You are on page 1of 12

Tugas M6 KB2

Kewarganegaraan
1. Warga Negara
 PENGERTIAN WARGA NEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu
penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau
kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai
orang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena
warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni
peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu,
setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa warga
negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah
komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik
ketimbang istilah kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti objek
yang dalam bahasa Inggris (object) berarti orang yang dimiliki dan mengabdi
kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan
anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai
kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal
26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan
undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini,
dinyatakan bahwa oarang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda,
peranakan Cina, peranakan Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia,
mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara
Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warga
negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-
undangan dan / atau perjanjian-perjanjian dan / atau peraturan-peraturan yang
berlaku sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik
Indonesia.

 ASAS KEWARGANEGARAAN
Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa warga negara merupakan anggota
sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik
terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam suatu
negara haruslah ditentukan berdasrkan ketentuan yang telah disepakati dalam
negara tersebut. ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status
kewarganegaraan seseorang. Setiap warga negara mempunyai kebebasan dan
kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraannya.
Dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan 2 (dua) pedoman,
yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan
berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada 2 (dua) asas kewarganegaraan
yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis
(keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan
asas persamaan derajat.

 Dari Sisi Kelahiran


Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi
kelahiran seseorang (sebagaimana disebut atas) dikenal dengan 2 (dua) asas
kewarganegaraan, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut
berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, Soli berasal
dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis berasal
dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demikian, ius soli berarti
pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran,
sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan
darah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas ius soli, maka
seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak sebagai
warganegara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis. Jika sebuah negara
menganut asas ius sanguinis, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang
memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya, maka anak
tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni
warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini hanya
satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena
sesorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi
warga negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat
mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan
pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga
berdasarkan realitas empirik bahwa ada orang tua yang memiliki status
kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian
orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya
(misalnya, di tempat ibunya). Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak
hanya akan mendapatkan status kewarganegaraan ibunya saja, sementara ia
tidak berhak atas status kewarganegaraan bapaknya. Atas dasar itulah, maka
asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status
kewarganegaraan bapaknya.

 DARI SISI PERKAWINAN


Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran,
kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang
mencangkup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas
Kesatuan Hukum berdasarkan pada paradigma bahwa suami-istri ataupun
ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana
sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga yang baik perlu
mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-
isteri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya
kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar
hukum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang
sama, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat
mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu
perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-
masing pihak. Baik suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal,
atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap
memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum
dikatakan menjadi suami isteri.
Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya,
seseorang yang berkewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-
pura melakukan pernikahan dengan perempuan di negara tersebut. Setelah
melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang
diinginkannya, maka ia menceraikan isterinya. Untuk menghindari
penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan
asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya.

 Unsur-Unsur Yang Menentukan Kewarganegaraan


 UNSUR DARAH KETURUNAN (IUS SANGUINIS)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan
kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua
yang berwarganegara Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara
Indonesia.
Prinsip ini adalah prinsip asli yang telah berlaku sejak dahulu, yang
diantaranya tebukti dalam sistem kesukuan, dimana anak dari anggota
sesuatu suku dengan sendirinya dianggap sebagai anggota suku itu.
Sekarang prinsip ini berlaku di antaranya di Inggris, Amerika, Perancis,
Jepang, dan juga Indonesia.

 UNSUR DAERAH TEMPAT KELAHIRAN (IUS SOLI)


Daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan.
Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia
dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Terkecuali anggota-
anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam
ikatan dinas. Di samping dan bersama-sama dengan prinsip ius sanguinis,
prinsip ius soli ini berlaku juga di Amerika, Inggris, Perancis, dan juga
Indonesia. Tetapi di Jepang, prinsip ius soli ini tidak berlaku. Karena
seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya
berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara Jepang.

 UNSUR KEWARGANEGARAAN (NATURALISASI)


Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun ius soli,
orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan
pewarganegaraan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur
pewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit banyak dapat berlainan,
menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-
masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam
pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk
memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara sesuatu negara.
Sedangkan dalam pewaganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau
diwarganegarakan oleh suatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan
warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan
hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan
tersebut (Kartasapoetra. 1993: 216-7).

 Problem Status Kewarganegaraan


Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka
akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang
dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara.
Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara, ada dantara mereka
yang bukan warga negara (orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini, dikenal
dengan apatride, bipatride dan multipatride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status
kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk
orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah
lain dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan
multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status
kewarganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih status
kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan merupakan
sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk
pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing, yang tentunya akan
berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau perundang-undangan bagi orang asing,
yang selain segala sesuatu kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya
diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.
Kasus kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, dalam realitas empiriknya,
merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat mengacaukan
keadaan kependudukan di antara dua negara, kerana itulah tiap negara dalam
menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang yang
terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua kewarganegaraannya.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadi pada
penduduk yang tinggal di daerah perbatasan di antara dua negara. Dalam hal ini,
diperlukan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbatasan serta
wilayah teritorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakinkan dirinya
termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara tersebut.
 Karakteristik Warga Negara Yang Demokratis
Untuk membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan
berkeadaban, maka setiap warga negara haruslah meiliki karakter atau jiwa yang
demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang disebut
sebagai demokrat, yakni antara lain sebagai berikut:

 RASA HORMAT DAN TANGGUNG JAWAB


Sebagai warga negara yang demokratis, hendaknya memiliki rasa
hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya
pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras,
keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebagai warga negara
yang demokrat, seseorang warga negara juga dituntut untuk turut
bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta
keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.

