Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO. 2012) 1–3 anak
dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita sindrom nefrotik. Lima dari 100.000
anak per tahun di Jepang mengalami sindrom nefrotik idiopatik. Prevalensi sindrom
nefrotik di Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun.3
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu
sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa diketahui
1
pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder (sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik seperti Systemic Lupus Erythemathosus).3,4
2
3
4
5
DISKUSI KASUS
A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu kompleks klinis yang mencakup (1)
proteinuria massif ( > 40 mg/m2 LPB/jam atau 5o mg/kg/hari atau raso
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg atau dipstick >2+); (2) hipoalbuminemia,
dengan kadar albumin plasma kurang dari 2,5 g/dl; (3) edema anasarka, yaitu
gambaran klinis yang paling mencolok; serta (4) hiperkolesterolemia (>250mg/dl).1
B. Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun.
6
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,
disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. 7
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
A. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
B. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
C. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
D. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
E. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. 7
Tabel 01. Penyebab sindrom nefrotik
Prevalensi (%)
Anak Dewasa
Penyakit Primer
Glomerulonefritis (GN) membranosa 5 40
Nefrosis Lipoid 65 15
Glomerulosklerosis segmental fokal 10 15
GN membranoproliferatif 10 7
GN proliferative (fokal, mesangium murni) 10 23
Penyakit Sekunder
7
Diabetes mellitus
Amiloidosis
Lupus eritematosus sistemik Penyebab
Obat (penisilamin, heroin jalanan) sistemik tersering
Infeksi (malaria, sifilis, hepatitis B, AIDS)
Keganasan (karsinoma, melanoma)
Lain-lain (alergi sengatan lebah, nefritis herediter)
Perkiraan prevalensi penyakit primer adalah 95% pada kasus anak, 60% pada
dewasa. Perkiraan prevalensi penyakit sistemik adalah 5% pada kasus anak, 40%
pada kasus dewasa.
C. Patofisiologi
Proses awal adalah kerusakan dinding kapiler glomerulus yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap protein plasma. Perlu di
ketahui bahwa dinding kapiler glomerulus, endotel, glomerular basement
membrane (GBM), dan sel epitelnya, berfungsi sebagai sawar yang harus di lalui
oleh filtrate glomerulus. Setiap peningkatan permeabilitas akibat perubahan
struktur atau fisikokimia memungkinkan protein untuk lolos dari plasma ke
dalam filtrate glomerulus. Dapat terjadi proteinuria massif. Pada proteinuria
yang berlangsung lama atau berat, albumin serum cenderung menurun sehingga
terjadi hipoalbuminemia dan terbaliknya rasio albumin-globulin. 8
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
8
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. 8
Edema generalisata pada SN di sebabkan oleh penurunan tekanan onkotik
karena hipoalbuminemia dan retensi primer natrium dan air oleh ginjal. Karena
cairan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan, volume plasma
menurun sehingga filtrasi glomerulus berkurang.
Sekresi kompensatorik aldosterone, bersama dengan penurunan GFR dan
penurunan sekresi peptide natriuretik, mendorong retensi natrium dan air oleh
ginjal sehingga edema semakin parah. Dengan berulangnya rangkaian kejadian
ini, dapat terjadi penimbunan cairan dalam jumlah sangat besar (disebut
anasarka). Penyebab hiperlipidemia masih belum jelas. Diperkirakan
hipoalbuminemia memacu peningkatan sintesis lipoprotein dalam hati. Juga
terdapat kelainan transport partikel lemak dalam darah dan gangguan penguraian
lipoprotein di jaringan perifer.8
9
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal
natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. 8 Pembentukan sembab
pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua
proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3
10
D. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:
1. Proteinuri >3.5 g/dl perhari pada dewasa atau 0.05 g/kgBB/hari pada anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dl perhari
3. Edema anasarka, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan edema di
wajah terutama daerah periorbita, ascites dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia dan lipiduria.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yang
berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta
hipoalbuminemia sudah cukup untuk menengakkan diagnosis SN.4
a. Proteinuria
Nefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik proteinuria.
