You are on page 1of 19

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM PEMENANG LELANG SEBAGAI

PEMBELI BERITIKAD BAIK TERHADAP PUTUSAN RE-EKSEKUSI

Muhammad Faisal1

Abstract
This paper discusses the legal protections towards the purchaser in good faith,
in particular a good faith purchaser of the winning bidder in the repeated
execution judgments (re-execution). The purchaser in good faith may be
interfered by the repeated execution judicial decision, which re-execution over
executed object previously. The prime issue hence is in what form the legal
protections can be acquired for good faith purchaser in a repeated execution
verdict. The results of this study shows that the legal certainty for good faith
purchaser can be obstructed by a repeated execution verdict whereby different
executions reoccur against the similar object. Therefore the legal protection
for good faith purchaser should be protected by filling lawsuit against the
buyer prior executing the object, through court appeal against the judicial
execution and applying court petition in matter of legal certainty. Such
application of court petition is a form of legal protection that requires more
consideration to the repeated execution. Furthermore, the study results found
that Supreme Court in providing legal protection for purchaser in good faith,
may exercise its supervision function by awarding a decision to annul the
previous judicial decision that has been legally binding in order to amend
previous fallacious judicial decision and provide legal certainty for purchaser
in good faith.

Keywords: legal protection, good faith purchaser, re-execution verdict,


application for legal protection

Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai upaya perlindungan hukum terhadap pembeli
beritikad baik, khususnya pembeli beritikad baik dari pemenang lelang dalam
suatu putusan eksekusi ulang (re-eksekusi). Kepastian hukum pembeli beritikad
baik dapat terganggu oleh adanya putusanre-eksekusi dimana terjadi eksekusi
ulang objek yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang kemudian
dieksekusi lagi dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap. Upaya
perlindungan hukum pembeli beritikad baik dapat dilakukan dengan kewajiban
menggugat pembeli beritikad baik sebelum mengeksekusi objek, melalui
perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan
perlindungan hukum. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk

1
Pemerhati dan praktisi hukum, Associate pada Kantor Hukum H. Ayub, S.H., M.H.,
& Associates. Alamat kontak: faisal_lie@hotmail.com
84 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

perlindungan hukum yang memerlukan perhatian lebih terhadap adanya


putusan re-eksekusi. Hasil penelusuran kasus menemukan bahwa Mahkamah
Agung dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad
baik, dapat melaksanakan fungsi pengawasannya dengan mengeluarkan
penetapan yang menganulir putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
dalam rangka memperbaiki kesalahan hakim terdahulu dan memberikan
kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik.

Kata kunci: perlindungan hukum, pembeli beritikad baik, putusan re-eksekusi,


permohonan perlindungan hukum

I. Pendahuluan

Pengertian itikad baik dapat diartikan sebagai jujur atau kejujuran.2


Adapun dalam Hukum Perdata kita tidak diterangkan secara jelas tentang apa
sebenarnya yang dimaksud dengan itikad baik tersebut. Masalah itikad baik
lebih berkaitan erat dengan tata kehidupan masyarakat, artinya menyangkut
kesadaran hukum masyarakat yang memerlukan pembinaan dan pengaturan.3
Pengaturan berkaitan dengan itikad baik banyak tersebar dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).Adapun pengaturan itikad baik
mengenai kedudukan berkuasa (bezit) dapat dilihat dalam muatan pasal 531,
532, 534, 548, 549, 584, 1965, dan 1966.
Mengenai perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, terdapat
Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata dimana pada hakekatnya, pasal tersebut
melindungi seorang pembeli benda bergerak yang beritikad baik. Pasal 1977
ayat (1) KUHPerdata mengatakan bahwa:

Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun


piutang yang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang
siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya.

Menjadi pertanyaan bagaimana pengaturannya terhadap benda tak


bergerak dimana KUHPerdata tidak mengaturnya seperti halnya pada benda
bergerak. Adapun terkait dengan hal ini, Prof. R. Subekti, S.H., berpendapat
bahwa ketentuan pasal 1977 ayat (1) tersebut diberlakukan untuk semua
macam barang, sehingga terhadap barang tidak bergerak perlu dicantumkan
suatu ketentuan yang menyatakan bahwa apabila suatu perjanjian dilakukan di
muka seorang pejabat, maka para pihak dapat dianggap beritikad baik.4

2
Djaja S. Meliala, “Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata”, (Bandung: Binacipta,
1987), hal. 1.
3
Ibid.
4
Ibid., hal. 9-10.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 85

Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa pembeli beritikad baik


wajib dilindungi oleh hukum. Hal ini tentunya juga termasuk kepada pembeli
lelang yang beritikad baik dimana dalam Vendu Reglement (staatsblad 1908)
pasal 1 ayat (1), lelang merupakan:5
1. Cara penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan;
2. Dilakukan di depan umum yaitu dengan cara mengumumkannya untuk
mengumpulkan peminta/peserta lelang;
3. Dilaksanakan dengan cara penawaran harga yang khusus, yaitu dengan
cara penawaran harga secara lisan atau tertulis yang bersifat kompetitif;
4. Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai
pemenang.
Adapun dalam pasal 1 angka (4), (5) dan (6) Peraturan Menkeu No.
106/PMK.06/2013lelang diklasifikasikan menjadi:
1. Lelang Eksekusi, merupakan lelang untuk melaksanakan putusan/
penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan
dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Jenis lelang inilah yang dimaksud Pasal 200 ayat
(1) HIR.
2. Lelang Noneksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan
penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan
dijual secara lelang.
3. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik swasta,
orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
Sehubungan dengan klasifikasi di atas, fokus yang dibicarakan adalah
mengenai perlindungan hukum pembeli beritikad baik terhadap pemenang
lelang eksekusi pengadilan.
Lelang eksekusi merupakan kelanjutan dari adanya sita eksekusi.
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 200 ayat (1) HIR yang mengatakan: \

