You are on page 1of 27

MAKALAH AGAMA

TENTANG PERAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN


BERPOLITIK UNTUK MEWUJUDKAN PERSATUAN DAN
KESATUAN BANGSA

Dosen Pembimbing : Dra. Julinah, M.Pd.I

Disusun Oleh:
KELOMPOK 12
NURHAENI PO7224315025
NURSEPTIANI SYAMSIAH PO7224315026
SINTA RUSDIANA TAMARA PO7224315032
SUCITA TRI PERTIWI PO7224315035

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan limpahan Rahmat, Karunia, Taufiq dan Hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Peran Agama Dalam Kehidupan Berpolitik
Untuk Mewujudkan Persatuan Dan Kesatuan Bangsa”. Kami berterimakasih
kepada rekan sejawat yang telah membantu terselsaikannya makalah ini. Dan juga
kami berterimakasih kepada Bapak Dra. Julinah, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah
Agama yang telah memberikan arahan dan dukungan demi kesempurnaan
makalah ini.
Kami berharap adanya saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang. Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
dapat dipahami oleh pembaca mengenai Peran Agama Dalam Kehidupan
Berpolitik Untuk Mewujudkan Persatuan Dan Kesatuan Bangsa. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Samarinda, Desember 2015

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

MAKALAH AGAMA ......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1
D. Manfaat ................................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 3
A. Pengertian Politik .................................................................................................... 3
B. Sistem Politik Dalam Islam..................................................................................... 4
C. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berpolitik .................................................. 10
E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa................. 19
Latihan .......................................................................................................................... 22
BAB III ............................................................................................................................. 23
PENUTUP ........................................................................................................................ 23
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi tentang politik adalah hubungan antar warga (relating citizen).
Menurut Rafael Maran, politik adalah penyelesaian konflik antara manusia, proses
pembuatan keputusan-keputusan ataupun pengembangan kebijakan-kebijakan
secara otoritas yang mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu, atau
pelaksanaan kekuasaan dan pengaruhnya dalam masyarakat. Politik islam adalah
aktivitas politik sebagian umat islam yang menjadikan islam sebagai acuan nilai
dan basis solidaritas berkelompok.
Jika mengacu kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik,
bahkan hingga zaman kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara
umum yang berlaku di negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara
Islam. Alquran maupun as-Sunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail
dan rinci mengenai sistem politik. Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi
rambu-rambu yang amat global.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatlah rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apasaja makna politik baik secara umum maupun menurut Islam?
2. Bagaimana kontribusi agama dalam kehidupan berpolitik?
3. Bagaimana peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tentang makna politik baik secara umum maupun menurut
Islam.

1
2. Mengetahui tentang kontribusi agama dalam kehidupan politik, yaitu
syarat seorang pemimpin, kewajiban seorang pemimpin, hak pemimpin,
kewajiban rakyat, hak rakyat, perimbangan antara kewajiban dan hak
pemimpin terhadap rakyat dan sebaliknya, prinsip-prinsip demokrasi, dan
prinsip syura.
3. Mengetahui tentang peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan.

D. Manfaat
Berikut ini adalah manfaat dari penulisan makalah ini :
1. Mahasiswi mendapat pengetahuan lebih mendalam dengan adanya
makalah tentang peran agama dalam kehidupan berpolitik untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Mahasiswi sebagai tenaga kesehatan dapat menerapkan peranan agama
dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan di lingkungan masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik
Term politik tidak ditemukan dalam bahasa Arab, melainkan berasal dari
bahasa Latin ‘politicus’ atau dari bahasa Yunani ‘politicos’ yang berarti
berhubungan dengan warga negara atau warga kota. ‘Polis’ berarti kota ( Noah,
l980: 437). Kata itu terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘politik’ dalam
bahasa Arab adalah as-siyasah (AlMunawwir,[t.th.]: 724).
Secara etimologis (istilah) dalam pengertian yang amat longgar “politik”
mengandung arti;
(1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, sistem pemerintahan,
dan dasar-dasar pemerintahan
(2) Semua urusan dan tindakan mengenai pemerintahan terhadap negara lain
(3) Pengembilan keputusan
(4) Kebijaksanaan, dan
(5) pembagian atau penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat (Miriam, l993: 8-9).
Deliar Noer menjelaskan ‘politik’ adalah segala aktifitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi,
dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan
masyarakat. Bertolak dari berbagai pengertian dan kandungan yang terdapat
dalam kata ‘politik’, jabarannya dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat amat luas.
Pencalonan diri supaya menjadi presiden, anggota DPR, ketua suatu
kelompok kesenian, kelompok diskusi, kelompok pengajian sekalipun merupakan
tindakan politik karena di balik itu semua berkait dengan kekuasaan. Kegiatan
kampanye, propaganda untuk memperoleh kekuasaan tersebut merupakan
tindakan pilitik karena secara nyata adalah mempengaruhi orang lain supaya
mengikuti kehendak pelaku kampanye atau propagandis tersebut. Ribuan buruh
suatu pabrik yang melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah kerja adalah
tindakan politik karena mempengaruhi pemilik perusahaan agar mengikuti

