You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini pacaran telah membudaya. Secara sederhana dapat dijabarkan pacaran ialah
suatu hubungan pria maupun wanita lebih dari sekadar teman, alasan klasiknya tentu ingin
mengenal pribadi pasangan lebih jauh agar tak salah memilih pasangan hidup nantinya. Sebab
tersebut tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, melihat kesehariannya remaja para pelaku utama
pacaran tidak hanya berdasar pada niat tersebut. Seringkali menganggap hubungan itu hanya
untuk kesenangan belaka, setelah mendapat pria atau wanita lebih baik sesuai karakter atau
kriteria yang diharapkan maka berakhirlah hubungan mereka. Ini tentu tidak rasional jika
membenarkan bahwa pacaran diperbolehkan.

penerapan aktivitas Tradisi pacaran memiliki variasi dalam pelaksanaannya dan sangat
dipengaruhi oleh tradisi individu-individu dalam masyarakat yang terlibat. Dimulai dari proses
pendekatan, pengenalan pribadi, hingga akhirnya menjalani hubungan afeksi yang ekslusif.
Perbedaan tradisi dalam pacaran, sangat dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan yang dianut
oleh seseorang. Menurut persepsi yang salah, sebuah hubungan dikatakan pacaran jika telah
menjalin hubungan cinta-kasih yang ditandai dengan adanya aktivitas-aktivitas seksual atau
percumbuan. Tradisi seperti ini dipraktikkan oleh orang-orang yang tidak memahami makna
kehormatan diri perempuan, tradisi seperti ini dipengaruhi oleh media massa yang menyebarkan
kebiasaan yang tidak memuliakan kaum perempuan. Sampai sekarang, tradisi berpacaran yang
telah nyata melanggar norma hukum, norma agama, maupun norma sosial di Indonesia masih
terjadi dan dilakukan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang tidak mememiliki
pengetahuan menjaga kehormatan dan harga diri yang semestinya mereka jaga dan pelihara.

Manusia diciptakan oleh Allah taala membawa fitrah (insting) mencintai lawan jenis,
sebagaimana firmanNya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran : 14).
Berkata Imam Qurthubi : Allah taala memulai firmanNya yaitu wanita karena manusia banyak
menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi
kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah
yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita. (HR. Bukhari : 5696, Muslim : 2740, Tirmidzi
: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar. (Tafsir Qurthubi 2/20).
Rasulullah SAW pun, sebagai manusia tak luput dari rasa cinta terhadap wanita. Dari Annas bin
Malik RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Disenangkan kepadaku dari urusan dunia
wewangian dan wanita. (HR. Ahmad 3/285, Nasai 7/61, Baihaqi 7/78 dan Abu Yala 6/199 dengan
sanad hasan. Lihat Al-Misykah : 5261).
Karena cinta merupakan fitrah manusia, maka Allah taala menjadikan wanita sebagai
perhiasan dunia dan nikmat yang dijanjikan bagi orang-orang beriman di surga yaitu bersama
bidadari.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Dunia ini adalah
perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalihah. (HR. Muslim 10/56, Nasai 6/69,
Ibnu Majah 1/571, Ahmad 2/168, Baihaqi 7/80). Allah pun berfirman : Di dalam surga-surga itu
ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik. (QS. Ar-Rahman : 70). Namun, Islam
sebagai agama paripurna para Rasul, tidak membiarkan fitnah itu mengembara tanpa batas,
Islam telah mengatur dengan tegas bagaimana menyalurkan cinta, juga bagaimana batas
pergaulan antara dua insan lawan jenis sebelum nikah, agar semuanya tetap berada dalam
koridor etika dan norma sesuai syariat Islam.

Kenyataan berbicara sering dijumpai perilaku menyimpang berpacaran. Hubungan ini


mengarah ke perbuatan zina, sebagaimana telah dijelaskan bahwa hamba Allah tidak boleh
mendekati zina, bisa dipahami untuk mendekati zina saja tidak diperbolehkan bagaimana bila
dilakukan atau terjerumus dalam perbuatan zina yang menyesatkan ini. Berpegangan tangan,
berpandang-pandangan pada lawan jenis yang bukan makhrom jelas haram hukumnya.
Sementara itu, hal-hal tersebut lumrah dilakukan selama berpacaran. Melihat beberapa isu-isu
tersebut, kami mengangkat pembicaraan seputar dunia pacaran, yakni bagaimana tinjauan Islam
terhadap pacaran, solusi yang ditawarkan, serta hal-hal lain terkait pacaran.

