You are on page 1of 155

MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG

(KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR


DI PROPINSI GORONTALO)

ISWAN DUNGGIO

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kelembagaan Pengelolaan


Hutan Lindung: Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi
ini

Bogor, Januari 2012

Iswan Dunggio
NIM E061060031
ABSTRACT

ISWAN DUNGGIO. Model institution of Protected Forest Managament: Case


Management of Gunung Damar Forest Protected in Gorontalo Province. Under
Supervision by: SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN and RINEKSO
SOEKMADI.

The main objective of this research is to formulate a model of institutional


management of Gunung Damar Protected Forest (GDPF). This would be achieved by: 1)
Measuring the performance of GDPF management; 2) Analyzing the ecological and
social economics situation in GDPF; 3) Analyzing the formal regulations on protected
forest management; 4). Assessing the stakeholder’s behavior in management and use of
GDPF in the District of Gorontalo and the District of Bone Bolango. Some research
methods employed include analysis of forest land cover change, quantitative description,
content analysis, and stakeholder analysis. The study reveals that: 1) The land coverage
of GDPF area in Gorontalo District has been reduced by 3361.21 ha or 46.98%, while in
the Bone Bolango District by 2281.28 ha or 27.36%, meaning that the remaining forest
cover of GDPF Gorontalo District is only about 33.93% Bone Bolango District is
67.76%; 2) The socio-economic and ecological situation in GDPF is a characteristic that
causes a source of interdependence among individual, groups of people or organizations.
The presence of settlements in the region GDPF accompanied by a sense of ownership of
agricultural lands in the region GDPF Gorontalo District, the lack of information about
the length of boundaries of GDPF, the weakness of law enforcement, the
distances between residence and forest area have been the reasons for high exclusion
costs, high transaction costs, joint impact goods, incompatibility, and surplus
mainly in Gorontalo District; 3) there is no mechanism to devise sanctions and incentives
in the process of assignment and establishment, forest area as well as of
and management of the protected areas that could encourage the local governments to
formulate programs to optimize the management and utilization of protected forests; 4)
There are 18 stakeholders in Gorontalo District and 14 stakeholders in Bone Bolango
District that have interest in the management of GDPF. There is mismatch between those
organizations’ main tasks and the GDPF management activities, especially in the
Gorontalo District. The research concludes: 1) the performance of GDPF management is
better in Bone Bolango District than in Gorontalo District; 2) The socio-
economic and ecological situations in GDPF has created interdependence where
the inherent characteristics associated with these situations are high exclusion
costs, high transaction costs, joint impact of surplus goods and incompatibility that
occurs especially in Gorontalo District. 3) There has not yet been any
mechanism to devise sanctions and incentives that could encourage the local government
to formulate programs to optimize the management and utilization of protected areas; 4)
the government regulations are inadequate to control stakeholder behavior in the GDPF
5) Model of institution GDPF management can be formulate as follows; a) property
rights: to strengthening tenure GDPF as state property, provide special rights to
community that has been long settle in GDPF such as acces, withdrawal, management
and exclusion, b) jurisdiction boundary; to complete boundary area in GDPF c) rule of
representation; socialization function and benefit GDPF to all stakeholder

Keywords: situation, formal regulation, behavior, performance, model institution


RINGKASAN

ISWAN DUNGGIO. Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung: Kasus


Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Di Propinsi Gorontalo, di bawah bimbingan:
SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN dan RINEKSO SOEKMADI

Hutan lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo ditunjuk berdasarkan


SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan luas 20.117 ha. Keberadaan HLGD
menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat karena merupakan hulu dari
3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Dilihat dari
karakteristik sumberdaya maka HLGD merupakan sumberdaya milik bersama (common
pool resources) yang dikuasai negara. Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan
model kelembagaan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan tujuan antara yaitu: 1) Mengukur kinerja pengelolaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, 2) Menganalisis situasi ekologi,
sosial ekonomi HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, 3)
Menganalisis aturan-aturan formal yang mengatur aspek-aspek penetapan dan
pemantapan kawasan, pengelolaan kawasan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
pengelolaan hutan lindung 4) Menilai perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Beberapa metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis perubahan tutupan hutan, deskripsi kuantitatif,
analisis isi dan analisis stakeholder
Hasil penelitian ini menunjukkan 1) Tutupan hutan kawasan HLGD antara tahun
1999-2009 HLGD di Kabupaten Gorontalo telah berkurang 3361,21 ha atau berkurang
46.98% sedangkan di Kabupaten Bone Bolango berkurang 2281,28 ha atau berkurang
27.36%. Saat ini kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang masih berhutan 33.93%
sedangkan di Kabupaten Bone Bolango 67.76%. Tutupan hutan merupakan salah satu
penentu kualitas DAS. Secara umum kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan
DAS Bone di Kabupaten Bone Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh rata-
rata debit air sungai Bionga di Kabupaten Gorontalo 0,50 m3/detik dan di Sungai
Bolango Kabupaten Bone Bolango 30,1 m3/detik. 2). Situasi sosial ekonomi dan ekologi
HLGD merupakan karakteristik yang menimbulkan sumber interdependensi antar
individu, kelompok orang atau organisasi. Terdapatnya pemukiman di dalam kawasan
HLGD yang disertai dengan rasa memiliki lahan-lahan pertanian di kawasan HLGD
Kabupaten Gorontalo, kurangnya informasi tentang panjang batas, lemahnya penegakan
hukum, jarak pemukiman dengan kawasan hutan, dan jarak kawasan HLGD dengan
pusat ekonomi menyebabkan terjadinya biaya ekslusi tinggi, biaya transaksi tinggi, joint
impact goods, inkompatibilitas dan surplus terutama di Kabupaten Gorontalo. 3) Dalam
proses penetapan, pemantapan kawasan hutan dan pengelolaan hutan lindung, belum ada
mekanisme pemberian sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah
merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan
lindung; sebagai contoh aturan formal penunjukkan HLGD hanya menempatkan
pemerintah daerah sebagai pemberi rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Masih ditemukan beberapa peraturan
perundangan yang tidak konsisten dengan peraturan diatasnya. 4) Terdapat 18
stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango
yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar.
Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholders organisasi pemerintah
dengan realitas di lapangan menunjukkan terdapat ketidaksesuaian antara tugas pokok
organisasi dengan kegiatan pengelolaan HLGD di lapangan terutama di Kabupaten
Gorontalo. Ketidaksesuaian tugas pokok dengan realitas di lapangan berpengaruh
terhadap perilaku stakeholders HLGD lainnya (selain pemerintah)..Untuk mengurangi
atau mencegah perilaku stakeholders yang tidak sesuai maka peran stakeholder kunci:
key player yaitu stakeholder yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan
pengaruh sama tinggi harus dioptimalkan dan context setter yaitu stakeholder yang
dipandang sebagai sumber dari resiko bagi ketidakberhasilan perlu dikelola dengan
seksama. Peran yang dapat dilakukan yaitu berpartisipasi dalam: 1) Memberikan
informasi, 2) Koordinasi, 3) Kolaborasi.
Berdasarkan temuan-temuan penelitian tersebut diatas maka kesimpulan dari
penelitian adalah bahwa model kelembagaan pengelolaan HLGD dapat dirumuskan
sebagai berikut: a) property rights, (1) mempertegas dan menguatkan status kepemilikan
HLGD sebagai state property (2) sosialisasi kepada seluruh stakeholder terutama kepada
masyarakat HLGD bahwa kawasan HLGD merupakan state property rights, (3)
pemberian hak khusus kepada masyarakat yang telah lama menetap dan menggarap lahan
di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses, hak mengambil hasil tanaman, hak mengelola
dan hak mengeluarkan yang lain b) batas yurisdiksi; (1) menyelesaikan tata batas
kawasan HLGD, (2) memperjelas dan menyederhanakan tugas pokok dan fungsi
organisasi yang menjadi stakeholder dalam pengelolaan HLGD, c) aturan representasi;
sosialisasi kepada seluruh stakeholder bahwa kawasan HLGD merupakan state property
rights, termasuk sosialisasi fungsi dan manfaat-manfaat HLGD serta peraturan
perundangan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan HLGD

Kata kunci: situasi, aturan formal, perilaku, kinerja, model kelembagaan


©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
(KASUS PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG DAMAR
DI PROPINSI GORONTALO)

ISWAN DUNGGIO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA
(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB)
2. Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr
(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji Pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MS


(Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB)
2. Dr. Herwasono Soedjito, MSc. APU
(Peneliti Utama LIPI)
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung


(Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Di
Propinsi Gorontalo)
Nama Mahasiswa : Iswan Dunggio
NRP : E.061060031
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS


Ketua

Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB


Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 27 Januari 2012 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan baik, Tak lupa shalawat dan
salam buat Nabi Muhammad SAW atas keteladannya. Judul dari disertasi yang
dilaksanakan sampai dengan bulan Juli 2011 adalah Model Kelembagaan Pengelolaan
Hutan Lindung (Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo).
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir.
Sambas Basuni, MS, sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan,
MS dan Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F sebagai anggota atas arahan dan diskusi yang
sangat berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Ilmu
Pengetahuan Kehutanan IPB atas pelayanannya selama menempuh studi S3 di Institut
Pertanian Bogor. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada kepada istri
tercinta Indah Agustinawati SE atas kesabaran dan doanya, orang tua Halim Dunggio dan
Isna Pakaya, adik-adik Taufik Dunggio dan Sri Yulan Dunggio serta seluruh keluarga
besar atas motivasi dan doa yang tulus kepada penulis, Rektor Universitas Gorontalo,
Pemerintah Provinsi Gorontalo, Pemda Kabupaten Gorontalo, Pemda Kabupaten Bone
Bolango, teman-teman angkatan 2006/IPK, teman-teman dosen dan mahasiswa di
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo, teman-teman Asrama Gorontalo di Bogor.
Semoga apa yang penulis lakukan ini akan bermanfaat buat bangsa, negara dan agama

Bogor, Januari 2012


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 14 Agustus 1974 sebagai anak


pertama dari pasangan Halim Dunggio dan Isna Pakaya. Pendidikan Sarjana ditempuh di
Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus
tahun 1998. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1992.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan
tinggi yang samadiperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS
Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
sejak tahun 2001 hingga saat ini. Pada tahun 2005 penulis bekerja di BAPPEDA
Kabupaten Gorontalo dan kemudian pada tahun 2007 hingga sekarang penulis bekerja di
Badan Diklat dan Kepegawaian Pemda Kabupaten Gorontalo.
Selama mengikuti program S3, penulis sempat mendapatkan beasiswa untuk
melaksanakan riset bersama dan magang di Wildlife Conservation Research Unit
(WildCru) Departement Zoology University of Oxford dan Imperial College
Conservation Science Group London Inggris. Hasil dari kegiatan tersebut menghasilkan
karya tulis ilmiah berjudul Wildlife Conservation and Reduced Emissions from
Deforestation in a Case Study of Nantu Wildlife Reserve Sulawesi: 2. An Institutional
framework for REDD Implementation dan telah dipublikasikan di Jurnal International
Environmental Science Policy tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis menghadiri
Student Conference on Conservation Science di University of Cambridge UK atas
beasiswa dari Mirriam Rostchild London Inggris. Karya ilmiah berjudul Analisis
Degradasi Tutupan Lahan di Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo telah
dimuat pada Jurnal Ilmiah Agropolitan volume 4 nomor 2 tahun 2011. Artikel lain yang
berjudul Peubah Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Degradasi Hutan Lindung Gunung
Damar Provinsi Gorontalo akan diterbitkan pada Jurnal Inovasi Gorontalo volume 7
nomor 1 tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi
program S3 penulis
DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL……………………………………………………………... xii


DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………… xvi

I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang…..………………………………………………….. 1
1.2. Kerangka Pikir……..……………………………………………….. 4
1.3. Perumusan Masalah………………………………………………... 6
1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 8
1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 8
1.6. Novelty……………………………………………………………… 8

II. TINJAUAN PUSTAKA…….………………………………………......... 9


2.1. Kelembagaan…….………………………………………………….. 9
2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources…………………. 11
2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung……………………………. 14
2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia……………………………………… 16
2.5. Dampak Degradasi Hutan……..…..……………………………….. 17
2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung………………………………………. 19

III. METODE PENELITIAN………………………………………………….. 21


3.1. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………. 21
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………. 21
3.3. Jenis Data……………….…………………………………………… 22
a. Data Utama…………….………………………………………. 22
b. Data Penunjang ……………..…………………………………. 24
3.4. Bahan dan Alat……………………………………………………… 24
3.5. Metode Pengumpulan Data…………………………………………. 24
3.6. Analisis Data…………………………………………………………. 25
a. Analisis Kinerja Pengelolaan HLGD …………………………… 25
b. Analisis Situasi di HLGD ………………………………………. 26
c. Analisis Isi…………..…………………………………………… 27
d. Analisis Perilaku Stakeholder di HLGD………………………… 28
e. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD.……………… 29
3.7. Definisi Operasional….……………………………………………….. 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 35


4.1. Analisis Kinerja Pengelolaan HLGD…………………………..…….. 35
a. Perubahan Tutupan Lahan HLGD………………………………… 35
b. Debit Sungai dan Sedimentasi………………………….……….. 50
4.2. Situasi di HLGD………………………….. …………………….…… 52
a. Situasi Ekologi di HLGD………..………………………………. 52
b. Situasi Sosial Ekonomi di HLGD……………………………….. 57
c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi……………………….. 66
4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung ……………………….. 73
a. Hak Kepemilikan (property rights) atas Kawasan HLGD.…….. 77
b. Penetapan dan Pemantapan hutan lindung……………………. 78
c. Pengelolaan Hutan Lindung……………………………………. 82
d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung……………….. 85
4.4. Perilaku Stakeholder di HLGD………………………….…………... 86
a. Stakeholders di HLGD…………………………..……………… 86
b. Tugas Pokok Stakeholder……………………………………….. 87
c. Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder …..……………………. 96
d. Perilaku dan Kinerja Stakeholder………………………………. 106
4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD
di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolang…………….. 110
a. Batas Yurisdiksi…………………………………………………. 113
b. Hak Kepemilikan ……………………………………………….. 114
c. Aturan Representasi…………………………………………….. 115
V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………. 118
5.1. Kesimpulan………………………………………………………….. 118
5.2. Saran…………………………………………………………………. 119

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 120

LAMPIRAN……………………………………………………………………. 133
DAFTAR TABEL

No Hal

1. Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian…………………………… 22


2. Data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian………………………. 24
3. Aspek Manajemen hutan lindung yang diatur oleh Peraturan perundangan 27
4. Perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar di wilayah
Kabupaten Gorontalo tahun 1999-2009……………………………………. 35
5. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2001
di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… 37
6. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2001-2004
di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… 37
7. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2004-2009
di wilayah Kabupaten Gorontalo…………………………………………… 38
8. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2009
di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. 43
9. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 1999-2001
di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. 44
10. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2001-2004
di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. 45
11. Laju Perubahan Hutan Lindung Gunung Damar Tahun 2004-2009
di wilayah Kabupaten Bone Bolango………………………………………. 45
12. Debit air sungai Bionga dan Sungai Bolango ………………...…………… 50
13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango ………………….. 51
14. Jenis Tutupan Lahan di HLGD Tahun 2009………….……………………. 53
15. Kelas Lereng dan Luasnya di Hutan Lindung Gunung Damar …………… 54
16. Jenis Tanah dan Luasnya di Hutan Lindung Gunung Damar ……………. 54
17. Tingkatan kedalaman solum tanah Hutan Lindung Gunung Damar …….. 55
18. Tingkat bahaya erosi di kawasan Hutan Lindung Gunung Damar ……….. 55
19. Potensi Lahan Kritis dan Luasannya di Hutan Lindung Gunung Damar… 56
20. Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa ….…………………. 57
21. Sumber Mata Pencaharian Penduduk di Desa Sampel di HLGD ..………… 58
22. Luas Lahan Jagung dan Produksinya di sekitar HLGD……………………. 58
23. Perkembangan Harga Jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango.. 59
24. Tingkat Pendapatan Petani Sampel di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango………………………………………………….. 59
25. Jarak Pemukiman Desa Sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango…………………………………………………… 60
26. Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD ………………………. 62
27. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD di desa sampel……..…… 63
28. Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD……………………………... 63
29. Indeks Daya Dukung Wilayah di sekitar HLGD …………………………. 64
30. Jumlah penduduk miskin di desa-desa sampel …………………………… 64
31. Tingkat Pendidikan Penduduk Sampel di Sekitar HLGD ………………… 65
32. Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan perundangan 73
33. Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD………………. 86
34. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD
di Kabupaten Gorontalo…………………………………………………….. 88
35. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD
di Kabupaten Bone Bolango……………………………………………….. 89
36. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan
Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango………… 92
37. Stakeholders Pengguna dan menikmati sumberdaya HLGD serta terlibat
dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango… 93
38. Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi pengelolaan
hutan lindung ……………………………………………………………….. 95
39. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD
di Kabupaten Gorontalo…………………………………………………….. 97
40. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD
di Kabupaten Bone Bolango………………………………………………… 98
41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD…… 102
42. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kabupaten Gorontalo 106
43. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD
Kabupaten Bone Bolango…………………………………………………… 108
44. Perbandingan Institusi Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo
dan Kabupaten Bone Bolango ………………………………………….…… 111
DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Kerangka Pikir……………………………………………………………… 6
2. Hubungan antara persentase luas hutan Negara dan kemiskinan............ 18
3. Peta lokasi penelitian……………………………………………………….. 21
4. Matriks stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya .………. 29
5. Tahapan Penelitian…………………………………………………………. 35
6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Gorontalo
Periode 1999-2009…………………………………………………………… 39
7. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001……………………. 40
8. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004……………………. 41
9. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009……………………. 42
10. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Bone Bolango... 46
11. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001……………….. 47
12. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004……………….. 48
13. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009……………….. 49
14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas
pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo……………. 99
15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas
pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango……….. 100
DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Peraturan perundang undangan……………………………………………….. 133


1

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan lindung
didefinisikan sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan pengertian menurut versi
undang-undang 41 tersebut maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam
berupa stock yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya intangible.
Menurut Basuni (2003) pemanfaatan sumberdaya beragam yang dihasilkan
dari fungsi-fungsi intangible hutan akan mengakibatkan terjadinya
interdependensi antar pengguna. Kartodihardjo et al. (2004) mengemukakan
bahwa sumberdaya alam bisa digolongkan dalam bentuk stock atau modal alam
(natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung,
pesisir yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Sumberdaya
alam dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan
fungsi tersebut tidak bisa dibagi-bagi kepada perseorangan dan tidak pula dapat
dimiliki oleh perorangan.
Salah satu kawasan hutan yang bersifat stock seperti itu adalah hutan
lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo. Hutan lindung Gunung
Damar ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan
luas 20.117 ha atau 12% dari seluruh total kawasan hutan lindung di Propinsi
Gorontalo. Meskipun luasanya hanya 12% dari total hutan lindung di Propinsi
Gorontalo, HLGD menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat
khususnya di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo karena merupakan hulu
dari 3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Secara
administrasi HLGD terletak di dua kabupaten yaitu; Kabupaten Gorontalo dan
Bone Bolango. Disamping sebagai hulu dari 3 DAS penting, HLGD juga
mempunyai fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sebagai tempat untuk
melakukan aktivitas pertanian, perkebunan dan memanfaatkan jasa lingkungan
seperti air. Beberapa pihak seperti Universitas Gorontalo memanfaatkan HLGD
sebagai lokasi penelitian dan perkemahan, perusahaan daerah air minum (PDAM)
memanfaatkan HLGD sebagai sumber air baku.
2

Jika dilihat dari karakteristik sumberdaya maka HLGD merupakan


sumberdaya milik bersama (common pool resource) yang dikuasai negara.
Penguasaan negara terhadap hutan lindung telah ditegaskan dalam Undang-
Undang 41 Tahun 1999. Sejak sistem otonomi daerah diberlakukan maka terjadi
perubahan kelembagaan pengelolaan hutan. Perubahan ini terjadi pada
pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam mengelola kawasan hutan lindung. Kewenangan tersebut antara lain
mengeluarkan beberapa perizinan yang berkaitan dengan pemanfatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu; merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan berdasarkan keadaan
daerah; dan memberikan usulan-usulan tentang kebijakan makro ke pemerintah
pusat.
Pendelegasian kewenangan pengelolaan hutan lindung terjadi sejak tahun
1998 berdasarkan PP No 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan
pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah. Selanjutnya pengaturan
pendelegasian beberapa kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
diperkuat lagi melalui Undang-Undang No 32 tahun 2004, yang mulai
diundangkan dan berlaku pada tanggal 15 Oktober 2004; Undang-Undang Nomor
33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma pembangunan dari
sentralistik menjadi desentralistik. Pada dasarnya desentralisasi dibidang
kehutanan mengandung sisi positif yaitu kelembagaan kehutanan daerah bersifat
mandiri dengan tugas dan fungsi yang jelas, mempunyai legitimasi untuk
menentukan kebijakan-kebijakan di bidang kehutanan sesuai dengan kondisi dan
potensi spesifik daerah, kebijakan-kebijakan kehutanan yang dikeluarkan lebih
banyak berpihak kepada masyarakat, dan membuka peluang pengembangan pusat-
pusat perekonomian di daerah. Hal ini sesuai pendapat para ahli, bahwa kebijakan
sentralisasi telah memberikan kontribusi terhadap degradasi hutan akibat kurang
jelasnya property right lokal dan kurangnya insentif yang terkait dengan collective
3

action1. Sebagai contoh, kurang jelasnya kepemilikan hutan di Thailand dan


Nepal merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap deforestasi
(Vandergeest 1996; Ma 1999; Nagendra 2002).
Namun faktanya selama hampir 12 tahun ditunjuk menjadi kawasan hutan
lindung, di lapangan masih ditemukan adanya kasus illegal logging, perambahan
hutan, pembangunan jalan yang menghubungkan antar desa dan terdapatnya
pemukiman. Bahkan pada tahun 2004 berdasarkan penuturan dari kepala Desa
Malahu Kabupaten Gorontalo sebagian lahan yang dikuasai oleh masyarakat telah
mendapat sertifikat. Harapan pengelolaan hutan diera otonomi menjadi semakin
baik ternyata dalam perjalanannya menemui permasalahan.
Permasalahan yang ditemukan di HLGD membuat kualitas lingkungan yang
terdapat di HLGD menurun salah satunya adalah tingkat kekritisan hulu DAS.
Menurut Fadhli (2011) luas lahan kritis hulu DAS Bionga yang terdapat di HLGD
mencapai 2316.76 ha. Selanjutnya BP-DAS Bone Bolango (2009) melaporkan
total erosi diwilayah hulu DAS Bionga mencapai 8.222 ton/tahun sedangkan DAS
Bolango mencapai 5.939 ton/tahun. Saat musim kemarau debit air sungai Bionga
pun menurun menjadi 0.50 m3/detik, jika dibandingkan dengan debit air rata rata
DAS lainnya yang ada di Propinsi Gorontalo yang mencapai 37.14 m3/detik.
Kerusakan HLGD yang berada di hulu DAS Limboto telah menyebabkan
pendangkalan di Danau Limboto karena tingginya sedimentasi. Menurut Firman
(2006), akibat tingginya sedimentasi, luas Danau Limboto tinggal 30 km2 atau
berkurang sekitar 62.5% dengan kedalaman 2.5 – 4 meter.
Semua permasalahan yang mengemuka di atas mengindikasikan bahwa
pemerintah selaku penguasa atas sumberdaya belum berhasil melakukan
pengelolaan HLGD karena tujuan pengelolaan hutan sebagai mana yang
diamanatkan dalam peraturan perundangan belum tercapai. Diduga salah satu
penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah faktor kelembagaan. Sehingga
penelitian tentang kelembagaan pengelolaan HLGD menjadi sesuatu yang penting
untuk dilakukan

1
Collective action adalah suatu aksi yang dilakukan oleh sekolompok individu baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama
(Marshal, 1998). Selanjutnya Ostrom (2004) menambahkan bahwa aksi kolektif akan timbul bila
dalam mencapai satu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu
4

1.2. Kerangka Pikir


Sebagai salah satu sumberdaya bersama (common pool resource) yang
dikuasai negara, maka pemerintah menetapkan serangakaian peraturan-
perundangan untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia termasuk
HLGD di Provinsi Gorontalo. Dalam mengelola sebuah sumberdaya alam
bersama (CPR2) tantangan terbesarnya adalah kebebasan individu-individu di
setiap komunitas lokal untuk melakukan penguasaan terhadap CPR makin besar.
Akibatnya terjadi konflik, tumpang tindih penggunaan lahan dan berlangsungnya
fenomena tragedy of the common. (Dharmawan et al, 2004).
Menurut Tjitradjaja (2008) pada sumberdaya milik bersama yang bebas
akses melekat pula situasi ketiadaan jaminan kepastian. Seorang pengguna tidak
mungkin secara sukarela mengekang perilaku pemanfaatan sumberdaya yang
menguntungkannya, meskipun perilaku tersebut berakibat merugikan banyak
orang. Baland and Platteau (1996) menyatakan bahwa, tidak adanya aturan yang
jelas pada regim CPR cenderung menyebabkan degradasi sumber daya jika (1)
populasi pengguna relatif besar terhadap sumber daya, dan (2) pendapatan dari
mengeksploitasi sumber daya relatif tinggi atau jika pengguna tidak memiliki
pilihan pekerjaan di tempat lain. Secara teoritis sistem pengelolaan CPR dapat
menjadi dasar pengaturan hak-hak individual yang efektif. Struktur penguasaan
lahan bersama dalam CPR yang dikukuhkan oleh masyarakat serta pemerintah
lokal dapat menghindarkan konflik.
Namun pada kenyatannya banyak CPR tidak lagi berfungsi secara sempurna
karena masuknya beragam kepentingan ekonomi dan politik atas sumberdaya
tertentu yang justru memicu pertentangan dan perseteruan sosial. Persoalan ini
bertambah rumit setelah sistem otonomi daerah diberlakukan.
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan
peraturan yang mengatur pengguna sumberdaya hutan mengingat karakteristik
HLGD sebagai CPR. Namun demikian peraturan perundangan yang dikeluarkan
oleh pemerintah belum menjamin keberhasilan pengelolaan tersebut, sehingga

2
Common pool resource adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingg sangat sulit
untuk mengontrol sumberdaya tersebut dan sumberdaya menjadi sangat mudah terdegrdasi
(McKean, 2000)
5

diperlukan aspek lain yaitu kelembagaan untuk lebih mengefektifkan dan


mengefisienkan pengelolaan HLGD.
Kerangka analisis kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini
mengadaptasi konsep analisis kelembagaan yang dikemukakan oleh Oakerson
(1992) dan Heltberg (2001). Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat
memahami bagaimana seharusnya suatu kelembagaan dapat menjamin kejelasan
hubungan atau relasi sosial antar stakeholder dalam pemanfaatan hutan lindung.
Analisis model kelembagaan ini terdiri dari beberapa tahap: 1) karakteristik
spesifik tentang sumberdaya ekologi dan sosial ekonomi 2) Pengambilan
keputusan pemerintah yang mengatur antara pengguna sumberdaya yang satu
dengan yang lainnya 3). Perilaku sejumlah pengambil keputusan 4) Outcome.
Karakteristik spesifik sumberdaya akan mempengaruhi fungsi dan institusi dalam
mengelola sumberdaya alam. Karakteristik sumberdaya dan institusi akan
mempengaruhi pola penggunaan sumberdaya. Sedangkan pola penggunaan
sumberdaya akan mempengaruhi perilaku pengguna dan perilaku pengguna pada
akhirnya akan mempengaruhi kinerja atau outcome.
Hayes (2007) mengungkapkan bahwa dalam rangka untuk memahami
bagaimana property right mempengaruhi pengelolaan sumber daya maka kita
harus mengetahui karakteristik sumber daya dan pengguna sumberdaya tersebut.
Pemahaman tentang karakteristik sumberdaya dan institusi menjadi sangat penting
untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Kinerja atau outcome dapat tercapai jika
institusi yang berlaku mampu mengarahkan perilaku dan kelompok masyarakat
untuk tidak melakukan pemanfaatan hutan lindung secara illegal. Untuk lebih
jelasnya konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat pada
gambar 1
6

. SITUASI HLGD
Ekologi Sosial Ekonomi

Karakteristik Hutan Lindung Gunung Damar (common pool resources)

Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

Kebijakan Pemerintah Tentang Hutan Lindung

KELEMBAGAAN

Aturan Formal Organisasi

PERILAKU
1. Masyarakat sekitar hutan lindung
2. Pemerintah dan Pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo dan Bone
Bolango
3. Lembaga Swadaya Masyarakat
4. Individu: tokoh masyarakat, perguruan tinggi

Model Kelembagaan Pengelolaan


HLGD

OUTCOME
Perubahan tutupan lahan
a. Kabupaten Gorontalo
b. Kabupaten Bone Bolango

Gambar 1. Kerangka Pikir (diadopsi dan modifikasi dari Oakerson (1992),


Heltberg (2001)

1.3. Perumusan masalah


Penunjukkan hutan Gunung Damar menjadi kawasan hutan lindung
merupakan salah satu cara penting untuk menjamin agar sumberdaya hutan
tersebut dapat dilestarikan sehingga mampu menjadi salah suatu sistem penyangga
kehidupan. Akan tetapi penunjukkan hutan lindung oleh pemerintah telah
menyebabkan ketidakpastian bagi masyarakat yang sejak lama telah
7

memanfaatkan hutan lindung Gunung Damar. Akibatnya timbul permasalahan


serius dalam pengelolaan HLGD seperti kegiatan ladang berpindah, permukiman
dan pengambilan hasil hutan. Situasi permasalahan ini menunjukkan rendahnya
kinerja pemerintah dalam mewujudkan tujuan pengelolaan HLGD. Menurut
Schmid (1987) rendahnya kinerja institusi disebabkan oleh faktor-faktor seperti
ketidakpastian kepemilikan hak, rendahnya kapasitas lembaga dan tidak
efisiennya mekanisme pasar. Schmid (2004) memaparkan kepastian hak
pemilikan sumberdaya menjadi insentif bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Sedangkan rendahnya kapasitas lembaga menjadi akar penyebab ketidakmampuan
sebuah organisasi untuk melakukan fungsinya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan dalam rangka menudukung misi organisasi.
Mengacu pada pendapat North (1990) dan Agrawal (2001) permasalahan
yang juga harus diperhatikan dan sangat krusial adalah berkenaan dengan aturan
formal atau policy yang mengatur hubungan antar kelompok dalam hubungannya
dengan HLGD dan saling hubungan antar kelompok dengan sumberdaya hutan,
karena aturan formal menentukan perilaku kelompok. Oleh karena itu untuk
mengungkapkan kelembagaan dalam pengelolaan HLGD oleh pemerintah daerah,
permasalahan aturan formal juga harus diketahui, khususnya aturan formal yang
mengatur pengelolaan hutan lindung oleh lembaga pemerintah yang
berkepentingan.
Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja pengelolaan HLGD?
2. Bagaimana situasi ekologi dan sosial ekonomi di HLGD?
3. Apakah penguatan fungsi hutan lindung dan optimalisasi pemanfaatannya
sudah diatur dalam peraturan formal pengelolaan hutan lindung?
4. Bagaimana perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD?
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan model kelembagaan pengelolaan
hutan lindung Gunung Damar guna memperbaiki kinerjanya. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka diperlukan pencapaian beberapa tujuan antara dari penelitian
yaitu
8

