You are on page 1of 86

A.

Konsep Keperawatan Bencana


1. Definisi bencana
Bencana (disaster) dalam ‘UU pokok kebijakan Bencana’ yang menjadi dasar
kebijakan bencana di jepang di definisikan sebagai ‘’kerugian yang muncul Karena
sebab-sebab yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah yang mana
mengelompokkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang tidak
normal seperti badai, hujan, dan salju yang lebat, banjir, gelombang pasang, gempa,
tsunami maupun peledakan bom ( Japanese Red Cross Society & PMI, 2009)
Menurut Departemen kesehatan Republik Indonessia (2001), definisi bencana
adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar dari pihakluar.
Sedangkan, definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap
kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa
manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatanan pada sakla
tertentu yang memerlukan respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut (BAKORNAS PBP) Bencana dapat juga didefinisikan sebagai situasi
dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung pada cakupannya,
bencana ini bisa mengubah pola kehidupan dari kondisi kehidupan masayarakat yang
normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak
struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar.
2. Definisi keperawatan bencana
Perawat adalah bagian dari kelompok petugas kesehatan yang merupakan
orang terdepan dalam penanganan bencana. Tujuan dari keperawatan bencana adalah
memperoleh pencapaian perawatan optimal saat bencana yang meliputi identifikasi,
advokasi, dan caring untuk semua korban bencana, termasuk aktif terlibat di dalam
perencanaan dan kesiapsiagaan bencana keperawatan bencana menyediakan
perawatan, advokasi, dan promosi kesehatan dalam kontek bencana. Keperawatan
bencana sangat esensial dalam mengelola korban bencana yang memerlukan kritikal
thinking, kemampuan adaptasi, teamwork, dan kepemimpinan (Powers, 2006)
3. Emergency nursing
Suatu situasi yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan, property atau
lingkungan. Emergency membutuhkan tindakan segera untuk mencegah
memburuknya situasi.

Disaster Nursing Emergency Nursing

Kebutuhan
perawatan
Kebutuhan Sumber SDM/ obat- kesehatan
perawatan obatan/peralatan
Sumber SDM/ obat-
kesehatan
4. Mass casualty incident (MCI) obatan/peralatan
Mass casualty incident adalah suatu situasi secara signifikan membutuhkan
ketersediaan pelayanan emergensi medis (emergency medical services), fasilitas dan
sumber-sumberlainnya. Fasilitas dan sumber-sumber MCI terbagi atas:
a. Multiple casualities yaitu bila jumlah korban dan penderitaan dari orang-
orang yang terluka tidak melebihi kemampuan dan fasilitas yang tersedia
b. Mass casuality incident yaitu bila jumlah korban dan orang-orang terluka
melebihi kemampuan staf dan fasilitas yang tersedia.

5. Hazard dan Catastrophe

a. Hazard
Apabila menyebut kata “bencana”, mungkin banyak orang membayangkan
bencana alam seperti angin topan atau gempa, namun fenomena alam tidak sama
dengan bencana. Dengan terjadinya gempa, belum tentu berarti terjadi bencana.
Fenomena alam seperti gempa, dan lainnya merupakan penyebab timbulnya
bencana tetapi bukan bencana (disaster) seutuhnya. Selain fenomena alam seperti
gempa atau hujan badai, termasuk juga kecelakaan pesawat atau kereta api dan
ledakan bom atau kebakaran skala besar. Lalu, perang atau konflik tiap-tiap
wilayah di seluruh dunia, aksi terror, bahkan wabah HIV/AIDS, SARS (Sindrom
pernapasan akut berat) ataupun flu burung, penyakit menular menyebabkan
penyebaran keseluruh dunia dan sebagainya mulai mendapatkan perhatian
sebagai Hazard.
Hazard didefinisikan “membawa pengaruh negative terhadap nyawa
manusia atau harta, aktivitas, dan keadaan karena ulah manusia atau fenomena
alam yang jarang dan darurat (PBB)”.
Hazard Kerentanan Masyarakat

Fenomena alam Faktor alami


Peristiwa ulah Bencana
Faktor sosial
manusia
Gambar 1. TerjadinyaBencana

Hazard adalah sesuatu yang mengancam nyawa manusia dan harta benda
serta lingkungan hidup karena peristiwa akibat ulah manusia ataupun fenomena
alam. Hazard menjadi penyebab terjadinya bencana. Namun bukan berarti jika
ada hazard maka akan terjadi bencana. Contohnya, jika ada angin badai ataupun
topan dengan kekuatan yang sama melanda wilayah yang tidak ada penghuninya,
hal itu tidak dapat dianggap sebagai bencana karena tidak berdampak pada nyawa
atau kehidupan penduduk.
Catastrophe adalah kejadian bencana dalam skala yang besar dan sangat
ekstrim dan kejadian yang menakutkan.
b. Kerentanan (Vulnerability)
Vulnerability adalah tingkat kerugian yang berdampak pada nyawa
ataupun kehidupan jika terjadi Hazard. Dapat dikurangi dengan peningkatan
kapasitas respon penduduk local dan komunitas masyarakat. Kerentanan
masyarakat berkaitan dengan seberapa besar kekuatan tingkat persiapan
masyarakat terhadap kejadian yang menjadi penyebab bencana.
Kerentanan masyarakat terbagi 2, yaitu:

1) Faktor alami :Bentuk geografis, Geologi, Cuaca, Iklim, dsb


2) Faktor social : pembangunan di daerah berbahaya (tanah miring dan
lemahnya fondasi), pemusatan dan meningkatnya pertumbuhan penduduk
serta pesatnya urbanisasi, kerusakan lingkungan, kemiskinan, situasi
masyarakat dan kondisi ekonomi yang tidak stabil, pengendalian bencana
yang tidak tepat atau tidak mencukupi, dll.
6. Biological, Radiological, Chemical And Explosion (CBRE)

Chemical and biological agent:

Adapun beberapa contoh dari chemical and biological agent adalah gas khlorin yang dapat
menimbulkan toxin yang mematikan dan injury, mycotoxin, arthropoda, smallpox, pestisida,
anthrax dan botulism. Sedangkan agen radiation dan explosion dapat berupa radiasi alpa,
beta, gamma dan dirty bomb (terorism).

7. Jenis bencana

Bencana terdiri dari berbagai bentuk, Undang-Undang Republik Indonesia No. 24


tahun 2007 tentang penanggulangan bencana bab I, pasal 1 ayat 2, 3 dan 4 mengelompokkan
bencana kedalam tiga kategori yaitu:

a. Bencana alam
Bencana yang di akibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang di
sebabkkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
b. Bencana non-alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non-alam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan
oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.

8. Level bencana

Level I

Persiapan kompetensi emergensi, adekuat kapasitas dalam organisasi yang


dipersiapkan untuk merespon keadaan emergensi secara rutin.

Level II

Adanya kerja sama dengan organisasi dan komunitas sekitar dan dibutuhkan adanya
dukungan lokal.
Level III

Adanya kerjasama adekuat antara beberapa negara/ organisasi, adanya rantai


komando komunikasi untuk meperoleh bantuan dari negara tersebut.

9. Dampak bencana

Peristiwa alam dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak negatif yang
merugikan manusia dan perlu segera diantisipasi agar akibat negatif yang diderita oleh
masyarakat tidak berlanjut berkepanjangan.

a. Dampak fisik
Hasil survei Freedy dan Simpson (2007) di Amerika mengidentifikasi masalah fisik
akibat bencana dibagi empat kategori yaitu: cedera akut, masalah akut, masalah
kronik dan gejala fisik secara medis yang tidak dapat dijelaskan.
Masalah kesehatan fisik pasca bencana yang sering terjadi adalah penyakit akut
seperti influenza, batuk-batuk, malaria, gastroentritis. Selain itu korban bencana yang
banyak mengalami cedera misalnya luka, lecet, sprain, dan patah tulang. Masalah
kronik yang sering terjadi adalah diabetes, hipertensi dan CHF. Somatik adalah
keluhan tanpa sebab organik, kadang-kadang digambarkan sebagai gejala fisik yang
tidak dapat dijelaskan secara medis, yang umumnya setelah bencana terjadi. Gejala ini
berhubungan dengan kesehatan mental seperti depresi, PTSD, dan kecemasan.
b. Dampak Psikologis
Bencana menimbulkan dampak psikologis meliputi efek jangka pendek seperti
kejutan, kecemasan, gangguan tidur dan rasa bersalah. Masalah kesehatan mental
pasca bencana adalah terjadinya disfungsi atau distorsi kognitif, disfungsional
perilaku, emosional labil, gejala fisik kronik non organik, penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol, depresi, perilaku kekerasan, pasca trauma stress disorder
(PTSD) atau gangguan kecemasan lain, dan skizofrenia (Freedy & Simpsom, 2007).
Hasil penelitian Noorthoom, et al. (2010), menggambarkan akumulasi rujukan
kejadian masalah kesehatan mental akibat bencana pada populasi selama empat tahun
adalah sekitar 10%. PTSD adalah yang paling umum terjadi (53%). Masalah kesehata
mental lain adalah depresi (58%).
c. Dampak psikososial
Kelompok yang beresiko terkena gangguan psikososial adalah anak-anak, remaja,
wanita dan lansia. Untuk anak-anak korban bencana bisa sangat menakutkan, fisik
mereka yang tidak sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan terhadap
ancaman bencana. Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya
ketertarikan dalam aktivitas sosial di sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan
makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko
yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi. Kondisi psikososial di
daerah bencana khususnya bagi kaum perempuan mengakibatkan berbagai goncangan
psikologis seperti hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatiran bahkan
memunculkan gejala phobia yaitu perasaan takut yang berlebihan. Sedangkan para
lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan menta. Kemampuan
adapatasi yang dimilki juga sudah sangat jauh berkurang, sehingga sangat rentan
terhadap perubahan (Khrismawan, 2012).
d. Dampak spiritual
Dampak spiritual terhadap bencana dimaknai secara berbeda oleh masyarakat.
Sebagai contoh, bencana tsunami telah memberikan dampak terhadap korban dan
keluarganya seperti kehilangan tujuan dan harapan hidup, tiba-tiba marah, dan
perasaan bersalah (Hatthakit & Thaniwathananon, 2007). Selain itu dampak
psikospiritual lain dari bencana adalah pengalaman berduka, perasaan bersalah, takut,
kehilangan masa depan dan harapan hidup (Gregor, 2005).

Berdasarkan Sukandarrumidi (2010), dampak bencana terdiri dari:


a. Dampak bencana terhadap kehidupan sosial masyarakat
Sosial merupakan interaksi antar anggota masyarakat dengan tujuan untukmencapai
kehidupan bersama yang optimum dan tidak saling merugikan. Oleh karena itu,
kehidupan sosial masyarakat mengutamakan hidup gotong royong, berdampingan,
saling membantu dan meringankan beban penderitaan, serta menimbulkan solidaritas
sosial secara holistik.
Bencan alam yang melanda suatu daerah dapat megakibatkan terganggunya
ketenangan dan pola hidup masyarakat. Dalam hal tertentu, bencana alam mamu
mengahncurkan harapan hidup anggota masyarakat. Bencana alam juga menimbulkan
penderitaan bagi masyarakat. Keadaan kehidupan sosial masyarakat berubah menjadi
kurang menguntungkan dan memerlukan bantuan warga masyarakat lain yang tidak
mengalami encana. Bahkan, anggota masyarakat dari negara lain akan ikut membantu
apabila mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang bencana yang terjadi.
Contohnya, yaitu bencana alam yang melanda masyarakat Aceh dan Sumatra Utara
akibat keganasan tsunami yang terjadi pada pagi hari minggu tanggal 26 Desember
2004 telah mengundang simpati masyarakat dubia. Pemerintah dan masyarakat,
Eropa, Asia dan Australia berdatangan membantu meringankan beban hidup korban
bencana alam tsunami.
b. Dampak bencana terhadap kehidupan ekonomi masyarakat
Bencana alam mampu merusak sarana dan prasarana ekonomi masyarakat.
Kegiatan industri terhenti, kegiatan ekonomi juga terganggu. Saluran telekomunikasi
rusak. Jaringan listrik putus sehingga mengganggu kinerja industri. Sebagian besar
anggota masyarakat kehilangan modal kerja dan lapangan kerja.

Kemampuan ekonomi masyarakat menjadi sangat terbatas, mengakibatkan

penderitaan berlangsung secara berkesinambungan. Dan pengangguran terjadi

dimana-mana.

Dampak bencana alam terhadap masalah ekonomi masyarakat bersifat

sementara, dapat berjalan dalam jangka waktusingkat atau dalam jangka waktu lama.
Singkat dan lamanya dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada kepedulian

pemerintah dan kepedulian hidup dalam masyarakat.

c. Dampak Bencana Terhadap Lingkungan Hidup

pengaruh bencana alam terhadap lingkungan hidup sangat ditentukan oleh banyaknya

korban dan jenis bencana alam, salah satunya kerusakan lingkungan yang berdampak

pada perubahan iklim global. Perubahan iklim global menyebabkan meningkatnya

suhu bumi akibat akumulasi emisi gas di atmosfir atau yang sering dikenal dengan

Global Warming. Sebagai Negara berkembang Indonesia menghadapi masalah

kerusakan lingkungan yang member dampak negative bagi kesejahteraan manusia.

Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia membawa bencana, penyakit, serta

kerugian harta dan jiwa. Selain itu bencana alam mampu mengubah lingkungan hidup

menjadi kurang mendukung secara estetika.

10. Reaksi normal pada bencana

a. Emotional: depresi, kesedihan, irritable, marah, anxiety, takut, putus asa, tidak ada

harapan, merasa bersalah, keraguan diri, dan perubahan mood.


b. Behavior: gangguan tidur, denial, menangis, aktivitas berlebih, meningkatnya

konflik keluarga, dan isolasi diri.


c. Cognitive: bingung, disorientasi, mimpi buruk, gangguan konsentrasi, kesulitan

mengambil keputusan.
d. Physical: fatigue, kelelahan, gastrointestinal distress, perubahan nafsu makan, kaku

pada kerongkongan, dan keluhan somatic lainnya.


B. Disaster Management dan Peran Perawat Pada Disaster Management
1. Management Bencana
1. Pengertian
Management bencana adalah proses yang sistematis dimana didalamnya termasuk

berbagai macam kegiatan yang memanfaatkan kemampuan dari kebijakan pemerintah, juga
kemampuan komunitas dan individu untuk menyesuaikan diri dalam rangka meminimalisir

kerugian (Japanese Red Cross Society & PMI, 2009).


2. Model Management Bencana
Menurut Sambodo (2012) terdapat lima model manajemen bencana yaitu:
1) Disaster management continuum model. Model ini merupakan model yang paling

popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah

diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana didalam model ini meliputi

emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early

warming.
2) Pre-during-post disaster model. Model manajemen ini membagi tahap kegiatan

disekitar bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali

digabungkan dengan Disaster management continuum model.


3) Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada

pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction,

mitigation, preparedness, dan early warming) semestinya tetap dilaksanakan pada

daerah rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah

pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan relief)

sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction dan mitigation

kurang ditekankan.
4) The crunch and release model. Model manajemen bencana ini menekankan upaya

mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka

bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
5) Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen

bencana pada identifikasi resiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun

hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

3. siklus manajemen bencana

Undang-undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007, bab 1, pasal 1, ayat

7,8,9,10,11 dan 12, siklus manajemen bencana dibedakan atas 6 fase, yaitu:
1) Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi

bencana melalui pengorganiasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya

guna.
2) Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin

kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh

lembaga yang berwenang.


3) Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi

bencana.
4) Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera

pada saat terjadi bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang

meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan

kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta

pemulihan prasaran dan sarana.


5) Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public atau

masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencanaan dengan

sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek

pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.


6) Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun

masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan

perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya

peran serta masyarakat dlam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah

pascabencana.
Menurut Kim dan Proctor 2002, dalam Vaneema (2007), ada lima fase dasar untuk

program manajemen bencana, dan masing-masing fase memiliki kegiatan khusus terkait

dengan itu.
a. Fase preparedness
Mengevaluasi kerentanan fasilitas atau kecenderungan pada bencana. Isu-isu

yang perlu dipertimbangkan termasuk pola cuaca, lokasi geografis, kondisi, dan

lokasi fasilitas, dan industry didekat rumah sakit (misalnya, pembangkit listrik

nuclear atau pabrik kimia).


Preparedness adalah merencanakan bagaimana menanggapi bencana. Contoh:

merencanakan kesiagaan, latihan keadaan darurat, sistem peringatan, kegiatan

kategori ini tergantung pada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan

peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan

terkena bencana danpengetahuan tentang sistenm peringatan untuk mengetahui

kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah

aman (Seni, 2011).


Kegiatan fase preparedness/kesiapsiagaan adalah sebagai berikut:
1) Pengkajian terhadap kerentanan
2) Membuat perencanaanpencegahan bencana
3) Pengorganisasian
4) Sistem informasi
5) Pengumpulan sumber daya
6) Sistem alarm
7) Mekanisme tindakan
8) Pendidikan dan pelatihan masyarakat
9) Gladi resik
b. Fase mitigasi
Langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi dampak negative yang

diakibat kan oleh bencana dan dapat dianggap sebagai tindakan pencegahan. Contoh

kegiatan mitigasi termasuk instalasidan pemeliharaan generator listrik cadangan

untuk mengurangi dampak dari kegagalan daya atau staff pelatihan untuk

melakukan tugas-tugas lain untuk keadaan darurat.


Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan

memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti

membuat kode banguan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta

memperkokoh struktur atau pun membangun struktur bangunan penahan longsor,

penanhan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat
dilakukan dalam bentuk non structural, diantaranya seperti menghindari wilayah

bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui

melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan

masyarakat dan pemerintah daerah (seni, 2011).


c. Fase respon
Fase respon adalah perencanaan implementasi actual bencana. Perencanaan respon

terhadap pencarian dan penyelamatan korban sangat baik menggunakan Incident

Command System (ICS). Kegiatan respon perlu Terus di pantau dan di sesuaikan

dengan perubahan situasi . tindakan fase respon dapat berupa sebagai berikut :
1. Instruksi pengungsian
2. Pencarian dan penyelamatan korban
3. Menjamin keamanan di lokasi bencana
4. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
5. Pembagian dan pengguanan alat perlengkapan pada kondisi darurat
6. Pengiriman dan penyerahan barang material
7. Penyedian tempat pengungsian dll

d. fase recovery

Setelah insiden itu berakhir, organisasi dan staf perlu untuk memulihkan kondisi
kembali. Layanan yang telah terganggu membutuhkan waktu untuk kembali ke rutinitas.
Pemulihan biasanya lebih mudah jika dilakukan pada saat respon, beberapa staf
ditugaskan untuk mempertahankan layanan penting, sementara yang lain di tugaskan
untuk tanggap bencana.

e. fase evaluasi

Sering di sebut dengan fase perencanaan dan tanggap bencana. Setelah bencana,
karyawan dan masyarakat kembali ke rutinitas biasa. Penting bahwa evaluasi resmi
dilakukan untuk menentukan apa yang baik, suatu yang diidentifikasi. Individu tertentu
harus dilakukan evaluasi dan kegiatan tindak lanjut.

2. Peran perawat pada manajemen bencana

International council of nurses (ICN) mendefinisikan keperawatan sebagai berikut :


keperawatan meliputi keperawatan otonom dan kolaborasi keperawatan terhadap individu-
individu dari semua umur, keluarga, kelompok dan masyarakat, sakit atau sehat, dan dalam
semua keadaan. Keperawatan mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan
perawatan orang sakit, cacat dan sekarat. Advokasi, promosi lingkungan yang aman,
penelitian, partisipasi dalam membentuk kebijakan kesehatan dan dalam mengatur sistem
kesehatan pasien dan pendidikan juga menjadi kunci peran keperawatan (Power, 2008).
Menurut Efendi dan Makhfudli (2009), peran dan fungsi perawat bencana yaitu terdiri
dari :

a. Peran perawat dalam fase pre-impact


1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya
2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan stimulasi persiapan menghadapi ancaman bencana
kepada masyarakat
3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan
masyarakat dan menghadapi bencana yang meliputi hal-hal berikut :
a) Usaha pertolongan diri sendiri ( pada masyarakat tersebut)
b) Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota
keluarga yang lain.
c) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa
persediaan makanan dan penggunaan air yang aman.
d) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat
seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan ambulans.
e) Memberikan informasi tempat-tempat alternative penampungan atau posko-
posko bencana.
f) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa seperti
seperlukan, radio portable, senter beserta baterainya, dan lainnya.

b. Peran perawat dalam fase impact

1) Bertindak cepat
2) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan
pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar pada para korban
selamat.
3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
4) Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordinating and create
leadership).
5) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya untuk
jangka waktu 30 bulan pertama.
c. Peran perawat dalam fase impact
1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, social, dan
psikologis korban.
2) Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post
traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga
kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali, kedua, individu
tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi,
gangguan fisik, dan individu dapat mengalami penurunan konsentrasi,
perasaan bersalah dan gangguan memori.
3) Tim kesehatan bersama masayarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsur lintas sector menangani masalah kesehatan masyarakat
pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan (recovery) menuju
keadaan sehat dan aman.

C. aspek Etik Dan Legal Dalam Keperawatan Bencana


Beberapa profesi memiliki kode etik sebagai panduan dalam pengambilan
keputusan. Sebuah kode etik didasarkan pada standar pedoman praktek terbaik, yang
dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari profesi tertentu. The
American Medical Association telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah
tugas untuk perawatan dengan mengadopsi beberapa kebijakan etika baru yang langsung
menangani kewajiban dan tanggung jawab dokter selama keadaan darurat kesehatan
masyarakat. Berikut ini adalah dari kebijakan yang diadopsi oleh American Medical
Association pada tahun 2004: Bencana nasional, regional, tanggapan local untuk
epidemic, serangan teroris dan bencana lainnya memerlukan keterlibatan yang luas dari
dokter. Karena komitmen mereka untuk merawat orang sakit dan terluka, dokter individu
memiliki kewajiban untuk memberikan perawatan medis darudat selama bencana ini.
Kewajiban etis berlaku bahkan dalam menghadapi risiko lebih besar dari biasanya untuk
mengutamakan keselamatan, kesehatan, atau kehidupan mereka. Tenaga kerja dokter
bukan merupakan sumber daya yang tidak terbatas, karena itu, ketika berpartisipasi
dalam respon bencana, dokter harus menyeimbangkan manfaat langsung kepada pasien
dengan kemampuan untuk merawat pasien di kemudian hari (Grimaldi,2007).
American Nurses Association merumuskan beberapa ketentuan dalam kode etik dan
menempatkan banyak hal untuk menghilangkan keraguan persepsi masing-masing
individu. Pernyataan terkait pemberian pelayanan keperawatan: “Perawat
mempromosikan, menganjurkan dan berusaha untuk melindungi kesehatan, keselamatan,
dan hak-hak pasien”. Namun di lain pihak dalam pemberian pelayanan yan berisi
tentang, kewajiaban perawat untuk menjaga dirinya sendiri. “Perawat berutang tugas
yang sama untuk dirinya sebelum merawat orang lain, termasuk tanggung jawab untuk
menjaga integritas dan keamanan, untuk menjaga kompetensi dan untuk melanjutkan
pertumbuhan pribadi dan professional.” Perlu penyamaan persepsi lebih lanjut terkait
pernyataan yang sedikit berlawanan di atas yang menyatakan bahwa perawat memiliki
kewajiabn untuk memberikan perawatan bagi pasien, dan satu pihak perawat mungkin
bertanya, “Kapan tugas saya untuk merawat pasien saya dan tugas saya untuk merawat
saya ?” Menurut American Nurses Association, Perawat memiliki kewajiabn etis untuk
merawat pasien, tetapi juga kewajiabn etis untuk merawat diri dan keluarga. Sehingga
perawat harus memilih untuk melakukan apa yang benar (Grimaldi, 2007)

Dari penelitian tersebut diatas, terdapat 3 tantangan utama dalam etika yang dihadapi
penyedia pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yaitu : rationing/
penjatahan, pembatasan, dan tanggung jawab (Grimaldi,2007).

