Professional Documents
Culture Documents
, IP S sa
PA -
II
KT
XI
bahasa
si
10
SP
KELAS
Se
200 6
indonesia
SASTRA: DRAMA, KRITIK, ESAI, DAN PERIODISASI
Semester 2 (KTSP 2006, kelas XII SMA/MA Program Studi IPA, IPS, dan Bahasa)
1
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Pelajaran 10, siswa diharapkan mempunyai kemampuan:
1. Menentukan unsur-unsur teks drama.
2. Menghayati watak tokoh yang akan dipentaskan.
3. Mengekspresikan dialog tokoh dalam pementasan.
4. Menanggapi penampilan dialog para tokoh dalam pementasan drama.
5. Memerankan drama dengan memperhatikan penggunaan lafal, intonasi, nada/tekanan,
mimik, gerak-gerik yang tepat sesuai dengn watak tokoh.
6. Mengidentifikasikan dan menjelaskan prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai sastra.
7. Menulis dan menyunting tulisan kritik dan esai sastra.
8. Menentukan hasil-hasil karya sastra penting pada tiap periode.
A. DRAMA
a. Pengertian Drama
Drama berasal dari kata Yunani draomai yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi.
Drama dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan. Drama adalah karangan yang
menggambarkan kehidupan dan watak manusia dalam bertingkah laku yang dipentaskan
dalam beberapa babak. Seni drama sering disebut seni teater.
Istilah untuk drama pada masa penjajahan Belanda di Indonesia disebut tonil kemudian
berkembang dan diganti dengan istilah sandiwara. Sandiwara berasal dari bahasa Jawa,
sandi ‘rahasia’ dan wara ‘pengajaran’. Jadi, sandiwara mengandung makna pengajaran
yang dilakukan dengan perlambang.
Sebuah drama terbagi atas beberapa bagian yang disebut babak dan babak dibagi atas
beberapa adegan. Diawali oleh prolog, yaitu kata pendahuluan yang menarik perhatian
penonton ke dalam suasana yang dikehendak dan diakhiri oleh epilog, yakni kata-kata
yang mengandung ikhtisar seluruh cerita. Dilain pihak, percakapan antara dua pelaku
disebut dialog.
Contoh:
Nyai Dasimah (Rustandi), Bebasari (Rustam Effendi), Kertajaya (Sanusi Pane), Lukisan
Masa (Armijn Pane), Manusia Baru (Sanusi Pane), Sandyangkalaning Majapahit (Sanusi
Pane), dan sebagainya.
2
b. Jenis-Jenis Drama
1. Berdasarkan Penyajian Lakon
• Drama tragedi: drama yang ceritanya penuh dengan kesedihan.
• Drama komedi: drama yang penuh dengan kelucuan.
• Drama tragedikomedi: perpaduan antara drama sedih dan lucu.
• Opera: drama yang dialognya dinyanyikan dengan iringan musik.
• Melodrama: drama yang dialognya diucapkan dengan diiringi melodi atau
musik.
• Farce: drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya dagelan.
• Tablo: jenis drama yang mengutamakan gerak, para pemainnya tidak
mengucapkan dialog, tetapi hanya melakukan gerakan-gerakan.
• Sendratari: gabungan antara seni drama dan seni tari.
2. Berdasarkan Sarana Pementasannya
• Drama panggung: drama yang dimainkan para aktor di atas panggung.
• Drama radio/sandiwara radio: tidak bisa dilihat dan diraba hanya bisa didengar
oleh penikmat.
• Drama wayang: drama yang diiringi pergelaran wayang.
• Drama boneka: para tokoh drama digambarkan dengan boneka yang dimainkan
oleh beberapa orang.
3. Berdasarkan Ada Atau Tidaknya Naskah Drama
• Drama tradisional: pertunjukan drama yang tidak menggunakan naskah.
Pemain bebas berdialog yang terpenting jalan cerita mengalir dan sesuai
dengan tema. Contoh: ludruk, lenong, ketoprak.
