You are on page 1of 8

INTOKSIKASI MDMA

1. DEFINISI
Intoksikasi = keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia melalui mulut,kulit, dan
saluran pernapasan dalam jumlah berlebihan yangmenimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
MDMA (Methylenedioxy methamphetamine) = Psikotropika golongan 1 yang hanya dapat digunakan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD). MDMA salah satu jenis turunan
amfetamin. (N-Metil 3,4-metilendioksi amfetamin) atau (3,4-metiledioksimetamfetamin) yang populer dengan
nama ekstasi merupakan senyawa feniletilamin yang memiliki efek stimulan terhadap SSP, maupun mengubah
persepsi (hallucinogen).
2. Etiologi
a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat diterima dan dinilai secara lebih luas,
daripada dalam pengobatan pasien alkoholik. Berbeda dengan pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan
banyak zat disebabkan lebih mungkin memiliki masa anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin mengobati diri
sendiri dengan zat, dan lebih mungkin mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak
menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat
banyak alasan untuk mencurigai suatu peranan masyarakat dalam perkembangan pola penyalahgunaan dan
ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial tersebut, tidak semua anak mendapatkan diagnosis
penyalahgunaan atau ketergantungan zat, jadi mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab
lainnya.

b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku mencari zat dibanding pada gejala
ketergantungan fisik. Sebagian besar penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan
pertama, dan oleh karena itu zat tersebut bertindak sebagai penguat positif perilaku mencari zat.1
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek merugikan dari beberapa zat. Sebagian
besar zat yang disalahgunakan disertai dengan suatu pengalaman positif setelah digunakan untuk pertama
kalinya. Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong postitif untuk perilaku mencari zat lagi. Banyak zat juga
disertai dengan efek merugikan, yang bertindak menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus
mampu membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir semua perilaku mencari zat
disertai dengan petunjuk lain yang menjadi berhubungan dengan pengalaman menggunakan zat.

c. Faktor Genetik
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan saudara kandung telah menimbulkan
indikasi yang jelas bahwa penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu komponen genetika dalam penyebabnya.
Terdapat banyak data yang kurang meyakinkan dimana jenis lain penyalahgunaan atau ketergantungan zat
memiliki pola genetika dalam perkembangannya. Tetapi, beberapa penelitian telah menemukan suatu dasar
genetika untuk ketergantungan dan penyalahgunaan zat non alkohol. Baru-baru ini, peneliti telah menggunakan
teknologi RFLP (Restriction Fragment Length Polumorphism) dalam meneliti penyalahgunaan zat dan
ketergantungan zat, dan beberapa laporan hubungan RFLP telah diterbitkan.
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi neurotransmitter atau reseptor
neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan sebagian besar zat yang disalahgunakan. Sejumlah peneliti
mendasarkan studi mereka pada hipotesis tersebut. Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor opioid.
Seseorang dengan aktivitas opioid endogen yang terlalu sedikit (contohnya konsentrasi endorfinyang rendah)
atau dengan aktivitas antagonis opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan konsentrasi neurotransmitter yang
benar-benar normal, penyalahgunaan jangka panjang suatu zat tertentu pada akhirnya mungkin akan memodulasi
sistem resptor di otak sehingga zat eksogen dibutuhkan untuk mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat
reseptor semacam itu mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP. Namun, untuk
menunjukkan adanya modulasi pelepasan neurotransmitter dan fungsi reseptor neurotransmitter terbukti sulit,
dan penelitian terkini memfokuskan efek zat pada sistem duta kedua dan pada regulasi gen.

