You are on page 1of 64

Vol. 27, No.

3, Desember 2014 MEDICINUS 1


BOARD OF EDITORIAL contents
Chief Editor: Dr. Raymond R. Tjandrawinata, 1 CONTENTS
MBA, PhD, FRSC 3 Instruction for Authors
Executive Editor: dr. Ratna Kumalasari.
Editorial Staff: Liana W Susanto, M biomed., LEADING ARTICLE
dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini Hendri, Puji 1 Ensefalopati Hepatik
Rahayu, S. Farm, Apt., Anggie Karunia S. Apa, Mengapa dan Bagaimana?
Kristyanti, S.Farm, MM, Apt., Taufik Akbar 9 Hipertensi Krisis
S.Farm, Apt., Kosmas Nurhadi Indrawan,
S.Farm, Apt., Ana Widyaningsih S.Farm, Apt.,
ORIGINAL ARTICLE (RESEARCH)
Natalia Ni Putu Olivia Paramita S.D, S.Farm,
18 Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan
Apt., Lolitha Henrietta Latuputty, S.Farm, Apt.,
Hasil Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr.
Indra Manenda Rossi, S.Sos.
R.D. Kandou Manado
Peer Review: Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
27 Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada
Jan Sudir Purba, M.D, Ph.D, Prof. Dr. Med.
Isolated Systolic Hypertension Dengan Non Isolated
Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Systolic Hypertension
Editorial Office: Titan Center, Lantai 5, Jalan
Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya
ORIGINAL ARTICLE (CASE REPORT)
Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel.
35 Acute Limb Ischemic
+62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111,
Email: medical@dexa-medica.com,
MEDICAL REVIEW
Website: www.dexa-medica.com
40 Pemilihan Antibiotik yang Rasional
http://cme.medicinus.co/
Probiotik: Problematika dan Progresivitasnya

PATIENT COMPLIANCE
58 Cegah Stroke Berulang dengan
Teratur Minum Obat

Contribution

Medicinus Editors accept participation in


form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redaction-
ally without changing the content of the
published articles, if necessary.

2 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


Leading article

Ensefalopati Hepatik:
Apa, Mengapa dan Bagaimana?
Irsan Hasan, Abirianty P. Araminta
Divisi Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

PENDAHULUAN

Dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini
memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati hepatik serta kemajuan
dalam diagnosis dan tata laksananya. Beragam studi terkait diagnosis, tata laksana, serta pencegah-
an enefalopati hepatik menjadi dasar penatalaksanaan ensefalopati hepatik di seluruh dunia, ter-
masuk Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki panduan penatalaksanaan ensefalopati hepatik
yang diterbitkan oleh Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) pada tahun 2014.1

APA ITU ENSEFALOPATI HEPATIK?

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hati
akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup pe-
rubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada
otak yang mendasarinya.2 Di Indonesia, prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti
karena sulitnya penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis he-
patis.3 Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi EH minimal sebesar
63,2% pada tahun 2009.4 Data pada tahun 1999 mencatat prevalensi EH stadium 2-4 sebesar 14,9%.5
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak menjalani trans-
plantasi hati.6

EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya; tipe A berhubungan
dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan, tipe B berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan intrinsik jaringan hati, dan tipe C yang berhubung-
an dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.7,8 Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi EH minimal (EHM) dan
EH overt. EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit kognitif se-
perti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemeriksaan psikometrik atau
elektrofisiologi,9,11 sedangkan EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif dengan gejala
neurologis yang kian memberat).2,9-11

PATOFISIOLOGI ENSEFALOPATI HEPATIK

Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan hati akut maupun
kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 1


leading article

ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hipona-
tremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi
(pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol.
Faktor tersering yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.8

Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sa-
war darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting
dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati.7,12 Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Patofisiologi ensefalopati hepatik12

Seperti yang digambarkan pada gambar 2, amonia diproduksi oleh berbagai organ. Amonia meru-
pakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama bakteri gram
negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan Clostridium.12 Enzim urease bakteri akan memecah
urea menjadi amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar
melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat
dan amonia.12,13 Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis,
amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan men-
detoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama dalam
metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via glutamin sintetase.12 Ginjal
berperan dalam produksi dan eksresi amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa
tubuh. Ginjal memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi
glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui urin dalam
bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruhi
oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui
urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi
perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia.

2 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

Gambar 2. Metabolisme amonia oleh berbagai organ dalam tubuh14

Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena kakan astrosit. Amonia secara langsung juga
porta untuk proses detoksifiaksi. Metabolisme merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada
oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel astrosit melalui peningkatan kalsium intraselu-
hati periportal yang memetabolisme amonia lar yang menyebabkan disfungsi mitokondria
menjadi urea melalui siklus Krebs-Henseleit dan dan kegagalan produksi energi selular mela-
sel hati yang terletak dekat vena sentral dima- lui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.
na urea akan digabungkan kembali menjadi Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan
glutamin.8,12 Pada keadaan sirosis, penurunan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang
massa hepatosit fungsional dapat menyebab- bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas
kan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati sitokin dan repson inflamasi sehingga meng-
ditambah adanya shunting portosistemik yang ganggu aktivitas pensignalan intraselular.16
membawa darah yang mengandung amonia
masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.15 BAGAIMANAKAH GEJALA DAN CARA
Peningkatan kadar amonia dalam darah me- MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK?
naikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya
permebialitas sawar darah otak untuk amonia Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spek-
pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas trum luas manifestasi neurologis dan psikiatrik
amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi nonspesifik. Pada tahap yang paling ringan,
melakukan metabolisme amonia melalui kerja EH memperlihatkan gangguan pada tes psiko-
enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis metrik terkait dengan atensi, memori jangka
yang ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema pendek dan kemampuan visuospasial. Dengan
serebri, dimana glutamin merupakan molekul berjalannya penyakit, pasien EH mulai memper-
osmotik sehingga menyebabkan pembeng- lihatkan perubahan tingkah laku dan kepriba-

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 3


leading article

dian, seperti apatis, iritabilitas dan disinhibisi serta perubahan kesadaran dan fungsi motorik yang
nyata. Selain itu, gangguan pola tidur semakin sering ditemukan. Pasien dapat memperlihatkan dis-
orientasi waktu dan ruang yang progresif, tingkah laku yang tidak sesuai dan fase kebingungan akut
dengan agitasi atau somnolen, stupor, dan pada akhirnya jatuh ke dalam koma.17

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadi
grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH
overt, seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven18

Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini dalam
menegakkan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A dan NCT-B, mau-
pun Critical Flicker Frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk mendiagnosis EH. Namun,
pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit untuk dilakukan secara merata di Indonesia. Oleh karena
itu, para klinisi diharapkan memberi penjelasan terhadap pasien beserta keluarganya mengenai
tanda-tanda EH, seperti komunikasi, perubahan pola tidur, penurunan aktivitas sehari-hari pasien
hingga tanda-tanda seperti asteriksis, klonus maupun penurunan kesadaran yang jelas. Pemeriksaan
radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi
pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak. Elektroensefalografi akan me-
nunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas otak pada pasien dengan
EH.2,8 Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan
kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien
dengan EH.18 Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di Indonesia
mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia. Gambar 3
menunjukkan alur diagnosis pasien dengan kecurigaan EH.

TERAPI TERKINI ENSEFALOPATI HEPATIK

Tatalaksana EH diberikan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Dasar penatalaksanaan EH adalah:
identifikasi dan tatalaksana faktor presipitasi EH, pengaturan keseimbangan nitrogen, pencegahan
perburukan kondisi pasien, dan penilaian rekurensi ensefalopati hepatik.

Tatalaksana Faktor Presipitasi

Beberapa faktor presipitasi dapat mencetuskan terjadinya EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obatan
sedatif dan perdarahan saluran cerna. Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor-faktor
tersebut berperan penting dalam perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu
dipantau untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spektrum luas diindikasikan
pada keadaan infeksi, sebagai faktor presipitasi tersering, baik pada saluran cerna maupun organ
lain. Konsumsi alkohol dan obat-obatan sedatif harus dihentikan sejak awal timbulnya manifestasi

4 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

EH. Ligasi sumber perdarahan, observasi cairan dan penurunan tekanan vena porta perlu dilakukan
dengan tepat dan cepat bila ditemukan perdarahan saluran cerna, terutama pecahnya varises esofa-
gus. Gangguan elektrolit juga menjadi salah satu pencetus EH pada pasien sirosis sehingga membu-
tuhkan penanganan yang adekuat.12,19

Ditemukannya faktor presipitasi EH pada pasien semakin menguatkan diagnosis EH. Faktor presipi-
tasi dapat diidentifikasi pada hampir semua kasus EH episodik tipe C dan sebaiknya dievaluasi secara
aktif dan ditatalaksana segera saat ditemukan. Tabel 2 memperlihatkan pembagian faktor presipitasi
dengan EH yang ditimbulkan.

Tatalaksana Farmakologis

Penurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Be-
berapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, anti-
biotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.

- Non-absorbable Disaccharides (Laktulosa)

Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan EH.7 Sifatnya yang laksatif menyebabkan

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 5


leading article

penurunan sintesis dan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake
glutamin.12,18,20 Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal yang diguna-
kan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora normal usus akan menekan bakteri lain
yang menghasilkan urease. Proses ini menghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen
pada amonia sehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion amonium (NH4+).
Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.

Dari metaanalisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih baik dalam mengurangi amo-
nia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik.12 Akan tetapi, laktulosa memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mencegah berulangnya EH dan secara signifikan menunjukkan perbaikan tes
psikometri pada pasien dengan EH minimal.

Dosis laktulosa yang diberikan adalah 2 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan. Efek
samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung. Penggunaan
laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan memunculkan faktor pre-
sipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.18

- Antibiotik

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang ber-
tanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.7,12,18 Selain itu, anti-
biotik juga memiliki efek anti-inflamasi dan downregulation aktivitas glutaminase.12 Antibiotik yang
menjadi pilihan saat ini adalah rifaximin, berspektrum luas dan diserap secara minimal.13,23 Dosis yang
diberikan adalah 2 x 550 mg dengan lama pengobatan 3-6 bulan.12,21 Rifaximin dipilih mengganti-
kan antibiotik yang telah digunakan pada pengobatan HE sebelumnya, yaitu neomycin, metronida-
zole, paromomycin, dan vancomycin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan antibiotik lainnya.12

- L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, bekerja sebagai substrat yang berper-
an dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamine. LOLA meningkatkan metabolisme amonia
di hati dan otot, sehingga menurunkan amonia di dalam darah.7 Selain itu, LOLA juga mengurangi
edema serebri pada pasien dengan EH.

LOLA, yang merupakan subtrat perantara pada siklus urea, menurunkan kadar amonia dengan me-
rangsang ureagenesis. L-ornithine dan L-aspartate dapat ditransaminase dengan α-ketoglutarate
menjadi glutamat, melalui ornithine aminotrasnferase (OAT) dan aspartate aminotransferase (AAT),
berurutan. Molekul glutamat yang dihasilkan dapat digunakan untuk menstimulasi glutamine syn-
thetase, sehingga membentuk glutamin dan mengeluarkan amonia. Meskipun demikian, glutamin
dapat dimetabolisme dengan phosphate-activated glutaminase (PAG), dan menghasilkan amonia
kembali.

Suatu RCT double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan EH
menurunkan amonia dan memperbaiki status mental. Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien
EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan hanya sementara.18 Beberapa penelitian RCT (Kirchets dkk,
1997 dan Ahmad dkk, 2008) menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena da-
pat memperbaiki kadar amonia dan EH yang ada.22,23 Studi metaanalisis terkini (Jiang Q, 2009 dan
Bai M, 2013) menunjukkan manfaat LOLA pada pasien EH overt dan EH minimal dalam perbaikan EH
dengan menurunkan konsentrasi amonia serum.24,25

6 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

- Probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai suplementasi Liu, et al., melakukan studi terhadap feses
diet mikrobiologis hidup yang bermanfaat un- pasien EH minimal dan menemukan pembe-
tuk nutrisi pejamu. Amonia dan substansi neu- rian suplementasi sinbiotik (serat dan probiotik)
rotoksik telah lama dipikirkan berperan penting berhubungan dengan menurunnya jumlah bak-
dalam timbulnya EH. Amonia juga dihasilkan teri patogenik Escherichia coli, Fusobacterium,
oleh flora dalam usus sehingga manipulasi flora dan Staphylococcus dengan peningkatan pada
usus menjadi salah satu strategi terapi EH. Me- Lactobacillus penghasil nonurease.28 Penelitian
kanisme kerja probiotik dalam terapi EH diper- metaanalisis dari 9 laporan penelitian menun-
caya terkait dengan menekan substansi untuk jukkan prebiotik, probiotik dan sinbiotik mem-
bakteri patogenik usus dan meningkatkan punyai manfaat pada pasien EH.29 Meskipun
produk akhir fermentasi yang berguna untuk demikian, penelitian lebih lanjut masih dibu-
bakteri baik.26,27 tuhkan dalam penggunaan probiotik pada tata-
laksana dan prevesi sekunder EH overt.30

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 7


leading article

TERAPI POTENSIAL LAINNYA

Beberapa obat lain saat ini masih dalam penelitian, antara lain ammonia scavenger, activated char-
coal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger (natrium benzoat, natrium fenilasetat,
natrium fenilbutirat) digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penuh. Obat ini
diberikan secara intravena dan baru digunakan pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hi-
peramonemia, namun belum disetujui untuk digunakan pada pasien EH. Activated charcoal bekerja
menyerap molekul kecil, diantaranya amonia, lipopolisakarida dan sitokin. AST-120, karbon berben-
tuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan EH. Pada pilot study terlihat bah-
wa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan laktulosa namun dengan efek samping yang lebih
sedikit.12 L-Ornithinge Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi seba-
gai substrat pebentukan glutamin dari amonia pada otot rangka.8

PENUTUP

Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan
sirosis hati. Tatalaksana optimal EH akan memperpanjang survival dan memperbaiki kualitas hidup
pasien sirosis. Prinsip tatalaksana EH adalah mengidentifikasi dan mengatasi pencetus serta terapi
medikamentosa.

daftar pustaka
1. Lesmana LA, Nusi IA, Gani RA, Hasan I, Sanityoso A, Lesmana CRA, et al. 16. Norenberg MD, Rama Rao KV, Jayakumar AR. Signaling factors in the
Panduan praktik klinik penatalaksanaan ensefalopati hepatik di Indonesia mechanism of ammonia neurotoxicity. Metab Brain Dis. 2009;24(1):103-
2014. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, 2014. 17.
2. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. Hepatic 17. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Fereni P, Mullen KD, et al. Hepatic
encephalopathy—Definition, nomenclature, diagnosis, and quantifica- encephalopathy in chronic liver disease: 2014 practice guideline by the
tion: Final report of the Working Party at the 11th World Congresses of European Association for the Study of the Liver and the American As-
Gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology. 2002;35(3):716-21. sociation for the Study of Liver Diseases. J Hepatol (2014), http://dx.doi.
3. Hartmann IJ, Groeneweg M, Quero JC, Beijeman SJ, de Man RA, Hop WC, et org/10.1016/j.hep.2014.05.042
al. The prognostic significance of subclinical hepatic encephalopathy. Am J 18. Zhan T, Stremmel W. The diagnosis and treatment of minimal hepatic en-
Gastroenterol. 2000;95(8):2029-34. cephalopathy. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(10):180-7.
4. Iskandar M, Ndraha S, Hasan I. Prevalensi Ensefalopati Hepatik Minimal di 19. Córdoba J. New assessment of hepatic encephalopathy. J Hepa-
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Bulan Mei - Agustus 2009: KO- tol.54(5):1030-40.
PAPDI; 2009. 20. Sanyal A, Bass N, Mullen K, Poordad F, Shaw A, Merchant K, et al. Recent
5. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibra- advances in the diagnosis and treatment of hepatic encephalopathy. Gas-
ta M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: troenterol Hepatol. 2010;6(7):5-13.
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran 21. Wright G, Chatree A, Jalan R. Management of Hepatic Encephalopathy. Int
Universitas Indonesia, 2009. J Hepatol. 2011;2011.
6. Mullen KD. The Treatment of Patients With Hepatic Encephalopathy: 22. Kircheis G, Nilius R, Held C, Berndt H, Buchner M, Gortelmeyer R, et al.
Review of the Latest Data from EASL 2010. Gastroenterol Hepatol. Therapeutic efficacy of L-ornithine-L-aspartate infusions in patients with
2010;6(7):1-16. cirrhosis and hepatic encephalopathy: Results of a placebo-controlled,
7. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Hepatic encephalopathy therapy: An over- double-blind study. Hepatology. 1997;25(6):1351-60.
view. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2010;1(2):54-63. 23. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F, et al. L-ornithine-
8. Wakim FJ. Hepatic encephalopathy: suspect it early in patients with cir- L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the
rhosis. Cleve Clin J Med. 2011;78(9):597-605. College of Physicians and Surgenons--Pakistan:JCPSP. 2008;18(11):684-7.
9. Amodio P, Montagnese S, Gatta A, Morgan M. Characteristics of Minimal 24. Jiang Q, Jiang X-H, Zheng M-H, Chen Y-P. l-Ornithine-l-aspartate in the
Hepatic Encephalopathy. Metab Brain Dis. 2004;19(3-4):253-67. management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. J Gastroen-
10. Groeneweg M, Moerland W, Quero JC, Hop WCJ, Krabbe PF, Schalm terol Hepatol. 2009;24(1):9-14.
SW. Screening of subclinical hepatic encephalopathy. J Hepatol. 25. Bai M, Yang Z, Qi X, Fan D, Han G. l-ornithine-l-aspartate for hepatic en-
2000;32(5):748-53. cephalopathy in patients with cirrhosis: A meta-analysis of randomized
11. Quero JC, Hartmann IJ, Meulstee J, Hop WC, Schalm SW. The diagnosis of controlled trials. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(5):783-92.
subclinical hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis using neu- 26. Solga, SF. Probiotics can treat hepatic encephalopathy. Med Hypothesses
ropsychological tests and automated electroencephalogram analysis. 2003;61:307-13.
Hepatology. 1996;24(3):556-60. 27. Bongaerts G, Severijnen R, Timmerman H. Effect of antibiotics, prebiotics
12. Frederick RT. Current concepts in the pathophysiology and management and probiotics in the treatment for hepatic encephalopathy. Med Hypoth-
of hepatic encephalopathy. Gastroenterol Hepatol. 2011;7(4):222-33. eses 2005;64:64-8.
13. Perazzo JC, Tallis S, Delfante A, Souto PA, Lemberg A, Eizayaga FX, et al. 28. Liu Q, Duan ZP, Ha DK, et al. Synbiotic modulation of gut flora: Effect on
Hepatic encephalopathy: An approach to its multiple pathophysiological minimal hepatic encephalopathy in patients with cirrhosis. Hepatology
features. World J Hepatol. 2012;4(3):50-65. 2004;39:1441-9.
14. Cordoba J, Minguez B. Hepatic Encephalopathy. Semin Liver Dis. 29. Shukla S, Shukla A, Mehboob S, Guha S. Meta-analysis: the effects of gut
2008;28(1):70-80. flora modulation using prebiotics, probiotics and synbiotics on minimal
15. Chatauret N, Butterworth RF. Effects of liver failure on inter-organ traffick- hepatic encephalopathy. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33(6):662-71.
ing of ammonia: implications for the treatment of hepatic encephalopa- 30. Sharma V, Garg S, S A. Probiotics and Liver Disease. Perm J. 2013;17(4):62-7.
thy. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19:S219-223.