Penjualan barang yang disita dilakukan dengan bantuan kantor


lelang, atau menurut keadaan yang dipertimbangkan Ketua, oleh
orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap
dan dapat melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan
dapat dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua untuk itu dan berdiam
di tempat di mana penjualan itu harus dilakukan atau di dekat
tempat itu.

5
Wildan Suyuthi, “Sita eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan”, (Jakarta:
Tatanusa, 2004), hal. 43-44.
86 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, undang-undang memerintahkan


penjualan barang sitaan dengan cara penjualan melalui kantor lelang dan
penjualannya disebut penjualan lelang.6
Eksekusi yang berlanjut kepada lelang eksekusi mengisyaratkan adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi terkadang
terdapat juga putusan yang dapat dieksekusi secara serta merta (uitvoerbaar bij
voorraad) tanpa perlu menunggu putusan akhir dari pengadilan di tahap
selanjutnya. Berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam pasal 180 HIR,
diberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang berisi
diktum: memerintahkan pelaksanaan lebih dahulu putusan, meskipun belum
memperoleh kekuatan tetap adalah bersifat eksepsional. Penerapan pasal 180
HIR tersebut tidak bersifat generalisasi, tetapi terbatas berdasarkan syarat-
syarat yang sangat khusus. Dimana syarat yang dimaksud merupakan
pembatasan kebolehan menjatuhkan putusan uitvoerbaar bij voorraad.7
Masalah kemudian dapat timbul terhadap lelang eksekusi berdasarkan
putusan uitvoerbaar bij voorraad. Seperti misalnya telah dilakukan lelang
eksekusi berdasarkan putusan uitvoerbaar bij voorraad yang dimenangkan
oleh pihak penggugatpada tahap Pengadilan Negeri akan tetapi kemudian bisa
saja tahap banding pada Pengadilan Tinggi berpendapat lain dan bisa saja
putusan banding diperkuat pada tahap kasasi oleh Mahkamah Agung dan
dimenangkan oleh pihak tergugat walaupun pada tingkat pertama objek perkara
telah dilelang eksekusi secara sah. Dimana terhadap pemulihan kembali
eksekusi dalam kasus seperti ini tidak dapat dilakukan secara langsung oleh
karena barang sengketa tidak berada di bawah kekuasaan penggugat lagi tetapi
dibawah kekuasaan pemenang lelang ataupun oleh pihak lain sebagai pembeli
dari pemenang lelang dan selanjutnya.8
Terhadap objek barang sengketa yang telah berpindah tangan kepada
pihak ketiga, berdasarkan alas hak yang sah (seperti misalnya melalui eksekusi
putusan uitvoerbaar bij voorraad), apabila tergugat menghendaki agar objek
tersebut dipulihkan kepadanya dalam bentuk fisik atau in natura, tergugat
harus menempuh proses gugatan perdata ke pengadilan.9 Adapun proses
pemulihan yang demikian terhadap pihak ketiga sebagai pemenang lelang,
dikatakan dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No. 323K/Sip/1968
bahwa:

6
M. Yahya Harahap (1), “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”,
ed. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 113.
7
M. Yahya Harahap (2), “Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, cet. ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.
898.
8
Ibid., hal. 908.
9
Ibid.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 87

Pembeli dalam lelang executie harus dilindungi, apabila telah


terjadi executie bij voorraad, sedang putusan pengadilan yang
bersangkutan kemudian dibatalkan, jalan yang dapat ditempuh
untuk mengembalikan upaya keadaan semula adalah penuntutan
terhadap barang-barang jaminan yang diserahkan oleh executant
pada waktu mengajukan permohonan executie.

Esensi pokok kesimpulan hukum dalam putusan tersebut adalah bahwa


pemulihan kembali terhadap barang yang dikuasai pihak ketiga harus
dinyatakan tidak dapat dijalankan atau non-executable, dan eksekusinya harus
lebih dahulu melalui gugatan biasa.10
Adanya kesempatan pemulihan kembali dalam bentuk fisik atau in
natura, melalui gugatan kepada pihak ketiga (kepada pemenang lelang atau
pembeli pihak ketiga) mengakibatkan terganggunya hak-hak yang dimiliki oleh
pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik yang dilindungi oleh hukum.
Adanya benturan kepentingan antara hak tergugat dalam pemulihan kembali
dengan hak pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi penegak hukum dalam menentukan pihak mana
yang berhak akan perlindungan hukum atas hak-haknya tersebut. Menjadi lebih
menarik lagi adalah bagaimana hukum dalam prakteknya memberikan
perlindungan kepada pembeli beritikad baik dalam adanya gugatan dimana
terjadi eksekusi ulang (re-eksekusi) terhadap satu objek sengketa yang telah
dieksekusi sebelumnya.

