You are on page 1of 24

DIARE

A. DEFINISI
Diare adalah peningkatan dalam frekuensi buang air besar (kotoran), serta pada
kandungan air dan volume kotoran itu. Para Odha sering mengalami diare. Diare
dapat menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa
hari. Namun, diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan)
atau masalah gizi yang berat (Yayasan Spiritia, 2011)
Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2007). Diare
disebabkan oleh transportasi air dan elektrolit yang abnormal dalam usus. Di
seluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta anak yang menderita diare setiap
tahunnya, dan 20% dari seluruh kematian pada anak yang hidup di negara
berkembang berhubungan dengan diare serta dehidrasi. Gangguan diare dapat
melibatkan lambung dan usus (gastroenteritis), usus halus (enteritis), kolon
(colitis) atau kolon dan usus (enterokolitis). Diare biasanya diklasifikasikan
sebagai diare akut dan kronis (Wong, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari
biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan
muntah atau tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak
balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa
mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004).

B. KLASIFIKASI
1. Menurut Simadibrata (2006), diare dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Lama waktu diare
1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari.
Sedangkan menurut World Gastroenterology Organization Global
Guidelines (2005) diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang
cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung
kurang dari 14 hari. Diare akut biasanya sembuh sendiri, lamanya sakit
kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa terapi yang spesifik jika
dehidrasi tidak terjadi (Wong, 2009).
2) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
b. Mekanisme patofisiologik
1) Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.
2) Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
3) Malabsorbsi asam empedu.
4) Defek sisitem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di
enterosit.
5) Motilitas dan waktu transport usus abnormal.
6) Gangguan permeabilitas usus.
7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik.
8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.
c. Penyakit infektif atau non-infektif.
d. Penyakit organik atau fungsional