8 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


Leading article

Hipertensi Krisis
Asnelia Devicaesaria
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

PENDAHULUAN

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan dibidang neurovaskular  yang sering dijumpai
di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan
sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah
tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuh-
kan penanganan segera untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa.

Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di
Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia
20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia diatas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30%
diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis diser-
tai kerusakan organ target. Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi
krisis.

Pada JNC 7 tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun
hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memer-
lukan tatalaksana yang lebih agresif.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.

DEFINISI

Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang
paing sering dipakai adalah:

1. Hipertensi emergensi (darurat)


Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak di-
sertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam
satu jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan
organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 9


leading article

Dikenal beberapa istilah yang ningkatan tekanan darah secara cepat disertai pening-
berkaitan dengan hipertensi krisis katan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah
antara lain: yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel
dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat keru-
1. Hipertensi refrakter sakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan
Respon pengobatan yang tidak fungsi autoregulasi.
memuaskan dan tekanan darah >
200/110 mmHg, walaupun telah di- Tabel 2. Causes of Hypertensive Emergency 
berikan pengobatan yang efektif (tri-
ple drug) pada penderita dan kepatu-
han pasien.

2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik
> 120 mmHg disertai dengan kelain-
an funduskopi. Bila tidak diobati da-
pat berlanjut ke fase maligna.

3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi de-
ngan tekanan darah diastolik > 120-
130 mmHg dan kelainan funduskopi
disertai papil edema, peninggian te-
kanan intrakranial, kerusakan yang
cepat dari vaskular, gagal ginjal akut,
ataupun kematian bila penderita
tidak  mendapatkan pengobatan. Hi-
pertensi maligna biasanya pada pen-
derita dengan riwayat hipertensi e-
sensial ataupun sekunder dan jarang
pada  penderita yang sebelumnya
mempunyai tekanan darah normal.

4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-
tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang hebat, penurunan kesa- MEKANISME AUTOREGULASI
daran dan keadaan ini dapat menjadi
reversibel bila tekanan darah tersebut Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ
diturunkan. tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan
mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontraksi/
dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka
Faktor penyebab hipertensi intinya akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik
terdapat perubahan vascular, berupa akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi,
disfungsi endotel, remodeling, dan aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial
arterial striffness. Namun faktor pe- Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah
nyebab hipertensi emergensi dan batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan ok-
hipertensi urgensi masih belum dipa- sigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari
hami. Diduga karena terjadinya pe- aliran darah yang menurun.

10 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkop.

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga pengurangan aliran darah dapat ter-
jadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).

Gambar
Gambar 1. Patofisiologi 1. Patofisiologi
hipertensi emergensi. hipertensi emergensi.

Kelainan endokrin Essential hypertension

Hipertensi berat
Kehamilan

Kelainan ginjal
Obat-obatan

Critical level atau


kenaikan dan
peningkatan resistensi
vascular secara cepat

Natriuresis spontan
Kerusakan endotel

Kekurangan volume
 Permeabilitas endotel intravaskular

Deposit platelet & fibrin  Vasodilatasi, NO &  Vasokontriksi,


prostacyclin (reninangiotensin,
catecholamines)
Fibrinoid necrosis and
intimal proliferation  Tekanan darah
lebih lanjut

Peningkatan TD besar

Iskemik jaringan

Disfungsi organ target

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 11


leading article

MEKANISME AUTOREGULASI

Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan da-
rah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai ting-
katan perubahan kontraksi/dilatasi  pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi
vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran
darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di
bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia
otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkop.

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang autoregulasi
ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,sehingga pengurangan aliran darah dapat ter-
jadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar 2).
Gambar 2. Kurva autoregulasi pada tekanan darah.

Pada penelitian Stragard, dilakukan pemgukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang nor-
motensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai diantara grup nor-
motensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung meng-
geser autoregulasi ke arah normal.

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan
bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena
itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit
atau jam,tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita
diseksi aorta akut ataupun edema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit
dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalo-
pati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut atau-
pun perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus
dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.

12 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tanda
dan gejala hipertensi krisis berbeda-beda setiap pasien. Pada pasien dengan hipertensi krisis de-
ngan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan
tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati
didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal.

Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdara-
han dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular
bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut.
Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja
terjadi.

Gambar 3. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan dari


optik disc dengan margin kabur.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 13


leading article

Tabel 4. Hipertensi Urgensi (mendesak).

Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi dengan minimal atau
tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada tabel 3

1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada perioperatif

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis
tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan
minum obat, riwayat konsumsi kokain, amphetamine dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang me-
nyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting dievaluasi. Tanda-tanda defisit neurologik
harus diperiksa seperti sakit kepala,penurunan kesadaran, hemiparesis dan kejang.

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan seperti hitung jenis, elektrolit, kreatinin dan urinalisa.
Foto thorax, EKG dan CT- scan kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan sesak
nafas, nyeri dada atau perubahan status neurologis. Pada keadaan gagal jantung kiri dan hipertrofi
ventrikel kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan. Berikut adalah bagan alur pendekatan
diagnostik pada pasien hipertensi:

14 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

PENATALAKSANAAN
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan
1. Hipertensi Urgensi β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja
mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol
A. Penatalaksanaan Umum memiliki dose range yang sangat lebar sehingga
Manajenem penurunan tekanan darah pada menyulitkan dalam  penentuan dosis. Peneli-
pasien dengan hipertensi urgensi tidak mem- tian secara random pada 36 pasien, setiap grup
butuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100
obat-obatan oral aksi cepat akan memberi man- mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan meng-
faat untuk menurunkan tekanan darah dalam hasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan
24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diastolik secara signifikan. Secara umum la-
diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal betalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg
standard goal penurunan tekanan darah dapat secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam ke-
diturunkan sampai 160/110 mmHg. mudian. Efek samping yang sering muncul ada-
lah mual dan sakit kepala.
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi par-
enteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam Clonidine adalah obat-obatan golongan sim-
menurunkan tekanan darah. Pemberian loading patolitik sentral (α2-adrenergicreceptor  agonist)
dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbul- yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
kan efek akumulasi dan pasien akan mengalami dan  puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa
hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1
penggunaan kombinasi obat oral merupakan mg setiap jam sampai tercapainya tekanan da-
pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi rah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7
urgensi. mg. Efek samping yang sering terjadi adalah se-
  dasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi
urgensi Nifedipine adalah golongan calcium channel
blocker  yang memiliki pucak  kerja antara 10-20
Captopril adalah golongan angiotensin-convert- menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan
ing enzyme (ACE) inhibitor  dengan onset mulai oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena
15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg dapat menurunkan tekanan darah yang men-
sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosis- dadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga
nya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. berhubungan dengan kejadian stroke.
Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi,
hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal 2. Hipertensi Emergensi
(khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri
renal bilateral). A. Penatalaksanaan Umum

Nicardipine adalah golongan calcium channel Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan
blocker  yang sering digunakan pada pasien de- setiap individu tergantung  pada kerusakan or-
gan target. Manajemen tekanan darah dilakukan
ngan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang
dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan
dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU
urgensi secara random terhadap penggunaan agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan
nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal pe-
efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan nurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi
placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggu- penurunan  Mean  Arterial Pressure (MAP) 10% se-
naan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diu- lama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya.
lang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah Penurunan tekanan darah secara cepat dan berle-
yang diinginkan. Efek samping yang sering terja- bihan akan mengakibatkan jantung dan pembu-
di seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala. luh darah orak mengalami hipoperfusi.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 15


leading article

B. Penatalaksanaan khusus untuk Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat


hipertensi emergensi disebabkan karena pengaruh obat-obatan seperti kate-
kolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase.
Neurologic emergency. Kegawatdaru- Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seper-
ratan neurologi sering terjadi pada hi- ti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat
pertensi emergensi seperti hypertensive menyebabkan over  dosis. Penghambat monoamin ok-
sidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau
encephalopathy, perdarahan intrakranial
klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal.
dan stroke iskemik akut. American Heart
Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti  pheo-
Association  merekomendasikan penu- chromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan
runan tekanan darah > 180/105 mmHg pada pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau
hipertensi dengan perdarahan intrakranial phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan
dan MAP harus dipertahankan di bawah β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai te-
130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iske- kanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang
mik tekanan darah harus dipantau secara dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah de-
hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan ngan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial
apakah tekanan darah akan menurun se- dan dengan penambahan obat-obatan anti hipertensi
cara sepontan. Secara terus-menerus MAP yang telah dijelaskan di atas.
dipertahankan > 130 mmHg.
PROGNOSIS
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan
yang utama pada jantung seperti iskemik Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal
akut pada otot jantung, edema paru dan ginjal (19%) dan gagal jantun (13%). Prognosis menjadi
diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera.
emergensi yang melibatkan iskemik pada
otot jantung dapat diberikan terapi den- Tabel 3.Obat-obatan spesifik untuk komplikasi
gan nitroglycerin. Pada studi yang telah di- hipertensi emergensi.
lakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat
meningkatkan aliran darah pada arteri ko-
roner. Pada keadaan diseksi aorta akut pem-
berian obat-obatan β-blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada
terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan
dengan obat-obatan vasodilatasi seperti
nitroprusside. Obat-obatan tersebut dapat
menurunkan tekanan darah sampai target
tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik
> 120mmHg) dalam waktu 20 menit.

Kidney Failure. Acute kidney injury bisa dise-


babkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney in-
jury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang di-
berikan masih kontroversi, namun nitroprus-
side IV telah digunakan secara luas namun
nitroprusside sendiri dapat menyebabkan
keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian
fenoldopam secara parenteral dapat meng-
hindari potensi keracunan sianida akibat
dari pemberian nitroprussidedalam terapi
gagal ginjal.

16 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


leading article

Tabel 2. Obat-obatan parenteral yang digunakan untuk terapi hipertensi emergensi

KESIMPULAN

Hipertensi krisis merupakan salah satu kegawatan di bidang neuro-cardiovaskular yang sering di-
jumpai di instalasi gawat darurat. Hipertensi krisis terdiri dari hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Keduanya harus ditangani dengan tepat dan segera sehingga prognosisnya terhadap or-
gan target (otak, ginjal dan jantung) dan sistemik dapat ditanggulangi.

daftar pustaka
1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan Hipertensi- 7. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. 2007.
Urgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8. pp. 43-50.
2. 2. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors 8. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecri-
PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am ses. Critical CareJournals. 2003.
J Hypertensi. 2010. 23:775-780. 9. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal.
3. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed. Lip- ImpairedCerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHyperten-
pincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104. sion. Journal of the AmericanHeart Association. 2004. 110:2241-2245.
4. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8. 10. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED. Can FamPhy-
5. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's sician. 2011.57:1137-41.
Principles ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008. 11. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine. 2011.
6. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLi- 12. Bisognano JD. Malignant Hypertension. 2013. pp. 43-50.
brary. 2004.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 17


research
CONTINUING MEDICAL EDUCATION 5 skp

Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil


Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado

Janson Simanjuntak
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Korespondensi: Simanjuntak, Janson, Dolog Malalayang 1, Manado

Abstrak Abstract

Angka kematian ibu dan perinatal di Indonesia Maternal and perinatal mortality rate in Indo-
masih tinggi. Sebagian besar penyebab kema- nesia is still high. The most cause of maternal
tian ibu dan perinatal yang berhubungan den- and perinatal deaths related to pregnancy and
gan kehamilan dan komplikasi kehamilan dapat complication of pregnancy can be prevented.
dicegah. Pemeriksaan antenatal yang adekuat Adequate antenatal care is an important fac-
merupakan faktor penting dalam menurunkan tor in reducing maternal and perinatal deaths.
angka kematian ibu dan perinatal. Jenis peneli- This is an observasional cross-sectional study of
tian ini adalah analitik observatif cross-sectional 2268 women delivered and 2305 neonates born
terhadap 2268 ibu yang melahirkan di RSUP at Prof.Dr.R.D.Kandou Manado hospital was
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dan 2.305 bayi used. Data is collected from medical record. This
yang dilahirkan. Data diperoleh dari catatan study shows that number of antenatal <4 times
medis. Hasil penelitian ini menunjukkan jum- is significantly associated with the incidence
lah pemeriksaan antenatal <4 kali berhubung- of severe asphyxia (p=0,003; PR: 2,047; 95% CI:
an dengan kejadian asfiksia berat (p=0,003; PR: 1,29-3,25) and LBW (p=0,000; PR: 1,713; 95% CI:
2,047; 95% CI: 1,29-3,25) dan BBLR (p=0,000; PR: 1,32-2,23). The number of antenatal >4 times
1,713; 95% CI: 1,32-2,23). Jumlah pemeriksaan is significantly associated with delivery mode
antenatal >4 kali berhubungan dengan per- (p=0,001), this is due to Prof.Dr.R.D.Kandou
salinan tindakan (p=0,001), hal ini disebabkan Manado hospital is a referral hospital in North
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan Sulawesi, many samples in this study are wo-
rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara sehing- men with complicated pregnancy (26,7%). Preg-
ga banyak sampel pada penelitian ini adalah nancy with complications is significantly related
ibu-ibu dengan kehamilan dengan komplikasi to operative delivery (p=0,000; PR: 1,678; 95%
(26,7%). Kehamilan komplikasi berhubungan CI: 1,520-1,855). Conclusion is number of antena-
dengan persalinan tindakan (p=0,000; PR: 1,678; tal care < 4 times relates and increases the risk
95% CI: 1,520-1,855). Kesimpulan penelitian ini of incidence of asphyxia and low birth weight,
menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan ante- while women with operative delivery are likely
natal < 4 kali berhubungan dan meningkatkan to have history of antenatal care visit more (> 4
risiko kejadian asfiksia berat dan BBLR, semen- times) during pregnancy.
tara itu wanita yang melakukan persalinan tin-
dakan cenderung memiliki riwayat melakukan Keywords: antenatal care, delivery outcome,
pemeriksaan antenatal lebih banyak (> 4 kali) pregnancy outcome
selama kehamilan.

Kata kunci: hasil kehamilan, hasil persalinan,


pemeriksaan antenatal

18 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

PENDAHULUAN tekanan darah, pemberian imunisasi TT & ta-


blet Fe, di Indonesia hanya sebesar 19,9% dan
Angka kematian merupakan salah satu indika- di Sulawesi Utara hanya sebesar 18,5%.4 Peneli-
tor status kesehatan masyarakat. WHO mem- tian sebelumnya mengenai hubungan jumlah
perkirakan lebih dari 500.000 kematian ibu tiap kunjungan antenatal dengan hasil kehamilan
tahun karena kehamilan dan komplikasi yang dan persalinan didapatkan hasil yang bertolak
berhubungan dengan kehamilan.1 Menurut belakang. Menurut Brown et al,5 wanita dengan
data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia kunjungan antenatal dua kali memiliki hasil
(SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar kehamilan dan persalinan yang lebih baik dari-
228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut pada wanita dengan kunjungan sebanyak tiga
masih tinggi, sehingga ditargetkan pada tahun kali. Sebaliknya, menurut Taguchi et al,6 jumlah
2015 (MDGs) angka kematian ibu di Indonesia kunjungan antenatal kurang dari 4 kali mening-
turun menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup.2 katkan risiko kematian ibu.

