Professional Documents
Culture Documents
Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar)
Model Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar)
ISWAN DUNGGIO
Iswan Dunggio
NIM E061060031
ABSTRACT
ISWAN DUNGGIO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F
Anggota Anggota
Diketahui
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan baik, Tak lupa shalawat dan
salam buat Nabi Muhammad SAW atas keteladannya. Judul dari disertasi yang
dilaksanakan sampai dengan bulan Juli 2011 adalah Model Kelembagaan Pengelolaan
Hutan Lindung (Kasus Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar Provinsi Gorontalo).
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir.
Sambas Basuni, MS, sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan,
MS dan Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F sebagai anggota atas arahan dan diskusi yang
sangat berharga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Ilmu
Pengetahuan Kehutanan IPB atas pelayanannya selama menempuh studi S3 di Institut
Pertanian Bogor. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada kepada istri
tercinta Indah Agustinawati SE atas kesabaran dan doanya, orang tua Halim Dunggio dan
Isna Pakaya, adik-adik Taufik Dunggio dan Sri Yulan Dunggio serta seluruh keluarga
besar atas motivasi dan doa yang tulus kepada penulis, Rektor Universitas Gorontalo,
Pemerintah Provinsi Gorontalo, Pemda Kabupaten Gorontalo, Pemda Kabupaten Bone
Bolango, teman-teman angkatan 2006/IPK, teman-teman dosen dan mahasiswa di
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo, teman-teman Asrama Gorontalo di Bogor.
Semoga apa yang penulis lakukan ini akan bermanfaat buat bangsa, negara dan agama
Hal
I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang…..………………………………………………….. 1
1.2. Kerangka Pikir……..……………………………………………….. 4
1.3. Perumusan Masalah………………………………………………... 6
1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 8
1.5. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 8
1.6. Novelty……………………………………………………………… 8
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 133
DAFTAR TABEL
No Hal
No Hal
1. Kerangka Pikir……………………………………………………………… 6
2. Hubungan antara persentase luas hutan Negara dan kemiskinan............ 18
3. Peta lokasi penelitian……………………………………………………….. 21
4. Matriks stakeholder dan pengaruh serta tingkat kepentingannya .………. 29
5. Tahapan Penelitian…………………………………………………………. 35
6. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Gorontalo
Periode 1999-2009…………………………………………………………… 39
7. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001……………………. 40
8. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004……………………. 41
9. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009……………………. 42
10. Grafik Laju Degradasi Tutupan Lahan di HLGD Kabupaten Bone Bolango... 46
11. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001……………….. 47
12. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004……………….. 48
13. Peta perubahan tutupan lahan Hutan Lindung Gunung Damar
di wilayah Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009……………….. 49
14. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas
pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Gorontalo……………. 99
15. Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders berdasarkan tugas
pokok organisasi pengelolaan HLGD di Kabupaten Bone Bolango……….. 100
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Menurut Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan lindung
didefinisikan sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan pengertian menurut versi
undang-undang 41 tersebut maka hutan lindung merupakan sumberdaya alam
berupa stock yang dapat menghasilkan fungsi-fungsi yang sifatnya intangible.
Menurut Basuni (2003) pemanfaatan sumberdaya beragam yang dihasilkan
dari fungsi-fungsi intangible hutan akan mengakibatkan terjadinya
interdependensi antar pengguna. Kartodihardjo et al. (2004) mengemukakan
bahwa sumberdaya alam bisa digolongkan dalam bentuk stock atau modal alam
(natural capital) seperti daerah aliran sungai (DAS), danau, kawasan lindung,
pesisir yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. Sumberdaya
alam dalam bentuk stock mempunyai fungsi-fungsi yang berguna bagi publik dan
fungsi tersebut tidak bisa dibagi-bagi kepada perseorangan dan tidak pula dapat
dimiliki oleh perorangan.
Salah satu kawasan hutan yang bersifat stock seperti itu adalah hutan
lindung Gunung Damar (HLGD) di Provinsi Gorontalo. Hutan lindung Gunung
Damar ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 452/Kpts-II/1999 dengan
luas 20.117 ha atau 12% dari seluruh total kawasan hutan lindung di Propinsi
Gorontalo. Meskipun luasanya hanya 12% dari total hutan lindung di Propinsi
Gorontalo, HLGD menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat
khususnya di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo karena merupakan hulu
dari 3 DAS besar yaitu DAS Bionga, DAS Limboto dan DAS Bolango. Secara
administrasi HLGD terletak di dua kabupaten yaitu; Kabupaten Gorontalo dan
Bone Bolango. Disamping sebagai hulu dari 3 DAS penting, HLGD juga
mempunyai fungsi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sebagai tempat untuk
melakukan aktivitas pertanian, perkebunan dan memanfaatkan jasa lingkungan
seperti air. Beberapa pihak seperti Universitas Gorontalo memanfaatkan HLGD
sebagai lokasi penelitian dan perkemahan, perusahaan daerah air minum (PDAM)
memanfaatkan HLGD sebagai sumber air baku.
2
1
Collective action adalah suatu aksi yang dilakukan oleh sekolompok individu baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama
(Marshal, 1998). Selanjutnya Ostrom (2004) menambahkan bahwa aksi kolektif akan timbul bila
dalam mencapai satu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu
4
2
Common pool resource adalah sumber daya yang tersedia bagi siapa saja, sehingg sangat sulit
untuk mengontrol sumberdaya tersebut dan sumberdaya menjadi sangat mudah terdegrdasi
(McKean, 2000)
5
. SITUASI HLGD
Ekologi Sosial Ekonomi
KELEMBAGAAN
PERILAKU
1. Masyarakat sekitar hutan lindung
2. Pemerintah dan Pemerintah daerah Kabupaten Gorontalo dan Bone
Bolango
3. Lembaga Swadaya Masyarakat
4. Individu: tokoh masyarakat, perguruan tinggi
OUTCOME
Perubahan tutupan lahan
a. Kabupaten Gorontalo
b. Kabupaten Bone Bolango
3
Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi,
organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa
aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain pemain atau organisasi
yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan
tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial
dan organisasi pendidikan (North, 1990)
10
kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan
kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan
masyarakat.
Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau
kelembagaan dapat merubah faktor eksternal (eksogen) dalam proses
pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan.
Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal (endogen) dalam
pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai
akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan
institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama
kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik
input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses
transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan
juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu,
organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang
digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan
atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh
kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber
interdependensi merupakan karakteristik sumberdaya yang dibicarakan.
Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint
impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi.
2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources
Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah
yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya.
Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau
fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan
subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse
(Ostrom, 1990)
Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para
peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1999) untuk menjelaskan karakteristik
sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat
substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti
12
adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu
dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat
lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan
otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap
pengguna. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau
mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya.
Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational
level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama
(collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima
hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti
sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi
jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka
property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula
bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung
memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air
yang ada.
Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat
dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap
(propriator), (3) pengklaim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas
(authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya
memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi
otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses
dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak
dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau
masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus
melalui pemerintah.
Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama (CPR)
maka Ostrom (1990) menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1) tata batas
terdefinisikan dengan jelas, 2) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal, 3) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian
besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4) monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik
14
mencapai 110,6 juta hektare, maka total penanaman dalam rangka Gerakan
Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mencapai 2,028 juta hektar
baru ibarat setitik air di padang tandus. Makin luasnya lahan kritis ini tidak saja
merugikan industri pengolahan kayu yang terancam kesulitan memperoleh
pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri secara
berkesinambungan dan lestari. Degradasi lahan dan hutan juga mengancam
kelestarian sumber air, selain menyebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan
pemanasan global.
2.5. Dampak Degradasi Hutan
Menurut hasil penelitian Ihsanurizal (2005) bahwa dampak langsung dari
adanya degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah hilangnya potensi kayu,
pengambilan manfaat dari kayu hasil hutan non kayu senilai Rp 24,45 miliar.
Akibat dampak ini pula perekonomian di Kalimantan Timur turun sebesar 0,17%.
Sedangkan dampak tidak langsung dari degradasi hutan adalah turunnya supply
kayu bagi industry kayu, dengan demikian para pekerja yang berhubungan dengan
industry sektor kehutanan akan kehilangan sebagian mata pencaharian.
Menurut Hutajulu (2010) akibat adanya degradasi hutan yang disebabkan
oleh pembalakan liar di Kabupaten Jayapura, negara kehilangan pendapatan
sebesar Rp 1.942.866.894.272,- yang terdiri dari Rp 1.941.855.537.720, potensi
kehilangan kayu Rp 465.211.270,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan
Rp 546.145.282,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor
gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian,
peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.178.264.000.
Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume
penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu dan lain sebagainya dengan nilai kerugian
sebesar Rp 152.325.000. Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat
akibat tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni
sebesar Rp 15.102.600.