1. Mengukur kinerja pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten


Bone Bolango
2. Menganalisis situasi ekologi, sosial ekonomi HLGD di Kabupaten Gorontalo
dan Kabupaten Bone Bolango
3. Menganalisis aturan-aturan formal yang mengatur aspek-aspek penetapan,
pemantapan kawasan hutan lindung, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan
kawasan hutan lindung
4. Menilai perilaku pengelolaan dan pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo
dan Kabupaten Bone Bolango
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi bagi penguatan
kelembagaan pengelolaan HLGD yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini
juga diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam
pengambilan keputusan bagi pengelolaan HLGD
1.6. Novelty
Kebaharuan dari penelitian ini adalah penerapan metodologi dan teori
kelembagaan pada situasi yang baru yaitu merumuskan kelembagaan pengelolaan
hutan lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah dan stakeholders lainnya.
9

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Kelembagaan
Menurut Hayami dan Kikuchi (1987) dan Bardan (1989) dalam Peter (2000)
kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan merupakan
suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam hal ini
kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal,
tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya
yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya.
Kedua: kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Menurut
Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (1998) kelembagaan atau institusi
merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideology,
hukum adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan.
Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan
atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan
sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrument yang mengatur individu3.
Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap
penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai
wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank,
koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa
organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan
aturan main merupakan perangkat lunak.
Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Shafer dan Smith dalam
Pakpahan, 1989), yaitu batas kewenangan (jurisdictional boundary), hak
kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang
uraiannya adalah sebagai berikut;
1. Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas
otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap
sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya

3
Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi,
organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa
aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain pemain atau organisasi
yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan
tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial
dan organisasi pendidikan (North, 1990)
10

tersebut harus dikonsumsi secara bersama (kolektif) maka batas


kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan dari
pengguna sumberdaya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan.
Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaman seperti yang
diharapkan ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu
bagian masyarakat (sense of community), eksternalitas (externality),
homogenitas (homogenety) dan skala ekonomi (economies of scale).
Anwar (2001) menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur
penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu
juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga
pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (suistainability)
sumberdaya tersebut dan pembagian (share) manfaat bersih yang
diperoleh masing-masing pihak.
2. Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki oleh seseorang atau
masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh
suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan
anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat
menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari
masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1) hak seseorang adalah
kewajiban orang lain dan 2) hak yang tercermin oleh kepemilikan
(ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya.
3. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah
perwakilan/repsentasi yang digunakan dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan
oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan
manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut.
Pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran, bahwa jika kinerja
pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi
pengelolaan hutan tidak mengandung faktor faktor yang menjadi pertimbangan
masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai
11

kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan
kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan
masyarakat.
Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau
kelembagaan dapat merubah faktor eksternal (eksogen) dalam proses
pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan.
Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal (endogen) dalam
pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai
akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan
institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama
kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik
input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses
transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan
juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu,
organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang
digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan
atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh
kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber
interdependensi merupakan karakteristik sumberdaya yang dibicarakan.
Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint
impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi.
2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources
Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah
yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya.
Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau
fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan
subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse
(Ostrom, 1990)
Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para
peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1999) untuk menjelaskan karakteristik
sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat
substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti
12

setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi


kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan
untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi
pemanfaat (beneficiaries).
Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh bentuk CPRs yang banyak
dibahas dalam berbagai literatur, selain sistem irigasi, perikanan (fisheries), dan
padang penggembalaan ternak (rangelands) (Ostrom 1999). Deforestasi yang
masif di negara-negara tropis dan penggurunan (desertification) wilayah Sahel
merupakan contoh- contoh yang digunakan banyak pakar untuk menggambarkan
teori tentang CPRs. Menurut Ostrom (1999) sumberdaya hutan dengan berbagai
macam atribut yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya yang sulit
dikelola secara berkelanjutan, efisien dan adil oleh pemerintah.
Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau
overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya
CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan untuk dapat
mengaturnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Ostrom (1990) yang menyatakan:
(1) privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk
menghambat kerusakan lingkungan, (2) pemerintah tak selalu sebagai pengatur
terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan (3) masyarakat bisa
diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam.
Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak atas kepemilikan suatu
sumberdaya air, dicirikan oleh 1) Acces adalah hak untuk memasuki suatu
sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di
dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di
sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) Withdrawal, adalah hak
untuk mengambil sumberdaya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan. (3)
Management adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana
sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah
dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam hal
demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya hutan yakni pengaturan
oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) Exclusion,
13

adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu
dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat
lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan
otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap
pengguna. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau
mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya.
Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational
level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama
(collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima
hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti
sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi
jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka
property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula
bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung
memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air
yang ada.
Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat
dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap
(propriator), (3) pengklaim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas
(authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya
memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi
otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses
dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak
dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau
masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus
melalui pemerintah.
Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama (CPR)
maka Ostrom (1990) menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1) tata batas
terdefinisikan dengan jelas, 2) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal, 3) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian
besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4) monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik
14

terhadap sumberdaya tersebut, 5) terdapat sanksi bagi bagi yang tidak


menghormati aturan 6) mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan mudah
diakses, 7) terdapat pengakuan hak dari organisasi lain, 8) Dalam kasus CPR yang
luas; organisasi bisa berbentuk beberapa lapisan yang lebih kecil dan berbasis
lokal
2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung
Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi kehutanan
Indonesia karena UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang
telah berumur 28 tahun akhirnya digantikan dengan UU No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Sampai dengan tahun 2001, rejim pengaturan kehutanan yang
terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung lebih banyak di dominasi oleh
Keputusan Menteri tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan sebagai
kawasan hutan lindung. Antara tahun 1981-1986 penunjukkan kawasan hutan
lindung ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian. Namun antara tahun 1986-2003
penetapan dan penunjukkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung
dilakukan melalui SK Menteri Kehutanan.
Pada tahun 1990 pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No
32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Keppres ini menyebutkan
bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kawasan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan yang dilindungi adalah hutan
lindung. Hutan lindung dianggap merupakan salah satu dari kawasan lindung
karena dianggap merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberi perlindungan kepada kawasan disekitar maupun dibawahnya sebagai
pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Oleh karena itu hutan perlu dilindungi. Akan tetapi Keppres No 32 Tahun 1990
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka pengelolaan hutan
lindung. Hal tersebut disebabkan karena Keppres tersebut tidak hanya mengatur
hutan lindung tetapi juga berbagai kawasan yang masuk sebagai kawasan lindung.
Secara nasional ketentuan mengenai pengelolaan hutan lindung diatur
dengan keputusan Menteri Kehutanan No 464/Kpts-II/1995 yang selanjutnya
15

dirubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang


Pengelolaan Hutan Lindung. Ketentuan ini merupakan satu satunya payung
hukum yang mengatur pengelolaan hutan lindung terutama karena UU No 5
Tahun 1967 pada dasarnya hanya menekankan pada pengurusan hutan yang
bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar besarnya, namun tidak mengatur
pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pasal pasal
yang secara jelas mengatur pengelolaan hutan lindung. Demikian pula halnya
dengan PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan sebagai salah satu
turunan dari UU No 5 tahun 1967 lebih banyak menyinggung tentang
perlindungan hutan secara makro, dari pada berisi tentang ketentuan khusus
tentang hutan lindung.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang
Pengelolaan Hutan Lindung telah diakomodir kepentingan dan peran masyarakat,
karena pemerintah menilai masyarakat sangat berkepentingan dengan kawasan
hutan. Meskipun demikian mekanisme peran serta masyarakat tidak dijelaskan
dalam keputusan ini dan tidak pula disebutkan bahwa hal tersebut akan diatur
dalam peraturan tersendiri.
Apabila melihat pada pengelolaan secara keseluruhan maka jelas bahwa
pendekatan pengelolaan hutan lindung sangat bersifat top down dan
kelembagaannya sangat didominasi oleh Departemen Kehutanan. Dengan kata
lain sebagian kewenangan pengelolaan hutan lindung masih berada ditangan
pemerintah pusat, walaupun telah disebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung
berada ditangan pemerintah daerah. Khususnya dibidang kehutanan, terbitnya UU
No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan harapan bahwa perhatian
pemerintah terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi lebih baik dan
komprehensif. Walaupun kewenangan pengelolaan atas masing-masing hutan
lindung tidak lagi dibawah kendali pemerintah pusat, namun secara nasional
pemerintah pusat sebagaimana tercantum pada pasal 2 PP No 38 tahun 2007
tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah
otonom memiliki kewenangan dalam membuat pedoman.
16

2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia


Degradasi hutan melalui proses alih guna lahan hutan secara proses legal
(kebijakan pemerintah) maupun akibat perambahan oleh masyarakat, menjadi
suatu dilema yang sangat mengkwatirkan, saat ini degradasi hutan sebesar 1,8 juta
Ha per tahun (Dephut,2004). Permasalahan degradasi ini menjadi hal yang sangat
penting jadi perhatian semua pihak karena hutan hujan tropis Indonesia
merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi.
Menurut Butler (2007) dalam Mahmuddin (2009), antara tahun 1990 –
2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7
persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini
adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin
menurun dan banyak dihancurkan karena aktivitas manusia. Data pada tahun
1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun
menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini.
Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah
terdegradasi. Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis.
Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu,
penambangan di wilayah hutan, perkebunan, dan perambahan hutan. Aktivitas
manusia yang menyumbang kerusahakan hutan terbesar adalah kegiatan hak
pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa
sawit.
Menurut data Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(DEPHUT 2006), laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare
per tahun pada kurun 1985-1998 dan 2,83 juta hektar per tahun pada 1987-2000,
namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan mencapai 69,9 juta
hektar. Dengan kemampuan merehabilitasi kawasan hutan selama 2003-2007
hanya 846.904 hektar, maka degradasi hutan masih menghantui Indonesia.
Sementara untuk 2008, Dephut merencanakan penanaman seluas 1,7 juta hektare
dan untuk tahun ini 1,9 juta hektare. Di sisi lain, ancaman degradasi tidak hanya
ada di kawasan hutan. Data Ditjen RHL juga menyebutkan luas lahan kritis di luar
kawasan hutan pada 2003 sudah mencapai angka 41,5 juta hektar. Dengan luas
lahan kritis di dalam dan luar kawasan sampai akhir tahun ini diperkirakan
17

mencapai 110,6 juta hektare, maka total penanaman dalam rangka Gerakan
Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mencapai 2,028 juta hektar
baru ibarat setitik air di padang tandus. Makin luasnya lahan kritis ini tidak saja
merugikan industri pengolahan kayu yang terancam kesulitan memperoleh
pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri secara
berkesinambungan dan lestari. Degradasi lahan dan hutan juga mengancam
kelestarian sumber air, selain menyebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan
pemanasan global.
2.5. Dampak Degradasi Hutan
Menurut hasil penelitian Ihsanurizal (2005) bahwa dampak langsung dari
adanya degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah hilangnya potensi kayu,
pengambilan manfaat dari kayu hasil hutan non kayu senilai Rp 24,45 miliar.
Akibat dampak ini pula perekonomian di Kalimantan Timur turun sebesar 0,17%.
Sedangkan dampak tidak langsung dari degradasi hutan adalah turunnya supply
kayu bagi industry kayu, dengan demikian para pekerja yang berhubungan dengan
industry sektor kehutanan akan kehilangan sebagian mata pencaharian.
Menurut Hutajulu (2010) akibat adanya degradasi hutan yang disebabkan
oleh pembalakan liar di Kabupaten Jayapura, negara kehilangan pendapatan
sebesar Rp 1.942.866.894.272,- yang terdiri dari Rp 1.941.855.537.720, potensi
kehilangan kayu Rp 465.211.270,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan
Rp 546.145.282,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor
gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian,
peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.178.264.000.
Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume
penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu dan lain sebagainya dengan nilai kerugian
sebesar Rp 152.325.000. Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat
akibat tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni
sebesar Rp 15.102.600.
Degradasi hutan dan ekosistemnya yang terjadi akibat pembalakan liar
ternyata juga diiringi dengan menurunnya kemampuan penduduk yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan dalam daya beli dan akses terhadap SDAH. Keadaan
ini dipersulit dengan minimnya kemampuan pemerintah dalam membangun
18

fasilitas kesehatan dan pendidikan. Menurut Munawar (2010), Degradasi lahan


sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula
sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan
jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini
diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga
menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan.
Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi
lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari
degradasi lahan. Sekalipun hubungan degradasi hutan dan kemiskinan belum
tentu berbanding lurus dan kemiskinan bukan tanggung jawab utama sektor
kehutanan, kehadiran pengelola hutan komersial secara tidak langsung telah
membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang pada mulanya
merupakan tempat mereka menggantungkan hidup (Sumarjani, 2006). Data dari
Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa semakin luas kawasan hutan yang
dimiliki oleh suatu wilayah maka angka kemiskinan pun semakin besar seperti
yang terlihat pada gambar di bawah ini

100
80
PERSEN

60
40
20
-
DKI

Maluku
Kaltim
Riau

Papua
Sumut

Bengkulu
NAD
Bali

Kalsel

Sulsel

Sultra
Kalteng

Sulut

Sulteng
Kalbar

% Kaw asan Hutan/Daratan % Penduduk Miskin/Penduduk


Gambar 2. Hubungan antara persentase luas Kawasan Hutan Negara dengan
Penduduk Miskin di Beberapa Propinsi (Kartodihardjo dan Jhamtani,
2006)
2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung
Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki
sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk
pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan
19

tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian


terhadap faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan
ketentuan ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pelaksanaan kegiatan pengelolaan
hutan lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II/ jo No 140/Kpts-
II/1998 dan SK Dirjen PHPA No 129/Kpts-DJ-VI/1996 meliputi:
1. Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna,
potensi wisata dan potensi sumberdaya air
2. Pemancangan dan pemeliharaan batas
3. Perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan
4. Rehabilitasi hutan yang rusak
5. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan
6. Peningkatan peran masyarakat
Pasal 24 ayat (1) PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan hutan
menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam kawasan
hutan lindung adalah meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur,
perlebahan, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa liar dan budidaya hijauan
pakan ternak. Selanjutnya dalam pasal 25 (2) PP No 6/2007 dalam kawasan hutan
lindung juga bisa laksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan seperti
pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanakeragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan
penyerapan serta penyimpanan karbon.
Undang-undang menekankan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan
hasil hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi
lindung. Dengan demikian maka setiap daerah yang akan melakukan pengelolaan
atau tata hutan pada hutan lindung harus mengacu pada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Hal penting yang diatur dalam pemanfaatan hutan
lindung adalah tidak diijinkan menggunakan alat mekanis dan alat berat, atau
membangun sarana dan prasarana permanen yang menyebabkan terganggunya
fungsi kawasan.
20

Untuk memanfaatkan hutan lindung berupa pemanfaatan hasil hutan non


kayu, izin usahanya dapat diberikan pada perseorang atau koperasi. Sementara
untuk ijin pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil non kayu dapat
diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia,
BUMN dan BUMD. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, pemberian ijin pemanfaatan hutan lindung diberikan oleh
Bupati/Walikota jika wilayah kelola berada pada satu wilayah administrasi.
Apabila wilayah kelola berada pada lintas Kabupaten dalam satu propinsi maka
ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Gubernur. Sedangkan untuk wilayah hutan
lindung yang berada pada 2 wilayah propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan
oleh Menteri Kehutanan.
Walaupun wewenang pengelolaan hutan lindung telah dimiliki oleh propinsi
dan kabupaten/kota menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
namun setiap aspek dan kegiatan terkait yang dikembangkan dan dilaksanakan
haruslah mengacu pada kepada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai
payung hukum aturan bidang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 yang
memberikan landasan operasionalnya. Keharusan untuk mengacu kepada suatu
aturan yang lebih tinggi tersebut merupakan doktrin umum tentang produk
hukum, yang disebut dengan asas les superior derogate inferiori, dimana aturan
yang lebih rendah harus mengacu kepada dan tidak boleh bertentangan dengan
aturan yang ada diatasnya. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Itulah sebabnya dalam penyusunan Suatu Perda harus mencantumkan peraturan
yang relevan sebagai dasar hukum di dalam konsideran yaitu peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun tingkatannya sama
21

III. METODE PENELITIAN


3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibagi dalam beberapa kegiatan yaitu: 1) analisis kinerja
pengelolaan HLGD 2). analisis terhadap situasi ekologi dan sosial ekonomi, 3)
analisis aturan formal tentang aspek pemantapan kawasan, pengelolaan,
pembinaan dan pengawasan kawasan HLGD, 4) analisis perilaku stakeholder di
HLGD, 5) merumuskan kelembagaan pengelolaan HLGD yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di HLGD Propinsi Gorontalo. Pra penelitian
dilakukan pada bulan September 2010-Desember 2010. Kegiatan penelitian itu
sendiri dimulai pada bulan Januari 2011 sampai dengan Juni 2011. Lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Hutan Lindung Gunung Damar


22

3.3. Jenis Data


a. Data Utama
Data utama dalam penelitian ini secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data utama yang dibutuhkan dalam penelitian
Aspek Data/Informasi Rujukan Kegunaan data
Penelitian
Jenis dan luas perubahan Mendeskripsikan luas
penutupan lahan di dan sebaran perubahan
Perubahan
kawasan hutan lindung tutupan lahan
tutupan lahan
berdasarkan kriteria
IPCC
Rata-rata sedimentasi Mendeskripsikan jumlah
Biofisik setiap tahun yang terjadi sedimentasi yang
Sedimentasi
di DAS Bionga dan terdapat di DAS Bionga
DAS Bolango dan DAS Bolango
Rata-rata debit air setiap Mendeskripsikan jumlah
tahun yang terjadi di sedimentasi yang
Debit air
DAS Bionga dan DAS terdapat di DAS Bionga
Bolango dan DAS Bolango
Pertumbuhan Tingkat pertumbuhan Mendeskripsikan tingkat
penduduk penduduk pertumbuhan penduduk.
Jumlah Tingkat kemiskinan Mendeskripsikan jumlah
Penduduk penduduk miskin di
Miskin dalam dan disekitar
kawasan hutan lindung
Lahan konflik Luas lahan garapan di Mendeskripsikan luas
dalam kawasan hutan lahan garapan penduduk
Sosial di dalam kawasan hutan
ekonomi lindung
Gangguan Jumlah kasus pencurian Mendeskripsikan kasus
terhadap kayu di dalam kawasan pencurian kayu di dalam
kawasan hutan lindung kawasan hutan lindun
HLGD
Daya dukung Indeks koefisien lokasi
Mendeskripsikan daya
dukung lahan
Daya dukung Indeks koefisien sektor Mendeskripsikan daya
sektor pertanian pertanian dukung sektor pertanian
23

Lanjutan Tabel 1
Aspek Data/Informasi Rujukan Kegunaan data
Penelitian
Luas lahan Luas lahan dalam satuan Mendeskripsikan luas
masyarakat hektare yang dikuasai lahan yang dikuasai oleh
diluar kawasan oleh setiap kepala setiap kepala keluarga
hutan lindung keluarga dalam kaitannya dengan
HLGD pola penggunaan lahan
Luas lahan Luas lahan jagung dalam Mendeskripsikan tingkat
jagung disekitar satuan hektar yang produktivitas jagung
kawasan dikuasai oleh setiap yang digarap oleh setiap
Sosial
HLGD kepala keluarga kepala keluarga dalam
ekonomi
kaitannya dengan pola
penggunaan lahan
Kebijakan Harga jagung di tingkat Mendeskripsikan
penetapan petani disekitar kawasan perkembangan harga
harga jagung HLGD jagung yang diduga
mempengaruhi
pengelolaan lahan
didalam hutan lindung
Peraturan Peraturan perundangan Mendeskripsikan
perundang- meliputi: peraturan perundangan
undangan 1. Undang undang yang berkaitan dengan
mengenai hutan 2. Peraturan pengelolaan hutan
lindung pemerintah lindung
3. Keputusan presiden
4. Peraturan menteri
5. Keputusan menteri
6. Peraturan daerah
7. Keputusan Bupati
Klasifikasi Klasifikasi stakeholders: Mendeskripsikan
stakeholders 1. Stakeholders subyek stakeholders berdasarkan
yang terlibat 2. Stakeholders key tingkat kepentingannya,
Kelembagaan
dalam player pengaruh dan posisi
pengelolaan 3. Stakeholders context stakeholders dalam
HLGD setter pengelolaan HLGD
4. Stakeholder Crowd
Tugas pokok Klasifikasi tugas pokok Untuk mengidentifikasi
dan fungsi tersebut dimodifikasi perilaku dan tumpang
lembaga formal dari Undang-Undang 41 tindih kewenangan
dalam Tahun 1999: dalam pengelolaan
pengelolaan 1. Penetapan dan HLGD
HLGD Pemantapan
2. Pengelolaan
3. Pembinaan dan
Pengawasan
24

b. Data penunjang
Data penunjang dalam penelitian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian
Aspek Data/informasi Rujukan Kegunaan data
Penelitian
Pola dan tipe Mendeskripsikan
Biofisik Penggunaan lahan penggunaan lahan Pola dan tipe
penggunaan lahan
Jumlah dan struktur Mendeskripsikan
umur penduduk, karakteristik
Karakteristik mata pencaharian penduduk yang
Sosial ekonomi
penduduk penduduk tinggal dan diluar
kawasan hutan
lindung
Mendeskripsikan
efektifitas tata
batas kawasan
Informasi panjang
Tata batas HLGD dalam
Kelembagaan batas kawasan yang
kawasan HLGD menentukan
telah di tata-batas
yurisdiksi
pengelolaan
HLGD

3.4. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah peta-peta dasar kawasan hutan hutan lindung
dan sekitarnya, citra landsat tahun, 1999, 2001, 2004 dan 2009, peta rupa bumi
Gorontalo skala 1: 50.000, peta tanah Gorontalo 1: 250..000, Peta RTRW
Kabupaten dan Propinsi Gorontalo, alat tulis menulis
Alat-alat yang digunakan untuk survei lapangan adalah Global Positioning
System (GPS), alat perekam, laptop, personal komputer, printer, software Arc/Info
versi 3.1.5, ArcView 3.2.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data utama dilakukan dengan menggunakan 2
metode. 1) Metode survey lapangan yaitu teknik untuk menggali data yang
berkaitan dengan situasi ekologi dan sosial ekonomi, pola pemanfaatan lahan, 2)
Metode wawancara digunakan untuk memperoleh data dan informasi tentang
perilaku pihak-pihak yang melaksanakan pengelolaan HLGD. Metode wawancara
25

yang dilakukan terdiri atas wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner


maupun wawancara tidak terstruktur
Pengumpulan data penunjang dilakukan dengan cara studi literatur untuk
mempelajari beberapa dokumen peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan hutan lindung. Selain itu dilakukan studi literatur terhadap
dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh intansi terkait. Dokumen ini berupa
buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan (diskusi, workshop, seminar) dan
lain sebagainya. Dokumen tersebut dikumpulkan dengan menggunakan purposive
sampling dalam artian dokumen yang diambil sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Adapun dokumen yang dibutuhkan diantaranya adalah memiliki substansi terkait
dengan topik penelitian; dokumen cetak atau digital.
Sumber data adalah responden dari berbagai stakeholder yaitu: 1) instansi
atau lembaga pemerintah yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung seperti
Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,
Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi,
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Lingkungan
Hidup, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Dewan Perwakilan Daerah
(DPRD), Universitas Gorontalo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kepala
Desa, Polisi Kehutanan, Badan Penyuluhan, Dinas Pekerjaan Umum (PU),
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan Lembaga Donor. Penentuan
responden ditentukan melalui snowball sampling. 2) Masyarakat di sekitar HLGD
yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan. Penentuan
responden ditentukan dengan cara purposive sampling dengan
mempertimbangkan tujuan penelitian. Jumlah responden yang diambil sebanyak
30 kepala keluarga setiap desa. Jumlah desa yang disurvei yaitu Desa Malahu,
Desa Dulamayo Selatan, Desa Dulamayo Utara, Desa Talumelito di Kabupaten
Gorontalo, Desa Tupa, Desa Mongiilo, Desa, Longalo dan Desa Owata di
Kabupaten Bone Bolango
3.6. Analisis Data
a. Analisis Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar
Analisis kinerja pengelolaan HLGD dilakukan dengan menganalisis laju
perubahan tutupan hutan di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango.
26

Laju perubahan tutupan hutan dianalisis berdasarkan citra Landsat TM tahun,


1999, 2001, 2004 dan 2009. Langkah pertama yang dilakukan dalam menganalisis
citra landsat TM tersebut adalah dengan mengadakan koreksi dari citra digital
landsat TM tersebut dengan acuan peta rupa bumi. Koreksi geometris dengan
menggunakan peta acuan ini hanya dilakukan pada salah satu data citra landsat
TM. Koreksi geometris untuk citra yang lain dilakukan dengan cara koreksi dari
citra ke citra. Penentuan lokasi penelitian (clipping) dilakukan dengan
menggunakan peta tata batas kawasan hutan lindung Gunung Damar. Selanjutnya
dilakukan interpretasi citra landsat TM dengan menggunakan klasifikasi
terbimbing (supervised classification). Pembagian kelas klasifikasi dibuat
berdasarkan klasifikasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC,
2003) yaitu: 1). hutan, 2). lahan pertanian, 3) padang rumput 4). lahan basah/tubuh
air, 5). pemukiman 6). lahan lainnya. Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui
kondisi saat ini di lapangan. Posisi geografis obyek yang diamati dilapangan dapat
diketahui dengan menggunakan alat GPS. Untuk mengetahui perubahan
penutupan lahan dari tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009 dilakukan dengan meng-
overlay peta tematik hasil klasifikasi pada tiap liputan. Selain melihat kinerja
melalui perubahan tutupan lahan hutan, kinerja pengelolaan HLGD ditelusuri
melalui besarnya sedimentasi dan debit air yang berasal dari HLGD
b. Analisis Situasi di Hutan Lindung Gunung Damar
Analisis situasi ekologi dan dan sosial ekonomi dipergunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2002) analisis deskriptif kuantitatif
adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat sebuah kesimpulan. Tujuan
penggunaan analisis deskriptif kuantitatif adalah memberikan deskripsi subyek
penelitian berdasarkan data dan variabel yang diperoleh dari lapangan dengan
menggunakan teknik tabulasi dan menyajikannya dalam bentuk tabel distribusi
dengan prosentase untuk masing masih kelompok yang diteliti. Dalam konteks
penelitian ini variabel yang dikumpulkan merupakan data yang dapat
mendefiniskan karakteristik sumberdaya yang bisa menyebabkan interdependensi.
Adapun variabel tersebut adalah data tentang kondisi penutupan lahan di HLGD,
jumlah penduduk, tingkat pendapatan, mata pencaharian, jarak pemukiman
27

dengan kawasan hutan, tingkat pendidikan, luas kepemilikan lahan, jumlah


masyarakat miskin.
c. Analisis Isi
Metode analisis isi adalah teknik penelitian yang digunakan untuk
menganalisis dokumen tertulis seperti peraturan perundangan, naskah akademik
sebuah peraturan, laporan, transkrip, wawancara dan bentuk bentuk tertulis
lainnya (Henderson 1991 dalam Pratiwi 2008). Dalam penelitian ini dokumen
tertulis yang dianalisis adalah peraturan perundangan yang secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan pengaturan HLGD. Dokumen lain yang
dapat dipergunakan adalah buku, hasil penelitian, laporan hasil pertemuan
(diskusi, workshop, seminar) dan lain sebagainya. Dokumen tersebut
dikumpulkan dengan menggunakan purposive sampling dalam artian dokumen
yang diambil sesuai dengan kebutuhan penelitian. Menurut Ida (2001), dalam
melakukan studi analisis isi terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu 1)
conteks atau memahami situasi diseputar dokumen atau text yang diteliti, 2)
process, atau bagaimana isi pesannya dikreasi secara actual dan dioraganisasikan
secara bersama, 3) emergence, memahami sebuah pesan dalam dokumen tersebut
dan kemudian menginterpretasi. Adapun peraturan perundangan yang dianalisis
dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3
Tabel 3. Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan perundangan
(lihat lampiran 1)
Aspek
Paraturan
Penetapan dan Pengelolaan Pembinaan dan pengawasan
Perundangan
Pemantapan
Undang Undang
Peraturan
Pemerintah
Keputusan
Presiden
Keputusan Menteri
d. Analisis Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar
Analisis perilaku HLGD menggunakan beberapa metode yaitu:
1. Identifikasi stakeholder.
Analisis dimulai dengan identifikasi stakeholder yang didapatkan dari hasil
wawancara dengan metode snowball sampling. Dalam mengidentifikasi
28

stakeholder Reed et al. (2009) memberikan pedoman atau tahapan untuk


melakukan identifikasi terhadap stakeholder yaitu:
a. Daftar stakeholder: sumber data yang dapat digunakan untuk membuat list
adalah hasil pengamatan, informasi dari berbagai masyarakat dan hasil
survey.
b. Kepentingan; kepentingan yang dapat diidentifikasi diantaranya melalui apa
yang diharapkan dan apa yang dapat diperoleh oleh stakeholder
c. Pengaruh stakeholder terhadap sukses tidaknya kegiatan yang diukur
dengan menggunakan parameter berikut ini; tinggi (jika stakeholder punya
kemampuan untuk memveto sebuah keputusan, kecil (jika stakeholder tidak
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan)
d. Peluang partisipasi; dilihat dari kewenangan dari setiap organisasi yang
terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
2. Analisis Tugas Fungsi Pokok Organisasi
Analisis tugas fungsi pokok kelembagaan dilakukan untuk menelusuri
sejauh mana stakeholders dalam hal ini organisasi pemerintah menjalankan hak
dan tanggung jawabnya berdasarkan tugas dan mengidentifikasi tumpang tindih
tugas pokok dalam aspek manajemen hutan lindung yang terdiri dari aspek
pemantapan dan penetapan, pengelolan dan pembinaan dan pengawasan. Analisis
tugas pokok stakeholder menggunakan metode 4R‟s (Rights, Responsibility,
Reward dan Relationship) yang dimodifikasi dari Bryson (2003).
3. Kategorisasi Stakeholders
Selanjutnya stakeholders klasifikasi berdasarkan posisinya dalam pengelolaan
HLGD sesuai dengan kriteria yang dibangun oleh Reed et al. (2009). Adapun
kriteria tersebut adalah 1) stakeholder subyek yaitu stakeholder yang memiliki
tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh rendah, 2) stakeholder key player yaitu
stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh yang tinggi
terhadap sebuah fenomena, 3) stakeholder context setter yaitu stakeholder yang
memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi, 4) stakeholder
crowd yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang rendah dan
pengaruh yang rendah. Hal ini penting karena untuk menentukan stakeholders
29

mana saja yang bisa bekerja sama. Gambaran tentang posisi stakeholders dalam
pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar dapat dilihat dalam Gambar 4.