Tujuh juta kematian perinatal pada negara Dari informasi di atas, mendorong kami un-
berkembang berhubungan dengan masalah tuk melakukan suatu penelitian ilmiah untuk
kesehatan ibu. Empat juta merupakan lahir mati mengetahui hubungan antara jumlah pemerik-
(stillbirth) dan tiga juta merupakan kematian saan antenatal dengan hasil kehamilan dan per-
neonatal awal.1 Angka Kematian Neonatus di In- salinan.
donesia menurut SDKI 2007 sebesar 19 per 1.000
kelahiran hidup.2 METODE

Ditemukan bahwa 88%-98% dari semua kema- Suatu studi cross-sectional terhadap wanita
tian ibu dapat dicegah dengan penanganan yang melahirkan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
yang tepat selama kehamilan dan persalinan. Manado dan bayi yang dilahirkan periode bu-
Pemeriksaan antenatal yang adekuat diketahui lan Januari 2012 hingga Juni 2012. Besar sampel
sebagai suatu faktor penting dalam menurunkan adalah 2.268 wanita yang melahirkan dan 2.305
kematian ibu dan neonatus.1 Standar pemerik- neonatus. Data didapatkan dari catatan medik.
saan antenatal di Indonesia adalah minimal 4 Data yang dikumpulkan adalah data pribadi,
kali selama kehamilan. Namun, kenyataanya jumlah pemeriksaan antenatal, tekanan darah,
tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan kejadian perdarahan, penyakit infeksi pada data
antenatal selama kehamilan, juga ada beberapa ibu, berat badan lahir, skor Apgar, kelainan kon-
ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antena- genital, kematian perinatal pada data bayi, dan
tal < 4 kali selama kehamilannya.2 jenis persalinan. Data dianalisis dengan meng-
gunakan program SPSS.
Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal
kunjungan pertama (K1) di Indonesia sebesar HASIL
95,26%, sedangkan cakupan pelayanan ante-
natal hingga kunjungan keempat (K4) sebesar Data dari catatan medis di Bagian Obstetri dan
85,56%. Pada tahun yang sama, di Sulawesi Ginekologi RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado
Utara, cakupan K1 sebesar 91,09%, sedangkan dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan
cakupan K4 sebesar 82,14%.2 Juni 2012 tercatat sebanyak 2.268 orang ibu
yang melahirkan. Ada 35 ibu dengan kehamil-
Kualitas pelayanan antenatal di Indonesia masih an gemeli dan 1 orang ibu dengan kehamilan
rendah. Pada tahun 2008, di Indonesia, cakup- triplet. Total 2.305 janin yang dilahirkan dengan
an K4 sebesar 86,04%, namun hanya 48,14% sebanyak 2.291 persalinan.
yang mendapatkan 90 tablet besi dan hanya
42,9% yang mendapatkan suntikan TT dua kali.3 Hasil ibu dikategorikan menjadi ibu tanpa
Presentase ibu hamil yang mendapatkan pela- komplikasi dengan ibu dengan komplikasi.
yanan 5T, yaitu ukur berat badan, tinggi badan, Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini ada-

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 19


research

20 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

lah perdarahan, hipertensi dan infeksi. Hasil ana- di RSUP Prof. Dr. R.D.Kandou Manado periode
lisis statistik menunjukkan tidak ada hubung- bulan Januari sampai dengan Juni 2012 sebesar
an antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4 69 per 2.305 kelahiran.
kali dengan kejadian perdarahan (p=0,874),
hipertensi (p=1,000) dan infeksi (p=0,596). Wa- Kematian perinatal disebabkan oleh masalah
laupun tidak berhubungan secara bermakna, kesehatan pada ibu. Pemeriksaan antenatal se-
kejadian perdarahan lebih sering pada wanita lama kehamilan terbukti menurunkan angka
dengan jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali kematian perinatal. Standar pemeriksaan an-
daripada pada wanita dengan jumlah pemerik- tenatal yang dianjurkan WHO dan direkomen-
saan antenatal > 4 kali. dasikan oleh Departemen Kesehatan adalah
minimal 4 kali selama kehamilan. Penelitian ini
Hasil fetus dinilai berdasarkan skor Apgar, ke- mendapatkan data bahwa dari 2.268 ibu yang
matian perinatal, dan kelainan kongenital. Hasil tercatat pada catatan medis, jumlah ibu yang
analisis statistik menunjukkan jumlah pemerik- melakukan kunjungan antenatal > 4 kali sebe-
saan antenatal < 4 kali berhubungan dengan sar 77,1%. Pada tahun 2010, cakupan K4 di In-
kejadian asfiksia berat (p=0,003), namun tidak donesia sebesar 85,56%. Sementara itu, pada
berhubungan dengan kejadian asfiksia ringan tahun yang sama di Sulawesi Utara cakupan K4
sedang (p=0,422). Wanita yang melakukan sebesar 82,14.2 Sehingga, pada penelitian ini di-
pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki risiko dapatkan, cakupan K4 masih rendah ditambah
2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia berat dengan 15,7% ibu yang melakukan pemeriksaan
(PR=2,047; 95% CI =1,29-3,25). Jumlah kunjungan antenatal < 4 kali.
antenatal < 4 kali tidak berhubungan dengan
kematian perinatal (p=0,167) dan kelainan kon- Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
genital (p=0,169). kurangnya pemeriksaan antenatal berhubung-
an dengan skor Apgar yang rendah.7 Pernyataan
Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubun- tersebut sejalan dengan hasil yang didapat pada
gan antara jumlah pemeriksaan antenatal < 4 penelitian ini, yaitu terdapat hubungan antara
kali dengan berat badan lahir rendah (p=0,000), jumlah pemeriksaan antenatal dengan skor Ap-
namun tidak berhubungan dengan berat badan gar. Hasil penelitian menunjukan skor Apgar 0-3
lahir lebih. Wanita yang melakukan pemerik- dan 4-6 lebih sering terjadi pada kelompok ibu
saan antenatal < 4 kali memiliki risiko 1,713 kali dengan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Seba-
melahirkan janin dengan berat badan lahir jelek liknya bayi dengan skor 7-10 lebih banyak pada
(PR = 1,713; 95% CI = 1,32-2,23). kelompok ibu dengan pemeriksaan antenatal >
4 kali. Namun, pada analisis bivariat hanya skor
Jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua Apgar 0-3 yang berhubungan signifikan dengan
yakni persalinan spontan dan persalinan den- jumlah pemeriksan antenatal < 4 kali. Hal ini
gan tindakan. Hasil analisis statistik menunjuk- menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan ante-
kan ada hubungan antara jumlah pemeriksaan natal < 4 kali merupakan faktor risiko terjadinya
antenatal < 4 kali dengan persalinan dengan asfiksia berat pada neonatus. Wanita dengan
tindakan (p=0,001). Ibu dengan jumlah pemerik- jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali memiliki
saan antenatal < 4 kali lebih banyak melakukan risiko 2,047 kali melahirkan janin dengan asfiksia
persalinan spontan, sebaliknya ibu dengan jum- berat.
lah pemeriksaan antenatal > 4 kali lebih banyak
melakukan persalinan dengan tindakan. The American College of Obstetricians and Gy-
necologists dan the American Academy of Pedi-
PEMBAHASAN atrics menyatakan salah satu kriteria seorang
neonatus dikatakan asfiksia jika skor Apgar
Angka kematian merupakan salah satu indika- 0-3 selama lebih dari 5 menit. Kelahiran asfik-
tor status kesehatan masyarakat. Pada peneli- sia dapat disebabkan karena kejadian selama
tian ini didapatkan kejadian kematian perinatal periode antepartum, intrapartum, atau postpar-

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 21


research

tum maupun kombinasi diantaranya. Penelitian hasil penelitian Pant et al10 yang meneliti 91
terbaru menyatakan asfiksia paling banyak di- bayi baru lahir untuk melihat hubungan antara
sebabkan oleh kejadian selama periode ante- pemeriksaan antenatal dengan skor Apgar bayi.
natal.8 Dari 50 bayi dengan skor Apgar 5-7 (asfiksia
ringan-sedang) 80% berasal dari ibu yang tidak
Nayeri et al menyimpulkan bahwa persalinan melakukan pemeriksaan antenatal dan 20% dari
seksio sesarea darurat, persalinan prematur (< ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal.
37 minggu), berat badan lahir kurang dari 2500
gram dan anemia neonatal merupakan faktor- Berat badan lahir rendah merupakan suatu indi-
faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia. kator status kesehatan reproduksi dan kesehat-
Faktor-faktor tersebut dapat dicegah dengan an umum yang penting pada suatu populasi.
perawatan/pemeriksaan antenatal yang baik.9 BBLR menjadi prediktor tunggal paling penting
terhadap kematian bayi, terutama kematian
Walaupun tidak berhubungan bermakna, bayi dalam bulan pertama kehidupan. Kematian
dengan skor Apgar 4-6 lebih banyak pada kelom- neonatal 20 kali lebih banyak pada bayi dengan
pok ibu dengan jumlah pemeriksaan antenatal BBLR.11
kurang dari empat kali. Hal ini sejalan dengan

22 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

Berat badan lahir rendah berhubungan kuat dengan pemeriksaan antenatal yang tidak adekuat (<
4 kali).12 Pemeriksaan antenatal dapat memperbaiki berat bagan lahir melalui pencegahan kejadian
kecil untuk masa kehamilan (KMK), nutrisi yang lebih baik selama kehamilan dan penurunan kebi-
asaan merokok.11,13

Pada penelitian ini didapatkan bahwa jumlah pemeriksan antenatal berhubungan dengan berat
badan lahir. Hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir rendah lebih banyak terjadi pada bayi
dari ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal <4 kali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Desh-
pande et al. Ibu dengan pemeriksaan antenatal <4 kali selama kehamil-an memiliki risiko 1713 kali
melahirkan bayi de-ngan berat badan lahir rendah.

Etiologi kejadian berat badan lahir rendah adalah multifaktor. Perhatian khusus dari tenaga kesehatan
professional dibutuhkan untuk melakuka identifikasi faktor-faktor risiko terjadinya berat badan lahir
rendah. Pemeriksaan antenatal memberikan kesempatan bagi ibu hamil untuk melakukan konseling
dan deteksi risiko-risiko yang mungkin ada.12,14

Pemeriksaan antenatal digunakan untuk memantau perkembangan kehamilan ibu, frekuen-si mini-
mal 4 kali selama kehamilan. Pemeriksaan antenatal yang teratur memberikan kesempatan untuk
dapat mendiagnosis secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi
pada ibu dan janin selama kehamilan sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat secepatnya.15

Pada penelitian ini jenis persalinan dikelompokkan menjadi dua yaitu persalinan spontan dan per-
salinan dengan tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemeriksaan antenatal ber-
hubungan dengan jenis persalinan. Persalinan spontan lebih banyak terjadi pada kelompok ibu den-
gan pemeriksaan antenatal < 4 kali. Sebaliknya persalinan tindakan lebih banyak terjadi pada ibu
dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali.

Jenis persalinan yang dilakukan dapat dipengaruhi oleh keinginan ibu. Namun disisi lain, adanya
faktor-faktor risiko tertentu juga dapat menentukan dilakukannya persalinan dengan tindakan, sep-
erti usia ibu lebih dari 35 tahun (> 35), ibu dengan anemia, ibu dengan tekanan darah tinggi, karena
kondisi kesehatan umum akan sangat mempengaruhi kondisi kehamilan dan proses persalinan.
Adanya keluhan selama kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi persalinan yang
akhirnya terjadi persalinan dengan tindakan.16

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado merupakan rumah sakit rujukan di Sulawesi Utara. Sehingga
kasus-kasus kehamilan berisiko akan banyak ditemukan pada rumah sakit ini, pada penelitian ini
diketahui selama bulan Januari 2012 hingga Juni 2012 terdapat 606 (26,7%) ibu hamil dengan kom-plika-
si hipertensi, perdarahan dan infeksi, yang termasuk dalam kelompok ibu dengan kehamilan beri-siko.
Tabel 3 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kehamilan dengan risiko dengan per-
salinan tindakan, dengan risiko sebesar 1678 kali. Sehingga kehamilan dengan komplikasi meningkat-
kan risiko untuk persalinan dengan tindakan.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 23


research

Jika seorang wanita telah mengetahui memiliki risiko tertentu terjadinya penyulit-penyulit selama
kehamilan dan persalinan, maka wanita tersebut akan lebih sering melakukan pemeriksaan akan
kesehatan kehamilannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Brown et al,5 dimana adanya kecend-
erungan wanita untuk melakukan pemeriksaan antenatal lebih sering jika mereka memiliki masalah
pada kehamilannya.

KESIMPULAN
Jumlah pemeriksaan antenatal < 4 kali selama kehamilan berhubungan dengan kejadian asfiksia be-
rat dan berat badan lahir rendah. Kehamilan dengan komplikasi berhubungan dengan persalinan
tindakan. Wanita dengan persalinan tindakan memiliki riwayat pemeriksaan antenatal > 4 kali.

SARAN
Informasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan antenatal minimal empat kali untuk
mencegah kejadian asfiksia dan berat badan lahir rendah pada neonatus. Peningkatkan kualitas lay-
anan pemeriksaan antenatal untuk meningkatkan hasil kehamilan dan persalinan menjadi lebih baik.

daftar pustaka
1. Ziyo FY, Matly FA, Mehemd GM, Dofany EM. Relation be- A. Perinatal risk factors for neonatal asphyxia in Vali-e-Asr
tween prenatal care and pregnancy outcome at Beng- hospital, Tehran-Iran. Iran J Reprod Med. 2012;10:137-40.
hazi. Sudanese Journal of Public Health. 2009;4:403-10. 10. Pant B, Kumar S, Davey A, Tiwari R. Antenatal care and
2. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Profil pregnancy outcome. Indian J. Prev. Soc. Med. 2008;39:131.
kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Kementerian Keseha- 11. Ganjoei TA, Mirzaei F, Dokht FA. Relationship between
tan RI; 2011. prenatal care and the outcome of pregnancy in low-risk
3. Departemen Kesehatan. Pusat Data dan Informasi. Profil pregnancies. Open Journal of Obstetrics and Gynecology.
kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Keseha- 2011;1:112.
tan RI; 2009. 12. Deshpande JD, Phalke DB, Bangal VB, Peeyuusha D, Sush-
4. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2010. en B. Maternal risk factors for low birth weight neonates: a
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan hospital based case-control study in rural area of western
RI; 2010. h. 223,229. Maharashtra, India. National Journal of Community Medi-
5. Brown CA, Sohani SB, Khan K, Lilford R, Mukhwana W. cine. 2011;2:394-8.
Antenatal care and perinatal outcomes in Kwale district 13. Niclasen B. Low birthweight as an indicator of child health
Kenya. BMC Pregnancy and Childbirth. 2008;8:1-11. in Greenland–use, knowledge and implication. Int J Cir-
6. Taguchi N, Kawabata M, Maekawa M, Maruo T, Aditiwar- cumpolar Health. 2007;66:223.
man, Dewata L. Influence of socio-economic background 14. Kadapatti MG, Vijayalaxmi AHM. Antenatal care the es-
and antenatal care programmes on maternal mortality in sence of newborn weight and infant development. Inter-
Surabaya, lndonesia. Trop Med Int Health. 2003;8:847-52. national Journal of Scientific and Research Publication.
7. Salusatiano EMA, Campos JADB, Ibidi SM, Ruano R, Zugaib 2012;2:3.
M. Low apgar scores at 5 minutes in a low risk population: 15. Budiman, Riyanto A, Juhaeriah J, Gina H. Faktor ibu yang
maternal and obstetrical factors and postnatal outcome. berhubungan dengan berat badan lahir di Puskesmas
Rev Assoc Med Bras. 2012;58:587-93. Garuda tahun 2010. Jurnal Kesehatan Kartika. 2011:1.
8. Haider BA, Bhutta ZA. Birth asphyxia in developing coun- 16. Kowalcek I, Hainer F. Is there a relation between maternal
tries: current status and public health implications. Curr age and preferred mode of delivery? Journal of Clinical
Probl Pediatr Adolesc Health Care. 2006;36:180. Gynecology and Obstetrics. 2012;1:4-9
9. Nayeri F, Shariat M, Dalili H, Adam LB, Mehrjerdi FZ, Shakeri

24 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Hubungan Jumlah Pemeriksaan Antenatal dengan Hasil
Kehamilan dan Persalinan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado

5 SKP

Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan.

No. Pernyataan B S
1 Sesuai dengan visi dan misi MDG’s, pemerintah menargetkan untuk menurunkan angka 
kematian ibu di tahun 2015 menjadi 105 per 100.000 kelahiran hidup.
2 Berdasarkan standard yang ditetapkan WHO dan direkomendasikan oleh Kementerian 
Kesehatan bahwa frekuensi kunjungan antenatal selama masa kehamilan adalah minimal
4 kali.
3 Pada tahun 2010, cakupan pelayanan antenatal kunjungan pertama (K 1) di Sulawesi  
Utara tercatat 91,09%. Sedangkan pelayanan antenatal hingga kunjungan keempat (K4)
sebesar 82,14%.
4 Menurut Taguchi, jumlah kunjungan antenatal kurang dari 4 kali selama periode  
kehamilan akan meningkatkan risiko kematian ibu.
5 Dari penelitian ini diperoleh hasil analisis statistik bahwa terdapat hubungan yang cukup 
signifikan antara frekuensi pemeriksaan antenatal kurang dari 4 kali dengan kejadian
perdarahan, hipertensi dan infeksi.
6 Hasil lain dari penelitian ini adalah ibu hamil dengan frekuensi pemeriksaan antenatal < 
4 kali memunyai risiko 2,047 kali melahirkan bayi dengan afiksia berat.
7 Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa BBLR lebih banyak terjadi pada ibu 
hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal lebih dari 4 kali.
8 Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) bisa menyebabkan 10 kali lebih banyak 
kematian neonatal.
9 Persalinan spontan lebih banyak dialami oleh ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal < 
4 kali. Sebaliknya, ibu hamil dengan pemeriksaan antenatal > 4 kali mengalami
persalinan dengan tindakan.
10 Selama bulan Januari-Juni 2012, tercatat ada sekitar 660 ibu hamil berisiko di RSUP 
Prof. Dr. R.D. Kandou, karena disertai dengan komplikasi seperti hipertensi perdarahan
dan infeksi.

KETERANGAN:
- Tandai (√) pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan sertifikat
jika jumlah jawaban benar ≥ 60%.
- Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi terbit.
- Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga jawaban
yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP.

CARA MENGIRIM JAWABAN:


- Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat gambar).
- Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke alamat
redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan lembar
medical@dexa-medica.com
biodata dan jawaban ke email manenda.rossi@dexa-medica.com.
- Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 25


26 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION 3 skp
RESEARCH

Perbandingan Kejadian Stroke Hemoragik Pada Isolated Systolic


Hypertension Dengan Non-Isolated Systolic Hypertension

Rosa De Lima Renita Sanyasi, Rizaldy Taslim Pinzon, Esdras Ardi Pramudita
SMF Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

ABSTRAK Kata Kunci: kejadian stroke, kasus kontrol, jenis hipertensi

Latar Belakang ABSTRACT


Salah satu faktor risiko yang paling berperan dalam kejadi-
an stroke, khususnya stroke hemoragik, adalah hipertensi. Background
Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood Hypertension is the most responsible risk factor for the in-
pressure (DBP), hipertensi dapat dibedakan menjadi isolat- cidence of stroke, especially hemorrhagic stroke. Based on
ed systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure
masih dapat dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic (DBP), hypertension can be classified into isolated systolic
hypertension (SDH) dan isolated diastolic hypertension (IDH). hypertension (ISH) and non ISH, which non ISH can be clas-
Hubungan antara kejadian stroke hemoragik pada ISH de- sified into systolic diastolic hypertension (SDH) and isolated
ngan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan diastolic hypertension (IDH). The relationship between the
penelitian lebih lanjut. incidence of hemorrhagic stroke in ISH and non ISH are con-
troverisal and require further research.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui per- Objective
bandingan kejadian stroke hemoragik pada ISH dengan non This study aimed to compare the incidence of hemorrhagic
ISH. stroke in ISH with non ISH.