3
kehendak para buruh itu. Para mubaligh yang berceramah di hadapan para
jamaahnya, meskipun secara umum disebut dakwah dapat pula disebut berpolitik,
praktisnya isi kongkrit ceramah adalah ajak-ajak atau mempengaruhi jamaah
(audiens) agar berbuat sesuatu yang baik menurut agama.
Aneka produk perundang-undangan seperti konstitusi, undang-undang
dasar, peraturan pepemerintah (pp), Surat Keputusan (SK) dari presiden, mentri,
gubernur, atau secara umum adalah pemerintah, atau dari badan-badan dan
lembaga tertentu juga merupakan tindakan politik karena isi SK pastilah
merencanakan susunan tertentu dalam masyarakat atau seseorang, yaitu
mengangkat atau memberhentikan status dalam struktur tertentu.
Karena istilah politik tidak ditemukan dalam ajaran dasar dalam Islam,
tetapi agama ini mengatur secara umum agar sikap, mental, dan perbuatan harus
baik, termasuk di dalamnya perilaku manusia dalam berpolitik, maka kalau harus
dimunculkan istilah politik Islam, pengertiannya bisa saja persis yang
dikemukakan oleh Miriam Budihardjo, Deliar Noer, atau yang lainnya, kemudian
ditambah frasa berdasarkan hukum-hukum Allah yang terkandung dalam Alquran
maupun as-Sunnah sahihah.
Wujud kekuasaan politik Islam diselenggarakan menurut Alquran dan as-
Sunnah (Abdul Mu’in Alim: l994: 293). Alqur’an dan as-Sunnah sebagai dasar
sistem poilitik inilah yang membedakan dengan sistem politik apapun yang non
Islam (sekuler).

B. Sistem Politik Dalam Islam


Jika mengacu kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik,
bahkan hingga zaman kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara
umum yang berlaku di negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara
Islam.
Alquran maupun as-Sunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail
dan rinci mengenai sistem politik. Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi
rambu-rambu yang amat global, umpama Allah berfirman pada Surah An-Nisa
ayat 59 yang artinya :

4
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya).....” (QS. An-Nisa’ : 59).
Ayat ini secara implisit menghendaki keberadaan:
(1) suatu negara yang ada pemimpinnya
(2) rakyat yang taat kepada pemimpin
(3) Jika ada pertentangan di antara kedua belah pihak hendaklah kembali
kepada petunjuk Alquran dan as- Sunnah, dan
(4) tidak boleh ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Jadi
pemimpin mengayomi rakyat dan rakyat taat kepada pemimpin.
Arti lanjutan ayat itu berbunyi:
“...jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An Nisa’ : 59).
Implikasinya lebih jauh adalah:
(1) Jika para pemimpin tidak mengayomi rakyat
(2) jika rakyat tidak taat pemimpin atau pemerintah syah
(3) jika ada perpebedaan prinsip antara rakyat dan pemerintah (pemimpin)
yang cara pemecahannya tidak dikembalikan menurut petunjuk Alquran maupun
as-Sunnah, maka mereka itu tidak termasuk orang beriman.
Empat poin dalam kandungan QS. An Nisa’ : 59 adalah perwujudan iman
yaitu :
a) Kata ‘iman’ seakar kata dengan amin, artinya aman tidak ada gangguan
dan ancaman. Aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan baik pemerintah
maupun rakyat harus bersama-sama menciptakan suasana aman atau
kondusif sehingga kehidupan bersama dalam berbagai bidang seperti:
ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya berjalan dengan lancar aman,
tanpa rasa khawatir akan berbagai macam gangguan. Siapapun yang
membuat gaduh atau kacau dalam suatu negara, dia itu bukan orang
beriman. ‘al-Amin’ juga berarti kuat dan setia, artinya sebagai warga
negara harus setia terhadap negara secara kuat (nasionalisme) yaitu cinta

5
kepada negara (hub al-wathan) sebagai bagian integral dari iman.
Siapapun warga negara atau bada apapun dalam suatu negara seperti LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjadi antek negara asing) dan
menjual dokumen-dokumen penting negaranya adalah bukan orang-orang
beriman. Mereka amat berbahaya kerena pada hakikatnya mereka itu
adalah mesin pengkhianat negara. Sudah sepentasnya jika keberadaan
mereka harus dikikis habis tak bersisa.

b) Kata ‘iman juga seakar kata dengan ‘amanah’ yang berarti dapat
dipercaya. Kaitannya dengan kenegaraan, baik pemerintah maupun rakyat
harus saling dapat mempercayai maupun dipercayai. Rakyat bersifat
anarkhis dan pemerintah yang korup, jelas masing-masing tidak dapat
dipercaya atau mempercayai. Lebih dari itu mereka sebenarnya tidak
beriman. Suatu negara yang pejabatnya korup, mementingkan kekayaan
pribadi dengan cara menggerogoti kekayaan negara secara tidak syah,
negara ini disebut al-madinah alfasiqah, yaitu negeri yang rusak (Harun
Nasution, l981 : 33). Sementara itu, jika rakyat besifat anarkhis dan
mamaksakan kehendaknya sendiri sehingga negara itu menjadi semrawut,
para pemimpin hanya sibuk mengurusi demo-demo berkepanjangan
sehingga tidak bisa mengatur negara secara baik, negara ini disebut, al-
madinah al-jama’ah. Negara seperti ini semuanya ingin berkuasa. Al-
madinah a-jama’iah adalah salah satu bentuk dari negeri bodoh
(almadinah al-jahilah) , yaitu negara baik pemerintah maupun rakyatnya
hanya berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, memperkaya diri, ambisi
kekuasaan, dan mengumnbar hawa nafsu (Harun Nasution, l981 : 33).
Suatu bangsa yang bentuk negara dan sistem pemerintahannya berttipologi
al-madinah al-jami’ah maupun almadinah al-jahilah secara prinsip bangsa
itu dapat dikatakan sebagai bangsa yang tidak beriman karena tidak
amanah.

