You are on page 1of 41

MAKALAH

KIMIA BAHAN ALAM I


XANTHONE

Oleh :

Nurdina Putri (1601033)


Tengku Zata Hulwani (1601056)

S1-IV B

Dosen Pengampu :
Haiyul Fadhli, M. Si, Apt

PROGRAM STUDI S1
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2017/2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang
“Senyawa Xanthon” guna menyelesaikan tugas mata kuliah Kimia Bahan Alam I.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih sedalam dalamnya kepada semua
pihak yang telah membantu hingga selesainya makalah ini. Sebagai manusia biasa kami tidak
akan luput dari kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Baik isi atau
penggunaan bahasa maupun kelengkapan dalam mencantumkan daftar pustaka. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran membangun dari segala pihak untuk penyempurnaan
dimasa yang akan datang.

Akhirnya kami berharap semoga makalah sederhana ini bermanfaat bagi kemajuan
ilmu pengetahuan.

Pekanbaru, 29 April 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i


DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ........................................................................................................................ 3
BAB II ISI .................................................................................................................................. 4
2.1 Xanthone ...................................................................................................................... 4
2.1.1 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Xanthone ............................................................................. 5
2.1.2 Klasifikasi Xanthone..................................................................................................... 5
2.1.3 Metode Isolasi dan Karakterisasi Xanthone .................................................................... 11
2.1.4 Biosintesis Xanthone .................................................................................................. 14
2.1.5 Sintesis Xanthone....................................................................................................... 16
2.1.6 Jalur Umum Pembentukan Xanthone ............................................................................ 26
2.1.7 Contoh Senyawa Xanthone di Alam .................................................................. 26
2.1.8 Turunan Xanthone .............................................................................................. 27
2.2 Manggis (Garcinia mangostana L.)........................................................................... 29
2.2.1 Kajian Farmakologi Kulit Buah Manggis .......................................................... 31
2.2.2 Kajian Toksisitas Kulit Buah Manggis ............................................................... 35
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 37
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 37
3.2 Saran .......................................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 38

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara terbesar kedua di dunia setelah Brazil
yang mempunyai biodiversitas (keanekaragaman hayati) . Biodiversitas tersebut meliputi :
ekosistem, jenis maupun genetik. Hal ini jelas merupakan suatu anugerah besar bagi
masyarakat Indonesia apabila dimanfaatkan secara optimal. Termasuk dalam biodiversitas
jenis adalah keanekaragaman tanaman di Indonesia yang sangat besar, termasuk tanaman
yang berpotensi sebagai obat. Mengingat fakta tersebut mestinya upaya pemanfaatan
tanaman sebagai sumber suatu obat menjadi pilihan utama saat ini bagi para peneliti obat
di Indonesia.
Proses penemuan suatu obat dari suatu tanaman merupakan sesuatu yang tidak
mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Proses tersebut meliputi : studi
etnofarmakologi, kemotaksonomi, skrining senyawa bioaktif, kemungkinan upaya sintesis
senyawa tunggal, studi preklinik maupun klinik, hingga produksi skala besar untuk tujuan
medik. Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah
buah manggis (G. mangostana L.), terutama pemanfaatan kulit buahnya.1 Kulit manggis
yang dahulu hanya dibuang saja ternyata menyimpan sebuah harapan untuk
dikembangkan sebagai kandidat obat. Kulit buah manggis setelah diteliti ternyata
mengandung beberapa senyawa dengan aktivitas farmakologi misalnya antiinflamasi,
antihistamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri, antijamur bahkan untuk
pengobatan atau terapi penyakit HIV.
Beberapa senyawa utama kandungan kulit buah manggis yang dilaporkan
bertanggung jawab atas beberapa aktivitas farmakologi adalah golongan xanton. Senyawa
xanton yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah 1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-
bis(3metil2-butenil)-9H-xanten-9-on and 1,3,6,7-tetrahidroksi-2,8-bis(3-metil-2-
butenil)9Hxanten-9-on. Keduanya lebih dikenal dengan nama alfa-mangostin dan
gammamangostin. Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak
dahulu. Kulit buah manggis secara tradisional digunakan pada berbagai pengobatan di
negara India, Myanmar Sri langka, dan Thailand. Secara luas, masyarakat Thailand
memanfaatkan kulit buah manggis untuk pengobatan penyakit sariawan, disentri, cystitis,
diare, gonorea, dan eksim. Di era modern, pemanfaatan kulit buah manggis secara luas di

1
negara tersebut memicu minat para ilmuwan untuk menyelidiki dan mengembangkan
lebih lanjut aspek ilmiah keberkhasiatan kulit buah manggis tersebut. Banyak penelitian
telah membuktikan khasiat kulit buah manggis, dan diantaranya bahkan menemukan
senyawa-senyawa yang bertanggungjawab terhadap efek-efek tersebut. Berikut ini akan
disajikan pembahasan mengenai efek farmakologi dari kulit buah manggis.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, para peneliti mencari zat-zat
yang terdapat dalam buah manggis yang bertujuan agar dapat dimanfaatkan untuk
kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah tersebut kaya dengan zat gizi yang
menakjubkan bernama xanton yang banyak terdapat pada kulitnya. Kandungan xanton
tertinggi terdapat dalam kulit buah manggis, yakni 107,76 mg per 100 g kulit buah.
Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul C13H8O2. Hal ini
dapat dibuat dengan pemanasan salisilat fenil. Xanthone adalah senyawa metabolik
sekunder, yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi, rendah, dan lumut. Xanthone
terdistribusi luas pada tumbuhan tingkat tinggi, tumbuhan paku, jamur, dan tumbuhan
lumut. Sebagian besar xanthone ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Xanthone telah
diteliti dan dilaporkan terdapat pada daun, kulit batang, biji, aril, dan kulit buah manggis.
Xanthone ialah bioflavonoid yang bersifat antioksidan, antibakteri, antialergi, antitumor,
antihistamin, dan antiinflamasi.
Xanthone adalah kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai struktur cincin 6
karbon dengan kerangka karbon rangkap. Struktur ini membuat xanthone sangat stabil dan
serbaguna. Semua xanthone memiliki struktur kerangka yang sama, kekhasannya adalah
pada rantai samping yang ditandai karbon 1 hingga 8.

8 1
7 2

B A
3
6
5 O 4
xanthone

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan makalah dari makalah ini yaitu :
1. Apa itu definisi xanthon.
2. Apa sumber dan penyebaran xanthon di alam.
3. Apa biosintesis dan sintesis xanthon.
4. Apa saja manfaat xanthon.
2
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi xanthon.
2. Mengetahui apa saja sumber dan penyebaran xanthon di alam.
3. Mengetahui biosintesis dan sintesis xanthon.
4. Mengetahui apa saja manfaat xanthon.
1.4 Manfaat
1. Memperoleh pengetahuan mengenai senyawa berkhasiat Xanthone
2. Dapat mengambil manfaat dari senyawa berkhasiat Xanthone

3
BAB II ISI

2.1 Xanthone
Xanthone adalah sebuah kelas unik dari senyawa biologis aktif yang memiliki
kemampuan bioaktif (seperti sifat antioksidan). Sebuah kelompok terbatas polifenol
tanaman, secara biosintesis terkait dengan flavonoid. (windu nurhadi (undated).
mengenal xanthones .
Xanthones adalah senyawa keton siklik polifenol (C13H18O2). Struktur dasar
xanthones terdiri dari tiga benzena dengan satu benzena di tengahnya yang merupakan
keton. Hampir semua molekul turunan xanthones mempunyai gugus fenol, sehingga
xanthones sering juga disebut polifenol.
Polifenol adalah sekelompok zat kimia tanaman yang ditandai oleh adanya lebih
dari satu kelompok fenolik. Polifenol bertanggung jawab untuk warna dari beberapa
tanaman dan dianggap antioksidan yang kuat dengan bermanfaat untuk kesehatan.
Xanton termasuk ke dalam golongan senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan kelompok
senyawa fenol yang terbanyak ditemukan di alam. Senyawa ini umumnya ditemukan pada tumbuhan
yang berwarna merah, ungu, biru, atau kuning. Keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya
proses fotosintesis sehingga daun muda umumnya belum terlalu banyak mengandung flavonoid.
Sebagian besar senyawa flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida. Glikosida adalah
kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Residu
gula dari glikosida flavonoid alam adalah glukosida, ramnosida, galaktosida. Poliglikosida yang larut
dalam air dan sedikit larut dalam pelarut organik seperti benzene,aseton, eter dan kloroform.7
Flavonoid merupakan deretan senyawa C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus
C6 (cincin benzena) yang dihubungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Kelas yang berlainan dalam
golongan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil
yang tersebar menurut pola yang berlainan. Berdasarkan penambahan rantai oksigen dan perbedaan
distribusi dari gugus hidroksilnya flavonoid digolongkan menjadi enam jenis, yaitu flavon, isoflavon,
flavonol, flavanon, kalkon, dan auron. Senyawa ini memiliki dua cincin benzene dan satu cincin piran.
Inti xanton dikenal sebagai 9 xanthenone atau dibenzo-c-pyrone. Xanton dapat diklasifikasikan ke
dalam lima kelompok yaitu; oxygenated xanthone, xanthone glycoside, prenylated xanthone,
xanthonolignoid, dan miscellaneous Xanthone. Saat ini sekitar 1000 xanton berbeda telah diketahui.