II. Pembahasan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik

Dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud itikad baik atau good
faith adalah:
A state of mind consisting in (1)honesty in belief or purposes.
(2) faithfulness to one‟s duty or obligation, (3) observance of
reasonable commercial standards of fair dealing in a given
trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek
unconscionable advantage.11
Pasal 548 KUHPerdata menyatakan:
Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beritikad baik, memberi
kepada si yang memangkunya, hak-hak atas kebendaan yang
dikuasai sebagai berikut:

10
Ibid., hal. 909.
11
Bryan A. Garner, “Black‟s Law Dictionary”, ed. ke-9, (USA: Thompson Reuters,
2009).
88 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

1. Bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali


ke muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik
kebendaan;
2. Bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik
atas kebendaan itu;
3. Bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan
kebendaan itu di muka Hakim, berhak menikmati segala
hasilnya;
4. Bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya,
bilamana diganggu dalam memangkunya, ataupun
dipulihkan kembali dalam itu, bilamana kehilangan
kedudukannya.”
Secara teoritis, pembeli beritikad baik akan dilindungi berdasarkan
kedudukan berkuasanya yang beritikad baik tersebut berdasarkan pasal-
pasal dalam KUHPerdata yang telah disebutkan di atas.Sebagaimana
yang tertera dalam pasal 584 KUHPerdata itikad baik itu ada apabila hak
kebendaan tersebut diperoleh melalui salah satu cara untuk memperoleh
hak milik, dimana dari pasal tersebut diketahui bahwa beberapa peralihan
hak milik yang ada tersebut tidaklah lepas dari keberadaan hukum
perjanjian dalam KUHPerdata
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal ini bertujuan
mencegah perbuatan yang tidak patut dan yang bertentangan dengan
hukum.12 Rumusan dari pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut
mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat
sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata.Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal pelaksanaan
dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak sebagai itikad
baik dalam pengertian objektif.
Seperti diketahui, KUHPerdata mengenal pembendaan ke dalam 2
macam pembendaan yaitu benda bergerak dan benda tidak
bergerak.Terhadap benda bergerak dalam kaitannya dengan itikad baik,
pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata pada hakekatnya melindungi seorang
pembeli benda bergerak yang beritikad baik.Dimana dalam ayat (2)-nya
merupakan pengecualian terhadap pasal 1977 ayat (1).Pasal 1977 ayat (2)
KUHPerdata menentukan bahwa perlindungan yang diberikan oleh pasal
1977 ayat (1) KUHPerdata itu tidak berlaku bagi barang-barang yang
hilang atau yang berasal dari pencurian. Barangsiapa yang kehilangan
atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak
hilangnya atau dicurinya barang itu berhak meminta kembali barangnya
dari setiap orang yang memegangnya kecuali jika si pemegang barang itu
memperolehnya di pasar tahunan atau di tempat-tempat pelelangan

12
Djaja S. Meliala, Op. Cit., hal. 9.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 89

umum sebagaimana ketentuan dalam pasal 582 KUHPerdata.13 Adapun


terhadap penerapan pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata ini kiranya sejalan
dengan ketentuan pasal 1966 KUHPerdata yang menyatakan: “Adalah
cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh, itikad baik itu
ada”.
Terhadap benda tidak bergerak, KUHPerdata tidak mengaturnya
sebagaimana dalam pengaturan benda bergerak. Dalam hal ini, Prof. R.
Subekti, berpendapat bahwa ketentuan pasal 1977 ayat (1) tersebut
diberlakukan untuk semua macam barang, sehingga terhadap barang
tidak bergerak perlu dicantumkan suatu ketentuan yang menyatakan
bahwa apabila suatu perjanjian dilakukan di muka seorang pejabat, maka
para pihak dapat dianggap beritikad baik. Lain halnya dengan hukum
adat kita, hukum adat tidak hanya memberi perlindungan kepada pembeli
beritikad baik terhadap benda bergerak saja tetapi juga kepada pembeli
benda tidak bergerak yang beritikad baik.14
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa hukum memberikan
perlindungan kepada pembeli beritikad baik untuk menguasai benda yang
dimilikinya dengan itikad baik dan memperoleh manfaat dari benda
tersebut sebagai akibat dari kedudukan berkuasanya atas benda tersebut
selama ia tidak dibuktikan lain di muka pengadilan atas itikad baiknya
tersebut.
Walaupun topik yang dibahas dalam tulisan ini adalah pembeli dari
pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik, dimana mengingat pasal
531 jo. 533 KUHPerdata dapat dikatakan beritikad baiklah pembeli dari
pemenang lelang tersebut apabila jual-beli dilakukan sebagaimana
mestinya, akan tetapi terkait dengan kedudukan berkuasa dalam bentuk
fisik atau in natura, perlu diperhatikan juga sisi itikad baik pemenang
lelang dalam memperoleh objek jual-beli tersebut. Mengingat akan
adanya kesempatan menggugat batal Risalah Lelang yang mengakibatkan
batalnya lelang yang telah terjadi sehingga dikembalikanlah seperti
semula objek sengketa yang dilelang tersebut di bawah kepemilikan
pelaku lelang yang secara tidak langsung dapat membatalkan demi
hukum perjanjian jual-beli antara pembeli (pihak ketiga) dengan
pemenang lelang sehingga pembeli dari pemenang lelang yang beritikad
baik tidak lagi berhak memiliki kedudukan berkuasanya dalam bentuk
fisik atau in natura.Menepis kemungkinan tersebut maka perlu dibahas
juga terlebih dahulu mengenai pemenang lelang sebagai pembeli
beritikad baik.