C. ETIOLOGI
1. Penyebab diare Yaitu: (Tantivanich, 2002; Sirivichayakul, 2002;
Pitisuttithum, 2002)
a. Virus :
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 – 80%).
Beberapa jenis virus penyebab diare akut :
1) Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9: pada manusia. Serotype 3 dan 4
didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7
didapati hanya pada hewan.
2) Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food
borne atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan
person to person.
3) Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
4) Adenovirus (type 40, 41)
5) Small bowel structured virus
6) Cytomegalovirus
b. Bakteri :
1) Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang
penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini
melekat pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat
labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi
cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea.
ETEC tidak menyebabkan kerusakan brush border atau
menginvasi mukosa
2) Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare
belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus
menyebabkan kerusakan dari membrane mikro vili yang akan
mengganggu permukaan absorbsi dan aktifitas disakaridase.
3) Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada
mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang
khas. Bagaimana mekanisme timbulnya diare masih belum jelas,
tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan.
4) Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip
dengan Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan
multiplikasi didalam sel epitel kolon.
5) Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi
verocytotoxin (VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang
menimbulkan edema dan perdarahan diffuse di kolon. Pada anak
sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic syndrome.
6) Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel
epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya
ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi
termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-wall antigen yang
mempunyai aktifitas endotoksin serta membantu proses invasi dan
toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik
dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea
7) Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi
melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing,
domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang
terkontaminasi seperti daging ayam dan air. Kadang-kadang
infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person.
C.jejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus
halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu
cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi
yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
8) Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang
terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan
melalui person to person jarang terjadi.
9) V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus
halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare.
Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (LT) dari
ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang
mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera
enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT). Kedua
toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus.
10) Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel
usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila
terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi
bloody diarrhea
c. Protozoa :
1) Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme
patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi
absorbsi dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui fecal-
oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh umur, status
nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan
endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis,
kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah
dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 – 8 hari
setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual,
nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai
malabsorbsi dengan faty stools,nyeri perut dan gembung.
2) Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini
bervariasi,namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya
mningkat dengan bertambahnya umur,dan teranak pada laki-laki
dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh
E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik
dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri
yang fulminant.
3) Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5
– 15% dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik
pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan
dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watery
diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan
gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS,
cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare
yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.
4) Microsporidium spp
5) Isospora belli
6) Cyclospora cayatanensis
d. Helminths :
1) Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat
cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.
2) Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada
berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi,
termasuk diare dan perdarahan usus..
3) Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus,
terutama jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan
gejala klinis watery diarrhea dan nyeri abdomen.
4) Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan
appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan
nyeri abdomen.
2. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6
besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah
diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Untuk mengenal penyebab
diare yang dikelompokan sebagai berikut: (Lebenthal, 1989; Daldiyono,
1990; Dep Kes RI, 1999; Yatsuyanagi, 2002)
a. Infeksi :
1) Bakteri (Shigella, Salmonella, E.Coli, Golongan vibrio, Bacillus
Cereus, Clostridium perfringens, Staphilococ
Usaurfus,Camfylobacter, Aeromonas)
2) Virus (Rotavirus, Norwalk + Norwalk like agent, Adenovirus)
3) Parasit
a) Protozoa (Entamuba Histolytica, Giardia Lambia, Balantidium
Coli, Crypto Sparidium)
b) Cacing perut (Ascaris, Trichuris, Strongyloides, Blastissistis
Huminis)
c) Bacilus Cereus, Clostridium Perfringens
b. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak atau protein.
c. Alergi: alergi makanan
d. Keracunan :
1) Keracunan bahan-bahan kimia
2) Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi :
Jazad renik, Algae, Ikan, Buah-buahan, Sayur-sayuran
e. Imunodefisiensi / imunosupresi (kekebalan menurun) : Aids dll
f. Sebab-sebab lain: Faktor lingkungan dan perilaku, Psikologi: rasa
takut dan cemas
D. EPIDEMIOLOGI
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik
dan meningkatkan risiko terjadinya diare perilaku tersebut antara lain :
a. Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada
pertama kehidupan pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk
menmderita diare lebih besar dari pada bayi yang diberi AsI penuh dan
kemungjinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.
b. Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan
pencernakan oleh Kuman , karena botol susah dibersihkan
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan disimpan
beberapa jam pada suhu kamar makanan akan tercemar dan kuman
akan berkembang biak,
d. Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar
dari sumbernya atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran dirumah
dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila
tangan tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat
penyimpanan.
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang
tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak,
f. Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering
beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya padahal sesungguhnya
mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar sementara itu tinja
binatang dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
2. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa penyakit
dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi yang
dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti :
Shigella dan v cholerae
b. Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare
meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada
penderita gizi buruk.
c. Campak diare dan desentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-
anak yang sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir hal
ini sebagai akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita.
d. Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung
sementara, misalnya sesudah infeksi virus ( seperti campak ) natau
mungkin yang berlangsung lama seperti pada penderita AIDS ( Automune
Deficiensy Syndrome ) pada anak imunosupresi berat, diare dapat terjadi
karena kuman yang tidak parogen dan mungkin juga berlangsung lama,
e. Segera Proposional , diare lebih banyak terjadi pada golongan Balita ( 55
%)
3. Faktor lingkungan dan perilaku :
Penyakit diare merupakan salah satu penyakiy yang berbasis lingkungan dua
faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja kedua faktor
ini akan berinteraksi bersamadengan perilaku manusia Apabila factor lingkungan
tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku
manusia yang tidak sehat pula. Yaitu melalui makanan dan minuman, maka
dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
(Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999; Yatsuyanagi, 2002)