SUBYEK KEY PLAYER

K
E
P
E
N
T
I
N
G
A
N

CROWD CONTEXT SETTER

PENGARUH

Gambar 4. Matriks stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya


e. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung
Damar
Perumusan model kelembagaan pengelolaan HLGD dilakukan secara
deskriptif berdasarkan data utama yang berasal dari lapangan dan instansi
pemerintah maupun data penunjang yang berasal dari beberapa dokumen yang
berkaitan dengan penelitian ini. Kajian model pengelolaan HLGD pada prinsipnya
merupakan upaya dalam menyikapi permasalahan yang muncul yaitu degradasi
HLGD. Selama ini kelembagaan pengelolaan HLGD yang dianut dan dipatuhi
oleh pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango dan
stakeholder lainnya belum maksimal dalam upaya mengelola HLGD. Analisis
perbandingan kelembagaan yang dibangun dalam penelitian ini diadaptasi dari
penelitian Basuni (2003). Model kelembagaan yang dihasilkan merupakan model
kelembagaan yang terbangun dan dijalankan oleh Kabupaten Gorontalo dan
30

Kabupaten Bone Bolango dan para pemangku kepentingan lainnya dalam


mengelola HLGD. Sasaran utama yang dijadikan dasar pertimbangan dalam
penelitian model kelembagaan pengelolaan HLGD adalah melihat sejauh mana
keefektifan kelembagaan yang terbangun dan dijalankan oleh pemerintah
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango dan para pemangku
kepentingan dalam menyelamatkan hutan lindung. Keefektifan model pengelolaan
hutan lindung oleh masing masing kabupaten akan ditinjau dari segi batas
yurisdiksi, aturan repsentasi dan hak kepemilikan
Secara ringkas tujuan, metode dan hasil dari penelitian ini disajikan dalam
Gambar 5 yang terdapat di halaman selanjutnya
31

TUJUAN METODE VARIABEL ANALISIS DATA INFORMASI


HASIL PENELITIAN
PENELITIAN PENGUMPULAN SITUASI
DATA
Citra landsat TM 7 Analisis Perubahan
Tujuan 1: Survei dan tahun 1999, 2001, Tutupan Lahan
Kinerja
Analisis kinerja Observasi di 2004 dan 2009, dengan GIS
pengelolaan
Pengelolaan HLGD lapangan Analisis Regresi
HLGD
Informasi potensi
vegetasi,fauna
Tujuan 2: hutanpertumbuhan
Situasi ekologi dan penduduk, penduduk
sosial ekonomi Survei dan miskin, konflik lahan, Analisis Situasi Informasi situasi
HLGD Wawancara jumlah gangguan, daya Ekologi dan Sosial Sosial Ekonomi Model Kelembagaan
dukung lahan, kegiatan Ekonomi dan Ekologi Pengelolaan HLGD
sektor pertanian,
Tujuan 3:
Aturan formal penetapan harga jagung,
dalam aspek luas kepemilikan lahan Deskripsi aturan
penetapan dan diluar HLGD dan luas formal dalam
pemantapan, aspek penetapan
Studi literature dan
pengelolaan dan Pemantapan dan dan pemantapan
dokumen peraturan Analisis isi
pembinaan Penetapan, pengelolaan,
perundangan
pengawasan di Pengelolaan, pembinaan dan
Wawancara
HLGD Pembinaan & pengawasan
pengawasan
Tujuan 4:
Wawancara Analisis
Mendeskripsika Para Stakeholders: Mendeskripsikan
dengan stakeholders
n perilaku Pemerintah pusat, Perilaku
stakeholders Analisis Tugas
stakeholder stakeholders dan
yang pemda, perguruan Pokok
kawasan HLGD berkepentingan Tugas Pokok
tinggi, LSM, Donor,
dengan HLGD masyarakat lokal
32

3.7. Definisi Operasional


1. Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu.
2. Barang publik adalah barang/jasa yang mempunyai karakteristik tidak bisa
dipisah-pisahkan daya gunanya (non substractable) dan dimanfaatkan oleh
masyarakat banyak, dimana satu atau sebagian anggotanya tidak dapat
dikeluarkan/dilarang dalam memanfaatkan (non excludability) misalnya
udara, keamanan dan jasa lingkungan.
3. Clip adalah ekstraksi spatial dari feature dari suatu coverage yang berada
dalam batas polygon clip
4. Coverage adalah layer peta yang diperoleh dari hasil digitasi atau
otomatisasi. Coverage ini didefinisikan juga sebagai kumpulan data digital
yang mewakili sebuah tema tertentu pada sebuah peta. Misalnya coverage
sungai, jalan, topografi, penutupan lahan dan lain lain baik berupa polygon,
titik, maupun garis atau kombinasinya.
5. Demografi adalah ilmu yang memberikan uraian tentang gambaran statistic
mengenai susunan, jumlah dan perkembangan penduduk.
6. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia
7. Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur
dalam kaitannya dengan kriteria. Indikator merupakan komponen khusus
dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana
melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah
mencapai atau tidak kriteria kriteria pengelolaan
8. Inventarisasi kawasan adalah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh
data dan informasi tentang sumberdaya alam, potensi kekayaan alam secara
lengkap mulai dari tingkat nasional, wilayah, DAS sampai unit pengelolaan
9. Konflik adalah suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai
kelompok yang bersaing, bertabrakan dan akibatnya terjadilah agrasi
walaupun belum tentu berbentuk kekerasan
10. Kriteria adalah standart untuk penilaian sesuatu
33

11. Kuisioner adalah sebuah dokumen yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan


bentuk bentuk lainnya yang dirancang untuk memperoleh informasi yang
layak
12. Layer adalah satu set logis dari data tematik yang biasanya diorganisir
dengan subyek
13. Model adalah sebuah penjelasan yang sederhana dari keadaan atau
fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses
14. Nilai adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan.
15. Observasi adalah merupakan kegiatan yang pasif yang biasa dipergunakan
oleh peneliti dengan tujuan menjelaskan obyek penelitian dalam hal atribut
atributnya
16. Organisasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen, dimana
manusia merupakan elemen terpenting yang saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan dan sasaran tertentu.
17. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
18. Parameter adalah datum hasil pengukuran atribut
19. Pemantapan kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang
diarahkan untuk memperoleh status yuridis formal kawasan hutan maupun
fisik dilapangan serta desain kawasannya sebagai dasar pengelolaan hutan
secara efisien, efektif dan lestari
20. Pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/
kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia
mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut pada
atasannya. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal
juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat
keputusan yang formal.
21. Pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi
berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan /
wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin
34

formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin


informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis.
22. Penetapan adalah suatu penegasan mengenai kepastian hukum mengenai
status, letak, batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk
sebagai kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri
23. Pengukuhan kawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan
kepastian hukum setelah melalui proses inventarisasi, penunjukan, penataan
batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan
24. Penunjukkan adalah penetapan awal suatu wilayah tertentu sebagai
kawasan hutan yang dapat berupa penunjukan mencakup wilayah propinsi
atau partial/kelompok hutan
25. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan
yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan
26. Property adalah hak untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu
27. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampling dengan sengaja
28. Sedimentasi adalah proses pengendapan material padat dari kondisi
tersuspensi atau terlarut dalam suatu fluida (biasanya air atau udara)
29. Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas.
30. Survey adalah cara mengumpulkan data primer dengan tujuan untuk
meneliti populasi secara langsung
31. Verifier (pengukur) adalah data atau informasi yang khusus yang dipakai
dalam penilaian indikator
32. Wawancara adalah bentuk pengumpulan data dengan cara menanyakan
secara langsung kepada responden
35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Kinerja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar
Penilaian kinerja pengelolaan HLGD pada dua pemerintah daerah yaitu
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango mengggunakan laju
perubahan tutupan hutan, sedimentasi dan fluktuasi debit air sebagai indikator
kinerja. Data perubahan tutupan lahan hutan diperoleh dari hasil analisis citra
landsat TM dari tahun 1999 sampai tahun 2009, data fluktuasi debit air diperoleh
dari data hasil pengukuran BALIHRISTI tahun 2003 sampai tahun 2009
sedangkan untuk sedimentasi menggunakan data tahun 2004 dan tahun 2005 oleh
BP-DAS Bolango
a. Perubahan Tutupan Hutan Kawasan Hutan Lindung Gunung Damar
1. Kabupaten Gorontalo
Menurut Lo (1995) penutupan hutan menggambarkan konstruksi vegetasi
alami maupun buatan yang menutup permukaan lahan yang secara umum dapat
dibagi ke dalam tiga kelas , yaitu (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia,
(2) fenomena biotik vegetasi alami (hutan), tanaman pertanian dan kehidupan
binatang, (3) tipe-tipe pembangunan. Selanjutnya Malingreau dan Rosita (1991)
mengatakan perubahan penutupan hutan terjadi karena adanya perubahan pola
penggunaan lahan sebagai bentuk campur tangan manusia baik secara permanen
maupun periodik terhadap lahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan baik
kebutuhan kebendaan, spiritual atau gabungan keduanya.
Data mengenai perubahan tutupan hutan yang terjadi di kawasan HLGD di
dalam wilayah Kabupaten Gorontalo dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo tahun 1999-2009
Luas (ha) pada Tahun
No Jenis Penutupan Lahan
1999 2001 2004 2009
1 Hutan 7154.63 6906.73 5586.26 3793.42
2 Lahan pertanian 2331.64 2470.08 3096.16 4028.29
3 Semak belukar 466.07 960.42 529.71 345.09
4 Lahan terbuka 294.86 487.94 309.13 122.65
5 Lainnya 932.65 354.68 1658.58 2890.39
Total 11179.84 11179.84 11179.84 11179.84
36

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui, selama 10 tahun terakhir tutupan


hutan di Kabupaten Gorontalo berkurang sebesar 3361.21 ha atau 46.98%
Penurunan tutupan hutan di HLGD disebabkan oleh konversi lahan hutan menjadi
lahan pertanian. Hal ini terlihat dari meningkatnya lahan pertanian di HLGD
selama tahun 1999 sampai dengan 2009 yang mencapai 4028.29 ha atau 36.03%.
Peningkatan lahan pertanian didalam kawasan hutan, umumnya disebabkan oleh
aksi-aksi perambahan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat beberapa faktor masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo melakukan
perambahan antara lain 1) ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan
yang tinggi, 2) rendahnya tingkat kesejahteraan yang diindikasikan dengan masih
tingginya tingkat kemiskinan. Kondisi seperti ini menyebabkan individu atau
kelompok melakukan jalan pintas dengan melakukan perambahan tanpa
memikirkan aspek kelestarian 3) terbatasnya alternatif sumber pendapatan selain
dari sektor pertanian, 4) kondisi biofisik kawasan hutan seperti lahan yang subur
5) aksesibilitas menuju kawasan HLGD yang mudah 6) lemahnya penegakan
hukum bagi para perambah. Situasi ini mengindikasikan HLGD telah mengalami
tekanan akibat aktivitas sosial ekonomi masyarakat baik secara individu maupun
kelompok. Dampak negatif sebagai akibat dari konversi hutan menjadi lahan
pertanian antara lain berkurangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus
hidrologi, terjadinya erosi dan sedimentasi.
Kegiatan perambahan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo telah terjadi
sejak kawasan HLGD ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Perambahan hutan
dapat diartikan sebagai kegiatan menduduki kawasan hutan negara yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam jumlah yang lebih kecil maupun
besar untuk dijadikan areal lain seperti perkebunan, pertanian, pertambangan dan
lain sebagainya yang bersifat sementara atupun dalam waktu yang cukup lama.
Dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ini adalah terjadinya degradasi hutan.
Menurut Lamb (1994) degradasi hutan merupakan kondisi dimana fungsi
ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis,
rataan degradasi HLGD selama tahun 1999-2009 mencapai 4.96%/tahun. Berikut
37

ini diuraikan rataan degradasi hutan untuk setiap periode berdasarkan hasil
analisis citra landsat tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009
Pada periode 1999-2001 tutupan hutan di HLGD berkurang sebesar 247.90
ha dengan laju penurunan sebesar 1.73%/tahun. Penurunan tutupan hutan diikuti
dengan bertambah luasnya lahan pertanian sebesar 138.47 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 2.97%/tahun. Peningkatan luasan yang cukup besar terjadi
pada semak sebesar 494.35 ha atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.30%.
Terbentuknya semak belukar di kawasan HLGD tidak terlepas dari sistem
peladang berpindah yang dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat sekitar HLGD.
Menurut Barbour et al. 1999, semak belukar merupakan lahan yang diberakan dan
mengalami suksesi dengan masuknya jenis-jenis tumbuhan secara alami mulai
dari komponen pionir hingga suksesi lanjut. Perubahan tutupan hutan pada
periode 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 9
Tabel 5. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di
wilayah Kabupaten Gorontalo
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per Tahun (%)
1 Hutan -247.90 -1.73
2 Lahan pertanian 138.44 2.97
3 Semak belukar 494.35 5.30
4 Lahan terbuka 193.07 3.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Pada periode 2001-2004 penurunan tutupan hutan meningkat dibandingkan
dengan tutupan hutan tahun 1999-2001. Tutupan hutan berkurang hingga
mencapai 1320.47 ha atau mengalami degradasi sebesar 6.37%/tahun. Selain itu,
tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar pada periode ini
adalah lahan pertanian sebesar 626.08 ha atau meningkat sebesar 8.45%/tahun.
Selanjutnya laju perubahan tutupan hutan lindung tahun 2001-2004 dapat dilihat
pada Tabel 6
Tabel 6. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Gorontalo
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1320.46 -6.37
2 Lahan pertanian 626.08 8.45
3 Semak belukar -430.71 -14.95
4 Lahan terbuka -178.81 -12.21
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
38

Periode 2004-2009 merupakan periode dimana tekanan terhadap kawasan


HLGD sangat tinggi. Hal ini terlihat dari penurunan tutupan hutan sebesar
1792.85 ha atau mengalami degradasi sebesar 8.02%/tahun Selain itu, terdapat
juga tutupan lahan yang mengalami peningkatan yang sangat besar, yaitu lahan
pertanian sebesar 932.13 ha. Laju peningkatan lahan pertanian pada periode ini
sebesar 30.11% atau sebesar 7.53%/tahun. Peningkatan lahan pertanian yang
terjadi antara tahun 2004-2009 terjadi karena terkait dengan upaya pemerintah
daerah dalam mensukseskan program agropolitan yang dicanangkan sejak tahun
2003. Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang di
Kabupaten Gorontalo. Pemberian benih gratis beberapa komoditi unggulan seperti
jagung, cengkih dan coklat kepada kelompok tani tanpa mempertimbangkan
kepemilikan lahan telah mempercepat laju deforestasi di hutan lindung Gunung
Damar. Data-data mengenai perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat
dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 10
Tabel 7. Laju Perubahan Tutupan Hutan di Kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di
wilayah Kabupaten Gorontalo
No Jeni Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1792.84 -8.02
2 Lahan pertanian 932.13 7.53
3 Semak belukar -184.61 -8.71
4 Lahan terbuka -186.48 -15.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Meskipun Jordan (1985) mengkategorikan sistem peladang berpindah
termasuk dalam kategori sedang sebagai penyebab degradasi hutan, tapi hasil
survey lapangan memperkirakan konversi hutan akan semakin meningkat jika
belum ditemukan solusi dalam mengatasi kegiatan perambahan hutan yang
umumnya disebabkan oleh sistem peladang berpindah. Saat ini terdapat dua
pemikiran yang saling mempertentangkan penyebab degradasi hutan. Pemikiran
pertama menyebutkan bahwa tingkat produktivitas pertanian yang kecil dan
meningkatnya jumlah petani kecil diduga sebagai peyebab deforestasi (FAO 1990,
World Bank 1990, Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut
cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor
utama dalam pembabatan hutan. Sedangkan pemikiran kedua menyebutkan
adanya kebijakan pemerintah dengan proyek-proyek pembangunannya yang tidak
39

tepat dan maraknya industri perkayuan telah meningkatkan laju deforestasi


termasuk di Indonesia. karena (Dick 1991, WALHI 1992, Ascher 1993,
Dauvergne 1994).
Menarik untuk ditelaah pendapat yang dikemukakan oleh Potter (1994)
yang mengatakan bahwa transformasi petani tradisional menjadi petani modern
telah menyumbang laju deforestasi meningkat. Menurut Dick (1991) peladang
berpindah hanya menyumbang 21% dari total laju degradasi hutan yang ada
didunia dibeberapa kawasan hutan. Kartawinata el al. (1989) yang mengamati
sistem peladang berpindah dibeberapa wilayah, mengemukakan pada umumnya
sistem peladang tradisional masih mengembangkan tanaman tahunan, sehingga
tidak beralasan jika peladang tradisional dituding sebagai pemicu degradasi hutan.
Namun Barrow (1991) secara lebih rinci menyatakan bahwa faktor-faktor utama
penyebab terjadinya perubahan lahan dari hutan ke lahan non hutan adalah: (1)
perubahan jumlah populasi manusia, (2) marjinalisasi tanah, (3) kemiskinan, (4)
status kepemilikan tanah, (5) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, (6)
kondisi sosial ekonomi, (7) masalah kesehatan, (8) praktek pertanian yang tidak
tepat, dan (9) aktifitas pertambangan dan industry. Secara umum laju degradasi
hutan antara tahun 1999-2009 disajikan pada Gambar 6

1500
L 932.13
a 1000
j 626.08
494.35
u 500
138.44 193.07
D 0
e Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
g -247.9 -184.61 -178.81 -186.48
r -500 -430.71
a
d -1000
a
s -1500 -1320.46
i
-1792.84
-2000
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009

Gambar 6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Hutan di kawasan HLGD Kabupaten


Gorontalo Periode 1999-2009
40

Gambar 7. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001
41

Gambar 8. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004
42

Gambar 9. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009
43

2. Kabupaten Bone Bolango


Berdasarkan hasil survey dan interpretasi citra landsat kondisi HLGD di
Kabupaten Bone Bolango sedikit mengalami tekanan dibandingkan dengan
kondisi HLGD di Kabupaten Gorontalo. Untuk melihat sejauh mana tekanan
tersebut maka dilakukan analisis perubahan tutupan hutan yang dibagi ke dalam
beberapa periode waktu yang sama dengan kabupaten Gorontalo. Perubahan
tutupan lahan HLGD di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 8
Tabel 8. Perubahan tutupan hutan kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Bone
Bolango tahun 1999-2009
Luas(ha) pada Tahun
No Jenis Penutupan Lahan
1999 2001 2004 2009
1 Hutan 8338.01 8028.38 7250.68 6056.73
2 Lahan pertanian 407.89 502.18 687.76 956.79
3 Semak belukar 68.24 101.71 99.70 45.57
4 Lahan terbuka 36.30 63.35 49.89 13.63
5 Lainnya 86.81 241.63 849.23 1864.53
Total 8937.26 8937.26 8937.26 8937.26

Berdasarkan data-data pada Tabel 8 tutupan hutan di kawasan HLGD adalah


yang paling banyak berubah sejak ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung
ditahun 1999. Tutupan hutan di kawasan HLGD hingga tahun 2009 berkurang
seluas 2281.28 ha atau berkurang 27.36%. Perubahan tutupan hutan di kawasan
HLGD Kabupaten Bone Bolango lebih kecil jika dibandingkan dengan penurunan
tutupan lahan hutan di HLGD Kabupaten Gorontalo yang mencapai 46.98% pada
periode yang sama. Sebaliknya lahan pertanian mengalami peningkatan sebesar
74.31% sejak sepuluh tahun terakhir. Selain itu, jenis tutupan yang mengalami
perubahan adalah semak belukar dan lahan terbuka. Semak belukar mengalami
peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 27.58 ha, sedangkan lahan terbuka
meningkat sebesar 14.82 ha. Peningkatan lahan pertanian dan lahan terbuka di
HLGD Kabupaten Bone Bolango diakibatkan oleh adanya sistem ladang
berpindah yang dipraktekkan oleh masyarakat di desa Mongiilo dan Owata.
Praktek ladang berpindah ini telah lama dilakukan dengan siklus 5-7 tahun.
Berdasarkan sejarah desa, interaksi antara masyarakat dengan HLGD sudah
berlangsung ratusan tahun. Sistem peladang berpindah yang dipraktekkan oleh
masyarakat di empat desa yang menjadi sampel penelitian, merupakan bagian dari
44

upaya pelestarian budaya masyarakat sekitar HLGD. Didik et al. (1998)


menyatakan pola pengelolaan hutan yang diprakarsai dan dilakukan masyarakat
dapat bertahan bahkan hingga ratusan tahun. Cara-cara pengelolaannya relatif
menjamin keberadaan hutan dan sekaligus penting untuk mendukung dan
mempertahankan kehidupan mereka. Sistem pemanfaatan HLGD yang berbasis
budaya berdampak terhadap kecilnya laju perubahan tutupan lahan pada periode
1999, 2001, 2004 dan 2009. Berikut ini dijelaskan perubahan tutupan lahan yang
terjadi di HLGD selama periode tersebut
Periode 1999-2001 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang
paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan
sebesar 309.65 ha dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1.86%/tahun. Apabila
dibandingkan dengan laju perubahan tutupan hutan pada periode yang sama di
Kabupaten Gorontalo yang mencapai 1.73%/tahun maka laju degradasi yang
terjadi di Kabupaten Bone Bolango lebih besar. Jenis tutupan lahan lain yang
mengalami perubahan cukup besar adalah peningkatan lahan pertanian. Lahan
pertanian dalam kawasan HLGD mengalami peningkatan sebesar 94.30 ha
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.56%/tahun. Adapun jenis perubahan
tutupan lahan selama tahun 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju per tahun (%)
1 Hutan -309.65 -1.86
2 Lahan pertanian 94.30 11.56
3 Semak belukar 33.46 24.52
4 Lahan terbuka 27.06 37.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Periode 2001-2004 jenis tutupan lahan yang mengalami perubahan yang
paling besar adalah tutupan hutan. Jenis tutupan hutan mengalami penurunan
sebesar 777.70 ha atau rata-rata laju penurunan hutan mencapai 3.23% per tahun.
Jenis tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar adalah tipe
lahan pertanian yang mengalami peningkatan sebesar 185.57 ha atau rata-rata laju
peningkatan lahan pertanian mencapai 12.32%/tahun. Data mengenai laju
perubahan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 10 dan pada Gambar
12.
45

Tabel 10. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -777.70 -3.23
2 Lahan pertanian 185.57 12.32
3 Semak belukar -2.01 -0.66
4 Lahan terbuka -13.46 -7.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Periode 2004-2009 perubahan jenis tutupan lahan yang paling besar terjadi
pada tutupan hutan. Tutupan hutan ini mengalami penurunan yang paling besar
selama periode tahun 1999 sampai tahun 2009. Penurunan tutupan hutan
mencapai 1193.95 ha atau rata-rata sebesar 4.11%/tahun. Jika dibandingkan
dengan laju perubahan tutupan lahan hutan sebesar 8.02%/tahun di Kabupaten
Gorontalo maka laju perubahan tutupan lahan hutan di Kabupaten Bone Bolango
relatif lebih rendah. Tipe tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan yang
cukup besar adalah lahan pertanian sebesar 269.03 ha atau rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 9.78%/tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan lahan
pertanian di HLGD Kabupaten Gorontalo sebesar 7.53% maka tutupan lahan
pertanian di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih besar. Data mengenai
perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar
13.
Tabel 11. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1193.95 -4.12
2 Lahan pertanian 269.03 9.78
3 Semak belukar -54.13 -13.57
4 Lahan terbuka -36.26 -18.17
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Secara umum perbandingan tutupan lahan selama periode 1999-2009 dapat
dilihat pada Gambar 12
46

3000.00
L 2500.00
a
j 2000.00
u
1500.00
2690.35
D
1000.00
e
g 500.00
r 185.57
94.30 33.46 27.06
a 0.00
-309.65Hutan -2.01 -13.46 -36.26
d Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
a -500.00 -541.30
-777.70
s
-1000.00 -1193.95
i
-1500.00
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009

Gambar 10. Grafik laju degradasi tutupan hutan di kawasan HLGD Bone Bolango
Berdasarkan uraian di atas, ancaman terhadap keberadaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango berasal dari pemukiman,
perladangan dan pengambilan kayu secara tidak sah. Aktivitas sistem perladangan
oleh masyarakat, pemukiman dan pengambilan kayu secara tidak sah merupakan
aktivitas yang paling sering ditemukan di HLGD yang masuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Gorontalo, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango
aktivitas yang paling menonjol adalah perladangan berpindah. Aktivitas
perladangan dan pemukiman merupakan aktivitas yang dilakukan sejak lama
bahkan sebelum kawasan HLGD ditunjuk oleh menteri kehutanan menjadi
kawasan lindung. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah terbentuknya desa desa
tersebut. Pada umumnya desa yang terdapat disekitar kawasan HLGD telah ada
sekitar tahun 1800-an. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat diperoleh informasi bahwa terbentuknya pemukiman baru dimasa lalu
selalu disertai dengan pembukaan lahan pertanian untuk mendukung kehidupan
penduduk setempat. Pada umumnya ladang-ladang yang dibuka oleh masyarakat
relatif berdekatan dengan pemukiman penduduk. Pola pemukiman penduduk yang
tinggal di dalam kawasan HLGD menyebar dan tidak terkonsentrasi pada satu
lokasi saja. Aktivitas pengambilan kayu secara tidak sah biasanya terjadi pada saat
pembukaan ladang.
47

Gambar 11. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001
48

Gambar 12. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004
49

Gambar 13. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009
50

b. Debit Air Sungai dan Sedimentasi


Tutupan hutan merupakan salah satu penentu kualitas DAS. Secara umum
kualitas DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo dan DAS Bone di Kabupaten Bone
Bolango tergolong buruk hal ini diindikasikan oleh debit air sungai dan
sedimentasi yang secara kuantitas dan kualitas menurun.. Penunjukkan Hutan
Gunung Damar sebagai kawasan lindung oleh pemerintah merupakan salah satu
keputusan yang dianggap penting untuk melindungi sistem tata air yang ada di
Propinsi Gorontalo. Menurut Lee (1988) vegetasi di dalam kawasan hutan mampu
mengintersepsi butir air hujan mengurangi limpasan permukaan, mengurangi erosi
tanah serta menjaga kelembaban permukaan tanah (Lee, 1988). Berdasarkan hasil
survey dan penelusuran literatur, HLGD merupakan hulu dari 2 sungai besar yaitu
sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Sungai Bolango yang
terletak di Kabupaten Bone Bolango. Keberadaan sungai-sungai ini sangat penting
karena menjadi sumber air baku PDAM dan mengairi sawah. Ketiga sungai ini
mengalir sepanjang tahun dengan rata-rata debit air yang berbeda disetiap
tahunnya. Adapun data fluktuasi debit air sungai tersebut terdapat pada Tabel 12
dibawah ini.
Tabel 12. Debit air Sungai Bionga dan Sungai Bolango
No Rata-rata Debit (m3/detik)
Nama Sungai
2003 2006 2009
1 Sungai Bionga Kabupaten Gorontalo 0.30 0.54 0.50
2 Sungai Bolango Kabupaten Bone Bolango 26.17 28.98 30.10
Sumber: Halida (2008), Balihristi (2008), Balihristi (2009)
Tabel 12 di atas menunjukkan debit air terbesar terdapat di Sungai Bolango
di Kabupaten Bone Bolango. Menurut Balihristi (2009), ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi debit sungai di antaranya luas daerah tangkapan, penutupan
lahan, curah hujan, jenis tanah, topografi serta model pengelolaan lahan. Dari
beberapa faktor tersebut maka luas daerah tangkapan menjadi yang paling
berpengaruh. DAS Bionga memiliki wilayah tangkapan air terluas yaitu 91004 ha
dibandingkan dengan DAS Bolango yang hanya sebesar 52775 ha. Dari luas
tangkapan ini terlihat bahwa DAS Bolango adalah DAS contoh dengan daerah
memberikan debit air yang lebih tinggi dibandingkan kedua DAS lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada unsur lain yang lebih berperan terhadap hasil air selain
luas daerah tangkapan. Penutupan lahan adalah unsur yang dapat diduga
51

mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya
laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga
menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami
penurunan. Menurut Halida (2008) kondisi tutupan hutan primer yang relatif
terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit
air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi
kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah
menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil.
Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen
yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango
Sedimentasi (gram/ha/bulan)
No Nama Sungai
2004 2005
1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 0.73 2.10
2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango 1.47 1.42
Sumber: Halida (2008), BP-DAS Bone Bolango (2009)
Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang
terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS
Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47
gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan
sedimen 2.69%. Peningkatan luas hutan 10% dapat menurunkan sedimen sebesar
5.72%. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan
sebesar 5% di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21%.
Peningkatan luas hutan sebesar 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55%.
Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di
HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha
sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha (BP-DAS Bone Bolango, 2009)
4.2. Situasi HLGD
a. Situasi Ekologi
Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan
yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder
di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan
52

kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan
tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan
kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman
pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan
tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi
dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain
adalah Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaqium amboinansis), Cempaka
(Elmerelia ovalis), Pinus (Pinus merkusii), Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis
mollucana), dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari
mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam (Macaca heckii), babi
hutan (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), sedangkan untuk jenis aves
terdiri dari rangkong (Ryciteros cassidix), Maleo (Macropelon maleo), ayam
hutan (Gallus galus). Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan
dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa (Babyrousa babirusa),
Anoa (Bubalus quarlesi), kuse (Palanger ursinus), tarsius (Tarsius sp) di sekitar
Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD (Maga 2010; Kaipa 2010).
Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang
dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.
Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias.
Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh
tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batang/ha. Sedangkan tanaman
hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun per-
hektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran
tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya
tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus
(Halida et al. 2007). Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada
umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten
Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi
citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum
terganggu oleh aktivitas manusia
53

Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri
hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD
di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa
dilihat pada Tabel 14
Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009
Luas Tutupan Lahan (ha)
No Jenis Penutupan Lahan
Gorontalo Bone Bolango
1 Hutan 3793.42 6056.73
2 Lahan Pertanian 4028.29 956.79
3 Semak 345.09 45.57
4 Lahan Terbuka 122.65 13.63
5 Lainnya 2890.39 1864.52
6 Sub Total Kabupaten 11179.84 8937.26
Luas Total 20117

Data pada Tabel 14 menunjukkan tutupan yang mendominasi di Kabupaten


Gorontalo adalah lahan pertanian seluas 4028.29 ha sedangkan di Kabupaten
Bone Bolango didominasi oleh tutupan lahan hutan seluas 6056.73 ha. Secara
umum luas HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo lebih besar yaitu
seluas 11179.84 ha dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango yang
memiliki luas 8937.26 ha.
Topografi di HLGD bervariasi mulai dari datar sampai curam. Topografi
HLGD di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo pada umumnya
bergelombang, sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango pada umumnya
curam dan hanya sedikit berada pada wilayah yang datar. Di sekitar HLGD
terdapat beberapa desa, total desa yang terdapat di sekitar HLGD adalah 15 desa
yang terdiri dari 6 desa diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan 9 desa di
Kabupaten Bone Bolango. Kelas lereng di HLGD dapat dilihat pada Tabel 15
Tabel 15. Kelas lereng dan luasannya di kawasan HLGD
No Kelas Lereng Luas (ha) Persentase
1 Datar 56.17 0.28
2 Landai 102.16 0.51
3 Agak Curam 433.89 2.16
4 Curam 10077.22 50.09
5 Sangat Curam 9447.56 46.96
Jumlah 20117 100.0
54

Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah lembar Gorontalo 1;250.000


terdapat 2 jenis tanah yang terdapat di HLGD yaitu jenis Tanah Litosol dan Tanah
Podzolik. Jenis Tanah Litosol merupakan tanah yang paling banyak ditemukan di
dalam kawasan hutan lindung, yaitu sebesar 13688.42 ha atau sekitar 68.04%.
Jenis tanah podsolik yang ada di dalam kawasan hutan lindung sekitar 6428.58 ha
atau mencakup sekitar 31.96% dari total luas wilayah hutan lindung. Menurut
Suwardi (2000) Tanah Litosol merupakan jenis tanah dengan lapisan tanah yang
tidak begitu tebal, kurang menyimpan air, sehingga pada kemiringan lereng besar
dan curah hujan besar rentan bencana tanah longsor, akan tetapi jenis tanah ini
agak tahan terhadap erosi. Sedangkan jenis tanah podsolik merupakan jenis tanah
yang berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa
bulan kering, curah hujan lebih 1500 mm/tahun. Tekstur lempung hingga berpasir,
kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering. Kesuburan kimiawi
rendah atau miskin unsur hara, reaksi tanah asam, solumnya dangkal dan mudah
tererosi. Adapun jenis tanah yang di HLGD terdapat pada Tabel 16.
Tabel 16. Jenis tanah dan luasnya di kawasan HLGD
No Jenis Tanah Luas (ha) Persentase
1 Tanah Litosol 13688.42 68.05
2 Tanah Podzolik 6428.58 31.95
Total 20117.00 100.00