e. Jaras dan Neurotransmitter


Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat
adalah sistem opiat, katekolamin (khususnya dopamine), dan GABA. Dan yang memiliki kepentingan khusus
adalah neuron di daerah tegmental ventral yang berjalan ke daerah kortikal dan limbic, khususnya nucleus
akumbens. Jalur khusus tersebut diperkirakan terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan
diperkirakan merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan kokain. Lokus
sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan terlibat dalam perantara efek opiat dan opioid.
3. Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat psikoaktif (Badan Narkotika
Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya kurang dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan “terapi”: 1000
orang dalam terapi substitusi metadon, 500 orang terapi substitusi buprenorfin, kurang dari 1000 orang dalam
rehabilitasi (pesantren, theraupetic communities, kelompok bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam
layanan medis lain dan sekitar 4000 orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi.
Sedangkan hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
(puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau
sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011 angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang.
4. Klasifikasi

Amfetamin adalah suatu senyawa sintetik yang tergolong perangsang susunan saraf pusat.
Ada 3 jenis amfetamin, yaitu:
1. Laevoamfetamin (benzedrin)
2. Dekstroamfetamin (deksedrin)
3. Metilamfetamin (metedrin)

Banyak macam derivat amfetamin dibuat dengan sengaja oleh laboratorium dengan tujuan penggunaan
rekreasional, misalnya yang banyak disalahgunakan di Indonesia saat ini adalah 3,4 metilen-di-oksi met-
amfetamin (MDMA) atau lebih dikenal sebagai ekstasi, dan met-amfetamin (sabu-sabu). Metilfenidat (Ritalin)
jarang disalahgunakan. Dalam bidang Psikiatri, metilfenidat digunakan untuk terapi anak dengan GPPH
(Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif).
Pada umumnya, amfetamin dikonsumsi melalui suntikan intravena atau subkutan, inhalasi uap, snorting,
supositoria, atau secara oral.
lntoksikasi amfetamin ditandai dengan:
a. Pamakaian amfetamin yang belum lama terjadi
b. Takikandia atau bradikardia
c. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
d. Dilatasi pupil
e. Peninggian atau penurunan tekanan darah
f. Berkeringat atau menggigil
g. Mual atau muntah
h. Tanda-tanda penurunan berat badan
i. Agitasi atau retardasi psikomotor
j. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
k. Konvulsi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma

Intoksikasi akut sering dikaitkan dg: tingkat dosis zat yg digunakan (dose-dependent), individu dg kondisi
organik tertentu yg mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yg dalam dosis kecil dapat
menyebabkan efek intoksikasi berat yg tidak proporsional

Gejaia putus amfetamin ditandai dengan:


a. Penghentian (atau penurunan) amfetamin yang telah lama atau berat
b. Depresi
c. Keleiahan
d. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
e. Insomnia atau hipersomnia
f. Peningkatan nafsu makan
g. Retardasi atau agitasi psikomotor

5. Faktor resiko
Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat dalam penggunaan NAPZA
tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut, mereka disebut juga Potential User (calon pemakai, golongan
rentan).
Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya, namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi)
mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA dibandingkan dengan yang tidak
mempunyai ciri kelompok risiko tinggi.
Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. ANAK :
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA antara lain :
Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
Anak yang sering sakit
Anak yang mudah kecewa
Anak yang mudah murung
Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
Anak yang agresif dan destruktif
Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)

2. REMAJA :
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai citra diri negatif
Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko tinggi/bahaya
Remaja yang cenderung memberontak
Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku
Remaja yang kurang taat beragama
Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
Remaja dengan motivasi belajar rendah
Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan psikoseksual (pepalu,sulit bergaul, sering
masturbasi,suka menyendiri, kurang bergaul dengan lawan jenis).
Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
Remaja yang cenderung merusak diri sendiri

3. KELUARGA
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
Orang tua kurang komunikatif dengan anak
Orang tua yang terlalu mengatur anak
Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi diluar kemampuannya

