You are on page 1of 4

Jebakan Data Beras

BUKAN lagi sekadar kisruh, melainkan jebakan yang sengaja dipelihara. Itulah yang terkesan
dari drama superpanjang permasalahan data beras di negeri ini.

Mau tidak mau, kita berpikir sebagai jebakan yang dibiarkan karena hampir setiap tahun isu
terulang dengan plot sama. Singkatnya, plot itu ialah Kementerian Pertanian melaporkan
produksi beras di atas kebutuhan, tapi harga beras di pasar naik; persediaan beras di pasar
dikatakan krisis sehingga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengundang rapat
kementerian terkait dan dihasilkan keputusan untuk membuka keran impor.

Drama itu pula yang terjadi lagi sekarang. Kementerian Pertanian mengatakan produksi beras
tahun ini 49,9 juta ton, yang berarti di atas kebutuhan nasional sekitar 30 juta ton. Namun,
dengan alasan untuk menekan harga beras, Menko Perekonomian menyetujui impor beras.

Impor itu sebenarnya juga kelanjutan dari izin impor beras untuk tahun ini yang mencapai total 2
juta ton. Dari jumlah tersebut, impor tahap pertama dan kedua telah keluar pada Februari dan
Mei 2018, masing-masing jumlahnya 500 ribu ton. Untuk izin impor tahap ketiga dikeluarkan
pada Juli 2018. Berdasarkan jumlah tersebut, beras yang masih akan masuk ke Indonesia sekitar
820 ribu ton.

Impor beras memang ibarat aksi menampar muka sendiri. Menampar karena betapa ironisnya
sebuah negeri agraris dengan wilayah begitu luas, dengan penduduk yang begitu banyak, tetapi
tak mampu swasembada beras. Harus jujur dikatakan bahwa impor beras itu bukti gagalnya
sektor pertanian menyediakan stok beras.

Sesungguhnya perdebatan impor beras tak perlu terjadi. Sejauh kita belum bisa swasembada
beras, selama itu pula bangsa ini akan impor beras. Hal yang tidak bisa ditawar-tawar ialah
bagaimana negeri ini harus memiliki politik pertanian yang jelas untuk menuju swasembada
beras. Tanpa kejelasan itu, keinginan menghentikan impor beras hanyalah mimpi.

Lebih memprihatinkan lagi ialah ternyata impor beras pada tahun ini akibat kesalahan data. Fakta
itulah yang dibuka tanpa ditutup-tutupi Menko Perekonomian Darmin Nasution.

Menurut Darmin, impor beras berawal karena kesalahan prediksi salah satu menteri teknis yang
bertanggung jawab terkait dengan persoalan pertanian dan pangan. Disebutkan bahwa
kementerian teknis sangat yakin pada 2017 panen akan banyak, tetapi faktanya harga beras
meledak.

Faktor lain yang disebut Darmin sebagai penyebab keran impor beras dibuka ialah karena
Perusahaan Umum Bulog, sebagai penyangga stok, tidak mampu merealisasikan serapan gabah
dari petani dengan maksimal.

Persoalan data persediaan beras harus akurat agar tidak salah mengambil keputusan terkait
dengan urusan perut rakyat. Karena itu, sudah saatnya dipikirkan agar ada data pembanding yang
disiapkan kementerian teknis. Bukankah kewenangan data perberasan berada di kementerian
teknis sehingga Badan Pusat Statistik (BPS) tidak bisa merilis data beras?
Kita mendukung sepenuhnya agar Kementerian Koordinator Perekonomian segera melakukan
pembenahan data pertanian dan pangan. Patut didukung keinginan untuk menggandeng Badan
Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan BPS
untuk menciptakan sistem yang lebih valid dan akurat dengan memaksimalkan pencitraan satelit.

Sudah saatnya kita benar-benar transparan dan akuntabel dalam menangani masalah perberasan.
Transparansi itu dimulai dengan membenahi data yang selama ini beragam dan tidak akurat pula.

Media Indonesia (15 Sep 2018)


Memutus Rantai Kekerasan Supporter

WAJAH persepakbolaan nasional kembali berlumur noda. Di negeri ini, sepak bola yang semestinya
menjadi panggung hiburan justru menjelma menjadi ajang pamer kekejian dan kebiadaban. Di negeri
ini, lagi-lagi nyawa manusia direnggut paksa karena fanatisme buta dalam sepak bola.