Jenis tanah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berpengaruh


terhadap tingkat kedalaman solum tanah, Kedalaman solum tanah di kawasan
HLGD memiliki beberapa tingkatan. Adapun tingkat kedalaman solum tanah
dapat dilihat pada Tabel 17
Tabel 17. Tingkatan kedalaman solum tanah di kawasan HLGD
No Solum Tanah (cm) Luas (ha) Persentase
1 30 – 60 534.54 2.66
2 60 – 90 3376.24 16.78
3 > 90 16206.22 80.56
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa sebagian besar HLGD berada
pada tingkat solum tanah >90 cm atau sekitar 80.56% dari luas wilayah. Solum
tanah ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kawasan ini sangat potensial untuk
55

dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman
semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam
Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan
lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD
berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah.
Menurut Lal (1995) pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas
pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung
yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah
robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem
perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya
kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18
Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD
No Kelas Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase
1 Potensi Erosi berat 10.56 0.05
2 Potensi Erosi Sangat berat 20106.44 99.95
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami
tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena
adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD.
Berdasarkan penelitian Monde (2008) alih guna lahan hutan menjadi lahan
tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal
tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan
tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun
hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran
permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan
ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka
lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat
kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD
No Potensi Lahan Kritis Luas (ha) Persentase
1 Potensi Agak kritis 3425.91 17.03
2 Potensi Kritis 8350.61 41.51
3 Potensi Sangat kritis 8340.48 41.46
Total 20117.00 100.00
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
56

Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup
vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi
kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan < 50%,
wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak
belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak
sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat
sukar untuk direhabilitasi
Keadaan curah hujan diketahui dari 3 (tiga) stasiun klimatologi terdekat
yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan
stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi
penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh
berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data
menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah
hujan sebesar 1.324 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson
termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang
terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim
Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar
Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan
sebesar 1.585 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk
dalam tipe C.
b. Situasi Sosial Ekonomi
Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, ketua adat dan
pemerintah lokal, keberadaan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD
di wilayah Kabupaten Gorontalo telah ada sejak tahun 1305 dimana desa yang
pertama kali terbentuk adalah Desa Talumelito, sedangkan pemukiman yang
pertama kali terbentuk diwilayah Kabupaten Bone Bolango terjadi pada tahun
1815 yaitu Desa Longalo. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penduduk yang
tinggal didesa sampel penelitian berjumlah 9936 jiwa dengan rata rata
pertumbuhan penduduk 1.2% per tahun ditahun 2009. Jumlah penduduk dan
pertumbuhan penduduk di HLGD di desa sampel terdapat pada Tabel 20
57

Tabel 20. Jumlah Penduduk di HLGD berdasarkan sampel desa


No Kabupaten Jumlah Penduduk Pertumbuhan penduduk (%)
1 Gorontalo 5907 1.37
2 Bone Bolango 4029 1.03
Sumber: Monografi desa sampel 2010
Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan HLGD pada umumnya berprofesi
sebagai petani. Mata pencaharian ini menggambarkan tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya alam hutan di HLGD. Selain itu mata
pencaharian penduduk bisa menggambarkan seberapa besar tekanan terhadap
HLGD dan daya dukung lahan disekitar HLGD. Tabel 21 menunjukkan mata
pencaharian pokok penduduk didesa sampel pada umumnya berasal dari sektor
pertanian seperti peternakan, perkebunan, tanaman pangan dan kehutanan.
Tabel 21. Sumber mata pencaharian penduduk di desa sampel di HLGD
No Sektor Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango

1 Pertanian 2377 1820


2 Perdagangan 169 51
3 PNS 33 10
4 Konstruksi 40 44
5 Transportasi 125 51
Jumlah 2744 1976
Sumber: Hasil Olahan BPS 2010
Sebelum ditunjuk sebagai kawasan lindung oleh pemerintah di tahun 1999,
masyarakat yang tinggal disekitar HLGD telah mempraktekkan sistem pertanian
sejak lama. Pemanfaatan lahan-lahan hutan untuk pertanian masih sangat
tradisional. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di desa-desa di wilayah
administrasi Kabupaten Gorontalo menanami kebun mereka dengan tanaman
semusim berupa tanaman jagung, kecuali di Desa Dulamayo Selatan sebagian
besar masyarakatnya telah mempraktekkan sistem kebun campuran (ilengi)
berbasis cengkih, kemiri dan aren. Alasan sebagian besar masyarakat desa
memanfaatkan lahan hutan dengan tanaman semusim di wilayah Kabupaten
Gorontalo karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasilnya.
Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone Bolango memanfaatkan lahan hutan
dengan sistem kebun campuran yang sering disebut dengan ilengi. Pada umumnya
kebun campuran ini merupakan perpaduan antara tanaman jagung dan tanaman
kelapa, aren dan tanaman kemiri. Jagung merupakan tanaman unggulan yang
58

sering ditanam oleh petani di sekitar hutan dan kuantitasnya mengalami


peningkatan sejak ditetapkan program agropolitan berbasis jagung. Berdasarkan
BPS (2010) luas lahan jagung di sekitar HLGD berjumlah 3710.94 ha dengan
total produksi per tahun mencapai 10487.60 ton seperti terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Luas lahan jagung dan produksinya di sekitar HLGD
Luas Panen Produksi per tahun
No Wilayah Luas (ha)
(ha) (ton)
1 Kabupaten Gorontalo 2383.38 2145.79 6673.41
2 Kabupaten Bone Bolango 1327.56 1226.43 3814.19
Jumlah 3710.94 3372.22 10487.60
Sumber: BPS 2010
Peningkatan produksi jagung yang terjadi di sekitar HLGD merupakan
respon petani terhadap kebijakan pemerintah daerah yang menjamin harga jagung
dengan cara membeli jagung tersebut dari petani melalui Badan Usaha Milik
Daerah dan adanya pembagian bibit unggul gratis kepada petani. Sejak
dicanangkan program agropolitan berbasis jagung ditahun 2003 harga jagung
meningkat 52.88%. Program Agropolitan merupakan program pemerintah yang
ingin menjadikan Propinsi Gorontalo menjadi daerah penghasil jagung terbesar di
Indonesia. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Pertanian dan
Tanaman Pangan, jagung yang dari Propinsi Gorontalo telah diekspor ke Malaysia
dan Philipina. Adapun harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango
dapat dilihat pada Tabel 23
Tabel 23. Perkembangan harga jagung di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango
No Tahun Harga Jagung (Rp)
1 2004 899
2 2009 1700
Sumber: BPS 2010
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dikelola oleh petani di HLGD
memberikan kontribusi terhadap tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan
petani disekitar HLGD dapat dijadikan indikator kondisi perekonomian keluarga.
Usahatani perkebunan cengkih kelapa, kemiri dan jagung berkontribusi besar
dalam menunjang perekonomian masyarakat di HLGD. Kondisi tanah yang relatif
subur dengan tingkat curah hujan yang sesuai sangat mendukung bagi usahatani
baik pertanian maupun perkebunan. Rataan tingkat pendapatan petani yang
tinggal di sekitar HLGD disajikan pada Tabel 24.
59

Tabel 24. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Bone Bolango
No Wilayah Pendapatan (Rp/bulan)
1 Kabupaten Gorontalo 1187923
2 Kabupaten Bone Bolango 980188

Secara umum rata-rata tingkat penerimaan petani sampel yang berada di


wilayah HLGD di Kabupaten Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan
pendapatan petani sampel di wilayah HLGD di Kabupaten Bone Bolango. Namun
demikian berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi perekonomian di dua
wilayah relatif tidak berbeda. Indikator-indikator seperti kondisi rumah relatif
hampir sama dikedua wilayah. Sampai saat ini masyarakat masih terus melakukan
sistem peladang berpindah dengan siklus rata-rata di 2 wilayah kabupaten adalah
7 tahun.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa interaksi antara masyarakat
dengan HLGD telah lama terjadi. Interaksi ini terjadi karena faktor kedekatan
jarak rumah penduduk dengan kawasan HLGD. Bahkan terdapat beberapa dusun
di Desa Dulamayo Utara, Desa Malahu dan Desa Dulamayo Selatan yang terdapat
di Kabupaten Gorontalo masuk dalam kawasan HLGD. Semakin dekat jarak
rumah penduduk dengan kawasan HLGD maka semakin besar pula interaksinya
demikian pula sebaliknya. Pemahaman tentang jarak tempat tinggal dengan lahan
usaha tani diperlukan untuk mengetahui kemampuan petani mencapai ladangnya.
Implikasinya dengan mengetahui jarak pemukiman penduduk dan kemampuan
menjelajahnya maka dapat diperkirakan tekanan terhadap HLGD. Adapun rata-
rata jarak pemukiman penduduk dengan HLGD dapat dilihat pada Tabel 25
Tabel 25. Jarak pemukiman desa sampel dengan HLGD di Kabupaten Gorontalo
dan Bone Bolango
No Wilayah Jarak Pemukiman dengan HLGD
1 Kabupaten Gorontalo 0.2 - 1 km
2 Kabupaten Bone Bolango 3 – 4 km

Tersedianya jalan desa di wilayah Kabupaten Gorontalo yang dapat dilalui


oleh kendaraan roda dua seperti ojek telah memudahkan akses masyarakat
terhadap kawasan HLGD, sehingga kegiatan perambahan hutan untuk
membangun ladang baru lebih cepat. Kegiatan perambahan hutan lebih sering
terjadi di wilayah Kabupaten Gorontalo karena jarak pemukiman masyarakat
60

dengan kawasan hutan sangat dekat. Sedangkan di wilayah Kabupaten Bone


Bolango meskipun jaraknya relatif dekat, tetapi akses menuju kawasan HLGD
sangat sulit karena topografi kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango di
dominasi oleh lereng-lereng curam. Pada umumnya masyarakat lebih sering
membuka ladang yang tidak jauh dari jalan atau berdekatan dengan rumah mereka
yang terletak di dalam kawasan HLGD. Hal ini dilakukan untuk lebih mudah
dalam mempersiapkan ladang.
Sistem peladang berpindah dalam masyarakat yang tinggal di kawasan
HLGD terus dipertahankan karena disamping untuk mempertahankan hidup juga
untuk mempertahankan budaya mereka. Disamping memanfaatakan lahan
pertanian, masyarakat memanfaatkan kawasan HLGD untuk mengambil hasil
hutan non kayu seperti rotan, getah, buah bahkan tanaman obat dan beberapa jenis
kayu untuk keperluan konstruksi ringan hingga konstruksi berat. Menurut Halida
et al. (2007) tanaman obat yang sering digunakan oleh masyarakat antara lain sirih
hutan (Piper antunuatum), kayu manis (Cinnamomum burmanii), Tahi ayam
(Lantara camara), Jahe (Zingeber officinale), keladi merah (Anthurium sp),
sedangkan untuk getah yang dimanfaatkan adalah getah damar (Agathis sp) dan
getah pinus (Pinus merkusii). Beberapa jenis buah juga ditemukan dikawasan
HLGD seperti Durian (Durio zibethinus) dan Langsat. Tanaman lain yang juga
sering dimanfaatkan adalah Aren (Arenga piñata) dan Bambu. Aren yang tumbuh
liar di dalam kawasan HLGD dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan
gula aren dan pembuatan arak lokal (Bohito), sedangkan bambu dipergunakan
masyarakat untuk memagari pekarangan rumah dan lahan usaha tani. Masyarakat
yang tinggal di sekitar HLGD juga memanfaatkan beberapa jenis kayu untuk
keperluan konstruksi ringan dan konstruksi berat. Menurut Hiola (2011) terdapat
10 jenis-jenis kayu konstruksi berat dan konstruksi ringan yang sering
dipergunakan oleh masyarakat. Pada umumnya masyarakat hanya memanfaatkan
5 jenis kayu seperti Michelia alba, M. champaca, Callophylum scutellaroides,
Bambusa sp dan Palaqium obavatum. Keputusan masyarakat untuk
memanfaatkan 5 jenis kayu ini didasarkan pada kekuatan dan daya tahan kayu
Sejak ditunjuk sebagai kawasan lindung keberadaan ladang-ladang
masyarakat yang terdapat di dalam kawasan HLGD menimbulkan konflik.
61

Masyarakat menganggap bahwa mereka telah menggarap lahan tersebut sejak


ratusan tahun tetapi oleh pemerintah hal ini tidak diakui karena bertentangan
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Luas lahan konflik dan jumlah kasus
perambahan di HLGD bisa dilihat pada Tabel 26
Tabel 26. Luas lahan konflik dan jumlah gangguan di HLGD
No Wilayah Lahan Konflik (ha)* Jumlah Gangguan**
1 Kabupaten Gorontalo 4028.29 58
2 Kabupaten Bone Bolango 956.79 14
Keterangan: *). Berdasarkan analisis citra landsat 2009, **) Data PPNS Dishut 2010
Menurut (Dolot, 2009) tahapan pembukaan lahan hutan di kawasan HLGD
menurut adat istiadat setempat terdiri dari molulawoto (memilih lokasi), molatato
(membersihkan lahan), motiboto (menebang pohon besar), molumbilo tiboto
(membakar lahan), Mamopomulo lohunggalawa (membersihkan lahan sehabis
dibakar), Mopomulo (menanam) dan Mamomaango (memelihara). Sebelum
mereka membuka lahan hutan biasanya mereka akan berkonsultasi dengan dukun
kampung dan panggoba4 untuk menentukan lokasi dan waktu bercocok tanam
Setelah kegiatan panen selesai, bekas areal peladang tersebut ditanami
dengan kacang-kacangan dan sayuran, ada pula yang dibiarkan menjadi semak
belukar. Menurut Greenland 1987, sistem usaha tani ladang berpindah yang
dipraktekkan oleh masyarakat seperti yang diungkapkan diatas merupakan cara
produksi hasil panen yang konstan dan tidak banyak memerlukan masukan input.
Secara alamiah masa bera pada kegiatan ladang berpindah memungkinkan
pulihnya kembali zat hara yang telah terhisap oleh tanaman sebelumnya. Secara
keseluruhan perilaku masyarakat yang melakukan interaksi dengan HLGD
dilandasi oleh kelembagaan informal berupa adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang secara turun temurun.
Berdasarkan hasil survei, terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan
lahan di luar kawasan hutan. Sistem pemanfaataan lahan pada umumnya
didominasi oleh sistem pertanian tradisional yang berbasis tanaman semusim di
Kabupaten Gorontalo dan kebun campuran di Kabupaten Bone Bolango. Rata-rata
penguasaan kebun atau lahan pertanian berupa ilengi oleh masyarakat yang

4
Panggoba adalah sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut
diwariskan turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan
waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.
62

tinggal disekitar kawasan hutan lindung bervariasi mulai dari 0.952 ha di


Kabupaten Gorontalo dan 1.109 ha di Kabupaten Bone Bolango, seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 27
Tabel 27. Luas kepemilikan lahan diluar kawasan HLGD
No Kabupaten Luas Kepemilikan Lahan (ha/KK)
1 Gorontalo 0.952
2 Bone Bolango 1.109
Rata-rata 1.03
Tingginya interaksi masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD
mengindikasikan masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil perhitungan
indeks kegiatan dasar wilayah menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor
yang paling dominan dibandingkan dengan sektor lain. Indeks sektor pertanian
didesa-desa yang menjadi sampel penelitian rata rata mencapai 2.25 di HLGD
wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo sedangkan di wilayah Kabupaten Bone
Bolango hanya 0.93. Rendahnya indeks sektor pertanian di Kabupaten Bone
Bolango karena faktor lahan yang tidak memungkinkan untuk digarap sebagai
lahan pertanian. Pada umumnya lahan lahan yang terdapat disekitar HLGD
memiliki topografi yang agak curam sampai curam kondisi ini menyebabkan
penduduknya bekerja disektor lain seperti ojek dan tukang bangunan. Data ini
menunjukkan desa-desa yang berada disekitar HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sektor pertanian
dibandingkan di Kabupaten Bone Bolango seperti yang terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Indeks LQ sektor pertanian di sekitar HLGD berdasarkan wilayah
No Wilayah Indeks LQ Sektor Pertanian
1 Kabupaten Gorontalo 2.25
2 Kabupaten Bone Bolango 0.93
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango (2010)
Berkembang pesatnya sektor pertanian di sekitar HLGD belum membuat
daya dukung wilayah menjadi rendah. Berdasarkan hasil survey dan analisis data
memperlihatkan indeks daya dukung di wilayah di Kabupaten Gorontalo
mencapai 0.35 sedangkan di Kabupaten Bone Bolango mencapai 0,34 seperti
yang terlihat pada Tabel 29
63

Tabel 29. Indeks daya dukung wilayah di sekitar HLGD


No Wilayah Indeks Daya Dukung
1 Kabupaten Gorontalo 0.35
2 Kabupaten Bone Bolango 0.34

Menurut Soemarwoto (1991) jika indeks daya dukung lahan < 1 maka lahan
tersebut masih dapat menampung lebih banyak penduduk untuk melaksanakan
aktivitas sosial ekonomi
Berdasarkan data hasil penelitian di wilayah sekitar HLGD masih
ditemukan masyarakat miskin. Pengetahuan terhadap keberadaan penduduk
miskin menjadi sangat penting untuk mengetahui kapasitas masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan meskipun kemiskinan bukan merupakan
wilayah dari pengelolaan hutan. Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan
masyarakat miskin tapi intinya kemiskinan merupakan keadaan dimana
masyarakat kekurangan barang untuk melanjutkan hidupnya. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh keterisolasian, ketidakberdayaan (powerless), buta huruf,
buruknya lingkungan hidup, dan derajat kesehatan yang rendah (World Bank,
2004 dalam Wijayanto 2005). Total jumlah penduduk miskin di sekitar wilayah
HLGD 1429 KK yang tersebar di desa-desa sampel. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada Tabel 30
Tabel 30. Jumlah penduduk miskin di sekitar HLGD
No Wilayah Jumlah Penduduk Miskin (KK)
1 Kabupaten Gorontalo 879
2 Kabupaten Bone Bolango 550
Jumlah 1429

Salah satu dimensi yang bisa dilihat sebagai akar permasalahan kemiskinan
adalah tingkat pendidikan. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan
masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD masih sangat rendah.
Pendidikan yang rendah akan menyebabkan adaptasi masyarakat terhadap
pengetahuan menjadi rendah. Padahal pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat
bisa mengelola sumberdaya alam dengan lebih baik. Menurut Sumardjo et el.
(2008) masyarakat petani yang memiliki pendidikan rendah cenderung
berperilaku untuk mempraktekkan usaha tani ala kadarnya. Kondisi ini
64

menyebabkan potensi kemiskinan akan meningkat. Adapun tingkat pendidikan


masyarakat yang tinggal disekitar HLGD dapat dilihat pada Tabel 31
Tabel 31. Tingkat pendidikan penduduk di sekitar HLGD
No Kabupaten Persentase Kabupaten Persentase
Pendidikan Gorontalo Bone Bolango
1 SD 95 79.16 98 85.96
2 SMP 8 6.66 10 8.77
3 SMA 17 14.16 12 10.52
Jumlah 120 100.00 120 100.00

Kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah yang terjadi pada masyarakat


sekitar HLGD merupakan indikator lemahnya kapasitas masyarakat dan lemahnya
posisi tawar masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan HLGD. Posisi tawar
masyarakat yang tinggal di sekitar HLGD sangat diperlukan untuk menjadi bagian
dalam menentukan kebijakan pengelolaan HLGD.
Meskipun memiliki kapasitas yang rendah namun beberapa kelompok
masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD mempunyai pengetahuan lokal dalam
melestarikan sumberdaya alam seperti di desa-desa yang ada di wilayah
Kabupaten Bone Bolango. Kearifan lokal ini berupa kesepakatan adat, dimana
setiap pasangan yang melakukan pernikahan harus menanam tanaman seperti
kelapa dan kemiri. Kesepakatan ini dipatuhi oleh masyarakat yang berada di
empat desa seperti Desa Mongiilo, Desa Owata di Kabupaten Bone Bolango.
Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebenarnya pernah mengeluarkan SK Bupati
Gorontalo No 54 Tahun 2007 yang mewajibkan para anak sekolah yang lulus
sekolah harus menanam tanaman kehutanan. Surat keputusan yang merupakan
kebijakan Bupati Gorontalo ini tidak efektif karena kurangnya sosialisasi ke
masyarakat dan pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan masyarakat.
Menurut Asikin (2001) lemahnya sensitifitas suatu kebijakan publik disebabkan
salah satunya oleh rendahnya tingkat partisipasi pihak-pihak yang terkait
(stakeholder) di dalam perumusan kebijakan pada semua tahapan. Harus diingat
kebijakan publik merupakan satu set keputusan yang saling terkait, diambil oleh
satu atau sekelompok pihak yang berkepentingan di bidang ini tentang suatu
tujuan dan cara mencapainya. Secara prinsip keputusan ini harus berada dalam
wilayah kendali semua stakeholders tersebut. Kualitas suatu kebijakan dapat
65

diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks
atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan
tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks (substansi), maka proses di
dalam penyusunannya juga memainkan peran penting
c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi
Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya
dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan
HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber
interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah
kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif
institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif
dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren
sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait
dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi,
biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus
1) Biaya ekslusi tinggi
Secara hukum (de jure) HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai
oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan
memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa
berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan
menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena
pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan
pengelolaannya.
Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7
antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Gorontalo adalah 33.93% sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76%. Perubahan tutupan hutan menjadi non
hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi
lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan
pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha
atau 36.03%. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari
66

sektor pertanian dan perkebunan. Indeks LQ sektor pertanian disekitar wilayah


HLGD Kabupaten Gorontalo berjumlah 2.248 artinya masyarakat sangat
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan, masyarakat yang tinggal di
beberapa dusun di desa Dulamayo Utara dan Malahu di Kabupaten Gorontalo
yang lokasinya berada dalam kawasan HLGD memanfaatkan lahan dengan
tanaman semusim seperti jagung dan kacang-kacangan, kecuali di Desa Dulamayo
Selatan masyarakat menanami lahan mereka dengan tanaman cengkih, coklat,
kemiri dan aren. Sedangkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan HLGD di desa-
desa di Kabupaten Bone Bolango pada umumnya merupakan kebun campuran
berbasis tanaman kelapa dan kemiri. Tidak ditemukan adanya pemukiman di
dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango. Situasi di atas menggambarkan
pemanfaatan HLGD di Kabupaten Gorontalo menimbulkan biaya ekslusi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango
Beberapa alasan yang mendasari situasi biaya ekslusi tinggi di HLGD
diwilayah Kabupaten Gorontalo adalah 1) Tidak mungkin memindahkan
pemukiman dan masyarakat yang telah melakukan usaha tani di dalam kawasan
HLGD. Saat ini terdapat pemukiman di tiga desa yaitu Desa Malahu, Desa
Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara yang masuk dalam kawasan HLGD,
sedangkan di Kabupaten Bone Bolango semua desa berada diluar kawasan HLGD
2) Jika dipaksakan akan direlokasi maka pemerintah Kabupaten Gorontalo akan
menanggung biaya yang sangat mahal karena harus mencarikan lahan yang baru
3). Memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Situasi biaya
ekslusi tinggi di kawasan HLGD bisa memunculkan adanya penunggang gratis
(free rider). Kelompok free rider hanya bisa menikmati keuntungan tanpa
berkontribusi dalam pengelolaan sumberdaya tersebut (Pakpahan 1989, Basuni,
2003)
2) Biaya Transaksi
Biaya transaksi dapat didefinisikan sebagai seluruh ongkos yang timbul
karena pertukaran dengan pihak lain. Biaya transaksi sangat mempengaruhi
kinerja kelembagaan. Biaya transaksi merupakan faktor inheren dari situasi yang
dapat menentukan siapa yang menanggung biaya tersebut. Biaya transaksi dapat
67

dibedakan menjadi 3 yaitu; 1) biaya membuat kontrak, 2) biaya informasi dan 3)


biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Menurut Williamson dalam Basuni
(2003) biaya transaksi sulit diukur dan dikuantifikasikan, tetapi biaya transaksi
dapat dideteksi melalui perbandingan institusi. Untuk mendeteksi adanya biaya
transaksi dalam pengelolaan HLGD, dalam Tabel 44 disajikan perbandingan
institusi pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo dengan pengelolaan
HLGD di wilayah Kabupaten Bone Bolango. Berdasarkan perbandingan institusi
tersebut, biaya transaksi tinggi dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
bersumber dari:
a) Panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo hanya 14.65%
sedangkan panjang tata batas kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango
yang telah mencapai 41.18%. Panjang batas kawasan merupakan salah satu
bentuk kontrak antara pemerintah selaku pihak pengelola kawasan dengan
masyarakat sekitar HLGD. Realiasisasi panjang tata batas kawasan HLGD
yang masih rendah di Kabupaten Gorontalo menimbulkan adanya resiko
penunggang gratis (free rider). Berdasarkan hasil pengamatan bentuk free rider
di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo adalah adanya eksploitasi berlebihan
terhadap getah damar dan pengambilan secara berlebihan daun woka
(Livistonia rotundufolia) yang tumbuh liar di dalam kawasan HLGD.
Eksploitasi berlebihan terhadap getah damar, membuat masyarakat kesulitan
mendapatkan kualitas getah damar yang lebih baik. Begitu juga yang terjadi
dengan daun woka, masyarakat sangat kesulitan mencari daun woka yang
umumnya dipergunakan oleh masyarakat sebagai wadah/kemasan dari gula
aren dan sebagai wadah untuk menyimpan makanan
b) Terbatasnya informasi tentang lokasi tata batas kawasan di HLGD Kabupaten
Gorontalo menyebabkan lahan hutan lebih dipersepsikan oleh sebagian anggota
masyarakat sebagai sumberdaya open acces daripada sebagai barang ekslusif,
sumberdaya milik Negara. Hal ini terlihat dari luasnya lahan konflik didalam
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha. Biaya
pemantauan dan penegakan hukum sehubungan dengan perilaku free access
atas sumberdaya hutan dalam kawasan HLGD, dapat berkurang jika ada
68

informasi tentang tata batas kawasan HLGD kepada masyarakat di sekitar


hutan
c) Tingginya kasus perambahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo dibandingan
dengan Kabupaten Bone Bolango mengindikasikan lemahnya penegakan
hukum di Kabupaten Gorontalo. Bukti dari kapasitas pemerintah lemah dalam
melaksanakan penegakan hukum ditunjukkan oleh jumlah kasus pelanggaran
hukum di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yang berhasil diungkap
sebanyak 130 kasus selama hampir 10 tahun. Berdasarkan informasi dari salah
satu anggota polisi hutan dan anggota penyidik pegawai negeri sipil (PPNS)
pada umumnya kasus-kasus tersebut jarang dikenakan sanksi dan pemerintah
daerah memilih untuk menyelesaikan secara kekeluargaan karena ketiadaan
anggaran dalam memproses sebuah kasus. Situasi seperti ini telah membuat
pemerintah daerah melakukan toleransi terhadap penegakan hukum dan oleh
Williamson (1985) akan membuka peluang kolusi antara pengelola dan
pengguna kawasan HLGD. Menurut Van der Berg (2001) dalam Ismanto
(2010) jika penegakan hukum lemah maka secara rasional perilaku individu
akan memaksimumkan keuntungan sendiri dan cenderung bertindak tidak
produktif. Perilaku individu rasional yang dimaksud adalah perilaku dimana
individu akan mengambil yang terbaik pada situasi dimana mereka berada.
Individu-individu yang rasional berupaya mengurangi kerusakan di dalam
situasi yang buruk dan mengambil keuntungan pada kesempatan yang baik
3) Joint Impact Goods
Joint Impact Goods adalah karakteristik sumberdaya dimana sekali
pemanfaatan, maka semua orang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan
dampaknya tanpa mengurangi utilitas orang lain yang memperoleh jasa yang sama
dan sebaliknya. Situasi HLGD merupakan sumberdaya yang dapat menimbulkan
dampak bagi semua pihak. Implikasinya dapat menimbulkan efek positif atau
negatif. Terjadinya alih fungsi hutan di kawasan HLGD menjadi lahan pertanian
dan perkebunan terutama di Kabupaten Gorontalo berdampak pada terjadinya
sedimentasi di daerah aliran sungai, menurunnya debit air dan kehilangan
beberapa satwa yang dilindungi
69

