Professional Documents
Culture Documents
Kewarganegaraan
1. Warga Negara
PENGERTIAN WARGA NEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu
penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau
kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai
orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena
warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni
peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu,
setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga
negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah
komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik
ketimbang istilah kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti objek
yang dalam bahasa Inggris (object) berarti orang yang dimiliki dan mengabdi
kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan
anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai
kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal
26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan
undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini,
dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda,
peranakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia,
mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara
Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga
negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-
undangan dan / atau perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-peraturan yang
berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik
Indonesia.
ASAS KEWARGANEGARAAN
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara merupakan anggota
sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik
terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam suatu
negara haruslah ditentukan berdasrkan ketentuan yang telah disepakati dalam
negara tersebut. ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status
kewarganegaraan seseorang. Setiap warga negara mempunyai kebebasan dan
kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraannya.
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan 2 (dua) pedoman,
yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan
berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada 2 (dua) asas kewarganegaraan
yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis
(keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan
asas persamaan derajat.
BERSIKAP KRITIS
Warga negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap kritis, baik
terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun
terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap
kritis juga harus ditujukan pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri itu
tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap
kritis ini harus didukung oleh sikap yang bertanggung jawab terhadap apa
yang dikritisi.
BERSIKAP TERBUKA
Sikap terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan
sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak bisa
atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang
didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan keterbatasan diri akan
melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya
menjatuhkan penilaian dan pilihan.
RASIONAL
Bagi warga negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang
harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan
mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara.
Sementara, sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan
membawa implikasi emosional dan cenderung egois. Masalah-masalah
yang terjadi di lingkungan warga negara, baik persoalan politik, sosial,
budaya dan sebagainya, sebaiknya dilakukan dengan keputusan-keputusan
yang rasional.
ADIL
Sebagai warga negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut
diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang
tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan
tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tujuan-tujuan bersama
bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan. Mayoritas suara
bukanlah diatur tetapi diperoleh.
JUJUR
Memilki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupakan
sesuatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya
keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara. Sikap jujur
bisa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan sebagainya.
Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan
tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang
memilih para politisi. Ketidakjujuran politik adalah seorang politisi mencari
keuntungan bagi partainya, karena partai itu penting bagi kedudukan.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut,
merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga
negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga negara yang otonom, yakni
mampu mempengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di
tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga negara yang otonom, ia
mempunyai karakteristik lanjutan sebagai berikut:
1. memiliki kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau
dimobilisasi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap
keputusan publik.
2. memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga
negara, khususnya di lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti
RT, RW, Desa, dan seterusnya. Atau juga di lingkungan sekolah dan
perguruan tinggi.
3. menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai
berarti menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi orang per orang
tanpa membedakan ras, warna kulit, golongan ataupun warga negara
yang lain.
2. Teori Kewarganegaraan Indonesia
Teori Kewaganegaraan liberal (Liberalism)
Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang
otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Teori kewarganegaraan liberal
menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak. Peter
H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh
besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John
locke dan J S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh
Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Teori Locke
tentang kepemilikian (Locke’s theory of property) menyebutkan ada tiga
elemen sentral bagi kewarganegaraan liberal. Pertama, individu dapat
menciptakan kekayaan atau kepemilikan dan menambah dominasi
kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidungan terhadap
kepemilikanmerupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan dan Ketiga,
pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan secara
alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil.
Menurut Peter H Suchuk ada 5 Prinsip Dasar Teori Liberal Klasik.
Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai
kebebasan dari campur tangan negara, Kedua, proteksi yang luas terhadap
kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah, Ketiga, kecurigaan yang
dalam terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu, Keempat,
pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas individu dalam
berhubungan dengan yang lain, serta Kelima, anggapan yang kuat dapat
dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk
lain yang mendukung pribadi.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi
sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-
negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi
warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya
karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya
diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua
orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali
penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan
sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula
terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di
rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau
dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan
persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda,
maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-
kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak
berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip µius sanguinis
yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang
berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka
otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan
orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin
terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda
status kewarganegaraannya.
Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang
berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem
kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu,
hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu
selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri
mereka. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan
atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara
pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang
lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶
sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan
status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan
permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat
mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang
bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status
yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal
adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena
dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di
berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan
melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi
saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum
negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius
soli, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis
di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu
saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status
kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat
diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi
biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius
soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status
sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap
berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
1. kewarganegaraan karena kelahiran
2. kewarganegaraan melalui pewarganegaraan
3. kewarganegaraan melalui registrasi biasa