1. Rationing/ penjatahan
Rationingmerupakan situasi khusus dengan alokasi sumber daya yang terbatas.
Melakukan triage dengan contoh dari situasi ini. Triage adalah tindakan keperawatan
medis prioritas dan manajemen pasien, dengan mempertimbangkan sumber daya yang
tersedia, kebutuhan medis, dan kemampuan. Triage dapat menimbulkan dilema etik
karena mungkin ada sumber daya yang terbatas dalam kaitannya dalam sejumlah besar
orang yang membutuhkan pengobatan. Beberapa mungkin menanyakan apakah triase
etis? Pasien yang masih hidupnya diselamatkan dan dalam membahayakan langsung
harus ditangani lebih dahulu. Pasien yang tidak dapat terselamatkan lagi tidak
diutamakan.

2. Pembatasan
Yaitu segala sesuatu yang terkait dengan tindakan mengisolasikan dan mengkarantina
pasien. Hal ini merupakan strategi yang mungkin untuk diterapkan selama wabah
penyakit atau diduga menggunakan senjata biologis. Isolasi dapat membatasi kebebasan
dan kemerdekaan dikesua belah pihak baik itu pasien dan pekerja kesehatan.

3. Tangggung jawab
Tanggung jawab merupakan tanatangan terbesar karena sulit untuk memprediksi
karena apa yang akan dilakukan selama masa krisis. Seperti yang ditanyakan
sebelumnya, kode etik untuk sebagian profesi kesehatan hanya menyarankan bahwa
penyedia layanan melaksanakan kewajiban mereka kepada pasien mereka. Sementara
pada saat yang sama mereka ambigu dengan menyatakan bahwa ada juga ada kewajiban
untuk mengurus diri sendiri.
Diharapkan harus ada hukum yang disarankan untuk mengamanatkan bahwa
pelayanan kesehatan merawat pasien ini. Penegakan hukum seharusnya tidak menjadi
metode yang kita gunakan untuk memastikan perawat yang diberikan kepada pasien.
Bahkan ketika ada keadaan darurat kesehatan masyarakat, penyedia pelayanan kesehatan
menempatkan diri mereka dalam resiko setiap hari dengan setiap pasien yang dirawat.
Sehingga tidak ada solusi mudah untuk masalah etika seputar tugas untuk perawat
profesional kesehatan. Mungkin lebih mudah jika organisasi profesi berada dalam posisi
yanglebih kuat, dan akan terus memberikan pedoman sehingga memberi pelayanan
kesehatan yang profesional mampu membuat keputusan-keputusan tepat bagi mereka
sendiri (Grimaldi 2007)

D. Analisa Resiko Bencana Dan Disaster Plan ( Rumah Sakit / Regional )


Resiko adalah segala kemungkinkan yang diperkirakan dapat terjadi pada seseorang
atau masyarakat disuatu tempat, semua orang atau masyarakat dimanapun berada, selalu
mempunyai resiko terjadi bencana (besar atau kecil). Resiko bencana adalah potensi kerugian
yang ditimbulkan akibat bencana disuatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, menungsi, kerusakan ataau
kehilangan harta, dam gangguan kegiatan masyarakat. UU No 24 tahun 2007.
Hazar (ancaman) adalah suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah manusia,
yang berpotensi menimulkan kerusakan atau kerugian yang kehilangan jiwa manusia. Bahaya
berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak semua bahayamenjadi bencana. Kerentanan
(vulnerability) adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan ( faktor fisik, sosial,
ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencagahan dan
penanggulangan bencana. Kemampuan (capability) adalah kekuatan dan potensi yang
dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mancegah,
mengurangi, siap siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan
dan bencana.

Terjadinya bencana

Anacaman
bahaya

RESIKO
BENCANA
BENCANA

Kerentanan

Proses analisa resiko


Proses

Analisa resiko merupakan alat manajemen resiko ebncana dengan mempelajari faktor-faktor
dari resiko yang mungkin terjadi akibat bencana dan akan digunakan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengurangan resiko dan dampak bencana.

Hazard analysis

Vulnerability analysis

Risk analysis
Independen

Gambar 8. Proses analysis resiko bencana

Resiko tersebut ditentukan oleh besarnya :

1. Ancaman bahaya (H)


2. Kerentanan (V)
3. Kemampuan (C)
Jika bahaya besar, resikonya juga besar, jika kerentanan tinggi, resikonya juga tinggi,
tetapi jika kapasitasnya tinggi, maka resikonya menjadi rendah.
Figur 2.10 living with risk, ISDR, 2004
Risk assesment process

Identification of risk factor


R
I
S
Vulnerability /
K Hazard R
capacitiet
A I
N
A S
L Determines geografical K
Y Location, intencity Determines A
S
I And probability Susceptibilities & S
S capaties S
E
S
Estimaties level of risk S
M
E
Evaluates risks N
T

Socio-economi costobenefit analysis estabilishment of


priorities estabilishment of acceptable level of risk
elaboration of scenarios and measure

Gambar 9. Risk asesment proses

Tujuan Dan Hasil Dari Analysis Resiko

Analysis resiko bukan merupakan kegiatan sesaat, tetapi kegiatan terus-menerus untuk
mengikuti perubahan-perubahan tingkat kerentanan hazar dan resikonya.

Peningkatan kesiap
Analysis kerentanan
siagaan
dan kapasitas

Analysis
Informasi dari kejadian resiko
kedaruratan maupun
rekonstruksi
Peningkatan kapasitas
Kebijakan

Early warming Peraturan dan norma

Analysis hazard & Pemberdayaan


pemantauannya masyarakat
Gambar 10. Tujuan dan hasil dari nalisa resiko

Mengurangi resiko bencana

untuk mengurangi resiko bencana maka :

1. Jauhi atau jauhkan bahaya dari anda, karena bahaya sulit dikendalikan
2. Tinggalkan kegiatan, perilaku atau kebiasaan yang dapat menimbulkan bencana
3. Tingkatkan kesadakan, pengetahuan dan kemampuan menghadapi bahaya yang ada
disekitar anda.
4. Lakukan pelatihan untuk meningkatkan kesiap siagaan masyarakat

Risk = hazard x vulnerability

Capacuty

Mengelola Resiko
1. Mengurangi bencana/hazard
2. Menurunkan kerentanan
3. Membangun kapasitas
Mengapa Pengurangan Resiko Bencana Penting ?
1. Bencana merupakan masalah yang kompleks, dari lingkungan hingga pembangunan
2. Kesiapan sacara konvensional perlu, tapi belum lengkap menyeluruh
3. Pemaduan dan kebijakan PRB dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan
sehari-hari memberikan kontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan

E. Manajemen Korban Massal (Mass Casualty)


Mass casualty incident adalah suatu situasi secara signifikan membutuhkan ketersediaan
pelayanan emergensi medis (emergency medical services), fasilitas dan sumber-sumber
lainnya.
Kompetensi perawat yang berhubungan dengan mass casualty incident adalah:
1. Critical thinking
a. Menggunakan kerangka pemikiran yang berlandaskan etika dan standar nasional
dalam membuat keputusan dan memprioritaskan suatu kebutuhan pada saat terjadinya
bencana.
b. Menggunakan keputusan klinik dan berbagai kemampuan dalam membuat keputusan
pada saat melakukan pengkajian suatu masalah yang potensial sehingga sesuai selama
MCI. (Stanley, 2005)
2. Pengkajian
a. Umum
1) Mengkaji isu keamanan dan perlindungan diri, tim tanggap bencana dan para
korban di setiap pelaksanaan fase respon bencana.
2) Mengidentifikasi kemungkinan berbagai indikator dari pemaparan massal
terhadap bencana.
3) Mendeskripsikan beberapa elemen yang penting termasuk gambaran dari
pengkajian MCI itu sendiri.
b. Spesifik
1) Fokus pada riwayat kesehatan
2) Mengkaji respon psikologis awal
3) Melakukan pengkajian kesehatan : jalan napas, kardiovaskular, sistem integument
(luka terbuka, luka bakar, kemerahan), nyeri, kecelakaan dari kepala sampai kaki,
gastrointestinal, neurologi, musculoskeletal, mental status dan spiritual emosional.
(Stanley, 2005)
3. Kemampuan yang bersifat teknis
a. Mempraktikkan keamanan dalam penataan medikasi pengobatan.
b. Mempraktikkan keamanan dalam penataan imunisasi.
c. Mengkaji kebutuhan yang tepat terkait prosedur dekontaminasi bahan kimia, biologis,
isolasi dan radiasi nuklir.
d. Mendemonstrasikan pengetahuan dan skill terkait personal proteksi dan safety.
e. Mendemostrasikan kemampuan untuk mempertahankan keamanan pasien selama
dalam upaya transportasi pasien melalui imobilisasi dan monitoring.
4. Komunikasi
a. Menjelaskan rantai komando lokal dan manajemen sistem
b. Mengidentifikasi peran sendiri
c. Menunjukan pendokumentasian keadaan darurat yang sesuai meliputi pengkajian,
intervensi, tindakan keperawatan dan hasil.
d. Mengidentifikasi sumber daya yang tepat untuk merujuk.
e. Jelaskan strategi penanganan yang tepat untuk mengelola diri dan orang lain.
5. Etika
a. Mengidentifikasi berbagai isu etik berhubungan dengan kejadian MCI.
b. Menjelaskan pertimbangan etik, legalitas, psikologis, dan pertimbangan budaya ketika
berhadapan mereka yang sekarat dan lainnya.
6. Keragaman manusia
a. Diskusikan aneka budaya, spiritual, dan isu sosial masyarakat yang berakibat pada
respon individual pada kejadian MCI.
b. Diskusi tentang keragaman emosianal, psikologis, dan respon sosial budaya.

F. Kompetensi Perawat Dalam Keperawatan Bencana Menurut International Council of


Nursing (ICN)
1. Kompetensi perawat menurut International Council of Nursing (ICN)
Menurut ICN, kompetensi bermakna pengetahuan, keterampilan sikap, dan
pertimbangan yang terinteraksi yang harus dimiliki/dipersyaratkan untuk melakukan
tindakan secara aman dalam lingkup praktik keperawatan individu. Kompetensi seorang
perawat adalah sesuatu yang ditampilkan secara menyeluruh oleh seorang perawat dalam
memberikan pelayanan professional kepada pasien, mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan pertimbangan yang dipersyaratkan dalam situasi praktik. (Nursalam &
Effendi, 2008)
Kompetensi keperawatan bencana menurut WHO dan ICN (2009) terbagi atas empat
area yaitu :
a. Kompetensi pencegahan/mitigasi
Pencegahan/mitigasi adalah proses yang dirancang untuk mencegah atau
meminimalkan resiko yang terkait dengan bencana. Mengidentifikasi resiko dan
mengambil tindakan yang sesuai untuk mencegah bencana atau mengurangi efek dari
bencana. Kegiatan itu untuk mengurangi hilangnya nyawa dan harta benda.
1) Pengurangan resiko, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan
a) Pengurangan resiko dan pencegahan penyakit
(1) Menggunakan data epidemiologis dalam mengevaluasi resiko dan
pengaruh bencana khusus terhadap masyarakat dan penduduk serta
menentukan implikasi keperawatan.
(2) Bekerja sama dengan para ahli perawatan kesehatan lain, organisasi
masyarakat, pimpinan pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan
ukuran pengurangan resiko untuk mengurangi kerentanan penduduk.
(3) Berpartisipasi dalam perencanaan untuk memenuhi perawatan kesehatan
yang diperlukan dalam bencana
(4) Mengidentifikasi tantangan terhadap sistem perawatan kesehatan dan
bekerja dengan tim multidisipliner dalam mengurangi tantangan.
(5) Mengidentifikasi populasi yang rentan dan mengkoordinasikan aktivitas
dalam mengurangi resiko
(6) Memahami dasar-dasar dan proses isolasi, karantina, penahanan, dan
dekontaminasi dan membantu dalam mengembangkan rencana untuk
pelaksanaan dalam masyarakat.
(7) Bekerja sama dengan organisasi dan pemerintah dalam membangun
kapasitas komunitas untuk mempersiapkan dan tanggap terhadap bencana.
b) Promosi kesehatan
(1) Berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan masyarakat yang berhubungan
dengan kesiap-siagaan bencana
(2) Menilai masyarakat untuk menentukan persoalan kesehatan yang ada
sebelumnya, prevalensi penyakit, penyakit kronis dan ketidakmampuan
dan sumber daya perawatan kesehatan dalam masyarakat
(3) Bekerja sama dengan tim lain dalam melaksanakan ukuran yang akan
mengurangi resiko yang berkaitan dengan penularan penyakit dari orang
per orang, sanitasi dan penularan penyakit drai makanan
(4) Berpartisipasi dalam perencanaan untuk memenuhi kebutuhan perawatan
kesehatan dari masyarakat seperti imunisasi massal dan program
pemberian obat
(5) Bekerja dengan masyarakat untuk memperkuat kemampuan sistem
perawatan kesehatan dalam merespon dan kesembuhan dari bencana
c) Pengembangan kebijakan dan perencanaan
(1) Mendemonstrasikan suatu pemahaman terminology bencana yang
berhubungan.
(2) Menjelaskan fase-fase rangkaian kesatuan manajemen bencana:
pencegahan/meringankan, kesiap-siagaan, tanggap dan
pemulihan/rehabilitasi
(3) Menjelaskan peran pemerintah dan organisasi dalam perencanaan dan
tanggap bencana.
(4) Memahami perencanaan bencana masyarakat dan bagaimana perencanaan
itu berhubungan dengan perencanaan tanggapan nasional dan
internasional.
(5) Mengenal perencanaan bencana di tempat kerja dan peran seseorang di
tempat kerja ada waktu bencana
(6) Berpartisipasi dalam perencanaan bencana dan pengembangan kebijakan
(7) Menyokong pengembangan, evaluasi dan modifikasi pereencanaan
bencana masyarakat
(8) Memastikan bahwa kebutuhan populasi yang rentan termasuk dalam
perencanaan masyarakat (termasuk anak-anak, perempuan, wanita hamil
seseorang dengan mental atau cacat fisik, orang yang lebih tua, dan
orang/keluarga rentan lainnya.
(9) Menginterpretasikan peran perawat dalam bekerja sama dengan tim lain
(10) Berpartisipasi secara politik dan legislative dalam pengembangan kebijakan yang
berkaitan dengan kesiap-siagan dan tanggap bencana.
(11) Menjelaskan peran kesehatan masyarakat dalam bencana dan bagaimana kesehatan
masyarakat ini berhubungan dengan peran perawat.
b. Kompetensi kesiapsiagaan/ preparedness
Menurut warfield, 2008, kesiapsiagaan adalah fase manajemen bencana dimana
perencanaan dan kesiapan adalah perioritas. Tujuannya adalah untuk mencapai tigkat
yang memuaskan kesiapan untuk menanggapi siatuasi darurat.
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan
memikirkan sebuah tindakan untuk meminimalisir kerugian ang ditimbulka akibat
terjadinya bencana dan meyussun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
perrtolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana ( japaness red cross
society & PMI, 2009).
1) Praktik etika, praktik hokum, dan akuntabilitas
a) Pratik etika
1) Bekerja sama dengan yang lain dalam mengindentifikasi dan menyebut
tantagan yang etis
2) Menerapkan kerangka etik yang disetujui Negara untuk mendukunng
pengambilan keputusan dan memprioritaskannya
3) Melindungi hak – hak, nilai dan martabat seseorang dan masyarakat.
4) Praktik – Pratik yang sesuai dengan budaya, social dan keyakinan spiritual
seseorang dan masyarakat.
5) Menjaga kerahasiaan komunikasi dan dokumetasi.
6) Memahami kepercayaan pribadi seseorang dan bagaiman kepercayaan itu
berdampak terhadap tanggap bencana
7) Jelaskan bagaimana persoaan keamanan dan etika bisa bertentangan.
b) Praktik hokum
1) Praktik – praktik yang sesuai dengan hokum daerah, Negara, bangasa dan
internasioanan yang dapat diterapkan.
2) Memahami bagaimana huum dan peraturan khusus pada dampak bencana
terhadap praktik – prakti kkeperawatan dan orang yang selamat dalam
bencana
3) Mengenali peran hokum kesehatan masyarakat untuk melindungi
masyarakaat dalam satu bencana.
4) Memahami implikasi hokum dari bencana dan kejadian- kejadian darurat
(seperti, keamananan, memelihara bukti, dengan rahasia)
5) Menjelaskan persoalan hukum dan pengaturan berkaitan dengan persoalan
seperti:
(a) Bekerja sebagai suka relawan
(b) Peran dan tanggung jawab suka relawan
(c) Melepaskan pasien
(d) Adaptasi standar pelayanan
(e) Peran dan tanggung jawab pada seorang atasan
(f) Delegasi
c) Akuntabilitas
(1) Menerima akuntabilitas dan tanggung jawab untuk tindakan seseorang
(2) Mendelegasikan kepada orang lain yang sesuai dengan praktik
professional, hukum dan peratran yang berlaku dalam situasi bencana
(3) Mengindetifiksi batas ilmu, skill dan kemampuan sesorang dalam bencana
dan praktik – praktik yang sesuai dengan mereka
(4) Prktik – Pratik yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang mengatur
para perawat dan praktik keperawatan.
(5) Advokat untukk kentetuan perawat yang aman dan tepat.

2) Komunikasi dan pembagian informasi


a) Menejelaskan lantai komando dan peran perawat dalam system.
b) Berkomunikasi dengan cara yang menggambarkan sensitifikas pada keragaman
populasi.
c) Menjelaskan dasar krisis komunikasi dalam krisis intervensi dan manajemen
resiko
d) Mengindentifiksi dan mengkomunikasian informasi penting dngan sketika
kepada para yang berwenang yang tepat.
e) Memanfaatkan beragam alat – alat okmunikasi utnuk mengurangi hambatan
bahasa.
f) Mengkooordinaikan informasi dengan anggota lain dari tim tanggap bencana
g) Memberikan informasi tersebut kepada tim tanggap bencana mengenai
persoalan kesehatan dan kebutuhan sumber daya
h) Bekerja dengan tim tanggap bencaana dala menentukan peran perawat dalam
bekerja dengan media dan lainnya yang berkepantingan dalam bencan ini
i) Memahami proses manajemen informasi kesehatan dalam satu bencana
j) Menunjukkan kemampuan dalam menggunakan peralatan komunikasi khusus
k) Memelihara kesehatan dan dokumentasi serta memberikan laporan seperti yang
diperlukan
l) Mengkomunikasikan resiko kesehatan dan lingkungan yang terindentifikasi dan
terduga kepada puhak berwenang yang tepat (yaitu kesehatan msyarakat).
3) Pendiidkan dan kesiapsiagaan
a) Memelihara ilmu yang berhubungan dengan bencana dan keperawatn bencana
b) Ikutserta dalam latihan ditempat kerja dan masyarakat
c) Mencari agar memperoleh ilmu baru serta menjaga keahliaan dalam keperawatn
bncana
d) Memfasilitasi penelitian dalam bencana
e) Mengevalluasi kebutuhan pelatihan tambahan dan memperoleh pelatihan yang
diperlukan
f) Mengembangkan dan memelihara perencana kesiasiagaan perorangan dan
keluarga.
g) Menjelakan peran perawatan dalam berbagai tugas bencana (seperti
penampungan, tempat perawatan darurat, tempat perawatan kesehatn sementara,
koordinasi bencana dan uinit – unit manajemen)
h) Memelihara perlengkapan bencana, darurat pribadi (seperti, kartu identifikasi,
pakaian yang sesusai, pembasmi serangga dan botol air) dalam peristiwa
penyebaran ke suatu bencana.
i) Melaksanakan aktivitas kesiapsiagaan bagai bagian dari tim multidispliner.
j) Membantu dalam stuasi pengembangan untuk menempatatkan keperawatan dan
kapasitas bangunan personil perawatan kesehatan terhadap tanggap bencanaa
k) Mengambil peran kepemimpinan dalam pengembangan dan pelaksanaan
kesiapan pogra pelatihan dan para provider perawatn kesehan llain
l) Mengevaluasi kesiap siagaan masyaraakat dan mengambil tidakan dalam
meningkatkan kesiapsiagaan saat dibutuhkan
c. kompetensi resnpon
Peran perawat dimasa tanggap yaitu menyediakan pperawatan kesehatn fisik dan
mental. Perawatn disediakan dalam konidisi menantang membutuhkan tenaga kerja,
berpengetahuan, trampil dan kreatif.
1. Perawatan masyarakat
a) Mejelaskan fase – fase tanggap masyarakat terhadap bencana dan impilasi
terhadap intervensi keperawatan
b) Mengumpulkan data mengenai luka – luka dan penyakit ketika diperlukan
c) Mengevaluasi kebutuhan kesehatn dan sumber daya yang tersedia di daerah dan
terkena bencana guna memenuhi kebutuhan dasar penduduk
d) Bekerjasama dengan tim tanggap bencana dalam mengurangi bahaya dan resiko
pada daerah yang terkena dampak bencana
e) Memahami bagaimana memprioritaskan perawatan dan mengelola berbagai
situasi
f) Berpartisipsi dalam starategi preventive seperti aktivitas imunisasi masal
g) Bekerja sama dengan organisasi bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat (misalnya tempat tinggal, makanan, air, Kerawatan kesehatan).
h) menyediakan pendidikan yang berbasis masyarakat yang berkaitan dengan implikasi
kesehatan terhadap bencana.
i) mengevaluasi dampak intervensi keperawatan yang pada populasi & kultur yang
berbeda & menggunakan hasil evaluasi untuk membuat keputusan berbasis bukti.

j) mengelola sumber-sumber dan mensuplai hal-hal yang diperlukan untuk memberikan


perawatan dalam masyarakat.

k) berpartisipasi secara efektif sebagai bagian dari suatu tum multidisiplin

2) perawatan individu & keluarga

a) Assessment/pengkajian

(1) melakukan penilaian cepat mengenai situasi bencana dan kebutuhan perawatan

Kesehatan.

(2) melakukan riwayat kesehatan & pengkajian umur yang tepat yang meliputi fisik dan

psikologis tanggap bencana.