Metode Methode
Penelitian menggunakan rancangan penelitian kasus kon- This study used an age and sex matched case-control study.
trol berpasangan berdasarkan rentang usia dan jenis kela- A total of 70 pairs subject were diagnosed stroke, ≥ 35 years
min. Penelitian ini melibatkan 70 pasang subjek penelitian of age, with a blood pressure SBP ≥ 140 mmHg and DBP <
yang didiagnosis stroke, berusia ≥ 35 tahun, serta memiliki 90 mmHg; SBP < 140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg; or SBP ≥
tekanan darah SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg and DBP ≥ 90 mmHg.
140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan
DBP ≥ 90 mmHg. Result and Disscusion
The most frequent risk factor in both group was hyper-
Hasil dan Pembahasan tension, especially SDH type of non ISH, 61 (87,1%) in case
Faktor risiko yang paling sering terjadi pada kelompok kasus group and 56 (80%) in control group. In bivariate analysis,
maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non the other significant risk factors are HDL < 40 mg/dL (OR:
ISH jenis SDH, sebesar 61 (87,1%) pada kelompok kasus dan 0,423; 95%, CI: 0,191–0,938, p: 0,032) and trigliseride > 150
56 (80%) pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat, mg/dL (OR: 0,450; 95% CI: 0,210–0,965, : 0,038). In multivari-
dua faktor risiko lain yang bermakna dalam menimbulkan ate analysis known that HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI:
kejadian stroke, yaitu HDL < 40 mg/dL (OR: 0,423; 95%, CI: 0,210–1,071, p: 0,073) and trigliseride > 150 mg/dL (OR:
0,191–0,938, p: 0,032) dan trigliserida > 150 mg/dL (OR: 0,450, 0,506; 95%, CI: 0,232–1,105, p: 0,087) are not an independent
95%; CI: 0,210–0,965, p: 0,038). Pada analisis multivariat dike- predictor factors on stroke incidence.
tahui bahwa HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%, CI: 0,210–1,071,
p: 0,073) dan trigliserida > 150 mg/d (OR: 0,506; 95%, CI: Conclusion
0,232–1,105; p: 0,087) bukan merupakan faktor prediktor in- There was no significant difference between incidence of
dependen terhadap kejadian stroke. hemorrhagic stroke in ISH and non ISH.

Kesimpulan dan Saran Key Word


Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non ISH tidak terda- stroke incidence, case-control, hypertension type
pat perbedaan yang signifikan.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 27


research

I. PENDAHULUAN

Stroke terdiri dari dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke hemoragik meli-
puti intracerebral hemorrhage (ICH) dan subarachnoid hemorrhage (SAH).1 Hipertensi merupa-
kan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian stroke hemoragik.2,3,4

Berdasarkan systolic blood pressure (SBP) dan diastolic blood pressure (DBP), hipertensi dapat
dibedakan menjadi isolated systolic hypertension (ISH) dan non ISH, dimana non ISH masih dapat
dibedakan menjadi dua yaitu systolic diastolic hypertension (SDH) dan isolated diastolic hyperten-
sion (IDH). Seseorang tergolong ISH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg, ter-
golong SDH apabila memiliki SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, dan tergolong IDH apabila
memiliki SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg.5 Hubungan antara kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke hemoragik
pada ISH dengan non ISH.

II. BAHAN DAN CARA

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Kelompok kasus merupakan
subjek penelitian dengan stroke hemoragik, sedangkan kelompok kontrol merupakan subjek
penelitian dengan stroke iskemik. Kelompok kasus akan dipasangkan dengan kelompok kontrol
berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin.

Penelitian melibatkan 70 pasang subjek penelitian yang didiagnosis stroke selama periode pe-
nelitian 6 Maret sampai 4 April 2014, yang diperoleh dari rekam medis diperoleh dari rekam medis
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Subjek penelitian diambil dengan cara pengambilan sampel
secara random sistematik. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) stroke hemoragik dan
stroke iskemik, (ii) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, (iii) usia ≥ 35 tahun, dan (iv) SBP ≥ 140
mmHg dan DBP < 90 mmHg; SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg; atau SBP ≥ 140 mmHg dan
DBP ≥ 90 mmHg. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi : (i) pasien pulang paksa dan (ii)
data rekam medis tidak lengkap. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Chi-Square
Tests yang diolah dengan program SPSS 16.0.

III. HASIL

Penelitian melibatkan 258 subjek penelitian yang didiagnosis stroke. Terdapat 76 (29,46%) subjek
penelitian yang dikeluarkan dari penelitian karena masuk dalam kriteria eksklusi penelitian dan
terdapat 182 (70,54%) subjek penelitian yang diambil. Dari 182 subjek penelitian, diambil 70 sub-
jek penelitian dengan stroke hemoragik dan 70 subjek penelitian dengan stroke iskemik. Tabel
1 menampilkan karakteristik dasar dari 70 pasang subjek penelitian. Faktor risiko yang paling
sering terjadi pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol yaitu hipertensi khususnya non
ISH jenis SDH. Faktor risiko lainnya, yaitu gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, kolesterol total > 200
mg/dL, LDL > 100 mg/dL, HDL < 40 mg/dL, dan trigliserida > 150 mg/dL lebih sering terjadi pada
kelompok kontrol daripada kelompok kasus.

28 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

Tabel 2 menunjukkan rata-rata nilai faktor risiko subjek penelitian. Tampak bahwa kelompok kasus
memiliki rata-rata tekanan darah dan kadar HDL yang lebih tinggi. Kelompok kontrol memiliki rata-
rata gula darah sewaktu, kolesterol total, LDL, dan trigliserida yang lebih tinggi.

Tabel 3 menunjukkan bahwa kejadian non ISH lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada per-
empuan, sedangkan kejadian ISH lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Ke-
jadian SDH memuncak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun. Kejadian IDH memuncak pada
rentang usia 56 sampai 60 tahun, sedangkan kejadian ISH memuncak pada rentang usia 61 sam-
pai 70 tahun.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 29


research

Hasil analisis bivariat yang tampak pada tabel 4 menunjukkan adanya dua faktor risiko yang ber-
makna dalam menimbulkan kejadian stroke hemoragik, yaitu HDL < 40 mg/dL dan trigliserida
> 150 mg/dL. Kedua faktor risiko yang bermakna tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat.

Hasil analisis multivariat yang tampak pada tabel 5 mengindikasikan bahwa kadar HDL dan tri-
gliserida bukan merupakan faktor prediktor independen terhadap kejadian stroke hemoragik.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stroke hemoragik pada SDH paling tinggi apa-
bila dibandingkan dengan jenis hipertensi lainnya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil dari
penelitian Fang et al. (2006) yang menyatakan bahwa pasien dengan SDH memiliki risiko stroke
yang paling tinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya6. Pernyataan tersebut bertentangan
dengan beberapa penelitian terdahulu. Rashid et al. (2003) menyatakan bahwa peningkatan
DBP sebesar 10 mmHg meningkatkan risiko kejadian stroke pertama sebesar satu setengah kali,7

30 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


research

sedangkan Klungel et al. (2000) dan Howard terjadi pada laki-laki daripada perempuan (5%
et al. (2013) menyatakan bahwa SBP memiliki berbanding 1,4%).
pengaruh yang lebih kuat dalam meningkat-
kan risiko stroke hemoragik daripada DBP.8,9 Kejadian SDH memuncak pada usia 65 sampai
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ke- 69 tahun pada pria dan 60 sampai 64 tahun
jadian stroke pada ISH dan IDH rendah. Hal ini pada wanita13. Dalam penelitian ini, tampak
bertentangan dengan pernyataan Qureshi et bahwa kejadian SDH terdapat pada rentang
al. (2002) yang menyatakan bahwa ISH memi- usia 40 sampai 85 tahun, kejadian memun-
liki pengaruh yang lebih kuat dalam kejadian cak pada rentang usia 61 sampai 65 tahun,
stroke iskemik maupun stroke hemoragik dan akan menurun setelah usia 75 tahun. Hal
dibandingkan dengan hipertensi diastolik.10 ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini
Pernyataan tersebut didukung oleh Nielsen et menyerupai penelitian terdahulu. Hipertensi
al (1997) yang menyatakan bahwa hipertensi jenis SDH lebih sering terjadi pada perem-
diastolik tidak signifikan dalam meningkatkan puan.5 Namun, dalam penelitian ini kejadian
risiko stroke.11 SDH lebih sering terjadi pada laki-laki dari-
pada perempuan (53,6% berbanding 30%).
Kejadian ISH pada laki-laki memuncak seiring Belum diketahui faktor yang menyebabkan
pertambahan usia hingga usia 75 tahun, se- perbedaan hasil penelitian ini.
dangkan pada perempuan memuncak antara
usia 65 hingga 74 tahun dan menurun setelah Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang
usia 75 tahun.12 Dalam penelitian ini, tampak tinggi berperan penting dalam pembentukan
bahwa kejadian ISH semakin meningkat seir- aterosklerosis yang akan memicu terjadinya
ing pertambahan usia. Kejadian ISH terdapat stroke, khususnya stroke iskemik.14,15 Hal terse-
pada rentang usia 46-85 tahun, dengan ke- but sesuai dengan hasil penelitian ini. Hasil
jadian yang paling banyak yaitu pada rentang penelitian menunjukkan bahwa proporsi sub-
usia 61 sampai 70 tahun dan kemudian akan jek penelitian dengan kadar LDL > 100 mg/dL
menurun setelah usia 71 tahun. Hipertensi (80% berbanding 77,1%) dan kolesterol > 200
jenis ISH lebih sering terjadi pada perempuan.5 mg/dL (51,4% berbanding 42,9%) pada kelom-
Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa ISH pok kontrol lebih tinggi daripada kelompok
lebih sering terjadi pada perempuan daripada kasus. Rata-rata kadar LDL (140,1 ± 44,5 ber-
laki-laki (5,7% berbanding 4,3%). Kedua hal banding 128,9 ± 42,7 mg/dL) dan kolesterol
tersebut menunjukkan bahwa hasil penelitian total (204,1 ± 53,9 berbanding 188,8 ± 45,6
ini menyerupai hasil penelitian terdahulu. mg/dL) pada kelompok kontrol lebih tinggi
daripada kelompok kasus. Dalam analisis bi-
Kejadian IDH pada pria dan wanita memuncak variat tidak tampak adanya hubungan yang
pada usia 35 hingga 49 tahun.12 Dalam peneli- bermakna antara kadar LDL > 100 mg/dL (OR:
tian ini, tampak bahwa kejadian IDH terdapat 0,645; 95%; CI: 0,282–1,476; p: 0,297) dan ko-
pada rentang usia 51 sampai 70 tahun, den- lesterol total > 200 mg/dL (OR: 0,708; 95%; CI:
gan kejadian memuncak pada rentang usia 56 0,364–1,379; p: 0,310) dengan kejadian stroke
sampai 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hemoragik.
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pene-
litian terdahulu. Belum diketahui faktor yang Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL
menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini. < 40 mg/dL meningkatkan risiko kejadian
Hipertensi jenis IDH lebih sering terjadi pada stroke secara keseluruhan, khususnya stroke
laki-laki.5 Hal tersebut sesuai dengan hasil pe- iskemik.16,17 Hal tersebut sesuai dengan hasil
nelitian ini dimana kejadian IDH lebih sering penelitian ini. Proporsi subjek penelitian

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 31


research

dengan kadar trigliserida > 150 mg/dL (35,7% Kekuatan penelitian adalah perbandingan
berbanding 20%) dan kadar HDL < 40 mg/ kejadian stroke hemoragik terhadap jenis-
dL (32,9% berbanding 17,1%) pada kelompok jenis hipertensi, yaitu non ISH, SDH, non ISH,
kontrol lebih tinggi daripada kelompok kasus. IDH dan ISH belum pernah dilakukan pada
Rata-rata kadar trigliserida (150,9 ± 111,3 ber- penelitian sebelumnya. Kelemahan peneli-
banding 115,2 ± 51,6 mg/dL) dan HDL (46,5 tian adalah desain penelitian kasus kontrol
± 12,2 berbanding 50,7 ± 13,1 mg/dL) pada yang digunakan dalam penelitian ini. Jumlah
kelompok kontrol juga lebih tinggi daripada sampel juga mempengaruhi hasil penelitian
kelompok kasus. ini, karena semakin besar sampel, hasil peneli-
tian akan semakin presisi. Penelitian ini juga
Hasil dari analisis bivariat menunjukkan adan- tidak melibatkan kelompok normal sebagai
ya hubungan yang bermakna antara kejadian pembanding, sehingga beda proporsi faktor
stroke hemoragik dengan kadar trigliserida risiko tidak berbeda jauh.
> 150 mg/dL (OR: 0,450; 95%; CI: 0,210–0,965,
p: 0,038) dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: V. KESIMPULAN
0,423; 95%; CI: 0,191–0,938, p: 0,032). Kadar
trigliserida > 150 mg/dL dan kadar HDL < 40 Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non
mg/dL dapat meningkatkan kejadian stroke ISH tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
hemoragik. Kedua faktor risiko yang bermak-
na tersebut diolah lebih lanjut dengan analisis
multivariat. Hasil dari analisis multivariat men- daftar pustaka
unjukkan bahwa kadar trigliserida > 150 mg/
dL (OR: 0,506; 95%; CI: 0,232–1,105; p: 0,087) 1. Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st
Century : A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart Associa-
dan kadar HDL < 40 mg/dL (OR: 0,475; 95%; tion/American Stroke Association. Stroke. 2013;44.
2. Keep, R.F., Hua, Y., & Xi, G. Intracerebral Haemorrhage: Mechanisms of Injury and Thera-
CI: 0,210–1,071; p: 0,073) bukan merupakan fak- peutic Targets. Lancet Neurol 2012. 2012;11:720–31.
3. Zia, E., Hedblad, B., Rasmussen, H.P., et al. Blood Pressure in Relation to the Incidence of
tor prediktor independen terhadap kejadian Cerebral Infarction and Intracerebral Hemorrhage : Hypertensive Hemorrhage: Debated
Nomenclature Is Still Relevant. Stroke. 2007;38: 2681-85.
stroke. Kadar trigliserida > 150 mg/dL dan 4. Iadecola, C. & Gorelick, P.B. Hypertension, Angiotensin, and Stroke: Beyond Blood Pres-
sure. Stroke. 2004;35:348-50.
kadar HDL < 40 mg/dL harus disertai dengan 5. Franklin, S.S., Pio, J.R., Wong, N.D., et al. Predictors of New-Onset Diastolic and Systolic

adanya faktor risiko lainnya agar dapat me- Hypertension : The Framingham Heart Study. Circulation. 2005;111:1121-7.
6. Fang, X.H., Zhang, X.H., Yang, Q.D., et al. Subtype Hypertension and Risk of Stroke in
nimbulkan kejadian stroke hemoragik. Middle-Aged and Older Chinese : A 10-Year Follow-Up Study. Stroke. 2006;37:38-43.
7. Rashid, P., Bee, J.L. & Bath, P. Blood Pressure Reduction and Secondary Prevention of
Stroke and Other Vascular Events : A Systematic Review. Stroke. 2003;34:2741-8.
8. Klungel, O.H., Kaplan, R.C., Heckbert, S.R., et al. Control of Blood Pressure and Risk of
Kadar gula darah yang tinggi merupakan fak- Stroke Among Pharmacologically Treated Hypertensive Patients. Stroke. 2000;31:420-4.
9. Howard, G., Cushman, M., Howard, V.J., et al. Risk Factors for Intracerebral Hemorrhage :
tor risiko yang lebih berpengaruh pada stroke The REasons for Geographic And Racial Differences in Stroke (REGARDS) Study. Stroke.
2013;44:1282-7.
iskemik daripada stroke hemoragik.11 Jumlah 10. Qureshi, A.I., Suri, M.F.K., Mohammad, Y., et al. Isolated and Borderline Isolated Systolic
Hypertension Relative to Long-Term Risk and Type of Stroke : A 20-Year Follow-Up of the
subjek penelitian dengan kadar gula darah se- National Health and Nutrition Survey. Stroke. 2002;33:2781-8.

waktu ≥ 200 mg/dL lebih banyak pada kelom- 11. Nielsen, W.B., Lindenstrøm, E., Vestbo, J., et al. Is Diastolic Hypertension an Independent
Risk Factor for Stroke in the Presence of Normal Systolic Blood Pressure in the Middle-
pok kontrol daripada kelompok kasus (18,6% aged and Elderly?. American Journal of Hypertension. 1997;10:634–9.
12. Yeh, C.J., Pan, W.H., Jong, Y.S., et al. Incidence and Predictors of Isolated Systolic
berbanding 12,9%). Rata-rata kadar gula darah Hypertension and Isolated Diastolic Hyeprtension in Taiwan. J Formos Med Assoc.
2001;100:668–75.
pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada 13. Van Rossum, C.T.M., van de Mheen, H., Witteman, J.C.M., et al. Prevalence, Treatment,
and Control of Hypertension by Sociodemographic Factors Among the Dutch Eldery.
kelompok kasus (156,7 ± 91,9 berbanding 144,5 Hypertension. 2000;35:814-21.
14. Porth, C.M. & Matfin, G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed.
± 64,4 mg/dL). Hasil analisis bivariat menun- Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p.512-5, 1318-21.
15. Tedgui, A. & Mallat, Z. Hypertension : A Novel Regulator of Adaptive Immunity in Ath-
jukkan bahwa kadar gula darah sewaktu ≥ erosclerosis? Hypertension. 2004;44:257-8.

200 mg/dL (OR : 0,647, 95% CI : 0,257–1,629, p 16. Soyama, Y., Miura, K., Morikawa, Y., et al. High-Density Lipoprotein Cholesterol and Risk
of Stroke in Japanese Man and Women: The Oyabe Study. Stroke. 2003;34:863-8.
: 0,353) tidak bermakna dalam meningkatkan 17. Asia Pasific Cohort Studies Collaboration. Triglycerides as a Risk Factor for Cardiovascu-
lar Disease in the Asia-Pasific Region. Circulation. 2004;110: 2678-86.
kejadian stroke hemoragik.

