You are on page 1of 14

MAKALAH

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

Disusun oleh :
Kori Nofianti 17 158 013

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang
perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai
kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh
seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga
Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda
pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional dapat berupa
kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan
lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi
Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang
dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna
mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali
perjanjian dalam bidang perpajakan.
Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi menimbulkan
aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara atau dunia internasional secara
umum guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan negara-negara yang melakukan
kerjasama tersebut. Ini menjadi penting agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat
pengenaan pajak yang memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang
melakukan transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal
mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara
dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya.
Namun setiap negara tidak bebas mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara
asing, pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara
harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah Konvensi Wina.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan
perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha
untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya
untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda
internasional.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Perpajakan International


2.1.1 Pajak International
“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang
mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan
niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan
atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua) dimensi luas
yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri,
dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri
(domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke)
luar batas negara (outward, outbound transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal
ke manca negara sedangkan dimensi kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik
atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan luar negeri
dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan pemajakan penghasilan domestik
dilakukan oleh negara sumber (source country).

2.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional


Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan
kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan
perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha
untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya
untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda
internasional.

2.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan Internasional


Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan
pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita berinvestasi, beban
pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam
atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih
besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang
mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun investasi berasal,
dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan
dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak
pemajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama.
Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya
pengurang laba.

2.2 Pemajakan Lintas Negara


Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal ini karena adanya
prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan
dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib
pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri
(WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut
dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali,
pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang.
Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu
digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara
sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang
menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari
183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap
WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak
untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang melakukan perjanjian
perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara sumber (source country) yang
merupakan negara di mana penghasilan yang merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara
domisili (resident country) yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau
berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk mengenakan pajak
berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap
satu jenis penghasilan inilah yang biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu
diatur dalam suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.

2.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation


Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD membedakan antara pajak
berganda yuridis (juridical double taxation) dengan pajak ganda ekonomis (economic double
taxation). Pajak berganda yuridis terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh
orang yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis
terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu penghasilan yang
sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan sebagai definisi legal
atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI yuridis) dan konsep ekonomis yang luas
atas PBI. Berdasar definisi legal, pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu
Negara dan pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain bukanlah
suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Namun demikian,
secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan dengan pemegang sahamnya karena mereka
merupakan satu kesatuan ekonomis. Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan
dikenakan pajak pada persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan
pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga dan anggota
keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD menjelaskan tentang PBI
yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang
sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI
ekonomis timbul apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu
penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). Dalam PBI yuridis
tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut dilakukan terhadap satu subjek legal
yang sama (legal identityof subject). Di pihak lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek
yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya
merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject).
2.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional
Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan hukum pajak
internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit adalah (Agus Setiawan,
2006):
“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional),”
Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:
“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang mempunyai
obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional dalam arti luas
termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-lain perjanjian
internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum internasional/antar
bangsa yang diakui secara umum;
ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan;
iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat internasional
(tertentu) seperti supranationales steuerrecht.

Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan Hukum Pajak


Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”
Menurut PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang
mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-masing
negara.”
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari
pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu termasuk di dalam Hukum Pajak
Internasional. Hukum Pajak Internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu
persoalan yang diatur dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c. Traktat-traktat.

Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai berikut :
1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National External Tax Law);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat
ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar
batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di
luar negeri) maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan dari
negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law);
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum Pajak
Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan prinsip-
prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai
tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang
berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik
oleh negara-negara di Dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai
obyeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana
mungkin dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional


Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga
dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara lain :
A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan
Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan
Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan
Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana
Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek
Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:


a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).
c. Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak


Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut
tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat
soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda
dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka
peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat
hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-
masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda
serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan
ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut
maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty
berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian
bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk mengatur soal-soal
perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya
maupun mengenai obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun
kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak
ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita
akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal
demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadap
perekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut
serta menjalankan konvensi tersebut.

2.5 Prinsip Non Diskriminasi


Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan di bidang
perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang melakukan kegiatan di negara
treaty partner lainnya. perlindungan yang dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner
lainnya dibandingkan warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same
circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari perusahaan yang
adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau perusahaan penanaman modal di
negara itu yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun
tidak langsung oleh penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak
mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances), potongan (reliefs)
ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada warga negara atau penduduk dari
negara yang disebutkan pertama di atas.
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan domestik maupun
perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan
kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara. Di banyak negara, skema penghindaran pajak
dapat dibedakan menjadi:
1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda pandangannya tentang
skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax
avoidance. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk
menyatakan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah aggressive tax planning dan
istilah untuk penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan “sebagai suatu skema
transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-
kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak
menyatakan skema tersebut sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan.
Lebih lanjut, The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor
hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate consideration”, atau berlawanan dengan
maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).
Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang terutang melalui
skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan
sifatnya tidak menimbulkan dispute antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak yang terutang
dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti dengan cara tidak melaporkan
sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah apakah suatu
skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran pajak (tidak ada
tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan ketentuan perpajakan yang ada dapat
dibenarkan? Dalam konteks perpajakan internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan
oleh PMA untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii)
thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib Pajak dapat
menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak)
atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak)
atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of tax object) ke
negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan
perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari
suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban
pajak yang paling rendah.
2.6 Konsep Anti Tax Avoidance
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning
seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran
pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak atas
transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan
(iv) controlled foreign corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak untuk
mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata
untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu ketentuan untuk
menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat
defensive tax planning lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi
semu yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha di negara-
negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia, skema-skema yang dapat
dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah
sebagai berikut:
1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak. Dengan kata
lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis, kalaupun ada tujuan
bisnisnya tetapi sangat tidak signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya fasilitas pajak tersebut
tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi tersebut akan
kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan yang besar di
masa yang akan datang.
5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang diterima oleh entitas
usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan sebagai tax
haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat ini, belum ada
definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning, acceptable tax avoidance dan
unacceptable tax avoidance. Dengan demikian, dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran
yang berbeda antara Wajib Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan
memberikan penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa sepanjang skema
penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi
Wajib Pajak. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai
suatu ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu, untuk kepastian
hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan tentang tax planning, tax
avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun
General Anti Avoidance Rule (GAAR) harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi,
maupun dalam ketentuan materialnya.
BAB III
KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan dengan
tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah dikenakan pajak
sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000


Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka
penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
37.500.000
25% x 150.000,000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai konsekuansi
dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat mengurangi penghasilan kena
pajak domestic. Namun secara berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti
kembali (recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam
contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di
samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri 150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu (50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000

You might also like