Professional Documents
Culture Documents
Kebutuhan
perawatan
Kebutuhan Sumber SDM/ obat- kesehatan
perawatan obatan/peralatan
Sumber SDM/ obat-
kesehatan
4. Mass casualty incident (MCI) obatan/peralatan
Mass casualty incident adalah suatu situasi secara signifikan membutuhkan
ketersediaan pelayanan emergensi medis (emergency medical services), fasilitas dan
sumber-sumberlainnya. Fasilitas dan sumber-sumber MCI terbagi atas:
a. Multiple casualities yaitu bila jumlah korban dan penderitaan dari orang-
orang yang terluka tidak melebihi kemampuan dan fasilitas yang tersedia
b. Mass casuality incident yaitu bila jumlah korban dan orang-orang terluka
melebihi kemampuan staf dan fasilitas yang tersedia.
a. Hazard
Apabila menyebut kata “bencana”, mungkin banyak orang membayangkan
bencana alam seperti angin topan atau gempa, namun fenomena alam tidak sama
dengan bencana. Dengan terjadinya gempa, belum tentu berarti terjadi bencana.
Fenomena alam seperti gempa, dan lainnya merupakan penyebab timbulnya
bencana tetapi bukan bencana (disaster) seutuhnya. Selain fenomena alam seperti
gempa atau hujan badai, termasuk juga kecelakaan pesawat atau kereta api dan
ledakan bom atau kebakaran skala besar. Lalu, perang atau konflik tiap-tiap
wilayah di seluruh dunia, aksi terror, bahkan wabah HIV/AIDS, SARS (Sindrom
pernapasan akut berat) ataupun flu burung, penyakit menular menyebabkan
penyebaran keseluruh dunia dan sebagainya mulai mendapatkan perhatian
sebagai Hazard.
Hazard didefinisikan “membawa pengaruh negative terhadap nyawa
manusia atau harta, aktivitas, dan keadaan karena ulah manusia atau fenomena
alam yang jarang dan darurat (PBB)”.
Hazard Kerentanan Masyarakat
Hazard adalah sesuatu yang mengancam nyawa manusia dan harta benda
serta lingkungan hidup karena peristiwa akibat ulah manusia ataupun fenomena
alam. Hazard menjadi penyebab terjadinya bencana. Namun bukan berarti jika
ada hazard maka akan terjadi bencana. Contohnya, jika ada angin badai ataupun
topan dengan kekuatan yang sama melanda wilayah yang tidak ada penghuninya,
hal itu tidak dapat dianggap sebagai bencana karena tidak berdampak pada nyawa
atau kehidupan penduduk.
Catastrophe adalah kejadian bencana dalam skala yang besar dan sangat
ekstrim dan kejadian yang menakutkan.
b. Kerentanan (Vulnerability)
Vulnerability adalah tingkat kerugian yang berdampak pada nyawa
ataupun kehidupan jika terjadi Hazard. Dapat dikurangi dengan peningkatan
kapasitas respon penduduk local dan komunitas masyarakat. Kerentanan
masyarakat berkaitan dengan seberapa besar kekuatan tingkat persiapan
masyarakat terhadap kejadian yang menjadi penyebab bencana.
Kerentanan masyarakat terbagi 2, yaitu:
Adapun beberapa contoh dari chemical and biological agent adalah gas khlorin yang dapat
menimbulkan toxin yang mematikan dan injury, mycotoxin, arthropoda, smallpox, pestisida,
anthrax dan botulism. Sedangkan agen radiation dan explosion dapat berupa radiasi alpa,
beta, gamma dan dirty bomb (terorism).
7. Jenis bencana
a. Bencana alam
Bencana yang di akibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang di
sebabkkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
b. Bencana non-alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan
oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.
8. Level bencana
Level I
Level II
Adanya kerja sama dengan organisasi dan komunitas sekitar dan dibutuhkan adanya
dukungan lokal.
Level III
9. Dampak bencana
Peristiwa alam dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak negatif yang
merugikan manusia dan perlu segera diantisipasi agar akibat negatif yang diderita oleh
masyarakat tidak berlanjut berkepanjangan.
a. Dampak fisik
Hasil survei Freedy dan Simpson (2007) di Amerika mengidentifikasi masalah fisik
akibat bencana dibagi empat kategori yaitu: cedera akut, masalah akut, masalah
kronik dan gejala fisik secara medis yang tidak dapat dijelaskan.
Masalah kesehatan fisik pasca bencana yang sering terjadi adalah penyakit akut
seperti influenza, batuk-batuk, malaria, gastroentritis. Selain itu korban bencana yang
banyak mengalami cedera misalnya luka, lecet, sprain, dan patah tulang. Masalah
kronik yang sering terjadi adalah diabetes, hipertensi dan CHF. Somatik adalah
keluhan tanpa sebab organik, kadang-kadang digambarkan sebagai gejala fisik yang
tidak dapat dijelaskan secara medis, yang umumnya setelah bencana terjadi. Gejala ini
berhubungan dengan kesehatan mental seperti depresi, PTSD, dan kecemasan.
b. Dampak Psikologis
Bencana menimbulkan dampak psikologis meliputi efek jangka pendek seperti
kejutan, kecemasan, gangguan tidur dan rasa bersalah. Masalah kesehatan mental
pasca bencana adalah terjadinya disfungsi atau distorsi kognitif, disfungsional
perilaku, emosional labil, gejala fisik kronik non organik, penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol, depresi, perilaku kekerasan, pasca trauma stress disorder
(PTSD) atau gangguan kecemasan lain, dan skizofrenia (Freedy & Simpsom, 2007).
Hasil penelitian Noorthoom, et al. (2010), menggambarkan akumulasi rujukan
kejadian masalah kesehatan mental akibat bencana pada populasi selama empat tahun
adalah sekitar 10%. PTSD adalah yang paling umum terjadi (53%). Masalah kesehata
mental lain adalah depresi (58%).
c. Dampak psikososial
Kelompok yang beresiko terkena gangguan psikososial adalah anak-anak, remaja,
wanita dan lansia. Untuk anak-anak korban bencana bisa sangat menakutkan, fisik
mereka yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan terhadap
ancaman bencana. Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya
ketertarikan dalam aktivitas sosial di sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan
makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko
yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi. Kondisi psikososial di
daerah bencana khususnya bagi kaum perempuan mengakibatkan berbagai goncangan
psikologis seperti hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatiran bahkan
memunculkan gejala phobia yaitu perasaan takut yang berlebihan. Sedangkan para
lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan menta. Kemampuan
adapatasi yang dimilki juga sudah sangat jauh berkurang, sehingga sangat rentan
terhadap perubahan (Khrismawan, 2012).
d. Dampak spiritual
Dampak spiritual terhadap bencana dimaknai secara berbeda oleh masyarakat.
Sebagai contoh, bencana tsunami telah memberikan dampak terhadap korban dan
keluarganya seperti kehilangan tujuan dan harapan hidup, tiba-tiba marah, dan
perasaan bersalah (Hatthakit & Thaniwathananon, 2007). Selain itu dampak
psikospiritual lain dari bencana adalah pengalaman berduka, perasaan bersalah, takut,
kehilangan masa depan dan harapan hidup (Gregor, 2005).
dimana-mana.
sementara, dapat berjalan dalam jangka waktusingkat atau dalam jangka waktu lama.
Singkat dan lamanya dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada kepedulian
pengaruh bencana alam terhadap lingkungan hidup sangat ditentukan oleh banyaknya
korban dan jenis bencana alam, salah satunya kerusakan lingkungan yang berdampak
suhu bumi akibat akumulasi emisi gas di atmosfir atau yang sering dikenal dengan
kerugian harta dan jiwa. Selain itu bencana alam mampu mengubah lingkungan hidup
a. Emotional: depresi, kesedihan, irritable, marah, anxiety, takut, putus asa, tidak ada
mengambil keputusan.
d. Physical: fatigue, kelelahan, gastrointestinal distress, perubahan nafsu makan, kaku
berbagai macam kegiatan yang memanfaatkan kemampuan dari kebijakan pemerintah, juga
kemampuan komunitas dan individu untuk menyesuaikan diri dalam rangka meminimalisir
popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah
warming.
2) Pre-during-post disaster model. Model manajemen ini membagi tahap kegiatan
disekitar bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali
daerah rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah
pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief)
kurang ditekankan.
4) The crunch and release model. Model manajemen bencana ini menekankan upaya
mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka
bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
5) Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen
bencana pada identifikasi resiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun
7,8,9,10,11 dan 12, siklus manajemen bencana dibedakan atas 6 fase, yaitu:
1) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganiasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
2) Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
bencana.
4) Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat terjadi bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dlam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.
Menurut Kim dan Proctor 2002, dalam Vaneema (2007), ada lima fase dasar untuk
program manajemen bencana, dan masing-masing fase memiliki kegiatan khusus terkait
dengan itu.
a. Fase preparedness
Mengevaluasi kerentanan fasilitas atau kecenderungan pada bencana. Isu-isu
yang perlu dipertimbangkan termasuk pola cuaca, lokasi geografis, kondisi, dan
lokasi fasilitas, dan industry didekat rumah sakit (misalnya, pembangkit listrik
kategori ini tergantung pada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan
kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah
diakibat kan oleh bencana dan dapat dianggap sebagai tindakan pencegahan. Contoh
untuk mengurangi dampak dari kegagalan daya atau staff pelatihan untuk
membuat kode banguan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
penanhan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non structural, diantaranya seperti menghindari wilayah
bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui
Command System (ICS). Kegiatan respon perlu Terus di pantau dan di sesuaikan
dengan perubahan situasi . tindakan fase respon dapat berupa sebagai berikut :
1. Instruksi pengungsian
2. Pencarian dan penyelamatan korban
3. Menjamin keamanan di lokasi bencana
4. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
5. Pembagian dan pengguanan alat perlengkapan pada kondisi darurat
6. Pengiriman dan penyerahan barang material
7. Penyedian tempat pengungsian dll
d. fase recovery
Setelah insiden itu berakhir, organisasi dan staf perlu untuk memulihkan kondisi
kembali. Layanan yang telah terganggu membutuhkan waktu untuk kembali ke rutinitas.
Pemulihan biasanya lebih mudah jika dilakukan pada saat respon, beberapa staf
ditugaskan untuk mempertahankan layanan penting, sementara yang lain di tugaskan
untuk tanggap bencana.
e. fase evaluasi
Sering di sebut dengan fase perencanaan dan tanggap bencana. Setelah bencana,
karyawan dan masyarakat kembali ke rutinitas biasa. Penting bahwa evaluasi resmi
dilakukan untuk menentukan apa yang baik, suatu yang diidentifikasi. Individu tertentu
harus dilakukan evaluasi dan kegiatan tindak lanjut.
1) Bertindak cepat
2) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan
pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar pada para korban
selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordinating and create
leadership).
5) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk
jangka waktu 30 bulan pertama.
c. Peran perawat dalam fase impact
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, social, dan
psikologis korban.
2) Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga
kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali, kedua, individu
tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi,
gangguan fisik, dan individu dapat mengalami penurunan konsentrasi,
perasaan bersalah dan gangguan memori.
3) Tim kesehatan bersama masayarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan masyarakat
pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju
keadaan sehat dan aman.
Dari penelitian tersebut diatas, terdapat 3 tantangan utama dalam etika yang dihadapi
penyedia pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yaitu : rationing/
penjatahan, pembatasan, dan tanggung jawab (Grimaldi,2007).
1. Rationing/ penjatahan
Rationingmerupakan situasi khusus dengan alokasi sumber daya yang terbatas.
Melakukan triage dengan contoh dari situasi ini. Triage adalah tindakan keperawatan
medis prioritas dan manajemen pasien, dengan mempertimbangkan sumber daya yang
tersedia, kebutuhan medis, dan kemampuan. Triage dapat menimbulkan dilema etik
karena mungkin ada sumber daya yang terbatas dalam kaitannya dalam sejumlah besar
orang yang membutuhkan pengobatan. Beberapa mungkin menanyakan apakah triase
etis? Pasien yang masih hidupnya diselamatkan dan dalam membahayakan langsung
harus ditangani lebih dahulu. Pasien yang tidak dapat terselamatkan lagi tidak
diutamakan.
2. Pembatasan
Yaitu segala sesuatu yang terkait dengan tindakan mengisolasikan dan mengkarantina
pasien. Hal ini merupakan strategi yang mungkin untuk diterapkan selama wabah
penyakit atau diduga menggunakan senjata biologis. Isolasi dapat membatasi kebebasan
dan kemerdekaan dikesua belah pihak baik itu pasien dan pekerja kesehatan.
3. Tangggung jawab
Tanggung jawab merupakan tanatangan terbesar karena sulit untuk memprediksi
karena apa yang akan dilakukan selama masa krisis. Seperti yang ditanyakan
sebelumnya, kode etik untuk sebagian profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa
penyedia layanan melaksanakan kewajiban mereka kepada pasien mereka. Sementara
pada saat yang sama mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban
untuk mengurus diri sendiri.
Diharapkan harus ada hukum yang disarankan untuk mengamanatkan bahwa
pelayanan kesehatan merawat pasien ini. Penegakan hukum seharusnya tidak menjadi
metode yang kita gunakan untuk memastikan perawat yang diberikan kepada pasien.
Bahkan ketika ada keadaan darurat kesehatan masyarakat, penyedia pelayanan kesehatan
menempatkan diri mereka dalam resiko setiap hari dengan setiap pasien yang dirawat.
Sehingga tidak ada solusi mudah untuk masalah etika seputar tugas untuk perawat
profesional kesehatan. Mungkin lebih mudah jika organisasi profesi berada dalam posisi
yanglebih kuat, dan akan terus memberikan pedoman sehingga memberi pelayanan
kesehatan yang profesional mampu membuat keputusan-keputusan tepat bagi mereka
sendiri (Grimaldi 2007)
Terjadinya bencana
Anacaman
bahaya
RESIKO
BENCANA
BENCANA
Kerentanan
Analisa resiko merupakan alat manajemen resiko ebncana dengan mempelajari faktor-faktor
dari resiko yang mungkin terjadi akibat bencana dan akan digunakan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengurangan resiko dan dampak bencana.
Hazard analysis
Vulnerability analysis
Risk analysis
Independen
Analysis resiko bukan merupakan kegiatan sesaat, tetapi kegiatan terus-menerus untuk
mengikuti perubahan-perubahan tingkat kerentanan hazar dan resikonya.
Peningkatan kesiap
Analysis kerentanan
siagaan
dan kapasitas
Analysis
Informasi dari kejadian resiko
kedaruratan maupun
rekonstruksi
Peningkatan kapasitas
Kebijakan
1. Jauhi atau jauhkan bahaya dari anda, karena bahaya sulit dikendalikan
2. Tinggalkan kegiatan, perilaku atau kebiasaan yang dapat menimbulkan bencana
3. Tingkatkan kesadakan, pengetahuan dan kemampuan menghadapi bahaya yang ada
disekitar anda.
4. Lakukan pelatihan untuk meningkatkan kesiap siagaan masyarakat
Capacuty
Mengelola Resiko
1. Mengurangi bencana/hazard
2. Menurunkan kerentanan
3. Membangun kapasitas
Mengapa Pengurangan Resiko Bencana Penting ?
1. Bencana merupakan masalah yang kompleks, dari lingkungan hingga pembangunan
2. Kesiapan sacara konvensional perlu, tapi belum lengkap menyeluruh
3. Pemaduan dan kebijakan PRB dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan
sehari-hari memberikan kontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan
a) Assessment/pengkajian
(1) melakukan penilaian cepat mengenai situasi bencana dan kebutuhan perawatan
Kesehatan.
(2) melakukan riwayat kesehatan & pengkajian umur yang tepat yang meliputi fisik dan
(3) mengenal gejala-gejala penyakit yang dapat menular & mengambil langkah-langkah
(4) menjelaskan tanda & gejala dekontaminasi dengan bahan kimia, biologis, radiologis,
(5) mengidentifikasi pol-pola yang tdk biasa atau kelomppok penyakit luka yang dapat
yang mengindikasikan berhubungan dengan biologis, atau bahan lain yang berkaitan
dengan bencana.
(6) menentukan kebutuhan untuk dekontaminasi, isolasi, karantina & mengambil tindakan
yang tepat.
(7) mengenali kesehatan & kebutuhan kesehatan mental korban bencana & membuat
b) implementasi
(1) mengimplementasikan intervensi keperawatan yang tepat termasuk perawatan darurat &
(6) menyiapkan transportasi untuk pasien & memberikan keamanan bagi pasien selama
di perjalanan.
(9) mengevaluasi hasil-hasil tindakan keperawatan & merevisi perawatan ketika diperlukan
(11) menjaga keselamatan pribadi & orang lain pada suasana bencana.
(13) memberikan perawatan dengan cara memandang budaya, sosial, spiritual & latar
(14) mengelola perawatan & kematian dengan cara menghormati budaya, sosial &
(15) mengelola aktivitas perawatan kesehatan yang diberikan oleh orang lain.
(16) bekerja dengan tim lain & lembaga-lembaga yang tepat dalam membantu orang yang
(17) membantu korban yang selamat dan individu untuk mendapatkan akses perawatan.
(18) merujuk korban yang selamat kepada tim lain atau instansi yang sesuai dengan
kebutuhannya.
3) perawatan psikologis
a) menjelaskan tahapan respon psikologis terhadap bencana dan respon perilaku yang
diharapkan
b) memahami dampak psikologis bencana pada orang dewasa, anak, keluarga,
masyarakat yang rentan.
c) Memberikan dukungan psikologis yang tepat bagi yang selamat dan responden.
d) Menggunakan hubungan terapi efektif dalamsituasi bencana.
e) Mengidentifikasi respon perilaku individu terhadap bencana dan menyediakan
intervensi yang tepat dan diperlukan (misalnya pertolongan pertama psikologis).
f) Membedakan antara respon adaptif dan respon maladaptif terhadap bencana.
g) Menerapkan interverensi kesehatan mental yang tepat dan melakukan rujukan sesuai
dan kebutuhan.
h) Mengidentifikasi beberapa strategi penanganan yang tepat bagi mereka yang selamat,
keluarga dan individu
i) Mengidentifikasi korban dan individu yang membutuhkan dukungan dalam perawatan
kesehatan mental tambahan serta merujuk kepada sumber daya tepat
4) Perawatan populasi rentan
a) Menjelaskan populasi rentan dan resiko dan sebagai akibat dari bencana (seperti
orang tua, wanita hamil, anak-anak dan orang-orang dengan kodisi cacat dan kronis
yang membutuhkan perawatan yang berlanjut) dan mengidentifikasi implikasi
terhadap keperawatan, termasuk:
- respon fisik dan psikologi terhadap bencana dari populasi rentan; dan
- kebutuhan unik dan resiko tinggi dari populasi rentan dihubungkan dengan
bencana.
b) Mencptakan lingkungan hidup yang memungkinkan populasi rentan berfungsi sebagai
independen.
c) Advokat terhadap kebutuhan penduduk yang rentan.
d) Mengidetifikasi sumber daya yang tersedia, membuat rujukan yang tepat dan bekerja
sama dengan organisasi dalam melayani populasi rentan dalam memenuhi kebutuhan
perawatan khusus.
e) Melaksanakan asuhan keperawatan yang mencerminkan kebutuhan populasi rentan
terkena dampak bencana.
f) Berkonsultasi dengan anggota tim perawatan kesehatan untuk memastikan perawatan
lanjutan dalam memenuhi kebutuhan perawatan khusus.
d. kompentensi recovery/rehabilitasi
keputusan dan tindakan yang diambil segera setelah bencana dengan maksud untuk
memulihkan atau meningkatkan kondisi kehidupan prabencana dari masyarakat yang terkena,
mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi resiko
bencana.
b) Mengevaluasi respon keperawatan dan praktik selama bencana dan bekerja sama
dengan organisasi keperawatan untuk memecahkan persoalan dan meningkatkan
respon
c) Ikut serta dalam menganalisis data yang berfokus pada peningkatan respon
f) Berbagi informasi tentang sumber rujukan dan sumber daya yg digunakan dalam
bencana
3. Triage
Prehospital and disaster : triage
Triage menggunakan sistem simple triage and rapid treatment (START system):
for triaging adult dan JUMP START system for triage pediatric. Start /save : when
the triage process must be ovver an extended period of time
Prinsip-prinsip triage :
1. Triage umumnya dilakukan untuk seluruh pasien
2. Waktu utntuk melakukan triage per orang tidak lebih dari 30 detik
3. Prinsip triage bencana prehospital adalah”doing the gretest good for the
greatest number”. Adapun tujuannya adalah to identify injured or ill patient
who have a good chance or survival with immadiate care that doesn’t require
extraordinary resources
4. Kartu triage dipasangkan pada korban untuk memastikan urutan prioritasnya
5. Triage dilakukan secara berulang-ulang
4. Treatment
Assess situations
Safe function
First aid
transfer
a. Initial assessment, general impression: cause, severity, mental status, aiway, breathing,
circulation, set priority (triage)
b. History and physical examination
c. Detail physical examination
d. Ongonging continue assessment
e. Communication and documentation
- A: assess airway
- B: Breathing
- C: Circulation V/S Shock
- Burn assessment
- Trauma assessment head to toe
- Mental status assessment
- Know indicationsfor information
- IV administration (Fluid therapy)
- Emergency medication
h. Fractures/immobilization of fracture
i. Management of hemorrhage
5. Transportation
Pada tempat bencana, korban dibagi dalam dua kelompok yaitu
kelompok perawatan non kritis yaitu kelompok pasien yang dapat
berjalan, dan kelompok perawatan kritis yaitu kelompok pasien yang
tidak dapat berjalan. Kemungkinan pasien masuk dalam waktu yang
bersamaan sehingga system cattle chute (seperti mengiring sapi dalam
kandang) sngat baik digunakan. Teknik ini dilakukan dengan tujuan agar
pasien keluar satu persatu secara brurutan dari area bencana sehingga
triase dapat dilakukan tanpa ada kekacauan.