E. PATOFISIOLOGI
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk keperluan
hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran sisa-sisa
makanan yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses fisiologi
pencernaan yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa:
(Sommers,1994; Noerasid, 1999 cit Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara
mengunyah dan mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke
gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik,
percampuran dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui
selaput lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang kontraksi
sehingga makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.
Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan
menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air
sebanyak 60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara
pasif gerakan bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal
bersama elektrolit dan zat zat padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik.
Cairan yang berada dalam saluran gastrointestinal terdiri dari cairan yang
masuk secara per oral, saliva, sekresi lambung, empedu, sekresi pankreas
serta sekresi usus halus. Cairan tersebut diserap usus halus, dan selanjutnya
usus besar menyerap kembali cairan intestinal, sehingga tersisa kurang lebih
50-100 gr sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk:
1. Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum
2. Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu
3. Mencegah bakteri untuk berkembang biak.
Faktor-faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya
satu dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada intraluminal akan
menyebabkan terangsangnya usus secara mekanis, sehingga meningkatkan
gerakan peristaltik usus dan akan mempercepat waktu lintas khim dalam usus.
Keadaan ini akan memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir
usus, sehingga penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami gangguan.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab dari
diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan pokok yang
berupa :
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat
menyebabkan diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga
cukup penting dalam diare adalah empedu. Ada 4 macam garam empedu
yang terdapat di dalam cairan empedu yang keluar dari kandung empedu.
Dehidroksilasi asam dioksikholik akan menyebabkan sekresi cairan di jejunum
dan kolon, serta akan menghambat absorpsi cairan di dalam kolon. Ini terjadi
karena adanya sentuhan asam dioksikholik secara langsung pada permukaan
mukosa usus. Diduga bakteri mikroflora usus turut memegang peranan dalam
pembentukan asam dioksi kholik tersebut. Hormon-hormon saluran cerna
diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi air pada mukosa. usus manusia,
antara lain adalah: gastrin, sekretin, kholesistokinin dan glukogen. Suatu
perubahan PH cairan usus juga. dapat menyebabkan terjadinya diare, seperti
terjadi pada Sindroma Zollinger Ellison atau pada Jejunitis.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus
makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada
dalam keadaan yang cukup tercerna. Juga. waktu sentuhan yang adekuat
antara khim dan permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi
yang normal. Permukaan mukosa usus halus kemampuannya berfungsi
sangat kompensatif, ini terbukti pada penderita yang masih dapat hidup
setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas menjadi sangat singkat. Motilitas
usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam ketahanan local
mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan mikro organisme
berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau overgrowth) yang
kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan gangguan digesti dan
absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare. Hipermotilitas dapat terjadi
karena rangsangan hormon prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal
ini dapat memberikan efek langsung sebagai diare. Selain itu hipermotilitas
juga dapat terjadi karena pengaruh enterotoksin staphilococcus maupun
kholera atau karena ulkus mikro yang invasif o1eh Shigella atau
Salmonella.Selain uraian di atas haruslah diingat bahwa hubungan antara
aktivitas otot polos usus,gerakan isi lumen usus dan absorpsi mukosa usus
merupakan suatu mekanisme yang sangat kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus)
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi
kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare. Adanya
malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan menimbulkan
kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga akan dapat
menimbulkan gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang pada
umumnya sebagai malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim
laktase. Dalam hal ini laktosa yang terdapat dalam susu tidak sempurna
mengalami hidrolisis dan kurang di absorpsi oleh usus halus. Kemudian
bakteri-bakteri dalam usus besar memecah laktosa menjadi monosakharida
dan fermentasi seterusnya menjadi gugusan asam organik dengan rantai
atom karbon yang lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-
molekul inilah yang secara aktif dapat menahan air dalam lumen kolon hingga
terjadi diare. Defisiensi laktase sekunder atau dalam pengertian yang lebih
luas sebagai defisiensi disakharidase (meliputi sukrase, maltase, isomaltase
dan trehalase) dapat terjadi pada setiap kelainan pada mukosa usus halus.
Hal tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada brush border
epitel mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak dapat
menyebabkan tingginya tekanan osmotik dalam lumen usus karena asam ini
tidak larut dalam air..
F. PATHWAY DIARE
G. MANIFESTASI KLINIS
1. Menurut Suriadi (2001), Manifestasi klinis diare yaitu
a. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
b. Kram perut
c. Demam
d. Mual
e. Muntah
f. Kembung
g. Anoreksia
h. Lemah
i. Pucat
j. Urin output menurun (oliguria, anuria)
k. Turgor kulit menurun sampai jelek
l. Ubun-ubun / fontanela cekung
m. Kelopak mata cekung
n. Membran mukosa kering

H. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik.(Hendarwanto, 1996; Ciesla et al, 2003)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis,
sehingga syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat
timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi
organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak
adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal. (Nelwan, 2001;
Soewondo, 2002; Thielman & Guerrant, 2004)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang
disebabkan terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal,
anemia hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah
infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita
infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita
kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot
pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre
tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp

I. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah
sebagai berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap
diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal.
Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan
adanya infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromisedd, penting
sekali kultur organisma yang tidak biasa seperti Kriptokokus,Isospora dan
M.Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin
C difficle harus diperiksa.
2. Volume Feses: Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses
24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus
dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi
steatore atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: Jika berat feses
>300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500
gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h
menunjukkan proses malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu
steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak
orange per ½ lapang pandang dari sample noda sudan adalah positif. False
negatif dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk
mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir.
Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa
intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare
osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus
diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses
adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K)
dimana nilai normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur,
metabolit karbohidrat primer (asetat,propionat dan butirat) yang bernilai
untuk anion gap, terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon
kedalam asam lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi
yang terkumpul dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam
sebelum osmolalitas diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan
normal atau osmotic gap yang rendah biasanya menunjukkan diare
sekretori. Sebalinya osmotic gap tinggi menunjukkan suatu diare osmotic.
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya
Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora
yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang
meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan
mengesankansuatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal.
Skrining awal CBC,protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan
abnormalitas absorbsi. Fe,VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam
lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi
lemak pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi
limfatik postmukosa. Protombin time,karotin dan kolesterol mungkin turun
tetapi Fe,folat dan albumin mengkin sekali rendaah jika penyakit adalah
mukosa primer dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau
obstruksi limfatik.
8. Tes Laboratorium lainnya: Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat
diperiksa seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome),
calcitonin (medullary thyroid carcinoma), cortisol (Addison’s disease), anda
urinary 5-HIAA (carcinoid syndrome).
9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi
feses dengan NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining
laksatif feses terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa
feses lainnya. Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik
osmotic seperti MgSO4,mgcitrat Na2 SO4 dan Na2 PO4.