Hasil survei lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan tokoh


masyarakat di Desa Dulamayo Selatan dan Dulamayo Utara menyebutkan debit
air yang berasal dari beberapa sungai kecil yang terdapat di hulu kawasan HLGD
mengalami penurunan terutama saat musim kemarau. Hal ini berdampak pada
kondisi debit air sungai utama yaitu Sungai Bionga yang merupakan sumber air
baku bagi PDAM Kabupaten Gorontalo. Menurut Halida (2008) rata-rata fluktuasi
debit air di Sungai Bionga hanya 0.50 m3/detik jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan rata-rata fluktuai debit air Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango yang
debit airnya mencapai 30.1 m3/detik. Situasi ini tidak saja dirasakan masyarakat di
hulu tetapi juga dirasakan masyarakat di hilir. Dampak negatif lain yang terjadi
akibat konversi hutan di kawasan HLGD adalah sedimentasi. Sedimentasi di
Sungai Bionga yang terletak di Kabupaten Gorontalo juga mengalami peningkatan
menjadi 2.10 gr/ha/bulan. Jika dibandingkan dengan sedimentasi yang terjadi di
Sungai Bolango yang sedimentasinya hanya 1.42 gr/ha/bulan maka sedimentasi di
DAS Bionga lebih tinggi (Halida, 2008). Hasil wawancara yang dilakukan dengan
masyarakat juga terungkap, jika musim hujan datang maka beberapa sungai di
hulu kawasan HLGD menjadi keruh hal yang sama juga dirasakan yang tinggal di
wilayah hilir. Menurut Balihristi (2009) tingginya sedimentasi di Sungai Bionga
menyebabkan sedimentasi di Danau Limboto sebesar 1.75 juta m3. Kondisi ini
menyebabkan Danau Limboto menjadi dangkal dengan kedalaman hanya berkisar
2-3 meter. Dosen dan mahasiswa Jurusan Kehutanan Universitas Gorontalo juga
merasakan dampak akibat perubahan tutupan hutan karena sangat susah
menemukan satwa seperti jenis burung dan mamalia yang menjadi obyek
penelitian di HLGD di Kabupaten Gorontalo. Adapun dampak positif yang
ditimbulkan oleh pembukaan lahan pertanian di kawasan HLGD adalah
tersedianya lapangan kerja baru yaitu jasa ojek yang mengangkut hasil-hasil
pertanian menuju pasar terdekat
4) Inkompatibilitas
Menurut Pakpahan (1989) inkompatibilitas adalah situasi dimana
pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu pihak meniadakan atau
mengurangi pemanfaatan oleh pihak yang lain . Faktor kepemilikan dapat
mengontrol masalah inkompatibilitas selama biaya transaksi rendah. Kepemilikan
70

mendefinisikan siapa yang berhak berpatisipasi dalam keputusan penggunaan


sumberdaya dan siapa yang tidak berhak berpartisipasi dalam penggunaan
sumberdaya bersama. Basuni (2003) mengemukakan faktor kepemilikan hanya
mampu mengendalikan inkompatibilitas tetapi tidak mampu mengendalikan
karakateristik lainnya seperti biaya ekslusi tinggi dan karakteristik lainnya
Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kemudian diikuti dengan
pemukiman di dalam kawasan HLGD menyebabkan fungsi HLGD sebagai
pengatur sistem tata air menjadi terganggu. Berdasarkan hasil survey terdapat 3
desa yang memiliki dusun di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo yaitu:
Desa Malahu, Desa Dulamayo Selatan dan Desa Dulamayo Utara. Keberadaan
desa-desa di dalam kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo telah menyebabkan
prosentasi lahan pertanian meningkat menjadi 36%. Ini menunjukkan masyarakat
yang tinggal disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo memiliki preferensi untuk
mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan
dibandingkan dengan mempertahankan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan.
Perilaku mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terjadi karena masyarakat
belum memahami dengan baik dan benar tentang aturan main dalam pemanfaatan
hutan sebagai indikasi bahwa penggarap mengakui dan menerima aturan main
tersebut
Kemungkinan lain yang menyebabkan pengelolaan hutan inkompatibel
adalah karena pelakunya tidak memiliki perilaku dan kapasitas seperti yang
diharapkan oleh pemerintah (Kartodihardjo 1998). Dalam kaitannya dengan pola
pemanfaatan kawasan HLGD, kemungkinannya penggarap memiliki perilaku dan
kapasitas untuk memanfaatkan lahan hutan dengan pola intensif. Sehingga mereka
akan berusaha mempengaruhi dengan menolak institusi yang ditetapkan.
Penolakan terjadi kemungkinan karena tidak sesuainya strata hak. Menurut
Kartodihardjo (1998) rendahnya strata hak mengakibatkan penggarap lahan tidak
memiliki inovasi untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan seperti
yang diharapkan oleh pemerintah. Dihubungkan dengan pemanfaatan HLGD
rendahnya strata hak mengarahkan perilaku masyarakat yang memanfaatkan lahan
di kawasan HLGD tidak memperlakukan lahan tersebut sebagai asset guna
meningkatkan produktivitas pertanian. Oleh karena itu masyarakat yang
71

memanfaatkan lahan pertanian di dalam kawasan HLGD tidak berusaha


melindungi dan melestarikan kawasan hutan, karena dianggap sebagai
penghambat untuk memaksimalkan keuntungannya
5) Surplus
Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan
atau lokasi lahan tersebut dekat dengan pusat ekonomi. Kondisi surplus
menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada
pengorbanan sedikitpun dari pemiliknya. Kondisi surplus belum menjamin akan
terjadinya peningkatan kesejahteraan bila rente tersebut bukan dimiliki oleh
masyarakat yang berada dikawasan tersebut, tetapi dimiliki pihak lain yang
mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut.
Secara umum nilai surplus sumberdaya lahan disekitar HLGD Kabupaten
Gorontalo lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bone Bolango. Hal ini
bersumber dari jarak lahan tersebut dari pusat ekonomi dan keberadaan komoditi
pertanian di dalam lahan tersebut. Secara umum jarak lahan-lahan pertanian di
sekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo yang dikuasai oleh masyarakat hanya
berjarak 3-5 km dari ibukota Kabupaten Gorontalo. Menurut Pearce and Turner
(1990) nilai sebuah lahan akan sangat ditentukan oleh faktor manusia yaitu ada
tidaknya bangunan dan faktor eksternalitas misalnya kedekatan dengan pusat
ekonomi, bebas banjir dan terdapat akses jalan. Semakin dekat sebuah lahan
dengan pusat ekonomi maka nilai lahan tersebut akan semakin tinggi. Tingginya
nilai lahan disekitar HLGD yang ada di Kabupaten Gorontalo memicu terjadinya
jual beli lahan. Menurut Basuni (2003) fenomena terjadinya jual beli lahan
garapan pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya modal finansial yang dimiliki
oleh para petani pemilik lahan. Umumnya pembeli lahan berasal dari Kota
Gorontalo atau dari kota-kota lain, maka petani setempat yang menjual lahan
garapan berkeyakinan bahwa mereka masih dapat menggarap lahan yang
dijualnya. Situasi ini menghambat peningkatan kesejahteraan petani disekitar
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo. Data menunjukkan bahwa kepemilikan
penduduk desa terhadap lahan disekitar HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo
mencapai 68.33%. Prosentase kepemilikan lahan ini lebih rendah dibandingkan
72

dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone
Bolango yaitu mencapai 89.67%.
4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung
Pengelolaan hutan lindung Gunung Damar tidak terlepas dari ketentuan
ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundangan. Hasil identifikasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
lindung berjumlah 11 peraturan-perundangan yang meliputi 1 surat keputusan
menteri kehutanan, 2 keputusan presiden, 5 peraturan pemerintah dan 3 undang
undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung seperti yang terlihat
pada Tabel 32.
Tabel 32 Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan
perundangan (lihat lampiran 1)
Peraturan
Aspek Isi Interpretasi
Perundangan
Bumi dan air dan Seluruh sumberdaya alam
Hak kekayaan alam yang dikuasai oleh Negara dan
Kepemilikan terkandung didalamnya dipergunakan sebesar
Pasal 33 ayat
Terhadap dikuasai oleh Negara dan besarnya untuk
3 UUD 1945
Kawasan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat
HLGD sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Semua hutan di dalam Penegasan penguasaan
wilayah Republik negara atas kawasan hutan
Pasal 4 UU Indonesia termasuk termasuk potensi
41/1999 kekayaan alam yang sumberdaya alam yang
tentang terkandung di dalamnya terkandung di dalamnya
Kehutanan dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat
Pasal 8 Kriteria yang dipergunakan
Keppres Penunjukkan kawasan dalam penunjukkan
Penetapan 32/1990 hutan lindung didasarkan kawasan hutan lindung
dan tentang pada kriteria kelerengan, belum mempertimbangkan
Pemantapan Pengelolaan jenis tanah,curah hujan faktor sosial misalnya
Kawasan yang melebihi skor 175 adanya pemukiman di
Lindung dalam kawasan hutan
Pasal 24 Kriteria Penetapan Memperkuat
butir 3 PP kawasan hutan lindung Kriteriapenetapan hutan
No 44/2004 didasarkan pada kriteria lindung yang telah
tentang kelerengan, jenis ditetapkan sebelumnya oleh
Perencanaan tanah,curah hujan yang Keppres 32/1990
Kehutanan melebihi skor 175
Pasal 5 Kawasan hutan yang Pemerintah daerah harus
Kepmen ditunjuk harus memenuhi memastikan kawasan hutan
Kehutanan kriteria sebagai berikut yang tunjuk berdasarkan
73

No 32/Kpts- yaitu. a) belum pernah keputusan menteri


II/2001 ditunjuk atau ditetapkan kehutanan atas
tentang Menteri sebagai kawasan rekomendasi
kriteria dan hutan, b) tidak dibebani Bupati/Gubernur tidak
standart hak hak atas tanah, c) tumpang tindih dengan
pengukuhan tergambar dalam peta penggunaan lainnya
kawasan penunjukkan kawasan
hutan hutan dan perairan yang
ditetapkan oleh Menteri
atau RTRWP/RTRWK
Pasal 10 PP Pemerintah daerah Inventarisasi merupakan
44/2004 menyelenggarakan kewenangan Pemerintah
tentang inventarisasi kawasan daerah
Perencanaan hutan sebagai tahap awal
Kehutanan pengukuhan kawasan
hutan
Dalam pelaksanaan Kewenangan penyelesaian
penataan kawasan permasalahan hak hak atas
Pasal 20 PP
permasalahan yang tanah menjadi tanggung
N0 44/2004
berkaitan dengan hak atas jawab pemerintah daerah
tentang
tanah disepanjang trayek
Perencanaan
dan didalam kawasan
Kehutanan
hutan harus diselesaikan
oleh panitia tata batas
Berdasarkan penunjukkan Pemerintah daerah
Pasal 19 PP kawasan maka memiliki kewenangan
No 44/2004 Pemerintah Daerah dalam penataan kawasan
tentang melaksanakan penataan hutan sebelum dikukuhkan
Perencanaan kawasan hutan yang sebagai kawasan hutan oleh
Kehutanan dicantumkan dalam Menteri Kehutanan
RTRW
Pasal 20 PP 15 Pemerintah harus Terbuka peluang
Penetapan 2010 tentang melibatkan partisipasi masyarakat untuk
dan Penyelenggara masyarakat dalam berpartisipasi dalam proses
Pemantapan n Penataan penyusunan konsepsi penyusunan konsepsi
Ruang rencana tata ruang kawasan hutan
Pemerintah daerah harus Menteri Kehutanan
Permenhut
mengkonsultasikan dimungkinkan
28/2009 Tata
PERDA RTRW kepada membatalkan PERDA
cara konsultasi
Menteri Kehutanan RTRW jika tidak sesuai
persetujuan
berkaitan dengan dengan substansi kehutanan
RTRW
substansi kawasan hutan
Penunjukkan suatu Pemerintah pusat masih
Pasal 18 PP kawasan hutan termasuk menganut single player
44/2004 didalamnya adalah dalam penunjukkan
tentang kawasan hutan lindung kawasan hutan meski
Perencanan dilakukan berdasarkan disebutkan penunjukkan
Kehutanan keputusan Menteri kawasan hutan tetap
Kehutanan mempertimbangkan RTRW
Pasal 16 PP Pengukuhan kawasan Kewenangan pengukuhan
44/2004 hutan meliputi: berada ditangan pemerintah
tentang penunjukan kawasan pusat
74

Perencanan hutan, penataan batas,


Kehutanan pemetaan dan penetapan
Pengelolaan Pasal 21 UU Pengelolaan hutan Pengelolaan hutan
41/1999 meliputi: a) tata hutan ditujukan untuk
tentang dan penyusunan rencana memperoleh manfaat yang
Kehutanan pengelolaan hutan, b) sebesar besarnya serta
pemanfaatan hutan dan serbaguna dan lestari untuk
penggunaan kawasan kemakmuran rakyat
hutan, c) rehabilitasi dan
reklamasi hutan, dan d)
perlindungan hutan dan
konservasi alam
Pasal 23 PP Pemanfaatan Hutan Menegaskan bahwa hutan
No 6/2007 tata lindung hanya lindung hanya bisa
hutan dan diperkanankan untuk dimanfaatkan untuk jasa
rencana pemanfaatan kawasan, lingkungan, pemanfaatan
pengelolaan pemanfaatan jasa kawasan
hutan serta lingkungan dan
pemanfaatanny pemanfaatan hasil hutan
a bukan kayu
Pasal 2 Perpres Kawasan hutan lindung Keputusan ini bertentangan
No 28/2011 dapat dimanfaatkan dengan Pasal 23 PP No
Penggunaan untuk pertambangan 6/2007 jo PP No 3/2008
HL untuk bawah tanah
Pertambangan
Bawah Tanah
Pengelolaan Pasal 4 PP No Didalam hutan lindung Keputusan ini bertentangan
24/2010 dapat dibangun kegiatan dengan Pasal 23 PP No
tentang religi, pertambangan, 6/2007 jo PP No 3/2008
Penggunaan instalasi pembangkit,
Kawasan transmisi, dan distribusi
Hutan listrik serta teknologi
energi baru dan
terbarukan,
pembangunan jaringan
telekomunikasi, stasiun
pemancar radiodan
televise sarana
transportasi yang bukan
transportasi umum,
sarana dan prasarana
sumber daya air
fasilitas umum, industri
terkait kehutanan,
pertahanan dan
keamanan, prasarana
keselamatan umum dan
penampungan korban
bencana alam
Pasal 2 ayat 4 Pemerintah Kewenangan yang
PP 38/2007 menyerahkan 31 dimaksud hanya berupa
tentang kewenangan urusan permintaan pertimbangan
75

Pembagian pemerintahan kepada teknis yang bersifat


Kewenangan daerah termasuk administrative berkaitan
antara kewenangan dengan substansi kehutanan
Pemerintah pengelolaan kehutanan tanpa berhak memutuskan.
pusat, kepada daerah Keputusan akhir tetap
pemerintah berada ditangan pemerintah
provinsi dan pusat
pemerintah
kabupaten/kota
Pasal 123 PP Dimungkinkan untuk
6/2007 tata Kewenangan pembinaan melakukan koordinasi
hutan dan dan pengawasan berada pembinaan dan pengawasan
Pembinaan
rencana ditangan pemerintah, antar institusi pemerintah
dan
pengelolaan Gubernur untuk tingkat
Pengawasan
hutan serta provinsi, Bupati untuk
pemanfaatanny tingkat kabupaten
a
Pemerintah, pemerintah Pengawasan secara
Pasal 60 UU daerah, masyarakat kolaboratif sangat
41/1999 maupun perorangan dimungkinkan
tentang wajib berperan serta
Kehutanan dalam pengawasan
hutan
Pemerintah daerah wajib Pemerintah daerah
Pasal 15 dan
membuat Kajian memiliki kewenangan
19 UU 32/
Lingkungan Hidup dalam menentukan norma
Pembinaan 2009 tentang
Strategis Untuk atau aturan dalam rangka
dan Perlindungan
menjamin kelestarian memantau dampak
Pengawasan dan
lingkungan hidup setiap pemanfaatan ruang
Pengelolaan
perencanaan ruang termasuk pemanfaatan
Lingkungan
wajib hutan lindung
Pasal 48-49 PP Pembinaan terhadap Ketentuan mengenai
45/2004 pengelolaan hutan pengawasan belum diatur
tentang terdiri dari pedoman, dalam peraturan
Perlindungan bimbingan, pelatihan, perundangan
Hutan arahan, supervise

Berikut ini uraian dari ketentuan ketentuan mengenai tahapan kegiatan


dalam penyelenggaraan hutan lindung
a. Hak kepemilikan (property rights) atas kawasan HLGD
Pasal 4 UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa
Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan ini merupakan turunan dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang
menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
76

rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung
Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak
pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) maka negara
selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1) hak
akses (acces rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2) hak
memanfaatkan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit
sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3) hak pengelolaan
(management rights) hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4) hak
ekslusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5) hak
pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai
oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya
tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan
aturan main penggunanya (Asikin, 2001). Dalam pengelolaan sumberdaya CPR
secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom
(1990) mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai
kinerja optimal antara lain 1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal 2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian
besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3) monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5) terdapat sanksi bagi bagi yang
tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo (2010) mengemukakan
kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan
masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha
masyarakat agar menjadi pelindung SDA.
b. Penetapan dan pemantapan hutan lindung
Menurut Sadino (2006) penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan
yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya
sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain
77

penetapan kawasan hutan merupakan penegasan tentang kepastian hukum


mengenai status, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang telah ditunjuk
berdasarkan keputusan hukum yang bersifat mengikat, sedangkan pemantapan
kawasan hutan adalah proses negosiasi kawasan hutan yang diarahkan untuk
memperoleh legitimasi dari individu atau kelompok masyarakat dan organisasi.
Proses kegiatan penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung dimulai
dengan inventarisasi kawasan. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan maksud
untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya,
potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Ascher (1993)
mengatakan ketersediaan informasi sumberdaya hutan menjadi penting untuk
memastikan kepastian dalam hasil pengukuran kerja atau kinerja. Selama ini
pemerintah tidak menguasai data dan informasi tentang kondisi hutan sehingga
pengetahuan yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas.
Setelah proses inventarisasi hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah selesai maka Menteri Kehutanan menunjuk kawasan hutan atas
rekomendasi Gubernur dan memperhatikan RTRW dan atau paduserasi TGHK
dan RTRW. Proses penyusunan RTRW yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam rangka menentukan peruntukkan kawasan termasuk kawasan hutan harus
melibatkan partisipasi masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 20 PP 15
2010 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang. Namun fakta di lapangan
menunjukkan kegiatan penyusunan RTRW diserahkan kepada konsultan ahli
perencanaan yang cenderung bekerja tanpa melibatkan masyarakat sejak awal.
Pelibatan masyarakat hanya dilakukan pada saat konsultasi publik setelah RTRW
selesai dibuat. Setelah proses administrasi pengesahan RTRW selesai maka
pemerintah daerah harus mengkonsultasikan RTRW tersebut dengan pihak-pihak
terkait termasuk menteri kehutanan dalam rangka konsultasi tentang substansi
masalah kehutanan sesuai dengan Permenhut 28/2009 tentang Tata Cara
Konsultasi Persetujuan Subtansi Kehutanan dalam RTRW. Dalam proses ini
menteri kehutanan dapat membatalkan RTRW tersebut jika terdapat
ketidaksesuaian masalah substansi kehutanan
Ketentuan penunjukkan kawasan hutan lindung didasarkan pada kriteria
yang terdapat pada pasal 24 ayat 3 butir b PP No 44 tahun 2004 tentang
78

perencanaan hutan dimana menyebutkan kawasan hutan dengan faktor


kelerengan, jenis tanah, curah hujan melebihi skor 175 dan/atau kawasan hutan
yang memiliki kelerengan lapangan 40% atau lebih dan atau kawasan hutan yang
memiliki ketinggian diatas 2000 mdpl atau lebih, kawasan hutan yang memiliki
jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15%,
kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air dan kawasan hutan yang
merupakan perlindungan pantai. Selain memperhatikan status kawasan,
penunjukkan kawasan hutan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 5 Keputusan Menteri Kehutanan No 32/Kpts-II/2001
tentang kriteria dan standart pengukuhan kawasan hutan pasal 5 disebutkan bahwa
kawasan hutan yang ditunjuk harus memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu. a)
belum pernah ditunjuk atau ditetapkan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak
dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar dalam peta penunjukkan kawasan hutan
dan perairan yang ditetapkan oleh Menteri atau RTRWP/RTRWK.
Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan penataan batas
yang terdiri dari pemancangan patok batas sementara, penyelesaian hak-hak pihak
ketiga, penyusunan berita acara pengakuan masyarakat disekitar area batas,
penyusunan berita acara pemancangan batas patok sementara, pemasangan pal
batas, pemetaan hasil penataan batas, pembuatan dan penandatanganan berita
acara tata batas, pelaporan kepada menteri kehutanan dengan tembusan kepada
gubernur. Setelah tata batas dilakukan maka menteri menetapkan kawasan hutan
yang telah temu gelang.
Berdasarkan hasil analisis terhadap peraturan perundangan yang berkaitan
dengan pemantapan dan penetapan kawasan hutan maka dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut;
1) Proses penetapan dan pemantapan kawasan hutan lindung hanya memuat
berbagai prosedur yang sifatnya administratif, belum ada mekanisme yang
merancang sanksi dan insentif yang mendorong pemerintah daerah
merumuskan program untuk mengoptimalisasi pengelolaan dan
pemanfaatan hutan lindung sebagai contoh aturan formal penunjukkan
HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai pemberi
rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan. Situasi ini
79

menyebabkan menjadi berlarut-larutnya proses pengukuhan hutan. Semakin


lamanya proses pengukuhan kawasan hutan berakibat pada ketidakpastian
kawasan hutan. Menurut Contreras et al (2006) ketidakpastian hak-hak
sebagai akibat dari tidak jelasnya batas batas kawasan hutan berpotensi
menimbulkan konflik dan masyarakat akan memandang kawasan hutan
adalah sumberdaya yang “open acces”
2) Proses pengusulan penunjukkan kawasan hutan lindung oleh pemerintah
daerah yang tertuang dalam RTRW hanya mengacu pada kriteria biofisik
sesuai pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan
belum memperhatikan aspek sosial, sehingga terjadi tumpang tindih antara
kawasan hutan dan penggunaan lainnya seperti pemukiman rumah-rumah
permanen dan kampung-kampung (dusun, rumah tangga, desa) yang ada di
dalam kawasan hutan.
3) Pemerintah daerah belum menjalankan prosedur pada undang-undang
penataan ruang, yakni pentingnya partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan penetapan kawasan
hutan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kontrol
terhadap isi dan pelaksanaan program pembangunan yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Menurut Singletton (1999) bentuk partisipasi merupakan
salah satu bentuk aksi kolektif yang dapat mengendalikan perilaku
opportunistik dan dapat juga menghilangkan penumpang gratis (free rider)
dari anggota kelompok serta dapat mengurangi biaya transaksi
4) Sampai saat ini belum ditemukan peraturan yang secara khusus mengatur
proses penyelesaian hak-hak pihak ketiga disepanjang trayek batas dan di
dalam kawasan hutan. Sehingga belum ada ruang bagi pelaksana di
lapangan untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan hak-hak tata
batas. Ketentuan yang ada hanyalah menegaskan bahwa permasalahan
mengenai hak atas lahan baik sepanjang batas kawasan hutan maupun di
dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab panitia tata batas yang
dibentuk oleh Bupati. Implikasi di lapangan adalah pemerintah daerah
dalam hal ini Dinas Kehutanan belum bisa merumuskan bentuk-bentuk
penyelesaian hak-hak pihak ketiga
80

c. Pengelolaan hutan lindung


Landasan hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya hutan termasuk
hutan lindung tertuang dalam pasal 21 Undang-Undang Kehutanan Nomor
41/1999. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pengelolaan hutan meliputi: a)
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b) pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan, c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan d)
perlindungan hutan dan konservasi alam. Ketentuan ini kemudian dijabarkan
secara teknis melalui PP 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan rencana pengelolaan
hutan serta pemanfaatan hutan. Dalam ketentuan yang tercantum dalam PP No 6
tahun 2007 menyebutkan kegiatan tata hutan dan perencanaan meliputi kegiatan
tata batas, inventarisasi, pembagian dalam blok/zona pengelolaan dan pemetaan.
Setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka pengelola kawasan hutan diwajibkan
untuk menyusun rencana pengelolaan jangka pendek dan jangka menengah.
Dokumen rencana pengelolaan hutan baik jangka pendek maupun jangka
menengah harus memiliki strategi kelayakan pemanfaatan, rehabilitasi dan
perlindungan kawasan hutan.
Sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan lindung, maka pengelolaan hutan
lindung diarahkan untuk pemanfaataan hasil hutan bukan kayu sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam pasal 23 Dalam PP No 6 tahun 2007, akan tetapi
ketentuan ini menjadi tidak jelas saat pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden No 28 tahun 2011 tentang penggunaan kawasan hutan lindung untuk
penambangan bawah tanah dan PP No 24 tahun 2004 tentang tentang Penggunaan
Kawasan Hutan. Dalam pasal 4 PP No 24 tahun 2010 disebutkan bahwa didalam
kawasan hutan lindung dapat dibangun seperti jalan umum, fasilitas umum,
instalasi air, stasiun relay dan lain lain. Ketentuan ini telah disalah artikan oleh
pemerintah daerah sebagai contoh pemerintah Kabupaten Gorontalo membangun
membangun kantor desa, membangun sekolah bagi masyarakat yang tinggal di
kawasan hutan lindung seperti yang terjadi di dalam kawasan HLGD.
Pembangunan berbagai fasilitas didalam kawasan HLGD secara tidak langsung
telah melegitimasi keberadaan mereka di dalam kawasan hutan lindung. Situasi ini
akan semakin mempersulit posisi pemerintah selaku penguasa atas lahan yang ada
81

dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan HLGD.
Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan lindung.
Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan
hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 41/1999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007.
Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi :
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian
perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang
tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa
lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam
pengelolaan hutan lindung adalah :
a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung.
b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung.
c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung.
d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung.
e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) dan pengesahan
rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan.
f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan.
g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) dan
lima tahunan (jangka menengah) unit pemanfaatan hutan lindung.
h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan
lindung.
i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan
hutan lindung
Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat
komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh
pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan
lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), yang
dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati (2010) yang menyatakan bahwa belum
dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam
82

pengelolaan hutan lindung telah membuat pengelolaan dan pemanfaatan hutan


lindung seperti di Kabupaten Tanjung Jabung, Kabupaten Sorolangun dan
Kabupaten Solok belum berjalan optimal
Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan seperti yang telah disebutkan
diatas maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Mekanisme pengelolaan hutan lindung antara pemerintah daerah dan
pemerintah pusat masih lebih banyak mengatur hal-hal yang bersifat
instruksi yang sangat birokratis dan belum menyentuh penguatan
pengelolaan hutan dan status hutan lindung sehingga tidak mendorong
upaya untuk melestarikan hutan. Menurut Khan et al (2004) kebijakan
pengelolaan kehutanan yang lebih menekankan aspek teknis dan sangat
birokratis akan berakibat pada inefisiensi dan menimbulkan biaya ekonomi
tinggi
2. Beberapa peraturan perundangan tidak konsisten dengan peraturan di
atasnya sehingga menyulitkan pemerintah mencapai kinerja yang
diinginkan. Situasi ini bisa menimbulkan konflik yang disebabkan karena
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sesuai dengan
temuan beberapa kajian tata kelola kehutanan menghasilkan kesimpulan
antara lain, peraturan perundangan tentang kehutanan Indonesia cenderung
simpang siur tumpang tindih (Ginoga et al 2005). Peraturan yang tidak
konsisten akan berakibat pada melemahnya penegakan hukum sehingga
akan memicu perilaku oportunistik individu atau kelompok dalam
memanfaatkan hasil hutan sebagai contoh diperbolehkannya penambangan
di kawasan hutan lindung dikhawatirkan hanya akan menjadi dalih agar bisa
mengeksploitasi kayu dari dalam kawasan hutan lindung yang selama ini
masih relatif baik.
3. Pengelolaan hutan lindung masih dikelola secara sentralistik hal ini terlihat
dari dominasinya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan
pengelolaan hutan lindung, sedangkan pemerintah daerah hanya
ditempatkan sebagai pemberi rekomendasi dan lebih bersifat administrasi
tanpa diberi kewenangan untuk memutuskan. Menurut Steni (2004)
desentralisasi yang terjadi di Indonesia terutama dalam pengelolaan SDA
83

lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih
banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara
politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat
di daerah. Sehingga McCarthy (2004) menyimpulkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan “good
governance”
d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung
Pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan hutan ditujukan
untuk menjaga tertibnya pelaksanaan pengelolaan hutan. Berdasarkan PP 6/2007
pasal 123 menyatakan bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan
dilaksanakan oleh Menteri untuk mengendalikan kebijakan kehutanan yang
dilakanakan oleh Gubernur, Bupat/Walikota. Kegiatan pembinaan dan
pengawasan ini meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan,
supervisi, monitoring dan/atau evaluasi yang berkaitan dengan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bimbingan penyusunan
prosedur dan tata kerja, pelatihan sumber daya manusia dan aparatur, arahan
penyusunan rencana program dan penilaian pengelolaan hutan lestari secara
periodik. Hal yang sama juga dikemukakan dalam PP 45/2004 tentang
perlindungan hutan pasal 48 dan 49. Sampai saat ini baik pemerintah kabupaten
Gorontalo dan Bone Bolango belum sepenuhnya menjalankan kewenangan dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan lindung
Gunung Damar. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepedulian pemerintah
daerah dalam melakukan pengawasan terhadap batas yurisdiksinya dan rendahnya
kepedulian pemerintah daerah dalam mengamankan hak kepemilikannya terhadap
kawasan. Situasi seperti ini bisa membuka peluang perilaku oportunistik
masyarakat yang tinggal sekitar HLGD untuk memanfaatkan sumberdaya HLGD
tanpa berusaha untuk melestarikannya. Ketentuan mengenai kegiatan pembinaan
dan pengawasan juga telah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban
melakukan pengawasan, namun tidak ada ketentuan yang dapat memperkuat
posisi masyarakat sehingga sangat sulit untuk membuat pengawasan masyarakat
dapat berjalan efektif. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kewenangan
pembinaan dan pengawasan adalah minimnya SDM dan pendanaan dalam
84

4.4. Perilaku Stakeholder di Hutan Lindung Gunung Damar


a. Stakeholders di HLGD
Secara etimologis stakeholders dapat dimaknai sebagai sebagai pihak pihak
dari luar organisasi yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap kinerja,
keberadaan dan keberlangsungan organisasi. Menurut Asikin (2001) stakeholder
adalah semua pihak yang kepentingannya terpengaruh oleh dampak, baik positif
maupun negatif, yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan. Pihak yang terpengaruh
dampak ini dibedakan menjadi tiga bagian, yakni stakeholders utama dan kunci;
serta stakeholder pendukung. Sedangkan Mitchell et al 1997 dalam Sundawati
dan Askadi 2008) mengemukakan stakeholder merupakan kelompok individu
yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Brown et al. (2001) juga menambahkan bahwa analisis stakeholder merupakan
pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh di
dalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan sistem menilai kemungkinan
konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok berkepentingan.
Hasil identifikasi stakeholder, terdapat 18 stakeholder di Kabupaten
Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yang berkepentingan
dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat dilihat pada Tabel 33
Tabel 33. Daftar Stakeholder yang terlibat dalam Pengelolaan HLGD
No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
1 BKSDA Sulawesi Utara BKSDA Sulawesi Utara
2 BPKH Wilayh XV Gorontalo BPKH Wilayh XV Gorontalo
3 BP-DAS Bone Bolango BP-DAS Bone Bolango
4 Dinas Kehutanan dan Pertambangan Dinas Kehutanan dan Pertambangan
Energi Energi
5 Badan Perencanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan
Pembangunan Daerah Pembangunan Daerah
6 Dinas Pekerjaan Umum Dinas Pekerjaan Umum
7 Badan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup
8 DPRD DPRD
10 PDAM PDAM
11 Dinas Pertanian dan Tanaman Lembaga Donor EGSLP
Pangan
12 Badan Penyuluh Kehutanan Tokoh Masyarakat
85

Lanjutan Tabel 33
No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
13 Polisi Kehutanan Masyarakat lokal sekitar HLGD
14 Universitas Gorontalo Polisi Kehutanan
15 LSM Komunitas untuk Bumi
16 Lembaga Donor EGSLP
17 Tokoh Masyarakat
18 Masyarakat lokal sekitar HLGD

Berdasarkan daftar stakeholder yang tertulis diatas terlihat pengelolaan


HLGD melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat lokal. Beragamnya stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan HLGD dengan berbagai kepentingannya akan
membawa konsekwensi terhadap semakin kompleksnya pengelolaan HLGD, oleh
karena itu diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur perilaku stakeholder
agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan HLGD sesuai
dengan tujuan pengelolaan hutan lindung yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan
b. Tugas Pokok Stakeholder
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia tugas pokok merupakan sasaran
utama yang dibebankan kepada organisasi untuk dicapai. Analisis tugas pokok
diperlukan untuk melihat sejauh mana kewenangan organisasi pemerintah daerah
dalam pengelolaan HLGD sekaligus melihat sejauh mana kepentingan dan
pengaruh organisasi pemerintah dalam pengelolaan HLGD. Tugas pokok suatu
organisasi akan menentukan pola koordinasi antar organisasi karena berkaitan
dengan hak dan tanggung jawab organisasi dan bentuk keterlibatan sebuah
organisasi dalam suatu kegiatan. Selanjutnya pendapat Uphoff (1986) menyatakan
bahwa kinerja suatu institusi dapat diukur melalui bagaimana institusi dapat
menyelesaikan tugas pokoknya. Adapun tugas pokok stakeholder di Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang terlibat dalam pengelolaan HLGD
dapat dilihat pada Tabel 34 dan Tabel 35
86