Prosedur :
Hospital incident command system suatu bentuk rantai komando dan reaksi cepat saat terjadi
bencana yang digunakan pada setiap fase management bencana.
Incident commander
manager
General staff section chief
Branch director
Unit leader
1. Informasi belum dikelola dengan baik (belum ada proses pengelolaan informasi
terintegrasi)
2. Belum menggunakan formulir yang baku
3. Belum dilakukan oleh petugas khusus dan terlatih sehingga validitas dan
reliabilitasnya sering dipertanyakan
4. Belum adanya mekanisme serta alur pengumpulan data yang baku
Tujuan
1. Tujuan umum
Tersedianya informasi penanggulangan krisis akibat bencana yang cepat, tepat,
akurat, dan sesuai kebutuhan untuk optimalisasi upaya penanggulangan bencana.
2. Tujuan khusus
a. Tersedia informasi pada tahap pra, saat, dan pasca bencana.
b. Tersedianyan mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pelaporan informasi
masalah kesehatan akibat bencana mulai dari tahap pengumpulan sampai
penyajian informasi.
Alat Informasi
1. Pra-Bencana
Dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota diharapkan dapat menyusun informasi profil
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana ini yang dikumpulkan secara berkala
setahun sekali. Informasi profil ini diharapkan sudah tersedia pada setiap bulan April.
Sumber informasi pra‐bencana yang dituangkan kedalam bentuk profil tersebut
berasal dari:
a. Dinas kesehatan
b. Rumah Sakit
c. Instansi terkait
d. Puskemas
2. Saat dan pasca bencana
Informasi saat dan pasca‐bencana ini terdiri dari:
a. Informasi pada awal kejadian bencana;
Informasi ini harus disampaikan segera setelah kejadian awal diketahui serta
dikonfirmasi kebenarannya dengan menggunakan formulir penyampaian informasi
Form B‐1 atau B‐4 (terlampir).
Sumber informasi dapat berasal dari:
1) Masyarakat
2) Sarana pelayanan kesehatan
3) Dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota
4) Lintas sector
Menteri Kesehatan
Setjen
Eselon
IIPemicu
PPK
Dinkes Provinsi
Dinkes Kab/Kota
Sistem Keberhasilan
Informasi Penanganan
Krisis Korban
Dibagian ini dijelaskan pemkiran dan pandangan dari para ahli keperawatan yang
pernah ditugaskan saat bencana.
b. Pendekatan pada ilmu kesehatan publik (PHC) secara keseluruhan pada kegiatan
pertolongan
c. Mental Care untuk para korban dan stress management bagi penolong
1) Triage pasien
6) Mendampingi
Departemen keamanan dalam negeri Amerika Serikat telah merevisi struktur dalam
National Incident Management System (NIMS) dan telah diberlakukan untuk digunakan
untuk semua lembaga pelayanan keselamatan pblik yang meminta dana hibah nasional.
Panduan ini dikembangkan oleh para ahli komunikasi dan ahli bencana, sistem ini
menyediakan model untuk memampukan pemeliharaan komunikasi dan koordinasi dan
akan menyediakan pendanaan untuk kesiapsiagaan bencana.
Tiga kunci sistem pengorganisasian yang dipusatkan pada NIMS yaitu, Sistem
komando kejadian bencana atau Incident Command System (ICS), sistem koordinasi antar
lembaga atau Multiagency Coordination Systems, dan sistem informasi public (public
information system). Informasi publik merujuk pada pemberian informasi secara akurat
kepada publik dan mengkomunikasikan hal yang dianggap perlu pada saat waktu tertentu.
Koordinasi antar lembaga maksudnya adalah organisasi dan lembaga pendukung kegiatan
pada area local, regional, negara dan tingkat internasional. Yang terakhir, adalah sistem
komando kejadian bencana (ICS) adalah suatu pengorganisasian dan penatalaksanaan
dalam tanggap darurat pada saat kejadian. ICS telah digunakan dalam beberapa tahun
terakhir pada dinas pemadam kebakaran dan lembaga EMS untuk mengatasi kejadian
bencana seperti halnya kebakaran yang luas, kecelakaan kendaraan secara massal dan
menjadi tertanam didalam memulai managemen penanganan kejadian gawat darurat di
lembaga-lembaga tersebut, sehingga membuatnya lebih familiar dan fleksibel bagi
personil penolong yang memberikan kekuatan yang besar selama kejadian bencana. ICS
sangat baik dalam perkembangannya dan terbaik dalam level kegiatannya dimana
sejumlah lembaga atau tim bekerja secara simultan.
Meskipun menyediakan level yang sama dalam koordinasi pada lokasi pada
aktifitas di EMS dan Emergency Departement (ED) seperti memonitor sumberdaya yang
tersedia, dan pelacakan pasien-pasien. Masalah terkait ICS secara khusus tercatat pada
saat kecelakaan pesawat Singapore Airlines pada tahun 2000, dimana pasien salah di
alokasikan dikarenakan terbatasnya komunikasi pada saat itu. Untuk mengatasi
keterbatasan dari ICS, NIMS memperkenalkan kesatuan komando atau concept of unified
command, area command, dan multi stage coordination systems. Konsep ini mengganti
ICS pada regional level, memudahkan dalam memonitoring semua skenario
penyelamatan dan menyediakan pengukuran dampak pada kejadian yang beragam dan di
beberapa tempat pada satu waktu, atau kejadian tunggal yang berdampak pada berbagai
area hukum wilayah tertentu. Sistem ini menciptakan suatu grup yang bisa dialamatkan
pada berbagai perioritas, pengalokasian sumber daya, pelacakan sumberdaya dan
mempertahankan berbagai komunikasi.
Selama fase perencanaan, semua lembaga yang terlibat harus fokus pada tujuan final.
Mereka harus bekerjasama, memperjelas menguraikan dan mendokumentasikan tugas
tiap-tiap lembaga dan tanggungjawabnya untuk meminimalisir adanya konflik di masa
yang akan datang dan mengefisienkan penggunaaan berbagai sumber yang tersedia.
Interaksi dalam fase perencanaan ini dapat memudahkan berbagai personil dari beberapa
lembaga mencapai tingkat kenyamanan antara satu dan lainnya. Suasana yang
kekeluargaan atau familiar dapat membantu secara significant pada saat berbagai lembaga
dimana mereka bekerja selama masa krisis dan situasi sulit dan tertekan. Yang paling
terstruktur dari NIMS di dalam mempersatukan suatu perencanaan dan implementasi dari
suatu komando pada saat kejadian bencana, kesatuan komando, dan structure komando
wilayah, dapat juga meminimalkan konflik karena tanpa sistem ini sulit untuk
mengarahkan komando dan tanggung jawab untuk berada pada satu jalur.
Ada dua cara penambahan untuk meminimalisir konflik termasuk training dan
teknologi. Training memampukan mereka yang akan menghadapi bencana untuk bekerja
sama untuk menjadi lebih nyaman dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Training juga
akan menantang dalam hal perencanaan menghadapi bencana untuk melanjutkan
pendidikan bagi mereka yang terlibat. Jika tidak ada drill atau pelatihan yang dijalankan,
ditakutkan tidak terdeteksinya berbagai masalah-masalah, tidak ada pencapaian dalam hal
kenyamanan antar sesama staff, dan tidak adanya peningkatan sistem. Teknologi modern,
juga dapat memaksimalkan komunikasi dan koordinasi dan mengkondisikan para staf dan
personil dalam MCI protocol. Faktor manusia telah menunjukkan keterlibatan dalam
kegagalan perencanaan prosedur MCI. Untuk meminimalisir kesalahan karena faktor-
faktor manusia, software komputer atau pra-perencanaan dan protokol dapat digunakan.
4. Menghadapi Bencana
Pada masa bencana, Emergency Health System (EHS) sistem akan menghadapi sejumlah
besar pasien yang memerlukan tindakan dan perawatan bedah. Tergantung berdasarkan
tipe dari bencana, tindakan bedah akan mempunyai pola yang berbeda-beda. Pada
kejadian kecelakaan tunggal pesawat atau meledak, akan ada satu kejadian dimana
memerlukan tindakan bedah besar pada jam pertama setelah insiden. Dibandingkan
dengan suatu jumlah besar pasien yang di lihat pada kasus munculnya bioterror atau
munculnya penyakit infeksi. Kesemua pasien tersebut memerlukan tindakan perawatan
minimal yang lebih rendah, namun beberapa ada yang mengalami kritis dan
membutuhkan sejumlah besar sumber daya, khususnya para dokter spesialis. Pasien juga
akan secara langsung mengalami dampak bencana seperti perasaan kecemasan, dan
penyakit jiwa. Semua pasien juga tidak membutuhkan untuk dibawa ke rumah sakit
terdekat, atau rumah sakit lainnya. Paramedis menggunakan triage pasien-pasien pada
saat memutuskan kapan pasien membutuhkan pertolongan medis segera.
1. Gempa Bumi
Jika gempa bumi mengguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk yang dapat
dijadikan pegangan dimanapun kita berada.
a. Di dalam rumah getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda
harus mengupayakan keselamatan diri anda dan keluarga anda. Masuklah ke
bawah meja yang kokoh untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda.
Jika ada tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal. Jika anda
sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk mencegah terjadinya
kebakaran.
b. Di kantor berlindunglah di bawah meja. Liindungi kepala, leher dan mata. Hindari
pembatas kaca, jendela, lemari dan barang-barang yang belum diamankan. Jaga
posisi hingga guncangan berhenti.
c. Di sekolah berlindunglah dibawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas atau
buku, jangan panik, jika gempa mereda keluarlah berurutan mulai dari jarak yang
terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan berdiri dekat gedung, tiang dan
pohon.
d. Di luar rumah lindungi kepala anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah
perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca
dan papan-papan reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas
atau apapun yang anda bawa.
e. Di gedung, mall, bioskop, dan lantai dasar mall, jangan menyebabkan kepanikan
atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari petugas atau satpam.
f. Di dalam lift jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran.
Jika anda merasakan getaran gempa bumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah
semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan
mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan
menggunakan interphone jika tersedia.
g. Di kereta api berpeganglah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh
seandainya kereta dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah Mengikuti penjelasan
dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi petugas kereta atau stasiun akan
mengakibatkan kepanikan.
h. Di dalam mobil saat terjadi gempa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda
mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah
mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan
berhentilah, tapi janganlah berhenti di bawah jembatan. Matikan mesin dan gunakan
rem tangan. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dari
mobil, biarkan mobil tak terkunci.
i. Di gunung / pantai ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah
langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami. Jika anda
merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak. Cepatlah mengungsi ke dataran
yang tinggi.
j. Beri pertolongan sudah dapat diramaikan bahwa banyak orang yang akan cedera saat
terjadi gempa bumi besar. Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah sakit akan
mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian, maka bersiaplah memberikan
pertolongan pertama kepada orang-orang yang berada di sekitar anda.
k. Dengarkan informasi saat gempa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya.
Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang dan
bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat memperoleh informasi
yang benar dari pihak yang berwenang atau polisi. Jangan bertindak karena informasi
orang yang tidak jelas.
2. Banjir
Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum banjir tiba, seesuai tempat menurut
Sudiharto (2011) adalah sebagai berikut, yaitu :
a. Di Tingkat Warga
1) Bersama aparat terkait dan pengurus RT / RW terdekat bersihkan lingkungan
sekitar Anda, terutama pada saluran air atau selokan dari timbunan sampah.
2) Tentukan lokasi posko Banjir yang tepat untuk mengungsi lengkap dengan
fasilitas dapur umum dan MCK, berikut pasokan air bersih melalui koodinasi
dengan aparat terkait, bersama pengurus RT/ RW di lingkungan Anda.
3) Bersama pengurus RT / RW di lingkungan Anda. Segera bentuk tim
penanggulangan banjir di tingkat warga, seperti pengangkatan penanggung jawab
posko banjir.
4) Koordinasikan melalui RT / RW, dewan kelurahan setempat, dan LSM untuk
pengadaan tali, tambang, perahu karet dan pelampung guna evakuasi.
5) Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari
informasi, meminta bantuan atau melakukan konfirmasi.
b. Tingkat Keluarga
1) Simak informasi tekini melalui TV, radio atau peringatan tim warga tentang curah
hujan dan posisi air pada pintu air.
2) Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti : radio baterai, senter, korek gas
dan lilin, selimut, tikar, jas hujan, dan karet bila ada.
3) Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan
bayi, gula, kopi, teh dan persediaan air bersih.
4) Siapkan obat-obatan darurat seperti : oralit, anti diare, anti influenza.
5) Amankan dokumen penting seperti : akte kelahiran, kartu keluarga, buku
tabungan, sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan saat banjir Sudihartono (2011) adalah :
a. Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran
listrik di wilayah yang terkena bencana
b. Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih memungkinkan
untuk diseberangi
c. Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir, segera
mengamankan barang-barang berharga ketempat yang lebih tinggi
d. Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana
seperti kantor kepala desa, lurah ataupun camat
Ada beberapa hal yang harus dilakukan setelah banjir adalah :
a. Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur dan
gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit
b. Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang
sering berjangkit setelah kejadian banjir
c. Waspada terhadap kemungkinan binatang berbisa seperti ular dan lipan, atau binatang
penyebar penyakit seperti tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk
d. Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir susulan
3. Kebakaran
Kiat Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan (Sudihartono, 2011) adalah :
a. Bagi Warga
1) Bila melihat kebakaran hutan dan lahan, segera laporkan kepada ketua RT dan /
atau pemuka masyarakat supaya mengusahakan pemadam api
2) Bila api terus menjalar, segera laporkan kepada posko kebakaran terdekat
3) Bila terjadi kebakaran gunakan peralatan yang dapat mematikan api secara cepat
dan tepat
4) Tidak membuang puntung rokok sembarangan
5) Matikan api setelah kegiatan berkemah selesai
6) Gunakan masker bila udara telah berasap, berikan bantuan kepada saudara-
saudara kita yang menderita
7) Bagi peladang, hindari sejauh mungkin praktek penyuapan lahan pertanian
dengan pembakaran, apabila pembakaran terpaksa harus dilakukan, usahakan
bergiliran (bukan pada waktu yang sama), dan harus terus dipantau, bahan yang
dibakar harus sekering mungkin dan minta pimpinan masyarakat untuk mengukur
giliranpembakaran tersebut
4. Kegagalan Teknologi
Kiat-kiat penanganan dan upaya pengurangan bencana (Sudhartto, 2011) sebagai berikut :
5) pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari informasi,
meminta bantuan atau melakukan konfirmasi
b. Tingkat keluarga
1) Simak informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan tim warga tentang curah
hujan dan posisi air pada pintu air.
2) Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: radio baterai, senter, korek gas dan
lilin, selimut, tikar, jas hujan, ban karet bila ada.
3) Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan bayi,
gula, kopi,teh dan persediaan air bersih.
4) Siapkan obat-obatan darurat seperti: oralit, anti diare, anti influenza
5) Amankan dokumen penting seperti: akte kelahiran, kartu keluarga, buku tabungan,
sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil
mengungsi
b. Membuat perencanaan penanganan bencana
c. Mempersiapkan pengungsian jika diperlukan
d. Mempersiapkan kebutuhan dasar
Saat terjadi letusan gunung berapi yang perlu dilakukan adalah :
a) Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran
lahar
b) Ditempat terbuka, lindungi dari abu letusan dan awan panas. Persiapkan diri untuk
tangan
Setelah terjadi letusan gunung berapi adalah :
a. Jauhi wilayah yang terkena hujan abu
b. Bersihkan atap dari timbunan abu, karena bertanyaa, bisa merusak atau
mesin
7.tanah longsor
Strategi dan upaya penanggulangan bencana tanah longsor diantaranya :
a. Hindarkan daerah rawn bencana untuk pembangunan pemukiman dan fasilitas
utama lainnya.
b. Mengurangi tingkat keterjalan lereng
c. meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air permurkaan
maupun air tanah. Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng,
menghindari air meresapke dalam lereng atau menguras air ke dalam lereng ke
luar lereng. Jadi darinase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lbih dari 40 derajat
atau sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat sertadi seling selingi
dengan tanaman yang lebih pendek dan ringan, dibagian dasar di tanam rumput)
g. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat
h. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan
i. Pengenalan daerah rawan longsor
j. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall)
k. Penutupan rekahan ditaslereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam
tanah
l. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untukmenghindari bahaya liquefaction
(infeksi cairan)
m. Utilitas yang ada didalam tanah harus berifak fleksibel
n. Dalam bebrapa kasus relokasi sangat di sarankan
8. tsunami
Penyelamatan diri saat terjadi tsunamimenuru sudiharto, 2011 yaitu :
a. Sebesar apapun bahaya tsunai, gelombang ini tidak datang setiap saat
b. Janganlah anacaman bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati
pantai dan lautan. Namun jika berada di sekitar pantai, terasa ada
guncangan gempa bumi, airlaut dekat pantai surut secara tiba-tiba sehingga
dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan
pantai. Arahkan perahu ke laut. Jika gelombang pertama telah datang dan
surut kembali, jangan segera turun ke daerah yg rendah. Biasanya
pealayana rawat jalan atau rawat inap bila konsisi serius. Selaian itu ada
perjalanan kerumah sakit. Bahkan ada pasien yang memutuskan pulang paksa
dengan berbagai alasan. Pada dasarnya isi rekam kesehatan korban bencana
relatif sama dengan informasi bagi pasien gawat darurat di rumah sakit.
Pembeda utama antara pasien biasa dan gawat darurat dengan bencana terletak
sebagai bagan dari pelayanan gawat darurat dan termasuk dalam pelayanan
rawat jalan (out patient services). Bila pasien korban bencana yang telah
diperiksa tenaga kesehatan harus di rawat inap maka petuga medis segera
petugas, dan kepala instansi rekam medis. Rancangan yang terpilih adalah
belum maksimal. Selain itu diperoleh data bahwa adminitrasi dan pengololaan
di unit gawat darurat masih sangat terbatas dan sederhana, pencacatan dan
pelaporan pasien masuk dan keluar di unit gawat darurat tetap dilakukan
kebidanan tidak ada. Peran indikasi sangat penting pada kasus forensic atau
bencana massal. Salah satu bentuk indikasi tertuang pada berkas rekam medis.
Sehingga yang diperlukan dalam berkas rekam medis bencana harus mampu
merekam data selengkap mungkin (nuryati & Rawi, 2010). Berikut merupakan
dan manfaat dari praktek profesi (American Society of Anesthesiologists, 2013). Ada dua
dikembangkan berdasarkan consensus dan bukti-bukti ilmiah yang kuat, dan consensus based
practice parameter yang dikembangkan oleh pakar yang ditunjuk (American Society of
Anesthesiologists, 2013).
skope kecil sehari-hari dapat diterapkan dalam kejadian dengan jumlah korban yang besar
(bencana). Untuk itu perawat bencana mestilah terampil dalam melakukan tindakan-tindakan
pertlongan pertama (first aid), termasuk keterampilan resusitasi jantung paru (RJP) dan
penggunaan defibrillator external outomatis (Veenema, 2007). Selain itu, menurut Veenema
seorang perawat bencana juga harus mampu: (1) melakukan pengkajian terhadap jalan nafas
dan pernafasan, kardiovaskuler, interguman, nyeri, trauma, status mental, indikasi intubasi,
terapi IV, dan obat IV, pengobatan emergensi, terapi cairan, (2) memahami konsep
pertolongan pertama, triase dan transport, manajemen nyeri, manajemen pergantian cairan
stabilisasi dengan crush, dan menggerakkan pasien injuri pada spinal cord. Kemudian, pada
tahun 2009, ICN dan WHO menjabarkan secara lebih rinci kompetensi dasar penanganan
bencana yang harus dilakukan perawat untuk setiap fase dari 4 fase pada manajemen
bencana, yaitu fase mitigasi, preparedness, response, dan recovery/rehabilitasi (lihat modul
Dari hasil kajian literature review yang dilakukan Pfefferbaum & Shaw (2013)
1) Psychological first aid merupakan intervensi utama pada fase impact dan segera
setelah bencana
psychologis
pelayanan untuk anak-anak yang terpapar dengan bencana dan aktivitas kesiapsiagaan
terhadap bencana
6) Intervensi untuk penanganan bencana mestilah didukung bukti-bukti ilmiah yang kuat
Sementara itu, hasil consensus para pakar bencana dari berbagai disiplin dan agency
(The Sphere Project, 2011) menetapkan 8 standard dan indicator kunci untuk
menentukan kualitas pelayanan bencana sperti tercantum pada table 2 berikut ini.
Tabel 2. Standard dan pertimbangan Project Speher.
bantuan
Pengkajian Pengkajian diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang
pekerja bantuan
Supervisi staf,Para pekerja harus didukung dan disupervisi secara efektif.
pendukung
The Sphere Project. (2011). Humanitarian charter and minimum standard in humanitarian
memiliki peran penting dalam mencegah masalah kesehatan atau membantu orang lain selam
bencana (American Red Cross, 2006). Menurut WHO (2011), relawan kesehatan masyarakat
akan selalu memainkan peran penting dalam tanggap bencana. Mereka sering menjadi
responden pertama di tempat kejadian, yang paling dekat dengan bencana tersebut, dan
biasanya dipercaya oleh para korban. Relawan masyarakat (CHVs), yang didefinisikan
sebagai anggota masyarakat awam atau desa yang memiliki latar belakang yang mirip dengan
mereka dan bekerja untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan selama bencana
Selain itu, keterlibatan CHVs dalam program kesehatan mental berbasis masyarakat
adalah untuk menunjukkan atau mewakili pendekatan inovatif, layak, dan diterima secara
budaya untuk membangun kapasitas masyarakat dan untuk mengatasi dampak bencana (Yun,
Lurrie & Hyde, 2010). Dalam mengantisipasi bencana yang aka terjadi, WHO bekerjasama
dengan pemerintah dan mitra diseluruh dunia untuk melengkapi, melatih, dan mempersiapkan
relawan kesehatan masyarakat untuk memberikan perawatan kritis bagi jutaan orang yang
terkena bencana alam, perang dan krisis lainya, dan resiko kesehatan (WHO, 2011).