6
c) Kata ‘iman’ seakar kata dengan al-amin artinya tenteram, damai dan aman.
Kaitannya dalam kehidupan bernegara, seluruh rakyat maupun yang
memangku jabatan kepemerintahan harus menciptakan ketenteraman,
kedamaian, dan keamanan baik dalam level indfividual, secara batiniah
maupun lahiriah, dan dalam level kehidupan bersama. Profokator dari
manapun asalnya apakah dari unsur pemerintah maupun rakyat yang
menyulut pertikaian antar golongan, antar kelompok, antara pemeluk
agama, dan antar suku adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan
tidak beriman kepada Allah maupun hari akhir. Kita semua harus
mewaspadai para para politikus kotor maupun kelompoknya sehingga
ruang gerak mereka terbatas atau dinetralisir sama sekali.

d) Kata at-Ta’min juga seakar kata dengan iman dan artinya gadai. Kaitannya
dengan kehidupan negara, setiap warga negara secara prinsip diri mereka
masing-masing digadaikan kepada negara, harus tunduk dan patuh kepada
negara. Inilah yang dimaksud bahwa proses terbentuknya suatu negara
melalui social contract dan pemegang kekuasaan disebut pemegang
amanah dari rakyat.

Karena begitu longgar petunjuk baik Alquran maupun as-Sunnah, maka


aktualisasi politik dari generasi ke generasi atau antara wilayah satu dengan
wilayah lain di dunia Islam cukup bervariatif dan lebih bersifat temporal menurut
selera masing-masing pendiri negara, umpama dalam dalam menunjuk dan
mengangkat kepala negara sebagai yang memerintah. Nabi Muhammad menjadi
kepala negara di Madinah terjadi secara otomatis sebagai akibat ditaati oleh setiap
warga di Madinah dan seluruh jazirah Arab. Abu Bakar as-Siddiq menggantikan
posisi Nabi sebagai pemimpin umat - bukan dalam arti nabi maupun rasul - dipilih
secara kerakyatan (Hasan, l968 : 34). Pengganti Abu Bakar adalah Umar bin
Khattab menjadi khalifah ditunjuk oleh oleh Abu Bakar kemudian disetujui oleh
seluruh warganya (Hasan, l968: 37). Usman bin ‘Affan menggantikan posisi
Umar bin Khattab dengan cara Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon,

7
satu diantaranya adalah Usman bin ‘Affan sendiri, ia memenangkan dalam
pemilihan yang kemudian membawanya menjadi khalifah. Pengganti Usman bin
‘Affan adalah Ali bin Abi Thalib dengan dipilih oleh mayoritas umat Islam. Ali
bin Abi Thalib sebagaimana dua pendahulunya terbunuh dalam insiden politik.
Penggamnti Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abu Sufyan dengan cara
ayang amat licik, yaitu melalui teknik tahkim (arbitrase) di Daumatul jandal.
Pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah
bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin ‘Aash. Keduanya bersepakat dalam
sidang menurunkan pemimpin masing-masing. Waktu itu Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah, semerntara Muawiyah hanya sebagai gubernur, bukan level
khalifah. Abu Musa diminta supaya berpidato yang pertama. Isi pidatonya
menurunkan pemimpin dari jabatannya masing-masing, dan aksi ini disetujui oleh
seluruh anggota sidang.
Sementara itu, Abu Musa al-Asy’ari adalah seorang ulama yang tawadu’
dan wara’, dan amat kurang berpengalaman dalam liku-liku politik kotor. Setelah
ia turun dari mimbar Amru bin ‘Ash gilirannya naik ke mimbar untuk berpidato.
Isi pidato ada dua hal, (1) menyetujui penurunan Ali bin Abu Thalib dari jabatan
khalifah dan (2) mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah dan
langsung disambut sorak gempita dari pendukungnya. Pada sat itu kelompok Ali
bin Abu Thalib merasa - dan memang benar-benar - ditipu oleh kelompok
Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah dengan
cara kudeta tak berdarah, proses sebelumnya juga telah menumpahkan darah
begitu banyak prajurit dari masing-masing pihak. Sejak Muawiyah bin Abu
Sufyan mengangkat putra mahkota, maka sistem politik Islam, terutama bentuk
negara menjadi sistem kerajaan atau monarkhi (Hasan, 1968 : 54, 62, 66). Tetapi
secara makro jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti di Barat, dan
Cina yang sama-sama berbentuk kerajaan, Negara yang dipimpin oleh Muawiyah
bin Abu Sufyan disebut sebagai negara kerajaan Islam yang secara teknis disebut
daulah atau khilafah (kekhalifahan), yaitu Daulah Bani Umayyah. Kata Umayyah
dinisbahkan dari kakek Muawiyah.

