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian
pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke
kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir operasi.
Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi
terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu
efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau
ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam
kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.

26
Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca
TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini dibuat insisi melebar urethra dengan membuat beberapa
potongan kecil di leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat.
Prosedur ini digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar,
tanpa ada pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih
muda.

Gambar 14. TUIP

27
2) Open surgery.
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar
sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika
kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi
terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat
terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%). Perbaikan
gejala klinis 85-100%.

3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi.
Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi
ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya
adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi
(kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan
disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak
langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih
rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam
prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan
beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik.
Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan.

28
Gambar 15. Operasi Laser pada Prostat
a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik
langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.

Gambar 16. Interstitial laser coagulation

d. Kontrol berkala

 Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
 Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
 Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
 Pembedahan

29
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.

IV. VI KOMPLIKASI
 Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin,
distensi kandung kemih, nyeri suprapubik
 Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
 Infeksi traktus urinaria
 Batu buli
 Hematuri
 Inkontinensia-urgensi
 Hidroureter
 Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery


8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak.
Dalam: Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
3. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta :
Sagung Seto.
4. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.
Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703.
5. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17
6. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.
7. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.

31

You might also like