13
Ibid.
14
Ibid., hal. 10.
90 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

2. Pemenang Lelang Sebagai Pembeli Beritikad Baik

Lelang merupakan suatu istilah hukum yang penjelasannya diberikan


dalam pasal 1 Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement) yang
memberikan definisi sebagai berikut:15
Yang dimaksud dengan penjualan di muka umum ialah;
pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka
umum dengan penawaran harga yang makin meningkat atau
dengan persetujuan harga yang makin menurun, atau dengan
pendaftaran harga, dimana orang-orang yang diundang atau
sebelumnya sudah diberitahukan tentang pelelangan itu,
diberikan kesempatan kepadanya untuk membeli dengan jalan:
menawar harga, menyetujui harga atau dengan jalan
pendaftaran.
Dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud dengan lelang atau
auction adalah:16
A public sale of property to the highest bidder, a sale at
auction is ordinarily complete when the auctioneer so
announces in a customary manner, as by pounding a hammer.
Pengertian tersebut kemudian diperjelas dengan Pasal 1 angka 1
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, yang
menyatakan bahwa:
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum
dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga
tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Dari pengertian lelang tersebut, secara garis besar lelang dapat
diartikan sebagai:17
1) Cara penjualan yang dilakukan pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan;
2) Dilakukan di depan umum yaitu dengan cara mengumumkannya
untuk mengumpulkan peminta/peserta lelang;

15
Rochmat Soemitro, “Peraturan dan Instruksi Lelang”, ed. ke-2, (Bandung: Eresco,
1987), hal. 153.
16
Bryan A. Garner, Op. Cit.
17
Wildan Suyuthi, Op. Cit., hal. 43-44.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 91

3) Dilaksanakan dengan cara penawaran harga yang khusus, yaitu


dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis yang bersifat
kompetitif;
4) Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan
sebagai pemenang.
Begitu pula asas yang digunakan dalam lelang tercermin dari
pengertian lelang tersebut diatas, beberapa asas yang dapat dikemukakan
antara lain:18
1) Asas Publisitas (Publicity), artinya setiap pelelangan harus
didahului dengan pengumuman lelang, baik dalam bentuk iklan,
brosur, atau undangan. Di samping untuk menarik peserta lelang
sebanyak mungkin, pengumuman lelang juga dimaksudkan untuk
memberi kesempatan sosial kontrol sebagai bentuk perlindungan
publik.
2) Asas Persaingan (Competition), yaitu karena para peserta lelang
bersaing dan peserta lelang dengan penawaran tertinggi yang sudah
sesuai atau di atas harga limit yang akan dinyatakan sebagai
pemenang.
3) Asas Kepastian (Certainty), artinya independensi Pejabat Lelang
seharusnya mampu membuat kepastian bahwa penawar tertinggi
dinyatakan sebagai pemenang, bahwa pemenang lelang yang telah
melunasi kewajibannya akan memperoleh barang beserta
dokumennya.
4) Asas Pertanggungjawaban (Accountability), artinya pelaksanaan
lelang dapat dipertanggungjawabkan karena Pemerintah melalui
Pejabat Lelang berperan untuk mengawasi jalannya lelang dan
membuat Akta Otentik yang disebut Risalah Lelang.
5) Asas Efisiensi (Efficiency), artinya karena lelang dilakukan pada
suatu saat dan tempat yang ditentukan dan transaksi terjadi pada
saat itu juga maka diperoleh efisiensi biaya dan waktu, karena
dengan demikian barang secara cepat dapat dikonversi menjadi
uang.
Lelang di Indonesia secara resmi dikenal dengan diberlakukannya
Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari
1908 Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Staatsblad Tahun 1941 Nomor 3) dan
Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 190
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad
Tahun 1930 Nomor 85) oleh pemerintah Hindia Belanda yang masih
berlaku sampai sekarang sebagai peraturan tertinggi yang mengatur

18
Fifidiana, Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Gugatan Pembatalan Risalah Lelang Study Kasus Willem Irianto Vs Bank
Internasional Indonesia Dan Willem Irianto Vs Kepala Kantor Lelang Kelas Ii Kediri, (Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta 2009), hal. 17.
92 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

mengenai pokok-pokok lelang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan


Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dilengkapi dengan berbagai
Peraturan Menteri Keuangan yang terkait dengan pelaksanaan lelang.
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, lelang digolongkan
sebagai suatu cara penjualan khusus yang prosedurnya berbeda dengan
jual beli pada umumnya. Lelang termasuk perjanjian bernama (nominaat)
atau perjanjian khusus (benoemd) karena mempunyai nama sendiri yaitu
“lelang”.19 Lelang tidak secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi
penjualan lelang diatur dalam ketentuan-ketentuan Buku III tentang
Perikatan KUHPerdata mengenai jual beli. Pasal 1319 KUHPerdata
mengatur bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus,
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.20
Dasar penjualan lelang juga mengacu pada ketentuan Pasal 1457
KUHPerdata yang merumuskan “jual-beli” sebagai suatu persetujuan,
dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Lelang
mengandung unsur-unsur yang tercantum dalam definisi jual beli yaitu
adanya subjek hukum (adanya penjual dan pembeli), adanya kesepakatan
antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga serta adanya hak
dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.Dengan
demikian lelang adalah jual beli dalam bentuk khusus.Berkaitan dengan
lelang sebagai suatu bentuk jual beli, terdapat hak dan kewajiban yang
timbul di antara penjual terhadap pembeli yang beritikad baik untuk
menjamin adanya kepastian hukum terhadap barang yang telah dibeli
oleh pembeli tersebut.21
Lelang sebagai suatu bentuk jual-beli sebagaimana pasal 1319 jo.
pasal 1457 KUHPerdata dan mengingat pasal 584 jo. pasal 531
KUHPerdata dimana untuk dapat dikatakan beritikad baik, maka
kedudukan berkuasa yang didapatkan melalui lelang baru dapat
dikatakan beritikad baik apabila telah memenuhi prosedur dan asas-asas
yang terdapat dalam suatu penjualan melalui lelang, dalam hal ini
khususnya lelang eksekusi pengadilan.Sehingga oleh karena itu, pembeli
dari pemenang lelang dapat dikatakan beritikad baik apabila jual-beli
yang dilakukan antaranya dengan pemenang lelang seusai dengan
kaedah-kaedah yang ada dalam peraturan perundang-undangan mengenai
jual-beli secara umum dengan mengindahkan pasal 1320 dan 1338
KUHPerdata.

19
Ibid., hal. 4.
20
Elizabeth Karina Leonita, “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Barang Jaminan
Melalui Lelang Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang- ndang
Lelang (Studi Kasus Lelang Gedung Aspac oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional)”,
(Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta 2010), hal. 7.
21
Ibid.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 93

3. Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli


Beritikad Baik Dalam Hal Terjadinya Eksekusi Ulang Objek
Perkara

Secara teoritis, pembeli dari pemenang lelang yang beritikad baik


akan dilindungi oleh hukum berdasarkan kedudukan berkuasanya yang
beritikad baik tersebut berdasarkan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang
telah disebutkan di atas. Akan tetapi terkait dengan pembeli dari
pemenang lelang, apalagi terhadap adanya sengketa kepemilikan yang
dimulai dari putusan uitvoerbaar bij voorraad yang mengawali
terlaksananya penjualan lelang eksekusi, terdapat bentuk perlindungan
lainnya.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 195 ayat (6) HIR (pasal 258 ayat
(6) R.Bg, pasal 378 Rv), dimungkinkan pihak ketiga atau pihak lawan
mengajukan Derden Verzet (perlawanan) terhadap eksekusi putusan yang
berkekuatan hukum tetap.22Terhadap penyitaan yang dilakukan
berdasarkan putusan hakim, pihak ketiga dapat melakukan perlawanan
terhadap penyitaan itu apabila ternyata barang yang disita itu adalah
miliknya dan ia dapat membuktikan hak miliknya tersebut. 23 Perlawanan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam wilayah
hukumnya terjadi penyitaan itu, baik secara lisan maupun secara tulisan.
Perlawanan tersebut akan diperiksa terlebih dahulu oleh Pengadilan
Negeri yang bersangkutan untuk diputuskan, setelah mendengar kedua
belah pihak yang berperkara itu. Perlawanan sebagaimana yang
dimaksud tidaklah menghalangi dilakukannya pelelangan atas barang
sitaan itu, kecuali jika ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
memerintahkan supaya menangguhkan pelelangan itu sampai
dijatuhkannya putusan tentang perlawanan yang bersangkutan,
sebagaimana dalam pasal 196 ayat (6),pasal 207, pasal 208 HIR dan
pasal 206 ayat (6) , pasal 226, pasal 227, pasal 228 R.Bg.
Bantahan mengenai pokok perkara yang telah diputuskan dalam
putusan hakim tidak dapat digunakan untuk melawan sita eksekutorial.24
HIR kiranya tidak mengatur mengenai perlawanan pihak ketiga terhadap
sita conservatoir dan sita revindicatoir, dimana perlawanan terhadap
eksekusi riil juga tidak diatur, sekalipun begitu perlawanan sedemikian
tersebut dalam prakteknya tetap dapat diajukan.25 Dalam praktek menurut