Tabel 34. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di


Kabupaten Gorontalo
Stakeholder Tugas Pokok
1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan
kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman
wisata alam, dan taman buru,
2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya
dan hutan lindung serta
3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar
kawasan konservasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Permenhut
02/Menhut-II/2007)
2. BPKH Wilayah XV Gorontalo 1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan
kawasan hutan,
2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan
wilayah,
3. penyiapan data perubahan fungsi serta
perubahan status/peruntukan kawasan hutan,
4. penyajian data dan informasi pemanfaatan
kawasan hutan,
5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan
penyajian data informasi sumberdaya hutan
(Permenhut 13/Menhut-II/2011)
3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana,
pengembangan kelembagaan dan evaluasi
pengelolaan DAS (Permenhut 15/Menhut-II/2007)
4. Dinas Kehutanan dan 1. Penyiapan bahan rancangan teknis RHL,
Pertambangan Energi Bimbingan Teknis RHL
2. Penataan lahan dan konservasi
3. Pengembangan dan pengelolaan peredaran hasil
hutan
4. Menyelenggarakan pelatihan masyarakat dan
perizinan dibidang pertambangan
5. Penyiapan rancangan teknis pertambangan dan
energy
6. Inventarisasi potensi tambang
7. Bimbingan teknis, pengawasan dan penelitian
pengembangan (Perda No 35/2007)
5. Kepala Desa Memberikan pelayanan, pembinaan dan
pengawasan kepada masyarakat (PP 72 tahun
2005)
6. Badan Perencanaan Membantu kepala daerah dalam Penyelenggaraan
Pembangunan Daerah pemerintahan daerah dibidang perencanaan
(BAPPEDA) pembangunan, penelitian dan pengembangan
daerah (Perda 16/2007)
7. Dinas Pekerjaan Umum Melaksanakan sebagian kewenangan di dinas PU
Bidang Penataan Ruang dan Menyusun perencanaan penataan ruang (Perda
No 33/2007)
87

Lanjutan Tabel 34
Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada
lingkup pengelolaan lingkungan hidup,
Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Perda No 18/2007)
9. DPRD Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)
10. Dinas Pertanian dan Tanaman Melaksanakan kewenangan desentralisasi
Pangan dibidang pertanian (Perda No 33/2007)
11. Badan Penyuluh Pertanian Membantu Kepala Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang
Penyuluhan (Perda No 4/2008)
12. PDAM Membantu pemerintah daerah dalam peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang air
bersih (Perda No 6/1993)
13. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan
serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan
No. 55/KEP/M.PAN/7/2003)
14. Lembaga Donor EGSLP. 1. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan
sumber daya alam pada DAS dan menunjukan
pemecahannya bagi isu-isu pengelolaan sumber
daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan
diimplementasikan oleh pemangku kepentingan
kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS;
2. Memperkuat institusi tatakelola lingkungan dan
prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan
propinsi.
15. Universitas Gorontalo Melaksanakan tridharma perguruan tinggi;
pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat (Pasal 3 PP No 60/1999)
16. Komunitas untuk Melaksanakan advokasi dan kampanye
Bumi/KUBU (LSM)
sumberdaya alam

Tabel 35. Stakeholders dan Tugas Pokoknya dalam pengelolaan HLGD di


Kabupaten Bone Bolango
I. Stakeholder Tugas Pokok
1. BKSDA Sulawesi Utara 1. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan
cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam,
dan taman buru,
2. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan
hutan lindung serta
3. Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan
konservasi berdasarkan peraturan perundang-
88

undangan yang berlaku (Permenhut 02/Menhut-


II/2007)
2. BPKH Wilayah XV 1. Mempunyai tugas melaksanakan pengukuhan
kawasan hutan,
2. penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah,
3. penyiapan data perubahan fungsi serta perubahan
status/peruntukan kawasan hutan,
4. penyajian data dan informasi pemanfaatan kawasan
hutan,
5. penilaian penggunaan kawasan hutan, dan
penyajian data informasi sumberdaya hutan
(Permenhut 13/Menhut-II/2011)
3. BP-DAS Bone Bolango Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan
kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS
(Permenhut 15/Menhut-II/2007)
4. Dinas Kehutanan dan Melaksanakan urusan pemerintahan daerah
Pertambangan Energi berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di
bidang Kehutanan, Pertambangan dan energy:
1. Penyelenggaraan, inventarisasi pemetaan hutan,
pertambangan dan Energi.
2. penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi,
penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan
lindung serta batas wilayah pertambangan
3. penyelenggaraan pembentukan wilayah utama hutan
raya, wilayah pertambangan sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Daerah ;
4. pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan
kawasan hutan dan pertambangan kecuali kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman
buru;
5. penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi,
produktivitas lahan pada Daerah Aliran Sungai ;
6. Pemberian ijin dan pengawasan pemanfaatan jasa
lingkungan hutan dan wilayah pertambangan.
7. Pengesahan rencana tebang hutan;
8. Pemberian ijin dan pengawasan usaha pemanfaatan
hutan PSDH, dana reboisasi dan dana investasi untuk
biaya pelestarian hutan (Perda 12/2005)
5. Kepala Desa Melaksanakan tugas administrasi pemerintahan desa
(PP 72 tahun 2005)
6. Badan Perencanaan Membantu pemerintah daerah dibidang perencanaan
Pembangunan Daerah pembangunan, Menyusun dan melaksanakan kebijakan
(BAPPEDA) daerah dalam bidang perencanaan pembangunan
daerah (Perda 14/2005)
7. Dinas Pekerjaan Umum Melaksanakan penataan ruang dan membangun
Bidang Penataan Ruang infrastruktur (Perbup No19/2011)
89

Lanjutan Tabel 35
II. Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan
lingkungan hidup:
1. Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan teknis Bidang Lingkungan
Hidup
2. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
dan Tata Lingkungan, termasuk Penataan Ruang
Terbuka Hijau
3. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Pengendalian, Pengawasan Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan
4. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Kebersihan (Perda No 10/2010)
9. DPRD Penyusunan kebijakan daerah tentang lingkungan
hidup (Pasal 24 UU 32/2004)
10. PDAM Optimalisasi pelayanan air bersih dalam rangka
memaksimalkan PAD (Perda 11/2011)
11. Lembaga Donor EGSLP. a. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber
daya alam pada DAS terpilih dan menunjukan
pemecahan yang berkelanjutan bagi isu-isu
pengelolaan lingkungan an sumber daya alam
prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan
oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat
masyarakat (desa) dan DAS;
b. Memperkuat dan institusionalisasi struktur tatakelola
lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa,
kabupaten dan propinsi.
12. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta
peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)

Mengacu pada Bryson (2003) dilakukan identifikasi kesesuaian tugas pokok


dengan metode 4Rs (Rights, Responsibility, Reward and Relationship). Metode
4Rs merupakan tools untuk memperjelas hak dan tanggung jawab serta bentuk
interaksi yang dijalankan oleh stakeholder dalam pengelolaan HLGD berdasarkan
tugas pokoknya. Adapun kejelasan hak dan tanggung jawab serta bentuk interaksi
90

berdasarkan metode 4Rs untuk wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten


Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 36 dibawah ini dan Tabel 37 dihalaman
selanjutnya
Tabel 36. Stakeholders pengguna dan yang menikmati sumberdaya HLGD serta
terlibat dalam kegiatan teknis dan di Kabupaten Gorontalo dan Bone
Bolango
Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship
I. Kabupaten
Gorontalo
1. Masyarakat Menikmati Ikut Meningkatnya Terlibat
lokal sumberdaya memelihara kesejahteraan dalam
2. PDAM yang dan menjaga masyarakat di kegiatan
dihasilkan kawasan hutan dalam dan teknis
II. Kabupaten oleh HLGD dari gangguan disekitar kehutanan
Bone Bolango Memperoleh dan perusakan kawasan melalui
1. Masyarakat izin Melakukan HLGD dukungan
2. PDAM pemanfaatan pengawasan Mendapatkan tenaga kerja
Mengetahui terhadap keuntungan Dapat
rencana pelaksanaan dengan menyiapkan
peruntukkan pembangunan penjualan hasil dukungan
hutan, kehutanan hutan bukan dana
pemanfaatan Melakukan kayu Menyediaka
hasil hutan kegiatan teknis Mendapatkan n informasi
Memberi yang pengetahuan yang
informasi dan menunjang baru melalui berkaitan
pertimbangan pemanfataan kegiatan riset dengan
dalam HLGD pengelolaan
pengelolaan HLGD
HLGD

Berdasarkan identifikasi masing masing stakeholder seperti yang terlihat


pada Tabel 36 terdapat stakeholder di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone
Bolango yang terdiri dari Masyarakat lokal dan PDAM yang menikmati
sumberdaya yang dihasilkan oleh HLGD. Sedangkan kewajibannya adalah ikut
menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan, melakukan kegiatan teknis
pemanfataan HLGD, penyediaan tenaga kerja, memberikan informasi dan
penyediaan dana pengelolaan HLGD.
91

Tabel 37. Stakeholders Pengelola, Penyedia Pedoman dan Pengawasan


Pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango
Stakeholder Rights Responsibility Rewards Relationship
1. BKSDA,
2. BPKH Memberi dan Melakukan Meningkatnya Menyiapka
Wilayah XV mencabut pengelolaan PAD n norma,
Gorontalo izin hutan secara Terwujudnya standar,
3. BP-DAS Bone pemanfaatan lestari visi misi pedoman
Bolango Melakukan Melaksanakan organisasi dan kriteria
4. Dinas pengelolaan kewenangan Menikmati pengelolaan
Kehutanan terhadap otonomi daerah kualitas HLGD
Pertambangan kawasan dalam rangka lingkungan Menyiapka
dan Energi, HLGD pelaksanaan hidup yang n dukungan
5. kepala desa Melakukan tugas dihasilkan oleh dana
dan pengawasan, desentralisasi HLGD
6. Polisi penilaian dan dibidang
Kehutanan, memfasilitasi kehutanan
7. Dinas PU program Melaksanakan
8. Universitas Melaksanaka kebijakan
Gorontalo n penelitian pengelolaan
9. BAPPEDA, dan HLGD
10. DPRD, pengembang Berupaya
11. LSM, an mewujudkan
12. Badan program
Lingkungan pemulihan
Hidup, kawasan HLGD
13. EGSLP Memberi
dukungan
Kabupaten Bone penuh terhadap
Bolano segala bentuk
1. BAPPEDA kegiatan
pengelolaan
2. BLH,
hutan
3. PU,
4. DPRD
5 EGSLP
6.Dishutamben
7. BKSDA
8. BPKH
9. BP-DAS
10.Kep Desa

Hasil identifikasi terhadap tugas pokok stakeholder pengelola, penyedia


pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
terdapat beberapa stakeholder terlibat seperti BKSDA, BPKH Wilayah XV
Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi,
kepala desa, Polisi Kehutanan, Universitas Gorontalo, BAPPEDA, EGSLP,
92

DPRD, LSM, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Stakeholder pengelola,


penyedia pedoman dan kriteria serta pengawas pengelolaan HLGD di wilayah
Kabupaten Gorontalo terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten
Bone Bolango yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS
Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa,
BAPPEDA, EGSLP, DPRD, Dinas PU dan Badan Lingkungan Hidup. Berkaitan
dengan hak dan kewajiban, stakeholder ini mempunyai hak menyiapkan norma,
standar, pedoman dan kriteria pengelolaan HLGD sedangkan kewajibannya
adalah menyelenggarakan kebijakan, kewenangan pengelolaan hutan lindung
lestari.
Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone
Bolango hanya melakukan aktivitas pemanfaatan jasa lingkungan berupa
pemanfaatan air minum melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Kegiatan pemanfaatan jasa air minum oleh PDAM merupakan salah satu bagian
dari strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik sekaligus
sumber pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiaya pembangunan di daerah .
Menurut Fauzi (2004) keberadaan lembaga pemerintah di bidang industri
pengolahan air seperti dibentuknya Perusahaan Daerah Air Minum oleh
pemerintah daerah, tak lain untuk memberikan pelayanan penyediaan air bersih
kepada masyarakat secara kuantitas dan kualitas baik dan secara operasional
efisien serta berkelanjutan (sustainable). Intervensi pemerintah melalui PDAM
sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat
sebenarnya dapat diterima secara logis mengingat air sebagai barang publik
penggunaannya oleh masyarakat harus dikendalikan agar tidak menimbulkan
ekternalitas negatif
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah (otoda),
pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Pemberlakuan UU
tentang Pemerintahan Daerah menjadi titik tolak bergesernya orientasi, arah dan
kebijakan pembangunan kehutanan. Selain itu kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah, memberikan kewenangan yang semakin luas kepada pemerintah
daerah dalam berbagai perubahan sistem pengelolaan pemerintahan. Salah satu
perubahan tersebut adalah dalam pengurusan hutan hutan lindung oleh pemerintah
93

daerah yang diperkuat dengan keluarnya PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian


urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota setidaknya terdapat 58 kewenangan yang
seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat diserahkan ke daerah.
Pelimpahan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah ternyata
menimbulkan permasalahan lain yaitu adanya tumpang tindih kewenangan dalam
menjalankan pengelolaan HLGD seperti yang terlihat pada Tabel 38.
Tabel 38. Aspek pengelolaan HLGD berdasarkan tugas pokok organisasi
pengelolaan hutan lindung
Aspek Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Penetapan dan BAPPEDA, BKSDA, BPKH, BAPPEDA, BKSDA, BPKH,
Pemantapan Dishuttamben. PU Dishuttamben, PU
Dishuttamben, BPKH, Dishuttamben, BPKH, BKSDA,
Pengelolaan
BKSDA, BP-DAS, PDAM BP-DAS dan PDAM
Pembinaan dan Dishuttamben, BLH, DPRD, Dishuttamben, BLH, DPRD,
Pengawasan Polhut, Kepala Desa Kepala Desa

Hasil identifikasi terhadap lembaga pemerintah pusat dan daerah


menunjukkan bahwa terdapat 10 lembaga yang terkait dengan pengelolaan hutan
lindung Gunung Damar. Pada tabel diatas juga menunjukkan terjadi tumpang
tindih kewenangan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung berdasarkan
tupoksi yang digariskan melalui pasal 10 UU No 41 tahun 1999 tentang
kehutanan. Pada tugas pokok pemantapan dan penetapan kawasan hutan beberapa
lembaga pemerintah pusat dalam hal ini unit pelaksana teknis (UPT) Departemen
Kehutanan terlibat seperti BKSDA dan BPKH XV Gorontalo sedangkan di level
pemerintah daerah terdapat BAPPEDA dan Dinas Kehutanan Pertambangan dan
Energi, Bidang Tata Ruang Dinas PU. Menurut Manan (2001) secara umum
ketidakjelasan kewenangan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung
disebabkan oleh; 1) terdapat lebih dari satu lembaga pemerintah yang memiliki
tanggung jawab terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan
lindung 2) belum jelas dan tegasnya pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Banyaknya kantor kantor pusat di daerah sangat
mempengaruhi kewenangan otonomi. Untuk menjamin kemandirian daerah,
kantor kantor pusat di daerah harus ditiadakan atau dikurangi kecuali sangat
94

diperlukan sama sekali. Urusan pusat yang memerlukan pelaksanaan di daerah


dapat diserahkan kepada satuan pemerintahan otonomi melalui tugas pembantuan
c. Klasifikasi dan Partisipasi Stakeholder
Hasil identifikasi stakeholder seperti yang diuraikan dalam Tabel 33
terdapat 18 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan HLGD di Kabupaten
Gorontalo dan 14 stakeholder di Kabupaten Bone Bolango yaitu 1). BKSDA, 2)
BPKH Wilayah XV Gorontalo, 3). BP-DAS Bone Bolango, 4). Dinas Kehutanan
dan Pertambangan Energi, 5).BAPPEDA, 6). Dinas Pekerjaan Umum, 7). Badan
Lingkungan Hidup, 8). DPRD, 9). Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, 10)
Badan Penyuluh Pertanian, 11) Polisi Kehutanan, 12) Kepala Desa (formal
leader), 13) tokoh masyarakat (informal leader) 14) Lembaga Donor EGSLP, 15).
Perguruan Tinggi, 16). LSM Komunitas untuk Bumi (KUBU), 17). PDAM dan
18). masyarakat lokal. Secara umum stakeholder pengelolaan HLGD terdiri dari
organisasi pemerintah dan non pemerintah (organizations), masyarakat lokal
(communities). Hal ini hampir sesuai dengan yang dikemukakan oleh IIED (2005)
bahwa stakeholders dapat meliputi organisasi atau kelompok-kelompok sosial dan
komunitas masyarakat lokal. Berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya, Reed et
al (2009) mengelompokkan stakeholder menjadi 4 bagian yaitu stakeholder
subyek, stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholders
crowd. Menurut Hermawan et al (2005), tingkat pengaruh mengindikasikan
kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan atau
ketidakberhasilan suatu kegiatan. Sedangkan tingkat kepentingan keterlibatan
berkaitan dengan dampak yang akan diterima oleh stakeholder. Dalam penelitian
ini, kepentingan dan pengaruh stakeholder diidentifikasi berdasarkan
kewenangannya yang tertuang dalam tugas pokok dalam mengambil keputusan
terkait dengan proses pengelolaan hutan lindung dan realita yang terjadi di
lapangan. Adapun informasi tentang tingkat kepentingan keterlibatan dan tingkat
pengaruh stakeholder di Kabupaten Gorontalo disajikan pada Tabel 39.
95

Tabel 39. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di


Kabupaten Gorontalo
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Tinggi. Penyelenggaraan Tinggi. Pengambil kebijakan
BKSDA Sulawesi
konservasi di dalam dan di konservasi sumberdaya alam
Utara
luar kawasan konservasi hayati dan koordinasi teknis HL
Tinggi. Koordinasi
BPKH Wilayah XV Tinggi. Pengambil Kebijakan
pemantapan kawasan dan
Gorontalo dalam penataan kawasan hutan
penataan kawasan hutan
Tinggi. Otoritas pengelola
BP-DAS Bone Tinggi. Pengambil kebijakan
wilayah hulu DAS di
Bolango pengelolaan DAS
HLGD
Dinas Kehutanan dan Tinggi. Koordinator Tinggi. Wilayah teritorial,
Pertambangan Energi pengelola SDH di daerah implementasi dan control
Tinggi. Sebagai Pembina Tinggi. Koordinasi
Kepala Desa. dan masyarakat sekitar pemerintahan dan kontrol
hutan wilayah teritori
Badan Perencanaan
Rendah. Tidak menerima Tinggi. Kontrol implementasi
Pembangunan
dampak perencanaan
Daerah (BAPPEDA)
Tinggi. Pemeliharaan
Dinas Pekerjaan infrastruktur seperti jalan, Tinggi. Koordinasi penataan
Umum bangunan pemerintah di ruang
HLGD
Badan Lingkungan Rendah. Tidak menerima Tinggi. Koordinasi terhadap
Hidup (BLH) dampak pengawasan lingkungan
Tinggi. Dukungan proses
Rendah. Tidak menerima
DPRD pengambilan keputusan tingkat
dampak
lokal
Badan Penyuluh Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak mempunyai
Pertanian dampak kebijakan tentang kehutanan
Tinggi. Memiliki demplot
Dinas Pertanian dan pengembangan beberapa Tinggi. Mempunyai kebijakan
Tanaman Pangan, varietas jagung dan tentang Agropolitan
komoditi pertanian lainnya
Tinggi. Pemanfaat
Rendah. Tidak memiliki akses
PDAM sumberdaya air
terhadap pengambilan keputusan
Tinggi. Dukungan terhadap
Polisi Kehutanan Tinggi. Kontrol terhadap SDH
pengamanan kawasan
Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat Rendah. Tidak mempunyai
dari sumberdaya hutan akses terhadap kebijakan
Tokoh masyarakat Tinggi. Menerima manfaat Rendah. Tidak mempunyai
dari keberadaan akses terhadap kebijakan
sumberdaya hutan
96

Lanjutan Tabel 39
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Lembaga Donor Rendah. Tidak menerima Tinggi. Memiliki akses terhadap
EGSLP. dampak pengambilan kebijakan
Universitas Tinggi. Melaksanakan salah Tinggi. Memiliki akses
Gorontalo memberikan masukan kepada
satu tridharma perguruan
pemerintah
tinggi yaitu penelitian dan
pengabdian masyarakat di
HLGD
LSM KUBU Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak bisa
mempengaruhi keputusan
dampak

Klasifikasi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan keterlibatan dan


pengaruhnya dalam pengelolaan HLGD juga dilakukan di wilayah Kabupaten
Bone Bolango. Stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya
akan dianalisis pada 4 kelompok stakeholder. Adapun klasifikasi stakeholders
untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada Tabel 40
Tabel 40. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam pengelolaan HLGD di
Kabupaten Bone Bolango
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Tinggi. Pengambil kebijakan
Tinggi. Penyelenggaraan
BKSDA Sulawesi konservasi sumberdaya alam
konservasi di dalam dan di
Utara hayati dan koordinasi teknis
luar kawasan konservasi
HL
Tinggi. Pelaksana
BPKH Wilayah XV Tinggi. Pengambil Kebijakan
pemantapan kawasan dan
Gorontalo dalam penataan kawasan hutan
penataan kawasan hutan
BP-DAS Bone Tinggi. Pengelola wilayah Tinggi. Pengambil kebijakan
Bolango hulu DAS di HLGD pengelolaan DAS
Dinas Kehutanan dan Tinggi. Melaksanakan tugas Tinggi. Pengambil kebijakan
Pertambangan Energi desentralisasi kehutanan kehutanan didaerah
Tinggi. Koordinasi
Tinggi. Sebagai Pembina dan
Kepala Desa. pemerintahan dan kontrol
masyarakat sekitar hutan
wilayah teritori
Badan Perencanaan
Rendah. Tidak menerima Tinggi. Kebijakan perencana
Pembangunan
dampak dan pembangunan daerah
Daerah (BAPPEDA)
Dinas Pekerjaan Rendah. Tidak menerima Tinggi. Koorditor penataan
Umum dampak ruang
Tinggi. Koordinasi bidang
Badan Lingkungan Rendah. Tidak menerima pengendalian, pengawasan
Hidup (BLH) dampak pencemaran dan
kerusakanlingkungan
97

Lanjutan Tabel 40
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Rendah. Tidak menerima Tinggi. proses pengambilan
DPRD
dampak keputusan tingkat lokal
Tinggi. Pemanfaat
Rendah. Tidak memiliki akses
PDAM sumberdaya air terhadap pengambilan
keputusan
Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat Rendah. Tidak mempunyai
dari sumberdaya hutan akses terhadap kebijakan
Tokoh masyarakat Tinggi. Tempat Rendah. Tidak mempunyai
melaksanakan aktivitas sosial akses terhadap kebijakan
budaya
Lembaga Donor Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak Memiliki akses
EGSLP. dampak terhadap pengambilan
kebijakan
Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan
kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek
(subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton
(crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholders yang bisa melakukan
kerjasama dan stakeholders yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan.
Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15

SUBYEK KEY PLAYER


BP-DAS POLHUT
K
PDAM BPKH Dishuttamben PU
e
p Masyarakat lokal Kepala Desa
Universitas Gorontalo
e
Tokoh Masyarakat
n Dinas Pertanian BKSDA
t
i
n LSM Kubu DPRD
g
a Badan Penyuluh BLH
n BAPPEDA
EGSLP

CROWD CONTEXT SETTER


Pengaruh

Gambar 14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas


pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo
98

SUBYEK KEY PLAYER


BP-DAS
PDAM BKSDA

K BPKH
e Masyarakat lokal
Dishuttamben
p
Kepala Desa
e Tokoh Masyarakat
n
t
i
BLH
n BAPPEDA
g EGSLP
DPRD
a
n PU

CONTEXT SETTER
CROWD
Pengaruh

Gambar 15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders tugas pokok


organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango
Berdasarkan matriks tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh yang
menempati posisi kuadran A (subyek) di kabupaten Gorontalo dan Kabupaten
Bone Bolango terdapat stakeholders, dengan tingkat kepentingan tinggi dan
tingkat pengaruh yang rendah yaitu, tokoh masyarakat, masyarakat lokal, dan
PDAM. Apabila kegiatan ini ingin melindungi kepentingan mereka, maka
diperlukan inisiatif-inisitaif khusus terutama karena mereka adalah merupakan
para pihak yang paling besar menerima dampak dari kegiatan ini. Peningkatan
kemampuan dan peningkatan kesadaran terhadap hutan lindung sebagai salah satu
sistem penyangga kehidupan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh
untuk melibatkan stakeholder ini dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung
Gunung Damar
Posisi kuadran B (key players) di Kabupaten Gorontalo terdiri dari
BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS Bone Bolango, Dinas
Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan Polisi Kehutanan, Dinas
PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, sedangkan untuk Kabupaten
Bone Bolango terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-DAS
99

Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa.


Stakeholder ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki
kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi. Kuadran B ditempati oleh lebih
banyak stakeholders dibandingkan dengan Kuadran A, C, dan D. Banyaknya
pihak yang berperan sebagai pemain adalah potensi besar dalam rangka
pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Perlu dilakukan kerjasama yang baik
agar kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar dapat mencapai kinerja
yang diharapkan
Posisi kuadran C (context setter) di Kabupaten Gorontalo terdapat
stakeholders, dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi
yaitu BAPPEDA, DPRD, Badan Lingkungan Hidup, EGSLP sedangkan untuk
wilayah Kabupaten Bone Bolango terdiri dari BAPPEDA, BLH, PU, DPRD.
Stakeholder pengamat dapat diinterpretasikan bahwa kepentingan dari stakeholder
ini bukan merupakan target dari kegiatan. Oleh karena itu dalam konteks
pencapaian kegiatan kelompok stakeholders ini dapat dipandang sebagai sumber
dari resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan. Meskipun demikian stakeholder ini
memiliki manfaat dalam rangka merumuskan atau menjembatani keputusan dan
opini dalam pengelolaan hutan lindung Gunung Damar.
Kuadran D (crowd) di Kabupaten Gorontalo terdapat stakeholders, dengan
tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang rendah yaitu Badan
Penyuluhan Pertanian, LSM Kubu dan EGSLP. Sedangkan di Kabupaten Bone
Bolango adalah EGSLP. Stakeholder ini tidak memerlukan pelibatan intensif
dalam pencapaian tujuan kegiatan tetapi apabila memungkinkan, perlu dilakukan
monitoring dan evaluasi berkala untuk mengetahui perkembangan
kepentingannya.
Dalam pelaksanaan pengelolaan HLGD terlihat peran beberapa
stakeholders belum optimal dalam pengelolaan HLGD. Bryson (2003)
mengatakan belum optimalnya management sumberdaya di akibatkan oleh tidak
optimalnya peran stakeholders yang dalam menentukan kebijakan. Mengacu pada
Kuadran Stakeholder versi Reed et al (2009) stakeholder yang berpengaruh dalam
menentukan kebijakan dalam pengelolaan HLGD terdapat pada key stakeholder
dan context setter yang terdiri dari BKSDA, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BP-
100

DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan
Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, Badan
Lingkungan Hidup, DPRD, BAPPEDA. Hampir tidak terdapat perbedaan
stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan di Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Untuk mengoptimalkan peran
stakeholder yang berpengaruh pada kebijakan pengelolaan HLGD maka perlu
dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter
untuk dapat menghalangi atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada
kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Partisipasi merupakan proses
keterlibatan stakeholders dalam mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya
rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap
stakeholder akan memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan
bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat (kedekatan)
kepentingan stakeholder bersangkutan dengan pengambil keputusan dan kekuatan
pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi
stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 41
Tabel 41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD
(diadaptasi dan di modifikasi dari Bryson 2003)
Jenis Partisipasi
Aspek Memberikan Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
informasi
Penetapan BPKH, BP-DAS, BPKH, BP-DAS, BPKH, BP-
dan BKSDA, BKSDA, DAS,
Pemantapan Universitas Universitas BKSDA,
Kawasan Gorontalo, Dinas Gorontalo, Dinas Universitas
Kehutanan Kehutanan Gorontalo,
Pertambangan Pertambangan Dinas
Energi Energi, Kehutanan
BAPPEDA, Dinas Pertambangan
Pertanian, Kepala Energi
Desa, Dinas PU,
BLH, DPRD
101

Lanjutan Tabel 41
Jenis Partisipasi
Aspek Memberikan Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
informasi
Pengelolaan Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan Universitas Masyarakat
Pertambangan Pertambangan Gorontalo, Lokal
dan Energi dan Energi, Dinas PDAM
Pertanian dan
Tanaman Pangan
Pembinaan Kepala Desa Kepala Desa dan Polisi LSM
dan Polisi Kehutanan Kehutanan,
Pengawasan Dinas
Kehutanan
Pertambangan
dan Energi,
Kepala Desa

Berdasarkan tabel diatas jenis partisipasi yang bisa dilakukan oleh


stakeholder kunci dalam aspek pemantapan dan penetapan, pengelolaan
pembinaan serta pengawasan kawasan HLGD adalah memberikan informasi,
koordinasi, kolaborasi dan pemberdayaan. Memberikan informasi artinya
stakeholder kunci harus saling memberikan informasi yang jelas tentang
keberadaan HLGD. Selama ini organisasi di lingkungan pemerintah lebih
mengetahui informasi internal dibandingkan dengan informasi eksternal.
Stakeholder yang berasal pemerintahan cenderung bekerja secara sektoral dan
sangat jarang mensosialisasikan hasil-hasil kegiatannya kepada pihak lain.
Sebagai contoh hasil wawancara dengan pihak Dinas Kehutanan Pertambangan
dan Energi yang selama ini tidak mengetahui secara pasti panjang kawasan HLGD
yang telah ditata-batas. Seperti diketahui kegiatan penataan batas merupakan
tanggung jawab BPKH Gorontalo. Demikian halnya informasi hasil-hasil
penelitian berupa kondisi biofisik kawasan dan situasi sosial ekonomi yang
dilakukan oleh Universitas Gorontalo tidak pernah disosialisasikan kepada pihak
lain. Sehingga informasi yang dipegang oleh organisasi pemerintah kurang
lengkap dan sifatnya parsial. Situasi ini menimbulkan perilaku oportunistik pihak-
pihak yang memanfaatakan HLGD untuk mengeksploitasi sumberdaya sehingga
menimbulkan eksternalitas negative. Untuk itu pihak Dinas Kehutanan
Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
selaku pengelola di daerah harus pro aktif mengumpulkan semua informasi yang
102

berkaitan dengan kondisi tata-batas, situasi sosial ekonomi dan biofisik kawasan
HLGD dari organisasi lainnya
Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key
player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah
pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses
perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang lebih
efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terjadi kendala
dalam melaksanakan koordinasi antara SKPD pemerintah daerah dan kantor UPT
Kementrian Kehutanan di daerah dalam pengelolaan HLGD karena masih
terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan RHL terjadi tumpang
tindih program antara Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten
Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango
dengan BP-DAS Bone Bolango. Tumpang tindih program mengindikasikan
buruknya koordinasi pengelolaan hutan di daerah. Hasil kajian Sutrisno (2011)
menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung
menggunakan pendekatan vertical yang dicirikan oleh level tertinggi organisasi
pemerintah. Hal ini menjadi sumber penyebab kegagalan koordinasi antar
pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal cenderung hanya mengatur
bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah
organisasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan HLGD maka koordinasi yang
dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yaitu mengkoordinasikan tindakan-
tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi (aparat) yang
setingkat.. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan komunikasi
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.
Munandar (2001) menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah
membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan orang yang
berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersepsikan diri sendiri sebagai bagian
dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan
kerjasama di dalam pengelolaan HLGD. Kolaborasi dalam pengelolaan HLGD
sangat penting karena terbatasnya sumber daya yang terdapat dimasing-masing
organisasi. Kolaborasi yang terjadi diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan
103

berbagi pengetahuan, belajar, dan membangun suatu kesepakatan dan pada


akhirnya meningkatkan kesuksesan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Partisipasi pemerintah dalam kolaborasi adalah berperan dalam
mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan wilayah dengan pengelolaan
HLGD. Sedangkan pihak Universitas Gorontalo berperan dalam pemberdayaan
masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi persoalan dalam dirinya.
Keberadaan Universitas Gorontalo dinilai mampu melakukan transfer
pengetahuan dan teknologi pada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial
yang dapat menjamin kelestarian HLGD. Kolaborasi pihak swasta dalam hal ini
PDAM sangat diperlukan, pihak swasta dapat berperan dalam menumbuhkan jiwa
kewirausahaan yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal.
Keterlibatan pihak PDAM akan mendukung kemajuan masyarakat dalam
mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Untuk
mengefektifkan partisipasi stakeholder, tindak lanjut harus diprioritaskan pada
upaya pelembagaannya secara mapan. Pemerintah perlu mengembangkan
kelembagaan melalui tiga aspek:
a) Penyusunan kerangka dan produk hukum yang mengatur masalah hak,
kewajiban, prosedur dan mekanisme partisipasi stakeholder. Kerangka
hukum ini diperlukan untuk memberikan keabsahan dan legitimasi politis
bagi stakeholder di satu pihak, serta batasan akan hak, kewajiban, dan
kewenangan mereka di lain pihak. Untuk menjamin efektifitasnya
ketentuan-ketentuan hukum ini perlu disusun sampai pada tingkat peraturan
pelaksanaannya.
b) Penyusunan tata cara, prosedur, serta mekanisme berpartisipasi sebagai
petunjuk teknis dan panduan baik bagi stakeholder maupun pemrakarsa
kebijakan dalam menjalankan proses partisipasi. Tercakup dalam panduan
teknis ini adalah, kriteria untuk pemberian suatu status bagi tiap stakeholder
yang relevan untuk suatu substansi kebijakan tertentu yang sedang dalam
proses penyusunan kebijakan. Melekat dalam status tersebut hak dan
kewenangan stakeholder sesuai dengan batasan yang diberikan oleh
peraturan perundangan yang telah ditetapkan.
104