• Drama modern: pertunjukan drama yang menggunakan naskah drama. Para
pemain harus mengikuti dialog yang terdapat dalam naskah.
3
Contoh:
3. Terdapat petunjuk lakuan dalam naskah drama. Petunjuk ini harus dilakukan pemain.
Ditandai oleh dua tanda kurung.
Contoh:
Ardi : Sudah! Jangan dilanjutkan lagi perkelahian ini. Sebaiknya diselesaikan secara
dewasa (sambil berwajah serius).
Ibu : Ayah, sepertinya hujan akan turun. Lihatlah mendung itu gelap sekali. Di
mana anak-anak?
Ayah : Tenanglah Bu. mereka ‘kan sudah dewasa.
Ibu : Tapi, ‘kan tidak biasanya mereka pulang terlambat lagi pula mendung begini
dahsyat.
Ayah : Mereka toh bisa berlindung, jika hujan turun dengan lebat.
Ibu : Ah, Ayah selalu begitu!
Ayah : Ah, Ibu juga selalu begitu!
4
(Keduanya diam, lalu anak ke-2 memasuki pintu panggung)
Ibu : Kenapa pulang terlambat, Man? Sudah makan siang, Nak?
Anak 2 : Sudah Bu. Tadi ada demo yang menghambat lalu lintas.
Ayah : Demo tentang apa dan oleh siapa?
Anak 2 : Tidak tahu. Saya tidak peduli demo macam apa dan oleh siapa. (Masuk ke
kamar ganti baju, dan keluar lagi).
Ibu : Kau mau ke mana lagi, Man?
Anak 2 : Voli, Bu. Ada latihan di stadion.
Ibu : Mendung, begitu gelap, kakakmu belum pulang. Carilah dulu!
Anak 2 : Saya sudah terlambat Bu, lagi pula kakak bisa menjaga diri.
Ibu : Hujan akan segera turun nanti dia terjebak hujan. Jemputlah dulu!
Anak 2 : Bu, saya sudah berumur 19 tahun. Jadi, saya rasa kakak juga sudah bukan
balita lagi.
Ayah : Man, jangan kasar kepada ibumu! (Anak 1 mendadak nyelonong masuk dan
menghempaskan tubuhnya ke sofa).
Anak 2 : Tuh Bu, putri Cinderella sudah kembali ke istana. Saya pergi dulu!
Anak 1 : Rese, lu!
Ibu : Dari mana Kau, Martha?
Anak 1 : Biasalah Bu, memperjuangkan keadilan.
Ayah : Keadilan macam apa?
Anak 1 : Keadilan bagi rakyat jelata. Sekarang ini ya, segala kepentingan umum sudah
dimanipulasi oleh kepentingan golongan dan orang-orang tertentu.
Ibu : Kau berurusan dengan polisi?
Anak 1 : Demi keadilan, Bu. Tadi ya, seandainya tidak ada bentrok dengan polisi, kami
sudah bisa menembus gedung yang angkuh itu.
Ibu : Jangan macam-macam kamu ya!
Anak 1 : Ibu jangan khawatir. Jangan panik seperti itu!
Setelah membaca kutipan naskah di atas, dapatlah diketahui unsur-unsur intrinsik drama
tersebut, yaitu: (1) Tema; tentang kehidupan sosial, (2) Tokoh; Ayah, Ibu, Anak 2 (Maman),
dan Anak 1 (Martha). (3) Watak tokoh; tokoh ibu berwatak khawatir dan penyayang,
Martha berwatak pembela keadilan, (4) Latar; di dalam rumah ketika akan turun hujan. (5)
Amanat; jika ingin beraktivitas setelah pulang sekolah atau kuliah sebaiknya izin kepada
orangtua agar mereka tidak khawatir.