32 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


CONTINUING MEDICAL EDUCATION
PERBANDINGAN KEJADIAN STROKE HEMORAGIK
PADA ISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION DAN NON-
ISOLATED SYSTOLIC HYPERTENSION

3 SKP

Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda (√) di samping kanan.
No. Pernyataan B S
1 Seseorang dengan systolic blood pressure ≥ 140 mmHg dan diastolic blood pressure 
5 SKP
> 90 mmHg, tergolong ke dalam penderita Isolated Systolic Hypertension (ISH).
2 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian stroke 
hemoragik pada IDH dan non-IDH.
3 Berdasarkan Systolic Blood Pressure (SBP) dan Diastolic Blood Pressure (DBP),
hipertensi non-Isolated Systolic Hypertension (ISH) masih dapat dibedakan menjadi  
dua yaitu Systolic Diastolic Hypertension (SDH) dan Isolated Diastolic Hypertension
(IDH).
4 Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi stroke hemoragik dan iskemik, jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan), usia ≥ 35 tahun, SBP ≥ 140mmHg dan DBP < 90  
mmHg, SBP < 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg, atau SBP ≥ 140 mmHg dan DBP ≥ 90
mmHg.
5 Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pasien dengan Isolated Systolic Hypertension
(ISH) memiliki risiko stroke tertinggi dibandingkan tipe hipertensi lainnya, sesuai 
dengan hasil dari penelitian Fang et al. (2006).
6 Angka kejadian Isolated Systolic Hypertension (ISH) terbanyak pada penelitian ini
terdapat pada rentang usia 61 sampai 70 tahun, dan akan kembali menurun pada 
usia 71 tahun.
7 Dari hasil penelitian ini, kejadian Isolated Diastolic Hypertension (IDH) lebih sering 
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
8 
Kejadian stroke hemoragik pada ISH dan non-ISH terdapat perbedaan yang signifikan.
9 Kadar kolesterol serum dan kadar LDL yang tinggi beperan penting dalam
pembentukan aterosklerosis yang akan memicu terjadinya stroke, khususnya stroke 
iskemik.
10 Kelemahan penelitian ini adalah perbandingan kejadian stroke hemoragik terhadap
jenis-jenis hipertensi, yaitu non-ISH, SDH, IDH dan ISH yang belum pernah dilakukan 
pada penelitian sebelumnya.

KETERANGAN:
- Tandai (√) pada jawaban yang dipilih.
- Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
- Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di bagian atas dan akan mendapatkan
sertifikat jika jumlah jawaban benar ≥ 60%.
- Sertifikat akan dikirimkan setelah dokter mengerjakan setiap artikel CME dalam satu edisi
terbit.
- Masa berlaku kuis CME untuk setiap edisi adalah 3 tahun setelah artikel diterbitkan, sehingga
jawaban yang diterima melewati batas waktu tersebut, tidak akan memperoleh SKP.

CARA MENGIRIM JAWABAN:


- Lipat tiga bagian (secara horizontal) lembaran ini hingga berbentuk seperti amplop (lihat
gambar).
- Setelah dilipat tiga bagian, kirimkan lembaran kuis dan formulir biodata yang telah diisi ke
alamat redaksi MEDICINUS yang tertera di halaman selanjutnya. Atau bisa dengan cara menscan
medical@dexa-medica.com
lembar biodata dan jawaban ke email manenda.rossi@dexa-medica.com.
- Artikel dan kuis CME setiap edisinya juga bisa diakses langsung di http://cme.medicinus.co/.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 33


34 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014
Case report

Acute Limb Ischemic


Edwin Nugroho Njoto
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Internship doctor in Parama Sidhi General Hospital, Singaraja, Bali

ABSTRACT

Acute limb ischemic (ALI) is defined as a sudden decrease in limb perfusion that threatens the vi-
ability of the limb. Physical finding may include an absence of pulse distal to the occlusion, cool and
pale or mottled skin, reduced sensation, decreased strength and associated with ischemic stroke
and myocardial infarction.

A 41-year-old man came to ER with necrosis in the left and right cruris and pedis. Patient has visited
national heart center “Harapan Kita” and was diagnosed with acute limb ischemia. Duplex sono-
graphy femoralis, angiojet and percutaneous intra arterial thrombolysis were done 2 days after the
patient’s experienced symptoms. On the 3rd day after hospital admission he had the first amputa-
tion. On the 13rd day after hospital admission he had the second amputation. On the 19th day of
admission, patient was out of hospital.

Keyword: acute limb ischemic, necrotic, amputation

INTRODUCTION

The incidence of ALI is approximately 1,5 cases per 10.000 persons per year. Clinical events that
cause ALI include acute thrombosis of a limb artery or bypass graft, embolism from the heart or a
diseased artery, dissection, and trauma. (from severing of an artery or thrombosis). The clinical pre-
sentation is considered to be acute if it occurs within 2 weeks after symptom onset. The rapid onset
of limb ischemia results from a sudden cessation of blood supply and nutrients to the metabolic
active tissues of the limb, including skin, muscle, and nerves. 1,2

Acute limb ischemic is induced by atherosclerosis may threat viability of limbs. Damaged viability of
limbs may cause necrosis.1 Necrosis was one of the complications that can be happened. Here we
report a male patient with necrosis due to acute limb ischemic.

CASE PRESENTATION

A 41-years-old male came to ER complaining of swelling and pain in both calves and legs since
10 days before admission to hospital. Stabbing pain was felt in the upper tip of the calves. Pain
was felt when patient was walking and relieved when resting. In the beginning the pain was only
felt like a muscleache but then it got worse as the day goes on and was accompanied by swelling.
Edinburgh claudication questionnaire result shows positive claudication. Patient was a heavy
smoker (>2 packs/day). History of previous operation was denied. Patient’s Body Mass Index
(BMI) was 34,60 kg/m2. His elder brother had a heart failure. Patient had already visited National

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 35


CASE REPORT
Technology

Heart Center Harapan Kita to do duplex sono- lar takipneu (24 bpm), and febris (39 C). Labo-
graphy femoralis, arterography, angiojet and ratory result showed anemia(Hb: 8,7), leucosi-
percutaneous intra arterial thrombolysis 2 days tosis (WBC: 22,7), and low platelet (PLT: 70000),
after he began experiencing symptoms. But hipoalbumin (2,3). Bleeding time and clotting
there was bleeding with significant decrease time were normal. Gentamicin twice daily,
in hemoglobin and the lower extremity started whole blood transfusion 1 bag were added to
to necrosis, so the thrombolytic was stopped. his treatment. On 13rd day of admission the
Echocardiography was done in national heart second amputation was performed. Laboratory
center with result LV septal hyperthrophy, result showed anemia (Hb: 8,4), leucositosis
normal systolic and diastolic function, normal (WBC: 11,1), increase trombosit (PLT 494000). On
valve, and no thrombus. Electrocardiography 14th day of admission, postoperation laboratory
couldn’t be done due to necrosis on both legs studies showed anemia (Hb: 9,9), leucositosis
and calves From national heart center, he was (WBC: 21,4), increase thrombosit (PLT:466000),
given irbersatan 300 mg once daily, fibrat once increase in coagulation studies (aPTT 43,5s, PT
daily, alprazolam0,5 mg once daily, laxadine 3 26,2 s, INR 2,23).
times daily, pantoprazole twice daily, ceftria-
xone 2 gram once daily, tramadol drip in ringer On 19th day of admission, patient was out of
lactat 20 drop/minute, amlodipine 10 mg once hospital. He was treated with cilostazol twice
daily, allopurinol 100 mg 3 times daily, clopi- daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5
dogrel 75 mg once daily, paracetamol 500 mg mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three
3 times daily times a day, paracetamol 500 mg three times
a day, mefenamic acid three times a day, ce-
On physical examination, he was noted to have fadroxil three times a day.
a normal blood pressure (on antihypertensive
drug from National Heart Center Harapan Kita), DISCUSSION
normal heart rate, normal respiratory rate, and
slightly increased body temperature. Head and In this report, the writer presented a case of
neck exam was clear. Cardiovascular exam was acute limb ischemia. Patients with atheroscle-
normal. Lungs were clear, and abdominal exam rosis risk factors deserve special attention re-
was normal. Left pedis examination revealed garding their status for several reasons. First,
necrotic tissue above the knee, pus in the di- Despite urgent revascularization with throm-
giti I-V, blood, and no sensory sensation. Right bolytic agents or surgery, amputation occurs
pedis examintation revealed necrotic tissue be- in 10% to 15% of patients during hospitaliza-
low knee, oedema and bulla, and no sensation tion. A majority of amputations are above the
below knee. Laboratory studies showed anemia knee.2 Second, rates of death and complications
(Hb: 10), leucositosis (WBC: 16,8), slight increase among patients who present with acute limb
of BUN (BUN: 60), and high level of transami- ischemia are high. Approximately 15% to 20%
nase (AST/ALT: 200/273). Trombosit, creatinine, of patients die within 1 year after presentation,
random blood glucose and lipid profile were often from coexisting conditions that predis-
normal. On admission, the doctor suggested posed them to acute limb ischemia. Two years
amputation above knee on both legs but the following a below knee amputation, 30% are
patient refused. He was treated with ceftriaxon dead, 15% have an above knee amputation, 15%
twice daily, ketorolac three times a day, flavo- have a contralateral amputation, and only 40%
noid fraction three times a day, cilostazol twice have full mobility.2 Third, Since atherosclerosis
daily, warfarin once daily, amlodipin 5 mg once is a systemic disease, other disease can devel-
daily oped such as coronary artery disease and cer-
ebrovascular disease.2
On 3rd day of admission patient agreed to have
first amputation on the left limb. On physical In this patient, ALI was diagnosed based on:
examination he was takikardia (112 bpm), regu- 1. Symptoms were swelling and stabbing pain

36 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


CASE REPORT
Technology

Figure 1 Duplex sonography femoralis vein

Figure 2 Duplex sonography femoralis artery

Figure 3 Duplex sonography femoralis

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 37


CASE REPORT
Technology

in both calves and legs, felt when walking with thrombolysis is not effective in this pa-
and relieved when resting since 10 days be- tient because of bleeding with significant de-
fore admission to hospital. Edinburgh claudi- crease in hemoglobin and the lower extremity
cation questionnaire shows positive claudi- started to necrosis.
cation. Edinburg Claudication questionnaire
is a standardized method to screen and di- From Rutherford classification, ALI is divided to
agnose intermittent claudication with 80%- 3 stages:2
90% sensitivity and > 95% specificity.2,3 1. Stage I: Limb viable and not immediately
2. Risk factor in this patient were heavy smoker threatened
(> 2 packs/day), obesity (BMI: 34,60 kg/m2), 2. Stage II: Limb threatened
family history of cardiovascular disease. a. Stage IIa: Marginally threatened, salvage-
3. Duplex sonography femoralis result shows able if promptly treated.
that : b. Stage IIb: Immediately threatened, salvage-
a. Occlusion in the left illiaca artery with able with immediate revascularization
positive collateral in the communis femo- 3. Stage III: Limb irreversibly damaged, major
ralis artery tissue loss or permanent nerve damage in-
b. Occlusion from left superficialis femoral evitable.
artery until left posterior-anterior tibialis
artery. Due to his condition with necrosis cruris with
c. Occlusion in poplitea artery until distal Rutherford criteria stage III when the patient
right anterior tibialis artery with positive came to writer’s hospital, the patient was sug-
collateral on right posterior tibialis artery. gested to have amputation on both limbs.2 But
d. Deep vein thrombosis wasn’t found in he refused. Patient was given ceftriaxon twice
both legs. daily, ketorolac three times a day, flavonoid
fraction three times a day, cilostazol twice daily,
Angiojet and thrombolysis had already been warfarin once daily.
done to patient 2 days after patient experience
the symptoms. Angiojet catheter is approved Ceftriaxon was given to this patient because
by Food and Drug Administrations for treat- this third generation of cephalosporins has
ment of occlusions in peripheral arteries. An- broad spectrum effect to gram positive and
giojet thrombectomy catheter can be a useful gram negative bacteria and its bactericidal ef-
adjunct to thrombolysis. Angiojet catheter is fect.8 Ketorolac was given to this patient to re-
less effective in this patient because diameter duce the pain by inhibition of cyclooxygenase
of femoral artery occlusion > 1 cm.2-5 Endovas- (COX) pathway.9 Flavonoid fraction was given
cular therapy with thrombolysis is one of treat- to this patient because flavonoid fraction im-
ment option for patients presenting with lower proves venous tone and lymphatic drainage,
extremity ALI,3,6,7 but endovascular therapy and reduces capillary hyperpermeability by

38 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


CASE REPORT
Technology

protecting the microcirculation from inflamma- SUMMARY


tory processes.10 Cilostazol was given to this pa-
tient because this phosphodiesterase-3 inhibi- Diagnosis acute limb ischemic based on anam-
tor inhibits platelet aggregation and is a direct nesis, physical examination, and supporting
arterial vasodilator so it can reduce leg pain examination like doppler sonography. Risk fac-
caused by poor circulation (intermittent claudi- tor prevention, early identification, and prompt
cation).11 Amlodipine was given to this patient treatment of acute limb ischemic are important
to reduce blood pressure and for its peripheral to reduce complication.
arterial vasodilator effect to reduce myocardial
oxygen demand.12
daftar pustaka
On the 3rd day of admission, patient started
to develop sepsis as such patient agreed to 1. Creager M.A, Kaufman J.A, Conte M.S. Acute Limb Is-
do amputation. Gentamicin and whole blood chemic N Engl J Med 2012;366:2198-2206.
transfusion was added to patient’s treatment. 2. European Society Of Cardiology. ESC Guideline on the
diagnosis and treatment of peripheral artery disease. Eu-
Gentamicin was given to this patient because ropean Heart Journal 2011; 32: 2851-2906
gram negative bacterial infection was com- 3. Leng G, Fowkes F. The Edinburgh claudication question-
monly found in leg and this aminoglycoside an- naire: an improved version of the WHO/Rose question-
tibiotics sensitive to negative gram organism.13 naire for use in epidemiological surveys. J Clin Epidemiol
1992; 45: 1101-1109
Whole blood transfusion 1 bag was given to this 4. Lee M.S, Singh V., Wilentz J.R., Makkar R. Angiojet
patient because low level of haemoglobin (hb: thrombectomy. J Invasive Cardiol 2004; 16(10): 587-591
8,7 gr/dl). 5. Sharma S.K. Role of Angiojet Rheolytic thrombectomy
catheter:Mount Sinai Hospital experience. J Invasive Car-
diol 2010; 22(10) Supplemental issue.
On 13rd day of admission the second amputa- 6. Kashyap V.S, Gilani R, Bena J.F, Bannazadeh M., Sarah T.P.
tion was performed. Endovascular therapy for acute limb ischemic. Journal of
vascular surgery 2011: 53 (2): 340-346.
7. Morison H L. Catheter-directed thrombolysis for acute
On 19th day of admission, patient was out of limb ischemic. Semin Intervent Radiol. 2006; 23(3): 258-
hospital. He was treated with cilostazol twice 269
daily, Amlodipin 5 mg once daily, Perindopril 5 8. Chambers H.F. Antibiotik beta-laktam dan antibiotic lain
mg once daily, Flavonoid fraction 500 mg three yang aktif di dinding dan membrane sel. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.756-760
times a day, paracetamol 500 mg three times 9. Furst D.E, Urich R.W.Obat anti-inflamasi nonsteroid; obat
a day, mefenamic acid three times a day, ce- antireumatik pemodifikasi penyakit, analgesic non opi-
fadroxil three times a day. oid, dan obat yang digunakan pada gout. In: Katzung B.G.
Farmakologi dasar dan klinis. Jakarta 2010: EGC p.589-598
10. Katsenis K. Micronized purified flavonoid fraction
Perindopril was given to this patient because (MPFF): a review of its pharmacological effects, therapeu-
this ace inhibitor will reduced cardiovascular tic efficacy and benefits in the management of chronic
events by 25% in patients with symptomatic venous insufficiency. Curr vasc pharmacol 2005; 3(1): 1-9
peripheral arterial disease without known low 11. Shinohara Y, et all. Cilostazol for prevention of secondary
stroke (CSPS2): an aspirin-controlled, double blind, rand-
ejection fraction or heart failure.14 Mefenamic omized non-inferiority trial. The Lancet Neurology 2010;
acid was given as analgetic drug.9 Cefadroxil 9 (10). 959-968
was given to this patient to replace cepha- 12. Paramita D, Hindariati E. Peran Calsium Channel Blocker
pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hipertensi manaje-
losporine antibiotic from intravenous to oral
men komprehensif. Surabaya (2011): AUP p.252-270
drug.8 13. www.wikipedia.org (homepage on the internet). New
York: Wikimedia foundation (updated 2013 April). Avail-
Educate patient is important to prevent other able from: http://en.m.wikipedia.org/wiki/gentamicin.
14. Faujiah R, Lefi A. Peran Angiotensin converting enzyme
thromboembolic disease in this patient. Risk
inhibitor (ACEI) pada hipertensi. In: Pikir B. S., et all. Hi-
factors prevention such as reduce body weight, pertensi manajemen komprehensif. Surabaya (2011):
smoking cessation are important. Leg prothesis AUP p.203-217.
can be used in this patient to improve quality
of life.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 39


MEDICAL REVIEW
Technology

Pemilihan Antibiotik yang Rasional


Lukman Zulkifli Amin
PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo

ABSTRAK

Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-kasus infeksi. Masalah
global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak tepat indi-
kasinya. Beragam penyebab yang menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Dampak pada pengo-
batan adalah terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan
memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang optimal juga.

Kata kunci: antibiotik, rasional, aspek farmakologi, aspek penderita, aspek pejamu, pola pemilihan
antibiotik

PENDAHULUAN

Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama
63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi
bakteri.

Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan
juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan
perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya
adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang
berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2

Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga seba-
gai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Hal
ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah ke-
jadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol
terjadinya resistensi bakteri.3

Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau
secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat un-
tuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling
rendah”.5 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti-

40 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

biotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam da-
yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan rah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat
efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α).
obat dan meminimalkan terjadinya resistensi.6
Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka
1. Prinsip Kerja Antibiotik konsentrasi antibiotik akan menurun secara
perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang
Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu an-
maka terdapat tiga aspek yang saling berkaitan, tibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua
yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Peng- obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam
gunaan antimikroba secara prinsip berbeda keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase
dengan obat pada umumnya oleh karena target obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam
antimikroba adalah sel kuman sedangkan obat keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabili-
lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, tas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam
antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi sediaan dengan kadar obat dalam darah atau
infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi ka- jaringan disebut bioekuivalensi.7
dar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi
ke dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan den-
proses metabolisme bakteri sehingga bakteri gan albumin sebagai protein dominan dalam
tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun serum dan kemudian didistribusikan ke selu-
efek toksik pada sel host diharapkan seminimal ruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase
mungkin.7 antibiotik yang terikat secara reversibel ter-
hadap albumin serum digambarkan dengan
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipe-ngaruhi istilah protein binding. Obat kemudian akan
oleh berbagai faktor. Selain jenis antibiotik dan melepaskan diri dari ikatannya dengan albu-
spektrum antimikroba, aspek farmako-logis yaitu min, dan menembus beberapa membran sel
farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan sesuai dengan gradien konsentrasi dan menca-
faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik pai tempat infeksi lalu berikatan de-ngan pro-
mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan tein jaringan. Distribusi obat antara lain dipen-
ekskresi obat. Sedangkan aspek farmakodinamik garuhi oleh aliran darah, pH, protein bin-ding,
mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid, time- dan volume distribusi.7
dependent/concentration dependent dan post-an-
tibiotic effect (PAE) antibiotik.7 Pasca distribusi obat, obat kemudian akan
mengalami metabolisme oleh berbagai enzim
2. Aspek Farmakologis Antibiotik dan yang terpenting di antaranya adalah en-
zim sitokrom P450, sehingga pemberian obat-
2.1. Farmakokinetik obatan yang dapat meningkatkan atau meng-
hambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi
Farmakokinetik merupakan aspek yang menje- aktivitas antibiotik.7
laskan mengenai perjalanan dan apa yang terjadi
pada obat saat berada di dalam tubuh. Di anta- Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkat-
ranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme kan kelarutannya sehingga lebih mudah diek-
dan ekskresi.7 skresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif.
Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug,
Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan pe- enzim akan mengaktivasi obat tersebut men-
nyerapan obat di saluran cerna pada pemberian jadi bentuk yang aktif.7

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 41


MEDICAL REVIEW
Technology

Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh
dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk antibiotik golongan concentration dependent
metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat adalah quionolone dan aminoglycoside, sedang-
dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan kan contoh antibiotik golongan time dependent
ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat adalah beta-lactam.7
akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan
kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Beberapa golongan antibiotik masih dapat
Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui menunjukkan aktifitas dalam menghambat per-
keringat, liur, air mata, dan air susu.7 tumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya
lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut
2.2. Farmakodinamik post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh
jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri,
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja contohnya quionolone dan aminoglycoside yang
suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakte- terhadap kuman gram negatif.7
riostatik (menghambat pertumbuhan mikroba)
dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh 2.3. Cara Kerja Antibiotik
antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain
aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda-
kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin, beda dalam membunuh atau menghambat per-
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibio- tumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai
tik yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain antibiotik dibuat berdasarkan mekanisme kerja
chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, mac- tersebut, yaitu :
rolide, sulfonamide, tetracycline dan trimetho-
prim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid 1. Antibiotik yang menghambat sintesis din-
dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik ding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin,
dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat cephalosporin, carbapenem, monobactam dan
bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.7 vancomycin.
2. Antibiotik yang bekerja dengan merusak mem-
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk bran sel mikroorganisme. Antibitoik golong-
menghambat pertumbuhan atau membunuh an ini merusak permeabilitas membran sel
mikroba dikenal dengan istilah kadar ham- sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan dari
bat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal intrasel. Contohnya adalah polymyxin.
(KBM). Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat 3. Antibiotik yang menghambat sintesis pro-
tein mikroorganisme dengan mempengaruhi
dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya
subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini
(concentration dependent) dan terhadap waktu
menyebabkan terjadinya hambatan dalam
(time dependent). Pada antibiotik golongan
sintesis protein secara reversibel. Contohnya
concentration dependent maka semakin tinggi
adalah chloramphenicol yang bersifat bakteri-
kadar obat dalam darah maka semakin tinggi
sidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta
pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan
macrolide, tetracycline dan clindamycine yang
efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan
bersifat bakteriostatik.
menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh 4. Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S.
di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis Antibiotik ini menghambat sintesis protein dan
time dependent, selama kadarnya dapat diper- mengakibatkan kematian sel. Contohnya ada-
tahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa lah aminoglycoside yang bersifat bakterisidal.
kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat

42 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam gis disebabkan karena pengaruh antibiotik ter-
nukleat sel mikroba. Contohnya adalah ri- hadap flora normal di kulit maupun di selaput-
fampicin yang menghambat sintesis RNA selaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada
polimerase dan kuinolon yang menghambat penggunaan obat antimikroba berspektrum
topoisomerase. Keduanya bersifat bakteri- luas.8
sidal.
6. Antibiotik yang menghambat enzim yang Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan
berperan dalam metabolisme folat. Contoh- penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resist-
nya adalah trimethoprime dan sulfonamide. ant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokoli-
Keduanya bersifat bakteriostatik. tis yang berat dan yang membutuhkan pen-
gobatan intensif dapat juga disebabkan oleh
2.4. Kombinasi Antibiotik penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tet-
racycline dan obat antibiotik berspektrum luas
Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi lainnya.8
berat yang belum diketahui dengan jelas kuman-
kuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian 3. Aspek Mikrobiologik Kuman
kombinasi antimikroba ditujukan untuk menca-
pai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi
Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan bia-
untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk kan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum
menghambat timbulnya resistensi terhadap pemberian terapi, namun karena hasilnya mem-
obat-obatan antimikroba yang digunakan.8 butuhkan waktu lama maka terapi empirik da-
pat diberikan dengan panduan pemeriksaan
2.5. Efek Samping Antibiotik yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.7

Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi em-
atau biologis. Efek samping seperti paralisis res- pirik, data mikrobiologi khususnya mengenai
piratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin, pola kepekaan kuman dan data patogen resis-
gentamicin, tobramycin, streptomycin atau ami- ten di rumah sakit setempat merupakan hal
kacin secara intraperitoneal atau intrapleural. yang sangat penting. Pola kepekaan kuman
Erithromycin estolac sering menyebabkan he- yang berasal dari komunitas atau kuman no-
patitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin, sokomial terhadap tiap jenis antibiotik meru-
cotrimoxazole dan isoniazide potensial hema- pakan panduan untuk menentukan antibiotik
totoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloram- yang akan diberikan dalam terapi empirik. Se-
phenicol yang melampaui batas keamanan akan makin luas cakupan suatu antibiotik terhadap
menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat patogen akan meningkatkan probabilitas ke-
anemia dan neutropenia. Anemia aplastik se- berhasilan pengobatan.7
cara eksplisit merupakan efek samping yang
dapat mengakibatkan kematian pasien setelah Selain data mengenai pola kepekaan, data
pemakaian chloramphenicol.8 surveilans patogen resisten baik yang berasal
dari komunitas (misalnya penicillin resistance
Efek samping alergi terutama disebabkan oleh S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial
penggunaan penicilin dan cephalosporin. Kead- (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended
aan yang paling jarang adalah kejadian syok spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan
anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul pertimbangan dalam menentukan pilihan anti-
adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biolo- biotik.7

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 43


medical review

4. Aspek Penderita pat menurunkan efektifitas obat dan memper-


berat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik
Beberapa aspek dari penderita perlu diperha- seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate De-
tikan dalam pemberian antibiotik, antara lain hydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan
derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, anemia hemolitik pada pemberian antibiotik
faktor genetik, penyakit komorbid, status imu- tertentu seperti chloramphenicol dan sulfona-
nitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat mide.7
alergi dan faktor sosio ekonomi.7
Status imunitas baik imunitas selular maupun
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu humoral pada penderita harus menjadi per-
diperhatikan berat ringannya infeksi dari ge- timbangan dalam pemilihan jenis antibiotik.
jala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta Pada penderita yang imunokompeten, antibio-
status imunitas penderita. Pada infeksi ringan, tik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup
pemberian antibiotik tidak perlu diberikan efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu,
seketika. Penundaan pemberian antibiotik jus- sedangkan pada pasien dengan penurunan
tru akan memberikan kesempatan kepada tu- status imun, pada infeksi yang sama mungkin
buh untuk merangsang timbulnya mekanisme diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal
kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang untuk mengatasinya.7
berat dan atau telah berlangsung lama, terapi
antibiotik dapat segera dimulai.7 Adanya kehamilan dan laktasi akan mempen-
garuhi pemilihan antibiotik karena bebera-
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimban- pa antibiotik dapat menembus sawar darah
gan pemberian antibiotik seperti organ yang plasenta dan masuk ke peredaran darah janin
memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
atau organ yang memiliki sawar khusus sep- seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu
erti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut, hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibio-
yang dapat menembus lapisan tersebut se- tik. Demikian pula dengan laktasi, karena be-
hingga obat dapat bekerja secara efektif. Se- berapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam
lain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu
yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga maupun janin harus diperhatikan untuk meng-
dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik hindari efek yang tidak diinginkan.7
sehingga diperlukan tindakan seperti pember-
sihan luka insisi dan sebagainya sebelum anti- Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat
biotik diberikan.7 harus pula diperhatikan lama dan interval pem-
berian obat, sehubungan dengan jumlah obat
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut
pemberian antibiotik. Pada neonatus karena merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari
kerja berbagai organ seperti hepar dan gin- suatu penyakit.7
jal yang belum sempurna akan meningkatkan
risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian 5. Pola Pemberian Antimikroba
pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan
berbagai fungsi organ karena proses penuaan.7 Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka anti-
biotik dapat diberikan berdasarkan beberapa
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, in-
atau ginjal juga harus diperhatikan karena da- terventif, omnisprektif dan profilaktif.8

44 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


medical review

Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap an-
tibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit.
Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan
tepat.8

Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasar-
kan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi
pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan
kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.8

Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol
pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang dida-
pat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan
pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal
sebagai terapi antimikrobial interventif.8

Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya
dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi
pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8

Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada sese-
orang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.8

KESIMPULAN

Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan peng-
hentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan ter-
jangkau harganya oleh pasien.7,8

daftar pustaka
1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Re- thesis of recommendation by expert policy groups-
sistance Development and Persistence. Drug Resistance Alliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2001.
Updates 2000;3.303-311. 6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Ad-
2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Peng- ministrator XIX 2006.
gunaan Antibiotik di RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo 7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi
Periode November 2011 – Januari 2012 dan Maret – Mei Komunitas. Dalam : Setiati et al. Naskah Lengkap Per-
2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012. temuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta
3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
& Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55.
International Edition. McGraw-Hill. New York 2008:707- 8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional
797. Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Pen-
4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd yakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua
edition. Boca Raton, FL:CRC Press 2008:46. 2010:2896-2900.
5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn-

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 45


medica l review

Probiotik:
Problematika dan Progresivitasnya
Dito Anurogo
Indonesian Young Health Professional's Society (IYHPS)
www.detik.com Jakarta dan Klinikkita Semarang

ABSTRACT ABSTRAKSI

Probiotics are live microorganisms which when Probiotik adalah mikroorganisme hidup bila
administered in adequate amounts confer a diberikan di dalam jumlah yang cukup mem-
health benefit on the host. Their beneficial berikan manfaat bagi kesehatan tubuh. Efeknya
health effects are indubitable. terhadap kesehatan adalah pasti.

The purpose of this scientific article is to review Tujuan artikel ilmiah ini adalah untuk meninjau
probiotics, including: history, criteria, sources, probiotik, termasuk: sejarah, kriteria, sumber-
mechanisms of action, benefits, side-effects, sumber, mekanisme aksi, manfaat, efek samp-
contraindications, and dosages. ing, kontraindikasi, dan dosis.

Key words: Kata Kunci:


probiotics, sources, benefits, effects. probiotik, sumber-sumber, manfaat, efek.

I. PENDAHULUAN

Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan makanan dimana saat diambil pada ka-
dar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan (equilibration) flora usus, dan karena
itu memiliki efek positif terhadap kesehatan tubuh. Probiotik dipilih dari strains yang paling ber-
manfaat untuk bakteri usus, yaitu bakteri dari genus Bifidobacterium, Lactobacillus, dan ragi.1

Menurut ILSI International Life Sciences Institute (ILSI) Europe Working Group, probiotik adalah
suplemen makanan dari mikroba hidup yang memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan in-
ang (host).2

Menurut WHO dan FAO (2002), mikroorganisme hidup dimana bila diberikan di dalam jumlah
yang cukup memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh.3 Dari berbagai definisi ini, probiotik hen-
daklah tidak diacu sebagai agen biotherapeutic.4

46 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

Perlu diketahui pula, bahwa meskipun sering gastrointestinal pada pH rendah dan ber-
digunakan sebagai sinonim, istilah "probio- hubungan dengan empedu.
tik" tidaklah sama dengan "makanan probio- 2). Melekat ke sel-sel epitel usus.
tik" (probiotic foods). Makanan probiotik me- 3). Stabil terhadap mikroflora usus.
ngandung mikroorganisme probiotik hidup di 4). Non-pathogenicity.
dalam matrix yang memadai dan konsentrasi 5). Bertahan hidup di dalam bahan makanan
yang cukup, sehingga setelah proses pencer- dan berkemungkinan untuk produksi phar-
naannya, efeknya akan melebihi penyedia zat macopoeia lyophilized preparations.
gizi yang biasanya.5 6). Multiplikasi cepat, baik dengan kolonisasi
temporer atau permanen dari traktus gas-
Mengacu ke berbagai referensi, istilah “probi- trointestinal.
otics” dapat dianggap bersinonim dengan isti- 7). Memiliki specificity probiotik yang generik.
lah “probiotic microorganisms” atau “probiotic
bacteria”. Selain itu, ada berbagai faktor utama untuk
dipertimbangkan dan dapat mempengaruhi
Di dalam artikel ini, akan dibahas berbagai kemampuan probiotik untuk bertahan hidup
problematika dan progresivitas (kemajuan) di dalam produk-produk makanan atau minu-
probiotik yang meliputi multiaspek, seperti: man, diantaranya:8
sejarah, kriteria, sumber, mekanisme kerja,
manfaat, efek samping, kontraindikasi, dosis 1. Kondisi fisiologis dari probiotik yang ditam-
probiotik yang telah kami review. bahkan;
2. Kondisi fisik dan kimiawi dari proses ma-
II. PEMBAHASAN kanan;
3. Kondisi fisik dari penyimpanan makanan
a. Sejarah Probiotik (misal: suhu);
4. Komposisi kimiawi dari produk (keasaman,
Istilah “probiotics” diciptakan pada tahun kandungan gizi, kelembaban, dan oksigen)
1950-an oleh W. Kollath,6 sedangkan Lilly dan 5. Interaksi dengan komponen-komponen
Stillwell pada tahun 1965 menggunakan isti- produk lainnya (penghambat atau protek-
lah ini untuk bakteri dan spora hidup sebagai tif )
makanan tambahan pada hewan (animal feed
supplements) yang membantu membatasi Probiotik dapat ditambahkan ke dalam ma-
penggunaan antibiotik pada peternakan he- kanan dan minuman dengan berbagai macam
wan.7 cara, seperti:9
a. Campuran kering (dry blended) menjadi ma-
b. Kriteria Probiotik kanan dan bubuk (powders) seperti: formula
bayi.
Tidak semua mikroorganisme dapat digolong- b. Dijadikan (dispersed) menjadi produk cair
kan sebagai probiotik. Kriteria mikroorga- atau semiliquid misalnya: jus atau es krim.
nisme ideal yang dapat dimasukkan ke dalam c. Disuntikkan (inoculated) menjadi produk
kelompok probiotik adalah:1 terfermentasi seperti: yogurt dan susu ter-
fermentasi.
1). Dapat bertahan hidup melalui traktus

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 47


MEDICAL REVIEW
Technology

c. Sumber Probiotik

Berbagai mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai probiotik antara lain:10-14. Bakteri Lac-
tobacillus species, misalnya: L. acidophilus, L. casei, L. crispatus, L. fermentum, L. gasseri, L. johnsonii,
L. lactis, L. paracasei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus GG, Lactobacillus delbrueckii sub-species
bulgaricus.

Bifidobacterium species, misalnya: B. adolescentis, B. animalis, B. bifidum, B. breve, B. infantis, B.


lactis, B. longum. Bacillus cereus, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Escherichia coli Nissle,
Streptococcus thermophilus.

Ragi Saccharomyces boulardii.