Degradasi hutan dan ekosistemnya yang terjadi akibat pembalakan liar
ternyata juga diiringi dengan menurunnya kemampuan penduduk yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan dalam daya beli dan akses terhadap SDAH. Keadaan
ini dipersulit dengan minimnya kemampuan pemerintah dalam membangun
18
100
80
PERSEN
60
40
20
-
DKI
Maluku
Kaltim
Riau
Papua
Sumut
Bengkulu
NAD
Bali
Kalsel
Sulsel
Sultra
Kalteng
Sulut
Sulteng
Kalbar
Lanjutan Tabel 1
Aspek Data/Informasi Rujukan Kegunaan data
Penelitian
Luas lahan Luas lahan dalam satuan Mendeskripsikan luas
masyarakat hektare yang dikuasai lahan yang dikuasai oleh
diluar kawasan oleh setiap kepala setiap kepala keluarga
hutan lindung keluarga dalam kaitannya dengan
HLGD pola penggunaan lahan
Luas lahan Luas lahan jagung dalam Mendeskripsikan tingkat
jagung disekitar satuan hektar yang produktivitas jagung
kawasan dikuasai oleh setiap yang digarap oleh setiap
Sosial
HLGD kepala keluarga kepala keluarga dalam
ekonomi
kaitannya dengan pola
penggunaan lahan
Kebijakan Harga jagung di tingkat Mendeskripsikan
penetapan petani disekitar kawasan perkembangan harga
harga jagung HLGD jagung yang diduga
mempengaruhi
pengelolaan lahan
didalam hutan lindung
Peraturan Peraturan perundangan Mendeskripsikan
perundang- meliputi: peraturan perundangan
undangan 1. Undang undang yang berkaitan dengan
mengenai hutan 2. Peraturan pengelolaan hutan
lindung pemerintah lindung
3. Keputusan presiden
4. Peraturan menteri
5. Keputusan menteri
6. Peraturan daerah
7. Keputusan Bupati
Klasifikasi Klasifikasi stakeholders: Mendeskripsikan
stakeholders 1. Stakeholders subyek stakeholders berdasarkan
yang terlibat 2. Stakeholders key tingkat kepentingannya,
Kelembagaan
dalam player pengaruh dan posisi
pengelolaan 3. Stakeholders context stakeholders dalam
HLGD setter pengelolaan HLGD
4. Stakeholder Crowd
Tugas pokok Klasifikasi tugas pokok Untuk mengidentifikasi
dan fungsi tersebut dimodifikasi perilaku dan tumpang
lembaga formal dari Undang-Undang 41 tindih kewenangan
dalam Tahun 1999: dalam pengelolaan
pengelolaan 1. Penetapan dan HLGD
HLGD Pemantapan
2. Pengelolaan
3. Pembinaan dan
Pengawasan
24
b. Data penunjang
Data penunjang dalam penelitian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data penunjang yang dibutuhkan dalam penelitian
Aspek Data/informasi Rujukan Kegunaan data
Penelitian
Pola dan tipe Mendeskripsikan
Biofisik Penggunaan lahan penggunaan lahan Pola dan tipe
penggunaan lahan
Jumlah dan struktur Mendeskripsikan
umur penduduk, karakteristik
Karakteristik mata pencaharian penduduk yang
Sosial ekonomi
penduduk penduduk tinggal dan diluar
kawasan hutan
lindung
Mendeskripsikan
efektifitas tata
batas kawasan
Informasi panjang
Tata batas HLGD dalam
Kelembagaan batas kawasan yang
kawasan HLGD menentukan
telah di tata-batas
yurisdiksi
pengelolaan
HLGD
mana saja yang bisa bekerja sama. Gambaran tentang posisi stakeholders dalam
pengelolaan Hutan Lindung Gunung Damar dapat dilihat dalam Gambar 4.
K
E
P
E
N
T
I
N
G
A
N
PENGARUH
ini diuraikan rataan degradasi hutan untuk setiap periode berdasarkan hasil
analisis citra landsat tahun 1999, 2001, 2004 dan 2009
Pada periode 1999-2001 tutupan hutan di HLGD berkurang sebesar 247.90
ha dengan laju penurunan sebesar 1.73%/tahun. Penurunan tutupan hutan diikuti
dengan bertambah luasnya lahan pertanian sebesar 138.47 ha atau mengalami
peningkatan sebesar 2.97%/tahun. Peningkatan luasan yang cukup besar terjadi
pada semak sebesar 494.35 ha atau terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5.30%.
Terbentuknya semak belukar di kawasan HLGD tidak terlepas dari sistem
peladang berpindah yang dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat sekitar HLGD.
Menurut Barbour et al. 1999, semak belukar merupakan lahan yang diberakan dan
mengalami suksesi dengan masuknya jenis-jenis tumbuhan secara alami mulai
dari komponen pionir hingga suksesi lanjut. Perubahan tutupan hutan pada
periode 1999-2001 dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 9
Tabel 5. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 1999-2001 di
wilayah Kabupaten Gorontalo
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per Tahun (%)
1 Hutan -247.90 -1.73
2 Lahan pertanian 138.44 2.97
3 Semak belukar 494.35 5.30
4 Lahan terbuka 193.07 3.27
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Pada periode 2001-2004 penurunan tutupan hutan meningkat dibandingkan
dengan tutupan hutan tahun 1999-2001. Tutupan hutan berkurang hingga
mencapai 1320.47 ha atau mengalami degradasi sebesar 6.37%/tahun. Selain itu,
tutupan lahan lain yang mengalami perubahan yang cukup besar pada periode ini
adalah lahan pertanian sebesar 626.08 ha atau meningkat sebesar 8.45%/tahun.
Selanjutnya laju perubahan tutupan hutan lindung tahun 2001-2004 dapat dilihat
pada Tabel 6
Tabel 6. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Gorontalo
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1320.46 -6.37
2 Lahan pertanian 626.08 8.45
3 Semak belukar -430.71 -14.95
4 Lahan terbuka -178.81 -12.21
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
38
1500
L 932.13
a 1000
j 626.08
494.35
u 500
138.44 193.07
D 0
e Hutan Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
g -247.9 -184.61 -178.81 -186.48
r -500 -430.71
a
d -1000
a
s -1500 -1320.46
i
-1792.84
-2000
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009
Gambar 7. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 1999 dan 2001
41
Gambar 8. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2001 dan 2004
42
Gambar 9. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di wilayah Kabupaten Gorontalo tahun 2004 dan 2009
43
Tabel 10. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2001-2004 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Jenis Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -777.70 -3.23
2 Lahan pertanian 185.57 12.32
3 Semak belukar -2.01 -0.66
4 Lahan terbuka -13.46 -7.08
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Periode 2004-2009 perubahan jenis tutupan lahan yang paling besar terjadi
pada tutupan hutan. Tutupan hutan ini mengalami penurunan yang paling besar
selama periode tahun 1999 sampai tahun 2009. Penurunan tutupan hutan
mencapai 1193.95 ha atau rata-rata sebesar 4.11%/tahun. Jika dibandingkan
dengan laju perubahan tutupan lahan hutan sebesar 8.02%/tahun di Kabupaten
Gorontalo maka laju perubahan tutupan lahan hutan di Kabupaten Bone Bolango
relatif lebih rendah. Tipe tutupan lahan lain yang mengalami peningkatan yang
cukup besar adalah lahan pertanian sebesar 269.03 ha atau rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 9.78%/tahun. Jika dibandingkan dengan peningkatan lahan
pertanian di HLGD Kabupaten Gorontalo sebesar 7.53% maka tutupan lahan
pertanian di Kabupaten Bone Bolango relatif lebih besar. Data mengenai
perubahan tutupan lahan pada periode ini dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar
13.
Tabel 11. Laju perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD Tahun 2004-2009 di
wilayah Kabupaten Bone Bolango
No Penutupan Lahan Luas (ha) Laju Per tahun (%)
1 Hutan -1193.95 -4.12
2 Lahan pertanian 269.03 9.78
3 Semak belukar -54.13 -13.57
4 Lahan terbuka -36.26 -18.17
Keterangan : (-) Berkurang/mengalami penurunan
Secara umum perbandingan tutupan lahan selama periode 1999-2009 dapat
dilihat pada Gambar 12
46
3000.00
L 2500.00
a
j 2000.00
u
1500.00
2690.35
D
1000.00
e
g 500.00
r 185.57
94.30 33.46 27.06
a 0.00
-309.65Hutan -2.01 -13.46 -36.26
d Lahan pertanian Semak belukar Lahan terbuka
a -500.00 -541.30
-777.70
s
-1000.00 -1193.95
i
-1500.00
Jenis Penutupan Lahan
1999-2001 2001-2004 2004-2009
Gambar 10. Grafik laju degradasi tutupan hutan di kawasan HLGD Bone Bolango
Berdasarkan uraian di atas, ancaman terhadap keberadaan HLGD di
Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango berasal dari pemukiman,
perladangan dan pengambilan kayu secara tidak sah. Aktivitas sistem perladangan
oleh masyarakat, pemukiman dan pengambilan kayu secara tidak sah merupakan
aktivitas yang paling sering ditemukan di HLGD yang masuk dalam wilayah
administrasi Kabupaten Gorontalo, sedangkan di Kabupaten Bone Bolango
aktivitas yang paling menonjol adalah perladangan berpindah. Aktivitas
perladangan dan pemukiman merupakan aktivitas yang dilakukan sejak lama
bahkan sebelum kawasan HLGD ditunjuk oleh menteri kehutanan menjadi
kawasan lindung. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah terbentuknya desa desa
tersebut. Pada umumnya desa yang terdapat disekitar kawasan HLGD telah ada
sekitar tahun 1800-an. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat diperoleh informasi bahwa terbentuknya pemukiman baru dimasa lalu
selalu disertai dengan pembukaan lahan pertanian untuk mendukung kehidupan
penduduk setempat. Pada umumnya ladang-ladang yang dibuka oleh masyarakat
relatif berdekatan dengan pemukiman penduduk. Pola pemukiman penduduk yang
tinggal di dalam kawasan HLGD menyebar dan tidak terkonsentrasi pada satu
lokasi saja. Aktivitas pengambilan kayu secara tidak sah biasanya terjadi pada saat
pembukaan ladang.
47
Gambar 11. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 1999 dan 2001
48
Gambar 12. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2001 dan 2004
49
Gambar 13. Peta perubahan tutupan hutan di kawasan HLGD di Kabupaten Bone Bolango tahun 2004 dan 2009
50
mempunyai peran yang cukup besar mempengaruhi hasil air suatu DAS. Besarnya
laju perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di Kabupaten Gorontalo diduga
menyebabkan debit air sungai Bionga yang mempunyai hulu di HLGD mengalami
penurunan. Menurut Halida (2008) kondisi tutupan hutan primer yang relatif
terjaga di hulu DAS Bolango di Kabupaten Bone Bolango membuat kondisi debit
air sungai Bolango stabil bahkan debitnya meningkat. Sebaliknya kondisi
kerusakan diwilayah hulu DAS Bionga di Kabupaten Gorontalo telah
menyebabkan debit air sungainya menjadi kecil.