Mengenai peran CHVs, mereka memiliki tanggung jawab untuk mendukung misi
system kesehatan masyarakat memelihara dan meningkatkan status kesehatan suatu populaso
imunisasi, dan pelayan kesehatan primer penting lainnya, membentuk tulang punggung dari
pada sat fase respond atau darurat (WHO,2010). Dibeberapa Negara, seperti Amerika Serikat,
CHVs memiliki tanggung jawab untuk melayani dalam perawatan akut, rumah sakit, klinik
kesehatan, tempat penampungan bencana, stasiun pertolongan pertama atau tempat obat
dalam rangka mengurangi beban kerja tim medis dan kesehatan selama bencana (WHO,
2011).
1. Peran dan tanggung jawab CHVs dan kebijakan yang ada di Aceh
social yang bergerak dibidang penanggulangan bencana alam dan bencana social
berbasis masyarakat. Selama 4 tahun terakhir pekerjaan Tagana (CHVs) telah terlibat
Selain itu, semua anggota telah mengikuti pelatihan dalam bantuan dan penanganan
darurat saat bencana. Selama bencana, peran CHVs menekankan system peringatan
dini, respon cepat, dan pemulihan social, distribusi logistic untuk masyarakat atau
menyedikan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal bagi para korban,
menyedikan dapur umum juga dilakukan oleh CHVs (Departemen Sosial, 2011).
Menurut UU no.24/2007 tentang penanggulangan bencana bab VII pasal 62 dan 63,
menyatakan bahwa salah satu tujuan dari manajemen bencana adalah untuk
korban.
2. sistem respon bencana
sistem respon pada saat bencana atau darurat dalam situasi bencana terdiri dari tiga
tingkat (a) respon local, (b) penanggulan bencana berbasis Negara atau provinsi, dan
(c) tanggap bencana nasional.
1) tanggap darurat local.
respon untuk keadaan darurat bencana dimulai di tingkat lokan dan bisa
berkembang Negara (provinsi). tanggap darurat local mungkin mulai dengan
pelayanan medis darurat (EMS) personil tiba di tempat kejadian setelah dikirim
oleh panggilan 991.
personil EMS menstabilkan pasien dan mengangkut mereka ke pusat klinik
yangsesuai berdasarkan kondisi mereka. salah satu masalah paling penting yang
dihadapi sistem EMS adalah koordinasi terbatas antara personil EMS dan
penyedia lainnya, sehingga pasien tidak mampu untuk menerima perawatan yang
optimal.
2) penanggulangan bencana berbasis Negara/provinsi
ketika sumber daya local tidak mencukupi untuk menangani keadaan darurat dan
bencana, pemerintah daerah dapat mengajukan permintaan bantuan Negara atau
provinsi dengan mengikuti protocol komunikasi yang dijelaskan dalam rencana
tanggap darurat local dan Negara.
3) penanggulangan bencana nasional
di tingkat nasional, respon terhadap bencana saat di koordinasikan melalui
departemen terkait rencana tanggap nasional (NRP) di Negara Negara seperti
amerikaa serikat. the NRP dioperasikan melalui sistem manjemen inseden
nasional yang memungkinkan federal. Negara bagian, local, dan suku pemerintah,
sector swasta, dan LSM untuk berkoordinasi dalam rangka untuk mencegah,
mempersiapkan, menanggapi, dan pulih dari bencana terlepas sebab, ukuran, atau
kompleksitas.
di amerika serikat, semua tingkat respon bencana, local Negara bagian dan upaya
nasional yang didukung oleh relawan dan organisasi non-pemerintah (LSM) yang
diselenggarakan melalui organisasi nasional sukarela aktif dalam bencana.
sehubungan dengan rencana tanggap nasional. LSM menyediakan penampungan
massa, makanan darurat, konseling dan layanan dukungan lain untuk membantu
korban bencana dalam upaya pemulihan.
knferensi dunia tentang pengurangan bencana diselenggarakan 18-22 januari 2005
di kobe, hyogo, jepang dan mengadobsi kerangka action for 2005-2015 di bawah
tema membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. tujuannya
adalah untuk membangun ketahan bangsa dan komunitas terhadap bencana,
dengan mencapai pengurangan substantive kerugian bencana.
tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk mengelola atau meminimal resiko
bencana dengan meningkatkan kapasitas local dan ketahan dan mengurangi
keretanan dan menciptakan masyarakat yang tahan terhadap bencana, mampu
melindungi dan mempertahankan mata pencaharian. program CBDRM terdiri dari
pengurangan resiko bencana peningkatan kesadarn, penciptaan bahaya dan
evaluasi peta, kegiatan kesiapsiagaan masyarakat, penyediaan pertolongan
pertama, pembentukan komunitas tim PRB, simulasi penanggulangan bencana,
dan pembangunan resiko mitigasi skala kecil fasilitas infrastruktur (ADPC, 2008).
Program CBDRM bagi penduduk di masyarakat termasuk koordinasi tim,
kegiatan peringatan dini, evakuasi, pemberian pertolongan pertama, logistic dan
mobilisasi dapur umum keamanan dan (IOM, 2011).
untuk memastikan hasil yang diharapkan di butuhkan komitmen yang penuh dan
keterlibatan termasuk, pemerintahan, organisasi, regional dan internasional.
masyarakat sipil termasuk relawan, masyarakat akademik dan sector swasta (Hadi,
2008). mirip dengan CBDRM, komunitas tim tanggap darurat program (CRRT)
juga melatih orang-orang dalam masyarakat sebagai responden pertama bencana.
alam juga pembantu kapasitas masyarakat sebelum bencana terjadi. dalam
masyrakat dengan kapasitas atau fasilitas yang kurang atau Negara sedang
berkembanag, program CERT dapat memberikan pedoman atau guide line bagi
orang-orang dan organisasi untuk mengorganisir diri mengatasi isu-isu local yang
penting dari tantangan pada saat darurat dan bencana (breneen,2005).
berdasarkan konsep “tetangan membantu tetangga’’ program cert melatih relawan
local atau masyraakat sebagai responden pertama untuk keadaan darurat. CERT
program mendidik orang-orang tentang kesiapsiagaan bencana untuk bahaya yang
dapat mempengaruhi daeraha mereka dan melatih mereka dalam keterampilan
dasar tanggap bencana. dengan pelatihan didalam kelas dan melakukan simulasi
atau latihan, anggota CERT dapat membantu orang lain dilingkungan atau temppat
kerja mereka ketika respon professional tidak segera membantu .
namun, pelatihan CERT berfokus terutama pada perawatan darurat meliputi
pertongan pertama, triase, logistic, dan komunikasi, pencarian dan penyelamatan
dan organissi tim (plin dan brenen 2006).
pada fase darurat, CHVS harus berurusan dengan efek atau dampak langsung dri
bencana ketika tiba ditempat kejadian. beberapa kegiatan triase khususnya harus
segara dilakukan termasuk kebutuahan untuk menyediakan informasi yang akut
untuk tim seperti, wilayah geografis, jumlah korban bencana, kondisi fasilitas
kesehatan. CHVS memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan diri untuk
memberikan pellayanan efektif sebelum bencana terjadi. mereka perlu memiliki
kemampuan untuk berfikir kritis dan untuk menagggapi apa kebutuhan yang
mungkin dibutuhkan. pada fase respon tindakan meliputi peringatan, mobilisasi
dan mengevakuasi bencana. kegiatan kedua diikuti dengan menilai dampak
bencana mencatat, Daftar kebutuhan masyarakat dan mengkomunikasikan
informasi mengenai mengenai efek atau dampak bencana ( Vogt & Kulbok, 2008).
Focus utama dari CHV’s dalam perawatan darurat untuk bencana adalah
menyelamatkan nyawa melalui upaya penyelamatan (Davies, 2008). Di sini,
CHV’s akan memilih dan memprioritaskan korban korban dengan menggunakan
strategi triase bencana untuk mengobati sebagian besar korban yang muncul
pertama (Polvka et al.,2008). Kegiatan akan mencakup namun tidak terbatas pada
penilaian kebutuhan cepat, pertolongan pertama pada tingkat perawatan yang tepat
dengan tingkat yang tepat dari keahlian penyediaan layanan kesehatan,
pencegahan cedera ambahan, promosi makanan sanitasi dan air, pembentukan
system komunikasi dan transportasi, pengawasan untuk masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan bencana seperti penyakit menular, masalah
mental dam psikososial dan evakuasi orang-orang jika ada indikasi ( Polivika et
al., Vogt & Kulbok, 2008).
Tahap tanggap darurat terjadi pada jam-jam pertama, hari dan bahkan sampai satu
minggu setelah dampak bencana (Fothergill et al., 1999). Selain itu, peran CHV’s
dalam perawatan darurat atau dalam fase respon untuk menanggapi semua
panggilan untuk intervensi medis darurat, menyediakan akses ke evaluasi medis
dan stabilisasi untuk pasien bila diperlukan, dan menyediakan transportasi korban
dengan ambulans ke rumah sakit atau perawatan pusat perawatan medis definitive
(Thomas, 1993).
Kompetensi didefinisikan sebagai komponen spesifikasi dan kinerja seseorang yang berkaitan
dengan integrasi dan penerapan pengetahuan dari keterampilan untuk melakukan peran
professional aman dan etis (WHO, 2008). Menurut The American Heritage Dictionary
(2007), kompetensi personal didefinisikan sebagai kapasitas dan kemampuan seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu yang dapat secara hokum dilakukan oleh seseorang dalam
profesi tertentu. Berdasarkan definisi ersebut, relawan kesehatan masyarakat harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk merespon dan memberikan perawatan darurat selama
acara bencana fundamental.
Menurut Palang Merah Sudan (2007), salah satu kompetensi yang harus dicapai oleh relawan
kesehatan adalah menajemen yang berkaitan dengan pertolngan pertama berbasis masyarakat,
pencegahan penyakit menular, surveilans, kesehatan masyarakat dalam situasi darurat, dan
promosi kesehatan yang berkaitan dengan kebersihan, air, dan sanitasi. Dalam pencegahan
dan pengendalian bencana, peran CHV’s meluas ke system peringatan dini yang merupakan
instrument untuk membuat masyarakat sadar bencana yang akan dating (Kafle & Murshed,
2006).
Penilaian awal yang cepat setelah bencana harus focus pada menetukan masalah kesehatan
yang ada dan potensi termasuk morbiditas dan mortalitas, dan luka berat. Memberikan
penilaian dan rekomendasi kepada pihak berwenang untuk memberikan bantuan sesuai yang
diharapkan sebagai bagian dari peran CHV’s. pengelola korban missal, memberikan
pertolongan pertama dan mengangkut pasien ke fasilitas kesehatan juga tugas CHV’s.