J. PENCEGAHAN DIARE
Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat
dilakukan adalah: (Kementrian Kesehatan RI, 2011)
1. Perilaku Sehat
a. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap
secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan
sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama
masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula
atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat
terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan
atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari
bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan
seperti ini di sebut disusui secara penuh (memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6
bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil
ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi
dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh
mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada
pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang
disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab botol untuk susu formula,
berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi
buruk
b. Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian
makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan,
apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan pendamping
ASI, yaitu:
1) Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan dapat
teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan setelah anak
berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4x sehari).
Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak
dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan pemberian ASI bila mungkin.
2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-bijian
untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam
makanannya.
3) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak. Suapi
anak dengan sendok yang bersih.
4) Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang
dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
c. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-Oral
kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui
makanan, minuman atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-
jari tangan, makanan yang wadah atau tempat makan-minum yang dicuci
dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi
mulai dari sumbernya sampai penyimpan
2. Penyehatan Lingkungan
a. Penyediaan Air Bersih
Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui
air antara lain adalah diare, kolera, disentri, hepatitis, penyakit kulit,
penyakit mata, dan berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan air
bersih baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan dalam
memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk untuk menjaga
kebersihan diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya penyakit
tersebut, penyediaan air bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus
tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus tetap dilaksanakan.
b. Pengelolaan Sampah
Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya
vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain itu
sampah dapat mencemari tanah dan menimbulkan gangguan
kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan
sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
Tempat sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap
hari dan dibuang ke tempat penampungan sementara. Bila tidak
terjangkau oleh pelayanan pembuangan sampah ke tempat
pembuangan akhir dapat dilakukan pemusnahan sampah dengan cara
ditimbun atau dibakar.
c. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit. Sarana
pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat akan menimbulkan
bau, mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat perindukan
nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis untuk daerah yang
endemis filaria. Bila ada saluran pembuangan air limbah di halaman,
secara rutin harus dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir, sehingga
tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak menjadi tempat
perindukan nyamuk.

K. PENATALAKSANAAN
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita
adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh
Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-
satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta
mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak
kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun
program LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu:
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang
beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah,
yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang
terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita
tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus.
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
a. Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
1) Keadaan Umum : baik
2) Mata : Normal
3) Rasa haus : Normal, minum biasa
4) Turgor kulit : kembali cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :
1) Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
2) Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
3) Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret
b. Diare dehidrasi Ringan/Sedang
Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini
atau lebih:
1) Keadaan Umum : Gelisah, rewel
2) Mata : Cekung
3) Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
4) Turgor kulit : Kembali lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya
diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
c. Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
1) Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
2) Mata : Cekung
3) Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
4) Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk di infus.