4
2.1.1 Sifat Fisika dan Sifat Kimia Xanthone
Xanthon memiliki beberapa sifat fisika dan sifat kimia sebagai berikut :
Rumus Molekul : C13H8O2
Nama IUPAC : 9H-oxo-9-one
Nama Lain : 9-oxo-xanthene/diphenyline ketone oxide
Massa Molar : 196,19 g/mol
Wujud : Padatan putih
Titik Leleh : 170ᵒC
Titik Didih : 351ᵒC

2.1.2 Klasifikasi Xanthone


Xanton termasuk ke dalam golongan senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan kelompok
senyawa fenol yang terbanyak ditemukan di alam. Senyawa ini umumnya ditemukan pada tumbuhan
yang berwarna merah, ungu, biru, atau kuning. Keberadaannya dalam daun dipengaruhi oleh adanya
proses fotosintesis sehingga daun muda umumnya belum terlalu banyak mengandung flavonoid.
Sebagian besar senyawa flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida. Glikosida adalah
kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Residu
gula dari glikosida flavonoid alam adalah glukosida, ramnosida, galaktosida. Poliglikosida yang larut
dalam air dan sedikit larut dalam pelarut organik seperti benzene,aseton, eter dan kloroform.7
Flavonoid merupakan deretan senyawa C6-C3-C6, artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus
C6 (cincin benzena) yang dihubungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Kelas yang berlainan dalam
golongan flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil
yang tersebar menurut pola yang berlainan. Berdasarkan penambahan rantai oksigen dan perbedaan
distribusi dari gugus hidroksilnya flavonoid digolongkan menjadi enam jenis, yaitu flavon, isoflavon,
flavonol, flavanon, kalkon, dan auron. Senyawa ini memiliki dua cincin benzene dan satu cincin piran.
Inti xanton dikenal sebagai 9 xanthenone atau dibenzo-c-pyrone. Xanton dapat diklasifikasikan ke
dalam lima kelompok yaitu; oxygenated xanthone, xanthone glycoside, prenylated xanthone,
xanthonolignoid, dan miscellaneous Xanthone. Saat ini sekitar 1000 xanton berbeda telah diketahui.

a. Simple Oxygeneted Xanthone. Xanthone oksigen sederhana dibagi sesuai dengan


tingkat oksigenasi ke non, mono-, di-, tri-, tetra-, penta-, dan hexaoxygenated zat.
Dalam xanthones ini substituen sederhana gugus hidroksi, metoksi, atau metil.
Sekitar 150 xanthones oksigen sederhana telah dilaporkan.

5
b. Nonoxygenated Xanthone Simple. Xanthones nonoxygenated, yaitu, methylxanthones
(1, 2, 3, 4-metil xanthone), dilaporkan dalam minyak mentah dari lepas pantai
Norwegia. Ini adalah deskripsi pertama dari xanthones bahan organik fosil.
xanthones ini mungkin telah dihasilkan sebagai produk diagenesa, dibentuk oleh
oksidasi xanthenes di waduk, atau mungkin berasal oleh biosintesis dari prekursor
aromatik.

c. Monooxygenated Xanthone. Selain itu, enam xanthones monooxy- genated dari


Swertia, 2-hydroxyxanthone, 4-hydroxyxanthone, dan 2-methoxyxanthone telah
diisolasi dari empat genera, yaitu, Calophyllum, Kielmeyera, Mesua, dan
Ochrocarpus.

6
d. Dioxygenated Xanthone. Lebih dari lima belas xanthones ated dioxygen- dilaporkan
dari tanaman dari keluarga Clusiaceae dan Euphorbiaceae. 1,5-Dihydroxyxanthone,
1,7- dihydroxyxanthone, dan 2,6-dihydroxyxanthone ditemukan cukup luas.
xanthones terdeoksigenasi lain seperti 1-hidroksi-5-methoxyxanthone, 1-hidroksi-7-
methoxyxanthone, 2-hidroksi-1-methoxyxanthone, 3-hidroksi-2-methoxyxanthone,
3-hidroksi-4-methoxyxanthone , 5-hidroksi-1-methoxyxanthone, dan 1,2-
methylenedioxy-xanthone telah dilaporkan dari sebelas tanaman genera.

e. Trioxygeneted Xanthone. Empat puluh lima xanthones trioksigenasi telah dilaporkan;


dari lima belas ini telah dijelaskan baru. Di antaranya, hanya dua xanthones
tersulfonasi alami, yaitu 1,3-dihidroksi-5-metoksioksida4-sulfonat dan 5-O-𝛽-D-
glukopiranosil-1,3-dihidroksiksanton-4-sulfonat, adalah dilaporkan dari Hypericum
sampsonii. Xanthone tersulfonasi ini ditemukan menunjukkan sitotoksisitas
signifikan terhadap sel kanker. 1,3,5-, 1,5,6-, 1,6,7-, dan 2,3,4-trihydroxyxanthone,
tujuh belas metil eter, dan dua turunan methylenedioxy dari sembilan genus telah
dilaporkan.

7
f. Tetraoxygeneted Xanthone. Di antara 53 xanthone tetraoksigenasi yang
teridentifikasi sejauh ini, 21 ditemukan sebagai produk alami baru. Xanthone ini
terutama dilaporkan dari tumbuhan famili Gentianaceae, Clusiaceae, dan
Polygalaceae. Menariknya, 7-kloro-1,2,3-trihidroksi-6methoxyxanthone diisolasi
dari Polygala vulgaris tampaknya menjadi kloroxanton pertama dari keluarga
Polygalaceae. Senyawa ini menunjukkan aktivitas antiproliferatif terhadap garis sel
adenokarsinoma usus manusia. Hidroksiksone bebas adalah 1,3,5,6-, 1,3,5,7-, dan
1,3,6,7-tetrahydroxyxanthone.

g. Pentaoxygenated Xanthone. Dua puluh tujuh xanthones genated pentaoxy- telah


diidentifikasi. Empat sebagian termetilasi xanthones pentaoxygenated, yaitu, 1,8-
dihidroksi-2,3,7-trimethoxyxanthone, 5,6-dihidroksi-1,3,7-trimethoxyxanthone, 1,7-
dihidroksi-2,3, 8-trimethoxyxanthone, 3,8-dihidroksi-1,2,6-trimethoxyxanthone, Dan
3,7- dihidroksi-1,5,6-trimethoxyxanthone, telah diisolasi dari tiga pabrik genera.

8
h. Hexaoxygenated Xanthone. Dua hexaoxygenated xan- thones, 8-hidroksi-1,2,3,4,6-
pentamethoxyxanthone, Dan 1,8-dihidroksi-2,3,4,6-tetramethoxyxanthone, Terisolasi
dari dua spesies Centaurium dan 3-hidroksi 1,2,5,6,7-pentamethoxyxanthone
diisolasi dari akar Polygala japonica. Terjadinya alam pentaoxy- genated,
hexaoxygenated, dan xanthones dimer telah ditinjau oleh Peres dan Nagem.

i. xanthone Glikosida. Enam puluh satu alami xanthones cosylated gly-, tiga puluh
sembilan di antaranya pound com- baru, telah dilaporkan terutama di keluarga
gentianaceae dan polygalaceae sebagai C- atau O-glikosida. Rincian alami glikosida
xanthone telah ditinjau. Dan perbedaan antara C-glikosida dan O- glikosida juga
telah dibuat. Dalam C-glikosida, C-C ikatan menghubungkan bagian gula ke inti