8
Untuk selanjutnya bentuk pemerintahan semacam itu berlaku di semua
wilayah Islam. Bani Umayyah tumbang digantikan oleh Bani Abbasiyah.
Bersamaan dengan ini kerajaan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) didirikan
oleh ketrurunan dari Muawiyyah bin Abu Sufyan yang selamat dari
pembumihangusan Abul Abbas Assafah(pendiri Bani Abbasiah). Sesudah dua
kerajaan raksasa ini tumbang muncullah berbagai kerajaan di dunia Islam, seperti
khilafah Bani Fatimiyah di Mesir(909-ll7l M), Khilafah Bani al-Murabbitun di
Afrika Utara (l056-ll45 M), Khilafah Mamalik di Mesir maupun di Suriah (1250-
1516 M), Khilafah Usmaniah di Turki (l299-l922 M), Khilafah Mughaliah di
India (l526-1858 M), dan masih banyak yang lainnya.
Pada abad l8 di Eropa muncdul konsep dan praktik politik yang disebut
nasionalisme. Melalui agitasi politik imperialisme (penjajahan) Barat ke seluruh
wilayah di dunia, termasuk dan khususnya di dunia Islam pada abad l9,
nasionalisme menjadi konsep politik universal (L.Stodart, l966 : l37). Sekarang
ini tidak ada di manapun di dunia yang tidak menganut paham nasionalisme, dan
di sisi lain tidak bisa keluar dari paham nasionalisme itu. Maka nasionalisme
menjadi paham tunggal hingga sekarang ini. Meskipun demikian, negara-negara
yang akarnya kekhalifahan tetap mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Islam dan
nasionalisme yang wujud akhirnya adalah nasionalisme yang dibedakan dari
nasionalisme sekuler. Sekularisme anti atau sekurang-kurangnya memisahkan dari
urusan agama, sementara nasionalisme Islam tidak demikian. Agama menjadi
dasar dan sendi-sendi praktik kenegaraan.
Elaborasi antara ajaran Islam dan nssionalisme Barat menghasilkan
berbagai bentuk negara Islam sesuai dengan akar sejarahnya dari masing-masing
yang membentuk negara yang bersangkutan. Saudi Arabia, bentuk negaranya
kerajaan, tetapi mengaku sebagai negara Islam. Iran berbentuk republik tetapi juga
mengaku sebagai negara Islam. Malaysia berbentuk serikat tetapi mengaku
sebagai negara Islam. OIC (Organization of the Islamic Conference) merupakan
gabungan dari berbagai negara Islam yang bertujuan melenyapkan pemisahan ras,
diskriminasi, dan kolonialisme dalam segala bentuk, juga bergerak di bidang
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kegiatan vital lainnya

9
(Esposito,IV : 201) tidak mengusahakan keseragaman bentuk negara. Urusan ini
diserahkan kepada negara masing-masing anggota. Indonesia secara formal
mengaku sebagai negara pancasila, bukan negara Islam, tetapi mayoritas
penduduknya beragama Islam dan ikut sebagai anggota OIC.
Oleh karena itu, kebijakan apapun yang mengabaikan kepentingan umat
Islam di negeri tercinta ini pasti menuai badai yang pada akhirnya akan merugikan
negara itu sendiri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pembakuan sistem dalam Islam sehingga kepentingan umat Islam dalam
membentuk negara menjadi kebebasan mereka, boleh mengambil bentuk negara
kerajaan, republik, negara serikat, atau yang lainnya selagi prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bersama ditegakkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran
bersama (pemerintah dan rakyat).

C. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berpolitik

1. Syarat Seorang Pemimpin


Seorang Pemimpin, utamanya top leader seperti raja, perdana menteri,
presiden, sultan, malik dalam suatu negara (al-madinah al’uzma), gubernur untuk
tingkat di bawahnya yaitu propinsi (al-madinah al-wustha), wali kota atau bupati
untuk tingkat di bawah gubernur al-madinah ash-sughra), camat untuk wilayah
yang lebih sempit di bawahnya, Lurah atau Kepala desa, yang seterusnya ketua
RW lalu ketua RT idealnya supaya yang paling luas ilmunya dan sempurna secara
fisik.
Kandungan pokok pertama dalam ( QS. Al Baqarah : 247 ) kekayaan
seorang calon pemimpin tidak menjadi syarat, melainkan ilmunya, ilmu
memerintah atau ketatanegaraan. Syarat ini tentu amat penting. Dapat
dibayangkan jika pemimpin tidak memiliki konsep yang matang, tepat dan benar
untuk membawa negara ke arah keadilan, kemakmuran, dan ketenteraman
bersama yang berlatar belakang berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan

10
golongan dari suatu negara . Cepat atau lambat, mungkin yang benar secara cepat
negara itu pasti ambruk, kacau, dan penuh huru-hara di negeri tersebut.
Kandungan pokok kedua dari ayat tersebut adalah seorang pemimpin
haruslah sehat jasmani secara sempurna. Penampilan seorang pemimpin, presiden,
perdana mentri, raja atau yang lain yang sejenis, umpama buta, tuli, pincang
kronis, gagap kalau ngomong tentu kurang menimbulkan simpati orang banyak.
Orang seperti itu, mengurus dirinya butuh bantuan, bagaimana ia bisa mengurus
negara ? Kebijakankebijakan dalam kenegaraan dari pemimpin yang cacat tubuh
dikhawatirkan terjadi secara emosional, lebih-lebih kalau penyakitnya sedang
akut. Bisa saja suatu saat di suatu negara mencari putra bangsa yang memiliki
prestasi basthatan fi al-ilm wa al-jism sulit. Secara fisik cacat pun boleh jika
memang tidak ada yang lain dengan syarat ilmu sebagai perangkat mutlak tetap
ada pada diri sang pemimpin.
Kandungan pokok yang ketiga adalah syarat seorang pemimpin harus adil
dalam semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Pengertian adil secara
umum adalah wad’u syaiin fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya).
Penerapan adil umpama menghukum yang salah dan membela yang benar dalam
suatu perkara delik aduan di pengadilan. Atas dasar syarat-syarat seorang
pemimpin sebagai mana dijelaskan oleh Alquran maupun as-Sunnah di atas harus
menjadi dasar pemerintahan negara. Baik uji teoritis maupun praktis tentu konsep
ini merupakan cara terbaik dibanding dengan teori manapuin. Syarat keadilan
yang dikehendaki Islam mencakup lintas ras, sosial, budaya, dan agama sekaligus
tidak menghendaki praktik apartheit, rasialis, dan diskrimanasi.