(3) mengenal gejala-gejala penyakit yang dapat menular & mengambil langkah-langkah

untuk mengurangi paparan untuk keselamatan.

(4) menjelaskan tanda & gejala dekontaminasi dengan bahan kimia, biologis, radiologis,

nuklir & agen bahan peledak.

(5) mengidentifikasi pol-pola yang tdk biasa atau kelomppok penyakit luka yang dapat

yang mengindikasikan berhubungan dengan biologis, atau bahan lain yang berkaitan

dengan bencana.

(6) menentukan kebutuhan untuk dekontaminasi, isolasi, karantina & mengambil tindakan

yang tepat.

(7) mengenali kesehatan & kebutuhan kesehatan mental korban bencana & membuat

rujukan yang tepat.

b) implementasi

(1) mengimplementasikan intervensi keperawatan yang tepat termasuk perawatan darurat &

trauma yang sesuai dengan ilmiah yang berlaku.

(2) menggunakan pemikiran kritis,fleksibel & kreatif,untuk menciptakan solusi dalam

memberikan askep untuk memenuhi kebutuhan perawatan pasien yang telah

diidentifikasi & diantisipasi dari bencana.


(3) menggunakan dasar-dasar triase ketika menetapkan askep berdasarkan pada situasi

bencana dan sumber daya tersedia.

(4) menyesuaikan standar2 praktik keperawatan ketika diutuhkan, berdasarkan tersedianya

sumber daya & kebutuhan perawatan pasien.

(5) menciptakan lingkungan perawatan pasien yang aman

(6) menyiapkan transportasi untuk pasien & memberikan keamanan bagi pasien selama

di perjalanan.

(7) menunjukkan pemberian pengobatan yang aman,vaksin & imunisasi

(8) melaksanakan dasar-dasar kontrol penularan guna mencegah tersebarnya penyakit.

(9) mengevaluasi hasil-hasil tindakan keperawatan & merevisi perawatan ketika diperlukan

(10) memberikan perawatan dengan cara non pertimbangan

(11) menjaga keselamatan pribadi & orang lain pada suasana bencana.

(12) mendokumentasikan perawatan yg sesuai dengan prosedur bencana.

(13) memberikan perawatan dengan cara memandang budaya, sosial, spiritual & latar

belakang seseorang yang beranekaragam.

(14) mengelola perawatan & kematian dengan cara menghormati budaya, sosial &

kepercayaan spiritual penduduk ketika situasi mengizinkan.

(15) mengelola aktivitas perawatan kesehatan yang diberikan oleh orang lain.

(16) bekerja dengan tim lain & lembaga-lembaga yang tepat dalam membantu orang yang

selamat dari bencana.

(17) membantu korban yang selamat dan individu untuk mendapatkan akses perawatan.

(18) merujuk korban yang selamat kepada tim lain atau instansi yang sesuai dengan

kebutuhannya.

3) perawatan psikologis
a) menjelaskan tahapan respon psikologis terhadap bencana dan respon perilaku yang
diharapkan
b) memahami dampak psikologis bencana pada orang dewasa, anak, keluarga,
masyarakat yang rentan.
c) Memberikan dukungan psikologis yang tepat bagi yang selamat dan responden.
d) Menggunakan hubungan terapi efektif dalamsituasi bencana.
e) Mengidentifikasi respon perilaku individu terhadap bencana dan menyediakan
intervensi yang tepat dan diperlukan (misalnya pertolongan pertama psikologis).
f) Membedakan antara respon adaptif dan respon maladaptif terhadap bencana.
g) Menerapkan interverensi kesehatan mental yang tepat dan melakukan rujukan sesuai
dan kebutuhan.
h) Mengidentifikasi beberapa strategi penanganan yang tepat bagi mereka yang selamat,
keluarga dan individu
i) Mengidentifikasi korban dan individu yang membutuhkan dukungan dalam perawatan
kesehatan mental tambahan serta merujuk kepada sumber daya tepat
4) Perawatan populasi rentan
a) Menjelaskan populasi rentan dan resiko dan sebagai akibat dari bencana (seperti
orang tua, wanita hamil, anak-anak dan orang-orang dengan kodisi cacat dan kronis
yang membutuhkan perawatan yang berlanjut) dan mengidentifikasi implikasi
terhadap keperawatan, termasuk:
- respon fisik dan psikologi terhadap bencana dari populasi rentan; dan
- kebutuhan unik dan resiko tinggi dari populasi rentan dihubungkan dengan
bencana.
b) Mencptakan lingkungan hidup yang memungkinkan populasi rentan berfungsi sebagai
independen.
c) Advokat terhadap kebutuhan penduduk yang rentan.
d) Mengidetifikasi sumber daya yang tersedia, membuat rujukan yang tepat dan bekerja
sama dengan organisasi dalam melayani populasi rentan dalam memenuhi kebutuhan
perawatan khusus.
e) Melaksanakan asuhan keperawatan yang mencerminkan kebutuhan populasi rentan
terkena dampak bencana.
f) Berkonsultasi dengan anggota tim perawatan kesehatan untuk memastikan perawatan
lanjutan dalam memenuhi kebutuhan perawatan khusus.

d. kompentensi recovery/rehabilitasi

keputusan dan tindakan yang diambil segera setelah bencana dengan maksud untuk
memulihkan atau meningkatkan kondisi kehidupan prabencana dari masyarakat yang terkena,
mendorong dan memfasilitasi penyesuaian yang diperlukan untuk mengurangi resiko
bencana.

1) Pemulihan individu dan keluarga


a) Mengembangakan perncanaan untuk memenuhi kebutuhan keperawatan psikologis
dan fisik jangka pendek dan jangka panjang dari orang-orang yang selamat.
b) Mengidentifikasi kebutuhan yang berubah dari oragng-orang yang selamat dan
meninjau kembali perencanaan perawatan ketika diperlukan.
c) Mengarahkan orang-orang yang selamat dengan kebutuhan tambahan pada organisasi
yang tepat atau para ahli.
d) Mengajari orang yang selamat bebrapa strategi untuk pencegahan penyakit dan luka.
e) Membantu fasilitas perawatan kesehatan lokal dalam pemulihan.
f) Bekerja sama denga komunitas perawatan kesehatan ynag ada untuk memelihara
kesehatan dan perawatan kesehatan.
g) Menjalani sebagai advokat dalam memenuhi kebutuhan jangka panjang.
2) Pemulihan masyarakat
a) Mengumpulkan data terkait dengan tim penanggulangan bencana untuk evaluasi

b) Mengevaluasi respon keperawatan dan praktik selama bencana dan bekerja sama
dengan organisasi keperawatan untuk memecahkan persoalan dan meningkatkan
respon

c) Ikut serta dalam menganalisis data yang berfokus pada peningkatan respon

d) Bidang-bidang perbaikan yang dibutuhkan dan menghubungkan bidang-bidang


tersebut dengan personil yg tepat

e).Membantu masyarakat dalam transisi dari fase tanggap bencana/darurat melalui


pemulihan dan rehabilitasi ke fungsi yg normal

f) Berbagi informasi tentang sumber rujukan dan sumber daya yg digunakan dalam
bencana

g) Membantu dalam mengembangkan strategi pemulihan yg memperbaiki kualitas


kehidupan bagi masyarakat

h) Bekerjasama dg kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga yg tepat untuk


menentukan pelayanan perawatan kesehatan dalam masyarakat

G. Incident Command System (ICS): Command, Safety, Communication, Triage,


Treatment And Transportation

ICS adalah sebuah standar manajemen kegawatdaruratan yg merupakan kombinasi


berbagai fasilitas, peralatan, personal, prosedur dan komunikasi yg bertujuan untuk
mengelola keadaan emergensi selama terjadinya bencana baik pada skala yg besar ataupun
kecil. ICS mempunyai kekuatan hukum dan mempunyai peran dan fungsi yg jelas yg
digunakan oleh suatu organisasi pemerintah ataupun swasta untuk mengelola level
manajemen insiden di lapangan (FEMA, 2008).

1. Incident Command System (Ics)


a. Terminologi yg umum
b. Melibatkan masyarakat
c. Menggerakkan organisasi
d. Struktur manajemen lapangan
e. Kemampuan menangani masalah (manageable spain of control)
f. Konsolidasi aksi untuk perencanaan
g. Manajemen bencana yg komprehensif
2. Disaster response typical communication flow

 Local Disaster management group


Local
 Local Goverment disaster coordination centre
Goverment
 Distric Disaster management group
Disaster Distric
 Distric disaster coordination centre

 Major incidents group


 State Disaster management group
State  State disaster coordination group
Goverment  State disaster coordination centre

 Emergency Management Australia


Communication
 National Emergency Management Coordination Centre
Goverment

Gbr. 12 Alur komunikasi pada bencanna

3. Triage
Prehospital and disaster : triage
Triage menggunakan sistem simple triage and rapid treatment (START system):
for triaging adult dan JUMP START system for triage pediatric. Start /save : when
the triage process must be ovver an extended period of time

Prinsip-prinsip triage :
1. Triage umumnya dilakukan untuk seluruh pasien
2. Waktu utntuk melakukan triage per orang tidak lebih dari 30 detik
3. Prinsip triage bencana prehospital adalah”doing the gretest good for the
greatest number”. Adapun tujuannya adalah to identify injured or ill patient
who have a good chance or survival with immadiate care that doesn’t require
extraordinary resources
4. Kartu triage dipasangkan pada korban untuk memastikan urutan prioritasnya
5. Triage dilakukan secara berulang-ulang

4. Treatment

Assess situations

Assess victims Safe life

Call for help Safe limp

Safe function
First aid

transfer

Gambar 14 Keterampilan perawat saat bencana

Pengkajian korban bencana

a. Initial assessment, general impression: cause, severity, mental status, aiway, breathing,
circulation, set priority (triage)
b. History and physical examination
c. Detail physical examination
d. Ongonging continue assessment
e. Communication and documentation

Nursing Assesment (Pengkajian keperawatan saat bencana)

- A: assess airway
- B: Breathing
- C: Circulation V/S Shock
- Burn assessment
- Trauma assessment head to toe
- Mental status assessment
- Know indicationsfor information
- IV administration (Fluid therapy)
- Emergency medication

Nursing therapeutics saat terjadinya bencana

a. Concepts of basis first aid (konsep bantuan hidup dasar)


b. Triage and transport & transfer (triase dan transport pasien)
Gambar 13. Trige Bencana

c. Pain Management (Manajemen nyeri)

d. Management of hypovolumia and fluid replacement

e. Suturing (menjahit luka)

f. Blast Injuries/Tissue loss


g. Eye Lavege

h. Fractures/immobilization of fracture

i. Management of hemorrhage

j. Stabilization of crush injuries

k. Movement of patients with spinal cord injury

5. Transportation
Pada tempat bencana, korban dibagi dalam dua kelompok yaitu
kelompok perawatan non kritis yaitu kelompok pasien yang dapat
berjalan, dan kelompok perawatan kritis yaitu kelompok pasien yang
tidak dapat berjalan. Kemungkinan pasien masuk dalam waktu yang
bersamaan sehingga system cattle chute (seperti mengiring sapi dalam
kandang) sngat baik digunakan. Teknik ini dilakukan dengan tujuan agar
pasien keluar satu persatu secara brurutan dari area bencana sehingga
triase dapat dilakukan tanpa ada kekacauan.

Transportasi digunakan untuk mengangkut penderita/korban dari


lokasi bencana ke sarana kesehatan yang memadai dengan tujuan
untuk memindahkan penderita/korban bencana dengan aman tanpa
memperberat keadaan penderita/korban ke sarana kesehatan yang
memadai

Syarat-syarat dan kebijakan :

1. Ambulance digunakan untuk memindahkan korban dari lokasi


bencana ke RS atau dari RS yang satu ke RS yang lain.

2. Pada setiap Ambulance minimal terdiri dari 2 orang paramedik dan


satu pengemudi (bila memungkinkan ada 1 orang dokter)

3. Menyiapkan dokumen korban yang di perlukan

4. Menghubungi RS yang akan dirujuk untuk kesiapan menerima


korban

Prosedur :

1. Saat di rumah sakit kru ambulance harus mulai menyiapkan ambulance


untuk pengiriman berikutnya
2. Siapkan perlengkapan pernapasan

3. Ganti barang-barang yang telah digunakan

Maaf, gambar tidak ditemukan

Gbr. Transportasi saat bencana

H. rantai komando penanganan bencana

Hospital incident command system suatu bentuk rantai komando dan reaksi cepat saat terjadi
bencana yang digunakan pada setiap fase management bencana.

Hospital incident command system:


Komando bencana

Bagian informasi publik Bagian penyelamatan

Bagian hubungan Medikasi/teknical spesialis

Seksi operasional Seksi perencanaan Seksi longistik Seksi


keuangan/administrasi

HICS : Rantai Komando;

Incident commander

Command staff officer

manager
General staff section chief

Branch director

Unit leader

Unit leader Unit leader Unit leader


Hospital disaster management

a. Mendukung infrastruktur untuk tanggap bencana: meningkatkan pelayanan untuk


korban bencana
b. Meningkatkan pelatihan staff: kompeten dalam fase tanggap bencana dalam
menjalankan peran dan fungsinya
c. Kejelasan arah: menjalankan dan mempratekkan rencana emergensi respon
d. Mempunyai kekuatan hubungan dengan berbagai organisasi dan agensi : saling bantu
dan support

I. Managemen informasi penanggulangan krisis kesehatan


Penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain dapat dilakukan dengan cepat,
tepat dan baik terhadap data/informasi kejadian bencana dan akibat yang
ditimbulkannya secara cepat , tepat dan akurat.

Informasi yang diharapkan:

a. Sesuai dengan fakta dan kenyataan dengan pencatatan harus benar


b. Sesuai dengan kebutuhan untuk pengambilan keputusan
c. Cepat/tersedia saat dibutuhkan

Informasi kebencanaan diperoleh melalui:

a. Pemantauan 24 jam terhadap mass media (elektronik dan cetak)


kemudianditindaklanjuti dengan menghubungi dinas kesehatan terkait dimana terjadi
bencana tersebut
b. Melalui informasi/laporan dinas kesehatan prov/kab/kota dimana terjadi bencana

Permasalahan dalam Informasi Penanggulangan Krisis Kesehatan:

1. Informasi belum dikelola dengan baik (belum ada proses pengelolaan informasi
terintegrasi)
2. Belum menggunakan formulir yang baku
3. Belum dilakukan oleh petugas khusus dan terlatih sehingga validitas dan
reliabilitasnya sering dipertanyakan
4. Belum adanya mekanisme serta alur pengumpulan data yang baku
Tujuan

1. Tujuan umum
Tersedianya informasi penanggulangan krisis akibat bencana yang cepat, tepat,
akurat, dan sesuai kebutuhan untuk optimalisasi upaya penanggulangan bencana.
2. Tujuan khusus
a. Tersedia informasi pada tahap pra, saat, dan pasca bencana.
b. Tersedianyan mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pelaporan informasi
masalah kesehatan akibat bencana mulai dari tahap pengumpulan sampai
penyajian informasi.

Alat Informasi

Informasi yang disampaikan dapat melalui:

1. Telepon (Telepon seluler)


Telepon merupakan alat telekomunikasi yang dapat mengirimkan pembicaraan
melalui sinyal listrik. Dengan menggunakannya kita bisa berkomunikasi secara lisan
dengan seseorang yang berjarak jauh.
2. Faksimili
Salah satu alat telekomunikasi lainya adalah faksimile atau fax adalah alat yang
mampu mengirimkan dokumen melalui jaringan telepon dengan hasil yang sama
percis dengan aslinya. Fax memanfaatkan sambungan PSTN (Public Switched
Telephone Network) dan nomor telepon. Prinsip dasar dari fax yaitu gabungan
perangkat dari scanner gambar, modem, printer dengan grup Jaringan, dan juga mesin
photocopy.
3. Internet
Internet (Interconnected networks) adalah kumpulan jaringan-jaringan komputer
(networks) sedunia yang saling berhubungan satu sama lain. Sebagai sebuah jaringan
komputer dunia, internet dapat dikatakan sebagai jalur transportasi segala informasi
yang berbentuk file atau data pada komputer lain (Maryono,2008).
4. Radio komunikasi
Radio adalah teknologi yang digunakan untuk pengiriman sinyal dengan
caramodulasi dan radiasi elektromagnetik (gelombang elektromagnetik).

Sumber Informasi yang diperoleh:

1. Pra-Bencana
Dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota diharapkan dapat menyusun informasi profil
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana ini yang dikumpulkan secara berkala
setahun sekali. Informasi profil ini diharapkan sudah tersedia pada setiap bulan April.
Sumber informasi pra‐bencana yang dituangkan kedalam bentuk profil tersebut
berasal dari:

a. Dinas kesehatan
b. Rumah Sakit
c. Instansi terkait
d. Puskemas
2. Saat dan pasca bencana
Informasi saat dan pasca‐bencana ini terdiri dari:
a. Informasi pada awal kejadian bencana;
Informasi ini harus disampaikan segera setelah kejadian awal diketahui serta
dikonfirmasi kebenarannya dengan menggunakan formulir penyampaian informasi
Form B‐1 atau B‐4 (terlampir).
Sumber informasi dapat berasal dari:
1) Masyarakat
2) Sarana pelayanan kesehatan
3) Dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota
4) Lintas sector

Alur Penyampaian Informasi


1. Informasi Pra‐bencana
Profil yang mengambarkan kesiapsiagaan sumber daya dan upaya‐upaya yang
telah dilakukan terkait dengan penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana di
daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota dapat disampaikan melalui email dan
secara online melalui website. Informasinya terintegrasi dengan sistem informasi yang
sudah ada.
Setjen
Ditjen & Badan di
(PPK DEPKES) Lingkungan Depkes

Menteri Kesehatan

Setjen
Eselon
IIPemicu

PPK

Dinkes Provinsi

Dinkes Kab/Kota

Puskesmas/ Instansi Terkait


RSU Setempat
Gambar 1. Alur Penyampaian Informasi Pra-Bencana Sumber Daya Penanggulangan
Krisis Akibat Bencana (Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Departemen
Kesehatan, 2011).

2. Alur Informasi Saat Bencana

Gambar 2 Alur Penyampaian dan Konfirmasi Informasi Awal Kejadian Bencana


(Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, 2011)

3. Alur Penyampaian Informasi Penilaian Kebutuhan Cepat


 Menteri Kesehatan Ditjen dan Badan di
 Sesjen Depkes Lingkungan Depkes

Setjen (cq.PPK) Depkes


Gambar 3. Alur Penyampaian Informasi Penilaian Cepat Penanggulangan Krisis
Akibat Bencana (Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan,
2011)

Output Sistem Informasi Penanggulangan Krisis


Output sistem informasi penanggulangan krisis berupa suatu siklus yang saling
mempengaruhi. Jika sistem informasi krisis yang diberikan adekuat, maka kebijakan dan
strategi yang dilakukan dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan pada lokasi kejadian
bencana, sehingga akan mendukung keberhasilan penanganan korban bencana. Sebaliknya,
jika sistem informasi yang diberikan tidak adekuat, maka kebijakan dan strategi yang
dilakukan tidak dapat sesuai dengan kebutuhan pada lokasi bencana, sehingga akan terjadi
kegagalan dalam penanganan korban.
Kebijakan
dan
Strategi

Sistem Keberhasilan
Informasi Penanganan
Krisis Korban

Gambar: Output Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akan Berdampak Pada


Keberhasilan Penanganan Korban Bencana (Sumber: Pusat Penanggulangan Krisis
Departemen Kesehatan, 2011).

J. Manajemen Penanggulangan Bencana Bidang Keperawatan (Disaster Risk


Reduction)

Dibagian ini dijelaskan pemkiran dan pandangan dari para ahli keperawatan yang
pernah ditugaskan saat bencana.

1. Pengetahuan, teknik/keterampilan, dan bakat yang dibutuhkan untuk keperawatan


bencana.
Hal ini mencakup tugas apa yang harus dilaksanakan ketika sudah masuk ke lokasi
bencana. Hal-hal yang dibutuhkan adalah pengetahuan, teknik/keterampilan, dan
bakat yang dibutuhkan untuk keperawatan bencana.

a. Kemampuan yang dibutuhkan pada masa awal kegiatan pertolongan darurat

b. Pendekatan pada ilmu kesehatan publik (PHC) secara keseluruhan pada kegiatan
pertolongan

c. Mental Care untuk para korban dan stress management bagi penolong

2. Jika terjadi Bencana


Selanjutnya kan dibicarakan jika terjadi bencana, dimana sebelum terlibar di lokasi
bencana, perawat harus mengumpulkan sejumlah informasi mengenai bencana yang
terjadi di lokasi, kondisi kerugian, dampak, keadaan lokasi bencana dimana akan
dilaksanakan kegiatan pertolongan dan sebagainya melalui berbagai metode. Sebagai
contoh, keadaan lokasi bencana akan diperoleh dengan memanfaatkan saran media
massa seperti internet, TV, dan radio dan informasi pribadipun dapat dimanfaatkan.
Walaupun belum pasti, diperlukan mengetahui berbagai informasi seperti jenis
bencana, jumlah korban, kerusakan rumah dan bangunan, ada atau tidak ada
kebakaran, kerugian dari sarana dan SDM medis dan kesehatan serta kondisi
kegiatannya, life line, keadaan lalu lintas transportasi, dan sebagainya. Setelah itu
mengumpulkan informasi lokasi dimana akan dilaksanakan pertolongan, namun hal
ini tidak bisa dilaksanakan jika sama sekali tidak dapat dipastikan atau belum rinci.
Bersamaan dengan ini, memperoleh peta lokasi, lalu mengetahui jarak, sarana
transportasi, waktu yang dibutuhkan sampai ke lokasi, tempat persinggahan dan
sebagainya. Penting juga memastikan check perlengkapan pribadi yang memenuhi
minim pada saat pertolongan selain barang-barang keperluan sehari-hari.