9
xanthone dan mereka tahan terhadap hidrolisis asam dan enzimatik sedangkan O-
glikosida memiliki keterkaitan glikosidik khas.
j. C-Gliycosides. C-glikosida jarang terjadi; dengan demikian, hanya tujuh C-glikosida
yang disebutkan dalam ulasan Sultanbawa dan 17 dalam ulasan Al-Hazimi.
Mangiferin dan isomangiferin adalah C-glikosida yang paling umum. Mangiferin (2,
-C-𝛽-Dglucopyranosyl-1,3,6,7-tetrahydroxyxanthone) adalah kejadian yang luas di
angiosperma dan pakis dan pertama kali diisolasi dari Mangifera indica. Isomer,
isomangiferin (4-C-𝛽-D-glucopyranosyl-1,3,6,7tetrahydroxyxanthone), telah
diisolasi dari bagian aerial Anemarrhena asphodeloides. Homomangiferin (2-C-𝛽-D-
glucopyranosyl-3-methoxy-1,6,7-trihydroxyxanthone) juga telah diisolasi dari kulit
Mangifera indica. Pada tahun 1973, glikoxanton lain (2-C-𝛽-Dglucopyranosyl-
1,3,5,6-tetrahydroxyxanthone) dengan pola oksidasi selain dari mangiferin
ditemukan di Canscora decussate. Arisawa dan Morita telah mengisolasi glikosida
xanthone tetraoksigenasi 2-C-𝛽-Dglucopyranosyl-5-metoksi-1,3,6-trihidroksixanton
dari Irisflorentina.

k. O-Glikosida.Lebih dari 20 xanthone O-glikosida dikenal. Beberapa berasal dari


sumber alami, yaitu, loside gentiacau- dari Gentiana acaulis, gentioside dari G. lutea,
dan swertianolin dari Swertia japonica. kejadian alam mereka terbatas pada keluarga
gentianaceae. The xanthone pertama O-glikosida, norswertianin-1-O-glucosyl-3- O-
glukosida, diisolasi dari S. perennis. Sebuah tetraoxygenated xanthone O-glikosida
(3,7,8-trihydroxyxanthone-1--laminaribioside) diisolasi dari spesies pakis. 1-
Hydroxy-7-metoksi-3 O-primeverosylxanthone, dan 1-metoksi-5-hydroxyxanthone-
3-O-rutinosida, Telah diisolasi dari spesies Gentiana dan Canscora decussata.

10
l. Terprenilasi dan terkait Xanthone. Di antara 285 prenylated xanthones, 173
digambarkan sebagai senyawa baru. Terjadinya xanthones terprenilasi terbatas pada
spesies tanaman dari keluarga Guttiferae. Unit C utama dari substituen termasuk
sering ditemukan 3-methylbut-2- enil atau isoprenyl kelompok seperti dalam
isoemericellin dan kurang sering 3-hydroxy-3-methylbutyl seperti di
nigrolineaxanthone P dan 1,1-dimethylprop-2-enil sebagai di globuxanthone, secara
berurut. xanthones terprenilasi, caloxanthone O dan caloxanthone P, diisolasi dari
Calophyllum inophyllum Garcinia oblongifolia dan xanthones prenilasi dan
benzofenon dari Garciniaoblongifolia.

m. Xanthonolignoids. Alami noids xanthonolig- jarang terjadi, sehingga hanya lima


senyawa yang dikenal. The xanthonolignoid pertama diisolasi dari spesies
Kielmeyera oleh Castela~o Jr et al. Mereka juga mengisolasi dua xanthonolignoids
lainnya bernama Cadensins A dan B dari Caraipa densiflora. Sebuah Kielcorin
xanthonolignoid diperoleh dari spesies Hypericum. Baru-baru ini, kielcorin juga
diisolasi dari Vismia guaramirangae, Kielmeyera variabilis, Dan Hypericum
canariensis, Sedangkan cadensin C dan cadensin D dari Vismia guaramirangae dan
Hypericum canariensis telah dilaporkan.

2.1.3 Metode Isolasi dan Karakterisasi Xanthone


Tanaman xanthones biasanya terisolasi oleh kolom cromatography pada silika gel
menggunakan campuran pelarut yang berbeda dengan meningkatnya polaritas. glikosida
xanthone biasanya mengkristal dari MeOH. Mereka juga dapat dipisahkan dan
diidentifikasi dengan menggunakan TLC Dan HPLC, dibandingkan dengan sampel
otentik. Struktur xanthones telah didirikan atas dasar UV, IR, MS, dan data NMR.
Preparatif TLC pada silika gel menggunakan AcOEt, MeOH, dan H2O fase gerak telah
digunakan dalam kasus pemisahan yang sulit. pelarut yang sering digunakan di TLC
berada di poliamida, MeOH-H2O (9: 1) dan MeOH-H2O-AcOH (90: 5: 5); pada
selulosa, HOAc (5-30%); pada silika gel, Py-H2O-AcOEt-MeOH (12: 10: 80: 5) dan
AcOEt-MeOH-H2O (21: 4: 3) dan chromatoplates dilihat dalam cahaya UV. Dalam
kasus tertentu, penyemprotan dengan 5% KOH di MeOH atau 5% berair H2SO4 telah
menguntungkan. kolom poliamida sering diterapkan untuk pemisahan glikosida
xanthone. Pemurnian xanthones pada kolom Sephadex LH20 juga telah dilakukan.

11
Xanthone juga terisolasi dari resin Garcinia hanburyi Dan dari produk fermentasi jamur
yang endofit Phomopsis.
HPLC telah terbukti sebagai teknik terbaik untuk pemisahan, identifikasi, dan
kuantifikasi xanthone. Beberapa metode HPLC telah dikembangkan untuk xanthone
alami yang menggunakan mikroporous ikatan silika gel kimia (kolom Micropak CN),
pelarut heksana kloroform (13: 7, v / v), isooctane-CHCl3 (3:17, v / v), atau dioxane -
diklorometana (1: 9) terdeteksi pada 254nm oleh detektor UV [60]. Aglikon polar serta
glikosida xanthone juga diselesaikan pada kolom fase terbalik (C8 dan C18)
menggunakan asetonitril-air sebagai fase gerak. Kromatografi counter-counter
berkecepatan tinggi (HSCCC) dan kromatografi partisi sentrifugal kinerja tinggi
(HPCPC) juga digunakan untuk pemisahan dan isolasi mangiferin dan neomangiferin
dari ekstrak Anemarrhena asphodeloides dan 𝛼-mangostins dan 𝛾mangostins dari
manggis manggis, masing-masing.

2.1.3.1 Ultraviolet Visible Spectroscopy (UV).


Teknik spektroskopi ultraviolet terlihat berguna untuk mencari gugus hidroksil
bebas dalam xanthone. Secara khusus, gugus OH pada posisi 3 mudah dideteksi dengan
penambahan NaOAc yang menghasilkan pergeseran bathochromic dari 300-330 nm
band dengan intensitas yang meningkat. Tiga atau empat pita serapan maksimum selalu
ditemukan di wilayah 220-410 nm dan perlu dicatat bahwa semua band menunjukkan
intensitas tinggi. Sebagian besar zat menunjukkan penyerapan ditandai di daerah
400nm, yang menyumbang warna kuning mereka.

2.1.3.2 Spektroskopi Inframerah (IR).


Gugus karbonil di xanthone selalu mudah terdeteksi dalam spektrum IR
sebagai pita kuat (frekuensi peregangan) di wilayah 1657cm −1. Kehadiran gugus
hidroksil di l atau 8 posisi menurunkan frekuensi menjadi sekitar 1650 cm − 1 oleh
ikatan hidrogen. Substituen dalam posisi 3 atau 6 dari inti xanthone mungkin memiliki
efek yang ditandai pada frekuensi peregangan karbonil.

2.1.3.3 Proton Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir (1H NMR).


Spektrum 1D dan 2D-NMR (1H, 13C, DEPT, COZY, TOCSY, HROESY,
HSQC, HMBC, dan NOESY) telah digunakan untuk karakterisasi xanthone. Spektrum

12
1H NMR muncul terutama di kisaran 0-12 ppm downfield dari sinyal referensi TMS.
Integral dari sinyal sebanding dengan jumlah proton yang ada. 1H NMR memberikan
informasi tentang pola substitusi pada setiap cincin. Derivatif asetil telah digunakan
dalam penentuan struktur glikosida. Jumlah dan posisi relatif dari kelompok asetil dan
metoksi dapat ditentukan dengan mengamati pergeseran untuk posisi penyerapan proton
aromatik yang terjadi pada penggantian gugus metoksi oleh gugus asetil. Garis antara 𝛿
2.40-2.50 merupakan indikasi asetilasi pada periposisi pada gugus karbonil (1 atau
lebih). 8 posisi) karena untuk posisi lain, sinyal asetil jatuh antara 𝛿 2.30 dan 2.35.
Dalam xanthone nonacetylated kehadiran hidrogen terikat OH pada 𝛿 1213 juga
menegaskan substitusi hidroksil pada 1 atau 8. Tapi ketika posisi ini tidak tersubstitusi,
maka penyerapan untuk proton aromatik muncul sat 𝛿 7.70-8.05 .Tetraoxygenated
xanthones, yaitu, 1 , 3,7,8- dan 1,3,5,8-, menunjukkan dua meta dan dua proton orto-
coupled dalam spektrum 1H NMR. Mereka juga dapat dibedakan oleh fakta bahwa
kehadiran proton orto-coupled dalam sistem 1,3,7,8 muncul di lapangan bawah
dibandingkan dengan sistem 1,3,5,8- (bellidifolin). Sinyal dari 2 "-O-asetil metil proton
8-C-glukosil flavon asetat ditemukan di lapangan yang lebih tinggi daripada yang sesuai
6-C-glukosil flavon asetat. Dalam cara yang sama, 2-C dan 4-C isomerik glikosil
xanthone dapat dibedakan.