5
e. Unsur-Unsur Pementasan Drama dan Memerankan Karakter Tokoh
Sedikitnya ada sembilan unsur drama, yaitu naskah, pemain, sutradara, tata rias, tata
busana, tata panggung, tata lampu, dan penonton. Pada pembelajaran ini yang akan
diurai lebih dalam tentang pemain karena siswa diharapkan dapat mengekspresikan
dialog para tokoh dalam pementasan drama dan menggunakan gerak-gerik, mimik, dan
intonasi sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama.
Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Setiap tokoh akan diperankan oleh
seorang pemain. Agar berhasil memerankan tokoh-tokoh tadi maka pemain harus dipilih
secara tepat. Pemain harus dipilih sesuai dengan karakter tokoh.
Dalam upaya memilih pemain drama yang tepat, cara berikut dapat diterapkan:
1. Naskah yang sudah dipilih dibaca berulang sampai paham. Dari dialog para tokoh
dapat diketahui karakter tiap-tiap tokoh.
2. Setelah diketahui karakter tokoh kemudian pemilihan pemain yang cocok dan
mampu memerankan masing-masing tokoh.
3. Selain mempertimbangkan watak, perlu juga untuk mempertimbangkan
perbandingan usia dan perkiraan postur tubuh.
4. Kemampuan pemain menjadi pertimbangan penting. Pemain harus bisa memerankan
tokoh sesuai yang dikendaki naskah.
Sebagai bentuk latihan, perankanlah tokoh dalam drama zaman di atas. Ekspresikan sesuai
dengan karakter tokoh Ibu, Ayah, Maman, dan Marta!
Kritik sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra untuk menghakimi suatu karya
sastra. Kritik sastra mencakup penilaian guna memberi keputusan bermutu atau tidaknya
suatu karya sastra. Kritik sastra mulai diperhatikan di Indonesia setelah terbitnya kumpulan
karangan “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai.” Karya H.B. Jassin.
6
b. Fungsi Kritik Sastra
Fungsi kritik sastra, yakni:
1. Membina dan Mengembangkan Sastra
Kritikus berusaha menunjukkan struktur sebuah karya sastra, memberi penilaian,
menunjukkan kekuatan dan kelemahannya serta memberikan alternatif untuk
pengembangan karya sastra tersebut.
2. Pembinaan Apresiasi Sastra
Para kritikus berusaha membantu para peminat karya sastra memahami sebuah karya
sastra. Hasil analisis kritik sastra dapat membantu masyarakat dalam memahami dan
mengapresiasi suatu karya sastra.
3. Menunjang dan Mengembangkan Ilmu Sastra
Hasil kritik sastra merupakan sumbangan untuk para ahli sastra dalam pengembangan
teori sastra.
Dalam jagad seni sering digelar acara-acara yang melibatkan publik semacam
pameran lukisan, pameran patung, dan pameran buku. Tapi rasanya masih jarang (atau
mungkin belum pernah ada) pameran puisi. Apakah puisi dianggap sebagai karya seni
remeh sehingga tidak layak dipamerkan?
Puisi termasuk jenis karya seni (teks) yang secara fisik sangat sederhana bentuknya
dibanding karya-karya lain seperti novel, cerpen maupun cerita bersambung. Artinya,
sepanjang-panjangnya puisi masih lebih pendek dari cerpen yang paling pendek
sekalipun. Bahkan dengan alasan-alasan tertentu, para penyair ada kalanya sangat hemat
dalam menggunakan kata-kata. Menulis puisi hanya dengan beberapa patah kata.
7
Dengan alasan kepraktisan tadi, maka pameran puisi bisa dijadikan alternatif sebagai
media pengenalan dan pembelajaran sastra kepada masyarakat. Bukan sesuatu yang sulit
untuk memajang puisi di tempat-tempat umum seperti pasar, alun-alun, tempat-tempat
hiburan atau dalam acara-acara berformat kebudayaan.
Selama ini puisi terkesan masih menjadi karya tersembunyi dan hanya dikenal oleh
komunitas yang sangat terbatas. Atau mungkin hanya sempat nebeng sejenak di media
cetak, kemudian terbuang dan dilupakan orang. Puisi hanya dikenal dan digandrungi
dalam wilayah yang sempit.