B. Tujuan Penulisan
Adanya makalah ini bertujuan agar memberi sedikit gambaran mengenai pacaran, semoga
penulis maupun pembaca dapat memahami hukum tentang perkra pacaran dari syari’ah islam
dan mengambil manfaat dari tulisan ini, serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Aamin aamin ya robbal ‘alamin. Terkhusus tinjauan Islam mengenai fenomena berpacaran
zaman sekarang.
BAB II
ISI
A. Definisi Pacaran

Pada dasarnya Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang
biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga
yang dikenal dengan pernikahan.Pada kenyataannya, penerapan proses tersebut masih sangat
jauh dari tujuan yang sebenarnya. Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari
kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi
yang semestinya tidak mereka lakukan.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadharminta (1989:623)
disebutkan bahwa "pacaran adalah teman lawan jenis tetap dan mempunyai hubungan intim
biasanya menjadi tunangan kekasih". Hidayat (1986:134) mengemukakan bahwa "pacaran
adalah proses pergaulan antara pria dan wanita yang lebih intern". Kartono (1986:186)
menyebutkan bahwa "pacar adalah seorang pemuda ideal, seorang partner tetap atau calon
jodoh". Adapun Suyono (1985:289) "pacaran adalah suatu cara bergaul secara lebih efektif
antara remaja usia menikah berlainan jenis, yaitu pria dan wanita berlangsung akrab dalam
rangka menentukan pilihan dan mencari jodoh".
Mastudli Sahli (1981:40) mengatakan bahwa masa "berpacaran adalah masa menemukan
calon teman hidup yang diinginkan keduanya agar kelak setelah menjadi suami- istri dapat hidup
ideal dan harmonis'. Pacaran menurut Reiss (dalam Mulawitri, 2003) adalah "hubungan antara
laki-laki dan perempuan, keduanya terlibat perasaan dan saling mengakui pasangan pacar".
Menurut AI-Ghifari (2003:19) memacari adalah mengencani, menjadikan dia sebagai pacar.
Ahli seksologi Dr. Boyke (dalam Mu'tadin, 2002 Online) berpacaran merupakan latihan
pendewasaan dan pematangan emosi. Melalui pacaran mereka bisa merasakan rindu dan
berlatih bagaimana harus sharing pada pasangannya (Selamihardja dan Yudana, 2005).
Menueurt beberapa referensi menyebutkan pacaran sendiri adalah budaya dan peradaban
jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir di negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti
oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Pacaran dikenal secara umum ialah suatu jalinan hubungan cinta kasih antara dua orang
berbeda jenis, bukan mahrom, anggapannya sebagai persiapan saling mengenal sebelum
akhirnya menikah.
B. Keuntungan dan Kerugian Berpacaran

Keuntungan selalu dinilai dari hasil yang didapat. Tanpa hasil berarti bukan berarti
keuntungan. Sedangkan kerugian adalah hasil yang buruk yang ditimbulkan dalam
melakukan suatu usaha maupun tindakan inilah kerugian.Kalau baik dapat berarti
keuntungan donk,Kalau buruk tentunya bermakna kerugian.

Pacaran yang dibahas di sini adalah hubungan sebelum menikah. Kalau sudah
menikah terserah deh,tidak perlu dibahas. Pacaran sebelum menikah bermakna
sebuah hubungan coba – coba yang belum jelas arahnya,dengan tujuan mengenal
pribadi lawan jenisnya.Kadang bukan sekadar mengenal tapi lebih kedalam.

Menurut pengamatan dari ahli dan saksi dari korbannya.

Keuntungan Pacaran antara lain :

-Mendapatkan perhatian lebih dari orang lain alias pacar yang kita pacari.
-Mudah membuang keluhan,unek-unek,alias berbagai curhat permasalahan yang
terjadi dalam hidup kepada pacar kita.
-Ada pendengar setia di saat senang maupun duka.
-Ada yang mentraktir baik makan,pulsa,dsb disaat kantong bolong.
-Tidak akan kesepian diri kita,karena ada yang setia menemani dimanapun
kapanpun.

