You are on page 1of 32

Tirotoksikosis et causa Grave’s Disease

Franzeska Marchitia Dinar Pusparani

102011271

F4

Alamat Korespodensi

Franzeska Marchitia Dinar Pusparani

Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510.


email : franzeskadinar@yahoo.co.id

Pendahuluan

Tirotoksikosis atau hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan


kedua terbesar setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease) merupakan
penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh Plummer’s disease, dengan
perbandingan 60% karena Graves disease dan 40%karena Plummer’s disease.1 Graves
disease merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Struma adalah istilah
lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau
pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam.

Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita daripada pria. Tanda
dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan
hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering
disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.

Page | 1
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum
diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri
penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain
dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone
Receptor Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.

Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit grave,


tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap tahun pada wanita
berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. Tertinggi pada usia 40 – 60 tahun. Angka
kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki maupun perempuan, dan tidak umum
diapatkan pada anak-anak. Prevalensi penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia,
dan lebih rendah pada orang kulit hitam.1

Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang memproduksi
hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan mengkonsentrasikan iodin yang digunakan
untuk sintesis hormon tiroid. Hormon yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-
iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid menempel pada tiroid dan memproduksi hormon
paratiroid (Parathormon ; PTH). PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan
fosfat. Sel-Sel parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini
memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang.2

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid.2

Page | 2
Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C yang
mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. T3
selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil deiodinasi dari T4 di jaringan
perifer. T3 dan T4 disimpan terikat pada 3 protein yang berbeda : glikopreotein tiroglobulin
di dalam koloid dari folikel, prealbumin pengikat tiroksin, dan albumin serum. Hanya sedikit
T3 dan T4 yang tidak terikat terdapat dalam sirkulasi darah.2

Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (Thyroid-Stimulating


Hormone) dan adenohipofisis. Sintesis dan pelepasannya dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-
releasing Hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam sirkulasi dan terikat pada
reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek
TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan konsentrasi hormon tiroid, misalnya, mengurangi
respons adenohipofisis terhadap TRH (mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH
menurun dan sebagai akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi
TRH juga dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga
melalui pengaruh persarafan.3

Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid.3

Page | 3
Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh hormon
TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis. Sekresi TSH
diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui pengaruh umpan balik negatif dan juga
oleh Thyrotrophin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang
tinggi akan menekan sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4
menurun. Sebaliknya kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH
sehingga meningkatkan produksi T3 dan T4.3

Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh beberapa langkah,


yaitu:4

 Iodide trapping

Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan berhubungan dengan
Na-K ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah ke dalamnya (20 kali
lebih kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan lebih kurang 100-300 ug
yodida untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 Organifikasi (oksidasi dan yodinasi)

Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke yodium yang
kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal dari residu tirosil,
dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk monoiodothyrosine (MIT)
dan diiodothyrosine (DIT).

 Coupling

Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT, sehingga terbentuk T3 danT4 yang
terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan daripada T3 meskipun
efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini disimpan dalam
koloid.

 Sekresi

Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas dari


tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah dengan
perbandingan T3 : T4 = 1 : 5. Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan hormon
diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium dan residu

Page | 4
tirosil. Hanya sebagian kecil MIT dan DIT yang dapat lolos masuk aliran darah
(normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi hanya sekitar 0,3%
dan 0,02% dari total hormone keseluruhan dengan waktu paruh 1-1,5 hari (T3) dan 7
hari (T4).

Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini diketahui bahwa
hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, metabolisme karbohidrat, protein,
kolesterol, dan proses pertumbuhan. Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan fungsi
katekolamin dalam tubuh.4 Berikut merupakan peran hormone tiroid dalam proses
metabolisme tubuh:

 Pembentukan kalori

Hormon ini bekerja dengan cara meninggikan konsumsi oksigen pada hampir semua
jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak, hipofisis anterior,
limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf metabolisme, maka kebutuhan
tubuh akan semua zat makanan juga bertambah. Tiroksin juga berperan dalam proses
termogenesis, yaitu dengan meningkatkan produksinya pada suhu dingin, yang berarti
memperbanyak pembentukan kalori selain dari adanya vasodilatasi perifer dan
bertambahnya curah jantung.

 Metabolisme karbohidrat

Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari usus dan
efek ini tidak bergantung pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan hipertiroidisme,
simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme yang tinggi disertai
bertambahnya sekresi katekolamin (adrenalin). Oleh karena itu pada penderita
hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi glukosa oral yang sangat
khas.

 Metabolisme protein

Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek anabolik
berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya, pada kadar yang
berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi keseimbangan
nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat menimbulkan uncoupling

Page | 5
pada proses fosforilasi oksidatif,sehingga ATP berkurang dan pembentukan panas
bertambah.

 Metabolisme lemak dan kolesterol

Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari
jaringan lemak. Selain itu, juga terdapat rangsangan terhadap sel hati untuk
metabolisme dan sintesis kolesterol. Adanya penurunan kadar kolesterol disebabkan
oleh proses metabolism melebihi proses sintesisnya.

 Pertumbuhan

Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan pengaruhnya
terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

 Sistem saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin yang
meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi lebih aktif.
Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan biasanya akan jauh
lebih cepat daripada normal.

Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit


dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena
timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi, dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa
salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar, atau kelelahan. Dari penelitian pada
sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu:5
1. Nervositas
2. Kelelahan atau kelemahan otot-otot
3. Penurunan berat badan, namun nafsu makan baik
4. Diare atau sering buang air besar
5. Intoleransi terhadap udara panas
6. Keringat berlebihan
7. Perubahan pola menstruasi

Page | 6
8. Tremor
9. Berdebar-debar
10. Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari
penyakitnya.5
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : penderita terlihat
tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak
tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat,
aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-
tanda klinis tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.5

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala sedikit
fleksi atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m.sternokleidomastoideus relaksasi
sehingga kelenjar tiroid mudah dievaluasi. Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu
diperhatikan beberapa komponen berikut:6
 Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
 Ukuran: besar/kecil
 Permukaan: rata/noduler
 Jumlah: uninodusa atau multinodusa
 Bentuk: difus (leher terlihat bengkak) atau berupa nodulerlokal
 Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut
bergerak atau tidak
 Pulsasi: pulsasi pada permukaan pembengkakan terlihat atau tidak

Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang
pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai
pada pemeriksaan palpasi antara lain:

Page | 7
 Perluasan dan tepi kelenjar tiroid
 Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat
diraba trakea dan kelenjarnya
 Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
 Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari
musculus ini)
 Limfonodi dan jaringan sekitarnya

Auskultasi
Pada auskultasi, biasanya ditemukan bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid
akibat adanya peningkatan aliran darah.

Tes Khusus

Tes khusus yang digunakan untuk menilai hipertiroid, antara lain:5

 Pumberton’s sign  mengangkat kedua tangan ke atas  wajah menjadi


merah

 Tremor sign  tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa


dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan

 Oftalmopati, meliputi :

 Joffroy sign  tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan dahi

 Von Stelwag  mata jarang berkedip

 Von Grave  melihat ke bawah, palpebra superior tidak dapat


mengikuti bulbus okuli sehingga antara palpebra superior dan cornea
terlihat jelas sklera bagian atas

 Rosenbach sign  saat memejam mata, terdapat tremor dari palpebra


ketika mata tertutup

 Moebius sign  mengarahkan jari telunjuk mendekati mata pasien di


medial, pasien sukar mengadakan dan mempertahankan konvergensi

 Exopthalmus  mata kelihatan menonjol keluar

Page | 8
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk hormone tiroid tak
dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New Castle sangat membantu
menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran metabolism basal (BMR), bila hasil BMR
≥30, sangat mungkin bahwa orang tersebut menderita hipertiroid.7

Gambar 3. Indeks New Castle dan Indeks Wayne.7

Page | 9
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid (thyroid
function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41).
Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain:
pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi antitiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran
kadar TSH serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake), dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).

Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis Grave’s Disease,


yakni : adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang sama atau mempunyai
penyakit yang berhubungan dengan otoimun, penderita didapatkan eksoftalmus atau
miksodema pretibial, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid.7

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

 Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis).

 Tirotropin Reseptor Assay (TSI) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave disease.

 Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antitiroid
seperti thioamides.

 Pemeriksaan glukosa darah pada pasien diabetes. Penyakit grave dapat memperberat
diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar HbA1C yang meningkat dalam darah.

 Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang sedang aktif.

 Pemeriksaan thyroid antibody diantaranya adalah Tg Ab (Thyroglobulin Antibodi)


dan TPO Antibodi (Thyroperoxidase Antibodi) biasanya positif pada penderita
Graves’ disease dan Hashimoto’s thyroiditis tetapi untuk TSH-R Ab (stimulating)
adalah khas untuk Graves’ disease.

Page | 10
Gambar 4. Kelainan Laboratorium pada Keadaan Hipertiroid.

Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah
FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs, maka diagnosis
hipertiroid dapat ditegakkan. Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat, maka harus
dicurigai adanya tumor pituitary yang memproduksi TSH.

Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah, maka FT3 harus diperiksa, diagnosis
Graves’ disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat ditegakkan apabila FT3
meningkat. Apabila FT3 rendah didapat pada euthyroid sick syndrome atau pada penderita
yang mendapatkan terapi dopamine atau kortikosteroid.

Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus harus
dilakukan radioiodine uptake. Bila didapatkan peningkatan uptake, maka diagnosis Graves’
disease dan toxic nodular goiter dapat ditegakkan. Radioiodine uptake yang rendah
didapatkan pada hipertiroidism yang baik, tiroiditis subakut, tiroiditis Hashimoto fase akut,
pengobatan dengan levotyroxin, yang jarang yaitu struma ovari.

Page | 11
Tjokroprawiro membuat 3 kriteria diagnostic Penyakit Graves’ yaitu : 7

 Diagnosis dengan penyakit Graves’ : struma, gejala umum, gejala


kardiovaskular

 Diagnosis klinis penyakit Graves’ : diagnosis dengan Indeks Wayne > 20


atau Indeks New Castle > 40

 Diagnosis pasti penyakit Graves’ : diagnosis klinis ditambah FT4 meningkat


dan TSHs menurun.