3. Kenyataan dari keperawatan bencana di lokasi bencana


Tujuan dilokasi pertolongan adalah memberikan pelayanan medis dan
keperawatan terbaik kepada orang sebanyak mungkin dengan SDM, waktu, dan
peralatan medis yang terbatas. Namun demikian tujuan pertolongan adalah tetap saja
menutupi kesenjangan antaran pelayanan medis daerah setelah bencana dan medis
pada saat normal (sebelum terjadi bencana), maka bukanlah membawa
medis/keperawatan dari luar. Jika dilokasi bencana masih ada tenaga
medis/keperawatan yang tetap berfungsi, maka dibantu dengan SDM dan materi
supaya tetap berfungs sehingga memperkuat kemandirian medis yang ada.
Pada umumnya banyak pasien luka luar seperti patah tulang, lecet, dan
benturan pada masa akut bencana yang belum lama setelah terjadi bencana. Setelah
berlalu 3-4 minggu, selain pasien penyakit kronis yang memburuk, akan nertambah
banyak penyakit-penyakit lainnya seperti ISPA, penyakit kulitmaka perlu
memberikan pelayanan keperawatan secara bertahap sesuai dengan waktu.
Keperawatan pada saat bencana dibagi 3 yaitu : 1) pemeriksaan dan pengobatan di
lokasi bencana, 2) pemeriksaan dan pengobatan keliling daerah bencana, 3) bantuan
terhadap sarana medis yang ada di daerah bencana.

a. Pemeriksaan dan pengobatan di lokai bencana

1) Triage pasien

2) Dukungan pada pemeriksaan dan pengobatan, dan bimbingan kehidupan

3) Sterilisasi peralatan pemeriksaan pengobatan

4) Menangani sampah medis dan air yang tercemar

5) Catatan pasien dan statistik

6) Mendampingi

b. Pemeriksaan dan pengobatan keliling ke daerah bencana

1) Kebutuhan kesehatan dan bimbingan dilokasi


2) Vaksinasi

K. keselamatan pasien dan petugas kesehatn pada kondisi bencana

1. Sphere project (humanitarian charter and minimum standards disaster response)


Sphere project disusun oleh palang merah internasional dan organisasi aliansi
LSM dan organisasi PBB karena pertolongan pada saat krisis kemanusiaan di
Ruwanda pada tahun 1994. Terdapat perbedaan-perbedaan dan perselisihan oleh
sejumlah kelompok pertolongan. Sphere project ini menetapkan standard
minimum untuk pemasokan air, kesehatan, promosi kesehatan, memperoleh dan
menjaga makanan, gizi, bantuan makanan, shelter, barang non makanan, dan
pelayanan kesehatan.

2. Managemen keamanan diri


Di lokasi pertolongan harus diperhatikan supaya tidak terlibat ke dalam bencana
sekunder. Selain manajemen kesehatan diri sendiri, manajemen keamanan lokasi
kegiatan dan diri sendiri merupakan hal-hal yang perlu dipatuhi. Untuk
itudiperlukan kesadaran krisis untuk menjaga diri dari sifat mandiri.
Kesimpulannya adalah diperlukan pengetahuan mengenai bencana, pengetahuan
dan keterampilan mengenai pertolongan, pengetahuan dan keterampilan mengenai
menjaga keamanan kegiatan dan diri sendiri , dan pengetahuan dan keterampilan
dalam menerapkan sifat-sifat yang berlawanan seperti kapan harus bertindakuntuk
berani atau berhati-hati, kemandirian dan kooperatif, fleksibelitas, dan
berkesinambungan.

3. Komunikasi dan koordinasi selama bencana


Komunikasi dalam rangka memberikan informasi dan melakukan koordinasi
dalam merespon bencana menjadi suatu tantangan tersendiri dalam struktur sistem
pelayanan kegawat daruratan. Mereka yang berkompetisi dalam sistem
pemeliharaan kesehatan enggan dalam bertukar pikiran dan sumber daya karena
akan menempatkan mereka pada situasi yang kurang menguntungkan. Seperti
halnya bertukar pikiran tentang informasi medis dari satu rumah sakit ke rumah
sakit lain, atau dari klinik praktik dokter swasta, sulit namun bukan tidak
mungkin.
Komponen dari Emergency Health Services (EHS) system belum begitu
terintegrasi dan tidak begitu baik dalam pertukaran informasi dan sumbrdaya.
Seperti halnya, pelayananan kegawat daruratan medis, pemadam kebakaran, dan
pelayananan kesehatan publik lainnya, sering terpecah tanpa terintegrasi secara
regional. Lebih lanjut komunikasi dibatasi karena pertimbanagn teknis seperti
halnya terpecahnya masing-masing lembaga dalam hal penggunaan frequensi-
frequensi komunikasi radio yang tidak sesuai antara satu dengan lainnya. Suatu
bencana itu sendiri dapat juga menimbulkan kesulitan dalam hal mempertahankan
komunikasi dan sistem koordinasi. Sebagai hasilnya, akan sangat sulit bagi
seorang disaster manager untuk mengidentifikasi sumberdaya yang tersedia,
keinginan dari masyarakat, dan terlibat dalam penanganan saat kejadian korban
massal. Mengetahui kasus ini, suatu panduan dan pembiayaan telah berdiri untuk
mendukung komunikasi antar lembaga bagi para petugas penanganan kegawat
daruratan.

Departemen keamanan dalam negeri Amerika Serikat telah merevisi struktur dalam
National Incident Management System (NIMS) dan telah diberlakukan untuk digunakan
untuk semua lembaga pelayanan keselamatan pblik yang meminta dana hibah nasional.
Panduan ini dikembangkan oleh para ahli komunikasi dan ahli bencana, sistem ini
menyediakan model untuk memampukan pemeliharaan komunikasi dan koordinasi dan
akan menyediakan pendanaan untuk kesiapsiagaan bencana.

Tiga kunci sistem pengorganisasian yang dipusatkan pada NIMS yaitu, Sistem
komando kejadian bencana atau Incident Command System (ICS), sistem koordinasi antar
lembaga atau Multiagency Coordination Systems, dan sistem informasi public (public
information system). Informasi publik merujuk pada pemberian informasi secara akurat
kepada publik dan mengkomunikasikan hal yang dianggap perlu pada saat waktu tertentu.
Koordinasi antar lembaga maksudnya adalah organisasi dan lembaga pendukung kegiatan
pada area local, regional, negara dan tingkat internasional. Yang terakhir, adalah sistem
komando kejadian bencana (ICS) adalah suatu pengorganisasian dan penatalaksanaan
dalam tanggap darurat pada saat kejadian. ICS telah digunakan dalam beberapa tahun
terakhir pada dinas pemadam kebakaran dan lembaga EMS untuk mengatasi kejadian
bencana seperti halnya kebakaran yang luas, kecelakaan kendaraan secara massal dan
menjadi tertanam didalam memulai managemen penanganan kejadian gawat darurat di
lembaga-lembaga tersebut, sehingga membuatnya lebih familiar dan fleksibel bagi
personil penolong yang memberikan kekuatan yang besar selama kejadian bencana. ICS
sangat baik dalam perkembangannya dan terbaik dalam level kegiatannya dimana
sejumlah lembaga atau tim bekerja secara simultan.

Meskipun menyediakan level yang sama dalam koordinasi pada lokasi pada
aktifitas di EMS dan Emergency Departement (ED) seperti memonitor sumberdaya yang
tersedia, dan pelacakan pasien-pasien. Masalah terkait ICS secara khusus tercatat pada
saat kecelakaan pesawat Singapore Airlines pada tahun 2000, dimana pasien salah di
alokasikan dikarenakan terbatasnya komunikasi pada saat itu. Untuk mengatasi
keterbatasan dari ICS, NIMS memperkenalkan kesatuan komando atau concept of unified
command, area command, dan multi stage coordination systems. Konsep ini mengganti
ICS pada regional level, memudahkan dalam memonitoring semua skenario
penyelamatan dan menyediakan pengukuran dampak pada kejadian yang beragam dan di
beberapa tempat pada satu waktu, atau kejadian tunggal yang berdampak pada berbagai
area hukum wilayah tertentu. Sistem ini menciptakan suatu grup yang bisa dialamatkan
pada berbagai perioritas, pengalokasian sumber daya, pelacakan sumberdaya dan
mempertahankan berbagai komunikasi.

Selama fase perencanaan, semua lembaga yang terlibat harus fokus pada tujuan final.
Mereka harus bekerjasama, memperjelas menguraikan dan mendokumentasikan tugas
tiap-tiap lembaga dan tanggungjawabnya untuk meminimalisir adanya konflik di masa
yang akan datang dan mengefisienkan penggunaaan berbagai sumber yang tersedia.
Interaksi dalam fase perencanaan ini dapat memudahkan berbagai personil dari beberapa
lembaga mencapai tingkat kenyamanan antara satu dan lainnya. Suasana yang
kekeluargaan atau familiar dapat membantu secara significant pada saat berbagai lembaga
dimana mereka bekerja selama masa krisis dan situasi sulit dan tertekan. Yang paling
terstruktur dari NIMS di dalam mempersatukan suatu perencanaan dan implementasi dari
suatu komando pada saat kejadian bencana, kesatuan komando, dan structure komando
wilayah, dapat juga meminimalkan konflik karena tanpa sistem ini sulit untuk
mengarahkan komando dan tanggung jawab untuk berada pada satu jalur.

Ada dua cara penambahan untuk meminimalisir konflik termasuk training dan
teknologi. Training memampukan mereka yang akan menghadapi bencana untuk bekerja
sama untuk menjadi lebih nyaman dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Training juga
akan menantang dalam hal perencanaan menghadapi bencana untuk melanjutkan
pendidikan bagi mereka yang terlibat. Jika tidak ada drill atau pelatihan yang dijalankan,
ditakutkan tidak terdeteksinya berbagai masalah-masalah, tidak ada pencapaian dalam hal
kenyamanan antar sesama staff, dan tidak adanya peningkatan sistem. Teknologi modern,
juga dapat memaksimalkan komunikasi dan koordinasi dan mengkondisikan para staf dan
personil dalam MCI protocol. Faktor manusia telah menunjukkan keterlibatan dalam
kegagalan perencanaan prosedur MCI. Untuk meminimalisir kesalahan karena faktor-
faktor manusia, software komputer atau pra-perencanaan dan protokol dapat digunakan.

4. Menghadapi Bencana
Pada masa bencana, Emergency Health System (EHS) sistem akan menghadapi sejumlah
besar pasien yang memerlukan tindakan dan perawatan bedah. Tergantung berdasarkan
tipe dari bencana, tindakan bedah akan mempunyai pola yang berbeda-beda. Pada
kejadian kecelakaan tunggal pesawat atau meledak, akan ada satu kejadian dimana
memerlukan tindakan bedah besar pada jam pertama setelah insiden. Dibandingkan
dengan suatu jumlah besar pasien yang di lihat pada kasus munculnya bioterror atau
munculnya penyakit infeksi. Kesemua pasien tersebut memerlukan tindakan perawatan
minimal yang lebih rendah, namun beberapa ada yang mengalami kritis dan
membutuhkan sejumlah besar sumber daya, khususnya para dokter spesialis. Pasien juga
akan secara langsung mengalami dampak bencana seperti perasaan kecemasan, dan
penyakit jiwa. Semua pasien juga tidak membutuhkan untuk dibawa ke rumah sakit
terdekat, atau rumah sakit lainnya. Paramedis menggunakan triage pasien-pasien pada
saat memutuskan kapan pasien membutuhkan pertolongan medis segera.

L. Kiat – Kiat Menghadapi Bencana


Adapun kiat-kiat dalam menghadapi bencana menurut Sudiharto (2011) yaitu:

1. Gempa Bumi
Jika gempa bumi mengguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk yang dapat
dijadikan pegangan dimanapun kita berada.
a. Di dalam rumah getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda
harus mengupayakan keselamatan diri anda dan keluarga anda. Masuklah ke
bawah meja yang kokoh untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda.
Jika ada tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal. Jika anda
sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk mencegah terjadinya
kebakaran.
b. Di kantor berlindunglah di bawah meja. Liindungi kepala, leher dan mata. Hindari
pembatas kaca, jendela, lemari dan barang-barang yang belum diamankan. Jaga
posisi hingga guncangan berhenti.
c. Di sekolah berlindunglah dibawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas atau
buku, jangan panik, jika gempa mereda keluarlah berurutan mulai dari jarak yang
terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan berdiri dekat gedung, tiang dan
pohon.
d. Di luar rumah lindungi kepala anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah
perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca
dan papan-papan reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas
atau apapun yang anda bawa.
e. Di gedung, mall, bioskop, dan lantai dasar mall, jangan menyebabkan kepanikan
atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari petugas atau satpam.
f. Di dalam lift jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran.
Jika anda merasakan getaran gempa bumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah
semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan
mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan
menggunakan interphone jika tersedia.
g. Di kereta api berpeganglah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh
seandainya kereta dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah Mengikuti penjelasan
dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi petugas kereta atau stasiun akan
mengakibatkan kepanikan.

h. Di dalam mobil saat terjadi gempa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda
mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah
mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan
berhentilah, tapi janganlah berhenti di bawah jembatan. Matikan mesin dan gunakan
rem tangan. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dari
mobil, biarkan mobil tak terkunci.

i. Di gunung / pantai ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah
langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami. Jika anda
merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak. Cepatlah mengungsi ke dataran
yang tinggi.
j. Beri pertolongan sudah dapat diramaikan bahwa banyak orang yang akan cedera saat
terjadi gempa bumi besar. Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah sakit akan
mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian, maka bersiaplah memberikan
pertolongan pertama kepada orang-orang yang berada di sekitar anda.

k. Dengarkan informasi saat gempa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya.
Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang dan
bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat memperoleh informasi
yang benar dari pihak yang berwenang atau polisi. Jangan bertindak karena informasi
orang yang tidak jelas.

2. Banjir

Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum banjir tiba, seesuai tempat menurut
Sudiharto (2011) adalah sebagai berikut, yaitu :

a. Di Tingkat Warga
1) Bersama aparat terkait dan pengurus RT / RW terdekat bersihkan lingkungan
sekitar Anda, terutama pada saluran air atau selokan dari timbunan sampah.
2) Tentukan lokasi posko Banjir yang tepat untuk mengungsi lengkap dengan
fasilitas dapur umum dan MCK, berikut pasokan air bersih melalui koodinasi
dengan aparat terkait, bersama pengurus RT/ RW di lingkungan Anda.
3) Bersama pengurus RT / RW di lingkungan Anda. Segera bentuk tim
penanggulangan banjir di tingkat warga, seperti pengangkatan penanggung jawab
posko banjir.
4) Koordinasikan melalui RT / RW, dewan kelurahan setempat, dan LSM untuk
pengadaan tali, tambang, perahu karet dan pelampung guna evakuasi.
5) Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari
informasi, meminta bantuan atau melakukan konfirmasi.
b. Tingkat Keluarga
1) Simak informasi tekini melalui TV, radio atau peringatan tim warga tentang curah
hujan dan posisi air pada pintu air.
2) Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti : radio baterai, senter, korek gas
dan lilin, selimut, tikar, jas hujan, dan karet bila ada.
3) Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan
bayi, gula, kopi, teh dan persediaan air bersih.
4) Siapkan obat-obatan darurat seperti : oralit, anti diare, anti influenza.
5) Amankan dokumen penting seperti : akte kelahiran, kartu keluarga, buku
tabungan, sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan saat banjir Sudihartono (2011) adalah :
a. Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran
listrik di wilayah yang terkena bencana
b. Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih memungkinkan
untuk diseberangi
c. Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir, segera
mengamankan barang-barang berharga ketempat yang lebih tinggi
d. Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana
seperti kantor kepala desa, lurah ataupun camat
Ada beberapa hal yang harus dilakukan setelah banjir adalah :
a. Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur dan
gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit
b. Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang
sering berjangkit setelah kejadian banjir
c. Waspada terhadap kemungkinan binatang berbisa seperti ular dan lipan, atau binatang
penyebar penyakit seperti tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk
d. Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir susulan
3. Kebakaran
Kiat Mencegah Kebakaran Hutan dan Lahan (Sudihartono, 2011) adalah :
a. Bagi Warga
1) Bila melihat kebakaran hutan dan lahan, segera laporkan kepada ketua RT dan /
atau pemuka masyarakat supaya mengusahakan pemadam api
2) Bila api terus menjalar, segera laporkan kepada posko kebakaran terdekat
3) Bila terjadi kebakaran gunakan peralatan yang dapat mematikan api secara cepat
dan tepat
4) Tidak membuang puntung rokok sembarangan
5) Matikan api setelah kegiatan berkemah selesai
6) Gunakan masker bila udara telah berasap, berikan bantuan kepada saudara-
saudara kita yang menderita
7) Bagi peladang, hindari sejauh mungkin praktek penyuapan lahan pertanian
dengan pembakaran, apabila pembakaran terpaksa harus dilakukan, usahakan
bergiliran (bukan pada waktu yang sama), dan harus terus dipantau, bahan yang
dibakar harus sekering mungkin dan minta pimpinan masyarakat untuk mengukur
giliranpembakaran tersebut

4. Kegagalan Teknologi

Kiat-kiat penanganan dan upaya pengurangan bencana (Sudhartto, 2011) sebagai berikut :

a. Kurangi atau hilangkan bahaya yang telah diidentifikasikan


b. Tingkatkan ketahanan terhadap kebakaran dengan menggunakan material bangunan
ataupun peralatan yang tahan api
c. Bangun daerah penyangga atau penghalang api serta penyebaran asap / pengurai asap
d. Tingkatkan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini
e. Perencanaan kesiapsiagaan dalam peningkatan kemampuan pemadaman kebakaran
dan penanggulangan asap, tanggap darurat dan evakuasi bagi pegawai serta penduduk
disekitar
f. Sosialisasikan rencana penyelamatan kepada pegawai dan masyarakat sekitarnya
bekerja sama dengan instalasi terkait
g. Tingkatkan kemampuan pertahanan sipil dan otoritas kedaruratan
h. Batasi dan kurangi kapasitas penampungan bahan-bahan kimia yang berbahaya dan
mudah terbakar
i. Tingkatkan standar keselamatan di pabrik dan desain peralatan
j. Antisipasi kemungkinan bahaya dalam desain pabrik
k. Buat prosedur operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan teknologi
l. Pindahkan bahan / material yang berbahaya dan beracun
m. Secara proaktif melakukan monitoring tingkat perencanaan sehingga standar
keselamatan tidak terlampaui

5) pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari informasi,
meminta bantuan atau melakukan konfirmasi

b. Tingkat keluarga

1) Simak informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan tim warga tentang curah
hujan dan posisi air pada pintu air.
2) Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: radio baterai, senter, korek gas dan
lilin, selimut, tikar, jas hujan, ban karet bila ada.
3) Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan bayi,
gula, kopi,teh dan persediaan air bersih.
4) Siapkan obat-obatan darurat seperti: oralit, anti diare, anti influenza
5) Amankan dokumen penting seperti: akte kelahiran, kartu keluarga, buku tabungan,
sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil

5. kerusuhan Sosial/Desintegrasi Bangsa

Kiat-kiat penaggulangan kerusuhan sosial/desintegrasi bangsa (Sudiharto,2011) antara lain


adalah:

a. Menanamkan nilai-nilai bela negara, patriotisme, nasionalisme, nilai-nilai


Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta
kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada
setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
c. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan
dari anasir luar dan kaki tangannya.
d. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasu butir-
butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada
ideologi bangsa.
e. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
f. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri
dalam memerangi separatis.
g. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk
menggunakan kekuatan massa.

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan


disarankan:

a. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus


diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari
korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial
budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum.
b. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan
hukum dan HAM.
c. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah dan menguatkan faktor
perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan
memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya.
d. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang berdampak
desintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan inteligen yang handal.

6. letusan gunung berapi

Persiapan dalam menghadapi letusan gunung berapi diantaranya :

a. Mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk

mengungsi
b. Membuat perencanaan penanganan bencana
c. Mempersiapkan pengungsian jika diperlukan
d. Mempersiapkan kebutuhan dasar
Saat terjadi letusan gunung berapi yang perlu dilakukan adalah :
a) Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran

lahar
b) Ditempat terbuka, lindungi dari abu letusan dan awan panas. Persiapkan diri untuk

kemungkinan bencana susulan


c) Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti : aju lengan panjang, celana

panjang, topi dan lainnya


d) Jangan memakai lensa kontal
e) Pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung
f) Saat turunnya awan panas usahakan untuk menutup wajah dengan kedua belah

tangan
Setelah terjadi letusan gunung berapi adalah :
a. Jauhi wilayah yang terkena hujan abu
b. Bersihkan atap dari timbunan abu, karena bertanyaa, bisa merusak atau

meruntuhkan atap bangunan


c. Hindari menegndarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebab bisa merusak

mesin

7.tanah longsor
Strategi dan upaya penanggulangan bencana tanah longsor diantaranya :
a. Hindarkan daerah rawn bencana untuk pembangunan pemukiman dan fasilitas

utama lainnya.
b. Mengurangi tingkat keterjalan lereng
c. meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air permurkaan

maupun air tanah. Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng,

menghindari air meresapke dalam lereng atau menguras air ke dalam lereng ke

luar lereng. Jadi darinase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau

meresapkan air ke dalam tanah.


d. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling
e. Terasering dengan sistem drainase yang tepat. (drainase pada teras – teras di

jaga jangan sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah)


f. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam

yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lbih dari 40 derajat

atau sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat sertadi seling selingi

dengan tanaman yang lebih pendek dan ringan, dibagian dasar di tanam rumput)
g. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat
h. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan
i. Pengenalan daerah rawan longsor
j. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall)
k. Penutupan rekahan ditaslereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam

tanah
l. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untukmenghindari bahaya liquefaction

(infeksi cairan)
m. Utilitas yang ada didalam tanah harus berifak fleksibel
n. Dalam bebrapa kasus relokasi sangat di sarankan
8. tsunami
Penyelamatan diri saat terjadi tsunamimenuru sudiharto, 2011 yaitu :
a. Sebesar apapun bahaya tsunai, gelombang ini tidak datang setiap saat
b. Janganlah anacaman bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati

pantai dan lautan. Namun jika berada di sekitar pantai, terasa ada

guncangan gempa bumi, airlaut dekat pantai surut secara tiba-tiba sehingga

dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan

atau bangunan tinggi) memberitahuan teman-teman yang lain.


c. Jika sedang berada di dalam perahu atau kapal ditengan laut serta

mendengar berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke

pantai. Arahkan perahu ke laut. Jika gelombang pertama telah datang dan
surut kembali, jangan segera turun ke daerah yg rendah. Biasanya

gelombang berikutnya akan menerjang. Jika gelombang telah benar-benar

mereda, lakukanpertolongan pertama pada korban


M. pendokumentasian / peencacatan dan pelapran pada bencana
1. Latar belakang
Dalam kejadian bencana, ada pasien korban bencana yang hanya memerlukan

pealayana rawat jalan atau rawat inap bila konsisi serius. Selaian itu ada

banyak korban yang meninggal d tempat ditempat kejadian atau dalam

perjalanan kerumah sakit. Bahkan ada pasien yang memutuskan pulang paksa

dengan berbagai alasan. Pada dasarnya isi rekam kesehatan korban bencana

relatif sama dengan informasi bagi pasien gawat darurat di rumah sakit.

Pembeda utama antara pasien biasa dan gawat darurat dengan bencana terletak

pada kejadian ‘bencana’ itu. Selebihnya, penaganan pasien kasus bencana

adalah murni kegawatdaruratan yang bersifat lifesaving atau segera wajib

dilakukan pertolongan dan atau tindakan medis demi menyelamatkan nyawa

pasien. Dengan demikian pasien korban bencana senantiasa di kategorikan

sebagai bagan dari pelayanan gawat darurat dan termasuk dalam pelayanan

rawat jalan (out patient services). Bila pasien korban bencana yang telah

diperiksa tenaga kesehatan harus di rawat inap maka petuga medis segera

menyiapkan lembar ringkasan masuk dan keluar dan selanjutnya pasien

menjadi pasien rawat inap.