Tingkat kerusakan hutan dihulu DAS juga berdampak pada jumlah sedimen
yang terdapat pada dua wilayah DAS seperti terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah Sedimentasi di DAS Bionga dan DAS Bolango
Sedimentasi (gram/ha/bulan)
No Nama Sungai
2004 2005
1 DAS Bionga Kabupaten Gorontalo 0.73 2.10
2 DAS Bolango Kabupaten Bone Bolango 1.47 1.42
Sumber: Halida (2008), BP-DAS Bone Bolango (2009)
Berdasarkan tabel di atas terlihat pada tahun 2005 jumlah sedimen yang
terangkut pada aliran air sungai DAS Bionga lebih besar dibandingkan pada DAS
Bolango. Jumlah sedimen di DAS Bolango mengalami penurunan yakni 1.47
gram pada tahun 2004 menjadi 1.42 gram pada tahun 2005. Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2007) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
peningkatan luas hutan sebesar lima persen di sub DAS Cikao, dapat menurunkan
sedimen 2.69%. Peningkatan luas hutan 10% dapat menurunkan sedimen sebesar
5.72%. Dalam laporan yang sama dikemukakan bahwa peningkatan luas hutan
sebesar 5% di sub DAS Ciherang dapat menurunkan sedimen sebesar 2.21%.
Peningkatan luas hutan sebesar 10% dapat menurunkan sedimen sebesar 4.55%.
Indikator lain yang bisa dijadikan acuan telah rusaknya fungsi pengatur tata air di
HLGD adalah bertambah luasnya lahan kritis di DAS Bionga yakni 3.075 ha
sedangkan pada DAS Bolango 1.175 ha (BP-DAS Bone Bolango, 2009)
4.2. Situasi HLGD
a. Situasi Ekologi
Menurut Halidah et al. 2007 secara umum HLGD terdiri dari 2 tipe hutan
yaitu hutan alam sekunder dan hutan tanaman. Adapun ciri hutan alam sekunder
di HLGD antara lain tegakan muda, struktur lebih seragam, jenis kayu merupakan
52
kayu lunak, tidak awet, riap awal besar lambat laun mengecil. Sedangkan hutan
tanaman adalah hutan yang sengaja ditanam dengan jenis tanaman tertentu dengan
kepentingan tertentu. Vegetasi hutan tanaman di HLGD terdiri dari jenis tanaman
pinus dan agathis dengan umur lebih dari 80 tahun. Tidak ditemukan catatan
tertulis mengenai sejarah hutan tanaman di HLGD tetapi berdasarkan informasi
dari masyarakat, tanaman pinus dan agathis ditanam oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Jenis vegetasi yang terdapat di Hutan lindung Gunung Damar antara lain
adalah Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaqium amboinansis), Cempaka
(Elmerelia ovalis), Pinus (Pinus merkusii), Jati (Tectona grandis), Damar (Agathis
mollucana), dan beberapa jenis vegetasi lainnya. Sedangkan spesies kunci dari
mamalia yang terdapat di HLGD antara lain monyet hitam (Macaca heckii), babi
hutan (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), sedangkan untuk jenis aves
terdiri dari rangkong (Ryciteros cassidix), Maleo (Macropelon maleo), ayam
hutan (Gallus galus). Informasi terkait dengan potensi flora fauna juga didapatkan
dari masyarakat yang menyatakan sering melihat babi rusa (Babyrousa babirusa),
Anoa (Bubalus quarlesi), kuse (Palanger ursinus), tarsius (Tarsius sp) di sekitar
Gunung Pangga yang termasuk dalam kawasan HLGD (Maga 2010; Kaipa 2010).
Menurut Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 satwa-satwa ini termasuk yang
dilindungi oleh Pemerintah Indonesia.
Potensi lain yang terdapat di HLGD adalah tanaman obat dan tanaman hias.
Tanaman obat di HLGD terdiri dari 11 jenis tanaman obat yang didominasi oleh
tanaman jahe-jahean dengan potensi sebanyak 443 batang/ha. Sedangkan tanaman
hias terdiri dari 12 jenis dengan potensi antara 10 - 114 batang atau rumpun per-
hektar. Jenis tanaman hias ini didominasi oleh jenis paku-pakuan. Penyebaran
tanaman hias dan tanaman obat dipengaruhi oleh jenis tegakan. Pada umumnya
tanaman obat dan tanaman hias menyebar dibawah vegetasi tanaman pinus
(Halida et al. 2007). Potensi satwa dan vegetasi yang dijelaskan sebelumnya pada
umumnya menyebar di sebelah utara kawasan HLGD baik di wilayah Kabupaten
Gorontalo maupun Kabupaten Bone Bolango karena berdasarkan hasil interpretasi
citra digital dan ground check lapangan, kondisi hutan diwilayah ini relatif belum
terganggu oleh aktivitas manusia
53
Hasil interpretasi citra satelit tahun 2009 tutupan lahan di HLGD terdiri
hutan, lahan pertanian, semak dan lahan terbuka. Adapun tutupan lahan di HLGD
di wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango bisa
dilihat pada Tabel 14
Tabel 14. Jenis tutupan lahan kawasan HLGD tahun 2009
Luas Tutupan Lahan (ha)
No Jenis Penutupan Lahan
Gorontalo Bone Bolango
1 Hutan 3793.42 6056.73
2 Lahan Pertanian 4028.29 956.79
3 Semak 345.09 45.57
4 Lahan Terbuka 122.65 13.63
5 Lainnya 2890.39 1864.52
6 Sub Total Kabupaten 11179.84 8937.26
Luas Total 20117
dijadikan sebagai lahan budidaya baik untuk tanaman tahunan maupun tanaman
semusim karena memiliki solum tanah yang cukup dalam
Memiliki jenis tanah yang sebagian rawan terhadap erosi dan kemiringan
lereng yang didominasi oleh topografi yang curam, membuat kawasan HLGD
berpotensi memicu terjadinya erosi yang dapat mengurangi produktivitas tanah.
Menurut Lal (1995) pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas
pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung
yang tejadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari erosi tanah adalah
robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem
perakaran dan hanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya
kapasitas air tanah. Data mengenai erosi di kawasan HLGD terdapat di Tabel 18
Tabel 18. Tingkat bahaya erosi di kawasan HLGD
No Kelas Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase
1 Potensi Erosi berat 10.56 0.05
2 Potensi Erosi Sangat berat 20106.44 99.95
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa kawasan HLGD mengalami
tingkat erosi yang sangat besar dihampir seluruh kawasannya. Hal ini karena
adanya perubahan tutupan hutan menjadi non hutan di kawasan HLGD.
Berdasarkan penelitian Monde (2008) alih guna lahan hutan menjadi lahan
tanaman semusim mengakibatkan erosi dan aliran permukaan meningkat. Hal
tersebut terjadi karena minimnya penutupan permukaan tanah. Kondisi permukaan
tanah yang terbuka memungkinkan terjadinya dispersi agregat tanah ketika turun
hujan, kemudian butir tanah yang halus tersebut akan tererosi bila terjadi aliran
permukaan.Luasnya potensi untuk terjadinya erosi di HLGD membuat kawasan
ini menjadi rawan terhadap lahan kritis. Berdasarkan tingkat kekritisannya maka
lahan kritis di HLGD di terbagi menjadi 3 yaitu; agak kritis, kritis dan sangat
kritis seperti yang terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Potensi lahan kritis dan luasannya di kawasan HLGD
No Potensi Lahan Kritis Luas (ha) Persentase
1 Potensi Agak kritis 3425.91 17.03
2 Potensi Kritis 8350.61 41.51
3 Potensi Sangat kritis 8340.48 41.46
Total 20117.00 100.00
Sumber: BP-DAS Bone Bolango, 2010
56
Lahan agak kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup
vegetasi, atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi
kritis. Adapun ciri-ciri dari lahan kritis adalah persentase penutupan lahan < 50%,
wilayah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak
belukar tandus. Sedangkan lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak
sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat
sukar untuk direhabilitasi
Keadaan curah hujan diketahui dari 3 (tiga) stasiun klimatologi terdekat
yaitu stasiun klimatologi Bandara Jalaluddin, stasiun klimatologi Talumelito dan
stasiun klimatologi BPP Kwandang karena ketiga stasiun dapat mewakili lokasi
penelitian yaitu Hutan Lindung Gunung Damar. Curah hujan diperoleh
berdasarkan analisis data curah hujan tahunan selama 10 tahun. Analisis data
menunjukan bahwa pada Stasiun Meteorologi Jalaludin terdapat rata-rata curah
hujan sebesar 1.324 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson
termasuk dalam tipe C. Pada Stasiun Penakar Curah Hujan BPP Kwandang
terdapat rata-rata curah hujan sebesar 1.883 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim
Schimidt – Ferguson termasuk dalam tipe C. Sedangkan pada Stasiun Penakar
Curah Hujan di Stasiun Geofisika Talumelito terdapat rata-rata curah hujan
sebesar 1.585 mm/th, berdasarkan klasifikasi iklim Schimidt – Ferguson termasuk
dalam tipe C.
b. Situasi Sosial Ekonomi
Berdasarkan informasi yang didapat dari tokoh masyarakat, ketua adat dan
pemerintah lokal, keberadaan masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD
di wilayah Kabupaten Gorontalo telah ada sejak tahun 1305 dimana desa yang
pertama kali terbentuk adalah Desa Talumelito, sedangkan pemukiman yang
pertama kali terbentuk diwilayah Kabupaten Bone Bolango terjadi pada tahun
1815 yaitu Desa Longalo. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penduduk yang
tinggal didesa sampel penelitian berjumlah 9936 jiwa dengan rata rata
pertumbuhan penduduk 1.2% per tahun ditahun 2009. Jumlah penduduk dan
pertumbuhan penduduk di HLGD di desa sampel terdapat pada Tabel 20
57
Tabel 24. Tingkat pendapatan petani disekitar HLGD di Kabupaten Gorontalo dan
Bone Bolango
No Wilayah Pendapatan (Rp/bulan)
1 Kabupaten Gorontalo 1187923
2 Kabupaten Bone Bolango 980188
4
Panggoba adalah sebutan bagi orang yang menguasai ilmu perbintangan. Ilmu tersebut
diwariskan turun-temurun. Dengan melihat posisi bintang, panggoba akan menentukan kapan
waktu yang tepat untuk memulai menanam atau memanen.