2. Berikan obat Zinc


Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi
enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus.
Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan
morfologi dan fungsi selama kejadian diare.
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume
tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan
berikutnya.(Black, 2003). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc
mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut hasil pilot
study menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 %
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak diare
harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
a. Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
b. Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc:
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut
berikan pada anak diare.
3. Pemberian ASI / Makanan :
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum Asi harus lebih sering di beri
ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan
padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih
sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra
diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek
kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita
diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti
diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
5. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang :
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
Diare lebih sering
Muntah berulang
Sangat haus
Makan/minum sedikit
Timbul demam
Tinja berdarah
Tidak membaik dalam 3 hari.
L. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun
pertama kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11
bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi,
hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak
yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai
terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan
kuman enteric menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi.
Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan
perawatannya .
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x, muntah, diare, kembung, demam.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau
lendir saja. Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu
pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7 hari ( diare
berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau
kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit
menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5. Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada
orang dewasa, porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan
buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,.
Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi
makanan, kebiasan cuci tangan,
6. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
7. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga
kebersihan, lingkungan tempat tinggal.
8. Pemeriksaan Fisik
a. pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar,
b. keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
c. Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak
umur 1 tahun lebih
d. Mata : cekung, kering, sangat cekung
e. Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic
meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum
normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan haus, minum sedikit
atau kelihatan bisa minum
f. Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis
metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g. Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun
pada diare sedang .
h. Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu
meningkat > 375 0 c, akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary
refill time memajang > 2 dt, kemerahan pada daerah perianal.
i. Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24
jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j. Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami
stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap
tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa, dan
kemudian menerima.
9. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : kebiasaan bab di wc /
jamban / sungai / kebun, personal hygiene ?, sanitasi ?, sumber air
minum ?
b. Pola nutrisi dan metabolisme : anoreksia, mual, muntah, makanan /
minuman terakhir yang dimakan, makan makanan yang tidak biasa /
belum pernah dimakan, alergi, minum ASI atau susu formula, baru
saja ganti susu, salah makan, makan berlebihan, efek samping obat,
jumlah cairan yang masuk selama diare, makan / minum di warung ?
c. Pola eleminasi
1) Bab : frekuensi, warna, konsistensi, bau, lendir, darah
2) Bak : frekuensi, warna, bak 6 jam terakhir ?, oliguria, anuria
d. Pola aktifitas dan latihan : travelling
e. Pola tidur dan istirahat
f. Pola kognitif dan perceptual
g. Pola toleransi dan koping stress
h. Pola nilai dan keyakinan
i. Pola hubungan dan peran
j. Pola persepsi diri dan konsep dirI.
k. Pola seksual dan reproduksi

M. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Diare b.d factor psikologis (tingkat stress dan cemas tinggi), faktor situasional (
keracunan, penyalahgunaan laksatif, pemberian makanan melalui selang efek
samping obat, kontaminasi, traveling), factor fisiologis (inflamasi, malabsorbsi,
proses infeksi, iritas, parasit)
2. Hipertermi b.d peningkatan metabolik, dehidrasi, proses infeksi, medikasi
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan volume cairan aktif, kegagalan dalam
mekanisme pengaturan.
4. PK : Syok hipovolemik b.d dehidrasi
5. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi
N. NURCING CARE PLAIN
No Diagnosa Tujuan & kriteria Intervensi
keperawatan hasil
1. Diare b.d faktor Setelah dilakukan a. Identifikasi faktor yang mungkin me-
psiko-logis (stress, tindakan perawatan nyebabkan diare (bakteri, obat,
cemas), faktor selama 2 X 24 jam makanan, selang makanan, dll
situasional (kera- pasien tidak me- b. Ajari pasien menggunakan obat diare
cunan, kontaminasi, ngalami diare / diare dengan tepat (smekta diberikan 1-2
pem-berian makanan berkurang, dengan jam setelah minum obat yang lain)
melalui selang, kriteria : c. Anjurkan pasien / keluarga untuk men-
penyalahgunaan a. Frekuensi bab catat warna, volume, frekuensi, bau,
laksatif, efek normal < 3 kali / konsistensi feses
samping obat, hari d. Optimalkan untuk pemberian ASI, bila
travelling, malab- b. Konsistensi tidak ada kolaborasi pemberian susu
sorbsi, proses feses normal formula yang low lactose free
infeksi, parasit, (lunak dan e. Monitor tanda dan gejala diare
iritasi) berbentuk) f. Observasi turgor kulit secara teratur
c. Warna feses g. Monitor area kulit di daerah perianal
normal dari iritasi dan ulserasi
- h. Timbang Berat Badan secara teratur

2. Hipertermi b.d Setelah dilakukan 1) Monitor suhu tubuh


dehidrasi, tindakan perawatan 2) Berikan intake cairan dan nutrisi
peningkatan selama 1 X 24 jam yang adekuat
metabolik, inflamasi suhu badan klien 3) Berikan obat untuk mencegah
usus normal, dengan atau mengontrol menggigil
kriteria : 4) Monitor leukosit, hematokrit
a. Suhu kulit 5) Monitor intake dan output
normal, 6) Berikan obat antibiotic untuk
b. Tidak ada mengobati penyebab demam
perubahan war- 7) Kompres hangat diselangkangan,
na kulit dahi dan aksila bila suhu badan
c. Nadi, respirasi < 39˚C
dalam ba-tas 8) Pakaikan baju berbahan dingin,
normal tipis dan menyerap keringat
d. Hidrasi adekuat 9) Berikan tempat tidur dan kain /
- linen yang bersih dan nyaman
3.

