Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Kori Nofianti 17 158 013
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar
batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di
luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari
negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law);
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan prinsip-
prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai
tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik
oleh negara-negara di Dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai
obyeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana
mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk
menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat
defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi
semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-
negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah
sebagai berikut:
1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan
bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut
tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.
5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada
definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan
unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran
yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan
memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi
Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai
suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian
hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax
avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun
General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi,
maupun dalam ketentuan materialnya.
BAB III
KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan
tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah dikenakan pajak
sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka
penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi
dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena
pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti
kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam
contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di
samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000