CHV’s perlu mengembangkan kompetensi mereka dalam menajemen darurat untuk merespon
secara efektif selama acara bencana ( Fristch & Zang, 2009; Polivka et al., 2008). WHO
(2010) menyebutkan kompetensi CHV’s saat bencana mencakup kemampuan untuk
melakukan penilaian cepat yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, kemampuan untuk
melakukan pemantauan selama situasi darurat, kemampuan untuk memprioritaskan layanan
PHC termasuk arahan berbasis masyarakat dan peringatan dini terkait dengan penyakit
potensi wabah, kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama dan bantuan hidyp
dasar, dan kemampuan untuk mendukung pengelola korban missal termasuk trauma penting
dan perawatan bedah dan menyediakan layanan psikososia, dukungan masyarakat dan
psikologis pertologan pertama.
Peran tenaga kerja CHV’s dalam keadaan darurat akan tergantung pada tingkat pelatihan
mereka dan kemampuan mereka, kebijakan nasional penyediaan layanan kesehatan dan
dukungan system kesehatan di tingkat masyrakat.
Para anggota CHV’s sering menjadi responden pertama dibanyak tempat bencana (Auf der
Heide, 2003). Misalnya, dalam gempa bumi di Luzon, Fillipina 1990, sebagian besar
tindakan yang menyelamatkan jiwa penting dilakukan oleh anggota CHV’s di masyarakat
setempat (Roces, Putih, Dayrit &Durking 1992). Selain itu, tindakan CHV’s dalam tanggap
darurat untuk membantu masyarakat meliputi: 1) memberikan konstribusi kepada masyarakat
penilaian kebutuhan dan pemantauan selama keadaan darurat, 2) menyediakan layanan PHC
prioritas termasuk rujukan, komunikasi dan promosi kesehatan dan pendidikan, 3) melakukan
komunitas survelians berbasis dan peringatan dini penyakit potensial wabah, 4) memberikan
pertolongan pertama dan bantuan hidup dasar, dan 5) mendukung pengelolaan korban missal
termasuk trauma penting, dan 6) menyediakan layanan psikososial, dukungan masyarakat dan
psikologi pertolongan pertama (WHO & UNICEF. 2010)
Berdasarkan Flint dan Crennan (2006) dan Vogt dan Kulbok (2008), ada enam komponen
penting dari pengetahuan dan keterampilan CHV’s yang harus dipahami saat bencana : a)
peringatan dini, b) pertolongan pertama, c) triase bencana, d) logistic dan komunikasi, e)
pencarian dan penyelamatan, f) organisasi tim
Triage dilakukan oleh CHVs akan mengurangi beban tim dan fasilitas kesehatan. Selain itu,
triase dapat dilakukan pada waktu yang berbeda oleh berbagai kelompok penyedia layanan
kesehatan termasuk relawan kesehatan masyarakat (CVHs) untuk berbagai alasan selama
penyediaan perawatan darurat (Lerner et al., 2008). Dalam situasi bencana, triase mengacu
pada sistem yang digunakan ketika sumber daya yang tersedia tidak cukup untuk kebutuhan
semua korban (Baker, 2007). Oleh karena itu, prinsip triase telah berubah dari merawat
paling kritis sakit pertama yang merawat para korban yang paling mungkin untuk bertahan
hidup terlebih dulu (Ihlenfeld, 2003).
Selama fase darurat, CHVs harus mampu menyaring korban dengan menggunakan fase
korban dari bahaya triase yang dibagi menjadi tiga tahap: Tahap 1 – kematian dalam beberapa
menit sebagai akibat dari kerusakan yang luar biasa dan tidak dapat diubah ke organ vital;
Tahap 2 – kematian dalam beberapa jam akibat perdarahan yang berlebihan; Tahap 3 –
kematian dalam beberapa hari atau minggu sebagai akibat infeksi (CERT, 2011).
Triase penting dilakukan pada bencana karena beberapa korban bencana di tahap kedua dan
ketiga kematian bisa diselamatkan dengan memberikan intervensi sederhana termasuk cara
udara jelas, menghentikan pendarahan, melakukan CPR, dan segera mengangkut korban ke
rumah sakit (CERT, 2011). Di lokasi bencana, sistem primer yang paling umum digunakan
dalam situasi bencana adalah triase sederhana dan pengobatan cepat (START) (Lerner et al,
2006). START adalah konsep penting dalam penanganan korban bencana. Sejarah telah
membuktikan bahwa 40% dari korban bencana dapat disimpan dengan pengobatan yang
cepat dan sederhana. Dalam bencana dengan banyak korban, waktu akan menjadi penting.
Para anggota CVHs akan perlu waktu untuk bekerja dengan cepat dan efisien untuk
membantu korban sebanyak mungkin (CERT, 2011).
Para CHVs harus mengurutkan korban dengan menggunakan teknik pelabelan. Sistem
START menggunakan empat warna pelabelan. Hijau digunakan untuk korban yang dapat
memobilisasi diri, korban yang tidak dapat ambulate namun memiliki fisiologi normal
diklasifikasikan sebagai kuning, sedangkan merah digunakan untuk korban yang memiliki
respirasi normal, perfusi, atau status mental, tetapi dianggap sebagai diselamatkan. Hitam
digunakan untuk korban yang menderita luka-luka atau tanda-tanda kematian yang akan
datang dengan kesempatan miskin untuk bertahan hidup dibawah kendala saat ini
diprioritaskan (Sztajnkrycer, Madsen & Ba’ez, 2006).
Selain itu, menurut CERT (2011) sistem triase umum digunakan adalah klasifikasi kondisi
medis pasien. Klasifikasi ini dibagi menjadi empat tingkatan: 1) perawatan medis segera, 2)
tertunda perawatan, 3) tidak mendesak atau kecil dan, 4) mati atau hampir mati. Klasifikasi
ini mengacu pada Triage Sederhana dan Rapid Treatment (START) menggunakan sitem kode
warna. Perawatan segera adalah perawatan yang diberikan untuk pasien yang terluka parah
dengan probabilitas tinggi untuk bertahan hidup memerlukan prosedur untuk mencegah
kematian, misalnya, obstruksi jalan nafas, perdarahan, atau syok. Korban ini ditandai dngan
tag merah.
Dalam situasi darurat, obstruksi jalan napas, perdarahan, dan syok menyebabkan mati.
Prioritas utama kegiatan CHVs membuka saluran udara, mengendalikan perdarahan yang
berlebihan, dan mengobati shock (CERT, 2011). Salah satu contoh prpgram kesiapsiagaan
bnecana berbasis masyarakat untuk CHVs adalah Community Emergency Response Team
(CERT), yang didirikan di Los Angeles, California. Program ini berfokus pada penilaian dan
pengobatan tepat untuk cedera yang paling sering terjadi pada bencana alam, seperti patah
kaki, luka tusuk, atau luka bakar (Simpson, 2000).
Selain itu, survey berbasis masyarakat yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa
sebagian dari mereka yang disurvei mungkin telah menerima pelatihan CPR di masa lalu,
namun hanya sedikit yang telah dilatih baru-bau ini (Clark, 2008). Dengan demikian,
beberapa peneliti telah merekomendasikan bahwa anggota masyarakat awam harus menerima
pelatihan pertolongan pertama untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam
memberikan bantuan medis dasar selama fase pasca bencana sampai bantuan professional
tersedia (Angus et al, 1993,; Angus et al, 1997;. Crippen, 2001; Roces et al, 1992).
Keterampilan pertolongan pertama (first aid) adalah memberikan jalan napas, melakukan
resusitasi dari mulut ke mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati shock, dan mengendalikan
pendarahan (Kano, Siegel & Bourque, 2005). Selain itu, ada sejumlah studi yang membahas
kompetensi CPR dan retensi keterampilan, dalam sampel masyarakat. Studi ini menemukan
bahwa mereka yang dilatih akan lebih bersedia untuk menggunakan keterampilan yang
mereka peroleh, terutama untuk membantu anggota keluarga, bukan orang asing (Jelinek et
al, 2001;. Swor et al, 2003).
Menurut CERT (2011), tanggung jawab CHVs adalah untuk mengurus para korban yang
diduga mengalami obstruksi saluran napas. Para korban harus diperiksa segera untuk
bernafas, dan jika perlu, saluran udara harus dibuka. Ketika obstruksi jalan napas terjadi,
anggota CHVs harus membersihkan saluran napas menggunakan metode Head-Tilt/Chin-Lift
dan CHVs perlu mempertimbangkan pentingnya membuka saluran udara secepat mungkin
dan memeriksa obstruksi jalan nafas harus menjadi tindakan pertama. Selain itu, dalam
mengalokasikan pertama kepada korban, CHVs harus menghentikan perdarahan, karena
perdarahan yang tidak terkontrol secara dini menyebabkan kelemahan. Jika pendarahan tidak
terkontrol, korban akan mengalami syok dalam waktu singkat dan akhirnya bisa mati. Ada
tiga metode utama untuk mengendalikan pendarahan yaitu tekanan langsung, elevasi, dan
tekanan poin.
Selain itu, penyebab terakhir kematiaan korban dalam perawatan darurat adalah syok. Syok
adalah satu kondisi yang terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan aliran darah yang cukup.
Ketika darah tidak beredar, oksogen dan nutrisi lainnya tidak dibawa ke jaringan dan organ.
Pembuluh darah mulai menutup dan organ yang rusak. Syok dapat memperburuk korban
dengan cepat. Untuk membantu kondisi ini, anggota CHVs harus bertindak cepat jika da
tanda-tanda berikit yang menunjukkan korban dalam kondisi shock, napas cepat dan dangkal,
isi ulang kapiler lebih besar dari 2 detik, dan korban tidak bisa mengikuti perintah sederhana,
seperti meremas tanggan (CERT, 2011).
Dalam jangkat pende kemampuan anggota CHVs untuk membuka saluran udara, control
pendarahan, dan mengobati shock sangat untuk menyelamatkan nyawa. Mereka harus
menggunakan metode Head-tilt/Chin-lift untuk membukasaluran udara. Mereka juga harus
mengontrol pendarahan dengan menggunakan tekanan langsung, elevasi, dan / atau tekanan
pain.
sebagai buntut dari bencana alam, menghadapi banyak tantangan logistik termasuk
penghancuran infrastruktur fisik, misalnya jalan, jembatan dan bandara, keterpencilan suatu
daerah dan kapasitas transportasi terbatas (Thomas & Kopaczak, 2005).
CHVs harus memiliki pengetahuan tentang persediaan apa yang diperlukan, dimana mereka
berada dan pengetahuan tentang system transportasi (Long & Wood, 1995). Badan badan
harus memiliki informas yang diperlukan tetapi respon yang efektif memerlukan kemampuan
logistik untuk pegadaan perlengkapan dan transpotasi mereka ke lapangan. Sayangnya
meskipun logistik memainkan peran penting selama periode darurat awal, mereka sering
diberi wewenang terbatas untuk melaksanakan keputusan mereka (Thomas, 2003).