2. Kewajiban seorang pemimpin


Bagi seorang pemimpin, umpama presiden, negara dan dan
pemerintahannya adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hari kiyamat.
(H.R. Muslim,II : 124). Maka kewajiban pemimpin adalah
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Lafal bagi Muslim untuk ‘anhum’
adalah ra’iyyatih. Kata ra’in yang berarti pengembala, maksudnya adalah

11
pemimpin umat. Kata itu ( ra’in) berasal dari kata kerja lampau (fi’il madi) ra’a
yang berarti mengembala dan arti paraktisnya adalah pemimpin/pengelola negara.
Dari kata itu juga dapat dibentuk kata ra’iyyah yang berarti gembalaan.
Secara praktis gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau orang banyak, dan
kata ra’iyyah itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat.
Jadi ra’in berarti pemimpin, dan ra’iyyah berati rakyat. Kewajiban pokok bagi
seorang pemimpin mengusahakan negara dalam keadaan aman, tenteram , dan
makmur. Negara yang makmur adalah negara yang secara umum kondusif dan
baik.
Jika seorang pemimpin tidak menjalankan amanah dengan baik secara
sengaja, ia dikategorikan sebagai pengkhianat. Salah satu pengkhianatan dalam
pemerintahan adalah korupsi. Koruptor akan menuai siksaannya di akhirat.
Barang yang dikorupsikan akan melilit pada lehernya. Ketika itu ia meminta
syafaat kepada Nabi. Nabi menjawab “Aku tidak bisa menolong (mengasihani
kamu). Aku dulu pernah menyampaikan (al-haq) kepadamu (H.R.Muslim,II :
126-127). Artinya, di dunia Nabi telah memberikan penerangan supaya
memerintah dengan baik, jujur, dan adil, tetapi pemimpin itu tidak mengindahkan
penerangan Nabi. Mereka malah mengkhianatinya. Kewjiban lain seorang
pemimpin (imam, presiden dan yang sejenis ) merupakan benteng terakhir dalam
suatu negara. Di dalam kekuasannyalah rakyat itu wajib berperang
mempertahankan negara dari ancaman musuh atau mengajak semua rakyat untuk
bertakwa kepada Allah.
Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai orang-orang di
belakangnya (rakyat) itu berperang atau takwa karena perintahnya. Jika ia
memerintahkan takwa kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, maka ia
memperoleh pahala karenanya. Jika ia memerintahkan yang selainnya, ia akan
memeperoleh akibatnya. H.R. Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II : 132).
Syarat pemimpin yang demikian itu harus memiliki keberanian
memutuskan sesuatu secara cepat dan tepat dalam semua keadaan. Pemimpin
tidak bisa bersembunyi di balik layar kenegaraan atau hanya bersenang-senang
melulu kemudian urusan negara diserahkan kepada para pembantu-pembantunya.

12
3. Hak Pemimpin
Selagi pemimpin menjalankan kewajibannya secara baik dan tidak
mengajak ke arah kemungkaran, mereka wajib ditaati baik dalam keadaan lapang
atau sempit, baik dalam keadaan normal atau darurat. Nabi meminta janji setia
(baiat) yang digambarkan oleh kakek Ubadah demikian:
“Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW. Untuk mendengar dan taat
kepadanya baik dalam keadaan lapang atau sempit,dalam keadaan yang
menyenangkan atau menjengkelkan, supaya kami mengikuti jejaknya, supaya
kami tidak saling menentang suatu urusan kepada ahlinya, supaya kami
senantiasa berkata secara benar di manapun kami berada, dan supaya kami
senantiasa takut kepada Allah selamanya” H.R.Muslim dari kakek Ubadah
(Muslim,II : l3l-l32).

4. Kewajiban Rakyat.
Kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpin (pemerintah). Hadis
tentang hak pemimpin di atas sekaligus menjadi kewajiban rakyat. Tetapi ketaatan
rakyat kepada pemimpin hanya terbatas kepada hal-hal yang baik saja.
“Bagi seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik
terhadap sesuatu yang menyenangkan atau yang menjengkelkan kecuali jika
diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah maksiat maka tidak perlu
mendengarkan atau taat (kepada pemimpin itu)” H.R. Muslim dari Ali (Muslim,II
: l3l).
Jika pemimpin memiliki kebijakan yang kurang menyenangkan hendaklah
bersabar, tidak boleh bughat (menentang) apalagi berdemonstrasi secara anarkhis.
”Barang siapa melihat sesuatu dari amir (pemimpin) yang tidak menyenangkan
hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya barang siapa keluar dari
jamaahnya (menentang kebijakan negara) sejengkal saja kemudian ia mati, maka
matinya terhitung jahiliah” H.R. Muslim dari Ibnu Abbas (Muslim, II : 131).
Sesuatu yang tidak menyenangkan belum tentu melanggar syariat. Rakyat
suatu negeri pasti terdiri atas banyak kepentingan, satu dengan yang lain sangat
mungkin bertentangan. Pemerintah sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan

13
yang bersifat delimatis. PKL (pedagang kaki lima ) yang mengakibatkan kumuh
di suatu area yang demi kepentingan yang lebih luas harus asri dan bersih, dan
menyebabkan arus lalu lintas sempit dan macet yang menurut ilmu
kepemerintahan area itu harus lancar dan bebas hambatan dalam berlalu lintas dan
bermobilisasi, harus ditata ulang yaitu dialihkan ke lokasi lain. Dalam hal ini PKL
semacam ‘dikorbankan’. Dalam keadaan seperti ini rakyat, LSM, atau komponen
lainnya harus tetap bersabar. Jangan malah sok menjadi pahlawan rakyat tertindas
dengan cara meprofokasi rakyat untuk menentang pemerintah. Ancaman Nabi
dalam hadis itu jika mereka (para penentang) kebijakan delimatis jika mati,
matinya terhitung jahiliah, alias non muslim.
Senada dengan hadis itu Nabi juga bersabda “Barang siapa yang keluar
dari ketaatan (kepada iman ) dan memisah dari jamaah (rakyat dalam
kesatuannya) kemudian ia mati, maka ia mati secara jahiliah (non muslim), dan
barang siapa yang berperang di bawah kebutaan pendapatnya maka ia dimurkai
karena menuntut kepentingan kelompoknya”
“Barang siapa berperang karena kelompoknya, ia bukan dari golonganku
(Nabi). Barang siapa keluar dari umatku, bagi umatku wajib memerangi
pemutusan hubungan dan kelancangannya. Para wanitanya yang tidak takut dan
tidak menepati janjinya maka mereka (juga) bukan golonganku (Nabi)” H.R.
Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II : l35).
Hadis di atas ini perlu dicermati dengan hati-hati dan tepat. Orang yang
menentang pemerintahan dengan catatan pemerintah syah dan kebijakannya benar
dengan cara mogok makan atau berdemonstrasi dengan merusak fasilitas negara
dan menciptakan opini yang tidak objekktif dan menghasut orang banyak,
tindakan ini sebenarnya konyol. Jika ia beragama Islam, pengakuannya tidak
diterima oleh Nabi dan jika mati digolongkan non muslim. Berdalih apapun Islam
tidak membenarkan mogok makan dan minum yang membahayakan
kesehatannya, apalagi berakibat mati. Jika ia tidak bisa bersabar karena perilaku
pemimpin (bisa berarti presiden, perdana mentri, amir, sultan, dan khalifah) selagi
tidak mengajak kepada rakyat untuk bermaksiat seperti yang ia perbuat, rakyat

14
cukup membenci dalam hati dan tidak perlu mengacuhkan. Dalam hal ini Nabi
bersabda:
“ (suatu saat) akan ada seorang penguasa ( yang berperangai jelek). Kami semua
mengetahui (kejelekannya) dan kamu mengingkarinya. Barang siapa mengetahui
maka ia bebas (tak ada urusannya) dan barang siapa mengingkari ia pasti
selamat, sementara itu ada orang yang senang dan mengingkarinya.”
Sahabat bertanya: Apakah aku tidak boleh memerangi mereka wahai
Rasulullah ? jawabnya: Jangan. Kamu cukup membenci dan mengingkari dalam
hatimu saja.H.R.Muslim dari Ummu Salamah (Muslim, II : 137).
Seandainya perilaku peminpin itu berperilaku munafik umpama ia
menggunakan idiom-idiom, ikon-ikon, ‫ش‬tau simbol-simbol agama sementara
rakyat tidak lagi mempunyai wakil untuk memperbaiki keadaan tetaplah konsisten
dalam kesabarannya. Nabi bersabda:
“Hendaklah mengingkari dari semua golongan itu meskipun engkau memakan
dangkel pohon dan engkau menemui ajal dalam keadaan demikian .H.R.Muslim
dari Huzaifah bin al-Yaman.” (Muslim, II : 135).
Maksud hadis itu menggambarkan para pemimpin di suatu negri dalam
keadaan tidak menentu, penuh huru-hara, suasana tidak terkendali, dan kamu -
tidak lagi memiliki kawan seperjuangan atau pemimpin seperjuangan untuk
mengembalikan keadaan negara yang baik dan stabil, dalam keadaan ini harus
tetap beriman, tidak boleh menyeberang agama, meskipun tidak lagi memiliki
makanan hingga memakan dangkel pohon, bahkan mati karenanya.
Berdemonstrasi, atau bahkan memerangi pemimpin - tetapi tidak berdemo
nstrasi dengan mogok makan - suatu saat justru dibenarkan dan wajib, yaitu suatu
saat suatu negri ada dua pemimpin, satu diantaranya harus diperangi, yaitu
pemimpin yang sebenarnya tidak berhak memimpin, karena tidak mungkin dua-
duanya benar. Salah satu dari keduanya pastisalah. Yang pasti salah itulah yang
wajib diperangi. Nabi bersabda : “Jika (kamu) dibaiat untuk dua khalifah maka
perangilah salah satu dari keduanya”.
Satunya lagi yang tidak diperangi karena memang berhak untuk
memerintah, ia wajib ditegakkan dan wajib didukung. Jika pemimpin itu pada

15
akhirnya tidak bermoral, mengacu kepada hadis-hadis shahih tidak ada yang
membenarkan untuk menggulingkan pemimpin. Hadis-hadis tentang kewajiban
rakyat yang telah diuraikan itu dapat dijadikan acuan bagi kesimpulan ini.
Umumnya kaum sunni seperti Asy’ari, al-Baqillani, al-Mawardi, an-Nasafi, at-
Taftazani, dan an-Nawawi juga berpendapat demikian. Namun sebagian
Syafi’iyyah, kaum teolog seperti al-Baghdadi, al-Ijji, al-Jurjani, Ibnu Hazm, dan
kaum Mu’tazilah membenarkan pemberhentian pemimpin yang tidak bermoral,
khiyanat, dan tidak melaksanakan amanahnya (Mumtaz Ahmad, l994 : l03-l04).
Dengan dimikian dasar kudeta hanyalah ijtihadiyah dari ulama saja.

5. Hak Rakyat
Apa yang menjadi hak rakyat adalah apa yang menjadi kewajiban
pemerintah, dengan demikian hak mereka memeperoleh hak hidup secara aman,
tenteram, dan perlindungan dari pemerintah selagi mereka tidak mengganggu
stabilitas negara dan ketertiban umum.

6. Hak dan Kewajiban Berimbang antara Pemerintah dan Rakyat


Secara prinsip hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah itu
berimbang. Selagi pemerintah itu melaksanakan amanahnya, yaitu mewujudkan
pemerintahan yang bersih (tidak korup) dan berwibawa, memperhatikan dan
mengusahakan keamanan dan kemakmuran umum, rakyat dilindungi hak-haknya,
rakyat harus patuh terhadap pemerintah. Nabi bersabda: “dengarkanlah dan
taatlah (olehmu rakyat). Apa yang menjadi (hak dan kewajiban) mereka
(pemerintah) adalah memang hak dan kewajiban mereka, dan apa yang menjadi
hak dan kewajiban mu memang ada padamu” ( H.R. Muslim, II : l34).