6. Patofisiologi
Metabolisme amfetamine hati terjadi melalui beberapa cara, antara lain:
! Aromatik hidroksilasi Pada proses ini akan dihasilkan fenolik amin yang kemudian akan diekskresi melalui
urine atau berkonjugasi dulu dengan sulfat sebelum diekskresi. Para hidroksi amfetamine yang merupakan
metabolit inti dari proses ini secara biologi mempunyai efek tiga kali lebi kuat dalam menginhibisi uptake
noradrenalin dibandingkan dengan amfetamine
! Beta hidroksilasi Proses ini dilakukan oleh enzim dopamin beta hidroksilase yang merubah dopamin menajdi
norepinefrin dan ha ini rupanya terbatas untuk senyawa amine utama. Bila cincin metabolit hidroksilasi
(misalnya p-hidroksilasi amfetamine) mengalami beta hidroksilasi akan dihasilkan p-hidroksilasi norefedrin
dandpt diserap kedalam ujung-ujung saraf norepinefrin dankemungkinan dapat bereaksi sebagai neurotransmiter
palsu dgndemikian akan meningkatkan efek amfetamine.
Amfetamine diekresi melalui urine. Ekskresi melalui ginjal secarakuat ditentukan olh pH urine, dlam urine
dengan pH asam (misalnya pH5) kurang lebih 99% dari dosis amfetamine diionisasi oleh filtrasi glomerulus dan
sisanya diabsorpsi kedlam sistem sirkulasi. Dengan demikian pengobatan dari overdosis adalah dengan
pengasaman urine.
2. Mekanisme kerja dan neurokimiawi Amfetamine adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak
langsung dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan katekolamin endogen seperti
epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter
dari daerah presinap. Amfetamine juga mempunyai efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron
presinap dan menginhibisi aktivitas monoamin aksidase, sehingga konsentrasi dari neurotransmitter cenderung
meningkat dalam sinaps. Mekanisme kerja am pada susunan saraf pusat dipengaruhi oleh pelepasan biogenik
amine yaitu dopamin, norepinefrin dan serotonis atau ketiganya dari tempat penyimpanan pada presinap yang
terletak pada akhiran saraf. Efek yang dihasilkan dapat melibatkan neurotransmitter atau sistim monoamine
oxidase (MAO) pada ujung presinaps saraf. Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh
amfetamine terhadap ketiga biogenik amin tersebut yaitu:
! Dopamin Amfetamine menghambat re uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang baru disintesa.
Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamine mempunyai potensi yang sama dalam
menghambat up take dopaminergik dari sinaptosom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.
! Norepinefrin Amfetamine memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan morepinefrin
baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen melemahkan efek amfetamine
pada pelepasan re uptake norepinefrin
! Serotonin Secara umum, amfetamine tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem serotoninergik. Menurut
Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5 hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksi
indolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar norepinefrin dan dopamin tidak berubah. Hasil yang sama
dilaporkan juga oleh Fuller dan Molloy, Moller Nielsen dan Dubnick bahwa devirat amfetamine dengan elektron
kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim serotoninergik. Aktivitas susunan
saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergik dan dopaminergik dalam otak dan masing-masing
menimbulkan aktivitas lokomortor serta kepribadian stereotopik. Stimulasi pada pusat motorik di daerah media
otak depan (medial forebrain) menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan
euforia serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS) menimbulkan
peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. Stimulasi pada sistim dopaminergik pada otak
menimbulkan gejala yang mirip dengan skizifrenia dari psikosa amfetamine
a. Otak Penggunaan amfetamine secara kronis dengan dosis tinggi akan menginduksi perubahan toksik pada