Kerugian Pacaran antara lain :

-Mengurangi waktu kita,waktu kita 24 jam.Untuk berkomunikasi dengan pacar


membutuhkan waktu -/+ 5 – 10 jam perhari.
-Menghambat kerja otak,karena memikirkan satu obyek saja [pacar] akan membuat
otak kita semakin sempit dan dangkal.Belum lagi kalo Playboy
-Membuat berbohong,jelas sudah daripada aib kita ketahuan ntar si Pacar jadi ga
demen,lebih baik berbohong.
-Menghabiskan uang,apalagi zaman modern seperti ini.Habis uang pulsa,uang
bensin,dan uang – uang lainnya
-Menghambat cita- cita. Cita-cita di dapat dari suatu imajinasi dalam pikiran kita,jika
pikiran kita sudah berimajinasi kepada pacar,tentunya akan menghambat.
-Menambah dosa,tentunya bagi teman yang muslim pacaran sangat dilarang,karena
dapat menimbulkan nafsu birahi.
-Memunculkan fitnah,nanti kalau berduan di dalam rumah.Bisa Digrebek warga
-Menambah aib keluarga,jika tidak dapat menjaga nafsu tentunya bisa married
accident.
-Mengulur – ulur pernikahan.Sudah tidak heran lagi,karena keasikan
pacaran,sehingga mengulur – ulur pernikahan.
-Dapat menimbulkan efek sakit hati,apabila putus sehingga menimbulkan Mantan
Pacar.Mantan Pacar ini berbahaya lho,karena bisa maen hati setelah sudah beristri
besok.
-Mengurangi kewibawaan lelaki,memang hanya wanita yang dapat membuat lelaki
luluh.Tapi kalau tidak tepat waktunya,akan menghancurkan lelaki itu sendiri.

menurut penelitian beberapa ahli, 95% remaja sukses dikarenakan lebih fokus
kepada karier dan masa depan remaja itu sendiri,dan keuntungan bagi remaja yang
memikirkan masa depan. keuntungan yang lain bagi mereka yang memikirkan masa
depan khusunya bagi remaja laki-laki untuk mendapatkan pasangan hidup akan lebih
mudah jika masa depan lebih baik

C. Etika Pergaulan pada Lawan Jenis di Zaman Sekarang


1. Menundukan pandangan terhadap lawan jenis

Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukan pandangannya, sebagaimana


firmanNya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS. An-Nur : 30).
Sebagaimana hal ini juga diperintahkan kepada wanita beriman, Allah berfirman : Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya. (QS. An-Nur : 31).

2. Menutup aurat

Allah berfirman : Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. An-
Nur : 31).

Juga firmanNya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mumin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59).

Perintah menutup aurat juga berlaku bagi semua jenis, sebagaimana sebuah hadits : Dari
Abu Said Al-Khudri RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah seorang laki-laki
memandang aurat laki-laki, begitu juga wanita jangan melihat aurat wanita. (HR. Muslim 1/641,
Abu Dawud 4018, Tirmidzi 2793, Ibnu Majah 661).

3. Adanya pembatas antara laki-laki dengan wanita

Jika ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir
pembatas. Firman Allah : Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita)
maka mintalah dari balik hijab. (QS. Al-Ahzab : 53).

4. Tidak berdua-duaan bersama lawan jenis

Dari Ibnu Abbas RA berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda; Janganlah seorang
laki-laki berdua-duaan (Khalwat) dengan wanita kecuali bersama mahramnya. (HR. Bukhari
9/330, Muslim 1341).

Dari Jabir bin Samurah berkata : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah salah seorang dari
kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, karena syetan akan menjadi yang ketiganya. (HR.
Ahmad 1/18, Tirmidzi 3/374 dengan sanad Shahih, lihat Takhrij Misykah 3188).

5. Tidak mendayukan ucapan

Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman
Allah : Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS. Al-Ahzab : 32).