22
M. Yahya Harahap (3), “Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hal. 323.
23
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, cet. ke-IV, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 228-229.
24
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, ed. ke-VI, (Yogyakarta,
Liberty, 1998), hal. 250.
94 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

yurisprundensi Mahkamah Agung tanggal 31 November 1962 No. 306


K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk. melawan PT. Indonesian Far
Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan
terhadap sita conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR, menurut
yurisprundensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku
pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita
conservatoir, walaupun belum disahkan (van waarde verklaard).26
Ketentuan pasal 380 Rv memberikan kewenangan kepada pengadilan
untuk menunda eksekusi apabila diajukan perlawanan. Akan tetapi perlu
diingat bahwa perlawanan tidak boleh bersifat generalisasi menunda
eksekusi. Daya tundanya hanya bersifat eksepsional. Patokan daya tunda
eksepsional tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:27
1) Barang yang hendak dieksekusi merupakan milik pelawan;
2) Barang yang hendak dieksekusi telah diagunkan kepada pelawan.
Terhadap objek barang sengketa yang telah berpindah tangan kepada
pihak ketiga (pembeli dari pemenang lelang), berdasarkan alas hak yang
sah melalui eksekusi putusan uitvoerbaar bij voorraad, apabila tergugat
menghendaki agar objek tersebut dipulihkan kepadanya dalam bentuk
fisik atau in natura, tergugat harus menempuh proses gugatan perdata ke
pengadilan.28 Adapun proses pemulihan yang demikian terhadap pihak
ketiga sebagai pemenang lelang, dikatakan dalam salah satu putusan
Mahkamah Agung No. 323K/Sip/1968 yang pada pokoknya mengatakan
bahwa pemulihan kembali terhadap barang yang dikuasai pihak ketiga
harus dinyatakan tidak dapat dijalankan atau non-executable, dan
eksekusinya harus lebih dahulu melalui gugatan biasa.29
Objek lelang yang dimiliki pemenang lelang yang terjadi
berdasarkan lelang eksekusi putusan tidak bisa langsung dieksekusi
begitu saja berdasarkan putusan yang dimenangkan oleh pihak yang
menjatuhkan sita eksekutorial terhadap objek tersebut. Eksekusi objek
sengketa yang dikuasai pemenang lelang hanya bisa dilakukan melalui
gugatan perdata terlebih dahulu. Dimana dengan adanya proses
persidangan tersebut diberi kesempatan bagi pemenang lelang untuk
melindungi kedudukan berkuasanya tersebut atas dasar pembeli beritikad
baik.

25
Supomo, “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”, (Jakarta: Fasco, 1985), hal.
195.
26
Mahkamah Agung RI, “Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata
Umum dan Perdata Khusus”, Buku II, ed. 2007, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008), Hlm
101-103.
27
M. Yahya Harapap (3), Op. Cit., hal. 324-325.
28
M. Yahya Harahap (2), Op. Cit., hal. 908.
29
Ibid., hal. 909.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 95

Jadi terhadappemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik dalam


hal terjadinya eksekusi ulang objek perkara,upaya perlindungan hukum
yang dapat dilakukan adalah melalui kewajiban diajukannya proses
gugatan terlebih dahulu, dimana terhadap objek yang telah dimiliki oleh
pemenang lelang tidak dapat langsung dieksekusi begitu saja oleh
pemenang putusan tetapi harus melalui proses gugatan terlebih dahulu
sebagai sarana bagi pemenang lelang yang merupakan pembeli beritikad
baik untuk melindungi hak-haknya.Upaya perlindungan hukum lainnya
adalah dengan mengajukan perlawanan terhadap penetapan eksekusi,
dimana pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik dapat
mengajukan perlawanan terhadap penetapan eksekusi dengan dasar
kepemilikannya sebagai pemenang lelang.

4. Permohonan Perlindungan Hukum Sebagai Upaya Perlindungan


Hukum Pembeli Beritikad Baik

Selain bentuk perlindungan tersebut diatas, terdapat juga bentuk


perlindungan lainnya yaitu melalui permohonan perlindungan hukum.
Terdapat berbagai kasus menarik yang dapat dijadikan contoh upaya
perlindungan hukum melalui permohonan perlindungan hukum seperti
misalnya kasus dari putusan Mahkamah Agung No. 556/PK/Pdt/2012.
Dimana dalam kronologis kasus tersebut terjadi re-eksekusi yang
merugikan pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik.
Secara singkat dalam kronologis perkara putusan Mahkamah Agung
No. 556/PK/Pdt/2012dapat diilustrasikansebagai berikut:
a) A memiliki hutang piutang dengan B dimana dalam perjanjian
hutang piutang tersebut, A telah meletakkan jaminan hak
tanggungan atas sebidang tanah kepada B;
b) Kemudian diketahui bahwa A juga memiliki sengketa dengan C
dimana dalam gugatannya, C memohonkan untuk meletakkan sita
jaminan terhadap sebidang tanah tersebut yang telah diletakkan hak
tanggungan kepada B;
c) B sebagai pemegang hak tanggungan kemudian melakukan
perlawanan atas sita jaminan yang diletakkan atas permohonan C
tersebut dimana dalam perlawanan tersebut dimenangkan oleh B
sehingga dilakukanlah eksekusi objek hak tanggungan yang telah
diagunkan kepada B dan melalui lelang eksekusi, objek tersebut
dimenangkan oleh D;
d) Bahwa kemudian perkara sengketa antara A dan C berlanjut sampai
tahap kasasi dimana ternyata dalam kasasi dimenangkan oleh C dan
dikabulkan sita jaminan atas objek yang telah dimenangkan D
sebagai pemenang lelang sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi D dimana terdapat dua putusan yang saling tumpang
tindih yaitu antara putusan perlawanan yang dimenangkan B dengan
putusan kasasi yang dimenangkan oleh C;
96 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