7. Prinsip Demokratis
Yang dimaksud demokratis adalah hak kebebasan bagi rakyat untuk
memilih siapa pemimpin yang dikehendaki atau yang disenangi dan tidak memilih
calon pemimpin yang tidak disenangi.

16
Dari Rasulullah SAW. Bersabda: “Pilihanmu terhadap pemimpinmu
adalah orang yang kamu senangi dan menjalin persaudaraan denganmu dan
kamu juga menjalin persaudaraan dengan mereka. Jeleknya pemimpinmu adalah
orang yang kamu memarahi mereka dan mereka memarahi kamu, kamu melaknat
mereka dan mereka melaknat kamu. Dikatakan: Wahai Rasulullah ! apakah kami
tidak boleh meluruskan mereka dengan pedang ? Jawab beliau : Jangan ! Selagi
di antara kamu (bebas) mendirikan salat. Jika kamu melihat orang yang
memimpin kamu berbuat hal yang tidak menyenangkan, maka membencilah kamu
terhadap perbuatan mereka dan janganlah kamu menentangnya.” H.R. Muslim
dari ‘Auf bin Malik (Muslim,II : l38).
Hadis di atas secara implisit membolehkan adanya kelompok partai. Dari
kelompok partainyalah seseorang mengajukan calon pemimpin. Kelompok lain
juga berbuat yang sama. Calon pemimpin yang akhirnya menjadi pemimpin,
kelompok partai manapun harus menaatinya. Ketaatan yang dimaksud hadis itu
begitu ditekankan sehingga kalau kita (rakyat) melihat oknom pejabat berbuat
yang tidak menyenangkan (ditinjau dari syariat), rakyat tidak boleh memberontak,
melainkan cukup tidak menyenanginya atau bersabar selagi kebebasan beribadah
masih tetap berlaku di negara itu.

8. Prinsip Bermusyawarah (syura)


Syura berbeda dari demokrasi, khususnya dari aspek generikanya. Syura
memiliki dimensi teologis karena bersumber dari wahyu ilahi dan suci (sacral)
dan demokrasi tidak memiliki dimensi teologis karena bersumber dari pemikiran
manusia dan bersifat provan. Dalam demokrasi secara konseptual memberikan
hak kepemimpinan bagi yang memperoleh suara terbanyak dan yang selainnya
supaya tetap menghormati, dan masih memberi hak oposisi untuk melakukan
kontrol terhadap pemerintah; sementara itu dalam syura memberikan hak
kepemimpinan kepada yang paling sanggup memikul amanah Allah dalam
bermasyarakat dan bernegara meskipun tidak didukung (baiat) oleh mayoritas,
tidak memberi hak oposisi, semuanya harus taat kepada pemimpin syah.

17
Meskipun demikian secara praktis antara demokratis dan syura amat
seiring dan sejalan. Dalam memilih seorang pemimpin, wujud syura adalah baiat
dan baiat secara praktis diwujudkan dengan pemungutan suara (Mumtaz, l994 :
l04) dan pemungutan suara adalah essensi demokrasi itu sendiri. Selanjutnya baik
syura maupun demokrasi dimaksudkan untuk memecahkan semua persoalan yang
menyangkut kepentingan bersama, termasuk di dalamnya mengenai kehidupan
politik. Allah berfirman :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada
Nya“. (QS. Ali Imran : l59).
Di samping mengadung prinsip syura dalam praktik berpolitik, ayat
tersebut memberikan prinsip santun dan lemah lembut, sehingga tidak
memberikan peluang praktik-praktik yang bersifat kasar, mengumpat, menghujat,
memfitnah, anarkhis dan destruktif. Jika ada perbedaan antara kebijakan
pemerintah dan rakyat, Alquran menganjurkan selain bermusyawarah menuju
mufakat, supaya kembali kepada petunjuk Alquran maupun as-Sunnah. Alquran
mengatakan dalam surah An-Nisa ayat 59 yang artinya :
“ ...kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ... “
Kalau Alquran telah menjadi hakim terakhir, maka apapun keputusan
Alquran maupun as-Sunnah harus dijujung tinggi, dilaksanakan, dan diamalkan
oleh semua pihak yang bertikai. Siapa yang mengkhianati putusan atas dasar
petunjuk Alquran maupun as-Sunnah, wajib diluruskan.

18
E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup bersama
termasuk dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu antara lain.
1. Perintah untuk bersatu
Islam melalui Al-Quran menganjurkan agar antar kelompok, antar
golongan maupun antar partai saling melakukan ta’aruf (perkenalan). Allah
berfirman: “ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. ( QS. Al
Hujurat : 13 ).
Ayat ini sekaligus menjelaskan paham persamaan (egalitarianisme) untuk
semua manusia atau lintas batas: ras, agama, bahasa, maupun adat istiadat. Allah
menegaskan tinggi rendah martabat seseorang hanya ditentukan oleh takwa, itu
saja Allah tidak menentukan di mana batas tertinggi maupun terendah takwa.
Hanya Allah saja yang mengetahui karena Dia lah yang menentukan batas-batas
itu. Allah justru menjelaskan bahwa kita, manusia adalah suatu organis (umat)
tunggal dan Allah lah satu-satunya yang disembah.
Allah berfirman: “ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku “. ( QS.
Al Anbiya : 92 ).
Pemahaman terhadap Al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 menunjukkan
bahwa manusia diciptakan bersuku-suku, dan surat al-Mukminun ayat 52
menjelaskan bahwa manusia adalah umat yang satu. Ini berarti berbagai suku,
berbagai golongan, berbagai kelompok, termasuk di dalamnya kelompok politik
atau yang lainnya supaya tetap bersatu. Pengikat persatuan adalah takwa. Karakter
takwa antara lain menjalankan semua perintah Allah sejauh yang diketahui dan
menjauhi larangan- Nya. Jadi, ukurannya gampang kalau orang itu takwa pasti
iman dan senang bersatu dan menjaga persatuan dan kesatun.