2.1.3.4 Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir Karbon (13C NMR).


Jumlah sinyal dalam spektrum 13C NMR menunjukkan jumlah jenis Catoms
yang berbeda. Ini memberikan informasi tentang jumlah total Catom yang ada di
dalamnya. Hal ini terutama untuk mendeteksi eternining hubungan gula di di-
orpolysaccharides; sinyal karbon yang membawa alkohol primer muncul pada 𝛿 62
dalam glukosa. Sinyal ini bergeser ke 𝛿 67 dalam disakarida yang memiliki hubungan 1-
6 Pergeseran kimia untuk karbon karbonil adalah 𝛿 184,5 ketika posisi 1 dan 8
digantikan oleh gugus hidroksil. Tapi ketika salah satu dari seposisi ditempati baik oleh
metoksi atau bagian gula, sinyal karbonil bergeser ke atas sekitar 4ppm. Jika kedua
posisi ditempati oleh gugus metoksi atau gugus gula, pergeseran ladang atas adalah
sekitar 10ppm. Ketika gugus metoksi berada pada posisi 1 atau 8, penyerapan yang
sesuai muncul pada 𝛿60-61, di mana ketika muncul pada sekitar 𝛿 56 ketika kelompok
methoxy terletak di posisi yang tersisa pada inti xanthone.

13
2.1.3.5 Spektrometri Massa (MS).
Spektrometri massa juga merupakan alat yang berguna dalam elusidasi struktur
glikosida xanthone. Prox membentuk pola fragmentasi mangiferin dan C-glikosida
terkait. Aritomi dan Kawasaki memperoleh hasil yang memuaskan dengan
menggunakan turunan peracetylated dari senyawa yang sama dan analog. Dalam
spektrum massa O-glikosida, tidak ada puncak ion molekuler yang dapat diamati, tetapi
puncak ion fragmen penting karena gugus aglikon muncul, diikuti oleh fragmentasi
lebih lanjut. Ion fragmen yang signifikan dari hilangnya OH, H2O, dan CHO adalah
khas untuk xanthone dan senyawa yang terkait dengan substituen perioda untuk gugus
karbonil.

2.1.4 Biosintesis Xanthone


Jalur biosintesis xanthones dalam tanaman telah aktif diteliti oleh banyak penulis
secara in vitro. Para ahli telah mengusulkan dua proses yang berbeda yang terlibat
dalam biosintesis xanthones yaitu:
a. Jalur Asetat Polimalonik (Gambar 2.1)
b. Jalur Asam Sikimat (Gambar 2.2)

A. Jalur Asetat Polimalonik


Menurut Mc. Master, sintesis dari beberapa xanthones pada tanaman tingkat
rendah seperti mikroorganisme dan lumut diturunkan dari tujuh unit asetat. Observasi
ini kemudian dibuktikan lebih lanjut oleh Birch pada tahun 1976. Birch mengusulkan
mekanisme biosintetik ravelenin dari Helminthosporium ravenelii dan kemudian
mengilustrasikan polymalonic asetat. Mekanisme biosintesis dari ravelenin, benzofenon
terlibat sebagai perantara.

14
B. Jalur Asam Sikimat
Hal ini diyakini bahwa pola oksigenasi dari semua xanthones pada tumbuhan
tingkat tinggi dibentuk oleh jalur yang dikenal sebagai jalur asetat dicampur shikimate.
Dalam jalur cincin asetat dicampur shikimate, cincin A dengan C = O berasal dari jalur
asam shikimat, sedangkan cincin B muncul dari asetat-malonat poliketida. Kedua gugus
(cincin A dan cincin B) kemudian mengembun untuk membentuk benzofenon atau
benzofenon seperti intermediet. Intermediet yang terbentuk bereaksi secara
intramolekular menghasilkan xanthon.

15
Mekanisme reaksi ini melibatkan kopling oksidatif fenol dengan penambahan
kuinon. Dehidrasi antara kelompok hidroksil pada asetat dan shikimate diturunkan
cincin atau pembentukan spirodienone dan kemudian diikuti dengan penyusunan ulang
berikutnya yang membentuk xanthone.

2.1.5 Sintesis Xanthone


Pemanfaatan xanthon dan turunannya yang telah dieksperimenkan oleh ahli kimia
dalam mensintesis senyawa xanthon.Sejalan dengan ini, ahli kimia telah mencoba untuk
mengembangkan beberapa metode untuk mensintesis xanthones dengan hasil yang tinggi.

A. Metode Klasik Grover, Shah dan Shah


Yang pertama yang diketahui sintesis kimia xanthon diciptakan oleh Kostanecki di
1892 dan jalur ini dikenal sebagai metode Michael-Kostanecki. Dalam metode ini, campuran
molar dari asam salisilat polifenol dan dipanaskan oleh agen dehidrasi seperti anhidrida asetat
atau seng klorida. Namun, hal ini menghasilkan hydroxyxanthone sederhana. Selain itu,
kemungkinan auto-kondensasi ekarboksilasi dan banyak reaksi samping yang lain juga
kelemahan metode sintesis ini.
Pendekatan sintetis kemudian diperbaiki oleh Grover, Shah dan Shah pada tahun
1955. Dalam metode klasik Grover, Shah dan Shah, xanthones diperoleh oleh kondensasi
antara asam orto-oksigen benzoat dan diaktifkan polifenol seperti phloroglucinol. Penggunaan
pereaksi Eaton (fosfor pentoksida dan methanesulfonic asam: P2O5/CH3SO3H) sebagai bahan
penghubung telah mengakibatkan hasil xanthone yang tinggi.

16
Pada Gambar 2.3, turunan benzofenon menengah terlibat dalam siklisasi melalui
proses dehydrative atau oksidatif yang menghasilkan xanthon yang sederhana. Keuntungan
dari metode ini adalah bahwa sintesis dimodifikasi oleh suhu sehingga reaksi yang dibutuhkan
sangat rendah.Meskipun demikian, masih ada sejumlah keterbatasan dalam metodeini. Ketika
hydroquinone, resorsinol atau pyrogallol digunakan sebagai polifenol dalam reaksi, hasil yang
diperoleh tidak sesuai . Selain itu, tidak ada promosi langsung siklisasi dalam metode ini
meskipun pembentukan benzofenon menengah harus terjadi dalam mekanisme Meskipun
mungkin untuk benzofenon menengah untuk cyclize selama proses pemanasan,
mengakibatkan hasilreaksi masih sangat rendah.

B. Metode Klasik Ullmann


Pada tahun 1906, metode sintesis alternatif untuk xanthon telah
dikembangkan.Ullmann dan Pauchaud mengusulkan bahwa kondensasi dari fenol dan orto-
asam chlorobenzoic mengarah pada pembentukan 2-phenoxybenzoic asam.Para-intermediate
kemudian direaksikan dengan asam polyphosphoric (PPA) dan fosfor oksiklorida (POCl 3),
masing-masing, dan dengan demikian cyclizemenuju blok xanthon bawah Friedel-Crafts
kondisi yang memberikan hasil yang tinggi

Kelompok fungsional untuk posisi yang berbeda pada cincin xanthon yang
direaksikan dengan menggunakan fenol tersubstitusi yang sesuai.Melalui reaksi tersebut,
berbagai jenis xanthon derivatif dapat dibuat tergantung pada posisi substituen pada
fenol.Contohnya digambarkan pada Gambar 2.5 di mana metil kelompok, CH3 diperkenalkan
ke cincin fenol.Asam Xanthonecarboxylic diperoleh dengan oksidasi gugus metil pada fenol

17
dengan kalium permanganat dalam larutan alkali. Proses ini kemudian diikuti oleh
intramolekular asilasi Friedel-Crafts dengan asam polyphosphoric (PPA).

