Professional Documents
Culture Documents
TERAPI CAIRAN
Oleh :
RIZKI ANITASARI
10310347
Pembimbing :
BAB I
1
PENDAHULUAN
Dalam keadaan sehat, tubuh memiliki mekanisme keseimbangan atau homeostasis yang
mengatur asupan dan pengeluaran air. Sebagai contoh, jika kita kurang minum air maka produksi
air kemih akan berkurang untuk menjaga kadar air tubuh dalam batas-batas normal. Juga, jika
tubuh kekurangan air setelah olah raga maka kita akan merasa haus dan minum. Ini adalah
mekanisme kompensasi tubuh.
Terapi cairan adalah suatu tindakan pemberian air dan elektrolit dengan atau tanpa zat
gizi kepada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi dan tidak bisa dipenuhi oleh asupan oral
biasa melalui minum atau makanan. Pada pasien-pasien yang mengalami syok karena perdarahan
juga membutuhkan terapi cairan untuk menyelamatkan jiwanya. Untuk dehidrasi ringan,
umumnya digunakan terapi cairan oral. Sedangkan pada dehidrasi sedang sampai berat, atau
asupan oral tidak memungkinkan, misal jika ada muntah-muntah atau pasien tidak sadar,
biasanya diberikan cairan melaui infus.
Terapi cairan melalui infus dikerjakan mulai dari Rumah Sakit yang paling canggih
sampai kunjungan rumah (home visit) yang diberikan oleh Paramedis s/d Dokter ahli. Ini
merupakan bagian manajemen pasien dan salah satu tindakan yang paling banyak dilakukan
untuk “menolong” pasien.
Khusus untuk Indonesia, dimana insiden demam berdarah dan diare yang tinggi dan
semakin banyak penduduk yang terancam dari tahun ke tahun, pemahaman tentang produk infus
dan terapi cairan tentunya sangat penting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan tubuh manusia
dewasa:
Bayi mempunyai cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan berubah
sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel dua kali cairan
ekstrasel.
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel, konsentrasi
ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Fungsi ginjal sempurna setelah anak mencapai
umur satu tahun, sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada saat terapi cairan.
Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB) menjadi darah. Jadi
volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah bila dihitung berdasarkan estimated
blood volume (EBV) adalah:
Neonatus = 90 ml/kg BB
Bayi = 80 ml/kg BB
Anak dan dewasa = 70 ml/kg BB
3
1. Dewasa:
Air
Na+ : 2 mEq/kg
K+ : 2 mEq/kg
Cairan masuk:
Minum : 800-1700 ml
Makanan : 500-1000 ml
- Balita = 8 ml/kg/hari
4
- Feses : 1 ml/hari
Tekanan hidrostatik
Tekanan osmotik
Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut extracell fluid atau cairan
ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang mempengaruhi pergerakan air melalui
dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan tekanan
onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler akan didorong mauk ke interstisial yang
berakibat edema.
Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah pergerakan
air. Albumin menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila albumin cukup pada
cairan intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke interstisial.
1. Cairan kristaloid
Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton) dengan atau tanpa
glukosa.
2. Cairan koloid
5
Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton), misal: protein
Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler.
3. Cairan khusus
Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%, Bicnat, Manitol
1. Ringer laktat
Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka bakar.
Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.
Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk maintenance sehari-hari,
apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya ketosis.
2. Ringer
Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlh besar dapat menyebabkan asidosis
dilusional dan asidosis hiperkloremia.
Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat untuk memperingan
asidosis.
Dapat digunakan pada keadaan dehidrasi dengan hiperkloremia, muntah-muntah dan lain-
lain.
6
Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada alkalosis, retensi
kalium
Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala
Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi
Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak boleh diberikan pada
pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas ke dalam
sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa air yang
menyebabkan edema otak.
5. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium banyak
terbuang (diare, diabetik asidosis).
2.5 Cairan Koloid
2. Cairan pengganti
Cairan hipotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid
7
3. Cairan khusus
Cairan hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Bicnat
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan koloid. Pada
keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke dalam ruang
interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik
plasma ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.
Antara ruang intravaskuler dan interststial dibatasi oleh dinding kapiler yang permiabel
terhadap air dan elektrolit tetapi impermeabel terhadap makro (protein plasma). Cairan dapat
melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan onkotik menurun maka
tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan dari intervaskuler ke
interstisial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid. Ini
karena kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar 20% elektrolit
yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler yang lama sering
dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan merugikan jika terjadi
hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipovolemia yang tidak sengaja, khususnya pada pasien
penyakit jantung.
8
2.8 Efek terhadap Volume Interstitial
Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstitial. Pada syok terjadi defisit
cairan interstitial, pendapat lain yang menyatakan volume cairan interstitial meningkat pasca
syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini mungkin bias diterima, karena pada syok
hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstitial sedangkan pada syok hemoragik lanjut atau
syok septik akan terjadi perubhan permeabilitas kapiler sehingga volume cairan interstitial
meningkat. Pada keadaan volume cairan interstitial berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk
mengantikan defisit volume dibanding koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial. Jika volume cairan
interstitial bertambah, maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif, karena cairan
interstitial akan berpindah ke ruang intravaskuler. Pada pemberian koloid dapat terjadi reaksi-
reaksi yang tidak diinginkan, seperto gangguan hemostasis yang berhubungan dengan dosis.
Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg BB.
Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan syok hemoragik
dan diperlukan bila kehilangan darah mencapau 25% volume darah sirkulasi. Pada syok lainnya
darah berguna untuk mengembalikan curah jantung bila hematokrit rendah atau bila cairan gagal
mempertahankan perfusi. Transfusi darah mempunyai banyak resiko, seperti penularan penyakit
dan reaksi transfusi lainnya.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk menilai adequate
tissue oxygenation. VO2 meningkat setelah cardiac output meningkat, tetapi VO 2 tidak akan
meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah.
Ini menunjukkan bahwa oksigen uptake (VO2) lebih rasinal dipakai sebagai petunjuk
untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara individual.
2.10 Elektrolit
9
Gangguan elektrolit yang sering mengancam kehidupan pada pasien keadaan kritis adalah
kalium, natrium, kalsium, magnesium dan fosfat. Urgensi terapi tergantung pada keadaan klinis,
bukan kadar absolut (absolute electrolyte value).
a. Kalium
o Kalium penting untuk mempertahankan membran potensial elektrik.
o Gangguan kadar kalium terutama mempengaruhi system kardiovaskuler,
neuromuskuler dan gastrointestinal
o Kadar normal: 3,5-5,5 mEq/L
b. Natrium
o Natrium penting dalam menentukan osmolaritas darah, berperan pada regulasi
volume ekstrasel
o Gangguan natrium mempengaruhi neuronal dan neuromuscular junction
o Kadar normal: 135-145 mg/L
c. Kalsium
o Kalsium berfungsi untuk kontraski otot, transmisi impuls saraf, sekresi hormone,
pembekuan darah, pembelahan dan pergerakan sel dan penyembuhan luka
o Kadar kalsium sebaiknya dinilai dari ionized calcium
o Kadar normal: 1-1,25 m.mol/L
d. Fosfat
o Berperan dalam metabolism energy
e. Magnesium
o Berfungsi untuk transver energy dan stabilitas elektrik.
10
DAFTAR PUSTAKA
2.Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Parktis Anestesiologi, Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2001.
3.Leksana E. Terapi Cairan dan Darah. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 2000 Mei.
4. Leksana E. Terap Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
6. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien Kritis. Second
Fundamental Course on Fliud Therapy. PT Widatra Bhakti: Jakarta, 2003.
11