Berkata Imam Ibnu Katsir : Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada
para istri Rasulullah saw serta para wanita muminah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara
dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan
orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).

6. Tidak menyentuh lawan jenis

Dari Maqil bin Yasar RA berkata : Rasulullah SAW bersabda : Seandainya kepala seseorang
ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. (HR. Thabrani dalam Mujam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam musnadnya 1283
dengan sanad hasan, lihat Ash-Shohihah 1/447/226). Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah :
Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang
tidak halal baginya. (Ash-Shohihah 1/448).

Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti
membaiat dan lain-lain. Dari Aisyah berkata : Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah
menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun saat membaiat. (HR. Bukhari 4891).

Inilah sebagian etika pergaulan laki-laki terhadap wanita selain mahram. Apabila seseorang
melanggar semua atau sebagian saja akan menjadi dosa zina baginya, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW : Dari Abu Hurairah RA dari Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah
menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, pasti akan mengenainya. zina mata dengan
memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan,
lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya. (HR. Bukhari 4/170, Muslim
8.52, Abu Dawud 2152).

Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal dipandang meski tanpa
syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati
adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati atau
menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak halal disentuh baik
memegang atau lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita penarik
hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan
mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi
kemaluannya mengikuti yaitu melakukan perzinaan (kemaluannya telah membenarkan); atau dia
selamat dari zina kemaluan, berarti kemaluannya telah mendustakan. (Syarh Riyadhus Shalihin
An-Nawawi; Syaikh Shalih Al-Utsaimin, hadits no. 1619).

Padahal Allah taala telah melarang perbuatan zina dan mendekati perzinaan (Lihat Hirosatul
Fadhilah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 94-98) firman Allah : Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan buruk. (QS. Al-Isra : 32).

D. Hukum Pacaran
Setelah memperhatikan ayat dan hadits di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa pacaran itu
haram, karena beberapa sebab berikut :
1) Orang yang sedang pacaran tidak mungkin menundukan pandangannya terhadap kekasihnya.
2) Orang yang sedang pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.
3) Orang yang sedang pacaran biasanya sering berdua-duaan dengan kekasihnya, baik di dalam
rumah atau di luar rumah.
4) Wanita akan bersikap manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya.
5) Pacaran identik dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya
jabat tangan.
6) Orang yang sedang pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainya.
Dalam kamus pacaran, hal-hal tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal satu hal saja cukup
untuk mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?

Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya


mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti
ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan jika kita berfikir lebih, bentuk pacaran
pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini.

Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina

Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya
melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian
kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas
layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang
mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di
berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati
zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina.
Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

ً ‫س ِّب‬
‫يل‬ َ ‫احشَةً َو‬
َ ‫سا َء‬ ِّ ‫َو ََل ت َ ْق َربُوا‬
ِّ َ‫الزنَا ِّإنَّهُ َكانَ ف‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah
menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis
saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut
juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”

Kedua: Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan

Padahall Allah Ta'ala perintahkan dalam firman-Nya,

َ‫ص َنعُون‬ َّ ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَلِّكَ أ َ ْزكَى لَ ُه ْم إِّ َّن‬


ٌ ِّ‫َّللاَ َخب‬
ْ َ‫ير بِّ َما ي‬ ُ َ‫ار ِّه ْم َويَحْ ف‬ َ ‫قُ ْل ِّل ْل ُمؤْ ِّمنِّينَ يَغُضُّوا ِّم ْن أ َ ْب‬
ِّ ‫ص‬

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".” (QS. An Nur:
30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk
menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom.
Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia
segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

‫ص ِّرى‬
َ ‫ف َب‬ ْ َ ‫ظ ِّر ْالفُ َجا َء ِّة فَأ َ َم َر ِّنى أ َ ْن أ‬
َ ‫ص ِّر‬ َ َ‫ َع ْن ن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ .

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang
cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”

Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ ِّإَلَّ َمحْ َرم‬، ُ‫طان‬ َّ ‫ فَإ ِّ َّن ثَا ِّلثَ ُه َما ال‬، ُ‫أََلَ َلَ يَ ْخلُ َو َّن َر ُج ٌل ِّبا ْم َرأَة َلَ ت َِّح ُّل لَه‬
َ ‫ش ْي‬

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya
karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila
bersama mahromnya.” Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan
berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat
(sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang
juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).

Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina

Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini
menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫سانُ ِّزنَاه‬
َ ‫الل‬
ِّ ‫ع َو‬ُ ‫ان ِّزنَا ُه َما ا َِّل ْستِّ َما‬ِّ َ‫ظ ُر َواألُذُن‬ ِّ ‫الزنَى ُمد ِّْركٌ ذَلِّكَ َلَ َم َحالَةَ فَ ْال َع ْين‬
َ َّ‫َان ِّزنَا ُه َما الن‬ ِّ َ‫َصيبُهُ ِّمن‬ ِّ ‫ب َعلَى اب ِّْن آدَ َم ن‬
َ ِّ‫ُكت‬
َ ْ َ
ُ‫صدِّق ذلِّكَ الف ْر ُج َويُك َِّذبُه‬ُ َّ َ ْ َ ْ َ ُ
َ ُ‫الر ْجل ِّزنَاهَا الخطا َوالقلبُ يَ ْه َوى َويَت َمنى َوي‬ْ ُ ِّ ‫ش َو‬ ْ ْ ْ َ َ
ُ ‫الكل ُم َواليَد ُ ِّزنَاهَا البَط‬ ْ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi,
tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan
dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari
yang demikian.”

Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah
bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin
pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal
pelanggaran-pelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran
Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami,
dan seterusnya.

E. Fatwa Ulama Seputar Pacaran


Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang hubungan cinta sebelum nikah
(pacaran) Jawab beliau : Jika hubungan itu sebelum akad nikah, baik sudah lamaran ataupun
belum, maka hukumnya haram, karena tidak boleh seseorang untuk bersenang-senang dengan
wanita asing (bukan mahramnya) baik lewat ucapan, memandang, ataupun berdua-duaan.
Sebagaimana telah tsabit dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda : Janganlah seorang laki-
laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, dan janganlah seorang
wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. (Fatwa Islamiyah kumpulan Muhammad Al-
Musnid 3/80).
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Jibrin ditanya : Kalau ada seorang laki-laki yang
berkorespondensi dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, yang pada akhirnya mereka
saling mencintai, apakah perbuatan itu haram Jawab beliau : Perbuatan itu tidak diperbolehkan,
karena bisa menimbulkan syahwat di antara keduanya, serta mendorongnya untuk bertemu dan
berhubungan, yang mana korespondensi semacam itu banyak menimbulkan fitnah dan
menanamkan dalam hati seseorang untuk mencintai perzinaan yang akan bisa menjerumuskan
seseorang pada perbuatan keji, maka saya menasehatkan kepada setiap orang yang
menginginkan kebaikan bagi dirinya untuk menghindari surat-suratan, pembicaraan lewat
telepon serta perbuatan semacamnya demi menjaga agama dan kehormatannya.
Syaikh Jibrin juga ditanya : Apa hukumnya kalau ada seorang pemuda yang belum menikah
menelepon gadis yang belum menikah? Jawab beliau : Tidak boleh berbicara dengan wanita
asing (bukan mahramnya) dengan pembicaraan yang bisa menimbulkan syahwat, seperti rayuan,
mendayukan suara baik lewat telepon maupun lainnya. Sebagaimana firman Allah taala : Dan
janganlah kalian melembutkan suara, sehingga akan berkeinginan orang-orang yang hatinya
terdapat penyakit. (QS. Al-Ahzab : 32). Adapun kalau pembicaraan itu untuk sebuah keperluan,
maka hal itu tidak mengapa apabila selamat dari fitnah, akan tetapi hanya sekedar keperluan.
(Fatwa Islamiyah 3/97).