sistim monoaminergik pusat. Kondisi toksik amfetamine ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal ini
diperlihatkan dengan perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama pada penggunaan fenfluramin.
Rumbaugh melaporkan pada pemakaian amfetamine kronis dengan dosis tinggi mempengaruhi vaskularisasi
otak. Selanjutnya dapat terjadi hilangnya sel neuron dan berkembangnya sel-sel glia, satelit dan
nekrohemorrhage pada serebelum dan hipothalamus
b. Perifer Efek yang menonjol adalah terhadap kerja jantung. Katekolamin mempengaruhi sensitivitas
miokardium pada stimulus ektopik, karena itu akan menambah resiko dari aritmia jantung yang fatal. Efek perifer
yang lain adalah terhadap pengaruh suhu (thermo-regulation). Amfetamine mempengaruhi pengaturan suhu
secara sentral di otak oleh peningkatan aktivitas hipothalamus anterior. Penyebab kematian yang besar pada
toksisitas amfetamine disebabkan oleh hiperpireksia. Mekanisme toksisitas dari amfetamine terutama melalui
aktivitas sistim saraf simpatis melalui situmulasi susunan saraf pusat, pengeluaran ketekholamin perifer, inhibisi
re uptake katekholamine atau inhibisi dari monoamin aksidase. Dosis toksik biasanya hanya sedikit diatas dosis
biasa. Amfetamine juga merupakan obat/zat yang sering disalahgunakan.
7. Manifestasi klinis
Pada manusia dengan dosis kecil atau sedang (5-15mg) akan mempengaruhi susunan saraf pusat dengan gejala:
- Meningkatkan kewaspadaan
- Meningkatkan aktivitas lokomotor
- Meningkatkan mood - Menurunkan nafsu makan
- Euforia
- Hiperthermi
Kadar plasma yang dicapai pada dosis tersebut adalah 5-10µg/100 ml. Pada penggunaan dosis tinggi secara
tunggal (≥ 20-30 mg) atau pemakaian yang terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari amfetamine
dapat menginduksi keadaan psikosa toksik yang ditandai oleh:
- Pemikiran delusional
- Halusinasi dengar Gejala-gejala tersebut sangat erat berhubungan dengan suatu Skizofren paranoid akut.
Diakatakan pula bahwa pada pemakaian dengan dosis 10-30 mg dekstro amfetamine menimbulkan gejala:
- Mengurangi rasa lelah
- Meningkatkan inisiatif
- Menigkatkan daya konsentrasi
- Insomnia
Pada penggunaan dengan dosis tinggi akan menimbulkan:
- Kejang-kejan
- Gerakan stereotipik
– Psikosis
Pada percobaan binatang dikatakan pemberian amfetamine dengan dosis 1,0-2,5 mg/kg menghasilkan
peningkatan aktivitas lokomotor, tetapi dosis ≥ 2,5 mg/kg menimbulkan pola prilaku stereotipik.
Efek perifer amfetamine ditimbulkan oleh karena pelepasan norepinefrin, efek tersebut yaitu: - Meningkatnya
sistolik dan diastolik - Meningkatnya denyut jantung - Aritmia jantung Dosis toksik dari amfetamine sangat
bervariasi. Kadang-kadang manifestasi toksik dapat terjadi sebagai idiosinkrasi setelah dosis sedikitnya 2 mg.
Tetapi sangat jarang terjadi dengan dosis dibawah 15 mg. Reaksi yang berat dapat terjai pada penggunaa yang
kronis. Beberapa peneliti telahmembagi gambaran klinik dari toksisitas sublethal dalam beberapa kategori
berdasarkan pada beratnya gejala.
Efek Sistemik • Sistem kardiovaskuler Terhadap jantung amfetamine menimbulkan sinus takhikardi. Selain itu
juga menyebabkan hipertensi • Rhabdomiolisis Koppel membedakan rhabdomiolisis primer akibat toksin dan
sekunder akibat iskemia atau hipokalemi. Pada gangguan amfetamine rhabdomiolisis disebabkan sekunder
akibat iskemia otot pada overdosis dari obat. Hal ini dapat merupakan akibat dari kompresi otot lokal saat koma,
kejang yang terjadi terus menerus dan mioklonos, pemakaian kronis dari amfetamine yang menyebabkan
hipokalemi
Sindroma toksik dari amfetamine: Memberikan gambaran sindroma simpatomimetik. Gejala yang sering
ditemukan: - defusi - paranoid - takhikardi (atau bradikardi bila obat murni alfa adrenergik agonis) - hipertensi -
diaphoresis - piloereksi - midriasis - hiperrefleksi - kejang, hipotensi dandisritmia dapat terjadi pada kasus yang
berat
8. Diagnosis
Amfetamine dapat disalahgunakan melalui cara: - inhaler - occasional abuse - chronic oral abuse - intravenous