Ullmann dan Pauchaud telah mengembangkan metode yang efisien untuk sintesis
xanthones. Namun, dalam mensintesis xanthones cukup rumit. Prosedur sintesis yang sangat
tergantung dan sangat sensitif terhadap berbagai faktor seperti suhu dan jenis katalis yang
digunakan. Jika ada kondisi dalam suatu reaksi yang tidak dioptimalkan atau diatur dengan
benar, mengakibatkan tidak diperolehnya hasil reaksi dalam sintesis xanthone.

C. Modifikasi Metode Klasik

18
Scheme 2

19
20
21
22
Modifikasi terbaru pada metode eksperimental yang diilustrasikan dalam
Skema 2 telah dilaporkan. Dalam reaksi Grover, Shah, dan Shah (GSS) (lihat Skema
1), hasil yang lebih baik diperoleh dengan menggunakan campuran fosfor pentoksida -
asam metanasulfonat (pereaksi Eaton) bukan fosfor oksiklorida-seng klorida sebagai
katalis [46,54]. Sisa katalis asilasi ditemukan menjadi agen kondensasi yang sangat
baik antara phloroglucinol (5) dan 3-methylsalicylic acid (6), memberikan hasil yang
tinggi (90-95%) dari xanthone (7) dan tidak ada jumlah yang mungkin dapat dideteksi
dari benzofenon ( 8) (Skema 3). Penelitian selanjutnya menemukan bahwa tidak perlu
menyatukan zinc klorida sebelum penggandengan; prosedur ekstra ini benar-benar
menurunkan hasil reaksi karena tidak larutnya seng klorida seperti kaca. Untuk
menghindari langkah ini, seng klorida dipanaskan di fosfor oksiklorida hingga 60ºC
selama 30 menit sebelum penambahan asam benzoat dimetoksi dan panas
dipertahankan selama 30 menit tambahan sebelum penambahan polifenol.
Modifikasi reaksi Friedel-Crafts (Skema 2, a)) telah menyertakan asilasi
dengan adanya asam trifluoroasetat anhidrida, demetilasi, dan siklisasi berikutnya dari
benzofenon (dengan eliminasi metanol) dalam media berair di bawah tekanan dan
pemanasan. Juga, metode yang terbatas pada 1,3-dihidroksiekson termasuk asilasi dari
fenol yang tersubtitusi O, O, O-tris (trimetilsilil) yang tersubstitusi dengan benzoil
klorida dengan adanya klorida stannik. Penggunaan Nafion -H, katalis asam
resinulfonat perfluorinated, juga telah diterapkan dalam sintesis xanthone sederhana
dengan hasil yang sangat baik dalam langkah kondensasi asam benzoat (Skema 2, a)).
23
Penggunaan PPh3 / CCl4 untuk membangun kerangka xanthone adalah reaksi siklisasi
kunci (Skema 2, b)) dan merupakan metode baru untuk sintesis total α - mangostin
(13) (Skema 4). The benzophenone (12), diperoleh melalui induk alkohol (11) oleh
tambahan aril yang diikuti (9) anion untuk benzaldehida (10), dilengkapi xanthone
alami (13). Pendekatan yang sedikit berbeda yang melibatkan ortholithiation sebagai
langkah kunci untuk sintesis benzophenones diikuti oleh siklisasi klasik ke xanthone
telah tercapai.
Hasil yang tidak diharapkan dalam reaksi Friedel-Crafts juga telah diamati.
Kondisi KF / Al2O 3, sementara mediasi O-alkilasi 2-hidroksi-4,4'-bis (methylthio) -
benzo-phenone, menunjukkan tandem substitusi elektrofilik-nukleofilik yang tidak
biasa dan menyebabkan thantransitif xanthonic (14) ( Gambar. (2)). Juga, dalam
proses penelitian reaksi oksidasi yang dikatalisis tembaga untuk mendapatkan derivatif
diaryl dengan substituen penarik elektron berdasarkan pada kondensasi Ullmann, suatu
benzofenon disintesis dengan oksidasi dari bis (4-nitrophenil) metana dengan refluks
dengan bubuk tembaga di dalam. N,N-dimethylformamide; 2,2'-di-iodo-4,4'-
dinitrobenzophenone menengah dilengkapi 3,6-dinitroksanton dengan hasil yang baik.
Menggunakan Friedel-Crafts cyclobenzylation intramolecular dalam persiapan
xanthenes, oleh aksi diklorometil metil eter dan TiCl4 pada 4,4'-di-tert-butyldiphenyl
ether telah memungkinkan ortho substitusi elektrofilik ke hubungan eter difenil dan
menghasilkan 2,7- di-tert-butylxanthene di 38% bersama dengan 2,7-di-tert-
butylxanthone di 38%.

Dalam diaryl ether condensation (Skema 2, c)), metodologi microwave telah


membantu dan menggantikan pemanasan umum dalam reaksi Ullmann . Microwave
iradiasi dari campuran natrium 2-methoxyphenolate, natrium 2-klorobenzoat, CuCl,
dan tris [2- (2-metoksietoksi) -etil] amina menghasilkan asam benzoat 2- (2'-metoksi-
fenoksi), yang kemudian diperlakukan dengan polyphosphoric acid untuk
menyediakan 4-methoxyxanthone dalam hasil 41%. Perbaikan lain dalam sintesis
Ullmann terdiri dalam kopling aril halida dengan fenol dengan adanya P4-tert-butil
basa fosfena dan CuBr pada 100ºC. Sintesis yang ditingkatkan dari obat antikanker
5,6-dimethylxanthone-4-acetic acid (DMXAA), yang dicapai dalam hasil 22% dari
3,4-dimethylbenzoic acid, juga merupakan contoh dari strategi yang dioptimalkan
berdasarkan pada reaksi Ullmann.

24
Perbaikan luar biasa telah dicapai dalam sintesis xanthone 1,2-dioksigenasi
oleh penerapan metalasi langsung pada intermediet diphenil eter (Skema 2,d))
menggunakan lithium di-isopropylamide (LDA) [66,67], metode yang serupa dengan
yang dikembangkan untuk sintesis xanthones alami cervinomycin A1 dan A2 (lihat
Tabel 2) [68]. Upaya untuk memperoleh 1,2-dihydroxyxanthone (16) oleh asilasi
Friedel-Crafts tradisional atau reaksi Ullmann menghasilkan campuran isomerik
dengan hasil senyawa yang sangat rendah (16). Akibatnya, 1,2-dihydroxyxanthone
(16) pertama kali diperoleh sebagai produk utama oleh sintesis multi-langkah melalui
menengah-1-formil-2-hydroxyxanthone (15) dalam hasil yang sangat rendah (Skema 5
a)). Snieckus dan rekan kerja telah menyelesaikan sintesis produk alami 2-hidroksi-1-
methoxyxanthone LDA (18) dan 6-deoxyjacareubin (20) dari diaril eter 2 karboksamid
yang tepat (17) dan (19), masing-masing. (Skema 5 b)). Langkah siklisasi didikte oleh
efek koordinasi dari kelompok metalisasi langsung yang berbeda dengan substitusi
elektrofilik dari asam karboksilat yang sesuai dan mungkin didorong oleh Efek Jarak
Induksi Kompleks Kompleks (CIPE). CIPE juga telah dikaitkan dengan keberhasilan
penataan ulang Anionic Fries (Skema 2, f)), diterapkan dalam sintesis dihidro-O-
methylsterigmatocystin (lihat Tabel 2). Selain itu, metalisasi langsung telah diterapkan
dalam sintesis fluorenones, thioxanthones, dan selenoxanthones. Metode ini
dikombinasikan dengan penyesuaian penting untuk reaksi Ullmann yang dicapai oleh
Jackson et al. untuk memperoleh 1,2-dihydroxyxanthone (16) oleh lithiation langsung
dari diaryl intermediet yang tidak terlindung 2- (3 ', 4'-dimethoxyphenoxy) asam
benzoat (21) (Skema 5 c)). Litium langsung juga telah diterapkan untuk mensintesis
4,5-dihydroxyxanthone untuk dimasukkan dalam makersik mahkota-eter (lihat Bagian
3.2). Kristensen dkk. telah menggambarkan penutupan cincin eter difenil melalui
proses kaskade anionik yang diprakarsai oleh pertukaran bromin-lithium,
menggunakan tert-butillithium pada -78 ° C, dan dengan demikian menyiapkan
xanthones dan senyawa terkait dalam hasil tinggi (Skema 6); Reaksi berlangsung
melalui perangkap intramolekul berurutan dari intermediet organolithium yang sangat
reaktif (22).