Akan tetapi khusus untuk kasus bencana, is rekam medik harus diberi

tambahan seperti yang tertuang dalam peraturan menteri kesehatan republik

indonesia nomor 269/MENKES/PER/III/2008 pasal 3 ayat (4) tentang isi

rekam medis pasien dalam keadaan bencana, selain memenuhi ketentuan

sebagaiman dimaksud pada ayat (3) ditambah dengan :


a) Jenis bencana dan lokasi diana pasien ditemukan
b) Kategori kegawatan dan nomor pasien bencana massal
c) Identitas yang menemukan pasien
2. Rancangan formulir rekam medis bencana pada RS umum
Rancangan formulir rekam medis bencana yang terpilih merupakan

penggabungan teori disain formulir, peraturan menteri kesehatan republik

indonesia nomor 269/MENKES/PER/III/2008, dan hasil wawancara dari

responden yang mengangani bencana merapi adalah dokter IGD, perawat,

petugas, dan kepala instansi rekam medis. Rancangan yang terpilih adalah

alternatif. Untuk pengananan kasus kegawatdaruratan disesuaikan dengan

standart pelayanan gawat darurat yang ada. Terkadang dalam pelaksanaannya

belum maksimal. Selain itu diperoleh data bahwa adminitrasi dan pengololaan

di unit gawat darurat masih sangat terbatas dan sederhana, pencacatan dan

pelaporan pasien masuk dan keluar di unit gawat darurat tetap dilakukan

dalam buku pencacatan pasien namun untuk pendokumentasian asuhan

kebidanan tidak ada. Peran indikasi sangat penting pada kasus forensic atau

bencana massal. Salah satu bentuk indikasi tertuang pada berkas rekam medis.

Sehingga yang diperlukan dalam berkas rekam medis bencana harus mampu

merekam data selengkap mungkin (nuryati & Rawi, 2010). Berikut merupakan

gambar contoh rancangan formulir rekam medis bencana :


N. Fase-fase Dasar Program Penanganan Bencana Berbasis Masyarakat
Tujuan penanggulangan bencana adalah untuk menciptakan dan mempertahankan
lingkungan yang aman, disamping memberikan pelayanan kesehatan esensial kepada
untuk korban (qureshi & Gebbie, 2007). Sebuah rencana penanggulangan bencana
yang baik akan menghasilkan penurunan angka kesakitan dan kematian. Untuk
mencapai tujuannya, penanggulangan dibagi dalam 4 tahap kegiatan : (a). tahap pra
bencana, (b). tahap dampak, (c). tahap darurat, (d). tahap rekonstruksi (vogt &
Kulbok, 2008).
Selain itu, ada beberapa model manajemen bencana misalnya, manajemen bencana 4
fase yang dijelaskan oleh fothergill (1999) sebagai berikut ; (a). kesiapan, (b). respon,
(c). pemulihan, (d). mitigasi. Selain model diatas, roger dan lowhorn (2007) membagi
secara sederhana dari rencana penanggulangan bencana yaitu ; (a) kesiapan, (b)
respon, (c) tahap pemulihan. Isi spesifik dari masing-masing fase dibahas sebagai
berikut.
1. Fase kesiapan (preparedness phase)
Tahap manajemen bencana pertama didefinisikan sebagai pra-bencana, atau pra-
dampak, dan difokuskan pada pencegahan, perlindungan, dan kesiapsiagaan
(wynd, 2006). Kegiatan kesiapsiagaan meningkatkan kemampuan unit social
untuk merespon ketika bencana terjadi dengan mengembangkan strategi yang
tepat dan memastikan bahwa sumber daya yang tepat respon berada ditempat
sebelum bencana (Thomas, 1993). Tujuan dari tahap kesiapsiagaan adalah untuk
mempersiapkan para relawan atau masyarakat untuk tanggap dan siap sebelum
menerima peringatan bencana, rumah tangga dan keluarga telah terlibat seperti
stoking persediaan darurat, mengembangkan rencana evakuasi, membuat
perbaikan structural kerumah dan terlibat dalam pelatihan bencana (fulmer,
portelly & foltin, 2007).
2. Fase tanggap (respone phase)
Fase ini didefinisikan sebagai implementasi actual menyediakan perawatan bagi
korban bencana (qureshi & Gebbi, 2007). Prioritas tindakan pada fase respon
meliputi peringatan, mobilisasi dan evakuasi. Peringatan yang memadai sangat
penting untuk memungkinkan masyarakat cukup waktu untuk mempersiapkan
sesuatu dengan matang, termasuk mendapat informasi tentang sumber daya yang
tersedia, memberikan bantuan hidup dasar dan pertolongan pertama kepada para
korban. Fase respon terjadi pada jam-jam pertama, hari, dan bahkan sampai satu
minggu setelah dampak bencana (fothergill, 1999).
3. Fase pemulihan (reconvery phase)
Tahap pemulihan adalah waktu untuk kembali ke “normal” dan membangun
kembali, mengalokasikan sumber daya, menemukan perumahan dan
memeperbaiki kehidupan dalam sebuah komunitas, pembangunan tempat tinggal
baru dan infrakstruktur lainnya (veenama, 2006).
Tahap pemulihan difokuskan pada menstabilkan dan kembali ke normalitas
(jakeway, laros, cary & schoenfisch, 2008). Kegiatan pada fase ini difokuskan
pada pemulihan, rekonstruksi dan rehabilitasi penduduk yang terkena dampak
(davies, 2008). Selama fase ini, penyesuain terhadap dampak fisik dan psikologis
dari bencana yang penting dan memerlukan pemulihan jangka pendek dan
panjang. Dampak fisik meliputi mortalitas, morbiditas, kerugian ekonomi dan
dampak psikologis yang dapat berbentuk stress emosional, trauma, shock, depresi
dan kecemasan. Berdasarkan fakta “semakin besar ruang lingkup, kehancuran
masyarakat, dan kerugian pribadi yang terkait dengan bencana, semakin besar
efek psikososial”.

O. Parameter Praktek Pada Bencana

Parameter praktek penting untuk meningkatkan keakuratan pengambilan keputusan

dan manfaat dari praktek profesi (American Society of Anesthesiologists, 2013). Ada dua

kategori utama parameter praktek yaitu, evidence-besed practice parameter yang

dikembangkan berdasarkan consensus dan bukti-bukti ilmiah yang kuat, dan consensus based

practice parameter yang dikembangkan oleh pakar yang ditunjuk (American Society of

Anesthesiologists, 2013).

Sebelumnya Veenema (2007) mengatakan bahwa praktek keperawatan darurat dalam

skope kecil sehari-hari dapat diterapkan dalam kejadian dengan jumlah korban yang besar
(bencana). Untuk itu perawat bencana mestilah terampil dalam melakukan tindakan-tindakan

pertlongan pertama (first aid), termasuk keterampilan resusitasi jantung paru (RJP) dan

penggunaan defibrillator external outomatis (Veenema, 2007). Selain itu, menurut Veenema

seorang perawat bencana juga harus mampu: (1) melakukan pengkajian terhadap jalan nafas

dan pernafasan, kardiovaskuler, interguman, nyeri, trauma, status mental, indikasi intubasi,

terapi IV, dan obat IV, pengobatan emergensi, terapi cairan, (2) memahami konsep

pertolongan pertama, triase dan transport, manajemen nyeri, manajemen pergantian cairan

dan hypovolemia,perawatan luka dan menjahit luka, teknik membilas/cuci mata,

dekontaminasi bahan-bahan kimia yang terpapar, imobilisasi fraktur, manajemen perdarahan,

stabilisasi dengan crush, dan menggerakkan pasien injuri pada spinal cord. Kemudian, pada

tahun 2009, ICN dan WHO menjabarkan secara lebih rinci kompetensi dasar penanganan

bencana yang harus dilakukan perawat untuk setiap fase dari 4 fase pada manajemen

bencana, yaitu fase mitigasi, preparedness, response, dan recovery/rehabilitasi (lihat modul

keperawatan bencana 1 untuk penjelasan lebih lanjut).

Dari hasil kajian literature review yang dilakukan Pfefferbaum & Shaw (2013)

diketahui beberapa parameter praktek penting untuk penanganan bencana, yaitu:

1) Psychological first aid merupakan intervensi utama pada fase impact dan segera

setelah bencana

2) Psychological defriebring harus digunakan secara hati-hati

3) Pendekatan therapeutic khusus pada masa intermediate posi-impact bencana

mencakup family outreach, psychoedukasi, social support,screening, dan teknik-

teknik mengurangi cemas


4) Pengkajian dan monitoring factor-faktor resiko dan protektif anak-anak harus

dilakukan untuk menentukan tingkat kerentanan anak-anak terhadap morbidity

psychologis

5) Sekolah merupakan tempat yang cocok untuk melaksanakan pengkajian dan

pelayanan untuk anak-anak yang terpapar dengan bencana dan aktivitas kesiapsiagaan

terhadap bencana

6) Intervensi untuk penanganan bencana mestilah didukung bukti-bukti ilmiah yang kuat

7) Intervensi psycho-farmakologik digunakan untuk anak-anak dengan masalah-masalah

psikiatrik yang hebat atau kronis

Sementara itu, hasil consensus para pakar bencana dari berbagai disiplin dan agency

(The Sphere Project, 2011) menetapkan 8 standard dan indicator kunci untuk

menentukan kualitas pelayanan bencana sperti tercantum pada table 2 berikut ini.
Tabel 2. Standard dan pertimbangan Project Speher.

Standard Pertimbangan terkait


Partisipasi Populasi penerima harus harus terlibat dalam pengkajian,

desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi program

bantuan
Pengkajian Pengkajian diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang

situasi dan ancaman kesehatan dan kehidupan, menentukan

perlu atau tidaknya bantuan, jenis-jenis bantuan yang

diperlukan (missal, air, makanan, sanitasi, dll), data mestilah

dikelompokkan berdasarkan jenis-jenisnya


Respon Respon luar diperlukan jika otoritas setempat tidak mampu atau

tidak mau merespon keburuhan populasi


Target bantuan Bantuan harus diarahkan pada semua yang membutuhkan dan

diberikan secarah utuh dan adil


Monitoring Keefektifan dan perubahan situasi dimonitor untuk

memfasilitasi perubahan-perubahan atau penghentian program


Evaluasi Bantuan harus dievaluasi secara lengkap dan systematis
Kompetensi dan Tim penolong harus mempunyai kualifikasi, sikap, dan

tanggung jawab pengalaman kerja yang relevan

pekerja bantuan
Supervisi staf,Para pekerja harus didukung dan disupervisi secara efektif.

managemen, dan system

pendukung
The Sphere Project. (2011). Humanitarian charter and minimum standard in humanitarian

response (3 ed.). Rugby, UK: Practical Action Publishing

P. Parameter Kesehatan Masyarakat ( Community Health Volunteers [CHVs]) dalam

Managemen bencana berbasis komunitas

Relawan kesehatan masyarakat didefinisikan sebagai orang atau komunitas yang

memiliki peran penting dalam mencegah masalah kesehatan atau membantu orang lain selam

bencana (American Red Cross, 2006). Menurut WHO (2011), relawan kesehatan masyarakat

akan selalu memainkan peran penting dalam tanggap bencana. Mereka sering menjadi

responden pertama di tempat kejadian, yang paling dekat dengan bencana tersebut, dan

biasanya dipercaya oleh para korban. Relawan masyarakat (CHVs), yang didefinisikan

sebagai anggota masyarakat awam atau desa yang memiliki latar belakang yang mirip dengan

mereka dan bekerja untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan selama bencana

(Springgate, Wennerstrom & Carriere, 2011).

Selain itu, keterlibatan CHVs dalam program kesehatan mental berbasis masyarakat

adalah untuk menunjukkan atau mewakili pendekatan inovatif, layak, dan diterima secara

budaya untuk membangun kapasitas masyarakat dan untuk mengatasi dampak bencana (Yun,

Lurrie & Hyde, 2010). Dalam mengantisipasi bencana yang aka terjadi, WHO bekerjasama
dengan pemerintah dan mitra diseluruh dunia untuk melengkapi, melatih, dan mempersiapkan

relawan kesehatan masyarakat untuk memberikan perawatan kritis bagi jutaan orang yang

terkena bencana alam, perang dan krisis lainya, dan resiko kesehatan (WHO, 2011).

Mengenai peran CHVs, mereka memiliki tanggung jawab untuk mendukung misi

system kesehatan masyarakat memelihara dan meningkatkan status kesehatan suatu populaso

masyarakat. Para pekerja CHVs harus dilatih dalam kebersihan,pertolongan pertama,

imunisasi, dan pelayan kesehatan primer penting lainnya, membentuk tulang punggung dari

pada sat fase respond atau darurat (WHO,2010). Dibeberapa Negara, seperti Amerika Serikat,

CHVs memiliki tanggung jawab untuk melayani dalam perawatan akut, rumah sakit, klinik

kesehatan, tempat penampungan bencana, stasiun pertolongan pertama atau tempat obat

dalam rangka mengurangi beban kerja tim medis dan kesehatan selama bencana (WHO,

2011).

1. Peran dan tanggung jawab CHVs dan kebijakan yang ada di Aceh

Sukarelawan kesehatan masyarakat (CHVs = Tagana) di Aceh merupakan organisasi

social yang bergerak dibidang penanggulangan bencana alam dan bencana social

berbasis masyarakat. Selama 4 tahun terakhir pekerjaan Tagana (CHVs) telah terlibat

dalam kegiatan kemanusiaan dalam hal kegiatan bencana dan kesejahteraan,

menyebabkan mereka menjadi sebuah organisasi yang didirikan dalam masyarakat.

Selain itu, semua anggota telah mengikuti pelatihan dalam bantuan dan penanganan

bencana (Depertemen Sosial, 2011).


Di provinsi Aceh, tagana (CHVs) bekerja dengan pusat-pusat kesehatan masyarakat

untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat dalam perawatan

darurat saat bencana. Selama bencana, peran CHVs menekankan system peringatan

dini, respon cepat, dan pemulihan social, distribusi logistic untuk masyarakat atau

menyedikan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal bagi para korban,
menyedikan dapur umum juga dilakukan oleh CHVs (Departemen Sosial, 2011).

Menurut UU no.24/2007 tentang penanggulangan bencana bab VII pasal 62 dan 63,

menyatakan bahwa salah satu tujuan dari manajemen bencana adalah untuk

mendorong kerjasama, loyalitas, dan amal. paying hokum pelaksanaan

penanggulangan bencana Negara yang meliputi manajemen resiko bencana berbasis

masyarakat (CBDRM), beberapa kegiatan harus dilakukan segeraoleh tagana

(CHVs)dalam tanggap darurat untuk meminimalkan dampak bencana yang meliputi

pencarian dan penyelamatan, evakuasi korban, memberikan kebutuhan hidup dasar,

sarana dan prasarana mengamankan dan menyediakan tempat penampungan bagi

korban.
2. sistem respon bencana
sistem respon pada saat bencana atau darurat dalam situasi bencana terdiri dari tiga
tingkat (a) respon local, (b) penanggulan bencana berbasis Negara atau provinsi, dan
(c) tanggap bencana nasional.
1) tanggap darurat local.
respon untuk keadaan darurat bencana dimulai di tingkat lokan dan bisa
berkembang Negara (provinsi). tanggap darurat local mungkin mulai dengan
pelayanan medis darurat (EMS) personil tiba di tempat kejadian setelah dikirim
oleh panggilan 991.
personil EMS menstabilkan pasien dan mengangkut mereka ke pusat klinik
yangsesuai berdasarkan kondisi mereka. salah satu masalah paling penting yang
dihadapi sistem EMS adalah koordinasi terbatas antara personil EMS dan
penyedia lainnya, sehingga pasien tidak mampu untuk menerima perawatan yang
optimal.
2) penanggulangan bencana berbasis Negara/provinsi
ketika sumber daya local tidak mencukupi untuk menangani keadaan darurat dan
bencana, pemerintah daerah dapat mengajukan permintaan bantuan Negara atau
provinsi dengan mengikuti protocol komunikasi yang dijelaskan dalam rencana
tanggap darurat local dan Negara.
3) penanggulangan bencana nasional
di tingkat nasional, respon terhadap bencana saat di koordinasikan melalui
departemen terkait rencana tanggap nasional (NRP) di Negara Negara seperti
amerikaa serikat. the NRP dioperasikan melalui sistem manjemen inseden
nasional yang memungkinkan federal. Negara bagian, local, dan suku pemerintah,
sector swasta, dan LSM untuk berkoordinasi dalam rangka untuk mencegah,
mempersiapkan, menanggapi, dan pulih dari bencana terlepas sebab, ukuran, atau
kompleksitas.
di amerika serikat, semua tingkat respon bencana, local Negara bagian dan upaya
nasional yang didukung oleh relawan dan organisasi non-pemerintah (LSM) yang
diselenggarakan melalui organisasi nasional sukarela aktif dalam bencana.
sehubungan dengan rencana tanggap nasional. LSM menyediakan penampungan
massa, makanan darurat, konseling dan layanan dukungan lain untuk membantu
korban bencana dalam upaya pemulihan.
knferensi dunia tentang pengurangan bencana diselenggarakan 18-22 januari 2005
di kobe, hyogo, jepang dan mengadobsi kerangka action for 2005-2015 di bawah
tema membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana. tujuannya
adalah untuk membangun ketahan bangsa dan komunitas terhadap bencana,
dengan mencapai pengurangan substantive kerugian bencana.
tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk mengelola atau meminimal resiko
bencana dengan meningkatkan kapasitas local dan ketahan dan mengurangi
keretanan dan menciptakan masyarakat yang tahan terhadap bencana, mampu
melindungi dan mempertahankan mata pencaharian. program CBDRM terdiri dari
pengurangan resiko bencana peningkatan kesadarn, penciptaan bahaya dan
evaluasi peta, kegiatan kesiapsiagaan masyarakat, penyediaan pertolongan
pertama, pembentukan komunitas tim PRB, simulasi penanggulangan bencana,
dan pembangunan resiko mitigasi skala kecil fasilitas infrastruktur (ADPC, 2008).
Program CBDRM bagi penduduk di masyarakat termasuk koordinasi tim,
kegiatan peringatan dini, evakuasi, pemberian pertolongan pertama, logistic dan
mobilisasi dapur umum keamanan dan (IOM, 2011).
untuk memastikan hasil yang diharapkan di butuhkan komitmen yang penuh dan
keterlibatan termasuk, pemerintahan, organisasi, regional dan internasional.
masyarakat sipil termasuk relawan, masyarakat akademik dan sector swasta (Hadi,
2008). mirip dengan CBDRM, komunitas tim tanggap darurat program (CRRT)
juga melatih orang-orang dalam masyarakat sebagai responden pertama bencana.
alam juga pembantu kapasitas masyarakat sebelum bencana terjadi. dalam
masyrakat dengan kapasitas atau fasilitas yang kurang atau Negara sedang
berkembanag, program CERT dapat memberikan pedoman atau guide line bagi
orang-orang dan organisasi untuk mengorganisir diri mengatasi isu-isu local yang
penting dari tantangan pada saat darurat dan bencana (breneen,2005).
berdasarkan konsep “tetangan membantu tetangga’’ program cert melatih relawan
local atau masyraakat sebagai responden pertama untuk keadaan darurat. CERT
program mendidik orang-orang tentang kesiapsiagaan bencana untuk bahaya yang
dapat mempengaruhi daeraha mereka dan melatih mereka dalam keterampilan
dasar tanggap bencana. dengan pelatihan didalam kelas dan melakukan simulasi
atau latihan, anggota CERT dapat membantu orang lain dilingkungan atau temppat
kerja mereka ketika respon professional tidak segera membantu .
namun, pelatihan CERT berfokus terutama pada perawatan darurat meliputi
pertongan pertama, triase, logistic, dan komunikasi, pencarian dan penyelamatan
dan organissi tim (plin dan brenen 2006).
pada fase darurat, CHVS harus berurusan dengan efek atau dampak langsung dri
bencana ketika tiba ditempat kejadian. beberapa kegiatan triase khususnya harus
segara dilakukan termasuk kebutuahan untuk menyediakan informasi yang akut
untuk tim seperti, wilayah geografis, jumlah korban bencana, kondisi fasilitas
kesehatan. CHVS memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan diri untuk
memberikan pellayanan efektif sebelum bencana terjadi. mereka perlu memiliki
kemampuan untuk berfikir kritis dan untuk menagggapi apa kebutuhan yang
mungkin dibutuhkan. pada fase respon tindakan meliputi peringatan, mobilisasi
dan mengevakuasi bencana. kegiatan kedua diikuti dengan menilai dampak
bencana mencatat, Daftar kebutuhan masyarakat dan mengkomunikasikan
informasi mengenai mengenai efek atau dampak bencana ( Vogt & Kulbok, 2008).
Focus utama dari CHV’s dalam perawatan darurat untuk bencana adalah
menyelamatkan nyawa melalui upaya penyelamatan (Davies, 2008). Di sini,
CHV’s akan memilih dan memprioritaskan korban korban dengan menggunakan
strategi triase bencana untuk mengobati sebagian besar korban yang muncul
pertama (Polvka et al.,2008). Kegiatan akan mencakup namun tidak terbatas pada
penilaian kebutuhan cepat, pertolongan pertama pada tingkat perawatan yang tepat
dengan tingkat yang tepat dari keahlian penyediaan layanan kesehatan,
pencegahan cedera ambahan, promosi makanan sanitasi dan air, pembentukan
system komunikasi dan transportasi, pengawasan untuk masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan bencana seperti penyakit menular, masalah
mental dam psikososial dan evakuasi orang-orang jika ada indikasi ( Polivika et
al., Vogt & Kulbok, 2008).
Tahap tanggap darurat terjadi pada jam-jam pertama, hari dan bahkan sampai satu
minggu setelah dampak bencana (Fothergill et al., 1999). Selain itu, peran CHV’s
dalam perawatan darurat atau dalam fase respon untuk menanggapi semua
panggilan untuk intervensi medis darurat, menyediakan akses ke evaluasi medis
dan stabilisasi untuk pasien bila diperlukan, dan menyediakan transportasi korban
dengan ambulans ke rumah sakit atau perawatan pusat perawatan medis definitive
(Thomas, 1993).

3. kompetensi relawan kesehatan masyarakat CHV’s selama bencana

Kompetensi didefinisikan sebagai komponen spesifikasi dan kinerja seseorang yang berkaitan
dengan integrasi dan penerapan pengetahuan dari keterampilan untuk melakukan peran
professional aman dan etis (WHO, 2008). Menurut The American Heritage Dictionary
(2007), kompetensi personal didefinisikan sebagai kapasitas dan kemampuan seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu yang dapat secara hokum dilakukan oleh seseorang dalam
profesi tertentu. Berdasarkan definisi ersebut, relawan kesehatan masyarakat harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk merespon dan memberikan perawatan darurat selama
acara bencana fundamental.

Menurut Palang Merah Sudan (2007), salah satu kompetensi yang harus dicapai oleh relawan
kesehatan adalah menajemen yang berkaitan dengan pertolngan pertama berbasis masyarakat,
pencegahan penyakit menular, surveilans, kesehatan masyarakat dalam situasi darurat, dan
promosi kesehatan yang berkaitan dengan kebersihan, air, dan sanitasi. Dalam pencegahan
dan pengendalian bencana, peran CHV’s meluas ke system peringatan dini yang merupakan
instrument untuk membuat masyarakat sadar bencana yang akan dating (Kafle & Murshed,
2006).