Dokter juga dapat mempertimbangkan tes Imunoglobulin thyroid-stimulating, karena


antibodi tiroid harus diukur (hampir semua pasien dengan hipertiroidisme Graves memiliki
terdeteksi TSHR-Ab atau Tes Antibodi TSH). Pengukuran thyroid-stimulating imunoglobulin
(TSI) adalah yang paling akurat ukuran antibodi tiroid. Mereka akan menjadi positif dalam 60
sampai 90% anak dengan penyakit Graves. Jika TSI tidak tinggi, maka penyerapan yodium
radioaktif harus dilakukan; hasil yang tinggi dengan pola menyebar khas dari penyakit
Graves.

Hasil tes fungsi hati harus diperoleh untuk memantau toksisitas hati yang disebabkan
oleh thioamides (obat antitiroid). Penyakit Graves dapat berhubungan dengan anemia
normositik, rendah-normal untuk sedikit tertekan jumlah WBC total dengan limfositosis
relatif dan monocytosis, rendah normal untuk jumlah trombosit sedikit tertekan. Thionamides
jarang dapat menyebabkan efek samping hematologi yang parah, tapi rutin skrining untuk
peristiwa langka tidak hemat biaya.

Investigasi ginekomastia yang terkait dengan penyakit Graves dapat mengungkapkan


seks meningkat pengikat hormon tingkat globulin dan penurunan tingkat testosteron bebas.
Penyakit Graves dapat memperburuk kontrol diabetes dan dapat tercermin oleh peningkatan
hemoglobin A1C pada pasien diabetes. Sebuah profil lipid puasa mungkin menunjukkan
penurunan kadar kolesterol total dan penurunan tingkat trigliserida.

Page | 12
Pemeriksaan Radiologi

 Foto polos leher  mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea, dan
mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.

 Radio Active Iodine (RAI)  scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium.
Berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.

 USG  murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada
pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium.

 CT scan  untuk mengevaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan


massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi, dan invasi).

 MRI  evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)

 Radiografi nuklir  dapat digunakan untuk menunjang diagnosis dan juga sebagai
terapi.

Aspirasi Jarum Halus

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus. Pemeriksaan
ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun membedakan nodul
benigna/malignan.

Diagnosis Banding

Multinoduler Goiter

Serangan-serangan berulang hyperplasia dan involusi lama kelamaan dapat menyatu


untuk menghasilkan pembesaran ireguler tiroid yang disebut gondok multinodular. Hampir
semua gondok sederhana yang telah berlangsung lama berubah menjadi gondok
multinodular. Karena berasal dari gondok sederhana, penyakit ini terjadi dalam bentuk
sporadic dan endemic. Distribusi wanita dan pria terkena gondok setara dan mungkin

Page | 13
disebabkan oleh factor yang sama, tetapi individu yang lebih tua lebih sering terkena karena
merupakan komplikasi tahap lanjut.8

Diperkirakan bahwa gondok multinodular terjadi karena respon yang variasi diantara
sel folikel terhadap rangsangan eksternal, misalnya, hormon-hormon trofic. Jika sebagian sel
di sebuah folikel memiliki keunggulan pertumbuhan, yang mungkin dikarenakan kelainan
genetik intrinsik serupa dengan yang menyebabkan adenoma, sel-sel tersebut akan
berkembang menjadi clone sel proliferatif. Hal ini menyebabkan terbentuknya nodus yang
tumbuh secara otonom, tanpa rangsangan eksternal. Berdasarkan hal ini, di gondok
multinodular yang sama dapat ditemukan nodus poliklonal dan monoclonal secara
bersamaan, nodus monoklonal diperkirakan terbentuk karena akusisi kelainan genetik yang
mempermudah pertumbuhan. Akibat hyperplasia folikel yang tidak merata, pembentukan
folikel baru, dan akumulasi koloid yang tidak merata maka timbul ketegangan dan tekanan
yang menyebabkan rupture folikel dan pembuluh diikuti oleh perdarahan, pembentukan
jaringan parut, dan terkadang kalsifikasi. Jaringan parut meningkatkan ketegangan, dan
melalui siklus ini terbentuklah nodularitas. Selain itu, jarigan stroma kelenjar yang sudah ada
sedikit banyak membatasi parenkim yang membesar sehingga ikut berkontribusi
menyebabkan nodularitas.8

Gondok multinodular adalah kelenjar yang membesar asimetris, berlobus banyak dan
dapat mencapai berat lebih dari 2000 gram. Pola pembesaran biasanya tidak terduga dan
mungkin lebih mengenai satu lobus, menimbulkan tekanan lateral pada struktur-struktur
digaris tengah, misalnya trakea dan esofagus. Untuk kasus yang lain gondok tumbuh di
belakang sternum dan klavikula, menimbulkan apa yang disebut gondok intratoraks atau
ploging goiter.8

Gambaran klinis dominan pada gondok adalah gambaran yang disebabkan oleh efek
massa kelenjar yang membesar. Selain efek yang nyata dari adanya sebuah massa besar di
leher, gondok dapat menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia, dan penekanan
pembuluh darah besar dileher dan torak bagian atas. Sebagian pasien eutiroid, tetapi pada
sebagian kecil pasien terbentuk nodul hiperfungsional di dalam gondok yang sudah
berlangsung lama, menimbulkan hipertiroidisme. Keadaan ini yang disebut sebagai syndrome
plummer, tidak disertai oleh oftalmopati infiltrative dan dermopati seperti penyakit graves.8