Sebagai contoh, solusi tenaga multi-tenaga logistik untuk tenaga Thailand dan Indonesia juga
terlubat, serta berkolaborasi pada mekanisme dukung tanggap darurat untuk mendukung
kader (relawan ) dari spesialis teknis untuk pelatihan kesiapsiagaan bencana, respn awal dan
sebagai sumber daya untuk pelaksaan dan pemantauan (Arminas, 2005).
Kebutuhan untuk rantai pasokan logistik yang lebih efesien dalam kondisi bencana sangat
diperlukan ( Hale & moberg, 2005). Selain itu, setelah bencana, pendidikan tentang
kebersihan bagi masyarakat penting untuk mengurangi resiko penyakit menular dan transmisi
( PAHO, 2006). The CHVs membantu dalam menawarkan logistik penting untuk kebutuhan
masyarakat seperti air, sanitasi dan kebersihan (WASH) untuk menyelamatkan nyawa korban
dalam situasi darurat (WHO & UNECE, 2010). Namun, tindakan multi-sektor mengurangi
sumber air utama yang rentan dan system limbah, dan memastikan WASH adalah tindakan
prioritas dalam penanggulangan keadaan darurat (WHO & UNICE, 2010).
WASH mengacu pada penyediaan air bersih untuk minum, mencuci dan kegiatan demestik,
penghapusan limbah aman ( toilet dan limbah buangan) dan kegiatan promosi kesehatan
untuk mendorong praktik- praktik perilaku perlindungankesehatan di antara penduduk yang
terkena bencana. WASH memadai dapat membatasi perawatan medis di fasilitas kesehatan,
menurunkan kondisi lingkungan dan peningkatan kerentanan masyarakat ( Wisner & adams,
2002). Bencana alam dapat membahayakan air dan infrastruktur pengelolaan sampah.
Penyediaan memadai WASH dapat menyebabkan peningkatan resiko beberapa
penyakittermasuk: diare, hepatitis A, kolera, tipus dan shebelle Disentri, cacinganusus,
Malaria dan Trachoma. Khususnya anak-anak bisa berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
penyakit menlar daripada orang dewasa. CHVs melakukan pemasokan air bersih yang
memadai bagi para korban selama perawatan darurat (WHO & UECE, 2010).
Selain itu, pemerintah dan relawan kesehatan masyarakat dapat mengelola resiko bencana di
WASH dengan merancang, membangun dan memelihara system airdan sanitasi yang
meliputimodifikasi sederhana untuk menahan risiko bencana (wisner & Adams, 2002). Dalam
mencegah penyebaran infeksi melalui pendidikan, fasilitas dan sabun untuk mencuci tangan
untuk mempromosika praktek-praktek higienis dan selama tanggap bencana, CHVs harus
menyediakan tempat penampungan dank amp-kamp sementara bagi keluarga ( Sphere, 2011).
Dalam fase darurat saat bencana informasi memainkan peran penting daalam manajemen
bencana. Hal ini jelas bahwa informasi penting yang dikumpulkan, dianalisis dan
didisyribusikan oleh lembaga yang berpatisipasi dan akan memfasilitasi respon yang efektif
dan karenanya lebih banyak nyawa bisa diselamatkan (King, 2005). Selam krisis, lembaga
kemanusiaan membutuhkan informasi yang berkaitan dengan situasi bencana, penduduk yang
terkena bencana dan ketersediaan sumberdaya (Zhang et al., 2002). Namum, ,mengumpulkan
informasi mungkin sangat sulit karena tidak dapat diaksesnya kedaerah-daerah karena
rusaknya infrastruktur dan dalam beberapa kasus keterpencilan daerah yang terkena bencana
(king, 2005). Biasanya penilaian dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusin untuk
memandu keputusan mereka dalam situasi bencana yang diberikan (darcy & hofmann, 2003).
Selanjutnya, selama bencana, media massa mungkin tidak tersedia atau setidaknya sangat
tergangu. Namun, radio mungkin tersedia, dan di permukiman darurat jangkat
panjangdimungkinkan untuk menghasilkan sebuah surat kabardi kamp penggungsiandan
membuat perjanjian dengan sebuat stasiun radio terdekat untuk menyiarkan program regular
tentang isi-isu kesehatan . radio, kaset, televisi, video, surat kabar, plakat, drama, pertunjukan
boneka dan mgafon adalah cara yang efektif untuk mengkomunikasikan informasi dengan
cepat ke masyarakat dan menciptakan kesadaran terhadap masalah atau gagasan (Bhutta,
Lassi, Pariyo & Huicho, 2011). Namun, pada fase darurat , kolaborasi dan komunikasi di
dalam dan di antara lembaga-lembagaadalah penting (gebbie & Qureshe, 2002). Sebuah
system komunikasi yang sesuai sangat penting untuk mengintegrasikan respon secara cepat
dari multi-organisasi dengan relay informasi ke dan dari lapangan pos komando ke pusat
operasi darurat.
Prioritas pencarian dan penyelamatan tim ini adalah untuk mencari dan mengevakuasi
korban dari zona dampak dan mentransfernya ke pos medis setelah menilai status mereka.
Tim pencarian dan penyelamatan dapat memberikan pertolongan pertama pada korban di
zona dampak, seperti mengontrol perdarahan, menjaga kelancaran saluran nafas, namun
ini bukan waktu untuk resusitasi cardiopulmonary (IFRC, 2004).
Tim evakuasi bertanggung jawab untuk mentransfer korban stabil ke fasilitas perawatan
kesehatan dengan menggunakan transportasi dan pendamping yang paling tersedia.
Korban dengan luka ringan dapat di transfer oleh transportasi non-medis setelah semua
korban akut telah dievakuasi. Setibanya di rumah sakit, setiap orang yang terluka harus
kembali diprioritaskan, dinilai ulang, distabilkandan diberi perawatan definitif.
Pencarian korban adalah sebuah operasi yang biasanya dikoordinasikan oleh Pusat
Koordinasi Penyelamatan (RCC) atau sub-center penyelamatan, menggunakan personel
dan fasilitas yang gersedia untuk menemukan orang-orang dan operasi penyelamatan
untuk mengambil orang-orang dalam kesulitan, menyediakan kebutuhan medis awal atau
lainnya, dan mengantarkan mereka ke tempat yang aman (FEMA, 2006). Selain itu,
Search and Rescue Kota (Husar), bertujuan untuk menemukan dan menyelamatkan orang-
orang dari bangunan yang roboh atau terperangkap dalam bangunan.
Tim multi-disiplin termasuk personal polisi, pemadam kebakaran, pelayanan medis darurat
dan CHVs, demikian juga halnya para pencari dan penyelamat tradisional, sebagian besar
memiliki kemampuan untuk membantu korban dalam keruntuhan struktural dan bahaya
dari gempa bumi, angin topan, dan bahaya lainnya (FEMA, 2006). Selain itu, ambulans
harus dalam daerah yang mudah di akses dari stasiun peawatan medis. Semua CHVs harus
menyadari rencana untuk transportasi dan tahu di mana kendaraan transportasi akan
berlokasi (Veenema, 2007).
Pada fase darurat saat bencana di mana orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan
bangunan yang telah runtuh, atau terkubur di bawah lumpur atau tanah longsor , orang-orang
ini harus dicapai dan diselamatkan, dan dalam hal ini CHVs akan bekerja sama dengan tim
lain (WHO & UNECE, 2010).
sebagai responden garis depan, CHVs memainkan peran penting dalam keadaan darurat dan
harus dimasukkan dalam perencanaan sistem kesehatan untuk semua fase manajemen resiko
darurat. Ini memerlukan upaya yang terkoordinasi dari semua pemangku kepentingan kunci,
termasuk tokoh masyarakat untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk tindakan
lokal selama fase darurat. (Global Health Workforce Alliance, 2010).
Ketika tejadi bencana, ada kebutuhan dari banyak tim atau organisasi untuk membantu para
korban, yang juga melibatkan kolaborasi antara CHVs dan professional kesehatan lainnya,
terutama dalam tahap darurat (Kuntz et al, 2008).
Dalam situasi ini, CHVs dan tim lain harus berkomitmen untuk afiliasi ini dalam rangkan
meningkatkan komunikasi dan kolaborasi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari
para korban dalam fase darurat. (Vogt & Kulbok, 2008).
Kolaborasi yang efektif antara pihak tanggap bencana alam termasuk penduduk setempat,
pemerintah daerah dan organisasi kemanusiaan merupakan bagian penting dalam manajemen
bencana alam (Oloruntoba, 2005). Simatupang dan rekan (2007) menyatakan bahwa
kolaborasi antara organisasi independen sangat penting untuk meningkatkan proses mereka
dalam menanggapi kondisi yang berubah dengan cepat. Namun, kerja sama yang efektif
dalam keadaan darurat sulit dicapai. Keterlibatan sejumlah besar lembaga dapat menciptakan
hambatan dalam upaya koordinasi dilapangan. Masing-masing instansi memiliki metode
operasi tersendiri dan kadang-kadang ada persaingan di antara mereka untuk merebut sumber
daya yang terbatas. Respon terhadap bencan besar umumnya membutuhkan keterlibatan
berbagai lembaga nasional dan internasional. Dalam keadaan darurat, koordinasi upaya dan
kegiatan organisasi nasional dan internasional yang berbeda membutuhkan kepemimpinan
yang kuat. Namun, dalam praktiknya, berbagai organisasi biasanya cenderung bekerja secara
mandiri.
System pelayanan kesehatan masyarakat berperan penting dalam manajemen bencana. Pada
saat sebelum bencana, anggota tema masayarakat berperan dalam mengidentifikasi kejadian
bencana dan populasi yang berisiko terhadap bencana, mendidik penduduk mengenai cara-
cara pencegahan dan persiapan menghadapi bencana., bekerja sama dengan lembaga lain
untuk mengembangkan rencana pencegahan bencana dan membatasi jumlah korban,
membantu mengidentifikasikan sumber-sumber yang ada, merekrut tenaga volunteer
kesehatan, dan membantu dan mengadvokasi pengembangan peraturan-peraturan untuk
mengurangi efek bencana.
Pada saat kejadian bencana, tenaga kesehatan masyarakat mengkaji dan mengkomunikasikan
informasi mengenai efek kesehatan bencana kepada agen pemerintah yang terkait,
mengkoordinasikan pelayanan kesehatan, membantu pencegahan injury dan upaya-upaya
promosi kesehatan yang dibutuhkan. Setelah bencana, tenaga kesehatan masyarakat
bertnaggung jawab untuk menjaga adanya kontinuitas pelayanan follow-up untuk para korban
dan berpartisipasi dalm kegiatan evakuasi kolaboratif penanganan bencana.
2. Elemen-elemen bencana
a. Elemen temporal (temporal element)
Bencana dikategorikan sebagai suatu siklus fenomena yang berlangsung dalam lima tahapan,
yaitu tahap non-bencana atau interdisaster, tahap prabencana, tahap impact, tahap
emergensi, dan tahap penyembuhan(Clark, 2008, p. 765).