Pengembangan kapasitas stakeholder melalui berbagai upaya penguatan


kelembagaan dan peningkatan kompetensi teknis mereka sesuai dengan
kepentingan masing-masing.
d. Perilaku dan Kinerja Stakeholder
Memahami perilaku masyarakat yang berkepentingan dan terlibat dalam
pengelolaan HLGD, merupakan informasi yang sangat bermanfaat bagi sebuah
lembaga pengambil kebijakan dalam menyusun kelestarian Tingkat kepentingan
dan pengaruh stakeholders yang dikemukakan sebelumnya mempengaruhi
perilaku dan kinerja pengelolaan daerah tersebut. Secara ringkas perilaku
stakeholders dan kinerjanya dalam pengelolaan HLGD disajikan pada Tabel 42
dan 43
Tabel 42. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD di Kabupaten
Gorontalo
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
1. BKSDA Menyelenggarakan Belum Belum ada informasi
Sulawesi Utara konservasi dan melaksanakan tentang potensi
koordinasi pengelolaan koordinasi keanekaragaman
Hutan Lindung pengelolaan HL hayati di HLGD
(Permenhut 02/Menhut- dan konservasi yang disediakan oleh
II/2007) SDAH BKSDA
2. BPKH Wilayah Melaksanakan Melaksanakan Belum ada kejelasan
XV pengukuhan kawasan sebagian penataan batas-batas Hutan
hutan dan menyajikan batas di kawasan Lindung Gunung
informasi tentang HLGD Damar
kawasan hutan
(Permenhut 13/Menhut-
II/2011)
3. BP-DAS Bone Melaksanakan Belum menyusun Belum ada kegiatan
Bolango penyusunan rencana rencana pengelolaan di DAS
pengelolaan DAS, pengelolaan 2 Bionga
pengembangan DAS besar; DAS
kelembagaan dan Bionga, DAS dan
evaluasi (P. 15/Menhut- DAS Bolango
II/2007)
105

Lanjutan Tabel 42
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
4. Dinas Melaksanakan Belum Tata batas kawasan
Kehutanan dan inventarisasi pemetaan sepenuhnya HLGD baru
Pertambangan hutan, penataan batas, melaksanakan mencapai 14.65%
Energi pemberian ijin dan inventarisasi,
Kabupaten pengawasan penataan batas,
Gorontalo pemanfaatan kawasan pemberian ijin
hutan (Perda No usaha kehutanan
35/2007)
5. Kepala Desa di Melaksanakan tugas Memungut pajak Ada Penerimaan
Kabupaten administrasi hasil bumi kepada PAD dari pajak hasil
Gorontalo pemerintahan dan masyarakat bumi pemanfaatan
mengembangkan potensi sekitar HLGD HLGD
SDA (PP 72 tahun
2005)
6. BAPPEDA Melaksanakan Menyusun Tidak ada
Kabupaten perencanaan Perencanaan pengawasan terhadap
Gorontalo pembangunan daerah pembangunan implementasi
dan melaksanakan daerah perencanaan
kebijakan perencanaan pembangunan
pembangunan (Perda
16/2007)
7. Dinas Pertanian Melaksanakan Mensukseskan Meluasnya lahan
Tanaman kewenangan program pertanian dan terjadi
Pangan pembangunan pertanian Agropolitan peningkatan produksi
Kabupaten (Perda No 33/2007) dengan hasil pertanian di
Gorontalo menyerahkan dalam kawasan
Bibit Gratis HLGD
kepada kelompok
tani sekitar
HLGD
8. Polisi hutan Melaksanakan Melaksanakan Kawasan HLGD
Kabupaten pemantuan, operasi setiap 3 belum aman
Gorontalo perlindungan & bulan
pengamanan hutan
(Pasal 4 Kepmenpan
No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)
9. Dinas PU Melaksanakan Membangun jalan Akses ke kawasan
Kabupaten kewenangan desa-desa HLGD menjadi lebih
Gorontalo pembangunan disekitar dan mudah
infrastruktur (Perda No didalam kawasan
31/2007) HLGD
10. DPRD Melaksanakan legislasi, Pengawasan, Ada kontrol terhadap
Kabupaten budgeting dan legislasi dan kebijakan tapi tidak
Gorontalo pengawasan (Pasal 24 budgeting bisa membatalkan
UU 32/2004) terhadap PEMDA kebijkan tersebut
106

Lanjutan Tabel 42
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
11. BLH Kabupaten Melaksanakan Belum melakukan Terdapat
Gorontalo Kebijakan Pengelolaan pemantauan peningkatan
Lingkungan Hidup terhadap sedimentasi DAS
(Perda No 18/2007) lingkungan Bionga
HLGD
12. PDAM Optimalisasi pelayanan Memperluas Meningkatnya
Kabupaten air bersih dalam rangka pemasangan Penerimaan PAD
Gorontalo memaksimalkan PAD jaringan bersih
(Perda 6/1993) untuk penerimaan
PAD
13. Universitas Melaksanakan Melaksanakan Memiliki informasi
Gorontalo Tridharma Perguruan penelitian dan potensi sumberdaya
Tinggi (Pasal 3 PP No pengabdian hutan dan kondisi
60/1999) masyarakat sosial ekonomi
masyarakat tapi
belum di
informasikan kepada
stakeholder lain
14. Badan Penyuluh Membantu kepala Memberikan Masyarakat masih
Pertanian, daerah dalam penyuluhan dalam melakukan
Kehutanan melaksanakan rangka perambahan
Kabupaten penyuluhan pertanian peningkatan
Gorontalo dan kehutanan (Perda kesadaran
No 4/2008)

Tabel 43. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kab Bone
Bolango
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
15. BKSDA Menyelenggarakan Belum Belum ada informasi
Sulawesi Utara konservasi dan melaksanakan tentang potensi
koordinasi pengelolaan koordinasi keanekaragaman
Hutan Lindung pengelolaan HL hayati di HLGD
(Permenhut 02/Menhut- dan konservasi yang disediakan oleh
II/2007) sumber daya alam BKSDA
hayati

16. BPKH Wilayah Melaksanakan Telah Wilayah HLGD yang


XV pengukuhan kawasan melaksanakan ditata batas mencapai
hutan dan menyajikan sebagian besar 41.18%
informasi tentang tata batas di
kawasan hutan kawasan HLGD
(Permenhut 13/Menhut-
II/2011)
107

Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
17. BP-DAS Bone Melaksanakan Belum menyusun Belum ada kegiatan
Bolango penyusunan rencana rencana pengelolaan di DAS
pengelolaan DAS, pengelolaan 2 Bolango
pengembangan DAS besar; DAS
kelembagaan dan Bionga, DAS dan
evaluasi (P. 15/Menhut- DAS Bolango
II/2007)
18. Dinas Melaksanakan Telah Wilayah HLGD yang
Kehutanan dan inventarisasi pemetaan melaksanakan ditata batas mencapai
Pertambangan hutan, penataan batas, sebagian besar 41.18%
Energi Bone pemberian ijin dan inventarisasi dan
Bolango pengawasan penataan batas
pemanfaatan kawasan
hutan (Perda 12/2005)
19. Kepala Desa di Melaksanakan tugas Memungut pajak Ada Penerimaan
Kabupaten Bone administrasi hasil bumi kepada PAD dari pajak hasil
Bolango pemerintahan dan masyarakat bumi pemanfaatan
mengembangkan potensi sekitar HLGD HLGD
SDA (PP 72 tahun
2005)
20. BAPPEDA Melaksankan Menyusun Tidak ada
Bone Bolango perencanaan Perencanaan pengawasan terhadap
pembangunan daerah pembangunan implementasi
dan kebijakan daerah perencanaan
perencanaan pembangunan
pembangunan (Perda
14/2005)
21. Dinas PU Bone Melaksanakan Membangun jalan Terdapat akses ke
Bolango kewenangan di desa-desa desa-desa sekitar
pembangunan disekitar HLGD kawasan HLGD
infrastruktur (Perbup
No19/2011)
22. Polisi hutan Melaksanakan Melaksanakan Masih ditemukan
Bone Bolango perlindungan & patroli jika ada adanya gangguan
pengamanan hutan laporan
(Pasal 4 Kemenpan No. pengambilan hasil
55/M.PAN/2003) hutan secara
illegal dari
pemerintah desa
23. DPRD Bone Melaksanakan legislasi, Pengawasan, Ada kontrol terhadap
Bolango budgeting dan legislasi dan kebijakan
pengawasan (Pasal 24 budgeting pembangunan tetapi
UU 32/2004) terhadap tidak bisa
pemerintah membatalkan
daerah kebijkan tersebut
108

Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
24. BLH Bone Melaksanakan Melakukan Terdapat beberapa
Bolango Kebijakan Pengelolaan pemantauan papan larangan
Lingkungan Hidup terhadap disekitar HLGD
(Perda No 10/2010) lingkungan di
HLGD
25. PDAM Bone Peningkatan pelayanan Memperluas Meningkatnya
Bolango air bersih dalam rangka pemasangan Penerimaan PAD
memaksimalkan PAD jaringan bersih
untuk penerimaan
PAD

Tabel 42 dan 43 diatas menunjukkan bahwa sebagian perilaku stakeholders


yang terlibat pengelolaan hutan belum sesuai dengan tugas pokok yang ditetapkan
melalui peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa peraturan pemerintah
yang berlaku tidak mampu mengendalikan perilaku pihak pihak yang terkait
dengan kawasan HLGD. Sebagai contoh sampai saat ini Dinas Kehutanan dan
Pertambangan Energi di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
belum melaksanakan inventarisasi lengkap dan penataan batas sesuai yang
digariskan oleh peraturan perundangan. Pelaksanaan inventarisasi dan penataan
batas merupakan langkah awal dalam rangka memberikan status hukum bagi
HLGD. Situasi ini menyebabkan pihak-pihak lain yang berada diluar institusi
kehutanan memiliki perilaku oportunisme dan moral hazard yang disebabkan oleh
karakteristik yang menyebabkan sumber interdependensi antar individu atau
kelompok masyarakat dalam penggunaan sumberdaya yaitu biaya transaksi, biaya
ekslusi tinggi, surplus dan inkompatibilitas ekologis dalam pola penggunaan
lahan.
4.5. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung
Damar di Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini terdapat empat faktor
yang membentuk kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Kabupaten Bone Bolango yaitu organisasi, hak kepemilikan (property right),
batas yurisdiksi dan aturan representasi. Keempat faktor ini dipengaruhi oleh
situasi atau kondisi sebagai sumber interdependensi. Sebaliknya kelembagaan
109

yang terdapat di HLGD dapat mempengaruhi perilaku stakeholders dan kinerja.


Berdasarkan hasil analisis citra landsat yang mencirikan indikator kinerja
pengelolaan HLGD menunjukkan kelembagaan pengelolaan HLGD di Kabupaten
Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan di
Kabupaten Gorontalo. Adapun perbandingan kelembagaan pengelolaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango disajikan dalam Tabel 44:
Tabel 44. Perbandingan Kelembagaan Pengelolaan HLGD di wilayah Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango
Situasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
I. Situasi Ekologi
1. Tutupan hutan
3793.42 ha (33.93%) 6056.73 ha (67.76%)
2. Tutupan lahan pertanian
4028.29 ha (36.03%) 956.79 ha (10.71%)
3. Semak
345.09 ha (3.09%) 45.57 ha (0.51%)
4. Lahan terbuka
122.65 ha (1.09%) 12.63 ha (0.15%)
II. Situasi Sosial
Ekonomi
Jumlah Penduduk 5907 4029
Jumlah tenaga kerja 2744 1976
Jumlah Desa dalam Kawasan 3 Desa: 1) Desa Malahu, 2) Tidak ada
HLGD Desa Dulamayo Selatan, 3)
Desa Dulamayo Utara
Produksi Jagung Sekitar 6673.14 ton/tahun 3814.19 ton/tahun
HLGD (ton/tahun)
Tingkat Pendapatan 1187923 980188
(Rp/bulan)
Rata-rata kepemilikan lahan 0.952 1.109
(ha)
Indeks LQ Sektor Pertanian 2.248 0.930
Daya Dukung 0.355 0.341
Jumlah Penduduk Miskin 879 550
(KK)
Jarak pemukiman dengan 0.2 - 1 3–4
HLGD (km)
Komoditas pertanian dan Cengkih, Kemiri, Langsat, Kemiri, Kelapa, Coklat,
perkebunan Utama disekitar Durian, Jagung, Aren, Jagung,
HLGD Vanili, Coklat
Tingkat Pendidikan SD 79.17%, SMP 6.67%, SD 85.96%, SMP 8.77%,
Responden SMA 14.17% SMA 10.53%
110

Lanjutan Tabel 44
III. Organisasi
1. BPKH Aktif Berperan dalam Aktif Berperan dalam
penataan batas kawasan penataan batas kawasan
2. BKSDA Belum berperan dalam Belum berperan dalam
konservasi dan koordinasi konservasi dan koordinasi
pengelolaan kawasan pengelolaan kawasan
HLGD HLGD
3. BP-DAS Belum berperan dalam Belum berperan dalam
pengelolaan wilayah hulu pengelolaan hulu DAS
DAS Bionga Bolango
4. Dinas Kehutanan dan Aktif dalam pemanfaatan Aktif dan berperan dalam
Pertambangan Energi HLGD pengelolaan HLGD
5. Bidang Tata Ruang Dinas Berperan dalam penataan Berperan dalam penataan
PU ruang ruang
6. BAPPEDA Berperan dalam Berperan dalam
perencanaan pembangunan perencanaan pembangunan
7. Dinas Pertanian dan Aktif memberikan bantuan Tidak aktif
Tanaman Pangan Saprodi kepada kelompok
tani sekitar HLGD
8. Badan Penyuluh Aktif memberikan Tidak aktif
Pertanian penyuluh
9. Badan Lingkungan Hidup Kurang aktif memantau Aktif memberikan
kualitas lingkungan spesifik penyuluhan dan
seperti air, erosi dan membangun kesadaran
sedimentasi tentang kualitas lingkungan
10. DPRD Berperan dalam legislasi, Aktif dalam legislasi yang
penganggaran dan berkaitan dengan
pengawasan penyelamatan lingkungan
11. PDAM Aktif dalam pemanfaatan Aktif dalam pemanfaatan
air baku air baku
12. EGSLP Aktif melaksanakan Aktif melaksanakan
pemberdayaan masyarakat pemberdayaan masyarakat
berbasis DAS berbasis DAS
13. Polisi Hutan Melaksanakan patroli Melaksanakan patroli jika
kawasan 3 bulan sekali terjadi gangguan di HLGD
14. Kepala Desa Aktif memberikan Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan pembinaan dan pengawasan
15. Tokoh Masyarakat Aktif memberikan Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan pembinaan dan pengawasan
16. Universitas Gorontalo Aktif melaksakanakan Tidak aktif
penelitian
17. LSM Kubu Aktif melaksanakan Tidak aktif
advokasi lingkungan
18. Masyarakat lokal Aktif memanfaatkan lahan Aktif memanfaatkan lahan
di dalam dan sekitar HLGD di dalam dan sekitar HLGD
untuk keperluan subsisten untuk keperluan subsisten
dan komersial dan sosial budaya
111

Lanjutan Tabel 44
IV. Batas yurisdiksi
1. Panjang Batas Kawasan 31.87 km 45.65 km
HLGD
2. Panjang tata batas HLGD 4.67 km atau 14.65% 18.8 km atau 41.18%
V. Hak kepemilikan
1. Luas Lahan Konflik 4028.29 ha atau 36.03% 956.79 ha atau 10.71%
2. Jumlah Gangguan 58 kali 14 kali
VI. Aturan representasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Biaya koordinasi Tinggi. Stakeholders yang Rendah. Stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan terlibat dalam pengelolaan
HLGD berjumlah 18 HLGD berjumlah 43
VII. Kinerja Laju Perubahan Tutupan Laju Perubahan Tutupan
HLGD: 46.98%/10 tahun HLGD: 27.36% /10 tahun

Hasil evaluasi dan fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian


menemukan beberapa perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara
pemerintah Kabupaten Gorontalo dan pemerintah Kabupaten Bone Bolango.
Perbedaan ini tentu saja menghasilkan perbedaan kinerja pengelolaan HLGD.
Adapun perbedaan institusi tersebut dijelaskan berdasarkan hak kepemilikan,
batas yurisdiksi dan aturan representasi.
a. Batas Yurisdiksi
Batas yurisdiksi merupakan batas organisasi dalam melakukan pengelolaan
terhadap sumberdaya. Dalam melaksanakan pengelolaan HLGD maka batas
yurisdiksi pemerintah adalah batas kawasan. Berdasarkan informasi penelaah
pengukuhan kawasan hutan BPKH XV Gorontalo, total panjang kawasan HLGD
adalah 77.52 km dengan batas kawasan terpanjang berada di Kabupaten Bone
Bolango yang mencapai 45.65 km sedangkan Kabupaten Gorontalo mencapai
31.87. Namun demikian total wilayah yang sudah ditatabatas baru mencapai
55.83%. Capaian wilayah yang telah ditata-batas di kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo lebih rendah yaitu 14.65% jika dibandingkan dengan Kabupaten Bone
Bolango yang mencapai 45.65%.
Menurut Suwito (2011) minimnya capaian penaatan batas dan penyelesaian
hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan mengakibatkan tumpang tindih hak dan
sering menjadi pemicu konflik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
masyarakat lokal. Situasi ini menunjukkan biaya eksklusi yang ditanggung oleh
112

Pemerintah Kabupaten Gorontalo cukup tinggi jika dibandingkan dengan


Kabupaten Bone Bolango. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya biaya
ekslusi adalah luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten
Gorontalo yang mencapai 36.03% dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di
dalam kawasan HLGD Kabupaten Bone Bolango yang mencapai 10.71%.
Luasnya lahan pertanian di dalam kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo
disebabkan populasi penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar HLGD
Kabupaten Gorontalo lebih besar jika dibandingkan dengan Kabupate Bone
Bolango. Besarnya populasi penduduk cenderung akan meningkatkan permintaan
terhadap lahan. Masyarakat yang tinggal di kawasan HLGD Kabupaten Gorontalo
cenderung mengganggap lahan-lahan di dalam sebagai sumberdaya terbuka
daripada barang ekslusif sumberdaya milik negara. Dalam situasi dimana
pemanfaatan bersifat tidak kompatibel disertai dengan biaya ekslusi tinggi,
perilaku penunggang gratis (free rider) merupakan fenomena yang mudah
berkembang
b. Hak Kepemilikan
Perbedaan kelembagaan pengelolaan HLGD antara pemerintah Kabupaten
Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango dari aspek hak kepemilikan
terletak pada luasnya lahan konflik, tingginya gangguan di dalam kawasan HLGD
dan kepemilikan lahan di Kabupaten Gorontalo di bandingkan dengan Kabupaten
Bone Bolango. Hal ini menunjukkan pemerintah Kabupaten Gorontalo selaku
pengelola tidak mampu mencegah adanya pihak-pihak yang mengambil
keuntungan tanpa memberikan kontribusi (free rider) terhadap pengelolaan
HLGD. Akibatnya timbul biaya ekslusi tinggi dalam pengelolaan HLGD karena
banyaknya pemanfaatan kawasan HLGD yang tidak sesuai dengan tujuan
pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Menurut Basuni (2003) kepemilikan
sumberdaya hanyalah gugus kosong apabila biaya untuk mencegah pihak lain
memanfaatkan sumberdaya yang bersangkutan jauh lebih besar dari nilainya.
Konsep kepemilikan dengan strata lengkap yang dimiliki oleh pemerintah di
kawasan HLGD seperti hak memasuki, hak memanfaatkan, hak mengelola, hak
mengecualikan dan hak memindahtangankan tidak sepenuhnya dapat
113

dilaksanakan. Situasi seperti ini mengakibatkan hak kepemilikan dalam


pengelolaan HLGD tidak berfungsi secara efektif.
Mengatasi masalah tersebut, perlu diciptakan sebuah kebiasaan baru yaitu
pemberian hak khusus kepada masyarakat di dalam kawasan hutan lindung yang
telah terlanjur melakukan perambahan. Hak penggunaan secara khusus hanya
diberikan pada lahan-lahan pertanian yang telah dirambah dan menjadi satu-
satunya sumber kehidupannya. Hak khusus tersebut adalah hak memasuki (acces),
hak menggunakan (withdrawal), hak kelola (management) dan hak mengeluarkan
(exclusion). Hak khusus yang diberikan ini tidak bisa diperjualbelikan. Pemberian
hak khusus sebaiknya diberikan pada kelompok kecil dan keanggotaan terdefinisi
dengan jelas agar lahir aksi bersama. Kawasan kelola terbatas harus dipetakan
secara jelas dan luasannya memenuhi prinsip prinsip daya dukung. Menurut
Agrawal (2001) kunci sukses kelembagaan untuk pengelolaan CPR terletak pada
keanggotaan kelompok terdefinisikan dengan jelas, ukuran kelompok kecil,
terdapat batas-batas wilayah pengelolaan, kemudahan dalam monitoring, ada
sanksi hukum dan kedekatan lokasi pengguna dengan sumberdaya. Selanjutnya
Kartodihardjo (2006) menambahkan kelembagaan untuk pengelolaan CPR harus
mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi
sumberdaya alam, terdapat pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, terdapat
pengakuan oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi dan teknologi yang
digunakan dan cara pemanfaatannya. Kegiatan pemberian hak harus diikuti
dengan upaya peningkatan pendidikan dan peningkatan kesempatan berusaha.
Melalui kegiatan ini diharapkan kualitas dan kapasitas masyarakat di desa-desa
sekitar HLGD akan meningkat sehingga performance pengelolaan HLGD menjadi
lebih baik
c. Aturan Representasi
Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya
ditentukan oleh kaidah-kaidah keterwakilan. Secara umum pengelolaan HLGD
didominasi oleh keterwakilan pihak pemerintah dan pemerintah daerah dan
peluang keterlibatan masyarakat sekitar HLGD kecil. Dominasi pemerintah dalam
pengelolaan hutan lindung bisa dilihat dari keputusan dan kebijakan yang
114

dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini
tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk
berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar.
Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif,
karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompok-
kelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini
menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang
tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adat-
tidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai
organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung
pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.
Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan
stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan
stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders.
Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa
menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi.
Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan,
pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan
ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan
baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu
mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa
dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan HLGD kepada
pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. (1993) dan Mody (2004) Penyerahan
kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan
meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya
kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong
partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni (2003)
Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah
harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder
untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
115

dan koordinator stakeholders, pemerintah daerah dapat memanfaatkan


kelembagaan yang aktif dalam masyarakat, dengan demikian dapat meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Untuk lebih
meningkatkan partisipasi masyarakat perlu dilakukan perubahan pada mekanisme
pengambilan keputusan. Masyarakat sekitar kawasan HLGD perlu dilibatkan
dalam pengambilan keputusan mulai dalam tahap perencanaan sampai dengan
tahap evaluasi
116

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
1. Beberapa temuan penelitian telah dilakukan mencakup hal-hal sebagai
berikut: (1). Kinerja pengelolaan hutan lindung Gunung Damar di
Kabupaten Bone Bolango lebih baik dibandingkan dengan kinerja
pengelolaan hutan lindung Gunung Damar di Kabupaten Gorontalo karena
tutupan hutan yang tersisa di Kabupaten Gorontalo 33.93% sedangkan di
Kabupaten Bone Bolango tutupan hutan masih 67.76%, (2). Situasi sosial
ekonomi dan ekologi di HLGD telah menimbulkan interdependensi dimana
karakteristik inheren yang terkait dengan situasi tersebut adalah biaya
ekslusi tinggi, biaya transaksi tinggi, joint impact goods inkompatibilitas
dan surplus terutama yang terjadi di Kabupaten Gorontalo. Sumber
interdependensi adalah terdapatnya pemukiman di dalam kawasan HLGD
yang disertai dengan rasa memiliki lahan-lahan pertanian di kawasan HLGD
Kabupaten Gorontalo, kurangnya informasi tentang panjang batas,
lemahnya penegakan hukum, jarak pemukiman dengan kawasan hutan, dan
jarak HLGD dengan pusat ekonomi. Situasi ini menyulitkan pemerintah
Kabupaten Gorontalo untuk menetapkan batas yurisdiksi dan property
rights atas kawasan HLGD, dibandingkan dengan Kabupaten Bone
Bolango, (3) Proses penetapan, pemantapan kawasan hutan dan pengelolaan
hutan lindung, belum mengatur mekanisme yang merancang sanksi dan
insentif yang mendorong pemerintah daerah merumuskan program untuk
mengoptimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung. Aturan
formal pengelolaan HLGD hanya menempatkan pemerintah daerah sebagai
pemberi rekomendasi yang sifatnya administrasi tanpa bisa memutuskan.
Selain itu masih ditemukan beberapa peraturan perundangan yang tidak
konsisten dengan peraturan yang ada di atasnya, (4) Perilaku sebagian
stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan HLGD belum sesuai dengan
tugas pokok yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan. Ini
berarti bahwa peraturan pemerintah yang berlaku tidak mampu
mengendalikan sebagian perilaku stakeholder yang terkait dengan kawasan
HLGD.
117

2. Kesimpulan, mengingat situasi HLGD (tanpa melihat wilayah administrasi)


sama, maka model kelembagaan pengelolaan HLGD dirumuskan sebagai
berikut: (1) property rights: (a) mempertegas dan menguatkan status
kepemilikan HLGD sebagai state property (b) sosialisasi kepada seluruh
stakeholder terutama kepada masyarakat HLGD bahwa kawasan HLGD
merupakan state property rights, (c) memberikan hak-hak khusus kepada
masyarakat yang telah menetap di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses,
hak mengambil, hak menggunakan dan hak mengecualikan untuk mengelola
lahan di dalam kawasan HLGD yang selama ini menjadi sumber
kehidupannya, (2) batas yurisdiksi: (a) menyelesaikan tata batas kawasan
HLGD, (b) memperjelas dan menyederhanakan tugas pokok dan fungsi
organisasi yang menjadi stakeholder dalam pengelolaan HLGD, (3) aturan
representasi; sosialisasi kepada seluruh stakeholder bahwa kawasan HLGD
merupakan state property rights, termasuk sosialisasi fungsi dan manfaat-
manfaat HLGD serta peraturan perundangan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan HLGD
5.2. Saran
1. Pemerintah segera melakukan penataan batas dan meningkatkan capaiannya
untuk memperjelas batas yurisdiksi dan mempertegas serta memperjelas
property rights negara atas kawasan HLGD sehingga tidak terjadi tumpang
tindih yang memicu meningkatnya lahan konflik di dalam kawasan HLGD
2. Memberikan hak khusus kepada masyarakat yang telah lama menetap dan
menggarap lahan di dalam kawasan HLGD yaitu hak akses, hak mengambil
hasil tanaman, hak mengelola dan hak mengeluarkan yang lain
3. Melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat yang telah lama menetap
dan memiliki lahan di dalam kawasan HLGD melalui kegiatan
pengembangan agroforestry sehingga fungsi-fungsi HLGD tetap terjaga
118

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal A. 2001. Common Property Institution and Sustainable Governance of


Resources. Journal World Development 29: 1649-1672.

Allen W and M Kilvington. 2001. Stakeholder Analysis. Manaaki Whenua


Landcare Research.
Anonim. 2004. Memahami Kemiskinan, Kehutanan Alat dan Analisisnya.
Kumpulan Makalah Pelatihan AKP-FKM. Center for Economic
and Social Studies (Cess) di dukung oleh Department for
International Development – Overseas Development Institute
(odi)
Anwar A. 2001. Ekonomi Organisasi; Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi Melalui
Kelembagaan Pasar atau Organisasi; Bahan Kuliah Program
Studi PWD PPs IPB Bogor. Tidak diPublikasikan
Arifin B. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia; Perspektif Ekonomi,
Etika dan Praksis Kebijakan. PT. Erlangga. Jakarta

Ascher W. 1993. Political economy and problematic forestry policies in


Indonesia: obstacles to incorporating sound economics and
science. The Center for Tropical Conservation, Duke University.

Asikin, M. 2001. Stakeholder Participation In SME Policy Design And


Implementation. ADB Technical Assistance SME Development

[BALIHRISTI] Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Informasi. 2008.


Profil Sungai Gorontalo. BALIHRISTI Propinsi Gorontalo

[BALIHRISTI] Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Informasi. 2009


Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Gorontalo.
BALIHRISTI Propinsi Gorontalo

[BPDAS]. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango. 2009.


Rancangan Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan SWP DAS
Bone Bolango. BP-DAS Bone Bolango Propinsi Gorontalo.

[BPKH XV] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV. 2009. Buku
Statistik Kehutanan Propinsi Gorontalo tahun 2009. DIRJEN
PLANOLOGI, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil XV
Gorontalo.
119

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Gorontalo dalam Angka. BPS
Kabupaten Gorontalo

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Bone Bolango dalam Angka. BPS
Kabupaten Bone Bolango

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2007. Pengaruh Perubahan Tutupan


Lahan Terhadap Aliran Permukaan, Sedimen dan Produksi Air
Daerah Aliran Sungai. Tahun Penelitian 2005. Badan Litbang
Pertanian

Baland JM. and JP. Platteau (1996), Halting Degradation of Natural Resources: Is
there a Role for Rural Communities?, Oxford: FAO and
Clarendon Press.