62
Menurut Soemarwoto (1991) jika indeks daya dukung lahan < 1 maka lahan
tersebut masih dapat menampung lebih banyak penduduk untuk melaksanakan
aktivitas sosial ekonomi
Berdasarkan data hasil penelitian di wilayah sekitar HLGD masih
ditemukan masyarakat miskin. Pengetahuan terhadap keberadaan penduduk
miskin menjadi sangat penting untuk mengetahui kapasitas masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan meskipun kemiskinan bukan merupakan
wilayah dari pengelolaan hutan. Terdapat banyak cara untuk mengkategorikan
masyarakat miskin tapi intinya kemiskinan merupakan keadaan dimana
masyarakat kekurangan barang untuk melanjutkan hidupnya. Keadaan ini bisa
disebabkan oleh keterisolasian, ketidakberdayaan (powerless), buta huruf,
buruknya lingkungan hidup, dan derajat kesehatan yang rendah (World Bank,
2004 dalam Wijayanto 2005). Total jumlah penduduk miskin di sekitar wilayah
HLGD 1429 KK yang tersebar di desa-desa sampel. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat pada Tabel 30
Tabel 30. Jumlah penduduk miskin di sekitar HLGD
No Wilayah Jumlah Penduduk Miskin (KK)
1 Kabupaten Gorontalo 879
2 Kabupaten Bone Bolango 550
Jumlah 1429
Salah satu dimensi yang bisa dilihat sebagai akar permasalahan kemiskinan
adalah tingkat pendidikan. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan
masyarakat yang tinggal disekitar kawasan HLGD masih sangat rendah.
Pendidikan yang rendah akan menyebabkan adaptasi masyarakat terhadap
pengetahuan menjadi rendah. Padahal pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat
bisa mengelola sumberdaya alam dengan lebih baik. Menurut Sumardjo et el.
(2008) masyarakat petani yang memiliki pendidikan rendah cenderung
berperilaku untuk mempraktekkan usaha tani ala kadarnya. Kondisi ini
64
diukur dari efektifitasnya saat diimplementasikan. Betapa pun bagusnya isi teks
atau formula kebijakan, jika tidak dapat diimplementasikan, maka kebijakan
tersebut dianggap gagal. Oleh karena itu, selain teks (substansi), maka proses di
dalam penyusunannya juga memainkan peran penting
c. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi
Berdasarkan situasi kawasan HLGD yang telah dijelaskan sebelumnya
dalam kaitannya dengan pengelolaannya dapat dijelaskan situasi pengelolaan
HLGD. Situasi dapat didefinisikan sebagai karakteristik yang merupakan sumber
interdependensi. Pengetahuan mengenai sumber interdependensi dari sebuah
kawasan hutan lindung sangat diperlukan untuk memprediksi dampak alternatif
institusi terhadap kinerja. Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan efektif
dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik inheren
sumberdaya alam. Berikut akan dijelaskan beberapa karakteristik inheren terkait
dengan situasi yang diamati dalam penelitian ini antara lain: biaya ekslusi tinggi,
biaya transaksi, joint impact goods, incompatibilitas dan surplus
1) Biaya ekslusi tinggi
Secara hukum (de jure) HLGD adalah sumberdaya bersama yang dikuasai
oleh negara dengan struktur hak penuh seperti hak untuk memasuki dan
memanfaatkan, hak menentukan pengelolaan dan menentukan siapa saja yang bisa
berpartisipasi serta hak untuk memperjualbelikan. Tapi fakta di lapangan
menunjukkan pemerintah tidak dapat melaksanakan hak-hak tersebut karena
pemerintah tidak mampu mempertahankan kawasan HLGD sesuai tujuan
pengelolaannya.
Hasil analisis perubahan tutupan hutan menggunakan citra landsat TM7
antara tahun 1999-2009 menunjukkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Gorontalo adalah 33.93% sedangkan tutupan hutan di kawasan HLGD
Kabupaten Bone Bolango adalah 67.76%. Perubahan tutupan hutan menjadi non
hutan yang begitu besar di Kabupaten Gorontalo disebabkan oleh adanya konversi
lahan berhutan menjadi lahan pertanian. Hal ini terlihat dari luasnya lahan
pertanian di kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo yang mencapai 4028.29 ha
atau 36.03%. Seperti diketahui sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan HLGD di Kabupaten Gorontalo mempunyai mata pencaharian dari
66
dengan kepemilikan lahan oleh penduduk desa sekitar HLGD di Kabupaten Bone
Bolango yaitu mencapai 89.67%.
4.3. Aturan Formal Pengelolaan Hutan Lindung
Pengelolaan hutan lindung Gunung Damar tidak terlepas dari ketentuan
ketentuan yang terkandung dalam peraturan perundangan. Hasil identifikasi
terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
lindung berjumlah 11 peraturan-perundangan yang meliputi 1 surat keputusan
menteri kehutanan, 2 keputusan presiden, 5 peraturan pemerintah dan 3 undang
undang yang berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung seperti yang terlihat
pada Tabel 32.
Tabel 32 Aspek manajemen hutan lindung yang diatur oleh peraturan
perundangan (lihat lampiran 1)
Peraturan
Aspek Isi Interpretasi
Perundangan
Bumi dan air dan Seluruh sumberdaya alam
Hak kekayaan alam yang dikuasai oleh Negara dan
Kepemilikan terkandung didalamnya dipergunakan sebesar
Pasal 33 ayat
Terhadap dikuasai oleh Negara dan besarnya untuk
3 UUD 1945
Kawasan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat
HLGD sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Semua hutan di dalam Penegasan penguasaan
wilayah Republik negara atas kawasan hutan
Pasal 4 UU Indonesia termasuk termasuk potensi
41/1999 kekayaan alam yang sumberdaya alam yang
tentang terkandung di dalamnya terkandung di dalamnya
Kehutanan dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat
Pasal 8 Kriteria yang dipergunakan
Keppres Penunjukkan kawasan dalam penunjukkan
Penetapan 32/1990 hutan lindung didasarkan kawasan hutan lindung
dan tentang pada kriteria kelerengan, belum mempertimbangkan
Pemantapan Pengelolaan jenis tanah,curah hujan faktor sosial misalnya
Kawasan yang melebihi skor 175 adanya pemukiman di
Lindung dalam kawasan hutan
Pasal 24 Kriteria Penetapan Memperkuat
butir 3 PP kawasan hutan lindung Kriteriapenetapan hutan
No 44/2004 didasarkan pada kriteria lindung yang telah
tentang kelerengan, jenis ditetapkan sebelumnya oleh
Perencanaan tanah,curah hujan yang Keppres 32/1990
Kehutanan melebihi skor 175
Pasal 5 Kawasan hutan yang Pemerintah daerah harus
Kepmen ditunjuk harus memenuhi memastikan kawasan hutan
Kehutanan kriteria sebagai berikut yang tunjuk berdasarkan
73
rakyat. Berdasarkan dua ketentuan tersebut maka lahan hutan lindung Gunung
Damar merupakan wilayah yang dikuasai oleh Negara dan bebas dari hak-hak
pihak lain yang membebani lahan tersebut. Terkait dengan strata hak kepemilikan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) maka negara
selaku pemilik sumberdaya berhak melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu 1) hak
akses (acces rights) adalah hak untuk memasuki suatu area sumberdaya yang
memiliki batas-batas yang jelas dan menikmati manfaat non ekstraktif 2) hak
memanfaatkan (withdrawal rights) adalah hak untuk memanfaatkan suatu unit
sumberdaya atau produk dari suatu sistem sumberdaya 3) hak pengelolaan
(management rights) hak untuk mengatur pola pemanfaatan sumberdaya 4) hak
ekslusi (exclusion rights) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana akses tersebut dialihkan ke pihak lain, 5) hak
pengalihan (alienation rights) adalah hak untuk menjual dan menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut. Jika sebuah sumberdaya dikuasai
oleh negara maka para individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan
yang ditetapkan oleh pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya
tersebut. Demikian pula pemerintah juga mempunyai hak untuk memutuskan
aturan main penggunanya (Asikin, 2001). Dalam pengelolaan sumberdaya CPR
secara efektif baik oleh negara maupun sekelompok masyarakat maka Ostrom
(1990) mengemukakan beberapa prinsip agar sumberdaya CPR tersebut mencapai
kinerja optimal antara lain 1) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi
lokal 2) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian
besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan 3) monitoring efektif yang
dilakukan oleh pemilik dalam hal ini pemerintah 5) terdapat sanksi bagi bagi yang
tidak menghormati aturan. Selanjutnya Kartodihardjo (2010) mengemukakan
kebijakan pengelolaan CPR oleh pemerintah seharusnya tidak memisahkan
masyarakat lokal dengan sumberdaya alam, melainkan menumbuhkan usaha
masyarakat agar menjadi pelindung SDA.
b. Penetapan dan pemantapan hutan lindung
Menurut Sadino (2006) penetapan kawasan hutan adalah proses penentuan
yuridis formal baik secara fisik di lapangan disertai dengan desain kawasannya
sebagai dasar pengelolaan hutan secara efisien, efektif dan lestari dengan kata lain
77
dalam kawasan HLGD untuk memperoleh kepastian hak dari masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan HLGD.