Kultur probiotik berupa mikroorganisme jamur (fungi) yang telah disetujui dan direkomendasi-
kan oleh State Food and Drug Administration (SFDA) antara lain: Candida utilis, Ganoderma luci-
dum, Ganoderma sinensis, Ganoderma tsugae, Hirsutella hepiali Chen et Shen, Kluyveromyces lactis,
Monacus anka, Monacus purpureus, Paecilomyces hepiali Chen et Dai sp.Nov, Saccharomyces cerevi-
siae, Saccharomyces carlsbergensis.

d. Mekanisme Kerja Probiotik

Probiotik memiliki multiperan dan multifungsi. Diantaranya: memiliki aktivitas antimikroba, yai-
tu: menurunkan pH luminal, mensekresikan peptida antimikroba, menghambat invasi bakteri,
menghalangi pelekatan bakteri di sel-sel epitel. Penguatan fungsi barier, berupa: peningkatan
produksi mukus dan meninggikan integritas barier. Imunomodulasi, maksudnya probiotik me-
miliki efek pada sel-sel epitel, sel-sel dendrit, monosit atau makrofag, limfosit (limfosit B, sel-sel
Natural Killer, sel-sel T, redistribusi sel T).15

48 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

Gambar 1. Mekanisme aksi probiotik yang disederhanakan. Inhibisi bakteri enterik dan
peningkatan fungsi barrier oleh bakteri probiotik. Representasi skematis dari crosstalk antara
bakteri probiotik dan mukosa intestinal.15

Antimicrobial

Lactic acid bacteria (LAB) adalah probiotik yang setelah diobservasi; memproduksi substansi an-
timicrobial. Substansi anti mikrobial yang diproduksi secara luas adalah asam organik, terutama
asam laktat dan asam asetat. Hydrogen peroxide dan carbon dioxide juga secara luas oleh LAB. Jika
probiotik LAB secara metabolis aktif selama perjalanan melalui usus (intestine), sangatlah mungkin
bahwa beberapa dari substansi ini akan diproduksi. Beberapa indikasi diperlukannya LAB bermula
dari observasi bahwa konsumsi strains probiotik tertentu mengurangi pH (keasaman) tinja, kemu-
dian menunjukkan atau menandakan produksi asam-asam organik. Produksi berbagai komponen
antimicrobial lainnya; diacetyl, reuterine, pyroglutamic acid, dan bacteriocin, belum tentu dilakukan
dalam kondisi in vivo. Bacteriocin diproduksi dan aktif di rongga mulut, bukan di usus.16

Immunemodulation

Modulasi respon imun sistemik dan sekretori17 telah dibuktikan pada tikus dan hewan coba (experi-
mental animals) lainnya. Inhibisi translokasi bakteri;18 peningkatan proliferasi pada organ sistem
imun (Peyer’s patches, limpa); stimulasi fagosit atau makrofag dan sel-sel NK (natural killer cells);19-21
meningkatnya pelepasan atau pembebasan sitokin (interferon alpha, interferon gamma, dan INF-

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 49


MEDICAL REVIEW
Technology

alpha); perubahan keseimbangan Th1/Th212 ke arah alergi/atopi,22-24 meningkatkan produksi


antibodi spesifik,25-26 dan meningkatkan resistensi dan ketahanan hidup yang memanjang (pro-
longed survival) selama co-administration virus, toksin, dan bakteri (rotavirus, Klebsiella pneu-
moniae, Salmonella thyphimurium, Shigella, Vibrio cholerae, Listeria monocytogenes). Efek serupa
yang menggunakan parameter imunitas humoral dan selular juga telah terbukti pada manusia.

e. Manfaat Probiotik

Mikroorganisme probiotik memiliki multimanfaat, diantaranya:

1. Kehadiran S. epidermidis dapat mempengaruhi fungsi barrier kulit dan/atau perkembangan


respon imun bawaan di kulit manusia.27
2. Perbaikan signifikan pada perjalanan dermatitis atopik telah dilaporkan pada bayi yang di-
beri diet eliminasi probiotic-supplemented.28-29
3. Aplikasi topikal Vitreoscilla filiformis bermanfaat pada penderita dermatitis seboroik dan at-
opic eczema.30-31
4. Perbaikan kondisi penderita diare yang disebabkan oleh antibiotik dan beberapa infeksi.
Mengurangi kadar bakteri yang mendukung perkembangan kanker usus. Perbaikan geja-
la-gejala penderita IBS (inflammatory bowel disease) dan infeksi karena Helicobacter pylori.
Mencegah atau mengurangi proses atopik pada anak-anak. Mencegah berbagai penyakit
saluran pernafasan. Mengurangi hiperkolesterolemia.32
5. Anak-anak dengan diare akut rotavirus yang diberi Lactobacillus rhamnosus strain GG (LGG)
maka respon terhadap IgA, imunoglobulin G, dan imunoglobulin M akan meningkat, se-
hingga durasi terjadinya simtom gastroenteritis menjadi memendek.33
6. Organisme probiotik memiliki resistensi yang lebih besar terhadap berbagai infeksi usus ka-
rena menghambat pertumbuhan bakteri patogen daripada yang bukan probiotik.34
7. Probiotik yang mengandung Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus dire-
sepkan pada anak dengan diare rotavirus, menghasilkan serokonversi yang lebih cepat di
dalam antibodi IgA dan IgM disertai dengan pertumbuhan sel-sel yang memproduksi IgM.35
8. Lactic acid bacteria meningkatkan kadar kelompok vitamin B, dan bakteri di yogurt mening-
katkan kadar asam folat, niasin, dan riboflavin hingga 20 kali lipat.36
9. Probiotik mensintesis vitamin K, kelompok vitamin B, asam lemak rantai pendek sitoprotektif,
dan poliamin (putrescine, spermine, dan spermidine).37
10. Mikroflora intestinal berperan penting di dalam sirkulasi estrogen pada wanita, memobi-
lisasi ikatan estrogen, dan mengurangi kelebihan hormon-hormon seks.38
11. Memproduksi vitamin larut air, seperti: thiamine, nikotin, asam folat, pridoksin, vitamin B12.
Hal ini dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. bifidum, B. infantis, B. breve, B. adolescen-
tis, B. longum.39

50 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

12. Probiotik menurunkan kadar kolesterol pada kondisi hypercholesterinemic, sedangkan


reduksi kadar trigliserid plasma terobservasi pada orang dengan kondisi normolipidemic.40
13. Memproduksi biotin. Hal dilakukan oleh probiotik tertentu seperti: B. adolescentis M101-4, B.
bifidum A234-4, B. breve I-53-8, B. infantis I-10-5, B. longum M101-2.41
14. L. acidophilus SBT2062 meningkatkan bioavailability zat besi (iron).42
15. L. reuteri 100-23, L. delbrueckii 100-18, L. fermentum 100-20, L. delbrueckii 100-21, E. faecium,
E. faecalis mendekonjugasi garam empedu (asam taurocholic dan asam taurodeoxycholic)
melalui mekanisme mengurangi aktivitas garam hydrolase garam empedu di ilea.43
16. Lactobacillus plantarum meningkatkan kadar asam lemak unsaturated omega-3 di dalam
bahan makanan.44
17. Yogurt bermanfaat untuk mencerna sebagian laktosa di susu melalui mekanisme mening-
katkan aktivitas laktase di susu dan di duodenum serta mengurangi gangguan pencernaan
(maldigestion) laktosa.45
18. Beberapa manfaat probiotik lainnya, antara lain: reduksi (mengurangi) konsentrasi enzim
pemicu kanker (cancer-promoting enzymes) dan/atau metabolit putrefactive (bacterial) di
usus. Mencegah, mengurangi, meringankan keluhan traktus gastrointestinal pada orang se-
hat yang tidak teratur dan tidak spesifik. Menormalkan (normalization) buang air besar pada
penderita obstipasi atau irritable colon. Mencegah terjadinya infeksi traktus respiratorius
(misalnya: common cold, influenza) dan berbagai penyakit infeksi lainnya.46
19. Molekul mikroba tunggal dari Bacterial fragillis telah menunjukkan aktivitasnya sebagai
pelindung dari penyakit inflamasi yang disebabkan oleh Helicobacter hepaticus, sehingga
hal ini mensugesti bahwa molekul antiinflamasi alami dari bacteria microbiota dapat se-
cara aktif meningkatkan kesehatan manusia, dan mungkin berpotensi sebagai terapi untuk
gangguan inflamasi pada manusia.47 Inflamasi ini dapat dijelaskan dengan teori dysbiosis.
Menurut teori dysbiosis, terdapat gangguan (breakdown) keseimbangan antara spesies puta-
tive (diduga berasal dari) bakteri intestinal yang bersifat “protective” versus bakteri intestinal
yang bersifat “berbahaya" (harmful) yang memicu terjadinya inflamasi intestinal kronis.48

f. Efek Samping Probiotik

Pada beberapa kasus, pneumonia dan endocarditis dilaporkan terjadi karena pengaruh bakteri
Lactobacillus. Begitu pula kasus infeksi jamur nonsimtomatis yang disebabkan oleh Saccharomy-
ces boulardii.49,50

g. Kontraindikasi Probiotik

Ada kondisi (medis) tertentu dimana probiotik bukan pilihan tepat. Probiotik mengandung mik-
roorganisme hidup sehingga ada peluang terjadi infeksi patologis, terutama pada penderita

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 51


MEDICAL REVIEW
Technology

yang kritis atau penderita dengan immunocompromized yang berat.51 Probiotic strains Lactoba-
cillus dilaporkan menyebabkan bacteremia pada pasien dengan short-bowel syndrome.52

Preparat Lactobacillus dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap lakto-


sa atau susu. S. boulardii dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi ragi. Pada bifidobacteria,
tidak ada kontraindikasi karena sebagian besar spesies ini nonpatogenik dan nontoksigenik.53-56

h. Dosis Probiotik

Dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor, seperti:57

1. Dosis harian (107–1010 cfu);


2. Keberlangsungan hidup (viability);
3. Frekuensi pemberian setiap harinya (1-4 kali/hari);
4. Durasi (lama) pemberian (1 hari hingga beberapa bulan);
5. Waktu mengkonsumsi (sebelum, bersamaan, atau sesudah makan);
6. Tipe probiotik (lactobacilli, bifidobacteria, yeasts, enterococci);
7. Sediaan (berupa: suplemen, makanan terfermentasi, makanan, minuman, kapsul, tablet, atau
tepung).

Untuk kasus candidiasis vulvovaginal, digunakan Lactobacillus rhamnosus GG (109 bakteri per
suppositoria 2 x sehari selama 7 hari).58 L. rhamnosus GR-1 dan Lactobacillus fermentum RC-14
(setidaknya 109 bakteri tersuspensi di susu skim diberikan secara oral 2x sehari selama 14 hari).59
L. acidophilus dengan dosis 8 oz yogurt mengandung > 108 CFU/mL diminum setiap hari selama
6 bulan.60

Untuk pencegahan penyakit atopik, dipakai Lactobacillus rhamnosus GG, dengan dosis 1010 CFU
setiap hari selama 2-4 minggu sebelum persalinan berlangsung pada wanita hamil, diikuti den-
gan pemberian pada bayinya selama 6 bulan.61

Pada kasus atopic eczema, strain Lactobacillus rhamnosus yang tidak hidup (nonviable) tidak efek-
tif untuk mengurangi gejala, sedangkan strain yang hidup (viable) efektif.62,63 Insiden atopic ec-
zema pada bayi berusia dua dan empat tahun yang berisiko menderita atopic eczema berkurang
sekitar 50% melalui pemberian L. rhamnosus pada ibunya, satu bulan sebelum melalui enam
bulan setelah proses persalinan atau kelahiran (bayi), atau langsung ke bayinya sendiri.64-66 Riset
lain menunjukkan beberapa bukti bahwa penambahan probiotik seperti Lactobacillus berman-
faat untuk kasus atopic eczema pada mereka yang menjalani diet cows’-milk-whey-hydrolysate.67,68

52 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


MEDICAL REVIEW
Technology

Terapi dengan probiotik (jenis Lactobacillus GG) tidak bermanfaat pada semua bayi dengan at-
opic eczema/dermatitis syndrome (AEDS). Lactobacillus GG hanya bermanfaat meringankan geja-
la AEDS bayi yang tersensitisasi IgE, namun bukan bayi yang tidak tersensitisasi IgE. Efek lactoba-
cilli terlihat 4 minggu setelah periode terapi, tidak segera setelah terapi. Riset lain menunjukkan
pada anak dengan AEDS menunjukkan Lactobacillus GG meningkatkan konsentrasi IL-10 di sera
4 minggu setelah terapi.69,70

Pada kasus acne, suplemen oral yang mengandung L. acidophilus dan B. bifidum (250 mg) efektif
sebagai adjuvant.71 Pilihan lain yaitu suplementasi tablet Laxtinex yang mengandung campuran
L. acidophilus dan L. bulgaricus selama 8 hari, diikuti 2 minggu membersihkan wajah (wash out)
lalu dikonsumsi lagi selama 8 hari.72 Konsumsi minuman probiotik yang mengandung Lactoba-
cillus dan lactoferrin (protein susu antiradang) efektif mengurangi lesi inflamasi dan produksi
sebum. Mekanisme kerjanya dengan membebaskan inflammatory cytokine di dalam kulit dan
mengurangi interleukin-1 alpha.73

Dosis probiotik bervariasi tergantung produk dan indikasi penyakit. Memang belum ada kon-
sensus atau guideline yang pasti tentang jumlah minimum organisme yang harus dikonsumsi
untuk mendapatkan khasiat yang maksimal dan optimal.74,75

III. KESIMPULAN

Probiotik adalah mikroorganisme hidup di dalam bahan (suplemen) makanan dimana saat di-
ambil pada kadar tertentu sebagai nutrisi, menyediakan penyeimbangan flora usus, dan karena
itu berefek positif terhadap kesehatan, bila diberikan di dalam jumlah yang cukup. Istilah “pro-
biotics” diciptakan pada tahun 1950-an oleh W. Kollath. Hanya mikroorganisme yang memenuhi
kriteria sebagai mikroorganisme ideal yang termasuk kelompok probiotik.

Probiotik dapat ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dengan teknik tertentu. Berba-
gai mikroorganisme sebagai sumber probiotik adalah berasal dari bakteri Lactobacillus species,
Bifidobacterium species, ragi Saccharomyces boulardii, dan jamur. Probiotik memiliki multiperan,
multifungsi, dan multimanfaat, misalnya: antimikroba, imunmodulasi. Meskipun aman, namun
ada beberapa efek samping dan kontraindikasi pemakaian probiotik yang perlu diwaspadai.
Adapun dosis efektif probiotik dipengaruhi oleh multifaktor.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 53


daftar pustaka
1. Tomasik PJ, Tomasik P. Probiotics and Prebiotics. Cereal Chem 2003;80(2):113-117.
2. Salminen S, Bouley MC, Boutron-Rualt MC, et al. Functional food science and gastroin-
testinal physiology and function. Br. J. Nutr. 1998; 80 (Suppl. 1): 147–171.
3. FAO, UN, WHO. Guidelines for the evaluation of probiotics in food: report of a Joint FAO/
WHO Working Group. London, Ontario, Canada: Food and Agriculture Organization of
the United Nations and World Health Organization; 2002.
4. McFarland LV, Elmer GW. Biotherapeutic agents: past, present and future. Microecol.
Ther. 1995;23:46–73.
5. Probiotische Mikroorganismenkulturen in Lebensmitteln. Abschlussbericht der Arbe-
itsgruppe “Probiotische Mikroorganismen in Lebensmitteln” am Bundesinstitut für ge-
sundheitlichen Verbraucherschutz und Veterinärmedizin (BgVV), Berlin. In: Ernährungs-
Umschau 2000;47:191–195.
6. Kollath W. The increase of the diseases of civilization and their prevention. Münch Med
Wochenschr 1953;95:1260–1262.
7. Lilly DM, Stillwell RH. Probiotics growth promoting factors produced by micro-organ-
isms. Science 1965;147:747–748.
8. Crittenden R. Incorporating Probiotics into Foods. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook
of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.6:p.61.
9. Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley
& Sons, Inc.,New Jersey.2009; Chapter 1.6.1:p.60.
10. Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
11. Senok AC, Ismaeel AY, Botta GA. Probiotics: facts and myths. Clin Microbiol Infect.
2005;11:958-66.
12. Santosa S, Farnworth E, Jones PJ. Probiotics and their potential health claims. Nutr Rev.
2006;64:265-74.
13. Doron S, Gorbach SL. Probiotics: their role in the treatment and prevention of disease.
Expert Rev Anti Infect Ther. 2006;4:261-75.
14. Regulation on Registration and Review of Probiotic Health Foods, 2005; Ministry of
Health, PRC. Available at: http://www.sfda.gov.cn/cmsweb/webportal/W945325/
A64003018_1.html.
15. Ng SC, Hart AL, Kamm MA, Stagg AJ, Knight SC. Mechanisms of Action of Probiotics:
Recent Advances. Inflamm Bowel Dis 2009;15:300-310.
16. Ouwehand AC, Kirjavainen PV, Shortt C, Salminen S. Probiotics: mechanisms and estab-
lished effects. International Dairy Journal 9 (1999);9:43-52.
17. Rechkemmer G, Holzapfel W, Haberer P, Wollowski I, Pool-Zobel BL, Watzl B. Beeinflus-
sung der Darmflora durch Ernährung. In: Deutsche Gesellschaft für Ernährung. Er-
nährungsbericht 2000. Druckerei Heinrich, Frankfurt am Main, Germany, 2000;259–286.
18. Yamazaki S, Tsuyuki S, Akashiba H, Kamimura H, Kimura M, Kawashima T, Ueda K. Im-
mune response of Bifidobacterium-monoassociated mice. Bifidobact Microflora
1991;10:19–31.
19. Gill SH, Rutherford J, Cross L, Gopal PK Enhancement of immunity in the elderly by di-
etary supplementation with the probiotic Bifidobacterium lactis HNO 19. Am J Clin Nutr

54 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


74:833–839.
20. Jahreis G, Vogelsang H, Kiessling G, Schubert R, Bunte C, Hammes WP. Influence of
probiotic saucage (Lactobacillus paracasei) on blood lipids and immunological pa-
rameters of healthy volunteers. Food Res Int 2002;35:133–138.
21. Kitazawa H, Ino T, Kawai Y, Itoh T, Saito T (2002) A novel immunostimulating aspect
of Lactobacillus gasseri: induction of “Gasserokine” as chemoattractants for mac-
rophages. Int J Food Microbiol 25:29–38.
22. Cross ML, Mortensen RR, Kudsk J, Gill HS. Dietary intake of Lactobacillus rhamnosus
HN001 enhances production of both Th1 and Th2 cytokines in antigenprimed mice.
Med Microbiol Immunol (Berl) 2002;191:49–53.
23. Pochard P, Gosset P, Grangette C, et al Lactic acid bacteria inhibit TH2 cytokine
production by mononuclear cells from allergic patients. J Allergy Clin Immunol
2002;110:617–623.
24. De Vrese M, Ghadimi D, Winkler P, Schrezenmeir J. Antiallergenes Potenzial von
Milchsäure-produzierenden Bakterien. Vorträge zur Hochschultagung 2006 der
Agrar- und Ernährungswissenschaftlichen Fakultät der CAU Kiel 2006;108:205–214.
25. De Vrese M, Rautenberg P, Laue C, Koopmans M, Herreman T, Schrezenmeir J. Pro-
biotic bacteria stimulate virus-specific neutralizing antibodies following a booster
polio vaccination. Eur J Nutr 2005;44:406–413.
26. Fukushima Y, Kawata Y, Hara H, Terada A, Mitsuoka T. Effect of a probiotic formula on
intestinal immunoglobulin A production in healthy children. Int J Food Microbiol
1998;42:39–44.
27. de Jongh GJ, Zeuwen PL, Kucharekova M, et al. High expression levels of keratino-
cyte antimicrobial proteins in psoriasis compared with atopic dermatitis. J Invest
Dermatol 2005;125:1163-73.
28. Viljnen M, Savilahti E, Haahtela. et.al. Probiotics in the treatment of atopic eczema/
dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo controlled trial. Allergy
2005;60:494-500.
29. Weston S, Halbert A, Rihmond P, Prescott SL. Effects of prebiotics on atopic dermati-
tis: a randomized controlled trial. Arch Dis Child 2005;90:892-7.
30. Gueniche A, Cathelineau AC, Bastien P, et al. Vitreoscilla filiformis biomass improves
seborrheic dermatitis. JEADV 2007;17:1468-9.
31. Gueniche A, Hennino A, Goujon C, et al. Improvement of atopic dermatitis skin
symptoms by Vitreoscilla filiformis bacterial extract. EJD 2006;16:380-4.
32. Rolfe VE, Fortun PJ, Hawkey CJ, Bath-Hextall F. Probioticos para el mantenimiento
de la remision en la enfermedad de Crohn (Cochrane Review, translated). In: La Bib-
lioteca Cochrane Plus, number 4, 2007. Oxford, Update Software Ltd. Available at:
http://www.update-software.com (translated from the Cochrane Library, 2007 Issue
4. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.).
33. Kaila M, Isolauri E, Soppi E, et.al. Enhancement of the circulating antibody secret-
ing cell response in human diarrhea by a human Lactobacillus strain. Pediatr Res.
1992;32:141-4.
34. Gibson GR, Saavedra JM, MacFarlane S. 1997. Probiotics and intestinal infections.
Pages 10-39 in: Probiotics: Therapeutic and Other Beneficial Effects. R. Fuller, ed.
Chapman & Hall: London.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 55