F. Tips Efektif Menghilangkan Rasa Cinta dan Rindu kepada Orang yang Bukan Milik Kita

Pertama : Berusaha Ikhlas dalam Beribadah

Jika seseorang benar-benar ikhlas menghdapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya
dari penyakit rindu dengan cara, tak pernah tebersit di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan
nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas
kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih
nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang
dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena
adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang
baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”

Kedua: Banyak Memohon pada Allah

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a,
merasakan kebutuhannya kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Termasuk di
antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan
kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah
gulana, sedih, dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

‫َوقَا َل َربُّ ُك ُم ادْعُو ِّني أ َ ْست َِّجبْ لَ ُك ْم‬

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-
Mu’min:60)

Ketiga: Rajin menjaga pandangan

Pandangan berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah
api dengan kerinduan.Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapat rasa
kasmaran. Namun,pandangan berulang-ulanglah merupakan biang kehancuran.Oleh karena itu,
kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati tetap terjaga. Lihatlah Surat An-Nur
ayat 30.
Keempat: Lebih Giat Menyibukkan Diri

Dalam situasi kosong kegiatan seseorang biasanya lebih mudah untuk berangan memikirkan
orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran mudah lenyap begitu saja.
Ibnu Qayyim pernah menyebutkan nasihat seorang sufi ditujukan kepada Imam Asy Syafi’I. Ia
berkata,“ jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan
dengan hal-hal yang sia-sia (bathil)”.

Kelima: Menjauhi Musik dan Film Percintaan

Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar mengobarkan rindu pada orang yang
dicintai. Terlebih, jika nyanyian tersebut dikemas mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan
menggetarkan hati orang-orang dimabuk cinta. Akibatnya, rasa rindu semakin memuncak,
berbagai angan menyimpang pun terbersit dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah barang
tentu nyanyian dan tontonan seperti itu ditingga;kan untuk keselamatan serta kejernihan hati.
Sempat diungkapkan beberapa ulama, nyanyian adalah mantera-manteraa zina.

Ibnu mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana
air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin ‘Iyadh “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh
Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan mendatangkan kemurkaan Allah.”

G. Pandangan Ahli Hukum Islam (Fuqa- ha) Terhadap Pernikahan di Bawah Umur

Pada Keputusan Ijtima ’Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009 dinyatakan bahwa
dalam literatur fkih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia
pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri’
dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah, serta dalam rangka memperoleh
keturunan (hifz al-nasl) dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sem-
purna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, Komisi
fatwa menetapkan beberapa keten- tuan hukum. Pertama, Islam pada dasarnya tidak
memberikan batasan usia minimal per- nikahan secara defnitif. Usia kelayakan pernikahan adalah
usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ wa al­wujub), sebagai ketentuan sinn
al-rusyd. Kedua, per- nikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. Kedewasaan usia merupakan salah satu
indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan
bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan. Ketiga, guna merealisasi- kan
kemashlahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standardisasi usia seba- gaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.

Dalil-dalil yang menjadi dasar penetap- an ketentuan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an Surat (QS) An-Nisa’(4): 6
b. QS At-Thalaq (65): 4
c. QS An-Nur(24): 32
d. Hadits Muttafaq Alaih dari ‘Aisyah
e. Hadits Bukhari dan Muslim dari ‘Al-Qamah
f. Kaidah Fikih dalam Qawaid al-Ahkam f Mashalih al-Anam karya Izzuddin Abd al-Salam jilid I
halaman 51
g. Pandangan Jumhur fuqaha yang mem- bolehkan pernikahan usia dini.
h. Pandangan Ibn Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham, sebagaimana disebut- kan dalam Fath al-
Bari juz 9 halaman 237 yang menyatakan bahwa pernikah- an usia dini hukumnya terlarang,
dan menyatakan bahwa praktik nikah Nabi dengan ‘Aisyah adalah sifat kekhusus- an Nabi.
i. Pendapat Ibn Hazm yang memilah antara pernikahan anak lelaki kecil de- ngan anak
perempuan kecil. Pernikah-an anak perempuan yang masih kecil oleh bapaknya dibolehkan,
sedangkan pernikahan anak lelaki yang masih kecil dilarang.

Keputusan Komisi Fatwa MUI ter- sebut di atas, sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
Dr. HM Asrorun Ni’am Sholeh, MA, yang menyatakan bahwa dalam literatur fkih Islam tidak
terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan. Dengan demikian
perkawinan yang dilakukan orang yang sudah tua dipandang sah sepanjang memenuhi syarat
dan rukunnya, sebagaimana juga sah bagi anak-anak yang masih kecil.