Penilaian awal yang cepat setelah bencana harus focus pada menetukan masalah kesehatan
yang ada dan potensi termasuk morbiditas dan mortalitas, dan luka berat. Memberikan
penilaian dan rekomendasi kepada pihak berwenang untuk memberikan bantuan sesuai yang
diharapkan sebagai bagian dari peran CHV’s. pengelola korban missal, memberikan
pertolongan pertama dan mengangkut pasien ke fasilitas kesehatan juga tugas CHV’s.

CHV’s perlu mengembangkan kompetensi mereka dalam menajemen darurat untuk merespon
secara efektif selama acara bencana ( Fristch & Zang, 2009; Polivka et al., 2008). WHO
(2010) menyebutkan kompetensi CHV’s saat bencana mencakup kemampuan untuk
melakukan penilaian cepat yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, kemampuan untuk
melakukan pemantauan selama situasi darurat, kemampuan untuk memprioritaskan layanan
PHC termasuk arahan berbasis masyarakat dan peringatan dini terkait dengan penyakit
potensi wabah, kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama dan bantuan hidyp
dasar, dan kemampuan untuk mendukung pengelola korban missal termasuk trauma penting
dan perawatan bedah dan menyediakan layanan psikososia, dukungan masyarakat dan
psikologis pertologan pertama.

Peran tenaga kerja CHV’s dalam keadaan darurat akan tergantung pada tingkat pelatihan
mereka dan kemampuan mereka, kebijakan nasional penyediaan layanan kesehatan dan
dukungan system kesehatan di tingkat masyrakat.

CERT mempersiapkan orang-orang awam di masyarakat untuk terampil dalam menghadapi


bencana. Ini termasuk pertolongan pertama, triase, logistic, komunikasi, pencarian dan
penyelamatan, dan organisasi tim (Flint & Brennan, 2006). Dalam kondisi ini, CHV’s harus
mampu melakukan teknik pertolongan pertama dasar dan efektif dalam membantu para
korban, seperti control pendarahn, menilai shock dan patah tulang menstabilkan untuk
mencagah komplikasi dan kematian (Kano, siegel & Bourqen. 2005)

Para anggota CHV’s sering menjadi responden pertama dibanyak tempat bencana (Auf der
Heide, 2003). Misalnya, dalam gempa bumi di Luzon, Fillipina 1990, sebagian besar
tindakan yang menyelamatkan jiwa penting dilakukan oleh anggota CHV’s di masyarakat
setempat (Roces, Putih, Dayrit &Durking 1992). Selain itu, tindakan CHV’s dalam tanggap
darurat untuk membantu masyarakat meliputi: 1) memberikan konstribusi kepada masyarakat
penilaian kebutuhan dan pemantauan selama keadaan darurat, 2) menyediakan layanan PHC
prioritas termasuk rujukan, komunikasi dan promosi kesehatan dan pendidikan, 3) melakukan
komunitas survelians berbasis dan peringatan dini penyakit potensial wabah, 4) memberikan
pertolongan pertama dan bantuan hidup dasar, dan 5) mendukung pengelolaan korban missal
termasuk trauma penting, dan 6) menyediakan layanan psikososial, dukungan masyarakat dan
psikologi pertolongan pertama (WHO & UNICEF. 2010)

Berdasarkan Flint dan Crennan (2006) dan Vogt dan Kulbok (2008), ada enam komponen
penting dari pengetahuan dan keterampilan CHV’s yang harus dipahami saat bencana : a)
peringatan dini, b) pertolongan pertama, c) triase bencana, d) logistic dan komunikasi, e)
pencarian dan penyelamatan, f) organisasi tim

a. Peringatan dini (early warning)


Peringatan dini ini penting pada saat bencana, para CHV’s haeus siap untuk
memahami dan bereaksi terhadap peringatan dan CHV’s harus tahu tentang peristiwa
dan situasi bencana, karakteristik daerah bencana, misalnya, daerah perkotaan dan
pedesaan, misalnya distribusi usia (Kafle & Murshed. 2006).
Relawan kesehatan masyarakat (CHV’s) harus memberikan peringatan awal kepada
masyarakat tentang bencana, memobilisasi dan mengevakuasi para korban sebagai
yang pertama dan aksi dalam fase darurat atau respon selama bencana dimana
peringatan yang memadai akan diberikan kepada masyarakat (Vogt & Kulbok, 2008).
Selain itu, CHV’s perlu mengidentifikasi sumber daya yang tersedia dan peralatn yang
dapat digunakan untuk mendeteksi dini dan mengirim pemberitahuan untuk
menginformasikan masyarakat (Gabbie & Qureshi, 2007). Sumber utama utuk
peringatan dini di masyarakat saat bencana meliputi telpon seluler, telpon satelit dan
radio dua arah. Ini akan member kesempatan bagi masyarakat untuk mempersiapkan
dan mengevakuasi diri, keluarga mereka dan mengurangi efek bencana.
b. Triase bencana (Disaster Triage)
Define triase adalah proses memilih dan mengelompokkan pasien berdasarkan pasien
paling sakit sebagai prioritas (CERT, 2011). Program ini telah digunakan sejak awal
1960-an ketika ada kebutuhan untuk kebutuhan untuk layanan darurat untuk
memberikan perawatan darurat kepada pasien (Barker, 2007). Pada fase darurat
selama bencana, tujuan triase adalah untuk memiliki dan memprioritaskan korban
untuk perhatian medis sesuai dengan tingkat cedera atau sakit dan harapan untuk
bertahan hidup.

Triage dilakukan oleh CHVs akan mengurangi beban tim dan fasilitas kesehatan. Selain itu,
triase dapat dilakukan pada waktu yang berbeda oleh berbagai kelompok penyedia layanan
kesehatan termasuk relawan kesehatan masyarakat (CVHs) untuk berbagai alasan selama
penyediaan perawatan darurat (Lerner et al., 2008). Dalam situasi bencana, triase mengacu
pada sistem yang digunakan ketika sumber daya yang tersedia tidak cukup untuk kebutuhan
semua korban (Baker, 2007). Oleh karena itu, prinsip triase telah berubah dari merawat
paling kritis sakit pertama yang merawat para korban yang paling mungkin untuk bertahan
hidup terlebih dulu (Ihlenfeld, 2003).

Selama fase darurat, CHVs harus mampu menyaring korban dengan menggunakan fase
korban dari bahaya triase yang dibagi menjadi tiga tahap: Tahap 1 – kematian dalam beberapa
menit sebagai akibat dari kerusakan yang luar biasa dan tidak dapat diubah ke organ vital;
Tahap 2 – kematian dalam beberapa jam akibat perdarahan yang berlebihan; Tahap 3 –
kematian dalam beberapa hari atau minggu sebagai akibat infeksi (CERT, 2011).

Triase penting dilakukan pada bencana karena beberapa korban bencana di tahap kedua dan
ketiga kematian bisa diselamatkan dengan memberikan intervensi sederhana termasuk cara
udara jelas, menghentikan pendarahan, melakukan CPR, dan segera mengangkut korban ke
rumah sakit (CERT, 2011). Di lokasi bencana, sistem primer yang paling umum digunakan
dalam situasi bencana adalah triase sederhana dan pengobatan cepat (START) (Lerner et al,
2006). START adalah konsep penting dalam penanganan korban bencana. Sejarah telah
membuktikan bahwa 40% dari korban bencana dapat disimpan dengan pengobatan yang
cepat dan sederhana. Dalam bencana dengan banyak korban, waktu akan menjadi penting.
Para anggota CVHs akan perlu waktu untuk bekerja dengan cepat dan efisien untuk
membantu korban sebanyak mungkin (CERT, 2011).

Para CHVs harus mengurutkan korban dengan menggunakan teknik pelabelan. Sistem
START menggunakan empat warna pelabelan. Hijau digunakan untuk korban yang dapat
memobilisasi diri, korban yang tidak dapat ambulate namun memiliki fisiologi normal
diklasifikasikan sebagai kuning, sedangkan merah digunakan untuk korban yang memiliki
respirasi normal, perfusi, atau status mental, tetapi dianggap sebagai diselamatkan. Hitam
digunakan untuk korban yang menderita luka-luka atau tanda-tanda kematian yang akan
datang dengan kesempatan miskin untuk bertahan hidup dibawah kendala saat ini
diprioritaskan (Sztajnkrycer, Madsen & Ba’ez, 2006).

Selain itu, menurut CERT (2011) sistem triase umum digunakan adalah klasifikasi kondisi
medis pasien. Klasifikasi ini dibagi menjadi empat tingkatan: 1) perawatan medis segera, 2)
tertunda perawatan, 3) tidak mendesak atau kecil dan, 4) mati atau hampir mati. Klasifikasi
ini mengacu pada Triage Sederhana dan Rapid Treatment (START) menggunakan sitem kode
warna. Perawatan segera adalah perawatan yang diberikan untuk pasien yang terluka parah
dengan probabilitas tinggi untuk bertahan hidup memerlukan prosedur untuk mencegah
kematian, misalnya, obstruksi jalan nafas, perdarahan, atau syok. Korban ini ditandai dngan
tag merah.

Perawatan tertunda didefinisikan sebagai korban yang tidak memerlukan intervensi


menyelamatkan jiwa langsung, para korban mungkin memerlukan perawatan professional
tetapi pengobatan dapat ditunda, para korban ini ditandai dengan tag kuning. Misalnya,
korban dengan patah tulang besar tanpa gangguan peredaran darah, luka bakar utama yang
tidak rumit, cedera tulang belakang atau kepala, cedera intra-abdomen /atau toraks (tidak ada
perdarahan), luka vaskular dengan perdarahan terkontrol, luka mata dan Central Nervous
System (CNS), dan operasi yang lama. Kategori-kategori minor adalah individu yang
memerlukan sedikit atau tidak ada perawatan medis termasuk luka dangkal, luka bakar <15%,
fraktur ekstremitas atas, keseleo, lecet dan luka ledakan tanpa masalah yang serius, dan
korban ini ditandai dengan tag hijau. Kategori terakhir adalah mati. Mati didefinisikan
sebagai tidak bernafas setelah mencoba untuk jalan napas dua kali. Korban ini ditandai
dengan tag hitam. Dari triase, para CHVs harus mengkategorikan korban ke daerah
perawatan medis yang ditunjuk untuk perawatan segera, perawatan tertunda, atau kamar
mayat (CERT, 2011).

c. Bantuan pertama (first aid)

Menyediakan menyelamatkan nyawa dan dukungan kepada orang-orang dan masyarakat


yang terkena dampak bencana akan menjadi tindakan penting yang terakhir (Jakeway,
LaRosa, Cary & Schoenfisch, 2008). Di sini, para relawan kesehatan terlibat dalam
menyelesaikan jiwa para korban melalui upaya penyelamatan dan pertolongan pertama
(Davies, 2008). Relawan kesehatan masyarakat harus mengikuti pelatihan pertolongan
bantuan hidup dasar seperti manajemen perdarahan eksternal, mengamankan saluran udara,
belat patah tulang, dan teknik yang sesuai dalam penanganan cedera (WHO, 2007). Luka
ringan dapat diobati secara efektif dengan menggunakan teknik pertolongan pertama, seperti
kontrol perdarahan, shock mengobati dan menstabilkan patah tulang (Karno, Siegel &
Bourque, 2005).

Dalam situasi darurat, obstruksi jalan napas, perdarahan, dan syok menyebabkan mati.
Prioritas utama kegiatan CHVs membuka saluran udara, mengendalikan perdarahan yang
berlebihan, dan mengobati shock (CERT, 2011). Salah satu contoh prpgram kesiapsiagaan
bnecana berbasis masyarakat untuk CHVs adalah Community Emergency Response Team
(CERT), yang didirikan di Los Angeles, California. Program ini berfokus pada penilaian dan
pengobatan tepat untuk cedera yang paling sering terjadi pada bencana alam, seperti patah
kaki, luka tusuk, atau luka bakar (Simpson, 2000).

Cardiopulmonary resuscitation (CPR) pelatihan tidak kompeten yang diperlukan pelatihan


CERT meskipun ada beberapa bukti bahwa bencana alam dapat memicu kematian jantung
mendadak (Kloner, Leor, Pole, & Perrit, 1997).

Selain itu, survey berbasis masyarakat yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa
sebagian dari mereka yang disurvei mungkin telah menerima pelatihan CPR di masa lalu,
namun hanya sedikit yang telah dilatih baru-bau ini (Clark, 2008). Dengan demikian,
beberapa peneliti telah merekomendasikan bahwa anggota masyarakat awam harus menerima
pelatihan pertolongan pertama untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam
memberikan bantuan medis dasar selama fase pasca bencana sampai bantuan professional
tersedia (Angus et al, 1993,; Angus et al, 1997;. Crippen, 2001; Roces et al, 1992).

Keterampilan pertolongan pertama (first aid) adalah memberikan jalan napas, melakukan
resusitasi dari mulut ke mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati shock, dan mengendalikan
pendarahan (Kano, Siegel & Bourque, 2005). Selain itu, ada sejumlah studi yang membahas
kompetensi CPR dan retensi keterampilan, dalam sampel masyarakat. Studi ini menemukan
bahwa mereka yang dilatih akan lebih bersedia untuk menggunakan keterampilan yang
mereka peroleh, terutama untuk membantu anggota keluarga, bukan orang asing (Jelinek et
al, 2001;. Swor et al, 2003).

Menurut CERT (2011), tanggung jawab CHVs adalah untuk mengurus para korban yang
diduga mengalami obstruksi saluran napas. Para korban harus diperiksa segera untuk
bernafas, dan jika perlu, saluran udara harus dibuka. Ketika obstruksi jalan napas terjadi,
anggota CHVs harus membersihkan saluran napas menggunakan metode Head-Tilt/Chin-Lift
dan CHVs perlu mempertimbangkan pentingnya membuka saluran udara secepat mungkin
dan memeriksa obstruksi jalan nafas harus menjadi tindakan pertama. Selain itu, dalam
mengalokasikan pertama kepada korban, CHVs harus menghentikan perdarahan, karena
perdarahan yang tidak terkontrol secara dini menyebabkan kelemahan. Jika pendarahan tidak
terkontrol, korban akan mengalami syok dalam waktu singkat dan akhirnya bisa mati. Ada
tiga metode utama untuk mengendalikan pendarahan yaitu tekanan langsung, elevasi, dan
tekanan poin.
Selain itu, penyebab terakhir kematiaan korban dalam perawatan darurat adalah syok. Syok
adalah satu kondisi yang terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan aliran darah yang cukup.
Ketika darah tidak beredar, oksogen dan nutrisi lainnya tidak dibawa ke jaringan dan organ.
Pembuluh darah mulai menutup dan organ yang rusak. Syok dapat memperburuk korban
dengan cepat. Untuk membantu kondisi ini, anggota CHVs harus bertindak cepat jika da
tanda-tanda berikit yang menunjukkan korban dalam kondisi shock, napas cepat dan dangkal,
isi ulang kapiler lebih besar dari 2 detik, dan korban tidak bisa mengikuti perintah sederhana,
seperti meremas tanggan (CERT, 2011).

Dalam jangkat pende kemampuan anggota CHVs untuk membuka saluran udara, control
pendarahan, dan mengobati shock sangat untuk menyelamatkan nyawa. Mereka harus
menggunakan metode Head-tilt/Chin-lift untuk membukasaluran udara. Mereka juga harus
mengontrol pendarahan dengan menggunakan tekanan langsung, elevasi, dan / atau tekanan
pain.

d. logistik dan komunikasi

sebagai buntut dari bencana alam, menghadapi banyak tantangan logistik termasuk
penghancuran infrastruktur fisik, misalnya jalan, jembatan dan bandara, keterpencilan suatu
daerah dan kapasitas transportasi terbatas (Thomas & Kopaczak, 2005).

CHVs harus memiliki pengetahuan tentang persediaan apa yang diperlukan, dimana mereka
berada dan pengetahuan tentang system transportasi (Long & Wood, 1995). Badan badan
harus memiliki informas yang diperlukan tetapi respon yang efektif memerlukan kemampuan
logistik untuk pegadaan perlengkapan dan transpotasi mereka ke lapangan. Sayangnya
meskipun logistik memainkan peran penting selama periode darurat awal, mereka sering
diberi wewenang terbatas untuk melaksanakan keputusan mereka (Thomas, 2003).

Seringkali timpenilai yang dikirim oleh lembaga-lembaga kemanusiaan untuk menentukan


kebutuhan penduduk yang terkena bencana tidak melibatkan logistik. Jika logistik tidak
termasuk dalam proses perencaan dan pengambilan keputusan, hal ini menyebabkan
keterlambatan dalam mendistribusikan bantuan (Thomas & Kopczak, 2005). Meningkatkan
keahlian logistik local sangat diperlukan. Selain itu, dalam konteks kemanusiaan,
mendistribusikan logistik untuk volume efesien dan efektif di mana dan kapan mereka
butuhkan juga sama pentingnya.

Sebagai contoh, solusi tenaga multi-tenaga logistik untuk tenaga Thailand dan Indonesia juga
terlubat, serta berkolaborasi pada mekanisme dukung tanggap darurat untuk mendukung
kader (relawan ) dari spesialis teknis untuk pelatihan kesiapsiagaan bencana, respn awal dan
sebagai sumber daya untuk pelaksaan dan pemantauan (Arminas, 2005).

Kebutuhan untuk rantai pasokan logistik yang lebih efesien dalam kondisi bencana sangat
diperlukan ( Hale & moberg, 2005). Selain itu, setelah bencana, pendidikan tentang
kebersihan bagi masyarakat penting untuk mengurangi resiko penyakit menular dan transmisi
( PAHO, 2006). The CHVs membantu dalam menawarkan logistik penting untuk kebutuhan
masyarakat seperti air, sanitasi dan kebersihan (WASH) untuk menyelamatkan nyawa korban
dalam situasi darurat (WHO & UNECE, 2010). Namun, tindakan multi-sektor mengurangi
sumber air utama yang rentan dan system limbah, dan memastikan WASH adalah tindakan
prioritas dalam penanggulangan keadaan darurat (WHO & UNICE, 2010).

WASH mengacu pada penyediaan air bersih untuk minum, mencuci dan kegiatan demestik,
penghapusan limbah aman ( toilet dan limbah buangan) dan kegiatan promosi kesehatan
untuk mendorong praktik- praktik perilaku perlindungankesehatan di antara penduduk yang
terkena bencana. WASH memadai dapat membatasi perawatan medis di fasilitas kesehatan,
menurunkan kondisi lingkungan dan peningkatan kerentanan masyarakat ( Wisner & adams,
2002). Bencana alam dapat membahayakan air dan infrastruktur pengelolaan sampah.
Penyediaan memadai WASH dapat menyebabkan peningkatan resiko beberapa
penyakittermasuk: diare, hepatitis A, kolera, tipus dan shebelle Disentri, cacinganusus,
Malaria dan Trachoma. Khususnya anak-anak bisa berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
penyakit menlar daripada orang dewasa. CHVs melakukan pemasokan air bersih yang
memadai bagi para korban selama perawatan darurat (WHO & UECE, 2010).

Selain itu, pemerintah dan relawan kesehatan masyarakat dapat mengelola resiko bencana di
WASH dengan merancang, membangun dan memelihara system airdan sanitasi yang
meliputimodifikasi sederhana untuk menahan risiko bencana (wisner & Adams, 2002). Dalam
mencegah penyebaran infeksi melalui pendidikan, fasilitas dan sabun untuk mencuci tangan
untuk mempromosika praktek-praktek higienis dan selama tanggap bencana, CHVs harus
menyediakan tempat penampungan dank amp-kamp sementara bagi keluarga ( Sphere, 2011).

Dalam fase darurat saat bencana informasi memainkan peran penting daalam manajemen
bencana. Hal ini jelas bahwa informasi penting yang dikumpulkan, dianalisis dan
didisyribusikan oleh lembaga yang berpatisipasi dan akan memfasilitasi respon yang efektif
dan karenanya lebih banyak nyawa bisa diselamatkan (King, 2005). Selam krisis, lembaga
kemanusiaan membutuhkan informasi yang berkaitan dengan situasi bencana, penduduk yang
terkena bencana dan ketersediaan sumberdaya (Zhang et al., 2002). Namum, ,mengumpulkan
informasi mungkin sangat sulit karena tidak dapat diaksesnya kedaerah-daerah karena
rusaknya infrastruktur dan dalam beberapa kasus keterpencilan daerah yang terkena bencana
(king, 2005). Biasanya penilaian dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusin untuk
memandu keputusan mereka dalam situasi bencana yang diberikan (darcy & hofmann, 2003).

Informasi darurat harus menggunakan fasilitas komunikasi yang tersedia di masyarakat ,


seperti SMS gateway, radio amatir, system komunikasi tradisional, telepon satelit, dan nomor
bebas pulsa. Ada beberapa pilihan untuk menggunakan teknologi yang tepat untuk penetrasi
pesan yang lebih luas (WHO, 2009). Semua informasi yang diberikan kepada masyarakat
menggunakan semua media yang tersedia, ramah, sederhana dan dapat diandalkandengan
menggunakan bahasa local.

Selanjutnya, selama bencana, media massa mungkin tidak tersedia atau setidaknya sangat
tergangu. Namun, radio mungkin tersedia, dan di permukiman darurat jangkat
panjangdimungkinkan untuk menghasilkan sebuah surat kabardi kamp penggungsiandan
membuat perjanjian dengan sebuat stasiun radio terdekat untuk menyiarkan program regular
tentang isi-isu kesehatan . radio, kaset, televisi, video, surat kabar, plakat, drama, pertunjukan
boneka dan mgafon adalah cara yang efektif untuk mengkomunikasikan informasi dengan
cepat ke masyarakat dan menciptakan kesadaran terhadap masalah atau gagasan (Bhutta,
Lassi, Pariyo & Huicho, 2011). Namun, pada fase darurat , kolaborasi dan komunikasi di
dalam dan di antara lembaga-lembagaadalah penting (gebbie & Qureshe, 2002). Sebuah
system komunikasi yang sesuai sangat penting untuk mengintegrasikan respon secara cepat
dari multi-organisasi dengan relay informasi ke dan dari lapangan pos komando ke pusat
operasi darurat.

Sistem komunikasi harus ditetapkan, sehingga penyediaan layanan kesehatan dapat


berkomunikasi satu sama lain, dengan para pemimpin pemerintah, dan berkolaborasi
dengan mitra seperti polosi, pemadam kebakaran, jasa keamanan, dan rumah sakit
setempat (Veenema, 2007). Setelah memberikan perawatan medis yang sesuai dan tepat
waktu, prioritas berikutnya bagi para korban bencanaalam adalah tempat berlindung
mencari tempat tinggal sesuai untuk semua Korban biasanya menjadi prioritas sekitar 48
jam setelah bencana (WHO, 2011). Penampungan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang melindungi individu terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, dan memungkinkan
untuk pemulihan praktik kesehatan masyarakat yang tepat yang akan melindungi individu
dari konsekuensi kesehatan jangka panjang (IFRC, 2009).

e. Pencarian dan penyelamatan (Search and rescue)

Prioritas pencarian dan penyelamatan tim ini adalah untuk mencari dan mengevakuasi
korban dari zona dampak dan mentransfernya ke pos medis setelah menilai status mereka.
Tim pencarian dan penyelamatan dapat memberikan pertolongan pertama pada korban di
zona dampak, seperti mengontrol perdarahan, menjaga kelancaran saluran nafas, namun
ini bukan waktu untuk resusitasi cardiopulmonary (IFRC, 2004).