e) C kemudian melakukan eksekusi tanpa melalui gugatan terlebih


dahulu terhadap objek yang dimiliki D sehingga timbul kerugian
yang nyata bagi D tanpa kesempatan untuk melindungi hak-haknya
dimuka pengadilan. Berdasarkan hal tersebut kemudian D dan B
menyampaikan permohonan perlindungan hukum kepada
Mahkamah Agung dimana dalam balasannya, Mahkamah Agung
mengeluarkan penetapan untuk menghentikan eksekusi ulang
tersebut dan menyatakan eksekusi ulang yang dilakukan C tidak
berkekuatan hukum sehingga memberikan kepastian hukum bagi D
sebagai pembeli beritikad baik.
Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan
hukum kepada pembeli beritikad baik yang memerlukan perhatian lebih
terhadap suatu putusan re-eksekusi.Jika dianalisis, sesuai dengan apa
yang ditentukan dalam Pasal 195 ayat (1) HIR atau Pasal 206 ayat (1)
RBg, menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya
diberikan kepada instansi peradilan tingkat pertama, yakni Pengadilan
Negeri. Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak mempunyai
wewenang menjalankan eksekusi. Tidak menjadi soal apakah putusan
yang hendak dieksekusi itu merupakan hasil putusan Pengadilan Tinggi
atau Mahkamah Agung, eksekusinya tetap berada dibawah kewenangan
Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.30
Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, yang dituangkan
dalam bentuk surat penetapan. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat
(1) HIR harus dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan
dan ini merupakan syarat imperatif. Hal ini menyebabkan menjalankan
eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan pada
Pengadilan Tingkat Pertama, yaitu Pengadilan Negeri.31
Selain itu, dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan dikatakan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam
rangka pengawasan jalannya peradilan dibawahnya hanyalah sebatas
pengangguhan atau meneruskan eksekusi.32 Akan tetapi perlu diingat
juga pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung yang telah dilakukan perubahan dengan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004, dikatakan bahwa:

30
M. Yahya Harahap (1), Op. Cit., hal. 19.
31
Asdian Taluke, Eksekusi Terhadap Perkara Perdata yang Telah Mempunyai
Kekuatan Hukum Tetap (Ingkraah) Atas Perintah Hakim Dibawah Pimpinan Ketua
Pengadilan Negeri, “Lex Privatum”,. Vol. I, No. 4, (Oktober 2013), hal. 34-35.
32
Mahkamah Agung RI,” Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan”, Buku II, ed. revisi, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007), hal. 151.
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 97

Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap


penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Dimana pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai
pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya
atau tidak. Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenar-benarnya tentang obyek yang diawasi apakah
sesuai dengan yang semestinya atau tidak.33 Perlu diingat bahwa
pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintahan oleh lembaga
kehakiman, selalu akan berbentuk pengawasan yang bersifat represif.
Maksudnya pengawasan tersebut dilakukan setelah ada perbuatan konkrit
dari aparat pemerintah yang dianggap merugikan pihak lawan berbuat.34
Mengingat keadaan dalam kasus, dimana terjadi re-eksekusi terhadap
objek sengketa yang sama karena tumpang tindihnya putusan eksekusi
yang dikeluarkan oleh putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang saling bertentangan tesebut. Menurut hemat penulis adalah
tepat dikeluarkannya penetapan penghentian eksekusi oleh Mahkamah
Agung dalam rangka menjalankan fungsi pengawasannya. Adapun
analisisnya adalah sebagai berikut:
Pertama, Mahkamah Agung berwenang dalam hal pengawasan
sebagaimana yang tertera dalam pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985.
Dikeluarkannya penetapan penghentian eksekusi oleh Mahkamah Agung
pada dasarnya adalah untuk meluruskan permasalahan yang ditimbulkan
dari tumpang tindihnya putusan-putusan yang telah diputus dan
berkekuatan hukum tetap oleh hakim-hakim di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung sehingga tepatlah dikeluarkannya penetapan
penghentian eksekusi dalam rangka fungsi pengawasan Mahkamah
Agung yang didasari oleh pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985. Penetapan
penghentian eksekusi tersebut merupakan bentuk represif pengawasan
yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap tindakan yang dilakukan
oleh hakim-hakim yang berada dibawah naungannya.
Kedua, isi dari penetapan penghentian eksekusi yang membatalkan
penetapan eksekusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri serta
perintah untuk memulihkan kembali segala sesuatu dalam keadaan
semula sebelum eksekusi dilaksanakan memang menimbulkan
kontroversi akan tetapi menurut hemat penulis penetapan seperti inilah
yang diperlukan untuk meluruskan permasalahan dan mengisi
kekosongan hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian
hukum. Lagipula jika dianalisis lebih dalam, pelaksanaan eksekusi

33
Sujatmo, “Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia”, cet. ke-4, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1996), hal. 63.
34
Muchsan, “Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan
Peradilan tata Usaha Negara Di Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hal. 36.
98 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

sejatinya masih berada dibawah Ketua Pengadilan Negeri dimana


penetapan penghentian eksekusi yang dikeluarkan Mahkamah Agung
hanya memiliki fungsi secara de jure dalam hal memberi perintah
sedangkan pelaksanaannya secara de facto masih berada dibawah
kekuasaan Ketua Pengadilan Negeri sehingga tidak melanggar ketentuan
pasal 195 ayat (1) HIR. Selain itu, tidak terdapat larangan dalam hukum
positif yang melarang Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi
pengawasannya membatalkan penetapan eksekusi terlebih lagi penetapan
eksekusi yang dibatalkan adalah penetapan eksekusi yang menimbulkan
ketidakpastian hukum.