Pada jaman sekarang ini, pameran puisi rasanya bukan sebuah kemustahilan. Siapa
tahu puisi-puisi yang dipamerkan bisa menjadi semacam katarsis dan hiburan gratis bagi
masyarakat.
Sebagai bagian dari karya seni, kehadiran puisi diharapkan mampu menghadirkan
makna yang bermanfaat dan bisa diserap langsung bagi masyarakat luas. Sebab betapa
memelasnya jika sebuah puisi (yang bagus) namun hanya dibaca orang-orang tertentu.
Sudah saatnya para penyair lebih membuka diri untuk tampil ke hadapan publik. Bukan
jamannya lagi para penyair hanya berkutat pada sangkar privacy-nya yang egois dan
asing. Para penyair boleh bangga bila puisinya dimuat di media cetak. Namun apa artinya
jika hanya dibaca sedikit orang?
Jika ini yang terjadi, maka puisi hanyalah menjadi ide yang gagal menyentuh ranah
publik. Puisi baru bisa dikatakan berhasil kalau bisa dibaca dan dinikmati orang banyak di
luar komunitas penyair.
Eksistensi penyair masih dipertanyakan manakala ia belum berani beranjak dari
lingkaran kesendirian dan membuat gebrakan-gebrakan yang menyentak kesadaran
publik. Penyair Umbu Landu Paranggi pernah menggebrak dengan keberaniannya
menghidupkan komunitas seniman di Malioboro. Rendra pernah melejit dengan bengkel
teaternya. Taufiq Ismail dkk. dengan safari sastranya. Widji Tukul dengan puisi-puisi
perlawanannya.
Itulah contoh-contoh gebrakan para penyair yang berjuang agar karya-
karyanya bergaung dan didengar publik. Sebab apa artinya sebuah puisi kalau hanya
dinikmati sendiri tanpa memberi kesempatan pada pihak lain untuk menikmati dan
mengapresiasikannya.
Mempublikasikan puisi lewat buku atau media cetak adalah lumrah, biasa. Tapi
rasanya ada sesuatu yang lain ketika para penyair mau dan punya keberanian untuk
menawarkan karya-karyanya dalam bentuk pameran puisi. Kalau para pelukis berani
keliling kota memamerkan lukisannya, kenapa para penyair enggan memamerkan
puisinya?
8
Secara tehnis pameran puisi lebih gampang dijalani daripada pameran lukisan. Para
penyair cukup membentuk sebuah panitia khusus yang mengkoordinir dan mengatur
pelaksanaan pameran. Toh yang namnya pameran puisi tidak harus dirancang dengan
tampilan yang wah dan mewah. Ibaratnya, di alun-alun atau di trotoar pinggir jalan pun
pameran puisi bisa digelar.
Yang penting, dalam sebuah pameran puisi adalah esensinya, bahwa penyair itu
benar-benar ada dan punya karya yang bisa dipertanggung jawabkan ke hadapan
publik. Persoalan karya tersebut diterima atau tidak oleh masyarakat bukan menjadi
target utama. Toh, dengan menggelar pameran puisi, para penyair secara ekonomis tidak
dirugikan. Malah justru memperoleh keuntungan batin karena bisa bertemu/ mempererat
persaudaraan dengan sesama penyair.
Mungkin saja ada semacam ketakutan-ketakutan yang sifatnya individual. Boleh
jadi para penyair bertanya dalam hati, apakah pameran puisi ada yang menonton?
Apakah masyarakat tidak akan mencibir dan mentertawakan ketika melihat bait-bait
puisi terpampang di tempat umum? Apakah masyarakat bisa memahami kata-kata yang
dirangkai para penyair?
Ketakutan-ketakutan semacam itu masih wajar karena, bagaimanapun, pameran
puisi hingga saat ini belum menjadi kebiasaan. Padahal kalau kita mau jujur, kegiatan
semacam itu merupakan lahan strategis untuk mengangkat dunia sastra kita.