Page | 14
Carcinoma Tiroid

Penyebab utama Carcinoma tiroid antara lain factor genetic, radiasi ion pada leher
terutama pada anak yang pernah mendapat terapi radiasi di leher dan mediastinum, serta
kenaikan sekresi TSH yang disebabkan berkurangnya sekresi hormone T3 dan T4 dari
kelenjar tiroid oleh karena kurangnya intake yodium (ini menyebabkan tiroid yang abnormal
dapat berubah menjadi kanker). Pemeriksaan yang digunakan untuk membedakan carcinoma
tiroid dengan kelainan lainnya adalah dengan pemeriksaan penunjang, yang meliputi:9

 USG

Keuntungan pemeriksaan ini adalah kista dapat dideteksi dengan penampang


1-2 mm.

 Scanning Tiroid

Dasar pemeriksaan ini adalah uptake dan distribusi yodium radioaktif dalam
kelenjar gondok. Pemeriksaan ini menilai bentuk, besar, letak kelenjar tiroid,
serta distribusi dalam kelenjar. Juga diukur kadar yodiumnya dalam waktu 3,
12, 24, dan 48 jam. Kelemahan pemeriksaan ini adalah hasilnya kurang
memuaskan pada nodul yang lebih kecil dari 2 cm.

 Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)

Hasil ketepatan FNAB mencapai 75 – 95%.

 Biopsi

Merupakan pemeriksaan terbaik, baik dengan atau tanpa potong beku. Dengan
cara ini, dapat dilihat hanya secara makroskopik saja bagian mana dari nodul
yang dikeluarkan itu sudah mengalami perubahan struktur, sehingga ahli
patologi dapat diarahkan untuk pemeriksaan bagian mana yang dicurigai
keganasan.

 Supresi Kelenjar Tiroid

Merupakan cara lama, yaitu pemeriksaan non invasive yang mengunakan


triiodothyronine (T3) 75-100 mg/hari atau thyronine 0,2-0,3 mg/hari, atau
ekstrak tiroid dengan dosis disesuaikan. Di RSCM yang sering digunakan

Page | 15
adalah ekstrak tiroid. Pengobatan percobaan dapat diberikan 3-6 bulan. Bila
ada kemajuan, dapat diteruskan. Sebaliknya, bila tidak ada respons, berarti
kemungkinan adalah keganasan. Pemberian supresi ini tidak dianjurkan pada
penderita yang sangat muda atau pun sangat tua karena penderita-penderita ini
memiliki insiden keganasan tiroid memang tinggi, sehingga lebih baik
langsung operasi.

Karsinoma tiroid harus dicurigai berdasarkan tanda klinis jika hanya ada satu nodula
yang teraba keras, tidak dapat digerakkan dari dasarnya, dan berhubungan dengan
limfadenopati satelit. Secara umum telah disepakati bahwa kanker tiroid secara klinis dapat
dibedakan menjadi suatu kelompok besar neoplasma berdiferensiasi baik dengan kecepatan
pertumbuhan yang lambat, kemungkinan sembuh yang tinggi, dan suatu kelompok kecil
tumor anaplastik dengan kemungkinan fatal. Terdapat empat jenis kanker tiroid menurut sifat
morfologik dan biologiknya, yaitu papilaris, folikularis, medularis, dan anaplastik.9

Karsinoma papilaris adalah jenis kanker tiroid yang paling banyak ditemukan dan
merupakan 80% dari semua jenis tumor ganas tiroid pada anak-anak dan orang dewasa
kurang dari 40 tahun. Jenis kanker ini sekitar 2 kali lebih banyak pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Neoplasma tumbuh lambat dan menyebar melalui saluran limfatik ke
kelenjar getah bening regional pada sekitar 50% kasus. Karsinoma folikularis menyusun
sekitar 20% dari semua kanker tiroid. Penyebaran menurut jenis kelamin dan usia serupa
dengan penyebaran kanker papilar, meskipun insiden sedikit lebih tinggi pada usia lanjut.
Kanker ini adalah bentuk yang pertumbuhannya paling lambat. Tumor sangat mirip tiroid
normal, meskipun pada suatu saat dapat berkembang secara progresif, cepat menyebar ke
tempat-tempat yang jauh letaknya.9

Karsinoma medularis tiroid (MTC) agak jarang ditemukan, merupakan 5 sampai 10%
dari semua kasus. Sel asal neoplasma ini adalah sel C atau sel parafolikular. Seperti sel
prekursornya, tumor ini sanggup menyekresi kalsitonin. MTC dapat timbul sebagai tumor
yang penyebarannya tidak merata, biasanya melibatkan satu lobus tiroid atau dapat juga
bersifat familial, muncul pada anggota keluarga dengan neoplasma endokrin multipel (MEN)
2A dan 2B. Karsinoma anaplastik tiroid secara histologis berdiferensiasi buruk dan sangat
ganas, sering mengakibatkan kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Karsinoma ini
memperlihatkan bukti invasi lokal dalam stadium dini ke struktur-struktur di sekitar tiroid,

Page | 16
serta metastasis melalui saluran limfatik dan aliran darah. Saat ini, secara umum jenis
karsinoma ini masih dianggap fatal, apapun cara pengobatan yang dilakukan.9

Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja kasus tersebut adalah hipertiroidisme/tirotoksikosis et causa Grave’s


Disease yang disebabkan oleh proses autoimun pada reseptor TSH di kelenjar tiroid yang
merangsang sintesis dan sekresi hormon tiroid secara berlebihan.

Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil
laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari
tiroid stimulating hormone (TSH). Free T4 dan free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda,
sambil TSH memberikan negative feedback. Peningkatan ikatan protein iodium mungkin
dapat terdeteksi. Struma yang besar kadang terlihat pada foto rontgen. Tiroid stimulating
antibodi mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.

Etiologi

Grave’s Disease (GD) merupakan suatu penyakit otoimun yaitu saat tubuh
menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka
penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum diketahui. Hal ini
disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan reseptor TSH (TSHR),
sehingga merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan pertumbuhan tiroid
(menyebabkan gondok membesar difus).7

Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thryoid stimulating antibodies pada
penderita GD yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin pada sel tiroid yang
menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa penulis mengatakan bahwa
penyakit ini disebabkan oleh multifaktor antara genetik, endogen dan faktor lingkungan.7
Terdapat beberapa faktor predisposisi GD, antara lain:7

Page | 17
 Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum


untuk terkena GD. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6
(6p21.3) ekspresinya mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini.
Molekul HLA terutama klas II yang berada pada sel T di timus memodulasi
respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T lymphocyte receptor/TcR)
selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit
untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak
spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit
autoimun, kadang tidak dapat membedakan mana T helper mana yang
disupresi sehingga T helper yang membentuk antibodi yang melawan sel
induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun.

 Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh
estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog
dengan fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor
FSH.

 Status Gizi

Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi
timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.

 Stress

Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.

 Merokok

Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium juga diduga menjadi
factor predisposisi GD.

Page | 18
 Infeksi Toxin, Bakteri, dan Virus

Bakteri Yersinia enterocolitica mempunyai protein antigen pada membran sel


yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid, diduga dapat
mempromosi timbulnya GD terutama pada penderita yang mempunyai faktor
genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau perubahan
struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid karena mutasi
atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi
penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan perkembangan penyakit
ini.

 Periode Post-partum

Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.

 Pengobatan Sindroma Defisiensi Imun (HIV)

Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi berhubungan dengan penyakit ini,


yaitu dengan meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.

 Multipel Sklerosis yang Mendapat Terapi Campath-1H Monoclonal


Antibodi

Secara langsung, mempengaruhi sel T yang sering disertai kejadian


hipertiroid.

 Terapi Interferon α

Epidemiologi

Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi dari
berbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah
3,1 : 1, di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 : 1, dan di RSHS Bandung 10 :1.
Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia
21 – 30 tahun (41,73%), tetapi menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40
tahun.5

Page | 19
Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999 diperkirakan 200 juta,
12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari
beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% – 48,93% dari seluruh penderita dengan
penyakit kelenjar gondok. Di AS, diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering
pada usia di bawah 40 tahun.5

Patofisiologi

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari
hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Didapatkan pula peningkatan
produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan
perifer.5 Dalam keadaan normal, hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme jaringan,
proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan, dan sintesa protein. Hormon-hormon tiroid ini
berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui mekanisme transport asam amino
dan elektrolit dari cairan ekstraseluler ke dalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel,
serta peningkatan proses-proses intraseluler.5

Dengan meningkatnya kadar hormon ini, maka metabolisme jaringan, sintesa protein,
dan lain-lain akan terpengaruh. Keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya
palpitasi, takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan yang
meningkat, namun berat badan yang menurun. Kadang - kadang gejala klinis yang ada hanya
berupa penurunan berat badan, payah jantung, kelemahan otot, serta sering buang air besar
yang tidak diketahui sebabnya.5

Patogenesis GD masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar hormon


tiroid ini disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar
tiroid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibody terhadap reseptor TSH, sehingga disebut
sebagai antibodi reseptor TSH. Antibodi ini sering juga disebut sebagai Thyroid Stimulating
Immunoglobulin (TSI). Dan ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita GD.5

Selain itu pada GD sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin dan anti
mikrosom. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini mempunyai
peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi mikrosom ini bisa ditemukan
hampir pada 60 -70% penderita GD, bahkan dengan pemeriksaan radioassay bisa ditemukan

Page | 20
pada hampir semua penderita, sedangkan antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50%
penderita. Terbentuknya autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol
immunologik (immunoregulation), defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA dan
faktor lingkungan seperti infeksi atau stress.