Dalam pengelolaan hutan lindung diatur pula ketentuan tentang kewenangan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan lindung.
Kewenangan Pemda untuk mengambil berbagai keputusan dalam pengelolaan
hutan, tidak banyak dibahas dalam UU 41/1999. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007.
Kewenangan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung meliputi :
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian
perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang
tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa
lingkungan skala kabupaten, sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat dalam
pengelolaan hutan lindung adalah :
a. Pelaksana pengukuhan kawasan hutan lindung.
b. Pelaksana penunjukkan kawasan hutan lindung.
c. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan lindung.
d. Pelaksana penetapan kawasan hutan lindung.
e. Penetapan norma, standart, prosedur dan kriteria (NSPK) dan pengesahan
rencana pengelolaan dua puluh tahunan dan lima tahunan.
f. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan.
g. Penetapan NSPK dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) dan
lima tahunan (jangka menengah) unit pemanfaatan hutan lindung.
h. Penetapan NSPK rencana pengelolaan tahunan unit usaha pemanfaatan hutan
lindung.
i. Penetapan NSPK dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan
hutan lindung
Beberapa kegiatan tersebut ternyata meninggalkan problem yang sangat
komplek dan sangat mempengaruhi kegiatan pengelolaan hutan lindung oleh
pemerintah kabupaten karena belum semua NSPK tentang pengelolaan hutan
lindung sudah disusun oleh Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), yang
dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Kabupaten untuk menjalankan tugasnya.
Hal ini sesuai dengan penelitian Ekawati (2010) yang menyatakan bahwa belum
dikeluarkannya beberapa NSPK sebagai acuan pemerintah daerah dalam
82
lebih bersifat teknis dan administratif. Ketentuan hukum yang ada lebih
banyak menjabarkan implementasi otonomi sistem pemerintahan secara
politik dan bukan otonomi pengaturan SDA berdasarkan kebutuhan rakyat
di daerah. Sehingga McCarthy (2004) menyimpulkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi khususnya disektor kehutanan belum mencapai tujuan “good
governance”
d. Pembinaan dan Pengawasan di Hutan Lindung
Pembinaan dan pengawasan dalam rangka pengelolaan hutan ditujukan
untuk menjaga tertibnya pelaksanaan pengelolaan hutan. Berdasarkan PP 6/2007
pasal 123 menyatakan bahwa kewenangan pembinaan dan pengawasan
dilaksanakan oleh Menteri untuk mengendalikan kebijakan kehutanan yang
dilakanakan oleh Gubernur, Bupat/Walikota. Kegiatan pembinaan dan
pengawasan ini meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan,
supervisi, monitoring dan/atau evaluasi yang berkaitan dengan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan bimbingan penyusunan
prosedur dan tata kerja, pelatihan sumber daya manusia dan aparatur, arahan
penyusunan rencana program dan penilaian pengelolaan hutan lestari secara
periodik. Hal yang sama juga dikemukakan dalam PP 45/2004 tentang
perlindungan hutan pasal 48 dan 49. Sampai saat ini baik pemerintah kabupaten
Gorontalo dan Bone Bolango belum sepenuhnya menjalankan kewenangan dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan lindung
Gunung Damar. Hal ini mengindikasikan rendahnya kepedulian pemerintah
daerah dalam melakukan pengawasan terhadap batas yurisdiksinya dan rendahnya
kepedulian pemerintah daerah dalam mengamankan hak kepemilikannya terhadap
kawasan. Situasi seperti ini bisa membuka peluang perilaku oportunistik
masyarakat yang tinggal sekitar HLGD untuk memanfaatkan sumberdaya HLGD
tanpa berusaha untuk melestarikannya. Ketentuan mengenai kegiatan pembinaan
dan pengawasan juga telah menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban
melakukan pengawasan, namun tidak ada ketentuan yang dapat memperkuat
posisi masyarakat sehingga sangat sulit untuk membuat pengawasan masyarakat
dapat berjalan efektif. Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kewenangan
pembinaan dan pengawasan adalah minimnya SDM dan pendanaan dalam
84
Lanjutan Tabel 33
No Stakeholder Kabupaten Gorontalo Stakeholder Kabupaten Bone Bolango
13 Polisi Kehutanan Masyarakat lokal sekitar HLGD
14 Universitas Gorontalo Polisi Kehutanan
15 LSM Komunitas untuk Bumi
16 Lembaga Donor EGSLP
17 Tokoh Masyarakat
18 Masyarakat lokal sekitar HLGD
Lanjutan Tabel 34
Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik pada
lingkup pengelolaan lingkungan hidup,
Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Perda No 18/2007)
9. DPRD Melaksanakan proses legislasi, penganggaran dan
pengawasan (Pasal 24 UU 32/2004)
10. Dinas Pertanian dan Tanaman Melaksanakan kewenangan desentralisasi
Pangan dibidang pertanian (Perda No 33/2007)
11. Badan Penyuluh Pertanian Membantu Kepala Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang
Penyuluhan (Perda No 4/2008)
12. PDAM Membantu pemerintah daerah dalam peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam bidang air
bersih (Perda No 6/1993)
13. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan
serta peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan
No. 55/KEP/M.PAN/7/2003)
14. Lembaga Donor EGSLP. 1. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan
sumber daya alam pada DAS dan menunjukan
pemecahannya bagi isu-isu pengelolaan sumber
daya alam prioritas yang diindetifikasi, dan
diimplementasikan oleh pemangku kepentingan
kunci pada tingkat masyarakat (desa) dan DAS;
2. Memperkuat institusi tatakelola lingkungan dan
prosesnya pada tingkat desa, kabupaten dan
propinsi.
15. Universitas Gorontalo Melaksanakan tridharma perguruan tinggi;
pengajaran, penelitian dan pengabdian pada
masyarakat (Pasal 3 PP No 60/1999)
16. Komunitas untuk Melaksanakan advokasi dan kampanye
Bumi/KUBU (LSM)
sumberdaya alam
Lanjutan Tabel 35
II. Stakeholder Tugas Pokok
8. Badan Lingkungan Hidup, Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
daerah yang bersifat spesifik pada lingkup pengelolaan
lingkungan hidup:
1. Membantu Kepala Daerah dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan teknis Bidang Lingkungan
Hidup
2. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
dan Tata Lingkungan, termasuk Penataan Ruang
Terbuka Hijau
3. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Pengendalian, Pengawasan Pencemaran
dan Kerusakan Lingkungan
4. Mengkoordinasikan penyusunan program,
perumusan kebijakan dan petunjuk teknis di
Bidang Kebersihan (Perda No 10/2010)
9. DPRD Penyusunan kebijakan daerah tentang lingkungan
hidup (Pasal 24 UU 32/2004)
10. PDAM Optimalisasi pelayanan air bersih dalam rangka
memaksimalkan PAD (Perda 11/2011)
11. Lembaga Donor EGSLP. a. Meningkatkan tatakelola lingkungan dan sumber
daya alam pada DAS terpilih dan menunjukan
pemecahan yang berkelanjutan bagi isu-isu
pengelolaan lingkungan an sumber daya alam
prioritas yang diindetifikasi, dan diimplementasikan
oleh pemangku kepentingan kunci pada tingkat
masyarakat (desa) dan DAS;
b. Memperkuat dan institusionalisasi struktur tatakelola
lingkungan dan prosesnya pada tingkat desa,
kabupaten dan propinsi.
12. Polhut Menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan,
memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan
kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta
peredaran hasil hutan. (Pasal 4 Kepmenpan No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)
Lanjutan Tabel 39
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Lembaga Donor Rendah. Tidak menerima Tinggi. Memiliki akses terhadap
EGSLP. dampak pengambilan kebijakan
Universitas Tinggi. Melaksanakan salah Tinggi. Memiliki akses
Gorontalo memberikan masukan kepada
satu tridharma perguruan
pemerintah
tinggi yaitu penelitian dan
pengabdian masyarakat di
HLGD
LSM KUBU Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak bisa
mempengaruhi keputusan
dampak
Lanjutan Tabel 40
Stakeholder Kepentingan Keterlibatan Pengaruh
Rendah. Tidak menerima Tinggi. proses pengambilan
DPRD
dampak keputusan tingkat lokal
Tinggi. Pemanfaat
Rendah. Tidak memiliki akses
PDAM sumberdaya air terhadap pengambilan
keputusan
Masyarakat lokal Tinggi. Menerima manfaat Rendah. Tidak mempunyai
dari sumberdaya hutan akses terhadap kebijakan
Tokoh masyarakat Tinggi. Tempat Rendah. Tidak mempunyai
melaksanakan aktivitas sosial akses terhadap kebijakan
budaya
Lembaga Donor Rendah. Tidak menerima Rendah. Tidak Memiliki akses
EGSLP. dampak terhadap pengambilan
kebijakan
Selanjutnya stakeholder yang telah diklasifikasi berdasarkan pengaruh dan
kepentingannya dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek
(subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton
(crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholders yang bisa melakukan
kerjasama dan stakeholders yang memiliki resiko bagi ketidakberhasilan kegiatan.
Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 14 dan 15
K BPKH
e Masyarakat lokal
Dishuttamben
p
Kepala Desa
e Tokoh Masyarakat
n
t
i
BLH
n BAPPEDA
g EGSLP
DPRD
a
n PU
CONTEXT SETTER
CROWD
Pengaruh
DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Pertambangan dan Energi, kepala desa dan
Polisi Kehutanan, Dinas PU, Dinas Pertanian serta Universitas Gorontalo, Badan
Lingkungan Hidup, DPRD, BAPPEDA. Hampir tidak terdapat perbedaan
stakeholder yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan di Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Untuk mengoptimalkan peran
stakeholder yang berpengaruh pada kebijakan pengelolaan HLGD maka perlu
dilakukan strategi pelibatan partisipasi stakeholder key player dan context setter
untuk dapat menghalangi atau memblokir kegiatan yang berdampak negatif pada
kegiatan pengelolaan hutan lindung Gunung Damar. Partisipasi merupakan proses
keterlibatan stakeholders dalam mempengaruhi dan ikut mengendalikan jalannya
rangkaian penyusunan kebijakan yang berdampak kepadanya. Karena itu tiap
stakeholder akan memiliki tingkat keterlibatan yang berbeda-beda sesuai dengan
bobot yang dimilikinya. Bobot yang dimaksud adalah tingkat (kedekatan)
kepentingan stakeholder bersangkutan dengan pengambil keputusan dan kekuatan
pengaruhnya terhadap proses penyusunan kebijakan. Adapun partisipasi
stakeholder yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan HLGD dapat dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 41
Tabel 41. Matriks Mekanisme Partispasi Stakeholder dalam Pengelolaan HLGD
(diadaptasi dan di modifikasi dari Bryson 2003)
Jenis Partisipasi
Aspek Memberikan Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
informasi
Penetapan BPKH, BP-DAS, BPKH, BP-DAS, BPKH, BP-
dan BKSDA, BKSDA, DAS,
Pemantapan Universitas Universitas BKSDA,
Kawasan Gorontalo, Dinas Gorontalo, Dinas Universitas
Kehutanan Kehutanan Gorontalo,
Pertambangan Pertambangan Dinas
Energi Energi, Kehutanan
BAPPEDA, Dinas Pertambangan
Pertanian, Kepala Energi
Desa, Dinas PU,
BLH, DPRD
101
Lanjutan Tabel 41
Jenis Partisipasi
Aspek Memberikan Koordinasi Kolaborasi Pemberdayaan
informasi
Pengelolaan Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan Universitas Masyarakat
Pertambangan Pertambangan Gorontalo, Lokal
dan Energi dan Energi, Dinas PDAM
Pertanian dan
Tanaman Pangan
Pembinaan Kepala Desa Kepala Desa dan Polisi LSM
dan Polisi Kehutanan Kehutanan,
Pengawasan Dinas
Kehutanan
Pertambangan
dan Energi,
Kepala Desa
berkaitan dengan kondisi tata-batas, situasi sosial ekonomi dan biofisik kawasan
HLGD dari organisasi lainnya
Jenis partisipasi selanjutnya yang harus dilakukan oleh stakeholder key
player adalah melakukan koordinasi. Koordinasi yang dimaksud disini adalah
pertukaran informasi kegiatan dua arah antar organisasi sebagai proses
perintegrasian kegiatan-kegiatan pembangunan untuk mencapai tujuan yang lebih
efisien dan efektif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terjadi kendala
dalam melaksanakan koordinasi antara SKPD pemerintah daerah dan kantor UPT
Kementrian Kehutanan di daerah dalam pengelolaan HLGD karena masih
terdapatnya ego sektoral, sebagai contoh dalam pelaksanaan RHL terjadi tumpang
tindih program antara Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten
Gorontalo dan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango
dengan BP-DAS Bone Bolango. Tumpang tindih program mengindikasikan
buruknya koordinasi pengelolaan hutan di daerah. Hasil kajian Sutrisno (2011)
menemukan bahwa kebijakan koordinasi dalam pengelolaan hutan cenderung
menggunakan pendekatan vertical yang dicirikan oleh level tertinggi organisasi
pemerintah. Hal ini menjadi sumber penyebab kegagalan koordinasi antar
pemerintah karena mekanisme koordinasi vertikal cenderung hanya mengatur
bagaimana pengorganisasian pengambilan keputusan terpusat dalam sebuah
organisasi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan HLGD maka koordinasi yang
dapat dilakukan adalah koordinasi horizontal yaitu mengkoordinasikan tindakan-
tindakan atau kegiatan-kegiatan penyatuan dalam tingkat organisasi (aparat) yang
setingkat.. Dipilihnya koordinasi horizontal karena memudahkan komunikasi
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan lebih efisien.
Munandar (2001) menawarkan pola koordinasi yang dapat dilakukan adalah
membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah sekumpulan orang yang
berinteraksi satu sama lain sekaligus mempersepsikan diri sendiri sebagai bagian
dari kelompok yang datang bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Langkah selanjutnya adalah melakukan kolaborasi yaitu pembagian peran dan
kerjasama di dalam pengelolaan HLGD. Kolaborasi dalam pengelolaan HLGD
sangat penting karena terbatasnya sumber daya yang terdapat dimasing-masing
organisasi. Kolaborasi yang terjadi diharapkan akan menjadi sebuah kegiatan
103
Lanjutan Tabel 42
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
4. Dinas Melaksanakan Belum Tata batas kawasan
Kehutanan dan inventarisasi pemetaan sepenuhnya HLGD baru
Pertambangan hutan, penataan batas, melaksanakan mencapai 14.65%
Energi pemberian ijin dan inventarisasi,
Kabupaten pengawasan penataan batas,
Gorontalo pemanfaatan kawasan pemberian ijin
hutan (Perda No usaha kehutanan
35/2007)
5. Kepala Desa di Melaksanakan tugas Memungut pajak Ada Penerimaan
Kabupaten administrasi hasil bumi kepada PAD dari pajak hasil
Gorontalo pemerintahan dan masyarakat bumi pemanfaatan
mengembangkan potensi sekitar HLGD HLGD
SDA (PP 72 tahun
2005)
6. BAPPEDA Melaksanakan Menyusun Tidak ada
Kabupaten perencanaan Perencanaan pengawasan terhadap
Gorontalo pembangunan daerah pembangunan implementasi
dan melaksanakan daerah perencanaan
kebijakan perencanaan pembangunan
pembangunan (Perda
16/2007)
7. Dinas Pertanian Melaksanakan Mensukseskan Meluasnya lahan
Tanaman kewenangan program pertanian dan terjadi
Pangan pembangunan pertanian Agropolitan peningkatan produksi
Kabupaten (Perda No 33/2007) dengan hasil pertanian di
Gorontalo menyerahkan dalam kawasan
Bibit Gratis HLGD
kepada kelompok
tani sekitar
HLGD
8. Polisi hutan Melaksanakan Melaksanakan Kawasan HLGD
Kabupaten pemantuan, operasi setiap 3 belum aman
Gorontalo perlindungan & bulan
pengamanan hutan
(Pasal 4 Kepmenpan
No.
55/KEP/M.PAN/7/2003)
9. Dinas PU Melaksanakan Membangun jalan Akses ke kawasan
Kabupaten kewenangan desa-desa HLGD menjadi lebih
Gorontalo pembangunan disekitar dan mudah
infrastruktur (Perda No didalam kawasan
31/2007) HLGD
10. DPRD Melaksanakan legislasi, Pengawasan, Ada kontrol terhadap
Kabupaten budgeting dan legislasi dan kebijakan tapi tidak
Gorontalo pengawasan (Pasal 24 budgeting bisa membatalkan
UU 32/2004) terhadap PEMDA kebijkan tersebut
106
Lanjutan Tabel 42
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
11. BLH Kabupaten Melaksanakan Belum melakukan Terdapat
Gorontalo Kebijakan Pengelolaan pemantauan peningkatan
Lingkungan Hidup terhadap sedimentasi DAS
(Perda No 18/2007) lingkungan Bionga
HLGD
12. PDAM Optimalisasi pelayanan Memperluas Meningkatnya
Kabupaten air bersih dalam rangka pemasangan Penerimaan PAD
Gorontalo memaksimalkan PAD jaringan bersih
(Perda 6/1993) untuk penerimaan
PAD
13. Universitas Melaksanakan Melaksanakan Memiliki informasi
Gorontalo Tridharma Perguruan penelitian dan potensi sumberdaya
Tinggi (Pasal 3 PP No pengabdian hutan dan kondisi
60/1999) masyarakat sosial ekonomi
masyarakat tapi
belum di
informasikan kepada
stakeholder lain
14. Badan Penyuluh Membantu kepala Memberikan Masyarakat masih
Pertanian, daerah dalam penyuluhan dalam melakukan
Kehutanan melaksanakan rangka perambahan
Kabupaten penyuluhan pertanian peningkatan
Gorontalo dan kehutanan (Perda kesadaran
No 4/2008)
Tabel 43. Perilaku Stakeholders dan Kinerja Pengelolaan HLGD Kab Bone
Bolango
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
15. BKSDA Menyelenggarakan Belum Belum ada informasi
Sulawesi Utara konservasi dan melaksanakan tentang potensi
koordinasi pengelolaan koordinasi keanekaragaman
Hutan Lindung pengelolaan HL hayati di HLGD
(Permenhut 02/Menhut- dan konservasi yang disediakan oleh
II/2007) sumber daya alam BKSDA
hayati
Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
17. BP-DAS Bone Melaksanakan Belum menyusun Belum ada kegiatan
Bolango penyusunan rencana rencana pengelolaan di DAS
pengelolaan DAS, pengelolaan 2 Bolango
pengembangan DAS besar; DAS
kelembagaan dan Bionga, DAS dan
evaluasi (P. 15/Menhut- DAS Bolango
II/2007)
18. Dinas Melaksanakan Telah Wilayah HLGD yang
Kehutanan dan inventarisasi pemetaan melaksanakan ditata batas mencapai