25
2.1.6 Jalur Umum Pembentukan Xanthone
Jalur xanthon dengan kedua gugus hidroksi berkedudukan orto pada cincin A
dan B, berasal dari poliketida. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

2.1.7 Contoh Senyawa Xanthone di Alam


Di awal tahun 1960, xanthon dilaporkan diisolasi dari jamur yang merupakan tumbuhan
tingkat rendah, lumut dan hanya tiga keluarga tanaman berbunga termasuk Gentianaceae,
Guttiferae dan Anacardiaceae. Xanthon tidak hanya ditemukan pada jamur dan lumut lichen,
tetapi juga pada tanaman tingkat tinggi seperti tanaman berbunga dan pohon berbuah. Pada
tahun 1992, sekitar 20 keluarga dari tanaman berbunga telah ditemukan dapat menghasilkan
xanthon. Di antara keluarga-keluarga dari tanaman berbunga, Gentianaceae dan Guttiferae
ditemukan menjadi sumber utama derivatif xanthon. Sumber xanthon lain yang penting telah
mendapatkan popularitas baru-baru ini yaitu buah dari tanaman tropis Garcinia mangostana.
Saat ini, telah diamati bahwa semakin banyak spesies tanaman yang
mengandung xanton menunjukkan berbagai sifat biologis yang digunakan
sebagai agen kemoterapi dalam pengobatan tradisional untuk pengobatan berbagai
penyakit. Sebuah contoh khas dari xanton tanaman yang mengandung buah
manggis, Garcinia mangostana, yang merupakan salah satu buah tropis yang banyak
dikonsumsi. Pohon manggis cukup luas di negara-negara Asia Tenggara dan
produk yang dikembangkan dari buah Garcinia mangostana sekarang sangat
populer karena aktivitas biologis fitokimianya. Mangostana telah digunakan sebagai
obat tradisional di Asia Tenggara untuk pengobatan peradangan, infeksi kulit, bisul, dan
penyembuhan luka.
Xanton alami phomoxantones, dimer xanthone struktural yang unik yang
diperoleh dari spesies jamur Phomopsis endophytic. Menurut penelitian, analog dimer
xanthone telah menunjukkan aktivitas sitotoksik yang sangat baik terhadap
sel tumor.
Ekstrak kulit manggis Ekstrak kulit manggis mengandung xanthone. Xanthone
merupakan metabolit sekunder yang dapat ditemukan pada beberapa family tanaman
26
tingkat tinggi, jamur, dan lumut. Xanthone dapat diisolasi dari kulit, daging buah, pohon
dan daun manggis. Xanthone yang berkaitan erat dengan khasiat medis dari buah
manggis. Struktur kimiawi xanthone tersusun dari sistem aromatic trisiklik (C6-C3-C6).
Letak gugus isoprene, methoxyl, dan hydroxyl yang bervariasi pada struktur kimiawi.
Menghasilkan beragam senyawa xanthone. Sedikitnya 67 jenis xanthone yang
berbeda telah diidentifikasi dari berbagai bagian tanaman G. mangostana, dengan 50
jenis diantaranya ditemukan pada bagian kulit dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi pada bagian lainnya. Xanthone yang paling banyak
diteliti dalah --mangostin, garcinone E, 8-deoxygartanin dan -,, -, gartanin, dan 7
-mangostin merupakan xanthone terbanyak di kulit manggis. Xanthone pada manggis
berfungsi sebagai antioksidan, antitumor, antiinflamasi, antialergi, antibakteri,
antifungal, antivirus, dan antimalaria. Efek protektif -mangostin terhadap kerusakan
oksidatif yang disebabkan isoprotenol dan aktivitas -mangostin menunjukan
kemampuan xanthonepenangkapan radikal bebas oleh -mangostin mampu-mangostin
dan sebagai antioksidan. Sebagai antibakteri, menekan pertumbuhan S. aureus, P.
aeruginosa, dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus.

2.1.8 Turunan Xanthone


Turunan senyawa xanthone yang sudah diidentifikasi ada 20 jenis dan senyawa
yang paling banyak terdapat pada kulit buah manggis adalah alfa-mangostin. Senyawa
alfa-mangostin sebagai turunan xanthone memiliki kemampuan dalam menekan
pembentukan senyawa karsinogen pada kolon. Adapun beberapa turunan xanton yaitu:

27
28
2.2 Manggis (Garcinia mangostana L.)

Gambar : Buah Manggis (Garcinia mangostana L)

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu buah favorit masyarakat Indonesia.
Manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di wilayah Asia Tenggara, yaitu hutan belantara
Indonesia atau Malaysia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke wilayah tropis lainnya seperti
Filipina, Papua New Guinea, Kamboja, Thailand, Srilanka, Madagaskar, Honduras, Brazil dan
Australia Utara hingga Amerika Tengah. Di Indonesia, manggis mempunyai nama lokal seperti
manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung), manggusto (Sulawesi Utara), manggista (Sumatera
Barat). Pohon manggis dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian kurang dari 1.000 m dpl.
Pertumbuhan terbaik pada ketinggian kurang dari 500-600 m dpl. Pusat penanaman manggis di
Indonesia adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa),
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara.
Manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk tanaman pohon yang berasal dari
hutan tropis di kawasan Asia Tenggara. Tinggi pohon mencapai 7– 25 meter. Batang
tanaman manggis berbentuk pohon berkayu. Kulit batangnya tidak rata dan berwarna
kecoklat-coklatan. Daun manggis berbentuk bulat telur sampai bulat-panjang,
tumbuhnya tunggal dan bertangkai pendek sekali. Buahnya disebut manggis, dengan
kulit buah berwarna merah keunguan ketika matang, meskipun ada pula varian yang
kulitnya berwarna merah. Sistematika buah manggis adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae

29
Bangsa : Theales
Suku : Clusiaceae
Marga : Garcinia
Jenis : Garcinia mangostana (Cronquist, 1981).

Buah manggis berbentuk bangun bola dengan diameter 3,5 – 7 cm. Kulit buah
manggis memiliki warna hijau muda hingga ungu gelap, sedangkan warna daging
buahnya putih. Sewaktu masih muda permukaan kulit buah berwarna hijau, namun
setelah matang berubah menjadi ungu kemerah-merahan atau merah muda. Kulit buah
manggis ukurannya tebal mencapai proporsi sepertiga bagian dari buahnya (Cronquist,
1981). Gambar buah manggis dapat dilihat pada Gambar berikut.
Genus Garcinia adalah asli Asia dan Afrika dan mencakup lebih dari 300 spesies
yang berbeda dari beberapa keluarga dari senyawa bioaktif seperti xanthones, flavonoid,
triterpenoid, dan benzofenon telah diisolasi dan dikarakterisasi. Meskipun banyak
spesies Garcinia mangostana termasuk G., G. schomburgkiana, G. dulcis, G. cowa,
atroviridis G., G. hanburyi, G. bancana, G. xanthochymus, G. thorelii, G. hombroniana,
dan G. speciosa menghasilkan buah yang dapat dimakan, manggis telah menangkap
perhatian yang paling besar di pasar. Pohon manggis terutama dibudidayakan di
Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. pohon manggis dewasa berkisar 6-25 m.
Produksi buah umumnya memerlukan 10 tahun atau lebih dengan hasil sekitar 400 buah
per pohon yang meningkat pada pohon-pohon tua. buah manggis bulat, ungu gelap atau
kemerahan, dan memiliki juicy pulp putih yang memiliki rasa sedikit asam dan manis
yang dinikmati oleh banyak orang, dan telah menghasilkan itu yang disebut sebagai
“ratu buah”. Pericarp buah manggis telah digunakan dalam pengobatan tradisional di
Asia Tenggara selama berabad-abad untuk mengobati infeksi, luka, peradangan dan
diare.
Kandungan utama dari kulit buah manggis adalah mangostin. Mangostin dan turunannya
tergolong ke dalam senyawa xanton yang merupakan pigmen fenol kuning yang reaksi warnanya dan
gerakan kromatografinya serupa dengan flavonoid. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kulit buah
manggis (Garcinia mangostana L.) mengandung senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi dan
antioksidan. Senyawa tersebut diantaranya flavonoid, tanin dan xanton. Khasiat xanton antara lain
sebagai anti-aging (membantu memperlambat penuaan), anti-oksidan (menangkal radikal bebas),
membantu menurunkan tekanan daran tinggi atau hipertensi, modulator kekebalan tubuh (membantu

30
meningkatkan respon kekebalan tubuh), kardio-protektif (membantu melindungi jantung), mencegah
osteoporosis, membantu sistem pencernaan, memacu pertumbuhan sel darah merah, antivirus
(membantu menanggulangi infeksi anti virus), antibiotik (membantu menanggulangi infeksi bakteri),
membantu menurunkan berat badan, antiradang, antilesu, antitumor, hipoglikemik atau antidiabetes,
antilipidemik, antiatherosklerosis, antidepresan, anti-alzhemerian, antiartritis, antipiretik, antidiare dan
antineuralgik.