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya,
namun mempelai masih kecil. Batasan pengertian kecil di sini merujuk pada beberapa ketentuan
fkih yang bersifat kualitatif, yakni anak yang belum baligh dan secara psikis belum siap
menjalankan tanggung jawab kerumahtanggaan. Semen- tara dalam perspektif hukum positif,
pengertian kecil disini adalah anak yang masih di bawah umur 19 tahun (bagi laki-laki) dan di
bawah 16 tahun (bagi perempuan). Secara umum, dalam menjawab hukum pernikahan dini,
pendapat para fuqaha dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, pandangan jumhur
fuqaha, yang membolehkan pernikahan usia dini. Walaupun demikian, kebolehan pernikahan
dini ini tidak serta merta membolehkan adanya hubungan badan. Jika hubungan badan akan
mengakibatkan adanya dlarar, maka hal itu terlarang, baik pernikahan pada usia dini maupun
sudah dewasa. Kedua, pandangan kedua yang dikemukakan oleh Ibn Syubrumah dan Abu Bakr
al-Asham, menyatakan bahwa pernikahan usia dini hukumnya terlarang secara mutlak. Ketiga,
pandangan ketiga yang dikemukakan Ibn Hazm. Beliau memilah antara pernikahan anak lelaki
kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh bapaknya
dibolehkan, sedangkan pernikahan anak lelaki yang masih kecil dilarang. Argumen yang dijadikan
landasan adalah zhahir hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi SAW. Ulama Hanabilah
menegaskan bahwa sekalipun pernikahan usia dini sah secara fkih, namun tidak serta merta
boleh hidup bersama dan melakukan hubungan suami isteri. Patokan bolehnya berkumpul
adalah kemampuan dan kesiapan psikologis perempuan untuk menjalani hidup bersama. Ibn
Qudamah menyatakan bahwa dalam kondisi si perempuan masih kecil dan dirasa belum siap
(baik secara fsik maupun psikis) untuk menjalankan tanggung jawab hidup berumahtangga, maka
walinya menahan untuk tidak hidup bersama dulu, sampai si perempuan mencapai kondisi yang
sudah siap. Bahkan lebih tegas lagi, Imam al- Bahuty menegaskan jika si perempuan me- rasa
khawatir atas dirinya, maka dia boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan badan.

Jika telah terjadi pernikahan usia dini, yakni seorang wali menikahkan anaknya masih kecil,
maka pernikahan tersebut hukumnya sah dan bersifat mengikat. Menurut Imam Malik, Imam
Syafi’I dan Ulama Hijaz, si perempuan tidak ada lagi khiyar untuk memfasakh, akan tetapi
menurut Ahl- al-Iraq, ia mempunyai hak memilih (khiyar) jika telah dewasa.

Asrorun Ni’am Sholeh berpendapat bahwa pernikahan dini dibolehkan sepanjang


pelaksanaannya terdapat mashlahat rajihah bagi kedua mempelai, namun jika hal itu akan
melahirkan dlarar bagi mempelai maka pernikahan menjadi haram: dan dalam kondisi demikian,
mempelai mempunyai hak fasakh. Selanjutnya, mengingat pernikahan termasuk kategori fikih
ijtima’I, maka pengaturan ulil amri terhadap masalah ini sangat dimungkinkan, bahkan
menaatinya adalah suatu keharusan. Oleh sebab itu, meskipun secara fikih penetapan usia
pernikahan masih diperselisihkan, namun jika sudah ditetapkan ulil amri, maka umat Islam
mempunyai kewajibab syar’I mengikutinya, maka pengaturan usia pernikahan dapat dibenarkan
sepanjang pengaturan usia pernikahan tersebut bukan bersifat batasan (tahdid).