Tim evakuasi bertanggung jawab untuk mentransfer korban stabil ke fasilitas perawatan
kesehatan dengan menggunakan transportasi dan pendamping yang paling tersedia.
Korban dengan luka ringan dapat di transfer oleh transportasi non-medis setelah semua
korban akut telah dievakuasi. Setibanya di rumah sakit, setiap orang yang terluka harus
kembali diprioritaskan, dinilai ulang, distabilkandan diberi perawatan definitif.

Pencarian korban adalah sebuah operasi yang biasanya dikoordinasikan oleh Pusat
Koordinasi Penyelamatan (RCC) atau sub-center penyelamatan, menggunakan personel
dan fasilitas yang gersedia untuk menemukan orang-orang dan operasi penyelamatan
untuk mengambil orang-orang dalam kesulitan, menyediakan kebutuhan medis awal atau
lainnya, dan mengantarkan mereka ke tempat yang aman (FEMA, 2006). Selain itu,
Search and Rescue Kota (Husar), bertujuan untuk menemukan dan menyelamatkan orang-
orang dari bangunan yang roboh atau terperangkap dalam bangunan.

Tim multi-disiplin termasuk personal polisi, pemadam kebakaran, pelayanan medis darurat
dan CHVs, demikian juga halnya para pencari dan penyelamat tradisional, sebagian besar
memiliki kemampuan untuk membantu korban dalam keruntuhan struktural dan bahaya
dari gempa bumi, angin topan, dan bahaya lainnya (FEMA, 2006). Selain itu, ambulans
harus dalam daerah yang mudah di akses dari stasiun peawatan medis. Semua CHVs harus
menyadari rencana untuk transportasi dan tahu di mana kendaraan transportasi akan
berlokasi (Veenema, 2007).

Pada fase darurat saat bencana di mana orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan
bangunan yang telah runtuh, atau terkubur di bawah lumpur atau tanah longsor , orang-orang
ini harus dicapai dan diselamatkan, dan dalam hal ini CHVs akan bekerja sama dengan tim
lain (WHO & UNECE, 2010).

Aturan-aturan dasar tertentu harus diperhatikan , seperti tidak menginjak-injak reruntuhan,


tidak menggerak-gerakkan puing-puing sebelum yakin tidak menyebabkan keruntuhan
bangunan lebih lanjut atau kejatuhan material. Begitu penyelamat mencapai orang yang
terluka, CHVs harus berhati-hati untuk membantu para korban seperti menilai respirasi,
membuka saluran udara dengan menggunakan jari-jari untukmembersihkan mulut dan
tenggorokan, mengambil gigi palsu dan melonggarkan kerah, ikat pinggang dan pakaian, dan
menggunakan selimut untuk menjaga korban agar tetap hangat. Selain itu, pada saat petugas
penyelamatan membebaskan para korban yang terperangkap, transportasi untuk para korban
ke pusat kesehatan atau rumah sakit harus dipersiapkan. Disini CHVs perlu menggunakan
tandu untuk orang yang terluka. Namun, jika tandu tidak ada, sumber daya lain seperti
selimut, potongan kain atau plastik, tempat tidur, tangga, pintu, jendela, dll, dapat digunakan
(CERT, 2011).

f. Organisasi tim (Team Organization)

sebagai responden garis depan, CHVs memainkan peran penting dalam keadaan darurat dan
harus dimasukkan dalam perencanaan sistem kesehatan untuk semua fase manajemen resiko
darurat. Ini memerlukan upaya yang terkoordinasi dari semua pemangku kepentingan kunci,
termasuk tokoh masyarakat untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk tindakan
lokal selama fase darurat. (Global Health Workforce Alliance, 2010).

Ketika tejadi bencana, ada kebutuhan dari banyak tim atau organisasi untuk membantu para
korban, yang juga melibatkan kolaborasi antara CHVs dan professional kesehatan lainnya,
terutama dalam tahap darurat (Kuntz et al, 2008).
Dalam situasi ini, CHVs dan tim lain harus berkomitmen untuk afiliasi ini dalam rangkan
meningkatkan komunikasi dan kolaborasi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari
para korban dalam fase darurat. (Vogt & Kulbok, 2008).

Kolaborasi yang efektif antara pihak tanggap bencana alam termasuk penduduk setempat,
pemerintah daerah dan organisasi kemanusiaan merupakan bagian penting dalam manajemen
bencana alam (Oloruntoba, 2005). Simatupang dan rekan (2007) menyatakan bahwa
kolaborasi antara organisasi independen sangat penting untuk meningkatkan proses mereka
dalam menanggapi kondisi yang berubah dengan cepat. Namun, kerja sama yang efektif
dalam keadaan darurat sulit dicapai. Keterlibatan sejumlah besar lembaga dapat menciptakan
hambatan dalam upaya koordinasi dilapangan. Masing-masing instansi memiliki metode
operasi tersendiri dan kadang-kadang ada persaingan di antara mereka untuk merebut sumber
daya yang terbatas. Respon terhadap bencan besar umumnya membutuhkan keterlibatan
berbagai lembaga nasional dan internasional. Dalam keadaan darurat, koordinasi upaya dan
kegiatan organisasi nasional dan internasional yang berbeda membutuhkan kepemimpinan
yang kuat. Namun, dalam praktiknya, berbagai organisasi biasanya cenderung bekerja secara
mandiri.

Q. Perawatan komunitas dengan bencana

Perawat komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendukung partisipasi komunitas


dalam proses mempertahankan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Keperawatan
komunitas berlangsung diluar rumah sakit dan berfokus pada masalah-masalah kesehatan
kelompok yang lebih besar dari kesehatan individu termasuk dalam masalah penanganan
bencana.
1. Peran system kesehatan masyarakat dalam disaster

System pelayanan kesehatan masyarakat berperan penting dalam manajemen bencana. Pada
saat sebelum bencana, anggota tema masayarakat berperan dalam mengidentifikasi kejadian
bencana dan populasi yang berisiko terhadap bencana, mendidik penduduk mengenai cara-
cara pencegahan dan persiapan menghadapi bencana., bekerja sama dengan lembaga lain
untuk mengembangkan rencana pencegahan bencana dan membatasi jumlah korban,
membantu mengidentifikasikan sumber-sumber yang ada, merekrut tenaga volunteer
kesehatan, dan membantu dan mengadvokasi pengembangan peraturan-peraturan untuk
mengurangi efek bencana.

Pada saat kejadian bencana, tenaga kesehatan masyarakat mengkaji dan mengkomunikasikan
informasi mengenai efek kesehatan bencana kepada agen pemerintah yang terkait,
mengkoordinasikan pelayanan kesehatan, membantu pencegahan injury dan upaya-upaya
promosi kesehatan yang dibutuhkan. Setelah bencana, tenaga kesehatan masyarakat
bertnaggung jawab untuk menjaga adanya kontinuitas pelayanan follow-up untuk para korban
dan berpartisipasi dalm kegiatan evakuasi kolaboratif penanganan bencana.

2. Elemen-elemen bencana
a. Elemen temporal (temporal element)
Bencana dikategorikan sebagai suatu siklus fenomena yang berlangsung dalam lima tahapan,
yaitu tahap non-bencana atau interdisaster, tahap prabencana, tahap impact, tahap
emergensi, dan tahap penyembuhan(Clark, 2008, p. 765).

1) Tahap Non-Bencana atau interdisaster


Tahap Non-Bencana atau interdisaster adalah periode waktu sebelum ancaman
bencana terwujud, ini merupakan tahap perencanaan dan persiapan terhadap bencana.
Masyarakat dilibatkan dalam pengkajian tingkat kerentanan terhadap bencana
(vulnerability), kemampuan dalam penanganan bencana (capability), dan pencegahan
dampak bencana (mitigasi). Selain itu, kegiatan seperti mapping lokasi bencana dan
edukasi mengenai pencegahan dan persiapan bencana masyarakat dilakukan pada
tahap ini (Clark, 2008).

2) Tahap Prabencana
Tahap ini disebut sebagai tahap peringatan atau ancaman yaitu terjadi ketika peristiwa
bencana sudah dekat tapi belum terjadi (Clark, 2008, p.765). Beberapa kegiatan pada
tahap ini adalah pemberian peringatan kepada mayarakat akan bencana yang akan
terjadi, mobilisasi preimpac tatau pun evakuasi masyarakat untuk mencegah dampak
yang tidak diinginkan dari bencana yang akan terjadi (Clark, 2008, p. 766).

3) Tahap Impact
Tahap impact adalah tahap ketika bencana telah terjadi dan efek langsungnya telah di
alami oleh masyarakat (Clark, 3008, p. 767). Kegiatan tenaga perawatan masyarakat
pada tahap ini adalah melakukan rapid assessment terhadap kerusakan bangunan dan
injury fisik yang dialami masyarakat untuk menentukan kebutuhan yang diperlukan
pada tahap emergensi(Clark, 2008, p. 767).

4) Tahap Emergensi
Tahap emergensi berfokus pada upaya-upaya untuk menyelamatkan kehidupan
(Landesman, 2005), umumnya dimulai oleh maysarakat itu sendiri sebelum bantuan
luas datang, dan dipengaruhi oleh kondisi geografi wilayah bencana (Clark, 2008, p.
767). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pencarian dan
penyelamatan korban(search and rescue), pertolongan pertama, bantuan darurat
medis, memperbaiki atau menegakkan system komunikasi dan transportasi,
surveillance, dan evakuasi (Clark, 2008, p. 767).

5) Tahap Recovery
Tahap recovery dibagi atas tahap restorasi (restoration), rekonstruksi
(reconstructtion), dan rekonstitusi (reconstitution) yang berfokus pada upaya-upaya
untuk mengembalikan masyarakat ke keadaan keseimbangan (equilibrium) dan
kadang-kadang juga pada upaya-upaya untuk mencegah terulangnya bencana atau
untuk meningkatkan persiapan dan kemampuan respon masyarakat terhadap bencana
(Clark, 2008, p. 767).

b. Elemen ruang(Saptial element)


Elemen ruang pada disaster menggambarkan sejauh mana efek bencana pada suatu
wilayah geografis tertentu, baik wilayah dengan dampak total (total impact), parsial
(partial impact), maupun daerah yang tidak terkena dampak bencana secara langsung
(outside area) (Clark, 2008, p. 768). Pembuatan peta resiko (community risk map) dan
sumber daya masyarakat (community resource map) pada tahap perencanaan dapat
membantu menggambarkan elemen ruang (Clark, 2008, p. 768). Contoh gambar
community resource map adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Community Resource Map

Diadaptasi kandari Kafle, S. K., &Murshed, Z. (2006). Community-based Disaster


Risk Management for Local Authorities – Participan’s workbook. Bangkok,
Thailand : Asian Disaster Preparedness Center.

c. Elemen Peran (Role Element)


Ada dua tipe peran orang-orang yang terlibat dalam bencana, yaitu sebagai korban
atau penolong (Clark, 2008, p. 769). Peran sebagai korban dapat dibagi dalam 6
kategori, berdasarkan tingkat keterpaparan mereka dalam bencana, yaitu mulai
sebagai korban dengan tingkat keterpaparan maksimum (korban utama) sampai
dengan tingkat keterpaparan minimum atau tidak menderita langsung akibat bencana
(korban tingkat 6) (Clark, 2008, p. 709).

d. Elemen Dampak (Effect Element)


Dampak yang ditimbulkan akibat bencana dapat diklasifikasikan sebagai dampak
primer (langsung) atau sekunder (tak langsung), nyata atau tidak nyata (dari Paul
(2005), dikutip Clark, 2008, p. 773), fisik, mental, ekonomi, structural, dan sosial
(Clark, 2008, p. 773). Contoh dampak primer adalah kematian, injury fisik, dan
kerusakan bangunan, sedangkan contoh efek sekunder/tidak langsung adalah masalah-
masalah psikologis, masalah malnutrisi, dan ekonomi (Clark, 2008, p. 773).

3. Perawatan Kesehatan Komunitas dengan Bencana


a. Pengkajian Keperawatan Komunitas dengan Bencana
Pengkajian keperawatan bencana pada tatanan komunitas disesuaikan dengan siklus
kejadian bencana (Clark, 2008, p. 773). Pada tahap prabencana pengkajian difokuskan
pada faktor-faktor resiko terjadinya bencana dan kemampuan respon yang dimiliki
masyarakat, sedangkan pada saat bencana pengkajian diarahkan pada efek-efek
bencana dan kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan (Clark, 2008, p. 773).
Secara keseluruhan ada 6 dimensi kesehatan yang perlu dikaji, yaitu kondisi fisik
masyarakat (biophysical), psikologis (psychological), lingkungan sekitar (physical
environmental), sosiokultural (sociocultural) ,perilaku (behavioral), dan system
kesehatan (health system) (Clark, 2008, p. 774-784).

b. Diagnosa Keperawatan Komunitas dengan Bencana


Diagnosa Keperawatan Komunitas dengan Bencana disesuaikan dengan data hasil
pengkajian terhadap ke 6 faktor diatas (Clark, 2008, p. 784). Untuk tahap prabencana,
diagnose keperawatan dapat berupa “potensial terjadinya cedera dan kerusakan hebat
akibat gempa sehubungan dengan letak masyarakat pada patahan bumi”, dan
“ketidakefektifan rencana penanganan bencana sehubungan dengan adanya
fragmentasi perencanaan diantara agen-agen komunitas”. Pada tahap impact, misalnya
“kebutuhan akan tempat tinggal sementara sehubungan dengan rusaknya tempat
tinggal yang ada akibat kebakaran”, disamping masalah lainnya sesuai efek bencana
yang ditimbulkan pada individu dan komunitas (Clark, 2008, p. 784).

c. Intervensi Keperawatan pada Bencana di Komunitas


Intervensi Keperawatan pada Bencana di Komunitas berupa tindakan-tindakan
pencegahan primer (primary prevention),s ekunder (secondary prevention), dan tersier
(tertiary prevention) (Clark, 2008, p. 784).

1) Pencegahan Primer Bencana


Tindakan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya bencana atau
membatasi dampak yang timbul jika bencana terjadi (tidak dapat dicegah) dan
dilakukan pada tahap pre atau non-disaster (Clark, 2008). Tabel 2 menggambarkan
tindakan pencegahan primer pada manajeman bencana perawat komunitas.

Tabel 2- tindakan pencegahan primer pada perawatan bencana dikomutitas

Tindakan Pencegahan Primer


Mencegah bencana Mengurangi dampak bencana
Membantu mengidentifikasi factor resiko Membantu mengkomunikasikan rencana
bencana penanggulangan bencana ke masyarakat ke
public
Menadvokasi penghilangan atau
memodifikasi risiko bencana Mendidik masyarakat untuk mendukung strategi
“masyarakat sebagai sumber-sumber”
Mengadvokasi control produksi,
distribusi, penyimpanan, dan penggunaan Mengadvokasi penyediaan dan penggunaan alat
bahan bahaya perlindungan diri (APD)
Mengadvokasi Upaya-upaya untuk
mempromosikan HAM dan mencegah Mendidik masyarakat tentang penggunaan APD
kerusuhan sipil

Mengadvokasi penggunaan kode yang Menginisiasi kompanye imunisasi pasca bencana


efektif untuk bangunan pemeliharaan dan dan pendidik masyarakat tentang perlunya
keamanan imunisasi

Memberikan pelayanan imunisasi dan


pendidikan kepada masyarakat tentang
perlunya imunisasi
Mendidik

2. pencegahan sekunder bencana


tindakan pencegahan sekunder adalah (1) respon perawat komunitas terhadap
bencana yang berbentuk tindakan perawatan langsung yaitu stiage dan penanganan
injury, dan; (2) tindakan-tindakan supportive seperti supervise tempat tinggal
sementara ( shelter), surveillance dan screening, serta pengobatan termasuk
pengobatan follow-up (clark,2008).

3. Tertiary prevention
Tindakan pencegahan tersier bertujuan untuk menyembuhkan masyarakat dan
anggota masyarakat dari dampak bencana dan mengembalikan mereka kekehidupan
normal serta mencegah terulangnya bencana . tabel 3 mendeskripsikan jenis tindakan
pencegahan tersier pada keperawatan bencana di komunitas.

Tabel 3- Tindakan pencegahan tersier pada perawatan bencana di komunitas

Focus intervensi intervensi


Perawatan follow-up untuk injury Memberikan perawatan lanjutan untuk para
korban
Monitor respon terhadap
Perawatan pollow-up untuk masalah Memberikan konseling untuk anggota
psikologis masyarakat yang menderita gangguan
psikososial
Merujuk klien jika diperlukan
Monitoring kemajuan penanganan masalah
psikososial
Membantu pemulihan Merujuk klien bantuan financial
Membantu dalam mencari tempat tinggal
Mencegah bencana dimasa depan dan Mengatfokasi upaya pencegahan bencana
konsekuensinya dimasa depan
Mendidik masyarakat tentang kesiapsiagaan
bencana (preparedness) untuk mencegah
dampak bencana di masa yang akan datang

R. Perawatan Pasien Dengan Masalah Psikososial Akibat Bencana

1. Sumber-Sumber Stress Pada Bencana


Stersor utama pada bencana adalah bencana itu sendiri, baik berupa pengalaman
langsung dalam bencana, melihat, atau terkonfrontasi dengan kematian atau injury
yang hebat akibat bencana ( Mitchell, sakaraida, & zalice,2005). Sumber stress lain
adalah efek sekunder dari bencana seperti pengaruh laporan media, relokasi,masalah
keuangan, dan ketidakpastian akan masa depan.

2. Reaksi terhadap bencana


Beberapa factor seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa,agama,
kepribadian,keterampilan koping,dan pengalaman mempengaruhi reaksi individu
terhadap bencana (plum,2007,p.86). secara umum reaksi individu ( korban ) terhadap
bencana dapat diklafikasikan sebagai reaksi fisik, emosional, kognitif dan perilaku
tebel 4 menggambarkan bentuk-bentuk reaksi terhadap bencana yang umum
ditemukan pada individu yang mengalami bencana.

Tabel 4-reaksi korban (survivor) terhadap bencana

Emosional Perilaku Kognitif fisik


Depresi, cemas Masalah tidur
Kebingungan,disorientasi Rasa lelah,perasaan
tidak berdaya
Mudah Mudah menagis Mimpi berulang atau Gangguan
tersinggung,mara menghindari mimpi buruk terfixasi gastrointestinal
h bencu cemas, pengingat dengan bencana Perubahan nafsu
takut (reminder) makan

Putus asa, putus Tingkat aktifitas Sulit


harapan yang berlebihan berkonsentrasi/menginga Perut, dada atau
t sesuatu tenggorokan tersa
Rasa bersalah, Meningkatkan Sukar mmbuat keputusan sesak/menyempit
ragu-ragu konflik dengan Memburuknya kondisi
keluarga Mempertanyakan penyakit kronis
Perubahan Kewaspadaan keyakinan spiritual
/suasana hati yang meningkat
tiba-tiba (curiga)

Isolasi atau
menarik dari
pergaulan

3. Fase-fase respon fisikologis terhadap bencana


Amerikan red cross( 1999, Dikutip plum, 2007) membagi fase respon fisikologis
bencana dalam 4 fase , yaitu fase heroic ( heroic phase), bulan madu (hanimoon
phase), kecewa (disilusioment phase), dan rekonstruksi.bebrapa bentuk respon konban
pada fase-fasetersebut diantaranya adalah perasaan syok dan mati rasa (numbness)
pada fase heroic; bersyukur dan saling membantu atau kerjasama dalam masyarakat
untuk fase honeymoon; depresi dan putus asa pada fase disillusionment; dan;
menerima, lebih independen, dan lebih bergairah dalam pergaulan dan kegiatan
sehari-hari.

4. Masalah psikososial yang timbul akibat bencana


Bencana merupakan suatu kejadian yang stresfull, mengganggu seluruh aspek
kehidupan, dan dapat mengakibatkan ganggua social dan psikologis yang serius pada
setiap individu, keluarga, dan masyarakat yang mengalaminya. Masalah psikologis
yang timbul dan jumlah individu yang membutuhkan pelayanan kesehatan mental
berbeda untuk setiap jenis bencana, tergantung pada tingkat injuri fisik dan jumlah
kematian yang ditimbulkan. Plum menjelaskan bahwa gejala psychiatric lebih tinggi
pada bencana akibat buatan manusia daripada akibat fenomena alam karena
prevalensi injuri fisik dan kematian yang ditimbulkan oleh bencana akibat buatan
manusia lebih tinggi daripada akibat fenomena alam.

Secara umum diperkirakan sekitar 54%-60% individu akan mengalami masalah


kejiwaan (psikiatrik) segera setelah bencana, angka ini akn turun menjadi 41% pada
minggu ke 10, dan 22% pada satu tahun setelah bencana .( austine & godle 1999)
gannguan yang paling umum ditemukan adalah depresi (41%), posttraumatic stress
disorder atau PTSD ( 22%-59), kecemasan umum ( 20%-29%), dan penyalah gunaan
zat atau obat-obatan (14%-22%).
a. Accute stress disorder (ASD)
Gangguan stress akut atau acute stress disorder (ASD) adalah gangguan mental yang
terjadi setelah terpapar peristiwa traumatis dimana individu mengalami, menyaksikan,
atau dihadapkan dengan kematian aktual atau ancaman kematian atau cedera serius,
atau ancaman terhadap integrasi fisik diri sendiri atau orang lain, memprovokasi teror,
horor atau tidak berdaya serta mempunyai jumlah minimum gejala-gejala dissosiatif
seperti yang terancam dalam DSM-IV (micheell,et al.2005). gangguan stress akut atau
acute stress disorder (ASD) timbul pada 1 bulan pertama setelah bencana dan
berlangsung antara 2 hari sampai 4 minggu. Diagnosis ASD dapat ditegaskan dalam 2
hari hingga 4 minggu setelah terpapar bencana atau kejadian traumatis.
b. Postraumatic stress disorder (PTSD)
Sebagian besar penderita ASD akan berkembang mengalami gangguan stress paksa
trauma atau posttraumatic stress disorder (PTSD) didefenisikan sebagai gangguan
mental yang terjadi setelah terpapar peristiwa traumatis dimana individu mengalami,
menyaksikan atau dihadapkan dengan kematian aktual atau ancaman kematian atau
cedera serius atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain,
memprovokasi teror, horor, atau tidak berdaya dan mengakibatkan gejala seolah
mereka mengalami kembali peristiwa tersebut (nexperiencing) menghindari
(avoidance) dan mati rasa (numbing) dan stimulan yang tinggi (hyperarousal) yang
menyebabkan disfungsi sosial atau pekerjaan. Individu dikatakan mengalami PTSD
apabila gejala-gejala tersebut berlangsung selama paling kurang 1 bulan. PTSD dapat
berbentuk akut (symptom kurang 3 bulan). Kronis (symptom menetap lebih 3 bulan)
atau delayed onset (symptom tidak muncul hingga paling kurang 6 bulan setelah
peristiwa).
5. triage psychologis
Triage psychologis (mental) penting dilakukan setelah bencana untuk
mengidentifikasikan individu yang berisiko tinggi mengalami komplikasi mental, dan
menentukan rujukan yang diperlukan. Triage mental membagi individu dalam 3
kelompok yaitu kelompok perlu perawatan segera (acute care group), menunggu
perawatan (waiting care group) dan kelompok mandiri (self care group).
Tabel triage mental

Triage 1 Acute care group 1. Berpotensi melakukan


tindakan kekerasan atau
bunuh diri
2. Panik atau terisolasi
Triage 2 Waiting care group 1. Butuh dukungan mental dan
konseling dimasa depan
2. Menunjukkan rasa sedih dan
kepedihan yang kuat,
menyendiri, serta
peningkatan aktivitas yang
berlebihan
Triage 3 Self care group 1. Mampu merawat diri
2. Dapat berkomunikasi,
terutama komunikasi verbal
dengan orang lain.