35. Saavedra JM, Abi-Hanna A, Moore N. Effect of long term consumption of infant formulas
with bifidobacteria (B) and S. thermophilus (ST) on stool patterns and diaper rash in
infants. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1998;27:483.
36. Deeth H, Tomine A. Yogurt: Nutritive and therapeutic aspects. J. Food Protec. 1981;44:78-
86.
37. Buts JP, de Keyser N, de Raedemaeker L. Saccharomyces boulardii enhances rat intestinal
enzyme expression by endoluminal release of polyamines. Pediatr. Res. 1994;36:522-527.
38. Gorbach SL. Estrogens, breast cancer, and intestinal flora. Rev. Infect. Dis. 1984;6(Suppl.
1):S85-90.
39. Deguchi Y, Morishita T, and Mutai M. Comparative studies on synthesis of water-soluble
vitamins among human species of Bifidobacteria.Agric.Biol. Chem. 1985;49:13–19.
40. Noda H, Akasaka N, and Ohsug M. Biotin production by Bifidobacteria. J. Nutr. Sci.Vita-
minol.1994;40:181–188.
41. Oda T, Kado-oka Y, and Hashiba H. Effect of Lactobacillus acidophilus on iron bioavail-
ability in rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol.1994;40:613–616.
42. TannockGW, Dashkevicz MP, and Feighner SD. Lactobacilli and bile salt hydrolase in the
murine intestinal tract. Appl. Environ. Microbiol. 1989;55:1848–1851.
43. De Vres M, Stegelmann A, Richter B, Fenselau S, Laue C, and Schrezenmeir J. Probiotics
compensation for lactase insufficiency. Am. J. Clin. Nutr. 2001; 73 (Suppl.):421S–429S.
44. Bengmark S. Immunnutrition: Role of biosurfactants, fiber, and probiotic bacteria. Nutri-
tion 1998;14:585-594.
45. Rogasi P, Vigano S, Pecile P, Leoncini F. Lactobacillus casei pneumonia and sepsis in pa-
tient with AIDS. Case report and review of the literature. Ann Ital Med Int 1998;13:180-
182.
46. de Vrese M, Schrezenmeir J. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Adv Biochem Engin/
Biotechnol 2008;111:1–66.
47. Mazmanian SK, Round JL, Kasper DL. A microbial symbiosis factor prevents intestinal
inflammatory disease. Nature.2008;453:620–625.
48. Tamboli CP, Neut C, Desreumaux P, et al. Dysbiosis in inflammatory bowel disease.
Gut.2004;53:1–4.
49. Zunic P, Lacotte J, Pegoix M, Buteux G, Leroy G, Mosquet B, Moulin M. Fongemie a Sac-
charomyces boulardii. Therapie 1991;45:497-501.
50. Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
51. Kligler B, Cohrssen A. Probiotics. Am Fam Physician. 2008;78:1073-8.
52. Natural Medicines Comprehensive Database. Bifidobacteria monograph. www.natural-
database.com. (accessed 2009 Mar 23).
53. Natural Medicines Comprehensive Database. Saccharomyces boulardii monograph.
www.naturaldatabase.com. (accessed 2009 Mar 23).
54. Drugdex System. Lactobacillus monograph. Greenwood Village, CO: Thomson Microme-
dex (accessed 2009 Mar 23).
55. Drugdex System. Saccharomyces boulardii monograph. Greenwood Village, CO: Thom-
son Micromedex (accessed 2009 Mar 23).
56. Lee KY. Effective Dosage for Probiotic Effects. In: Lee YK. Salminen S. (ed.). Handbook of
Probiotics and Prebiotics. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc.,New Jersey.2009;Chapter
1.5:p.52.

56 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


57. Williams NT. Probiotics. Am J Health-Syst Pharm. 2010;67:449-58.
58. Reid G, Bruce AW, Fraser N et.al. Oral probiotics can resolve urogenital infections.
FEMS Immunol Med Microbiol. 2001;30:49-52.
59. Hilton E, Isenberg HD, Alperstein P et al. Ingestion of yogurt containing Lac-
tobacillus acidophilus as prophylaxis for candidal vaginitis. Ann Intern Med.
1992;116:353-7.
60. Kalliomaki M, Salminen S, Arvilommi H, et al. Probiotics in primary prevention of
atopic disease: a randomised placebo-controlled trial. Lancet. 2001;357:1076-9.
61. Kirjavainen PV, Salminen SJ, and Isolauri E. Probiotic bacteria in the management
of atopic disease underscoring the importance of viability. J. Pediatr. Gastroen-
terol. Nutr.2003; 36: 223–227.
62. Isolauri E, Arvola T, Sutas Y, Moilanen E, and Salminen S. Probiotics in the man-
agement of atopic eczema. Clin. Exp. Allergy 2000; 30(11): 1604–1610.
63. Viljanen M, Savilahti E, Haahtela T, et al. Probiotics in the treatment of atopic ec-
zema/dermatitis syndrome in infants: a double-blind placebo-controlled trial.
Allergy 2005;60:494–500.
64. Rautava S, Kalliomaki M, Isolauri E. Probiotics during pregnancy and breastfeed-
ing might confer immunomodulatory protection against atopic disease in the
infant. J Allergy Clin Immunol 2002;109:119–121.
65. Kalliomaki M, Salminen S, Poussa T, Arvilommi H, Isolauri E. Probiotics and pre-
vention of atopic disease: 4-year follow-up of a randomised placebo-controlled
trial. Lancet 2003;361:1869–1871.
66. Kalliomäki M, Salminen S, Arvilommi H, Kero P, Koskinen P, Isolauri E. Probiotics
in primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled trial.
Lancet 2001;357:1076–1079.
67. Williams H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B (Ed.). Evidence-
based dermatology. BMJ Publishing Group. London. 2003:184.
68. Charman C. Atopic eczema. In: Godlee F, ed. Clinical Evidence. London: BMJ Pub-
lishing Group, 2001.
69. Pessi T, Sutas Y, Hurme M, Isolauri E. Interleukin-10 generation in atopic children
following oral Lactobacillus rhamnosus GG. Clin Exp Allergy 2000;30:1804–1808.
70. Marchetti F, Capizzi R, Tulli A. Efficacy of regulators of the intestinal bacterial
flora in the therapy of acne vulgaris. Clin Ter 1987;122:339-43.
71. Bowe WP, Logan AC. Acne vulgaris, probiotics and the gut-brain-skin axis- back
to the future? Gut Pathogens 2011;3:1.
72. Kim J, Ko Y, Park YK, Kim NI, Ha WK, Cho Y. Dietary effects of lactoferrin-enriched
fermented milk on skin surface lipid and clinical improvement of acne vulgaris.
Nutrition 2010;26:902-9.
73. Cazzola M. Tompkins TA, Matera MG. Immunomodulatory impact of a symbiotic
in T(h)1 and T(h)2 models of infection. Ther Adv Respir Dis 2010;4:259-70.
74. Farnworth ER. The evidence support health claims for probiotics. J Nutr.
2008;138(suppl):1250S-4S.
75. Hilton E, Rindos P, Isenberg HD. Lactobacillus GG vaginal suppositories and vagi-
nitis. J Clin Microbiol. 1995;33:1433.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 57


PATIENt
COMPLIaNCE

Cegah Stroke Berulang


Dengan Teratur Minum Obat
Setiap bulan Oktober, tepatnya tanggal 29 Oktober diperingati sebagai hari stroke sedunia. Sebagai
penyebab kecacatan serius menetap no. 1 di seluruh dunia, prevalensi stroke di dunia sangat tinggi,
yakni 1 dari 6 orang di dunia menderita stroke dimana setiap 6 detik satu orang meninggal karena
stroke. WHO memprediksi bahwa kematian akibat stroke akan meningkat seiring dengan kematian
akibat penyakit jantung dan kanker yang menunjukkan angka 6 juta kematian pada tahun 2010,
menjadi 8 juta kematian di tahun 2030. Di Amerika Serikat tercatat 6,4 juta orang menderita stroke
dan setiap tahun sekitar 185.000 orang mengalami stroke berulang. Biaya yang dikeluarkan terkait
penyakit ini pun sangat tinggi. Tahun 2010, Amerika telah menghabiskan $ 73,7 juta untuk membiayai
tanggungan medis dan rehabilitasi akibat stroke.

Di Indonesia, masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah penderita stroke
di Indonesia terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Para ahli epidemiologi meramalkan
bahwa saat ini dan masa yang akan datang sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang berumur di atas
35 tahun mempunyai potensi terkena serangan stroke. Oleh karena itu, upaya yang komprehensif
untuk mengendalikan faktor risiko stroke di masyarakat perlu digalakkan di Indonesia, untuk menu-
runkan angka kejadian stroke khususnya pada individu yang produktif.

Stroke merupakan suatu kondisi ketika pasokan darah ke otak berkurang sehingga mengurangi ok-
sigen dan nutrisi untuk sel-sel otak. Jika tidak segera ditangani, maka dalam hitungan menit, sel-sel
otak akan mati. Kondisi tersebut bisa disebabkan penyumbatan pembuluh darah (disebut stroke
iskemik) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik).

STROKE BISA BERULANG

Seseorang yang pernah terserang stroke, ada risiko untuk terkena serangan berikutnya jika tidak
dijaga dengan baik. Hal ini dijuga diperparah jika ada penyakit penyerta lain yang bisa berkontribusi
meningkatkan faktor risiko, seperti hipertensi, kolesterol atau diabetes. Faktor lain yang tidak kalah
penting dapat menyebabkan stroke berulang adalah ketidakpatuhan pasien dalam minum obat.
Seringkali pasien kehilangan kepatuhan minum obat ketika merasa sehat tanpa ada keluhan, pada-
hal kelalaian minum obat inilah yang berisiko menimbulkan kekambuhan.

Setidaknya sekitar 1 dari 4 pasien (25%) yang menderita stroke akan berhenti minum obat, 3 bulan
pertama setelah dirawat di rumah sakit. Periode 3 bulan ini adalah waktu dengan risiko tertinggi se-
orang pasien stroke dapat terkena serangan yang kedua. Oleh karena itu, pasien stroke harus minum
obat dengan teratur untuk mencegah serangan stroke kedua dan selanjutnya.

KETIDAKPATUHAN PASIEN DALAM MINUM OBAT

Setelah serangan yang pertama teratasi, seorang pasien stroke umumnya perlu menjalani pengo-
batan seumur hidup. Walaupun dokter sudah meresepkan obat yang tepat kepada seorang pasien
stroke, tetapi keberhasilan pengobatan sangat didukung oleh kepatuhan pasien untuk menebus
resep baru yang diberikan maupun resep selanjutnya tepat waktu (adherence) dan kepatuhan

58 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


PATIENt
Technology
COMPLIaNCE

pasien dalam minum obat sesuai anjuran dokter (compliance). Ada banyak alasan kenapa pasien
tidak patuh dalam minum obat. Beberapa faktor yang umumnya menyebabkan pasien tidak patuh
minum obat antara lain:

1. Faktor terkait dengan keadaan sosial/ekonomi: umur, ras, status ekonomi dan biaya pengobatan.
2. Faktor pasien: kondisi pasien yang pelupa, tidak memahami aturan pakai obat, merasa takut
tergantung dengan obat yang digunakan.
3. Faktor obat: obat digunakan dalam jangka waktu lama, jenis obat yang diberikan sangat banyak,
dan timbulnya efek samping obat yang tidak diinginkan.

MENINGKATKAN KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN STROKE

Obat-obat untuk mencegah berulangnya serangan stroke (terapi pemeliharaan) harus diminum se-
cara teratur. Obat-obat yang digunakan antara lain obat pengencer darah, obat penurun tekanan
darah dan penurun kolesterol.

Selain obat-obat pengencer darah, semua kondisi yang meningkatkan risiko kekambuhan juga
harus dijaga, terutama tekanan darah. Umumnya pasien harus mengonsumi obat-obat anti hi-
pertensi dalam waktu lama. Jika pasien juga terkena diabetes atau kolesterol, tentu harus dikontrol
dengan obat-obat antidiabetes atau antikolesterol. Kadar gula yang tinggi dalam darah dapat me-
nyebabkan darah menjadi lebih kental. Hal ini berisiko untuk menyebabkan sumbatan pembuluh
darah, apalagi jika faktor-faktor lain tidak terjaga. Begitu juga dengan kadar kolesterol yang tinggi
dapat menimbulkan sumbatan/plak pada pembuluh darah.

Obat-obat yang umumnya digunakan oleh pasien stroke:

KELAS OBAT CARA KERJA OBAT

Antiplatelet Mencegah terbentuknya


(aspirin, clopidogrel, ticlopidine, gumpalan keping darah
dipyridamole, ciloztazol)

Antihipertensi Menurunkan tekanan darah


(labetolol, nicardipine, captopril,
sodium nitropruside, dll

Antikolesterol Menurunkan kolesterol


(golongan statin)

Neuroprotektor Memulihkan metabolisme otak


(citicoline)

Obat-obat tersebut harus digunakan secara teratur, walaupun tidak ada serangan atau tidak ada
keluhan apa-apa. Seorang pasien yang pernah mengalami serangan stroke perlu meningkatkan
kepedulian dan kepatuhan minum obat.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 59


PATIENt
COMPLIaNCE
Technology

Beberapa hal yang dapat dilakukan agar dapat membantu pasien untuk patuh minum obat antara
lain:

• Bertanya secara aktif kepada dokter atau apoteker yang merawat mengenai obat-obatan yang
digunakan.
• Jika biaya menjadi salah satu faktor yang menghambat untuk menebus resep, maka disarankan
untuk menginformasikan kepada dokter agar diresepkan obat-obat generik.
• Meminum obat sesuai aturan pakai dari dokter.
• Untuk memudahkan mengingat kapan harus minum obat dapat dilakukan dengan memasang
alarm pengingat pada handphone atau dengan menyiapkan pill box (kotak untuk menyimpan
obat secara harian atau mingguan).
• Beritahukan kepada keluarga atau orang terdekat untuk membantu mengingatkan kapan minum
obat.

Pasien yang terkena serangan stroke ada kalanya mengalami kesulitan dan keterbatasan saat mel-
akukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan sangat penting
dalam keberhasilan terapi dan peningkatan kualitas hidup pasien. Berbagai faktor yang harus diper-
hatikan oleh pasien pasca stroke untuk mencegah kekambuhan stroke antara lain:

• Menghentikan konsumsi alkohol, rokok.


• Mengurangi obesitas dengan menurunkan berat badan sesuai berat badan ideal.
• Jika mempunyai penyakit diabetes, harus mengonsumsi obat diabetes secara teratur dan men-
jaga pola makan.
• Jika mempunyai penyakit hipertensi, harus mengonsumsi obat-obat hipertensi dengan teratur
sehingga dapat menjaga tekanan darah tetap stabil.
• Jika mempunyai penyakit kolesterol tinggi, harus mengonsumsi obat-obat penurun kolesterol
secara teratur dan mengurangi makan makanan yang berkolesterol tinggi.
• Teratur berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat kaya nutrisi.
• Rutin memeriksakan diri ke dokter.
• Cegah kondisi stres.

Pengetahuan tentang kepatuhan minum obat dalam jangka panjang merupakan hal yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya stroke berulang. Sehingga dibutuhkan kesadaran pasien dan
peran keluarga yang sangat menentukan perbaikan kualitas hidup pasien pasca stroke. (ANA-MTA)

daftar pustaka
1. Mengenali jenis-jenis stroke. Available on: www. 5. Medication adherence and compliance. National
medicastore.com/stroke/Mengenali_Jenis_Stroke. Stroke Association. Available on: http://www.stroke.
php org/site/DocServer/NSA_Med_AdherenceBooklet.
2. Stroke the silent killer. Available on: http://medicas- pdf?docID=9121
tore.com/stroke.html 6. Terapi penyakit stroke dan pengobatannya. Avail-
3. Pengetahuan sekilas tentang stroke. Available on: able on: http://terapipenyakitstroke.com/
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=340 7. Stroke. Available on: http://www.mayoclinic.com/
4. 25% of stroke patients stop taking prevention medi- health/stroke/DS00150
cation within 3 months. Available on: http://www. 8. Arif H, et al. 2007. Drug compliance after stroke and
news-medical.net/news/20100812/2525-of-stroke- myocardial infarction: A comparative study. Avail-
patients-stop-taking-prevention-medication-with- able at: http://www.neurologyindia.com/article.
in-3-motnhs.aspx asp?issn=0028-3886;year=2007;volume=55;issue=
2;spage=130;epage=135;aulast=Arif

60 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014


Thanks to reviewer
Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D,
Prof. Dr. Med. Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.

Vol. 27, No.3, Desember 2014 MEDICINUS 61


62 MEDICINUS Vol. 27, No.3, Desember 2014

You might also like