2.2.1 Kajian Farmakologi Kulit Buah Manggis


Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu. Kulit
buah manggis secara tradisional digunakan pada berbagai pengobatan di Negara India,
Myanmar Sri langka, dan Thailand. Secara luas, masyarakat Thailand memanfaatkan
kulit buah manggis untuk pengobatan penyakit sariawan, disentri, cystitis, diare,
gonorea, dan eksim. Di era modern, pemanfaatan kuliat buah manggis secara luas di
Negara tersebut memicu minat para ilmuwan untuk menyelidi dan mengembangkan
lembih lanjut aspek ilmiah keberkhasiatan kulit buah manggis tersebut. Banyak
penelitian telah membuktikan khasiat kulit buah manggis, dan diantaranya bahkan
menemukan senyawasenyawa yang bertanggungjawab terhadap efek-efek tersebut.
Berikut ini akan disajikan pembahasan mengenai efek farmakologi dari kulit buah
manggiss

1. Aktivitas antihistamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil beran penting adalah sel
mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya yaitu histamin dan serotonin.
Allergi disebabkan oleh respon imunitas terhadap suatu antigen ataupun alergen yang
berinteraksi dengan limfosit B yang dapat memproduksi imunoglobulin E (IgE).
Imunoglubulin E yang diproduksi kemudian menempel pada reseptor FceRI
pada permukaan membran sel mast. Setelah adanya interaksi kembali antara antigen-
antibodi, akan merangsang sel mast untuk melepaskan histamin. Berhubungan dengan
reaksi alergi atau pelepasan histamin tersebut, pengujian ekstrak metanol kulit buah
manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang diinduksi oleh histamine
maupun serotonin. Dari analisa komponenkomponen aktif dari fraksi lanjutan hasil dari
kromatografi gel silika, mengindikasikan bahwa senyawa aktifnya adalah alfa dan
gamma mangostin. Alfa mangostin sendiri mampu menunjukkan aktivitas

31
penghambatan kontraksi trakea marmut terisolasi dan aorta torak kelinci terisolas, yang
diinduksi simetidin, antagonis reseptor histamin H. Namun, senyawa tersebut tidak
menunjukkan aktivitas pada kontraksi yang diinduksikarbakol, penilefrin dan KCl. Alfa
mangostin juga mampu menghambat ikatan [3H]mepiramin terhadap sel otot polos arta
tikus. Senyawa terakhir tersebut merupakan antagonis spesifik bagi reseptor histamin H.
Dari analisa kinetika ikatan [3H]mepiramin megnindikasikan bahwa alfa mangostin
menghambat secara kompetitif. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa alfa mangostin
tersebut dikategorikan sebagai pengeblok reseptor histaminergik khususnya H,
sedangkan gamma mangostin sebagai pengeblok reseptor serotonergik khususnya 5-
hidroksitriptamin 2A atau 5HT. Lebih lanjut, Nakatani et al. (2002a) melakukan
penelitian ke arah mekanisme ekstrak kulit buah manggis tersebut. Pada penelitian
tersebut ekstrak kulit manggis yaitu : etanol 100%, 70 %, 40% dan air, diuji terhadap
sintesa prostaglandin E dan pelepasan histamin. Ekstrak etanol 40% menunjukkan efek
paling poten dalam menghambat pelepasan histamin dari sel 2H3RBL yang diperantarai
IgE. Semua ekstrak kulit buah manggis mampu menghambat sintesa PGE2 dari sel
glioma tikus yang diinduksi ionophore A23187. Pada reaksi anafilaksis kutaneus pasif,
semua ekstrak kulit manggis juga menunjukkan aktivitas penghambatan reaksi tersebut.
Dari penelitian ini, ekstrak etanol 40 % buah manggis adalah paling poten dalam
menghambat sintesa PGE dan pelepasan histamin.

2. Antiinflamasi
Penelitian mengenai aktivitas antiinflamasi dari kulit buah manggis sampai saat
ini baru dilakukan pada tahapan in vitro an untuk tahap in vivo baru pada penelitian
dengan metode tikus terinduksi karagenen. Dari hasil penelitian diduga bahwa senyawa
yang mempunyai aktivitas anti-inflamasi adalah gamma-mangostin. Gamma-mangostin
merupakan xanton bentuk diprenilasi tetraoksigenasi. Kedua senyawa dan enzim
tersebut merupakan mediator terpenting dalam terjadinya reaksi inflamasi. Gamma-
mangostin menghambat secara poten pelepasan PGE2 pada sel glioma tikus C6 yang
diinduksi ionophore A23187. Gammamangostin menghambat perubahan asam
arakidonat menjadi PGE2 dalam mikrosomal, ini ada kemungkinan penghambatan pada
jalur siklooksigenase. Pada percobaan enzimatik in vitro, senyawa ini mampu
menghambat aktivitas enzim COX-1 dan COX-2. Namun, senyawa tersebut tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap : (1) fosforilasi sinyal ekstraseuler

32
p42/p44 yang diinduksi A23187, yang mengatur protein kinase teraktivasi
kinase/mitogen, dan (2) pelepasan [14C]-asam arakidonat dari sel yang terlabel [14C]-
AA tersebut. Dari penelitian ini, gamma mangostin mempunyai aktivitas anti-inflamasi
dengan menghambat aktivitas siklooksigenase (COX). Lebih lanjut, Nakatani et al.
(2004) mengkaji pengaruh gamma-mangostin terhadap ekspresi gen COX-2 pada sel
glioma tikus C6. Gamma mangostin menghambat ekspresi protein dan mRNA COX-2
yang diinduksi lipopolisakarida, namun tidak berefek terhadap ekspresi rotein COX-1.
Lipopolisakarida berfungsi untuk stimulasi fosforilasi inhibitor kappaB (IkappaB) yang
diperantarai IkappaB kinase, yang kemudian terjadi degradasi dan lebih lanjut
menginduksi translokasi nukleus NF-kappaB sehingga mengaktivasi transkripsi gen
COX-2.
Berkaitan dengan itu, gamma mangostin tersebut juga menghambat aktivitas
IkappaB kinase dan menurunkan degradasi IkappaB dan fosforilasi yang diinduksi LPS.
Pada luciferase reporter assay, senyawa tersebut menurunkan aktivasi NF-kappaB
diinduksi LPS dan proses transkripsi gen COX-2 yang tergantung daerah promoter gen
COX-2 manusia. Temuan tersebut didukung hasil penelitian in vivo, gamma mangostin
mampu menghambat inflamasi udema yang diinduksi karagenen pada tikus. Dari
penelitian ini dapat dibuat resume : gamma mangostin secara langsung menghambat
aktivitas enzim Ikappa B kinase, untuk kemudian mencegah proses transkripsi gen
COX-2 (gen target NFkappaB), menurunkan produksi PGE2 dalam proses inflamasi.

3. Anti-oksidan
Dalam Moongkarndi et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak kulit buah manggis
berpotensi sebagai antioksidan. Selanjutnya, Weecharangsan et al. (2006) menindak-
lanjuti hasil penelitian tersebut dengan melakukan penelitian aktivitas antioksidan
beberapa ekstrak kulit buah manggis yaitu ekstrak air, etanol 50 dan 95%, serta etil
asetat. Metode yang digunakan adalah penangkatapan radikal bebas 2,2-difenil-1-
pikrilhidrazil. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak mempunyai
potensi sebagai penangkal radikal bebas, dan ekstrak air dan etanol mempunyai potensi
lebih besar. Berkaitan dengan aktivitas antioksidan tersebut, kedua ekstrak tersebut juga
mampu menunjukkan aktivitas neuroprotektif pada sel NG108-15. Seiring dengan hasil
tersebut, Jung et al. (2006) melakukan penelitian aktivitas antioksidan dari semua
senyawa kandungan kulit buah manggis yang disajikan pada Gambar 1-2, minus

33
mangostingon. Dari hasil skrining aktivitas antioksidan dari senyawasenyawa tersebut,
yang menunjukkan aktivitas poten adalah 8-hidroksikudraxanton, gartanin, alpha-
mangostin, gamma-mangostin dan smeathxanton A.