Dalam sebuah pameran puisi, yang terpenting adalah adanya keyakinan dalam diri
para penyair, bahwa pameran bukan sekadar unjuk kebolehan, namun sebuah upaya untuk
mendekatkan sastra kepada masyarakat. Pameran puisi merupakan langkah rasional dan
sangat praktis (mudah) untuk dipraktekkan.
Puisi-puisi yang ditampilkan tidak harus ditulis lewat spanduk, tapi mungkin cukup
ditulis di atas kertas manila atau asturo, lalu dipajang di tempat umum. Selain itu panitia
mungkin perlu menyediakan foto copy puisi-puisi yang dipamerkan untuk persiapan,
siapa tahu ada penonton yang berminat mengoleksi puisi tersebut. Selain itu panitia bisa
sekaligus menjual buku karya-karya para penyair yang bersangkutan.
Atau pameran puisi itu bisa ndompleng pada acara-acara lain seperti pasar murah,
festival/ pagelaran seni dan kegiatan kebudayaan lainnya. Bila perlu dalam acara pameran
atau promosi pembangunan, para penyair membuka stand khusus untuk memamerkan
puisi-puisinya.
Banyak manfaat bisa diserap dari pameran puisi. Yang pasti, para penyair bisa
berkomunikasi dan berdialog langsung dengan masyarakat. Masyarakat menjadi semakin
dekat dengan penyair, selanjutnya belajar mengenal dan memahami puisi sebagai bagian
dari khazanah kebudayaan. Para penyair pun tidak lagi merasa sendiri dan terasing dengan
dunia luar.
9
Sudah waktunya puisi hadir secara wajar untuk dikenali masyarakat. Selama ini
kehadiran puisi dianggap sosok asing yang hanya digeluti dan dilirik kalangan terbatas.
Mengapa? Bukan karena masyarakat membenci puisi, tapi boleh jadi para penyairnya
sendiri yang terlalu sombong dan menjaga jarak dengan masyarakat sehingga enggan
untuk mendekatinya. Para penyair bisa besar karena, disamping berkarya, juga berusaha
berinteraksi dengan masyarakat.
Jika para penyair tetap memilih hidup menyendiri, maka tidak akan pernah bisa
merebut hati masyarakat. Mungkin saja si penyair punya puisi bagus dan penuh makna,
tapi tak bernilai apa-apa jika hanya disimpan dalam laci kesendirian. Sebaliknya, puisi-
puisi yang lahir dari para mubaligh, pastor, artis, politisi boleh jadi lebih cepat meresap
dalam hati masyarakat karena mereka gencar mengadakan publikasi. Lantas, siapakah
yang patut disayangkan?
Memberikan kritik dan esai dapat bermanfaat untuk memberikan panduan yang memadai
kepada pembaca tentang kualitas sebuah karya. Di samping itu penulis karya tersebut
akan mendapatkan masukan terutama tentang kelemahannya.
10
khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Nur Sutan Iskandar dapat disebut
sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" karena ada banyak sekali karya tulisnya pada
masa tersebut. Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya
yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan
tradisi kolot yang membelenggu.
5. Angkatan 1945
Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru
yang romantik-idealistik. Karyanya banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45
memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini
menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam
kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan
prosa Indonesia.
6. Angkatan 1950-1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin.
Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan
kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan
dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis
di kalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra)
yang berkonsep sastra realisme-sosialis di Indonesia.
11
karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit
Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada
masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini
adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto,
Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo,
dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
9. Angkatan Reformasi
"Sastrawan Angkatan Reformasi", munculnya angkatan ini ditandai dengan
maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-
politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya,
selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak
reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi
juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan Angkatan Reformasi
merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an,
seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada
tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra–puisi, cerpen, dan
novel–pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer,
dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com-nya, juga
ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
12
Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami
dan Dorothea Rosa Herliany.
(Wikipedia)
LATIHAN SOAL
13