Adalah Haringga Sirila yang menjadi korban terbaru di belantara sepak bola Indonesia. Suporter
Persija Jakarta atau the Jakmania itu tewas secara amat mengenaskan jelang big match antara Persib
Bandung dan Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Minggu (23/9). Dia meninggal akibat
dikeroyok bobotoh Persib.

Amat sulit diterima akal waras kenapa orang bisa begitu biadab terhadap orang lain hanya karena
persoalan sepak bola. Amat sukar diterima jiwa yang sehat kenapa orang bisa begitu kejam
menghilangkan nyawa orang lain hanya lantaran berbeda klub.

Kematian Haringga ialah tragedi yang ironisnya bukan yang pertama dan dikhawatirkan bukan pula
yang terakhir dalam sepak bola kita. Sejak 1995 sudah sekitar 50 suporter sepak bola di Indonesia
meregang nyawa. Haringga ialah korban tewas ketujuh akibat perseteruan antara pendukung 'Macan
Kemayoran' dan 'Maung Bandung'.

Kematian Haringga merupakan penegas bahwa sepak bola kita masih dalam keadaan lara. Ia menjadi
pelengkap atas buruknya prestasi kendati belakangan tim nasional junior beberapa kali unjuk gigi.

Saban kali ada suporter yang tewas, saat itu pula asa agar tak ada lagi korban-korban berikutnya
menguar dari para pemangku kepentingan sepak bola kita. Namun, keinginan itu tak pernah
dibarengi dengan tindakan nyata. Di antara suporter yang bermusuhan, ikrar damai hanya mengikat
kalangan elite, tetapi tak menyentuh akar rumput.

Lebih celaka lagi nafsu permusuhan terus diternak hingga beranak pinak ke anak-anak. Yel-yel,
nyanyian, atau spanduk bernada rasialis dan sarat ujaran kebencian kepada klub dan suporter lawan
gencar meracuni mereka. Racun itu leluasa ditebarkan di stadion karena dibiarkan panitia pelaksana
pertandingan dan kian mewabah lewat media sosial.

Penghentian Liga 1 oleh Menpora Imam Nahrawi yang diikuti PSSI dengan memoratorium
kompetisi strata tertinggi itu sampai batas waktu yang tak ditentukan ialah langkah yang tepat. Sepak
bola kita memang perlu mengambil napas untuk melakukan evaluasi total.

Edukasi tiada henti mesti diintensifkan agar seluruh suporter menyadari bahwa semangat sepak bola
sejatinya ialah persahabatan dan sportivitas. Ketegasan pun menjadi kemestian untuk memutus rantai
kekerasan, permusuhan, dan dendam antarsuporter.

Dari sisi hukum, ketegasan mutlak ditunjukkan aparat kepolisian, kejaksaan, dan majelis hakim
dalam menindak para pengeroyok Haringga. Hukum mereka seberat-beratnya. Mereka bukanlah
pecinta sepak bola, mereka ialah para kriminal.

Pun, ketegasan wajib ditunjukkan PSSI. Harus diakui, sebagai induk organisasi sepak bola nasional,
PSSI cenderung lembek dalam memberikan sanksi selama ini. Mereka masih suka menjatuhkan
hukuman denda kepada panpel setiap kali ada kerusuhan suporter. Partai usiran atau pertandingan
tanpa penonton terkadang juga ditimpakan, tetapi pelaksanaannya kerap setengah hati.

Terbukti sudah, hukuman seperti itu tak ampuh untuk melawan kebrutalan suporter. Inilah saatnya
hukuman yang lebih keras lagi, seperti pengurangan nilai, diterapkan kepada klub. Tak ada salahnya
pula Persib dilarang menggelar laga kandang di markas sendiri dan tanpa penonton di sisa
kompetisi.

Dengan begitu, suporter akan sadar bahwa berlaku primitif hanya akan merugikan tim kesayangan
mereka. Mereka juga sadar tak akan bisa lagi menikmati penampilan klub kebanggaan jika terus
mempertontonkan kekerasan, apalagi sampai menyebabkan kematian.

Harus ada kemauan dan upaya luar biasa agar sepak bola kita tak lagi memakan korban jiwa. Jika
tragedi masih saja terjadi, lebih baik tak ada klub yang didukung suporter barbar di negeri ini.

Media Indonesia (27 Sep 2018)

You might also like