6. penanganan dampak psikososial bencana


beberapa bentuk intervensi untuk mengatasi masalah psikososial pasien dengan
pengalaman traumatis adalah crisis intervention, focused assessment, psychological
therapy, behavior therapy, cognitive strategy, eye movement desentization and
reprocessing dan psychological depriefing
a. Crisis intervention
Crisis intervention digunakan untuk membantu individu mengatasi masalah
gangguan koping. Teknik ini melibatkan aktivitas active learning dan problem
solving. Perawat meminta pasien untuk menjelaskan masalah mereka dan tingkat
kemampuannya termasuk kemampuan koping adaptive dan sumber-sumber
personal, komunitas, dan profesional yang dimiliki dan kemudian membantu
mereka menyusun dan mengimplementasikan rencana yang sesuai
b. Focused assesment
pengkajian pasien secara seksama berguna dalam pengidentifikasian masalah
pasien dengan ASD atau PTSD dan berguna untuk keakuratan dan kecepatan
penanganan pasien oleh team kesehatan
c. Psycological therapy
Psychological therapy terdiri atas beberapa bentuk therapy dan diperkirakan lebih
efektif dari obat-obat psycoterip untuk penanganan pasien dengan asd dan PTSD
d. Behavioural therapy
behavioural therapy biasanya digunakan untuk mengatasi masalah ketakutan dan
kecemasan melalui latihan pernafasan dan relaksasi otot progresif. Relaksasi dapat
meningkatkan kesegaran fisik maupun emosional pasien pasca bencana.
e. Cognitiv therapy
Cognitif therapy ditujukan untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatif dari
pasien dan intervensi ini dapat dikombinasikan dengan behavioral therapy.
f. Eye movement desentization and reprocessing (EMDR)
Eye movement desentization and reprocessing (EMDR) dirancang untuk
mengurangi rasa cemas dan memfasilitasi perubahan kognitif. Metode ini efektif
untuk penanganan kasus kasus PTSD.
g. Psycological Depriefing
Merupakan salah satu bentuk kritikal insiden stress debrifieng (CISD) yang paling
terkenal dan kontroversial. Sungguh pun hasil kajian literartur riview
menunjukkan bahwa Psycological Deprifieng tidak efektif, tindakan ini banyak
digunakan untuk pencegahan dan peanganan distrees psycososial pasca trauma.

S. perawatan bencana pada pasien dengan kebutuhan khusus

Kelompok kebutuhan khusus disebut juga sebagai kelompok resiko atau kelompok
rentan adalah kelompok orang-orang yang secara fisik, psikologis, atau sosial berisiko tinggi
pada kejadian bencana. Mereka mempunyai kebutuhan tambahan untuk mempertahankan
kemandirian, komunikasi, transportasi, supervisi dan pelayanan kesehatan baik pada masa
sebelum, selama, maupun setelah bencana. Kelompok individu dengan kebutuhan khusus
terdiri atas orang dengan cacat fisik dan mental, orang tua, wanita hamil, anak. Para tahanan ,
kelompok minoritas yang kurang mampu, pekerja ilegal, dan orang-orang dengan gangguan
komunikasi.

1. Keperawatan bencana pada kelompok anak dan bayi


a. Anak sebagai kelompok khusus pada keperawatan bencana
Anak anak, terutama anak usia balita dikelompokkan dalam kelompok resiko
dengan kebutuhan khusus, keterbatasan fisik dan psikologis( sesuai dengan tingkat
tumbuh kembangnya) sehingga mereka membutuhkan bantuan, dukungan, dan
pengarahan dari orang tua untuk melindungi dari bencana, mengatasi masalah
emosional akibat bencana dan bahkan untuk mengkomunikasikan kebutuhan-
kebutuhan mereka kepada petugas kesehatan. Beberpa faktor fisiologis tubuh anak
seperti luasnya area permukaan tubuh dan tingginya Permeabilitas kulit dan
ventilasi mengakibatkan anak dan bayi mempunyai resiko yang lebih tinggi
terpapar ahan-bahan yang berbahaya dan mengalami dampak kesehatan yang
tidak diinginkan akibat bencana. Anak-anak, akibat kekurangan yang dimiliki,
sangat rentan terhadap kekurangan gizi, eksploitasi, penculikan, dan abuse (the
sphere project, 2011).

b. karakteristik fisiologi anak dan hubunganya dengan bencana


seperti halnya orang dewasa, bencana mengakibatkan injury dan penyakit pada

anak-anak (bernanda, 2007). Menurut bernando, tanda, gejala, tingkat injury dan sakit

yang dialami anak-anak berbeda dengan orang dewasa karena beberapa faktor berikut ini :

1) Pulmonary - anak mempunyai ventilasi dan metabolisme rates yang lebih tinggi

dibandingkan orang dewasa sehingga beresiko mengalami masalah pernafasan seperti

keracunan bahan yang berbahaya.


2) Kardiovaskuler – volume darah/KgBB anak-anak lebih besar dibandingkan orang

dewasa sehingga anak-anak leih rentan terhadap efek pendarahan


3) Integumen – anak beresiko mengalami masalah kulit dan suhu tubuh karena

mempunyai kulit yang lebih tipis dan permiabel, sedikit lemak subkutan, mempunyai

area tubuh yang lebih besar dibandingkan rasio Bb, dan koordinasi motorik halus

yang belum sempurna


4) Muskuloskeletal - tulang dan jaringan pelindung tubu anak lainnya masih dalam

tahap tumbuh kembang sehingga bencana dapat meningkatkan resiko anak mengalami

gangguan pertumbuhan dan cedera organ dalam.


5) Kognitif – anak belum mampu mengenal dan melindungi dari dari bahaya seperti

membedakan zat-zat beracun dan efek-efeknya.


6) Kebutuhan nutrisi – anak membutuhkan protein dan kalori yang tinggi untuk

mempertahankan tumbuh kembangnya dan ini myngkin tidak akan terpenuhi pada

keadaan bencana, sehingga anak beresiko mengalami masalah malnutrisi termasuk

GAM (Global Acute Malnutrition) dan SAM (Severe Acute Malnutrition).


7) Genetik – bencana bisa mengakibatkan gangguan genetik pada anak dan turunannya

sehingga meningkatkan resiko anak untu berbagai penyakit tertentu


8) Imunologic – paparan terhadap bahan atau zat tertentu dalam bencana mengganggu

pertumbuh sistem imun sehingga meningkatkan resiko anak terhadap infeksi


c. Dampak bencana pada anak-anak
Diperkirakan bahwa 50% dari 250 juta orang yang terkena bencana tiap tahunnya saat

ini adalah anak-anak ( WHO, et al 2011). Menurut laporan dari WHO et al tersebut

beberapa masalah kesehaan yang umum ditemukan pada anak-anakpaska bencana adalah
penyakit-penyakit infeksi termasuk malaria, diare dan malaise : malnutrisi dan kekurangan

zat gizi lainnya : injury dan pemisahan dari orang tua.


Bencana merupakan keadaan stressful pada anak dan dapat menimbulkan dampak

psikologis jangka panjang. Stresor terkait bencana pada anak dapat berupa proses

evakuasi; pengalaman hidup di tenda, dan kehilangan rumah, sekolah, orang tua dan

sekolah atau barang dicintai lainya (bernando, 2007). Dampak bencana pada anak

dipengaruhi oleh tingkat tumbuh kembang anak; level kognitif; pengalaman bencana;

reaksi keluarga terhadap bencana; sifa paparan atau situasi anak saat bencana; dan budaya

(Conway, Bernando, & Tontala, 1990, dikutip Bernando, 2007).


Tabel 6 – gejala somatik dan mental akibat stres bencana pada anak

Gejala Bentuk reaksi


Somatik Sakit kepala, sakit perut, kelelahan, muntah,

diare, batuk, rambut rontok, rambut uban,

Mental atopi, menggigil, kepanasan, gemetar,

pusing, kesemutan
Reaksi lambat, rasa takut, gangguan tidur,

gelisah, kesepian, perasaan tersisih, depresi,

marah, rasa bersalah, penurunan daya pkir,

bingung, penurunan semangat, hilang daya

ingat temporer, tidak dapat mengambil

keputusan
Diadaptasi dari furnio, Y. & Sachiko, H. 1999. Dikutip dari zailani, et al (2009).

Keperawatan bencana (ed 1). Banda Aceh Japaness red Cross Society & PMI.

d. Perawatan anak bencana bencana


Anak mungkin akan mengalami dampak fisik dan psikologis jangka panjang.untuk itu

perlu adanya perawatan yang tepat termasuk mulai dari saat setelah bencana hingga

folllow up sangat dibutuhkan.


1) Triase bencana anak
Triase anak pada saat bencana dilakukan dengan menggunakan sistem JumpSTAR,

yaitu suatu sistem triase yang mengkaji kebutuhan anak-anak (Markenson &

Redlener, 2004. Dikutip Bernando, 2007)

JumpSTART Pediatric MCI Triage

Able to yes
Minor Secondary triage
walk?

No

No Position upper breathing


Breathing Immediate
? airway
APNEIC
No
Palpable Deceased
pulse?
Yes
APNEIC
5 rescue
Yes Deceased
breaths

Breathing

Immediate

Respiratory <15 or >45


Immediate
rate

15-45
AVPU
Palpabele “k”,”v” or “p”
“p” (INAPROPRIATE),
No Immediate
Yes
pulse POSTURING{APPROPRIATE}
OR “U” Delayed
Immediate
2) penanganan pra-rumah sakit

Mengkaji kondisi jalan nafas, nafas, sirkulasi, dan disabilitas (neurologi), dan
memberikan terapi oksigen, IV dan pemeliharaan thermotrgulasi (Bernardo,2007,p.
284).perhatian khusus lainnya dilakukan mengacu jenis bencana dan kebutuhan anak yang
ditimbulkannya.

3) penanganan di rumah sakit

Sesuai tingkat injuri yang dialami, anak mungkin memerlukan perawatan lanjutan
untuk mengatasi masalahnya dan ini merupakan suatu tantangan pada penanganan anak
dengan bencana. Bencana biasanya merusak bangunan fisik termasuk fasilitas kesehatan
seperti rumah sakit, untuk itu anak mungkin akan dirawat jauh dari orang tua atau
masyarakatnya. Upaya untuk sesegera mungkin menyatukan anak dengan anggota
keluarganya harus dilakukan dan mestilah dijadikan sebagai salah satu bagian dari rencana
program penanganan bencana (conway et al.,1990, dikutip Bernardo, 2007, pp.286-287)

4) perawatan di barak dan tempat tinggal sementara lainnya

Perhatian terhadap kemungkinan penyakit-penyakit infeksi dan menular harus


diperhatikan. Anak-anak perlu diberikan imunisasi, seperti imunisasi tetanus dan lainnya
sesuai indikasi. Ketersediaan makanan dan air bersih penting untuk mencegah terjadinya
defisiensi zat gizipada anak. Setelah bencana, anak dan keluarga perlu mendapatkan
konseling dan pelayanan kesehatan mental dari tenaga kesehatan profesional yang sesuai
(BERnardo,2007,0.287). kebutuhana anak-anak sesuai tingkat tumbuh kembangnya harus
dipenuhi, termasuk kebutuhan untuk bermaindan ini haruslah menjadi prioritas pada
penanganan anak disamping masalah perawatan fisik, cairan, dan nutrisi (rainor,2002, dikutip
bernardo,2007,p.288).

2. keperawatan bencana pada kelompok usia lanjut.

a. usia lanjut sebagai kelompok khusus pada perawatan bencana

beberapa alasan orang lanjut usia / lansia dijadikan sebagai salah satu kelompok
khusus pada perawatan bencana adalah ; (1) lemahnya sistem immune, (2) kurangnya
kemampuan untuk bergerakatau mengungsi dengan cepat saat bencana terjadi akibat
penurunan mobilitas fisik, (3) adanya berbagai penyakit kronis, (4) sukar berkomunikasi, dan
atau mengikuti intruksi akibat penurunan daya ingat (5) meningkatnya kerentanan
terhadapberbagai gangguan mental. Selain itu selama masa emergensi dan recovery
/rehabilitasi, para lansia dapat mengalami penurunan kesehatan akibat kekurangan gizi, suhu
extreme, infeksi, terputusnya pelayanan medis, dan distress emosional.

b. ciri khas orang lansia dan kaitannya dengan bencana.

CDC memperkirakan bahwa beberapa faktor berikut ini, yang berhubungan dengan
proses penuaan mempengaruhi reaksi lansia terhadap bencana

1) Penurunan fisiologi, sensori, dan kognitif


Sesuai dengan tingkat usianya, lansia akan mengalami perubahan
fisiologis(penurunan homeostatis) yang mengakibatkan mereka beresiko terhadap
suhu ekstrem dan penurunan kemampuan indra penglihatan, pendengaran, batu atau
perabaan yang mengakibatkan menurunnya kemampuan mereka untuk komunikasi ,
merespon, dan memahami.

2) Penyakit kronik
Akibat keterbatasan dan penurunan sistem imun mengakibatkan para lansia sangat
beresiko utk mengalami berbagai penyakit kronis termasuk atritis.

3) Resiko trauma
Akumulasi berbagai pengalaman kehilangan yang dialami sepanjang hidupnya seperti
kehilangan kemampuan, pasangan, pekerjaan,dll mengakibatkan lansia lebih beresiko
terhadap trauma selama bencana.

4) Kehilangan barang berharga


Lansia sering tidak mau dievakuasi / meninggalkan tempat tinggalnya saat bencana
karena takut kehilangan barang berharga atau binatang kesayangannya.

5) Transportasi
Banyak lansia tidak mampu untuk dievakuasi akibat hambatan transportasi

6) Keterbatasan sumberdaya
Kebanyakan lansia mempunyai penghasilan yang terbatas sehingga tidak dapat
sembuh secara ekonomi dengan cepat setelah bencana

7) Menolak bantuan
Lansia biasanya lambat mendapatkan bantuan akibat tidak cepat mendaftar

8) Nutrisi
Lansia sering mengalami masalah gizi setelah bencanan akibat intake makanan yang
tidak adekuat.

9) penipuan dan abuse

Lansia terutama dengan cacat mental atau fisik sering menjadi objek penipuan dan
abuse oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

c. perawatan orang lanjut usia dengan bencana

hutton (2008) memberikan beberapa rekomendasi berikut ini untuk penanganan lansia
yang mengalami bencana.

1. Fase persiapan
Mencakup upaya-upaya untuk mengidentifikasi dan meningkatkan kesadaran
akan kebutuhan lansia pada keadaan bencana, seperti membuat petunjuk-petunjuk
penanganan bencana untuk lansia(guidline), alat dan latihan-latihan utk menjamin
ketepatan pelayanan emergency ketika bencana dan memfasilitasi partisipasi
lansia dalam program bantuan kemanusiaan.
2. Fase respon
Prioritas utama diberikan pada evakuasi lansia ketempat yang aman dimana
mereka mendapatkan pelayanan penyelamatan dari tenaga kesehatan professional,
mencegah terjadinya penyakit infeksi dan memenuhi kebutuhan cairan dan
makanan.
3. Fase recovery dan transisi
Diarahkan pada upaya untuk melanjutkan pelayanan kesehatan kpd lansia
yang membutuhkan dan membantu lansia meningkatkan kapasitas dirinya agar
dapat keluar dari krisis yng terjadi akibat bencana.

3. keperawatan bencana pada kelompok ibu hamil dan menyusui


a. ibu hamil sebagai kelompok khusus pada perawatan bencana

ibu hamil dan menyusui dimasukkan kedalam klp resiko atau dengan
kebutuhan khusus bencana karena adanya resiko kelahiran premature, BBLR,
kematian bayi, kemungkinan kurangnya akses thdp pelayanan kesehatan, kontak
bahan-bahan berbahaya dan penanganan yang tidak tepat selama disaster.

b. karakteristik ibu hamil dan menyusui

proses kehamilan ditandai dengan perubahan anatomi dan fisiologis system


tubuh baik system reproduksi, integument, endokrin, kardiovaskuler,
muskuluskeletal, pernapasan, dll. Kehamilan juga mengakibatkan perubahan
psikologis wanita seperti keadaan emosional tdk stabil, ambivalen, cemas dan
introven.normalnya kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (240) hari.

c. perawatan wanita hamil dan menyusui dengan bencana

1) Perawatan langsung setelah bencana pada ibu hamil dan menyusui

Tindakan keperawatan mencakup tindakan triase, identifikasi factor-faktor


resiko selama masa kehamilan, memenuhi kebutuhan nutrisi, cairan, istirahat
dan tidur dan lingkungan yang bersih: akses pelayanan kesehatan jika ada
komplikasi;dan akses terhadap pelayanan kesehatan mental. Pfeiffer et al
menyebutkan bahwa ibu hamil dan keluarga juga membutuhkan informasi
mengenai perubahan-perubahan normal dan abnormal selama kehamilan,
keterlibatan keluarga dalam perawatan, persiapan melahirkan, rencana
persalinan dan dukungan yang ada dan konseling mengenai makanan dan
aktivitas fisik.

2) Perawatan pada masa postpartum ibu hamil dan menyusui yang mengalami
bencana

Pada masa postpartum berupa tindakan monitoring, dukungan emosional,


menyusui, edukasi kb, dan pelayanan kesehatan mental untuk depresi post
partum, psychosis dan PTSD.

d. perawatan bayi baru lahir dengan bencana


perawatan bayi baru lahir mencakup tindakan untuk mempertahankan
lingkungan yang aman dn bersih; memfasilitasi skin to skin kontak antara ibu dan
bayi sesegera mungkin misalnya lewat teknik kangaroo; mengupayakan dan
menjaga kebersihan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi; memfasilitasi
termoregulasi dengan teknik warm chain termasuk dengan penggunaan pakaian,
selimut dan bahan penghangat lainnya; mengupayakan dan mempertahankan ibu
untuk memberikan ASI yaitu mulai jam pertama kelahiran hingga usia 6 bulan;
mencegah dan mendeteksi infeksi, perdarahan dengan tindakan-
tindakanpemeriksaan untuk identifikasi dini kelainan dan pemberian vaksinasi, vit
K, dan obat prophylaxis infeksi mata; memberikan perhatian khusus pada bayi
yang lahir dengan BBLR dan sakit.

Oleh karena kesehatan bayi baru lahir erat kaitannya dengan kesehatan ibu,
maka riwayat kesehatan ibu pada saat prenatalnya seperti adanya factor resiko
kehamilan harus diperhatikan.

4. Keperawatan bencana pada kelompok pengidap penyakit kronis


a. orang pengidap penyakit kronis sebagai kelompok khusus pada bencana
penyakit kronis atau penyakit menahun mengakibatkan penderitaan jangka
panjang bagi individu, menurunkan kemampuan untuk mengatasi krisis, sehingga
mudah dirugikan secara fisik. Bencana juga meningkatkan resiko untuk
kambuhnya penyakit dan memburuknya kondisi penyakit akibat kekurangan gizi
dan air bersih, terpapar suhu ekstrem dan agen infeksi dan terputusnya pengibatan.
b. Ciri khas dari pengidap penyakit kronis
Penyakit kronis adalah penyakit jangka panjang dan umumnya berkembang
dengan lambat. Penyakit kronis terutama terjadi akibat kurangnya aktivitas fisik,
kurang gizi, merokok tobacco dan konsumsi alcohol yang berlebihan. Penyakit
kronis mengakibatkan keterbatasan dn ketidakmampuan individu untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, makan dan bergerak.
WHO memperkirakan bahwa penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke,
kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes merupakan penyebab utama
kematian didunia dengan proporsi sekitar 63% dari seluruh kematian.
c. Keperawatan kepada pengidap penyakit kronis pada saat bencana
Perawatan difokuskan pada upaya-upaya peningkatan kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan makanan, aktivitas, lingkungan yang bersih, hygiene, temperature,
penurunan kebisingan, rehabilitasi dan perawatan.
1). Fase persiapan
Berikut adalah beberapa rekomendasi yang diberika para ahli untuk penanganan
lansia dengan penyakit kronis pada fase persiapan
 Membina hubungan dan kerja sama yang baik antar lembaga-lembagaterlibat
dalam penanganan untuk lansia
 Mencakup system komunikasi dan menyimpan informasi penting pada 2
tempat yang terpisah
 Membuat pemetaan daerah tempat tinggal
 Membuat rencana emergensi untuk lansia dan orang cacat yang komprehensif
(mencakup seluruh wilayah) yang memuat tempat pengungsian yang khusus
untuk lansia dan system evakuasi yang mencakup transportasi obat dan bahan
yang diperlukan
 Menyediakan informasi tentang bencana dalam format yang sesuai untuk
lansia
 Mengupayakan ID dan izin bagi tenaga kesehatan untuk mengakses lansia
secara langsung saat bencana
 Mengembangkan system dukungan untuk in home service
 Membuat daftar volunteer yang mau membantu dalam keadaan emergensi
 Mengupayakan agar restoran local bersedia menyediakan makanan dalam
keadaan darurat
 Meningkatkan metode identifikasi dan tracking lansia dan masalah
kesehatannya

2). Perawatan pada fase akut

Fase ini didefinisikan sebagai fase mulai terjadinya bencana sampai sekitar 1 bulan
setelah terjadinya bencana. Pada fase ini priorotas diberikan pada pengkajian
riwayat kesehatan dan pengobatan, intervensi langsung sesuai masalah klien,
dukungan psikologis, memfasilitasi klien mendapatkan penanganan medis yang
sesuai dan edukasi tentang obat dan efek samping. Untuk pasien diabetes, perawat
membantu klien tindakan keperawatan.

3). Perawatan pada fase kronis/restorasi

Fase ini dimulai sejak 1 bulan hingga 2 atau 3 tahun setelah bencana. Tindakan
perawatan diantaranya adalah perawatan lingkungan, pencegahan penyakit,
penanganan stress, meningkatkan kemampuan self care pasien dan lo;aborasi
dengan tim medis lainnya.

You might also like