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus
11
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria
di bedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas
proteinuri ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.8,9
b. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat
juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal.8,9
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium
dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.8,9
12
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti
asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis
lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.8,9
Mekanisme underfill
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma↓
Sistem RAA
ADH↑
ANP N/↓
EDEMA
Retensi Na
Volume plasma↑ 13
ADH↓/N ANP ↑
Gambar 03. Skema mekanisme overfill
Effendi I.& Pasaribu R., 2006
d. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein,
trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat,
normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan
penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL,
kilomikron, dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.4
E. Diagnosis
14
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering di temukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan
lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna pekat.4
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik SN dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan
hipertensi.4
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥3.5 g/dl). Pada pemeriksaan darah
didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah
yang meningkat, rasio albumin-globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.4
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada SN adalah sebagai berikut:9
1. Glomerulonefritis akut.
2. Lupus sistemik eritematosus.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan SN di mulai dengan protocol khusus yaitu protocol ISKDC
(international study of kidney disease in children. Protokol ini merupakan
standar yang dipakai pada hampir seluruh senter nefrologi di dunia dan dipakai
terutama untuk SN idiopatik.6
15
2/3 dosis semula diberikan secara bergantian hari (alternating day) selama 4
minggu kemudian dosis diturunkan 5-10 mg (1-2 tablet prednisone) sampai
mencapai dosis optimal dan dilanjutkan 1-2 tahun bila tetap terjadi remisi.6
Bila tidak terjadi remisi selama 4 minggu, maka kasus ini disebut resisten
steroid. Penelitian sekarang memperlihatkan bahwa disebut resistenbila taka da
respon sampai 8 minggu. Pada kasus resisten prednisone, maka dapat di
tambahkan obat-obat imunosupresif yang lain seperti siklofosfamid, siklosporin,
atau levamizole. Mengingat obat tersebut mahal dan susah didapat dipasaran,
maka bias dipakai levamizole yang lebih murah dan mudh didapat dalam bentuk
tablet yaitu askamex.6
16
H. Komplikasi
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan.
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis
Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa
antiplasmin
- Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui
tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis
b. Aktivasi sistem homeostatic di dalam ginjal dirangsang oleh factor
jaringan monosit dan oleh papran matriks subendotelial pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukkan fibrin dan
agregasi trombosit
2. Perubahan hormone dan mineral
Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormone hilang dalam urin.
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria
1. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
2. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
a. Kadar immunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limfa
17
e. Akibat pengobatan imunosupresif
3. Peritonitis
4. Infeksi Kulit
5. Anemia
6. Gangguan tubulus renal
I. Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi
ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan
respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.10
18
BAB III
KESIMPULAN
19
yang berada dalam ginjal yang berfungsi memindahkan dan mengeluarkan kelebihan
cairan ataupun produk dari darah dan mengirimnya ke kandung kemih sebagai urin.
Perkembangan penyakit SN sangat dipengaruhi oleh cepat atau tidaknya
penanganan, usia saat pertama kali timbul, penyakit yang menyertai, dan jenis dari
penyebab SN itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stewart S. et al. 2012. Buku Ajar Patologi Robbins ; Ginjal dan Sistem
Penyalurnya. Sindom dan Gangguan Glomerulus (Sindrom Nefrotik). Jilid II,
Eds V. Jakarta. Hal. 579-580
2. Pardede S.O., 2004. Sindrom Nefrotik Infantil. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Eds.2. balai Penerbit FKUI. Hal. 88-94
20
3. Prodjosudjadi W., 2010. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S.,
Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi V. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hal. 999 -1003
4. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426.
5. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E,
editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas
Airlanggap. 137-46.
6. International Study of Kidney Disease in Children, 2015. Nephrotic syndrome
in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. Kidney
7. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B.,
Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal
Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75.
8. Mansjoer A. et al. 2001. Sindrom nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran
Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 525-27
9. Effendi I. & Pasaribu R., 2006. Edema Patofisiologi dan Penanganan. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 513-15
10. Polanco N. et all. 2010. Spontaneous Remission of Nephrotic Syndrome in
Idiopathic Membranous Nephropathy. Journal of the American Society of
Nephrology
21