 BERSIKAP KRITIS
Warga negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap kritis, baik
terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan politik) maupun
terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap
kritis juga harus ditujukan pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri itu
tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap
kritis ini harus didukung oleh sikap yang bertanggung jawab terhadap apa
yang dikritisi.

 MEMBUKA DISKUSI DAN DIALOG


Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku merupakan realitas
empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara, apalagi di
tengah komunitas masyarakat yang plural dan multi etnik. Untuk
meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, maka
membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog merupakan salah satu solusi
yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap membuka diri untuk dialog dan
diskusi merupakan salah satu ciri sikap warga negara yang demokrat.

 BERSIKAP TERBUKA
Sikap terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan
sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak bisa
atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang
didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan keterbatasan diri akan
melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya
menjatuhkan penilaian dan pilihan.

 RASIONAL
Bagi warga negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang
harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan
mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara.
Sementara, sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan
membawa implikasi emosional dan cenderung egois. Masalah-masalah
yang terjadi di lingkungan warga negara, baik persoalan politik, sosial,
budaya dan sebagainya, sebaiknya dilakukan dengan keputusan-keputusan
yang rasional.

 ADIL
Sebagai warga negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut
diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang
tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan
tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tujuan-tujuan bersama
bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan. Mayoritas suara
bukanlah diatur tetapi diperoleh.

 JUJUR
Memilki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupakan
sesuatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya
keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara. Sikap jujur
bisa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan sebagainya.
Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan
tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang
memilih para politisi. Ketidakjujuran politik adalah seorang politisi mencari
keuntungan bagi partainya, karena partai itu penting bagi kedudukan.
Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut,
merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga
negara. Hal ini akan menampilkan sosok warga negara yang otonom, yakni
mampu mempengaruhi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di
tingkat lokal secara mandiri. Sebagai warga negara yang otonom, ia
mempunyai karakteristik lanjutan sebagai berikut:
1. memiliki kemandirian. Mandiri berarti tidak mudah dipengaruhi atau
dimobilisasi, teguh pendirian, dan bersikap kritis pada segenap
keputusan publik.
2. memiliki tanggung jawab pribadi, politik dan ekonomi sebagai warga
negara, khususnya di lingkungan masyarakatnya yang terkecil seperti
RT, RW, Desa, dan seterusnya. Atau juga di lingkungan sekolah dan
perguruan tinggi.
3. menghargai martabat manusia dan kehormatan pribadi. Menghargai
berarti menghormati hak-hak asasi dan privasi pribadi orang per orang
tanpa membedakan ras, warna kulit, golongan ataupun warga negara
yang lain.
2. Teori Kewarganegaraan Indonesia
 Teori Kewaganegaraan liberal (Liberalism)
Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang
otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Teori kewarganegaraan liberal
menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak. Peter
H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh
besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John
locke dan J S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh
Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Teori Locke
tentang kepemilikian (Locke’s theory of property) menyebutkan ada tiga
elemen sentral bagi kewarganegaraan liberal. Pertama, individu dapat
menciptakan kekayaan atau kepemilikan dan menambah dominasi
kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidungan terhadap
kepemilikanmerupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan dan Ketiga,
pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan secara
alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil.
Menurut Peter H Suchuk ada 5 Prinsip Dasar Teori Liberal Klasik.
Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai
kebebasan dari campur tangan negara, Kedua, proteksi yang luas terhadap
kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah, Ketiga, kecurigaan yang
dalam terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu, Keempat,
pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas individu dalam
berhubungan dengan yang lain, serta Kelima, anggapan yang kuat dapat
dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk
lain yang mendukung pribadi.