Gambar 5. TSH dan Kelenjar Tiroid Orang Normal dan Penderita Grave’s Disease. 10

GD memiliki 4 gejala utama yaitu, tirotoksikosis, goiter, opthalmopati, dan


dhermopati. Adapun patogenesis dari masing-masing gejala adalah sebagai berikut:11,12

 Tirotoksikosis

Hampir semua patogenesis penyakit ini melibatkan faktor immunologi. Hiperaktivitas


terjadi karena tersensitasinya T-helper. Tersensitasinya T-helper ini akan berespon
terhadap antigen yang terdapat pada tiroid, yang selanjutnya memacu sel B untuk
membentuk antibody:

o TSI (Thyroid-stimulating immunoglobulin) yang menurut hipotesis para ahli


dapat meningkat cAMP sehingga memacu terjadinya tirotoksikosis.

o TgAb (thyroglobulin antibody) yang dapat meningkatkan tiroglobulin.

Page | 21
o TPO Ab (Thyroperoksidase antibody) yang dapat memacu kerja
enzimperoksidase.

 Opthalmopati

Patogenesis opthalmopati melibatkan Tcytotoxicity. Ini terjadi karena tersensitasinya


Ab sitotoksik terhadap antigen TSH-R fibroblast orbita, otot orbita, dan jaringan
tiroid. Mekanisme tersensitasinya sampai saat ini para ahli belum mengetahui secara
pasti. Selanjutnya Tc akan menghasilkan sitokin yang dapat menyebabkan inflamasi
pada fibroblast orbita, orbital myositis, diplopia, dan proptosis.

 Dhermopati

Patogenesis dhermopati umumnya sama seperti opthalmologi, hanya saja daerah yang
terkena pada daerah pretibia, subperiosteal pada phalanges tangan dan kaki.

 Abnormalitas pada pencernaan

Hiperstimulasi simpatis pada usus menyebabkan hipermotilitas, malabsorbsi, dan


diare.

 Abnormalitas pada tulang

Hormon tiroid merangsang resorpsi tulang, menyebabkan peningkatan kerapuhan


korteks tulang dan berkurangnya volume tulang trabekular. Efek akhir adalah
osteoporosis dan peningkatan risiko fraktur tulang pada pasien hipertiroid kronik.

 Palpitasi, takikardi, aritmia, hipertensi, kardiomegali, hiperhidrosis, tremor,


labilitas emosi, anxietas, insomnia, dan ketidakmampuan memusatkan perhatian

Disebabkan karena hormone thyroid merangsang medulla adrenal untuk


mensekresikan katekolamin. Jumlah epinefrine normal, namun ada peningkatan pada
norepinefrine yang bekerja pada sistem saraf simpatik. Terangsangnya sistem saraf
simpatik ternyata memberikan efek perangsangan pada daerah hipotalamus dan
ganglia basalis. Seperti yang diketahui bahwa hipotalamus berfungsi sebagai regulator
vegetatif (detak jantung, pernafasan, sekresi kelenjar,berkeringat, dll) pada tubuh dan
ganglia basalis sebagai pusat emosi dan pusat nafsu makan.

Page | 22
 Abnormalitas lainnya

Atrofi otot rangka disertai infiltrasi lemak dan fokus-fokus infiltrat limfositik di
interstisium, hepatomegali minimal akibat perlemakan hepatosit, dan hyperplasia
limfoid generalisata disertai limfadenopati pada pasien GD.

Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda peningkatan metabolisme di segala sistem tubuh, mungkin terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kalori, karena itu intake kalori
umumnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga berat badan menurun. Peningkatan
metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah
dengan penambahan curah jantung sampai 2-3 kali normal, juga dalam istirahat. Irama nadi
naik dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulses seler dan penderita mengalami
takikardi dan palpitasi. Beban miokard, dan rangsangan persarafannya dapat meningkatkan
kekacauan irama jantung berupa fibrilasi atrium

Pada saluran cerna sekresi maupun peristalsis meningkat sehingga sering timbul diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita bangun di waktu
malam dan sering insomnia. Selain itu, penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat mengganggu.
Pada saluran nafas hipermetabolisme berupa dispnea dan takipnea yang tidak terlalu
mengganggu. Kelemahan otot biasanya cukup mengganggu, demikian juga menoragia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pada jaringan ikat di dalam rongga mata.
Jaringan ikat dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik sehingga bola mata terdorong
keluar dan otot mata terjepit. Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya
bola mata akibat keratitis. Gangguan faal otot mata yang menyebabkan strabismus.

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang


berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal). Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi, usia

Page | 23
pasien, riwayat alamiah penyakti, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien, resiko
pengobatan, dsb.

Pengobatan Umum

 Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin


meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang
melelahkan/mengganggu pikiran baik di rumah atau di tempat bekerja. Dalam
keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.

 Pengaturan diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara
lain karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen
yang negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.

 Obat penenang

Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat


diberikan. Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.

Obat untuk Hipertiroid

 Obat antitiroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium, lithium,


perchlorat dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan
thionammide adalah propylthiouracyl (PTU), 1 – methyl – 2
mercaptoimidazole (methimazole, tapazole, carbimazole, MMI). Obat ini
bekerja menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat sekresinya,
yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan
diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling diiodotyrosine, sehingga
menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat perubahan T4 menjadi T3
di jaringan tepi, serta harganya lebih murah, sehingga pada saat ini PTU
dianggap sebagai obat pilihan. Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme

Page | 24
di kelenjar gondok sehingga pengaruh pengobatan lebih tergantung pada
konsentrasi obat dalam kelenjar daripada di plasma. MMI dan carbimazole
sepuluh kali lebih kuat daripada PTU, sehingga dosis yang diperlukan hanya
satu per sepuluhnya. Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg per
hari untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk MMI dan carbimazole, terbagi
setiap 8 atau 12 jam atau sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu
penelitian dilaporkan bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi
akan memberi remisi yang lebih besar.

Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash
dapat ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian
pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera
pengecap, cholestatic jaundice, dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 -
0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas 40 tahun yang
menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi berupa
arthralgia, demam rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,
limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan
gastrointestinal.

 Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut, tetapi dalam
masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape mechanism
dari kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa
tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium
dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala hipertiroidi menghebat.
Pengobatan dengan yodium digunakan untuk memperoleh efek yang cepat
seperti pada krisistiroid atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan
operasi, biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan
biasanya 15 mg perhari dengan dosis terbagi yang diberikan 2 minggu
sebelum dilakukan pembedahan. Marigold dalam penelitiannya menggunakan
cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali per hari yang diberikan 10
hari sebelum dan sesudah operasi.

 Penyekat Beta (Beta Blocker)

Page | 25
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya
hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem
simpatisini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap
katekolamin. Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan
akan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin, dan penyekat beta
(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda dengan
reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus
yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jamsetelah pemberian akan tampak
penurunan gejala. Khasiat propranolol antara lain menurunkan denyut jantung
permenit, menurunkan cardiac output, memperpanjang waktu refleks Achilles,
mengurangi nervositas, mengurangi produksi keringat, dan mengurangi
tremor. Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat
menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka
dalam waktu ± 4- 6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting
diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan
operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi. Penggunaan
propranolol antara lain sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau
pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.

Tindakan Pembedahan

Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka yang berusia
muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan berupa
tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin
diberi pengobatan dengan I131 (wanita hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam
waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita
yang keteraturannya minum obat tidak terjamin, atau mereka dengan struma yang sangat
besar, dan mereka yang ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami
keganasan, dan alasan kosmetik. Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi
antara thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid
biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan pemberian
larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa
minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum

Page | 26
operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Dengan
penanganan yang baik, maka angka kematian dapat diturunkan sampai 0.

Ablasi dengan I131

Sejak ditemukannya I131, terjadi perubahan dalam bidang pengobatan hipertiroid.


Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun karena
harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini banyak digunakan. Tujuan pemberian I131
adalah untuk merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi. Sayangnya, I131 ini teryata menaikan
angka kejadian hipofungsi kelenjar gondok (30-70% dalam follow up 10-20 tahun) tanpa ada
kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan. Di samping itu terdapat pula
peningkatan gejala pada mata sebanyak 1-5% dan menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya perubahan gen dan keganasan akibat pengobatan cara ini,walaupun belum terbukti.

Penetapan dosis 1131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya
kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140-160 micro Ci/gram atau dengan dosis rendah ±
80 micro Ci/gram. Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan antara lain: dosis optimum
yang diperlukan kelenjar tiroid, besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I131
di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap I131.

Pengobatan GD dengan Penyulit

Kehamilan

Angka kejadian GD dengan kehamilan ± 0,2%. Selama kehamilan biasanya GD


mengalami remisi, dan eksaserbasi setelah melahirkan. Dalam pengobatan, yodium radioaktif
merupakan kontraindikasi karena pada bayi dapat terjadi hipotiroidi yang ireversibel.
Penggunaan propranolol masih kontroversi. Beberapa peneliti memberikan propranolol pada
kehamilan dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa menimbulkan gangguan pada proses
kelahiran, tanda-tanda teratogenesis, dan gangguan fungsi tiroid dari bayi yang baru
dilahirkan. Tetapi beberapa peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses kelahiran yang
terlambat, terganggunya pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta yang kecil, hipoglikemi dan
bradikardi pada bayi yang baru lahir. Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil

Page | 27
dengan hipertiroid dalam waktu kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan untuk tindakan
operatif.

Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan pembedahan. Untuk
menentukan pilihan tergantung faktor pengelola maupun kondisi penderita. PTU merupakan
obat antitiroid yang digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah mungkin. Bila terjadi
efek hipotiroid pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak bermanfaat
mengingat hormone tiroid kurang menembus plasenta. Pembedahan dilakukan bila dengan
pemberian obat antitiroid tidak mungkin. Sebaiknya pembedahan ditunda sampai trimester I
kehamilan untuk mencegah terjadinya abortus spontan.

Eksoftalmus

Pengobatan hipertiroid diduga mempengaruhi derajat pengembangan eksofalmus.


Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan terapi antara lain: istirahat dengan berbaring
terlentang dengan kepala lebih tinggi, mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau
larutan metil selulose 5%, menghindari iritasi mata dengan kacamata hitam dan tindakan
operasi, dalam keadaan yang berat bisa diberikan prednison peroral tiap hari.