Meskipun pernikahan usia dini dibolehkan, namun untuk menjaga kemaslahatan dan agar
tercapai maqashid al-syari’ah dari pernikahan dini, maka jika terjadi pernikahan usia diniharus
memenuhi ketentuan berikut:

a. Yang demikian adalah walinya, dan menurut Ulama Syafi’yyah, hanya oleh ayah atau kakek
(dari ayah), tidak boleh menikahkan dirinya sendiri atau oleh hakim.
b. Pelaksanaan pernikahan tersebut untuk kemaslahatan mempelai serta diyakini tidak
mengakibatkan dlarar bagi mempelai.
c. Tidak dibolehkan melakukan hubungan suami istri sampai tiba masa yang secara fisik
maupun psikologis siap menjalankan tanggung jawab hidup berumah tangga.
d. Untuk mencegah terjadinya hubungan suami istri pada usia belia, maka pihak wali dapat
memisahkan keduanya sementara waktu.

Walaupun Al-Qur’an serta Hadits tidak disebutkan secara tersurat (tekstual) umur menikah,
tapi secara tersirat (kontekstual) Al-Qur’an dan al-Hadits tidak menutup kemungkinan
menetapkan usia menikah tersebut. Realitanya, negara-negara Islam atau negara-negara
berpenduduk muslim memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur usia menikah
secar beraneka ragam, yaitu sekitar 15-21 tahun. Umumnya, negara Islam atau negara
berpenduduk muslim membedakan usia menikah calom mempelai laki-laki dan perempuan
(kecuali Irak serta Somalia tidak membedakannya, yakni berusia minimal 18 tahun). Laki-laki rata-
rata ditetapkan usia 16-21 tahun, sedangkan perempuan rata-rata 15-18 tahun. Jadi, diketahui
bahwa usia menikah perempuan lebih muda 1-6 tahun dibanding kaum laki-laki. Negara Arab
Saudi sendiri tidak menetapkan batas usia minimal menikah, hingga pernah terjadi pernikahan
seorang gadis berusia 8 tahun bersama pria 51 tahun, walau akhirnya pernikahan tersebut putus
(bercerai) atas tuntutan ibu si bocah.
Khoirudin Nasution dan Muh. Amin Suma menjelaskan bahwa Al-Qur’an secara tekstual dan
tegas tidak menyebutkan usia nikah, namun ada ayat yang mengindikasikan itu, QS An-Nisa ayat
6.
H. Solusi Dari Perkara Pacaran

Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

ِّ ‫» لَ ْم ن ََر ِّل ْل ُمت َ َحا َّبي ِّْن ِّمثْ َل‬


« ِّ‫النكَاح‬

“Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai
semisal pernikahan.”

Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah
mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َّ ‫صنُ ِّل ْلفَ ْرجِّ َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِّط ْع فَعَلَ ْي ِّه بِّال‬


ُ‫ص ْو ِّم فَإِّنَّهُ لَه‬ َ َ‫ض ِّل ْلب‬
َ ْ‫ص ِّر َوأَح‬ ُّ ‫ع ِّم ْن ُك ُم ْالبَا َءة َ فَ ْليَت َزَ َّو ْج فَإِّنَّهُ أ َ َغ‬ َ َ‫ب َم ِّن ا ْست‬
َ ‫طا‬ َّ ‫يَا َم ْعش ََر ال‬
ِّ ‫شبَا‬
‫ِّو َجا ٌء‬

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu
lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum
mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” Yang
dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu
memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua
makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah. Itulah yang lebih tepat.

Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan
yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah
penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah
dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat
bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam
jenjang pernikahan.
BAB III
PENUTUP

Melalui penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

 Pacaran menurut pandangan Islam hukumnya ialah haram.


 Pacaran tidak dikenal pada islam, melainkan taaruf yaitu proses pengenalan masing-masing
pasangan sebelum menikah.
 Pacaran lebih banyak menimbulkan mudharat yakni mengarah ke perbuatan zina, seperti sabda
Rasul bahwa umatnya tidak boleh mendekati zina, terlebih jika melakukannya adalah dosa.
 Pernikahan usia dini diperbolehkan asal memenuhi beberapa syarat seperti di atas telah
disebutkan.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Amin Suma. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2004.

HM Asroni Ni’am Sholeh. Pernikahan Usia DIni Perspektif Fikih Munakahah dalam Ijma’ Ulama.
2009, Majelis Ulama Indonesia, hlm. 213.

Anonymous. Pacaran versus Taaruf. Blogspot 2012; (online), (http://perkumpulan-


hadits.blogspot.com, diakses 4 Desember 2012).

You might also like