III. Penutup

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka kesimpulan


yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Pembeli beritikad baik adalah
pembeli yang harus dilindungi hak-haknya oleh hukum sebagaimana dalam
pasal 548 KUHPerdata. Terhadap suatu putusan re-eksekusi dimana terjadi
eksekusi ulang objek sengketa yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang
kemudian dieksekusi lagi (re-eksekusi) dengan putusan lain yang berkekuatan
hukum tetap, upaya perlindungan terhadap pembeli beritikad baik sebagaimana
tersebut dapat dilakukan melalui proses digugatnya pembeli beritikad baik,
melalui perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan
perlindungan hukum kepada instansi terkait.
Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan
hukum kepada pembeli beritikad baik yang memerlukan perhatian lebih
terhadap suatu putusan re-eksekusi sebagaimana dalam kasus putusan
Mahkamah Agung No. 556/PK/Pdt/2012. Dimana melalui permohonan
tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan yang meluruskan hal
tersebut sehingga permasalahan yang ada telah terabsorbsi dalam penetapan
tersebut dan dinyatakan telah selesai permasalahannya. Permohonan
perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan yang lebih responsif,
cepat dan mudah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pembeli
beritikad baik terhadap suatu putusan re-eksekusi jika dibandingkan dengan
perlindungan hukum yang diberikan melalui proses gugatan atau perlawanan.
Terhadap penetapan penghentian eksekusi dimana dalam hukum positif
tidak terdapat pengaturan yang memberikan wewenang maupun larangan bagi
Mahkamah Agung untuk melakukannya memang dapat menimbulkan
perdebatan akan keabsahan dari penetapan tersebut. Akan tetapi, dengan
pertimbangan menjalankan fungsi pengawasan, dapat dilihat bahwa Mahkamah
Agung telah mengisi kekosongan hukum dengan mengeluarkan penetapan
eksekusi tersebut yang isinya berada di luar skenario aturan yang ada.
Penetapan penghentian eksekusi tersebut dalam kenyataannya merupakan
produk hukum yang dibutuhkan dalam meluruskan permasalahan yang ada dan
memberikan kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik yang wajib
dilindungi hukum. Sehingga berdasarkan hal tersebut, permohonan
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 99

perlindungan hukum merupakan upaya perlindungan hukum yang efektif dan


tanggap dalam memberikan kepastian perlindungan hukum kepada pembeli
beritikad baik, khususnya pemenang lelang sebagai pembeli beritikad baik
terhadap putusan re-eksekusi yang merugikannya.
100 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.1 Januari-Maret 2014

Daftar Pustaka

BUKU

Garner, Bryan A. Black‟s Law Dictionary, Ed. ke-9.USA: Thompson Reuters,


2009.
Harahap, M. Yahya. Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan
Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993.
-----------------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Ed. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
-----------------------, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cet. ke-6. Jakarta: Sinar
Grafika. 2007.
Mahkamah Agung RI.Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan, Buku II.Ed. Revisi. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007.
-----------------------, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II.Ed. 2007. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2008.
Meliala, Djaja S. Masalah Itikad Baik Dalam KUHPerdata, Bandung:
Binacipta. 1987.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. ke-VI.
Yogyakarta, Liberty, 1998.
Muchsan. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan
Peradilan tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2007.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. ke-IV.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990.
Soemitro, Rochmat. Peraturan dan Instruksi Lelang, Ed. ke-2. Bandung:
Eresco, 1987.
Sujatmo. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Cet. ke-4. Jakarta: Sinar
Grafika, 1996.
Supomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Fasco, 1985.
Suyuthi, Wildan. Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta:
Tatanusa. 2004.

Jurnal dan Tesis

Fifidiana. “Kompetensi Badan Peradilan Umum Dan Peradilan Tata Usaha


Negara Dalam Gugatan Pembatalan Risalah Lelang Studi Kasus Willem
Irianto Vs Bank Internasional Indonesia Dan Willem Irianto Vs Kepala
Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang, Faisal 101

Kantor Lelang Kelas II Kediri”. Tesis Magister Kenotariatan Universitas


Indonesia, Jakarta, 2009.
Leonita, Elizabeth Karina. “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Barang
Jaminan Melalui Lelang Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Undang- ndang Lelang (Studi Kasus Lelang Gedung Aspac
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional)”. Tesis Magister
Kenotariatan Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.
Taluke, Asdian. “Eksekusi Terhadap Perkara Perdata yang Telah Mempunyai
Kekuatan Hukum Tetap (Ingkraah) Atas Perintah Hakim Dibawah
Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri”. Lex Privatum. Vol. I. No. 4.
(Oktober 2013): 24-35.

You might also like