Pertambangan hutan, penataan batas, sebagian besar 41.18%
Energi Bone pemberian ijin dan inventarisasi dan
Bolango pengawasan penataan batas
pemanfaatan kawasan
hutan (Perda 12/2005)
19. Kepala Desa di Melaksanakan tugas Memungut pajak Ada Penerimaan
Kabupaten Bone administrasi hasil bumi kepada PAD dari pajak hasil
Bolango pemerintahan dan masyarakat bumi pemanfaatan
mengembangkan potensi sekitar HLGD HLGD
SDA (PP 72 tahun
2005)
20. BAPPEDA Melaksankan Menyusun Tidak ada
Bone Bolango perencanaan Perencanaan pengawasan terhadap
pembangunan daerah pembangunan implementasi
dan kebijakan daerah perencanaan
perencanaan pembangunan
pembangunan (Perda
14/2005)
21. Dinas PU Bone Melaksanakan Membangun jalan Terdapat akses ke
Bolango kewenangan di desa-desa desa-desa sekitar
pembangunan disekitar HLGD kawasan HLGD
infrastruktur (Perbup
No19/2011)
22. Polisi hutan Melaksanakan Melaksanakan Masih ditemukan
Bone Bolango perlindungan & patroli jika ada adanya gangguan
pengamanan hutan laporan
(Pasal 4 Kemenpan No. pengambilan hasil
55/M.PAN/2003) hutan secara
illegal dari
pemerintah desa
23. DPRD Bone Melaksanakan legislasi, Pengawasan, Ada kontrol terhadap
Bolango budgeting dan legislasi dan kebijakan
pengawasan (Pasal 24 budgeting pembangunan tetapi
UU 32/2004) terhadap tidak bisa
pemerintah membatalkan
daerah kebijkan tersebut
108
Lanjutan Tabel 43
Stakeholder Ringkasan Tugas Pokok Perilaku Kinerja
(Sesuai Peraturan
Perundangan)
24. BLH Bone Melaksanakan Melakukan Terdapat beberapa
Bolango Kebijakan Pengelolaan pemantauan papan larangan
Lingkungan Hidup terhadap disekitar HLGD
(Perda No 10/2010) lingkungan di
HLGD
25. PDAM Bone Peningkatan pelayanan Memperluas Meningkatnya
Bolango air bersih dalam rangka pemasangan Penerimaan PAD
memaksimalkan PAD jaringan bersih
untuk penerimaan
PAD
Lanjutan Tabel 44
III. Organisasi
1. BPKH Aktif Berperan dalam Aktif Berperan dalam
penataan batas kawasan penataan batas kawasan
2. BKSDA Belum berperan dalam Belum berperan dalam
konservasi dan koordinasi konservasi dan koordinasi
pengelolaan kawasan pengelolaan kawasan
HLGD HLGD
3. BP-DAS Belum berperan dalam Belum berperan dalam
pengelolaan wilayah hulu pengelolaan hulu DAS
DAS Bionga Bolango
4. Dinas Kehutanan dan Aktif dalam pemanfaatan Aktif dan berperan dalam
Pertambangan Energi HLGD pengelolaan HLGD
5. Bidang Tata Ruang Dinas Berperan dalam penataan Berperan dalam penataan
PU ruang ruang
6. BAPPEDA Berperan dalam Berperan dalam
perencanaan pembangunan perencanaan pembangunan
7. Dinas Pertanian dan Aktif memberikan bantuan Tidak aktif
Tanaman Pangan Saprodi kepada kelompok
tani sekitar HLGD
8. Badan Penyuluh Aktif memberikan Tidak aktif
Pertanian penyuluh
9. Badan Lingkungan Hidup Kurang aktif memantau Aktif memberikan
kualitas lingkungan spesifik penyuluhan dan
seperti air, erosi dan membangun kesadaran
sedimentasi tentang kualitas lingkungan
10. DPRD Berperan dalam legislasi, Aktif dalam legislasi yang
penganggaran dan berkaitan dengan
pengawasan penyelamatan lingkungan
11. PDAM Aktif dalam pemanfaatan Aktif dalam pemanfaatan
air baku air baku
12. EGSLP Aktif melaksanakan Aktif melaksanakan
pemberdayaan masyarakat pemberdayaan masyarakat
berbasis DAS berbasis DAS
13. Polisi Hutan Melaksanakan patroli Melaksanakan patroli jika
kawasan 3 bulan sekali terjadi gangguan di HLGD
14. Kepala Desa Aktif memberikan Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan pembinaan dan pengawasan
15. Tokoh Masyarakat Aktif memberikan Aktif memberikan
pembinaan dan pengawasan pembinaan dan pengawasan
16. Universitas Gorontalo Aktif melaksakanakan Tidak aktif
penelitian
17. LSM Kubu Aktif melaksanakan Tidak aktif
advokasi lingkungan
18. Masyarakat lokal Aktif memanfaatkan lahan Aktif memanfaatkan lahan
di dalam dan sekitar HLGD di dalam dan sekitar HLGD
untuk keperluan subsisten untuk keperluan subsisten
dan komersial dan sosial budaya
111
Lanjutan Tabel 44
IV. Batas yurisdiksi
1. Panjang Batas Kawasan 31.87 km 45.65 km
HLGD
2. Panjang tata batas HLGD 4.67 km atau 14.65% 18.8 km atau 41.18%
V. Hak kepemilikan
1. Luas Lahan Konflik 4028.29 ha atau 36.03% 956.79 ha atau 10.71%
2. Jumlah Gangguan 58 kali 14 kali
VI. Aturan representasi Kabupaten Gorontalo Kabupaten Bone Bolango
Biaya koordinasi Tinggi. Stakeholders yang Rendah. Stakeholders yang
terlibat dalam pengelolaan terlibat dalam pengelolaan
HLGD berjumlah 18 HLGD berjumlah 43
VII. Kinerja Laju Perubahan Tutupan Laju Perubahan Tutupan
HLGD: 46.98%/10 tahun HLGD: 27.36% /10 tahun
dikeluarkan oleh pemerintah bersifat sangat teknis dan saintifik murni. Hal ini
tentusaja sangat menyulitkan masyarakat yang tinggal dikawasan HLGD untuk
berpartisipasi mengingat pendidikan masyarakat hanya tamatan sekolah dasar.
Pelibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan cenderung diskriminatif,
karena pemerintah daerah seringkali hanya mengakui dan melibatkan kelompok-
kelompok organisasi masyarakat sipil yang berbadan hukum formal. Hal ini
menyebabkan organisasi masyarakat di tingkat lokal dan atau organisasi yang
tidak berbadan hukum misalnya asosiasi petani lokal asosiasi masyarakat adat-
tidak dilibatkan dalam proses-proses pembuatan kebijakan, perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi pembangunan kehutanan. Padahal peran mereka sebagai
organisasi sosial, ekonomi dan budaya sangat kongkrit dan berdampak langsung
pada peningkatan kesejahteraan baik secara ekonomi, sosial maupun budaya.
Pengelolaan HLGD di wilayah di Kabupaten Gorontalo melibatkan
stakeholders lebih banyak yaitu 18 stakeholders jika dibandingkan dengan
stakeholders Kabupaten Bone Bolango yang hanya berjumlah 14 stakeholders.
Beragamnya stakeholders yang terlibat dan berkepentingan dengan HLGD bisa
menyebabkan semakin kompleksnya pengelolaan dan tingginya biaya koordinasi.
Biaya koordinasi yang ditimbulkan terdiri dari biaya sosialiasi, pertemuan,
pengawasan dan pencarian informasi. Tingginya biaya koordinasi menunjukkan
ketidakefisienan kelembagaan yang ada, dan ketidakjelasan struktur kebijakan
baik di tingkat lokal maupun nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu
mekanisme yang efisien dalam menurunkan biaya transaksi. Salah satu yang bisa
dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan HLGD kepada
pemerintah daerah. Menurut Ostrom et al. (1993) dan Mody (2004) Penyerahan
kewenangan kepada pemerintah daerah dalam semangat desentralisasi akan
meminimalkan biaya transaksi dan memudahkan perencanaan karena adanya
kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi dan mendorong
partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut Basuni (2003)
Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah harus disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah
harus berfungsi sebagai fasilitator dan mengkoordinir semua multistakeholder
untuk mengurangi biaya koordinasi. Dalam menjalankan fungsi sebagai fasilitator
115
DAFTAR PUSTAKA
[BPKH XV] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV. 2009. Buku
Statistik Kehutanan Propinsi Gorontalo tahun 2009. DIRJEN
PLANOLOGI, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wil XV
Gorontalo.
119
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Gorontalo dalam Angka. BPS
Kabupaten Gorontalo
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Bone Bolango dalam Angka. BPS
Kabupaten Bone Bolango
Baland JM. and JP. Platteau (1996), Halting Degradation of Natural Resources: Is
there a Role for Rural Communities?, Oxford: FAO and
Clarendon Press.
Barbier E.B., N. Bockstael, J.C. Burgess and I. Strand. 1993. The timber trade and
tropical deforestation in Indonesia. LEEC Paper DP 93-01.
London Environmental Economics Centre
Barbour MG, Burk JH, Pitts WD, William F.S. 1999. Terrestrial Plant Ecology.
Third Edition. Addision Wesley Longman, Inc. California
Dewi IN, Achmad RHB, Priyo K. 2010. Kajian Implementasi Peraturan Tentang
Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Pangkep
dan Kabupaten Maros. Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan. Vol 7 No 1 Tahun 2010
Dharmawan, A., Bayu K., Dahri, T., Fredian, T., Lilik, B.P., Lusi, F., Nuraini,
W.P., Suharno, Yoyoh, I., Dyah, I.M. 2004. Desentralisasi
Pengelolaan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam
Daerah Aliran Sungai. Pusat Studi Pembangunan IPB. Bogor
Dick J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia:
a summary and interpretation of existing information.
Background paper to UNCED for the State Ministry for
Population and Environment (KLH) and the Environmental
Impact Management Agency (BAPEDAL).