3. Kekurangan volume Setelah dilakukan


cairan b.d intake tindakan perawatan 1. Tentukan riwayat jenis dan banyaknya
kurang, kehilangan selama 1 X 24 jam intake cairan dan kebiasaan eleminasi
volume cairan aktif, kebutuhan cairan 2. Tentukan faktor resiko yang
kegagalan dalam dan elektrolit menyebabkan ketidakseimbangan
mekanisme adekuat, dengan cairan (hipertermi, diu-retik, kelainan
pengaturan kriteria : ginjal, muntah, poliuri, diare,
- Hidrasi kulit adekuat diaporesis, terpapar panas, infeksi)
- Nadi teraba 3. Menimbang BB secara teratur
- Membran mukosa 4. Monitor vital sign
lembab 5. Monitor intake dan output
- Turgor kulit normal 6. Monitor membrane mukosa, turgor kulit
- Kelopak mata tidak dan rasa haus
ce-kung 7. Pertahankan aliran infuse sesua advis
- Fontanela tidak dokter
cekung
- Tidak demam
- Tidak ada napas
pendek / kusmaul

4. PK: Syok Setelah dilakukan 1. Kaji dan catat status perfusi perifer.
hipovolemia b.d tindak-an / 2. Laporkan temuan bermakna :
dehidrasi penanganan ekstremitas dingin dan pucat,
selama 1 jam penurunan amplitude nadi, pengisian
diharapkan klien kapiler lambat.
mempunyai perfusi 3. Pantau CVp (bila jalur dipasang)
yang adekuat, 4. Observasi perfusi serebral menurun :
dengan kriteria : gelisah, konfusi, penurunan tingkat
a. Amplitudo nadi kesadaran.
perifer 5. Pantau nilai elektrolit
meningkat 6. Berikan cairan sesuai program untuk
b. Pengisian kapiler meningkatkan volume vaskuler.
singkat (< 2
detik)
c. Frekuensi
jantung teratur
d. Akral hangat
e. Nadi teraba kuat
-

5. Pola nafas tidak Setelah dilakukan a. Buka jalan napas, gunakan teknik chin
efektif b.d tindakan perawatan lift atau jaw thrust bila perlu
hiperventilasi selama 1 X 24 jam b. Posisikan klien untuk memaksimalkan
pola nafas efektif, ventilasi
- dengan kriteria : c. Identifikasi pasien perlunya
a. Suara napas pemasangan jalan napas (N CPAP dan
bersih ET) bila perlu
b. Tidak ada d. Keluarkan secret dengan suction
sianosis e. Auskultasi suara napas , catat adanya
c. Tidak sesak suara tambahan
napas f. Kolaborasi pemberian bronkodilator
d. Irama napas bila perlu
dan frekuensi g. Monitor respirasi dan status oksigen
napas dalam
rentang nor-mal
-
DAFTAR PUSTAKA

AIDS info net. 2008. Diarrhea. Diakses pada www.aidsinfonet.org


Avikar, Anupkumar, dkk. 2008. Role of Escherichia coli in acute diarrhoea in tribal
preschool children of central India. Journal Compilation Paediatric and Perinatal
Epidemiology, No. 22, 40–46.
Chakraborty, Subhra, dkk. 2001. Concomitant Infection of Enterotoxigenic Escherichia coli
in an Outbreak of Cholera Caused by Vibrio cholera O1 and O139 in
Ahmedabad, India. JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY Vol. 39, No. 9 p.
3241–3246.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2008. Buku Saku
Petugas Kesehatan LINTAS DIARE. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Komite Medis RS. Dr. Sardjito. 2005. Standar Pelayanan Medis RS DR. Sardjito.
Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Mattingly, David., Seward,Charles. 2006. Bedside Diagnosis 13th Edition. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mubarak, W. I., B.A. Santoso., K. Rozikin., and S.Patonah. 2006. Ilmu Keperawatan
komunitas 2: Teori & Aplikasi dalam Praktik dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan Komunitas, Gerontik, dan Keluarga. Jakarta: Sagung Seto.
Purwo Sudarmo S., Gama H., Hadinegoro S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak:
Infeksi dan Penyakit Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI.
Tjaniadi, Periska, dkk. 2003. ANTIMICROBIAL RESISTANCE OF BACTERIAL
PATHOGENS ASSOCIATED WITH DIARRHEAL PATIENTS IN INDONESIA.
Am. J. Trop. Med. Hyg., 68(6) pp. 666–670.
The Ohio State University Medical Center. 2006. Diarrhea. Diakses pada
www.healthinfotranslations.com

You might also like