4. Antikanker
Hingga saat ini, pengobatan kanker masih tidak memuaskan. Oleh karena itu,
penelitian penemuan obat kanker masih gencar dilakukan. Salah satu tanaman obat yang
menjadi objek kajian adalah kulit buah manggis. Ho et al. (2002) berhasil mengisolasi
beberapa senyawa xanton dan menguji efek sitotoksisitas pada sel line kanker hati.
Berdasarkan penelitian tersebut, senyawa garsinon E menunjukkan aktivitas
sitotoksisitas paling poten. Sementra itu, Moongkarndi et al. (2004) melaporkan bahwa
ekstrak metanol kulit buah manggis menunjukka aktivitas sangat poten dalam
menghambat proliferasi sel kanker payudara SKBR3, dan menunjukkan aktivitas
apoptosis. Di lain pihak, Matsumoto et al. (2003) melakukan uji serupa yaitu aktivitas
antiproliferatif dan apoptosis pada pertumbuhan sel leukemia manusia HL60. Berbeda
dengan hasl penelitian sebelumnya, alfa-mangostin menunjukkan aktivitas anti-
proliferasi dan apoptosis terpoten diantara senyawa xanton lainnya. Dilanjutkan
penelitian tersebut untuk mempelajari mekanisme apoptosis dari alfamangostin.
Senyawa tersebut mampu mengaktivasi enzim apoptosis caspase-3 dan 9, namun tidak
pada caspase-8. Alfa mangostin diduga kuat mem-perantarai apoptosis jalur
mitokondria, ini didasari oleh perubahan mitokondria setelah perlakuan senyawa
tersebut selama 1-2 jam. Perubahan mitokondria tersebut meliputi : pembengkakan
sel, berkurangnya potensial membran, penurunan ATP intraseluler, akumulasi senyawa
oksigen reaktif (ROS), dan pelepasan c/AIF sitokrom sel. Namun, alfa-mangostin tidak
mempengaruhi ekspresi protein family bcl-2 dan aktivasi MAP kinase. Hasil penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa target aksi alfa-mangostin adalah mitokondria pada
fase awal sehingga menghasilkan apoptosis pada sel line leukimia manusia. Dari studi
hubungan struktur aktivitas, gugus hidroksi mempunyai kontribusi besar terhadap
aktivitas apoptosis tersebut. Melanjutkan temuan di atas, Nabandith et al. (2004)
melakukan penelitian in vivo aktivitas kemopreventif alfa-mangostin pada lesi
preneoplastik putatif yang terlibat pada karsinogenesis kolon tikus, yang diinduksi 1,2-
dimetilhidrazin (DMH). Pemberian senyawa tersebut selama 4-5 minggu, menghambat
induksi dan perkembangan aberrant crypt foci (ACF), menurunkan dysplastic foci (DF)

34
dan betacatenin accumulated crypts (BCAC). Pada pelabelan antigen nukleus sel yang
mengalami proliferasi, senyawa tersebut menurunkan terjadinya lesi focal dan
epithelium kolon tikus.

5. Antimikroorganisme
Selain memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti di atas, kulit buah
manggis juga menunjukkan aktivitas antimikroorganisme. Suksamrarn et al. (2003)
bersama kelompoknya asal Thailand, melakukan penelitian potensi antituberkulosa dari
senyawa xanton terprenilasi yang diisolasi dari kulit buah manggis. Seperti pada hasil
penelitian sebelumnya, alfa mangostin, gamma-mangostin dan garsinon B juga
menunjukkan aktivitas paling poten pada percobaan ini. Ketiga senyawa tersebut
menghambat kuat terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis. Hasil temuan tersebut
ditindaklanjuti peneliti asal Osaka Jepang. Fokus pada alfa-mangostin, kali ini senyawa
tersebut diisolasi dari kulit batang pohon untuk memperoleh jumlah yang besar. Alfa
mangostin aktif terhadap bakteri Enterococci dan Staphylococcus aureus yang
masingmasing resisten terhadap vancomisin dan metisilin. Ini diperkuat dengan
aktivitas sinergisme dengan beberapa antibiotika (gentamisin dan vancomisin) terhadap
kedua bakteri tersebut. Sementara itu, pengujian golongan xanton termasuk mangostin,
pada Plasmodium falciparum. Hasil menunjukkan bahwa mangostin mempunyai efek
antiplasmodial level menengah, sedangkan xanton terprenilasi yang mempunyai gugus
alkilamino menghambat sangat poten.

2.2.2 Kajian Toksisitas Kulit Buah Manggis


Telah disebutkan bahwa kulit buah manggis mampu menunjukkan berbagai
aktivitas farmakologi, dan diantaranya adalah sangat poten. Senyawa-senyawa utama
yang dominan menunjukkan aktivitas farmakologi adalah alfa-mangostin, gamma-
mangostin dan garsinon-E. Di lain pihak, perlu juga dilakukan penelitian mengenai
kemungkinan efek toksik dari penggunaan kulit buah manggis tersebut. Uji toksisitas
aku maupun sub-kronis terhadap ekstrak etanol kulit buah manggis yang mengandung
senyawa-senyawa aktif pentingnya. Pada percobaan toksistas akut, ekstrak (10-25 %)
tersebut tidak menunjukkan efek toksis (kematian dan perubahan fisik ataupun
aktivitas) pada tikus. Secara histopatologi, juga tidak ditemukan perubahan yang berarti
pada organ-organ vital tikus (hati, jantung, paru-paru, adrenal, ovarium, ginjal, testis).

35
Pada percobaan toksisitas sub-kronis, pemakaian ekstrak etanol kulit buah manggis
(dosis 50-1000 mg/kg BB) selama 28 hari juga tidak menunjukkan efek toksik yang
berarti, yang meiputi pengamatan gejala efek toksis, perubahan pertumbuhan, bobot
organ-organ vital, analisa hematologi, kimia darah maupun gross histopatologinya.

36
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul C13H8O2 yang termasuk
senyawa metabolit sekunder.
2. Sumber xanthon paling banyak terdapat pada kulit buah manggis ditemukan lebih dari
200 jenis turunan xanthones, 40 diantaranya terdapat pada kulit buah manggis.
3. Kandungan kimia kulit buah manggis adalah xanton, yang merupakan substansi kimia
alami yang tergolong senyawa polyphenolic.
4. Biosintesis xanthon terdiri dari dua proses yaitu, rute asetat polymalonic dan jalur
asetat campuran shikimate. Sintesis xanthon terdiri dari dua metode yaitu Metode
Klasik Grover, Shah dan Shah dan Metode Ullman
5. Xanton bermanfaat sebagai antioksidan, antiproliferasi, antiinflamasi, dan
antimicrobial
6. Alfa-mangostin menunjukkan aktivitas anti-proliferasi dan apoptosis terpoten diantara
senyawa xanton lainnya. Senyawa tersebut mampu mengaktivasi enzim apoptosis
caspase-3 dan - 9, namun tidak pada caspase-8. Alfa- mangostin diduga kuat mem-
perantarai apoptosis jalur mitokondria.
7. Kulit manggis juga mengandung beberapa senyawa dengan aktivitas farmakologi
misalnya antiinflamasi, antihistamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri,
antijamur bahkan untuk pengobatan atau terapi penyakit HIV.
8. Kajian di atas telah membuka tabir rahasia mengenai khasiat kulit buah manggis yang
selama ini hanya dibuang saja. Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar buah
manggis disamping Thailand, Malaysia, Myanmar dan Sri Lanka. Sehingga sangat
disayangkan apabila kulit buah manggis tersebut tidak dimanfaatkan karena sudah
terbukti berkhasiat.

3.2 Saran
Diharapkan lebih dikembangkan lagi penelitian bahan- bahan alam yang dapat berpotensi
dalam bidang kesehatan untuk memaksimalkan khasiat-khasiatnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Negi, J. S., Bisht, V. K., Singh, P., Rawat, M. S. M., & Joshi, G. P. (2013). Naturally
Occurring Xanthones: Chemistry and Biology. Journal of Applied Chemistry, 2013(1),
1–9. http://doi.org/10.1155/2013/621459

Peres, V., Nagem, T. J., & De Oliveira, F. F. (2000). Tetraoxygenated naturally occurring
xanthones. Phytochemistry, 55(7), 683–710. http://doi.org/10.1016/S0031-
9422(00)00303-4

Putri, I. P. (2015). Effectivity of xanthone mangosteen (Garcinia mangostana L) rind as


anticancer. J Majority, 4(1), 33–38.

Sousa, M. E., & Pinto, M. M. M. (2005). Synthesis of xanthones: an overview. Current


Medicinal Chemistry, 12(21), 2447–2479. http://doi.org/10.2174/092986705774370736

Sultanbawa M.U.S. (1980). Xanthonoids of Tropical Plants. Tetrahedron, 36, 1465-1506.

Yatman, E. (2012). Kulit buah manggis mengandung xanton yang berkhasiat tinggi. Majalah
Ilmiah Widya, 29(324), 2–8. Retrieved from http://e-
journal.jurwidyakop3.com/index.php/majalah-ilmiah/article/viewFile/23/20

38

You might also like