Didik S, Aziz Khan, Wibowo AJ, Martua S, Santi E. 1998. Kehutanan Masyarakat
dan Karakteristiknya. Warta FKKM. Vol. 1 No. 6. Fahutan
UGM, Yogyakarta.
Dolot MJ. 2009. Kajian Sistem Perladangan Liar Dan Deforestasistudi Kasus Di
Hutan Lindung Gunung Damar. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
121
Fraser AI. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and
land-use planning in Indonesia. Unpublished manuscript
[FAO] Food Agricultur Organization. 1990. Situation and Outlook of the Forestry
Sector in Indonesia. Volume 1: issues, findings and
opportunities. Ministry of Forestry, Government of Indonesia;
Food and Agriculture Organization of the United Nations,
Jakarta.
Ida R. 2003. Metode Analisis Isi Mengukur Obyektivitas Pers dalam Bungin
(2003) Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer [editor]. Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Todd Ngara, Kiyoto Tanabe and Fabian Wagner. the Institute for
Global Environmental Strategies (IGES) for the IPCC. Japan.
Jordan F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Willey Sons.
New York.
Kaipa H. 2009. Analisis Potensi Keanekaragaman Hayati Hutan Lindung Gunung
Damar Di Desa Dulamayo Selatan. [Skripsi]. Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo
Kartawinata K, TC Jessup and AP Vayda. 1989. Exploitation in Southeast Asia.
In H. Lieth and M.J.A. Werger (eds), Tropical Rain Forest
Ecosystems. Elsevier Science Publishers, Amsterdam. pp. 591-
610
Kartodihardjo H, 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi [Disertasi]. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kartodihardjo H, 2000. Kerangka Pemikiran untuk Analisis Kebijakan. Paper
lepas. Bahan kuliah ekonomi kehutanan lanjut. Pasca Sarjana
IPB. Tidak diterbitkan
Kartodihardjo H, Murtilaksono K, Untung S. 2004. Insititusi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Kartodihardjo, H, H. Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di
Indonesia. Jakarta: Equinox Publ
Khanna P, P. Ram Babu and M. Suju George. 1999. Carrying-Capacity as a Basis
for Sustainable Development a Case Study Of National Capital
Region in India. Progress in Planning 52 (1999) 101-166.
http://www.china-sds. org/kcxfzbg/addinfomanage/lwwk/data/
kcx1493. pdf. [27 Agustus 2011]
Khan A, Hariadi K, Dudung D, Beni H, Fuad S. 2004. Menyimak Perjalanan
Otonomi Daerah: Sektor Kehutanan Prosiding Workshop
Penguatan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia. Pusat
Rencana Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan
McKean MA. (2000) Common Property: What is it? What is it good for and what
makes it work? In C.C. Gibson, M.A. McKean & E. Ostrom
(eds) People and Forests. MIT Press, London.
Monde A. 2008. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat
Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan
Kakao/Agroforestri Kakao di Das Nopu, Sulawesi Tengah.
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor
Ong CK, Black SR, Marshall FM and Corlett JE 1996. Principle of Resource
Capture and Utilization of Light and Water, in C.K. Ong and P.
Huxley (ed) Tree Crop Interaction, Physiologigal Approach. 73-
158.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons. The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge University Press
Ostrom E 2003. How Types Goods and Property Rights Jointly Affect Collective
Action. Journal of Theoritical Politics, 15 (3): 239-270
Pearce DW, Turner KR. 1990. Economics Of Natural Resources and The
Enviroment, The John Hopkins University, Baltimore.p. 78.
Peter BG. 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. Political Science
Series. Institute for Advance Studies. Vienna
126
Reed MS, Anil G, Norman D, Helena P, Klaus H, Joe M, Christina P, Claire HQ,
Lindsay C. S. 2009. Who‟s in and why? A typology of
stakeholder analysis methods for natural resource management.
Sati IT. 2007. Manajemen Public Relation (Modul 3). Pusat Pengembangan
Bahan Ajar
Schmid AA. 1987. Property, Power and Public Choice: An inquiry into Law and
Economic. United Kingdom. Blacwell publishing.
Schlager E dan Ostrom E. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources:
a Conceptual Analysis. Land Economics, 68 (3): 249-262
Scott MC, Allen HC dan Glen MB. 1985 Effective Public Relations. Prentice Hall
New York
Sumardjo HS, Pang SA, Prabowo T, Djoko S. 2008. Kapasitas Petani dalam
Mewujudkan Keberhasilan Usaha Pertanian: Kasus Petani
Sayuran Di Kabupaten Pasuruan Dan Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian
Bogor Volume 4 No 1 Tahun 2008
Suwito. 2004. Governansi Hutan dan Hak-Hak Masyarakat. Riau Post 4 Agustus
2011
128
Stiglitz, E.J. 2000. Economics of the Public Sector. W.W. Norton and Company,
New York.
Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York: Free
Press.
Wollenberg E., Y.C. Wulan, Y. Yasmi, C. Purba. 2004. Analisis Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Centre for International
Forestry Research. Bogor
Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Definisi, Teori dan Strategi. Malang.
Bayumodia Publishing
129
LAMPIRAN
130
Aspek
Peraturan Perundangan Isi
Hak
Bumi dan air dan kekayaan alam yang
Kepemilikan
Pasal 33 ayat 3 UUD terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
Terhadap
1945 dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
Kawasan
kemakmuran rakyat.
HLGD
Semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang
Pasal 4 UU 41/1999
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Tentang Kehutanan
Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat
Kriteria kawasan hutan lindung adalah:
1. Kawasan Hutan dengan faktor-faktor
lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan
yang melebihi nilai skor 175, dan/atau
Pasal 8 Keppres 32/1990
Pemantapan 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng
tentang Pengelolaan
dan Penetapan lapangan 40% atau
Kawasan Lindung
3. lebih dan/atau
4. Kawasan Hutan yang mempunyai
ketinggian diatas permukaan
laut 2.000 meter atau lebih
Kriteria hutan lindung, dengan memenuhi
salah satu :
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor
kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan
dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh
puluh lima) atau lebih;
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng
Pasal 24 butir 3 PP No lapangan 40% (empat puluh per seratus)
44/2004 tentang atau lebih;
Perencanaan Kehutanan 3. Kawasan hutan yang berada pada
ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau
lebih di atas permukaan laut;
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah
sangat peka terhadap erosi dengan lereng
lapangan lebih dari 15% (lima belas per
seratus);
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah
resapan air; Kawasan hutan yang
merupakan daerah perlindungan pantai
Pasal 5 SK Menhut/ Kawasan hutan yang ditunjuk harus
32/2001 tentang Kriteria memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu a)
dan Standart belum pernah ditunjuk atau ditetapkan
Pengukuhan kawasan Menteri sebagai kawasan hutan, b) tidak
hutan dibebani hak hak atas tanah, c) tergambar
131
pembangunan jaringan
telekomunikasi, stasiun pemancar
radio, dan stasiun relay televisi; e.
jalan umum, jalan tol, dan jalur
kereta api; f. sarana transportasi
yang tidak dikategorikan sebagai
sarana transportasi umum untuk
keperluan pengangkutan hasil
produksi; g. sarana dan prasarana
sumber daya air, pembangunan
jaringan instalasi air, dan saluran air
bersih dan/atau air limbah; h.
fasilitas umum; i. industri terkait
kehutanan; j. pertahanan dan
keamanan; k. prasarana penunjang
keselamatan umum; atau l.
penampungan sementara korban
bencana alam
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat
(3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang
urusan
pemerintahan meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum
d. perumahan;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
Pasal 2 ayat 4 PP
j. kependudukan dan catatan sipil;
38/2007 tentang
k. pemberdayaan perempuan dan
Pembagian Kewenangan
perlindungan anak;
antara Pemerintah Pusat,
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
Pemerintah Propinsi dan
m. sosial;
pemerintah kabupaten
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
kota
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r. kepemudaan dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum,
administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. statistik;
w. kearsipan;
x. perpustakaan;
136
penyusunan rencana
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan
yang
dilaksanakan oleh kepala KPH, pemanfaat
hutan, dan/atau
pengolah hasil hutan
Pasal 48
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 47 aya t (1) meliputi
pemberian :
a. pedoman;
b. bimbingan;
c. pelatihan;
d. arahan; dan atau
e. supervisi.
(2) Pemberian pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan
terhadap
penyelenggaraan perlindungan hutan
oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan
atau
Kabupaten atau Kota termasuk
pertanggungjawaban, laporan dan
evaluasi atas
akuntabilitas kinerja Gubernur dan
Bupati atau Walikota.
Pasal 48-49 PP 45/2004
(3) Pemberian bimbingan sebagaimana
tentang Perlindungan
Hutan dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
ditujukan
terhadap penyusunan prosedur dan tata
kerja.
(4) Pemberian pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan
terhadap
sumber daya aparatur.
(5) Pemberian arahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d
mencakup kegiatan
penyusunan rencana, program dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat nasional.
(6) Supervisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e ditujukan terhadap
pelaksanaan sebagian kegiatan
pengurusan hutan yang dilimpahkan atau
diserahkan
kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten atau Pemerintah Kota
138
Pasal 49
(1) Pengendalian sebagaimana dimaksud
pada Pasal 47 ayat ( 1 ) meliputi kegiatan
:
a. monitoring;
b. evaluasi; dan atau
c. tindak lanjut
(2) Kegiatan monitoring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
kegiatan
untuk memperoleh data dan informasi,
kebijakan dan pelaksanaan perlindungan
hutan.
(3) Kegiatan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
kegiatan untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan
perlindungan hutan dilakukan secara
periodik.
(4) Kegiatan tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan tindak
lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna
penyempurnaan kebijakan dan
pelaksanaan
perlindungan hutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang
penilaian keberhasilan pelaksanaan
perlindungan hutan
secara periodik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur oleh Menteri