 Teori Kewarganegaraan komunitarian


Fokus utama komunitarianisme dalam kajian kewarganegaraan ialah
peran serta warga negara dalam komunitas. Komunitarianisme bukanlah
merupakan reaksi terhadap liberalism Klasik, namun kepada
kewarganegaraan yang berdasarkan Dimensi sosial, kewarganegaraan
(civic) dan politik dari komunitas Politik. Perspektif komunitarian
menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas
diantaranya orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama,
kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang
yang dibiarkan teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada
masyarakat liberal. Teori kewarganegaraan komunitarian sebagai reaksi
dari teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan liberal
yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas
individu, sedangkan teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang
menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai keyakinan-
keyakinannya. Komunitarianisme menekankan pentingnya komunitas dan
nilai sosial bersama.
 Teori Kewarganegaraan Republikan
Kewarganegaraan republican menekankan pada ikatan-ikatan sipil
(civic bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual
(tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Teori
kewarganegaraan republikan baik yang klasik maupun yang humanis
merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat,
bahwa bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan,
yakni civic virtue wargannya dan pemerintahan yang republic karena ini
merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. Jadi
kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggun
jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan)
dari warganegaranya. Civic virtue dalam republik Romawi berarti
kesediaan mendahulukan kepentingan publik.
 Teori Kewarganegaraan demokrasi radikal
Teori demokrasi radikal, berusaha untuk menghidupkan kembali sentralitas
kewarganegaraan: sebuah identitas diyakini enervated atau dihilangkan di
liberal dan Marxis teori dengan membatasi hubungan politik dengan ranah
negara atau perekonomian, akhirnya mengurangi kewarganegaraan untuk
tdk efisien bendera melambaikan, radikal demokrasi berusaha
mengedepankan konsepsi demokrasi sebagai jalan hidup, sebuah komitmen
terus menerus untuk tidak komunitas atau negara tapi ke politik dipahami
sebagai tantangan konstan untuk batas politik. Teori demokrasi radikal
demokrasi untuk merangkul komitmen untuk kesetaraan dan partisipasi
tetapi mencakup radikalisasi politik melalui komitmen untuk perubahan
sosial yang konstan - dan tindakan seperti tampilan selimut melakukan
mengubah keadaan. Dengan demikian, dalam apa yang berikut radikal
demokrasi ditempatkan baik dari segi nya dasar-dasar teoritis dan empiris
melalui praktek. Untuk memahami kedua commonalties dan perbedaan
antara radikal bentuk demokratis dan lainnya kewarganegaraan, kita
menelusuri sejarah dari tahap awal di mana ia berusaha untuk
mendefinisikan kembali kategori dari 'politik' untuk mendemokratisasikan
kategori dari 'kewarganegaraan.

3. Permasalahan Kewarganegaraan Yang Terjadi Di Indonesia


Penduduk Indonesia terdiri atas beherapa suku hangsa, kebudayaan, dan
memiliki berhagai bahasa daerah. Keragaman yang ada di Indonesia tidak membuat
hangsa Indonesia terpecah belah. Keragaman ini dijadikan dasar untuk membina
persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, persatuan keragaman ini dijadikan semboyan
dan dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila. Semboyan tersebut
berbunyi “Bhinneka Tunggal lka” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi satu jua.
dan hutan musim. Flora Indonesia bagian timur banyak memiliki persamaan dengan
wilayah Australia sehingga sering dinamakan torn Australis. Sebagian besar flora
Indonesia bagian timur terdapat di Papua. jenis vegetasinya terdiri atas hutan hujan
tropis, hutan mangrove (bakau), dan hutan pegunungan.
Begitu banyaknya masalah yang ada di negara kita maka dari itu di sini akan mengangkat
sebuah topik permasalahan Kewarganegaraan Indonesia,di mana anak yang orangtua beda
negara harus memilih negara yang di kehendaki yang sesuai dengan UU yang berlaku. Lebih
jelasnya, penduduk Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang
diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan
Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia
terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik
(Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di
kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti
identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. (oleh wikipedia Indonesia).
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara
Indonesia (WNI) adalah ( dari uu kewarganegaraan 2006.html)
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara
asing (WNA), atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak
memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari
perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang
ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia
18 tahun atau belum kawin
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama
ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:


1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum
kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh
WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi
sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan


pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga
negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun
tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat
yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini
memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai
18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan ebih lanjut mengenai hal ini
dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun Hak dan kewajiban dalam UUD 1945 Hak
dan kewajiban warganegara dalam Bab X psl 26, 27, 28, & 30 tentang warga Negara:
Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat ±syarat mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dgn undang-undang. Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan
kedudukan nya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 28 disebutkan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya
ditetapkan dgn undang-undang Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk
ikut serta dalam pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur
dengan UU.

Asas Ius Soli dan Ius Sangunis


Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur
warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang
bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip
µius soli atau prinsip µius sanguinis. (oleh Jimly Asshiddiqie)
a. Ius Soli (Menurut Tempat Kelahiran) yaitu; Penentuan status kewarganegaraan
seseorang berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan di
negara A maka ia menjadi warga negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara
B. asas ini dianut oleh negara Inggris, Mesir, Amerika dll
b. Ius Sanguinis (Menurut Keturunan/Pertalian Darah) yaitu; Penentuan status
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dari negara mana seseorang berasal
Seseorang yg dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya warga negara B, maka orang
tersebut menjadi warga negara B. asas ini dianut oleh negara RRC

Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-
negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi
warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya
karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya
diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua
orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali
penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan
sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula
terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di
rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau
dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan
persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda,
maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-
kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak
berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip µius sanguinis
yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang
berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka
otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan
orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin
terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda
status kewarganegaraannya.
Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang
berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem
kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu,
hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu
selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri
mereka. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan
atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara
pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang
lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶
sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan
status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan
permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat
mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang
bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status
yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal
adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena
dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di
berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan
melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi
saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum
negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius
soli, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis
di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu
saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status
kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat
diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi
biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius
soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status
sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap
berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
1. kewarganegaraan karena kelahiran
2. kewarganegaraan melalui pewarganegaraan
3. kewarganegaraan melalui registrasi biasa

You might also like