Krisis Tiroid

Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang sekonyong-konyong


menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas badan, delirium, takikardi, dehidrasi
berat, dan dapat dicetuskan oleh antara lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Prinsip
pengelolaan hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi
yang terjadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi kombinasi dengan
dosis tinggi misalnya antitiroid-karbimasol 15-20 mg tiap 6 jam atau PTU 300 mg tiap 6 jam.
Lugol 10 tetes tiap 6 jam. Pengaruh adrenergik diobati propranolol 80 mg tiap 6 jam atau IV
2-4 mg tiap 4 jam (dimasukkan secara hati-hati) dan dapat diberikan glukokortikoid
(hidrokortison 300 mg). Dosis ini dapat diulang tiap setengah jam dengan monitor EKG.
Kemudian dapat diteruskan dengan Propanolol 40 mg tiap 8 jam. Pengobatan suportif berupa
rehidrasi dengan cairan infus, kompres dingin, oksigen. Sedangkan untuk mengatasi

Page | 28
komplikasinya tergantung kondisi penderita dan gejala yang ada. Tindakan harus secepatnya
karena angka kematian penderita ini cukup besar.

Komplikasi

Komplikasi Grave’s disease adalah krisis tiroid (thyroid storm), yaitu suatu kondisi
hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem
kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang
merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan
atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan,
terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid merupakan
keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya
terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang
dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma. Gambaran klinisnya ialah distress
berat, sesak napas, takikardia, hiperpireksia, lemah, bingung, delirium, muntah, diare.

Hipertiroidesme lama dan tidak mendapatkan pengobatan secara teratur dapat memicu
timbulnya gagal jantung kongestif akibat aktivasi saraf adrenergic yang berlebihan. Pada
wanita hamil yang mengalami GD mungkin memiliki risiko tinggi untuk mengalami abortus
spontan atau janin yang dilahirkan dapat mengalami kelahiran premature atau kelahiran mati.

Prognosis

Pada umumnya penyakit Graves’ mengalami periode remisi dan eksaserbasi, namun
pada beberapa penderita setelah terapi tetap pada kondisi eutiroid dalam jangka lama,
beberapa penderita dapat berlanjut ke hipotiroid. Follow up jangka panjang diperlukan untuk
penderita dengan penyakit Grave’s.

Hipertiroidisme umumnya dapat diobati dan jarang mengancam kehidupan. Beberapa


penyebabnya mungkin akan hilang tanpa pengobatan. Hipertiroidisme yang disebabkan oleh
penyakit Graves biasanya bertambah buruk dari waktu ke waktu. Penyakit ini memiliki
banyak komplikasi, beberapa di antaranya parah dan mempengaruhi kualitas hidup.13

Page | 29
Pencegahan

Sampai saat ini belum ada cara khusus untuk mencegah Grave’s Disease. Upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengatur pola hidup, antara lain:

 Konsumsi protein yang tinggi yaitu 100-200 gr (2,5 gr/kgBB) per hari, seperti susu
dan telur untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan

 Olahraga secara teratur

 Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme

 Hindari aktifitas yang berat2

Kesimpulan

Grave’s Disease adalah penyakit autoimun di mana tiroid terlalu aktif menghasilkan
jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang
dikenal sebagai hipertiroidisme atau tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata,
kulit, jantung, alat-alat pencernaan, dan bagian tubuh lainnya. Angka kejadiaan Grave’s
Disease pada wanita sebanyak 5 kali lipat daripada laki-laki dengan usia bervariasi antara 20-
40 tahun (perempuan: laki-laki dari kejadian 5:01 - 10:01).

Patogenesis Grave’s Disease diduga peningkatan kadar hormon tiroid ini disebabkan
oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Penegakan diagnosis meliputi anamnesia (keluhan yang berhubungan dengan tirotoksikosis),
pemeriksaan fisik ditemukan gejala utama berupa goiter, opthalmopati, dan dermopati, serta
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (peningkatan kadar T3 dan T4) dan
pemeriksaan radiologi yang meliputi foto polos leher, radioactive iodine (RAI), USG, CT
scan, dan MRI.

Page | 30
Daftar Pustaka

1. Jasalim, Umar. Struma difusa toksik. Samarinda: FK Universitas Mulawarman; 2011.

2. Sitorus, MS. Anatomi klinis kelenjar thyroid. Medan: FK USU; 2004.

3. Hidayat, NY. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 21 September 2012 available from
http://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistem-hormon-hormon-adalah-zat-
kimia.html

4. Price, SA, Lorraine, MW. Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC; 2006.

5. Hermawan, AG. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. Surakarta: FK Universitas


Sebelas Maret; 2000.

6. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. ed
8. Jakarta: EGC; 2009.
7. Shahab A. Penyakit graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan penatalaksanaannya.
Bulletin PIKKI : Seri endokrinologi-metabolisme. edisi Juli. Jakarta: PIKKI; 2002.h.
9-18.

8. Rachman LY, Dany F, Rendy L, editor. Robbins & Cotran dasar patologis
penyakit.ed. 7. Jakarta: EGC; 2005.h.1190-8.

9. Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2010.h. 343-52.

10. Toft AD, Subclinical hyperthyroidism[Clinical Practice], N. Engl. J. Med. 345:512-


516, 2001

11. Paulev and Zubieta. Thyroid hormones and disorders. Tanggal 21 September 2012
available from http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html

12. Maitra A, Abbas AK. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL.
Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC; 2007. h. 1188-90.
13. Hyperthyroidsm, diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/00356.htm, 4 November 2013.

Page | 31
Page | 32

You might also like