19
2. Larangan untuk saling curiga
Islam melarang kepada semua orang baik dalam kapasitasnya sebagai
individu, sebagai kelompok sosial, maupun kelompok-kelompok yang lain
termasuk kelompok politik untuk saling curiga, saling melecehkan atau yang
semakna dengannya. Allah berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang “. ( QS. Al Hujurat : 12 ).
Dengan demikian, terhadap orang lain atau kelompok lain haruslah saling
mengembangkan husnuzhan (berprasangka baik). Kalau masing-masing
kelompok saling menaruh husnuzhan tentu akan mempererat hubungan mereka
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 13 surat al-Hujarat tersebut.
Kecurigaan dan pelecehan terhadap kelompok lain hanya akan
menghasilkan ketegangan antar individu maupun antar kelompok karena
kelompok yang dicurigai jika mengetahuinya pasti tersinggung hanya dirinya
sebagai individu maupun atas nama kelompok. Kelompok ini tentu membalas
mencurigai kepada kelompok pencuriga tersebut. Akibatnya mudah ditebak, pasti
timbul saling mencurigai di antara mereka. Saling curiga tentu mudah menigkat
menjadi disintegrasi bahkan konflik di antara mereka. Sebagai bangsa akan
menjadi lemah jika elemen-elemen di dalamnya saling mencurigai dan bertikai.
Itulah sebabnya Allah melarang umat yang saling bercerai berai.
Allah berfirman: “ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,.... “ (QS. Ali Imran : 103 ).
Perintah untuk bersatu dan larangan untuk bercerai berai disertai juga
dengan alwa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman). Sudah barang tentu janji dan
ancaman Allah pasti terjadi. Rasulullah dibebaskan dari tanggung jawab terhadap
umatnya yang bercerai berai. Demikian firman Allah:

20
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka
menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat“. ( QS Al
An’am : 159 ).
Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah yang mengurus orang-orang yang
memecah-mecah dari keutuhan sebagai suatu umat, dan Allah pula yang akan
membalas kelakuan mereka itu, yaitu siksaan yang amat pedih.
“ dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat . “ ( QS. Ali Imran : 105 ).
Sebaliknya orang yang tetap istikamah dalam kesatuan umat, mereka
itulah sebagai orang yang mempererat petunjuk ilahi dan dapat merasakan
kenikmatan bersaudara (bersatu). Demikian firman Allah:
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk “. ( QS. Ali Imran : 103 ).
Mencermati perintah Allah agar kita bersatu dan larangan-Nya untuk
bercerai berai itu ternyata akibatnya kembali kepada manusia itu sendiri. “Bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan kesimpulan padat dari perintah untuk
bersatu dan larangan bercerai.

21
Latihan

1. Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak
mengenal politik. Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah
politik. Kemudian bedakan pengertian antara politik Islam dan politik
sekuler.

2. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah


Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya).” (Q.S. an-Nisa/4:59). Ayat
tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang
kurangnya mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan
jelaskan masing-masingnya.

3. Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah


orang yang diberi amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata
amanah itu seakar dengan iman, amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti
dari masing-masing amanah tersebut.

4. Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-


haknya. Dan jelaskan pula apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
rakyat terhadap negaranya.

5. Sebutkan Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan


Bangsa.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologis (istilah) dalam pengertian yang amat longgar “politik”
mengandung arti;
(1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, sistem pemerintahan,
dan dasar-dasar pemerintahan
(2) Semua urusan dan tindakan mengenai pemerintahan terhadap negara lain
(3) Pengembilan keputusan
(4) Kebijaksanaan, dan
(5) pembagian atau penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat (Miriam, l993: 8-9).
Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berpolitik meliputi : Syarat Seorang
Pemimpin, Kewajiban seorang pemimpin Hak Pemimpin, Kewajiban Rakyat, Hak
Rakyat, Hak dan Kewajiban Berimbang antara Pemerintah dan Rakyat, Prinsip
Demokratis, Prinsip Bermusyawarah (syura)
Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
adalah dimana Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup
bersama termasuk dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu yakni
Perintah untuk bersatu dimana pengikat persatuan adalah takwa. Karakter takwa
antara lain menjalankan semua perintah Allah sejauh yang diketahui dan menjauhi
larangan- Nya. Jadi, ukurannya gampang kalau orang itu takwa pasti iman dan
senang bersatu dan menjaga persatuan dan kesatuan. Serta Larangan untuk saling
curiga dimana memang pada dasarnya saling curiga tentu mudah menigkat
menjadi disintegrasi bahkan konflik di antara masyarakat. Sebagai bangsa akan
menjadi lemah jika elemen-elemen di dalamnya saling mencurigai dan bertikai.
Itulah sebabnya Allah melarang umat yang saling bercerai berai.

23
DAFTAR PUSTAKA

Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia.


Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak. [t.th.].
Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali
‘Aliyyah. Muhammad Syarqi Amim, [t.th.].
An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II.
Makkah: Dar Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th].
Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud
.III.[t.tp]:
Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982
Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983.
Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan,
2001.
Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak
Asasi Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981.
Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins
Publishers, l980.

24

You might also like