abuse
Diagnosa biasanya berdasarkan:
- Riwayat pengguna amfetamine dan gambaran klinik dari intoksikasi obat simpatomimetik
- Pemeriksaan spesifik Amfetamine dapat dideteksi melalui urine dan cairan lambung.
Bagaimanapun kadar serum kuantitatif tidak berhubungan dengan beratnya efek klinis.
Obat ditemukan sangat cepat setelah penggunaan dan diekresi hanya dalam beberapa hari.
Toksisitas sangat kurang berhubungan dengan kadar dalam serum.
Dilaporkan pula bahwa untuk mendeteksi penyalahgunaan amfetamine dapat diperiksa pada rambut manusia.
Pada keringat amfetamine dapat dideteksi segera setelah dikonsumsi.
Saliva dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mendeteksi amfetamine. Tetapi kadar obatnya jauh lebih
rendah daripada dalam urine, biasanya dapat digunakan pada keadaan toksik akut.
- Pemeriksaan lain Kadar elektrolit, glukosa, BUN dan kreatinin, COK, urinalisis, urine dipstick test untuk
memeriksa hemoglobin yang tersembunyi. EKG dan monitoring EKG, serta CT scan.
9. Tata laksana
Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine bertujuan untuk menstabilisasi fungsi vital,
mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut, mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi, mengatasi gejala toksik
spesifik yang ditimbulkan dan disposisi. Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan kadar dalam serum,
penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak spesifik berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan
1. Tindakan emergensi dan suportif
• Mempertahankan fungsi pernafasan - Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahan-lahan atau 0,1-
0,2 mg/kg IM; Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV perlahan-lahan -
Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV; Phenitoin 15-20 mg/kg BB infus dengan dosis 25-50 mg/menit;
pancuronium dapat digunakan bila kejang tidak teratasi terutama dengan komplikasi asidosis dan atau
rabdomiolisis - Terapi coma - Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal selama 6 jam
• Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine tidakada antidotum khusus
! Terapi hipertensi: phentolamine atau nitroprusside
! Terapi tachiaritmia: propanolol atau esmolol
! Terapi hiperthermia: bila gejala ringan terapi dengan kompres dingin atau sponging bila suhu lebih dari 40o C
atau peningkatan suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih agresif dengan menggunakan selimut dingin atau
ice baths. Bila hal ini gagal dapat digunakan Dantrolene. Trimethorfan 0,3-7 mg/menit IV melalui infus
! Terapi hipertensi dengan bradikardi atau talhikardi bila ringan biasanya tidak memerlukan obat-obatan.
Hipertensi berat (distolik > 120 mmHg) dapat diberikan terapi infus nitroprusid atau obat-obat lain seperti
propanolol, diazoksid, khlorpromazine, nifedipin dan fentolamin
! Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi dengan supportive environment dan evaluasi cepat secara psikiatri. Gejala
yang lebih berat dapat diberikan sedatif dengan khlorpromazin atau haloperidol.

2. Dekontaminasi Dekontaminasi dari saluran cerna setelah penggunaan amfetamine tergantung pada jenis obat
yang digunakan, jarak waktu sejak digunakan, jumlah obat dan tingkat agitasi dari pasien. Pada pasien yang
mempunyai gejala toksik tetapi keadaan sadar berikan activated charcoal 30-100 gr pada dewasa dan pada anak-
anak 1-2 gr/kg BB diikuti atau ditambah dengan pemberian katartik seperti sorbitol. Bila pasien koma lakukan
gastric lavage dengan menggunakan naso atau orogastric tube diikuti dengan pemberian activated charcoal.
10. Komplikasi

11. Pencegahan
- primer : sejak dini berupa pengetahuan dan intervensi
- sekunder : terapi dan rehabilitasi (medik, psikiatrik agar tidak anti social, psikososial, psikoreligius)
- tersier : pendampingan terhadap adiksinya, detoksifikasi, rehabilitasi kembali
12. Prognosis

You might also like