2) Tahap Prabencana
Tahap ini disebut sebagai tahap peringatan atau ancaman yaitu terjadi ketika peristiwa
bencana sudah dekat tapi belum terjadi (Clark, 2008, p.765). Beberapa kegiatan pada
tahap ini adalah pemberian peringatan kepada mayarakat akan bencana yang akan
terjadi, mobilisasi preimpac tatau pun evakuasi masyarakat untuk mencegah dampak
yang tidak diinginkan dari bencana yang akan terjadi (Clark, 2008, p. 766).
3) Tahap Impact
Tahap impact adalah tahap ketika bencana telah terjadi dan efek langsungnya telah di
alami oleh masyarakat (Clark, 3008, p. 767). Kegiatan tenaga perawatan masyarakat
pada tahap ini adalah melakukan rapid assessment terhadap kerusakan bangunan dan
injury fisik yang dialami masyarakat untuk menentukan kebutuhan yang diperlukan
pada tahap emergensi(Clark, 2008, p. 767).
4) Tahap Emergensi
Tahap emergensi berfokus pada upaya-upaya untuk menyelamatkan kehidupan
(Landesman, 2005), umumnya dimulai oleh maysarakat itu sendiri sebelum bantuan
luas datang, dan dipengaruhi oleh kondisi geografi wilayah bencana (Clark, 2008, p.
767). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pencarian dan
penyelamatan korban(search and rescue), pertolongan pertama, bantuan darurat
medis, memperbaiki atau menegakkan system komunikasi dan transportasi,
surveillance, dan evakuasi (Clark, 2008, p. 767).
5) Tahap Recovery
Tahap recovery dibagi atas tahap restorasi (restoration), rekonstruksi
(reconstructtion), dan rekonstitusi (reconstitution) yang berfokus pada upaya-upaya
untuk mengembalikan masyarakat ke keadaan keseimbangan (equilibrium) dan
kadang-kadang juga pada upaya-upaya untuk mencegah terulangnya bencana atau
untuk meningkatkan persiapan dan kemampuan respon masyarakat terhadap bencana
(Clark, 2008, p. 767).
3. Tertiary prevention
Tindakan pencegahan tersier bertujuan untuk menyembuhkan masyarakat dan
anggota masyarakat dari dampak bencana dan mengembalikan mereka kekehidupan
normal serta mencegah terulangnya bencana . tabel 3 mendeskripsikan jenis tindakan
pencegahan tersier pada keperawatan bencana di komunitas.
Isolasi atau
menarik dari
pergaulan
Kelompok kebutuhan khusus disebut juga sebagai kelompok resiko atau kelompok
rentan adalah kelompok orang-orang yang secara fisik, psikologis, atau sosial berisiko tinggi
pada kejadian bencana. Mereka mempunyai kebutuhan tambahan untuk mempertahankan
kemandirian, komunikasi, transportasi, supervisi dan pelayanan kesehatan baik pada masa
sebelum, selama, maupun setelah bencana. Kelompok individu dengan kebutuhan khusus
terdiri atas orang dengan cacat fisik dan mental, orang tua, wanita hamil, anak. Para tahanan ,
kelompok minoritas yang kurang mampu, pekerja ilegal, dan orang-orang dengan gangguan
komunikasi.
anak-anak (bernanda, 2007). Menurut bernando, tanda, gejala, tingkat injury dan sakit
yang dialami anak-anak berbeda dengan orang dewasa karena beberapa faktor berikut ini :
1) Pulmonary - anak mempunyai ventilasi dan metabolisme rates yang lebih tinggi
mempunyai kulit yang lebih tipis dan permiabel, sedikit lemak subkutan, mempunyai
area tubuh yang lebih besar dibandingkan rasio Bb, dan koordinasi motorik halus
tahap tumbuh kembang sehingga bencana dapat meningkatkan resiko anak mengalami
mempertahankan tumbuh kembangnya dan ini myngkin tidak akan terpenuhi pada
ini adalah anak-anak ( WHO, et al 2011). Menurut laporan dari WHO et al tersebut
beberapa masalah kesehaan yang umum ditemukan pada anak-anakpaska bencana adalah
penyakit-penyakit infeksi termasuk malaria, diare dan malaise : malnutrisi dan kekurangan
psikologis jangka panjang. Stresor terkait bencana pada anak dapat berupa proses
evakuasi; pengalaman hidup di tenda, dan kehilangan rumah, sekolah, orang tua dan
sekolah atau barang dicintai lainya (bernando, 2007). Dampak bencana pada anak
dipengaruhi oleh tingkat tumbuh kembang anak; level kognitif; pengalaman bencana;
reaksi keluarga terhadap bencana; sifa paparan atau situasi anak saat bencana; dan budaya
pusing, kesemutan
Reaksi lambat, rasa takut, gangguan tidur,
keputusan
Diadaptasi dari furnio, Y. & Sachiko, H. 1999. Dikutip dari zailani, et al (2009).
Keperawatan bencana (ed 1). Banda Aceh Japaness red Cross Society & PMI.
perlu adanya perawatan yang tepat termasuk mulai dari saat setelah bencana hingga
yaitu suatu sistem triase yang mengkaji kebutuhan anak-anak (Markenson &
Able to yes
Minor Secondary triage
walk?
No
Breathing
Immediate
15-45
AVPU
Palpabele “k”,”v” or “p”
“p” (INAPROPRIATE),
No Immediate
Yes
pulse POSTURING{APPROPRIATE}
OR “U” Delayed
Immediate
2) penanganan pra-rumah sakit
Mengkaji kondisi jalan nafas, nafas, sirkulasi, dan disabilitas (neurologi), dan
memberikan terapi oksigen, IV dan pemeliharaan thermotrgulasi (Bernardo,2007,p.
284).perhatian khusus lainnya dilakukan mengacu jenis bencana dan kebutuhan anak yang
ditimbulkannya.
Sesuai tingkat injuri yang dialami, anak mungkin memerlukan perawatan lanjutan
untuk mengatasi masalahnya dan ini merupakan suatu tantangan pada penanganan anak
dengan bencana. Bencana biasanya merusak bangunan fisik termasuk fasilitas kesehatan
seperti rumah sakit, untuk itu anak mungkin akan dirawat jauh dari orang tua atau
masyarakatnya. Upaya untuk sesegera mungkin menyatukan anak dengan anggota
keluarganya harus dilakukan dan mestilah dijadikan sebagai salah satu bagian dari rencana
program penanganan bencana (conway et al.,1990, dikutip Bernardo, 2007, pp.286-287)
beberapa alasan orang lanjut usia / lansia dijadikan sebagai salah satu kelompok
khusus pada perawatan bencana adalah ; (1) lemahnya sistem immune, (2) kurangnya
kemampuan untuk bergerakatau mengungsi dengan cepat saat bencana terjadi akibat
penurunan mobilitas fisik, (3) adanya berbagai penyakit kronis, (4) sukar berkomunikasi, dan
atau mengikuti intruksi akibat penurunan daya ingat (5) meningkatnya kerentanan
terhadapberbagai gangguan mental. Selain itu selama masa emergensi dan recovery
/rehabilitasi, para lansia dapat mengalami penurunan kesehatan akibat kekurangan gizi, suhu
extreme, infeksi, terputusnya pelayanan medis, dan distress emosional.
CDC memperkirakan bahwa beberapa faktor berikut ini, yang berhubungan dengan
proses penuaan mempengaruhi reaksi lansia terhadap bencana
2) Penyakit kronik
Akibat keterbatasan dan penurunan sistem imun mengakibatkan para lansia sangat
beresiko utk mengalami berbagai penyakit kronis termasuk atritis.
3) Resiko trauma
Akumulasi berbagai pengalaman kehilangan yang dialami sepanjang hidupnya seperti
kehilangan kemampuan, pasangan, pekerjaan,dll mengakibatkan lansia lebih beresiko
terhadap trauma selama bencana.
5) Transportasi
Banyak lansia tidak mampu untuk dievakuasi akibat hambatan transportasi
6) Keterbatasan sumberdaya
Kebanyakan lansia mempunyai penghasilan yang terbatas sehingga tidak dapat
sembuh secara ekonomi dengan cepat setelah bencana
7) Menolak bantuan
Lansia biasanya lambat mendapatkan bantuan akibat tidak cepat mendaftar
8) Nutrisi
Lansia sering mengalami masalah gizi setelah bencanan akibat intake makanan yang
tidak adekuat.
Lansia terutama dengan cacat mental atau fisik sering menjadi objek penipuan dan
abuse oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
hutton (2008) memberikan beberapa rekomendasi berikut ini untuk penanganan lansia
yang mengalami bencana.
1. Fase persiapan
Mencakup upaya-upaya untuk mengidentifikasi dan meningkatkan kesadaran
akan kebutuhan lansia pada keadaan bencana, seperti membuat petunjuk-petunjuk
penanganan bencana untuk lansia(guidline), alat dan latihan-latihan utk menjamin
ketepatan pelayanan emergency ketika bencana dan memfasilitasi partisipasi
lansia dalam program bantuan kemanusiaan.
2. Fase respon
Prioritas utama diberikan pada evakuasi lansia ketempat yang aman dimana
mereka mendapatkan pelayanan penyelamatan dari tenaga kesehatan professional,
mencegah terjadinya penyakit infeksi dan memenuhi kebutuhan cairan dan
makanan.
3. Fase recovery dan transisi
Diarahkan pada upaya untuk melanjutkan pelayanan kesehatan kpd lansia
yang membutuhkan dan membantu lansia meningkatkan kapasitas dirinya agar
dapat keluar dari krisis yng terjadi akibat bencana.
ibu hamil dan menyusui dimasukkan kedalam klp resiko atau dengan
kebutuhan khusus bencana karena adanya resiko kelahiran premature, BBLR,
kematian bayi, kemungkinan kurangnya akses thdp pelayanan kesehatan, kontak
bahan-bahan berbahaya dan penanganan yang tidak tepat selama disaster.
2) Perawatan pada masa postpartum ibu hamil dan menyusui yang mengalami
bencana
Oleh karena kesehatan bayi baru lahir erat kaitannya dengan kesehatan ibu,
maka riwayat kesehatan ibu pada saat prenatalnya seperti adanya factor resiko
kehamilan harus diperhatikan.
Fase ini didefinisikan sebagai fase mulai terjadinya bencana sampai sekitar 1 bulan
setelah terjadinya bencana. Pada fase ini priorotas diberikan pada pengkajian
riwayat kesehatan dan pengobatan, intervensi langsung sesuai masalah klien,
dukungan psikologis, memfasilitasi klien mendapatkan penanganan medis yang
sesuai dan edukasi tentang obat dan efek samping. Untuk pasien diabetes, perawat
membantu klien tindakan keperawatan.
Fase ini dimulai sejak 1 bulan hingga 2 atau 3 tahun setelah bencana. Tindakan
perawatan diantaranya adalah perawatan lingkungan, pencegahan penyakit,
penanganan stress, meningkatkan kemampuan self care pasien dan lo;aborasi
dengan tim medis lainnya.