Barbier E.B., N. Bockstael, J.C. Burgess and I. Strand. 1993. The timber trade and
tropical deforestation in Indonesia. LEEC Paper DP 93-01.
London Environmental Economics Centre

Barbour MG, Burk JH, Pitts WD, William F.S. 1999. Terrestrial Plant Ecology.
Third Edition. Addision Wesley Longman, Inc. California

Barrow CJ. 1991. Land Degradation. Development and Breakdown of Terrestrial


Environments. Cambridge University Press. Cambridge.

Basuni S. 2003. Inovasi Institusi Untuk Meningkatkan Kinerja Daerah


Penyanggah Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman
Nasional Gunung Gde Pangrango, Jawa Barat). [Disertasi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Boedojo. 1986. Arsitektur, Manusia dan Pengamatannya. Jakarta. Jambatan

Bryson JM. 2003. What To Do When Stakeholders Matter: A Guide to


Stakeholder Identification and Analysis Techniques.” A paper
presented at the National Public Management Research
Conference, 9-11 October 2003, The Georgetown University
Public Policy Institute, Washington, D.C.

Contreras AH, Fay C. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Melalui


Pembaruan Penguasaan Tanah. World Agroforestry Centre

Dasgupta P, K.G. Mäler (1995), Poverty, institutions and the environmental


resource base‟, in J. Behrman and T.N. Srinivasan (eds.),
Handbook of Development Economics, Vol. III, Amsterdam:
Elsevier
120

Dauvergne, P. 1994. The politics of deforestation in Indonesia. Pacific Affairs


66(4):497-518.

De Foresta, H. and G. Michon, 1997. The agroforest alternative to Imperata


grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach
sustainability. Agroforestry Systems. Published by ICRAF,
ORSTOM, CIRAD-CP and the Ford Foundation

[DEPHUT] Departemen Kehutanan 2004. Bahan Presentasi Departemen


Kehutanan kepada Komisi III DPR RI. Departemen Kehutanan
RI. Jakarta

[DEPHUT] Departemen Kehutanan 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang


Kehutanan Tahun 2006 – 2025. Editor: Soehartono, T., C.
Mangkudisastra, Nifinluri, A. Nurhayat, S. Ramadhan, A.
Djajono, U.D. Kusumah, E. Caesariantika, D. Febriani, P.
Susan. Pusat Rencana dan Statistik Kehutaan Badan Planologi
Kehutanan. Jakarta

Dewi IN, Achmad RHB, Priyo K. 2010. Kajian Implementasi Peraturan Tentang
Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Pangkep
dan Kabupaten Maros. Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan. Vol 7 No 1 Tahun 2010

Dharmawan, A., Bayu K., Dahri, T., Fredian, T., Lilik, B.P., Lusi, F., Nuraini,
W.P., Suharno, Yoyoh, I., Dyah, I.M. 2004. Desentralisasi
Pengelolaan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam
Daerah Aliran Sungai. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor

Dick J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia:
a summary and interpretation of existing information.
Background paper to UNCED for the State Ministry for
Population and Environment (KLH) and the Environmental
Impact Management Agency (BAPEDAL).

Didik S, Aziz Khan, Wibowo AJ, Martua S, Santi E. 1998. Kehutanan Masyarakat
dan Karakteristiknya. Warta FKKM. Vol. 1 No. 6. Fahutan
UGM, Yogyakarta.

Dolot MJ. 2009. Kajian Sistem Perladangan Liar Dan Deforestasistudi Kasus Di
Hutan Lindung Gunung Damar. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
121

Ekawati S. 2010. Tata Hubungan Kerja Antar Institusi Kehutanan Dalam


Pengelolaan Hutan Lindung di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 7 No 3, Desember 2010

Fadhli A. 2011. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam di DAS Bionga Kabupaten


Gorontalo [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor

Fandeli CM. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta. Fakultas Kehutanan


Universitas Gadjah Mada.

Firman, M. 2006. Studi Konservasi Danau Limboto Kabupaten Gorontalo.


[Thesis]. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Fraser AI. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and
land-use planning in Indonesia. Unpublished manuscript

Friedman J. 1992. The Politic of Alternative Development. Cambridge.


Blackwell Publisher.

[FAO] Food Agricultur Organization. 1990. Situation and Outlook of the Forestry
Sector in Indonesia. Volume 1: issues, findings and
opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia;
Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Jakarta.

Ginoga K, S Ekawati, D. Djaenuddin. 2007. Biaya Transaksi dan Kelembagaan


Pengelolaan DAS: Perspektof untuk Sub DAS Cicatih

Greenland DJ. 1987. The Sustainability of Rice Farming. IRRI-CAB


International. Walling Ford OXON. United Kingdom

Hadimulyo, 1996. Adressing Natural Resources Conflicts through Community


Forestry. Proceeding E-Conference January-May 1996.
Community Forestry Unit, FTTP FAO. Rome

Hairiah K, Widianto, Sunaryo. 2003. Bahan Ajar 1. Sistem Agroforestry di


Indonesia. World Agroforestry Center (ICRAF) South East Asia
Regional Office Bogor. Indonesia
Halidah, Saprudin, Abdul Kadir. 2007. Kajian Potensi dan Nilai Ekonomi
Tanaman Obat dan Tanaman Hias di Hutan Lindung Gunung
Damar Kabupaten Gorontalo. Info Sosial Ekonomi Volume 7 No
2 Tahun 2007. 91-99 p
Halidah. 2008. Potensi dan Distribusi Air Hutan Lindung Propinsi Gorontalo.
Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam Volume V No 1. Pusat
122

Penelitian Sosial Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kehuatanan. Bogor
Hayes, T.M. 2007. Does Tenure Matter? A Comparative Analysis of Agriculture
Expansion in the Mosquitia Forest Corridor. Human Ecology
Journal; 35; 733-747.
Heltberg, R. 2001. Determinants and Impact of Local Institution for Common
Resource Management. Environment and Development
Economics 6. Cambridge University Press
Hiola AS. 2011. Agroforestry Ilengi: Suatu Kajian Pelestarian dan Pemanfaatan
Jenis Pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan Kecamatan
Telaga Kabupaten Gorontalo) [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hutajulu, H. 2010. Kerugian Negara Akibat Penebangan Liar dan Dampak


Kerusakan Hutan Cagar Alam di Pegunungan Cyloops Terhadap
Masyarakat di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura. [Thesis].
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Huxley P. 1996. Biologigal Factors Affecting Form and Function in Woody-Non-


Woody Plant Mixtures. in C.K. Ong and P. Huxley (ed) Tree
Crop Interaction, Physiologigal Approach. 235-298.

Ida R. 2003. Metode Analisis Isi Mengukur Obyektivitas Pers dalam Bungin
(2003) Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer [editor]. Raja Grafindo Persada.
Jakarta

Ihsanurizal. 2005. Dampak Degradasi Sumberdaya Hutan Terhadap Kinerja


Pembangunan Ekonomi dan Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten
Kutai Timur. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.

Ismanto AJ. 2010. Pengaruh Perubahan Institusi Terhadap Respon Pemerintah


dan Perusahaan dan Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
Alam Produksi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor

[IIED] International Institute for Environment and Development. 2005.


Stakeholder Power Analysis Tools. www.policy-powertools.org

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2003. Good Practice


Guidance, for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Edited
by Jim Penman, Michael Gytarsky, Taka Hiraishi, Thelma Krug,
Dina Kruger, Riitta Pipatti, Leandro Buendia, Kyoko Miwa,
123

Todd Ngara, Kiyoto Tanabe and Fabian Wagner. the Institute for
Global Environmental Strategies (IGES) for the IPCC. Japan.

Jordan F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Willey Sons.
New York.
Kaipa H. 2009. Analisis Potensi Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Gunung
Damar Di Desa Dulamayo Selatan. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
Kartawinata K, TC Jessup and AP Vayda. 1989. Exploitation in Southeast Asia.
In H. Lieth and M.J.A. Werger (eds), Tropical Rain Forest
Ecosystems. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. pp. 591-
610
Kartodihardjo H, 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi [Disertasi]. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kartodihardjo H, 2000. Kerangka Pemikiran untuk Analisis Kebijakan. Paper
lepas. Bahan kuliah ekonomi kehutanan lanjut. Pasca Sarjana
IPB. Tidak diterbitkan
Kartodihardjo H, Murtilaksono K, Untung S. 2004. Insititusi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Kartodihardjo, H, H. Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia. Jakarta: Equinox Publ
Khanna P, P. Ram Babu and M. Suju George. 1999. Carrying-Capacity as a Basis
for Sustainable Development a Case Study Of National Capital
Region in India. Progress in Planning 52 (1999) 101-166.
http://www.china-sds. org/kcxfzbg/addinfomanage/lwwk/data/
kcx1493. pdf. [27 Agustus 2011]
Khan A, Hariadi K, Dudung D, Beni H, Fuad S. 2004. Menyimak Perjalanan
Otonomi Daerah: Sektor Kehutanan Prosiding Workshop
Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Pusat
Rencana Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan

Kusumawati I. 2006. Pendugaan Erosi Dan Sedimentasi Dengan Menggunakan


Model Geowepp (Studi Kasus Das Limboto, Propinsi Gorontalo).
[Thesis]. Institut Teknologi Bandung. Bandung

Kuswanto A., Zuhad I. 1996. Pengantar Ekonomi. Penerbit Gunadarma

Lal R. 1986. Deforestation and Soil Erosion. In R. Lal, PA Sanchez, RW


Cummings (Eds) Land Clearing and Development in the
Tropics. AA Balkena, Roterdam
124

Lamb D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Lands in the Asia-


Pasific Region. Journal of Tropical Forest Science 7(1):1-7
Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Universitas Indonesia


Press. Jakarta.

Ma, Q. (1999) Asia-Pacific forestry sector outlook study. Working Paper


APFSOS/WP/43, Forestry Policy and Planning Division, Rome,
Italy.

Maga J. 2009. Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Gunung


Damar Di Desa Dulamayo Utara. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo

Mahmuddin, 2009. Degradasi Hutan Hujan Tropis Indonesia.


http://mahmuddin.wordpress.com/2009/09/09/degradasi-hutan-
hujan-tropis-di-indonesia/, diakses tanggal 30 Desember 2009

Mallingreau and Rosalia, 1981. Land use/Land Cover Classification in Indonesia,


Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

Marshal, G. 1998. Dictionary of Sociology. Oxford University Press

McCarthy JF. Changing to Gray. Decentralization and the Emergence of Volatile


Socio-Legal Configuration in Central Kalimantan, Indonesia.
World Development

McKean MA. (2000) Common Property: What is it? What is it good for and what
makes it work? In C.C. Gibson, M.A. McKean & E. Ostrom
(eds) People and Forests. MIT Press, London.

Mody J. 2004. Achieving Accountability Through Decentralization: Lessons for


Integrated River Basin Management. World Bank Policy
Research Working Paper 2246. June 2004. World Bank.
Washington DC

Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat
Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan
Kakao/Agroforestri Kakao di Das Nopu, Sulawesi Tengah.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor

Munandar AS. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia.


Jakarta
125

Munawar, A. 2010. Bahan Kuliah Konservasi dan Rehabilitasi Habitat. Program


Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Universitas Bengkulu

Nagendra, H. (2002) Tenure and forest conditions: community forestry in the


Nepal Terai. Environment Conservation 29(4): 530– 539

Ngadiono, 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia; Refleksi dan Prospek.


Yayasan Adi Sanggoro. Jakarta

North D.C, 1990 Institutions, Institutional Change and Economic Performance.


Cambridge University Press.

Oakerson, R.J. (1992), „Analyzing the Commons: A Framework‟, in D.W.


Bromley (ed.), Making the Commons Work: Theory, Practice,
and Policy, San Francisco: ICS Press

Ong CK, Black SR, Marshall FM and Corlett JE 1996. Principle of Resource
Capture and Utilization of Light and Water, in C.K. Ong and P.
Huxley (ed) Tree Crop Interaction, Physiologigal Approach. 73-
158.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge University Press

Ostrom E 2003. How Types Goods and Property Rights Jointly Affect Collective
Action. Journal of Theoritical Politics, 15 (3): 239-270

Ostrom E, Schroeder L, Wynne S. 1993. Institutional Incentive and Sustainable


Development. Oxford UK : Westview Press

Ostrom E. 1999. Self Governance and Forest Resources. Occasional Paper


Number 20. Centre for International Forestry Research Bogor.

Ostrom, E. 2004. Understanding Collective Action. In Meinzen-Dick. R.S, and


Di Gregorio, M. (eds). Collective Action and Property Rights
For Sustainable Development Brief 2 of 16. International Food
Policy Research Institute (IFPRI). Washington D.C.

Pakpahan, A. 1989. Perspektif Ekonomi Institusi dalam Pengelolaan Sumberdaya


Alam. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia

Pearce DW, Turner KR. 1990. Economics Of Natural Resources and The
Enviroment, The John Hopkins University, Baltimore.p. 78.

Peter BG. 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. Political Science
Series. Institute for Advance Studies. Vienna
126

Potter G. 1994. The environmental hazards of Asia Pacific development: the


Southeast Asian rainforests. Current History 93(587):430-434.

Pratiwi, S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian


Konflik di Taman Nasional Halimun Gunung Salak [Disertasi].
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Purnomo D, dan SM Sitompul. 2005. Evaluasi Potensi dan Kendala


Pengembangan sistem agroforestri di Jawa Tengah. Jurnal
Habitat

Reed MS, Anil G, Norman D, Helena P, Klaus H, Joe M, Christina P, Claire HQ,
Lindsay C. S. 2009. Who‟s in and why? A typology of
stakeholder analysis methods for natural resource management.

Rustiadi E. 2006. Sumberdaya Bersama: Kerangka Teori Dasar, Isu dan


Tantangan Masa Depan di Indonesia. Bahan Kuliah m.a. Sistem
Penataan Ruang dan Lingkungan (PSL 705). Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sadino. 2006 Penataan Ruang Kehutanan dan Ketidakberpihakan Kepada Usaha


Perkebunan Kelapa Sawit. Biro Konsultasi Hukum dan
Kebijakan Kehutanan. Jakarta

Sanuddin. 2009. Analisis Stakeholders dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pinus


(Kasus Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang
Hasundutan). Info Sosial Ekonomi Kehutanan Vol 9 No 2.
Puslitsosek Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Bogor

Santoso I. 2007. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat


Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif: Analisis Sosio
Kultural. Jurnal Wawasan Volume 12 No 3 Tahun 2007.
Purwokerto

Sati IT. 2007. Manajemen Public Relation (Modul 3). Pusat Pengembangan
Bahan Ajar

Schmid AA. 1987. Property, Power and Public Choice: An inquiry into Law and
Economic. United Kingdom. Blacwell publishing.

Schmid AA. 2004 Conflict and Cooperatio: Institutional and Behavioral


Economics. Property, Power and Public Choice: An inquiry into
Law and Economic. Second Edition New York. Preager
127

Schlager E dan Ostrom E. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources:
a Conceptual Analysis. Land Economics, 68 (3): 249-262

Scott JC dan M Jaffe. 1991. Empowerment. Cambridge. Blackwell Publisher

Scott MC, Allen HC dan Glen MB. 1985 Effective Public Relations. Prentice Hall
New York

Soemarwoto O (1991) Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.


Jakarta:Penerbit Djambatan.

Suhaeri. 1994. Pengembangan Kelembagaan Taman Nasional Gunung Halimun


[Thesis]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Sugiyono. 2002. Statistik untuk Penelitian. Alfabet Bandung

Sumardjani L. 2006. Konflik Sosial Kehutanan : mencari Pemahaman Untuk


Penyelesaian Terbaik. Flora Mundial Communication. Bogor.

Sumardjo HS, Pang SA, Prabowo T, Djoko S. 2008. Kapasitas Petani dalam
Mewujudkan Keberhasilan Usaha Pertanian: Kasus Petani
Sayuran Di Kabupaten Pasuruan Dan Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian
Bogor Volume 4 No 1 Tahun 2008

Sundawati L, Askadi S. 2008. Restoring the Ecosystem Functions of Lake Toba


Catchment Area Through Community Development and Local
Capacity Building for Forest and Land Rehabilitation:
Stakeholder Analysis. International Tropical Timber
Organization (ITTO) and Centre of Forest and Nature
Conservation Research and Development (CFNCRD)

Suporahardjo, Faisal H.F, Siti,M. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa


Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor

Sutrisno A. 2011. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung


Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Pulau Kecil

Suwardi. 2000. Morfologi Tanah dan Klasifikasi Tanah.IPB Press. Bogor.

Suwardjo, M. 1996. Jenis-Jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah.


Bogor

Suwarno J. 2004. Analisa Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Daerah


Kabupaten Bogor. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Suwito. 2004. Governansi Hutan dan Hak-Hak Masyarakat. Riau Post 4 Agustus
2011
128

Steni B. 2004. Desentralisasi, Koordinasi dan Partisipasi Masyarakat dalam


Pengelolaan SDA Pasca Otonomi Daerah

Stiglitz, E.J. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company,
New York.

Sugiyono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta Bandung

Tjitradjaja, I. (2008). Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam


Bersama. Disampaikan pada Perkuliahan Agency, Pengetahuan
dan Lingkungan Alam, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah
Mada, 14 Maret 2008. Tidak dipublikasikan.Yogyakarta.

Uphoff N. 1986. Improving International Irrigational Management With Farmer


Partisipation; Getting the Process Right. Boulder CO. West
View Press

Vandergeest, P. (1996) Property rights in protected areas: obstacles to community


involvement as a solution in Thailand. Environmental Conservation 23:
259–268

[WALHI] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 1992. Violated Trust: Disregard


for the Forests and Forest Laws of Indonesia. The Indonesian
Environmental Forum (WALHI), Jakarta

Wijayanto RD. 2005. Analisis Pengaruh Pdrb, Pendidikan Dan Pengangguran


Terhadap Kemiskinan Di Kabupaten / Kota Jawa Tengah Tahun
2005 – 2008 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro. Semarang

Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York: Free
Press.

Wollenberg E., Y.C. Wulan, Y. Yasmi, C. Purba. 2004. Analisis Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Centre for International
Forestry Research. Bogor

Wollenberg E, Brian B, Douglas S, Sonya D, Moira M. 2004. Mangapa Kawasan


Hutan Penting Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia;
Governance Brief No 4. CIFOR. Bogor

World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and


Water. The World Bank, Washington, DC.

Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Definisi, Teori dan Strategi. Malang.
Bayumodia Publishing
129

LAMPIRAN
130

Lampiran 1. Peraturan Perundanga Undangan

Aspek
Peraturan Perundangan Isi
Hak
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
Kepemilikan
Pasal 33 ayat 3 UUD terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
Terhadap
1945 dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
Kawasan
kemakmuran rakyat.
HLGD
Semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang
Pasal 4 UU 41/1999
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Tentang Kehutanan
Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat
Kriteria kawasan hutan lindung adalah:
1. Kawasan Hutan dengan faktor-faktor
lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan
yang melebihi nilai skor 175, dan/atau
Pasal 8 Keppres 32/1990
Pemantapan 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng
tentang Pengelolaan
dan Penetapan lapangan 40% atau
Kawasan Lindung
3. lebih dan/atau
4. Kawasan Hutan yang mempunyai
ketinggian diatas permukaan
laut 2.000 meter atau lebih
Kriteria hutan lindung, dengan memenuhi
salah satu :
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor
kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan
dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh
puluh lima) atau lebih;
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng
Pasal 24 butir 3 PP No lapangan 40% (empat puluh per seratus)
44/2004 tentang atau lebih;
Perencanaan Kehutanan 3. Kawasan hutan yang berada pada
ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau
lebih di atas permukaan laut;
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah
sangat peka terhadap erosi dengan lereng
lapangan lebih dari 15% (lima belas per
seratus);
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah
resapan air; Kawasan hutan yang
merupakan daerah perlindungan pantai
Pasal 5 SK Menhut/ Kawasan hutan yang ditunjuk harus
32/2001 tentang Kriteria memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu a)
dan Standart belum pernah ditunjuk atau ditetapkan
Pengukuhan kawasan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak
hutan dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar
131

dalam peta penunjukkan kawasan hutan dan


perairan yang ditetapkan oleh Menteri
1. Bupati/Walikota menyelenggarakan
inventarisasi hutan tingkat wilayah
kabupaten/kota dengan mengacu pada
pedoman penyelenggaraan inventarisasi
hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal
8.
2. Penyelenggaraan inventarisasi hutan
tingkat kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan
melaksanakan inventarisasi hutan di
seluruh wilayah kabupaten/ kota untuk
Pasal 10 PP 44/2004 memperoleh data dan informasi
tentang Perencanaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Ayat
Kehutanan (1).
3. Penyelenggaraan inventarisasi hutan
tingkat kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
dengan mengacu hasil inventarisasi hutan
tingkat provinsi.
4. Dalam hal hasil inventarisasi hutan
tingkat provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat belum tersedia, maka
Bupati/Walikota dapat menyelenggarakan
inventarisasi hutan untuk mengetahui
potensi sumber daya hutan terbaru yang
ada di wilayahnya
1. Pelaksanaan penataan batas kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal
19 ayat (3) dilakukan oleh Panitia Tata
Batas kawasan hutan.
2. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh Bupati/Walikota.
3. Unsur keanggotaan, tugas dan fungsi,
prosedur dan tata kerja Panitia Tata Batas
kawasan hutan diatur dengan Keputusan
Pasal 20 PP 44/2004 Menteri.
tentang Perencanaan 4. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan
Kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
antara lain bertugas:
a. melakukan persiapan pelaksanaan
penataan batas dan pekerjaan
pelaksanaan di lapangan;
b. menyelesaikan masalah-masalah : 1)
hak-hak atas lahan/tanah disepanjang
trayek batas; 2)hak-hak atas
lahan/tanah di dalam kawasan hutan;
c. memantau pekerjaan dan memeriksa
hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan
132

tata batas di lapangan;


d. membuat dan menandatangani Berita
Acara Tata Batas Kawasan Hutan
dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan.
5. Hasil penataan batas kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dituangkan dalam Berita Acara Tata
Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata
Batas Kawasan Hutan yang
ditandatangani oleh Panitia Tata Batas
Kawasan Hutan dan diketahui oleh
Bupati/Walikota.
6. Hasil penataan batas kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
disahkan oleh Menteri
1. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan,
dilakukan penataan batas kawasan hutan.
2. Tahapan pelaksanaan penataan batas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup kegiatan:a) Pemancangan
patok batas sementara; b) Pengumuman
hasil pemancangan patok batas
sementara; c) Inventarisasi dan
penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang
berada di sepanjang trayek batas dan di
dalam kawasan hutan; d) Penyusunan
Berita Acara Pengakuan oleh masyarakat
di sekitar trayek batas atas hasil
pemancangan patok batas sementara; e)
Penyusunan Berita Acara Pemancangan
batas sementara yang disertai dengan peta
pemancangan patok batas sementara; f)
Pasal 19 PP 44/2004 Pemasangan pal batas yang dilengkapi
tentang Perencanaan dengan lorong batas; g) Pemetaan hasil
Kehutanan penataan batas; h) Pembuatan dan
penandatanganan Berita Acara Tata Batas
dan Peta Tata Batas; dan i) Pelaporan
kepada Menteri dengan tembusan kepada
Gubernur.
3. Berdasarkan kriteria dan standar
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 16 ayat (3),
Gubernur menetapkan pedoman
penyelenggaraan penataan batas.
4. Berdasarkan pedoman penyelenggaraan
penataan batas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bupati/Walikota
menetapkan petunjuk pelaksanaan
penataan batas.
5. Bupati/Walikota bertanggung jawab atas
penyelenggaraan penataan batas kawasan
hutan di wilayahnya
133

Prosedur penyusunan rencana tata ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) meliputi:
Pasal 20 PP 15/2010 a. proses penyusunan rencana tata ruang;
tentang Penyelenggaraan b. pelibatan peran masyarakat dalam
Penataan Ruang perumusan konsepsi rencana tata ruang;
dan
c. pembahasan rancangan rencana tata ruang
oleh pemangku kepentingan
Bupati/Walikota mengajukan Rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata
Ruang Kabupaten/Kota kepada BKPRN
dengan tembusan kepada Menteri dilengkapi
dengan:
Pasal 12 Permenhut
a. dokumen Rencana Tata Ruang
28/2009 tentang tata cara
Kabupaten/Kota beserta lampirannya;
konsultasi persetujuan
b. rekomendasi Gubernur; dan
substansi kehutanan
c. peta usulan perubahan peruntukan dan
dalam RTRW
fungsi kawasan hutan dalam Rancangan
Perda tentang Rencana Tata Ruang
Kabupaten / Kota, berikut hasil kajian
teknis dan rencana pemanfaatannya

(1) Penunjukan kawasan hutan meliputi :


a. Wilayah provinsi; dan
b. Wilayah tertentu secara partial.
(2) Penunjukan kawasan hutan wilayah
provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf
a dilakukan oleh Menteri dengan
memperhatikan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) dan atau
pemaduserasian TGHK dengan RTRWP.
(3) Penunjukan wilayah tertentu secara
Pasal 18 PP 44/2004
partial menjadi kawasan hutan harus
tentang Perencanaan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Hutan
a. usulan atau rekomendasi Gubernur dan
atau Bupati/Walikota;
b. secara teknis dapat dijadikan hutan.
(4) Penunjukan wilayah tertentu untuk dapat
dijadikan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan
oleh Menteri.
(4) Penunjukan kawasan hutan wilayah
provinsi dan atau secara partial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Menteri
Pasal 39 Keppres
Pemerintah Daerah Tingkat II wajib
32/1990 tentang
mengendalikan pemanfaatan
Pengelolaan Kawasan
ruang di kawasan lindung
Lindung
Pasal 16 PP 44/2004 1. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan,
134

tentang perencanaan Menteri menyelenggarakan pengukuhan


hutan kawasan hutan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.
2. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
tahapan proses :a. Penunjukan kawasan
hutan; b. Penataan batas kawasan hutan;
c. Pemetaan kawasan hutan; dan d.
Penetapan kawasan hutan.
3. Kriteria dan standar pengukuhan kawasan
hutan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi
kegiatan:
a. tata hutan dan penyusunan rencana
Pasal 21 UU 41/1999
Pengelolaan pengelolaan hutan,
tentang Kehutanan
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam
1. Pemanfaatan hutan pada hutan
lindung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 dapat dilakukan melalui
Pasal 23 PP No 6/2007 kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b.
tata hutan dan rencana pemanfaatan jasa lingkungan; atau c.
pengelolaan hutan serta pemungutan hasil hutan bukan kayu.
pemanfaatannya 2. Dalam blok perlindungan pada hutan
lindung, dilarang melakukan kegiatan
pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
1. Di dalam kawasan hutan lindung dapat
Pasal 2 Perpres No dilakukan kegiatan penambangan dengan
28/2011 Penggunaan metode penambangan bawah tanah.
Kawasan HL untuk 2. Penggunaan kawasan hutan lindung untuk
Pertambangan Bawah kegiatan penambangan bawah tanah
Tanah dilakukan tanpa mengubah peruntukan
dan fungsi pokok kawasan hutan lindung
1. Penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan untuk kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis yang
Pasal 4 PP 24/2010 tidak dapat dielakkan.
tentang Penggunaan 2. Kepentingan pembangunan di luar
Kawasan Hutan kegiatan kehutanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan: a. religi; b. pertambangan;
c. instalasi pembangkit, transmisi,
dan distribusi listrik, serta teknologi
energi baru dan terbarukan; d.
135

pembangunan jaringan
telekomunikasi, stasiun pemancar
radio, dan stasiun relay televisi; e.
jalan umum, jalan tol, dan jalur
kereta api; f. sarana transportasi
yang tidak dikategorikan sebagai
sarana transportasi umum untuk
keperluan pengangkutan hasil
produksi; g. sarana dan prasarana
sumber daya air, pembangunan
jaringan instalasi air, dan saluran air
bersih dan/atau air limbah; h.
fasilitas umum; i. industri terkait
kehutanan; j. pertahanan dan
keamanan; k. prasarana penunjang
keselamatan umum; atau l.
penampungan sementara korban
bencana alam
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan
pemerintahan meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
Pasal 2 ayat 4 PP
j. kependudukan dan catatan sipil;
38/2007 tentang
k. pemberdayaan perempuan dan
Pembagian Kewenangan
perlindungan anak;
antara Pemerintah Pusat,
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
Pemerintah Propinsi dan
m. sosial;
pemerintah kabupaten
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
kota
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum,
administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
136

y. komunikasi dan informatika;


z. pertanian dan ketahanan pangan;
aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan; dan
ee. perindustrian
Pembinaan (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
dan Pasal 60 UU 41/1999 melakukan pengawasan kehutanan.
Pengawasan tentang Kehutanan (2) Masyarakat dan atau perorangan berperan
serta dalam pengawasan kehutanan
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud
Pasal 15 dan 19 UU no
pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau
32 Tahun 2009 tentang
evaluasi
Perlindungan dan
Pasal 19
Pengelolaan Lingkungan
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi
Hidup
lingkungan
hidup dan keselamatan masyarakat, setiap
perencanaan tata ruang wilayah wajib
didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup
(1) Untuk tertibnya pelaksanaan tata hutan
dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, serta
pemanfaatan hutan :
a. Menteri, berwenang membina dan
mengendalikan
kebijakan bidang kehutanan yang
Pasal 123 PP 6/2007 dilaksanakan gubernur,
tentang tata hutan dan bupati/walikota, dan/atau kepala KPH;
rencana pengelolaan b. Gubernur, berwenang membina dan
hutan serta mengendalikan
pemanfaatannya kebijakan bidang kehutanan yang
dilaksanakan
bupati/walikota, dan/atau kepala KPH.
(2) Menteri, gubernur dan bupati/walikota
sesuai
kewenangannya melakukan pembinaan dan
pengendalian
terhadap pelaksanaan tata hutan dan
137

penyusunan rencana
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan
yang
dilaksanakan oleh kepala KPH, pemanfaat
hutan, dan/atau
pengolah hasil hutan
Pasal 48
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 47 aya t (1) meliputi
pemberian :
a. pedoman;
b. bimbingan;
c. pelatihan;
d. arahan; dan atau
e. supervisi.
(2) Pemberian pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan
terhadap
penyelenggaraan perlindungan hutan
oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
atau
Kabupaten atau Kota termasuk
pertanggungjawaban, laporan dan
evaluasi atas
akuntabilitas kinerja Gubernur dan
Bupati atau Walikota.
Pasal 48-49 PP 45/2004
(3) Pemberian bimbingan sebagaimana
tentang Perlindungan
Hutan dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
ditujukan
terhadap penyusunan prosedur dan tata
kerja.
(4) Pemberian pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan
terhadap
sumber daya aparatur.
(5) Pemberian arahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d
mencakup kegiatan
penyusunan rencana, program dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional.
(6) Supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e ditujukan terhadap
pelaksanaan sebagian kegiatan
pengurusan hutan yang dilimpahkan atau
diserahkan
kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Kota
138

Pasal 49
(1) Pengendalian sebagaimana dimaksud
pada Pasal 47 ayat ( 1 ) meliputi kegiatan
:
a. monitoring;
b. evaluasi; dan atau
c. tindak lanjut
(2) Kegiatan monitoring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
kegiatan
untuk memperoleh data dan informasi,
kebijakan dan pelaksanaan perlindungan
hutan.
(3) Kegiatan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
kegiatan untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan
perlindungan hutan dilakukan secara
periodik.
(4) Kegiatan tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan tindak
lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna
penyempurnaan kebijakan dan
pelaksanaan
perlindungan hutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang
penilaian keberhasilan pelaksanaan
perlindungan hutan
secara periodik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur oleh Menteri

You might also like