You are on page 1of 13

Hukum dan Etika Rumah Sakit

November 26, 2008 dr. Cinta

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia


(PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini meyangkut hak dan
kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari
pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, saranan,
pedoman standar pelayanan medik , ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-
sumber hukum lainnya.

Hukum Kesehatan terdiri dari banyak disiplin diantaranya: hukum kedokteran/ kedokteran
gigi, hukum keperawatan, hukum farmasi klinik, hukum apotik, hukum kesehatan
masyarakat, hukum perobatan, hukum rumah sakit, hukum kesehatan lingkungan dan
sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 159b/Men.Kes/Per/II/1988


tentang Rumah Sakit adalah ”Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran yaitu
ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau pemeliharaan
kesehatan dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat,
bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan
pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka panjang
yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang
yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan dan menyediakan pelayanan
berobat jalan.

Masing-masing disiplin ini umunnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan
anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan juga
telah mempunyai etika yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia
(ERSI).

Dengan demikian dalam menjalankan pelayanan kesehatan masing-masing profesi harus


berpedoman pada etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya
apalagi dalam wadah dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

Etik dan Hukum

Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan
morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat.
Hukum adalah pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuaaan, dalam
mengatur pergaulan hidup masyarakat.

Etik dan hukum memeiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tertib dan tentramnya
pergaulan hidup dalam masyarakat.

Persamaan etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.


2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasi pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.

Sedangkan perbedaan Etik dan hukum adalah sebagai berikut:

1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi . Hukum berlaku untuk umum.


2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh badan
pemerintah.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-
undang dan lembaran/berita negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan. Sanksi terhadap pelanggaran
hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK),
yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan kepada
Panitia Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK), yang dibentuk oleh Departemen
Kesehatan (DEPKES). Pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian
pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.

Etika Rumah Sakit

Etika rumah sakit adalah etika terapan (applied ethics) atau etika praktis (practical ethics),
yaitu moralitas atau etika umum yang diterapkan pada isu-isu praktis, seperti perlakuan
terhadap etnik-etnik minoritas, keadilan untuk kaum perempuan, penggunaan hewan untuk
bahan makanan atau penelitian, pelestarian lingkungan hidup, aborsi, etanasia, kewajiban
bagi yang mampu untuk membantu yang tidak mampu, dan sebagainya. Jadi, etika rumah
sakit adalah etika umum yang diterapkan pada (pengoperasian) rumah sakit.

Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda
dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi,
perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno
menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter
Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya,
karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang
menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur,
adil, profesional dan terhormat.

Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab
khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan
profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap
masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk
eksekutif lain di rumah sakit.

Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan
dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan
dan pelayanan profesi itu.

Etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit sebagai
suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran etika biomedis.
Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah pengembangan dari etika
biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema etika yang baru sama sekali
sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis,
justru terjadi di rumah sakit. Sebagai contoh, dapat disebut kegiatan reproduksi dibantu
transplantasi organ.

Etika rumah sakit terdiri atas dua komponen :

v Etika administratif

v Etika biomedis

Secara umum masalah etik rumah sakit yang perlu diatur adalah tentang:

1. Rekam medis

2. Keperawatan

3. Pelayanan laboratorium

4. Pelayanan pasien dewasa

5. Pelayanan kesehatan anak

6. Pelayanan klinik medik

7. Pelayanan intensif, anestesi dan euthanasia

8. Pelayanan radiologi

9. Pelayanan kamar operasi


10. Pelayanan rehabilitasi medik

11. Pelayanan gawat darurat

12. Pelayanan medikolegal dan lain-lain

Isu-isu etika administratif

Potensi isu etika administratif yang pertama terkait dengan kepemimpinan dan manajemen di
rumah sakit. Fungsi manajemen mencakup antara lain kegiatan menentukan obyektif,
menentukan arah dan memberi pedoman pada organisasi. kegiatan-kegiatan kepemimpinan
dan manajemen ini paling sensitif secara etis. Artinya dalam pelaksanaannya seorang
pemimpin yang manajer puncak sangat mudah disadari atau tidak melanggar asas-asas etika
beneficence, nonmaleficence, menghormati manusia dan berlaku adil. Apalagi jika Direktur
Rumah Sakit berprilaku diskrimatif dan menerapkan standar ganda. Ia menuntut orang lain
mematuhi standar-standar yang ditetapkan. Sedangkan ia sendiri tidak mau memberi teladan
sesuai dengan standar-standar itu

Potensi isu etika administratif berikutnya adalah tentang privasi. Privasi menyangkut hal-hal
konfidensial tentang pasien, seperti rahasia pribadi, kelainan atau penyakit yang diderita,
keadaan keuangan, dan terjaminnya pasien dari gangguan terhadap ketersendirian yang
menjadi haknya. Adalah kewajiban etis rumah sakit untuk menjaga dan melindungi privasi
dan kerahasiaan pasiennya. Harus di akui, hal itu tidak selalu mudah. Misalnya kerahasiaan
rekam medis pasien sukar dijaga, karena rumah sakit modern data dan informasi yang
terdapat di dalamnya terbuka bagi begitu banyak petugas yang karena kewajibannya memang
berhak punya akses terhadap dokumen tersebut. Dapat juga terjadi dilema etika administratif,
jika terjadi keterpaksaan membuka kerahasiaan karena suatu sebab di satu pihak lain
kewajiban moral untuk menjaganya

Persetujuan tindakan medis (Informed consent). Masalah etika administratif dapat terjadi, jika
informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya, yaitu persetujuan yang
diberikan secara sukarela oleh pasien yang kompeten kepada dokter untuk melakukan
tindakan medis tertentu pada dirinya, setelah ia diberi informasi yang lengkap dan dimengerti
olehnya tentang semua dampak dan resiko yang mungkin terjadi sebagai akibat tindakan itu
atau sebagai akibat sebagai tidak dilakukan tindakan itu. Dalam banyak hal, memang tidak
terjadi banyak masalah etika, jika intervensi medis berjalan aman dan outcome klinis sesuai
dengan apa yang diharapkan semua pihak.

Tetapi, dapat saja terjadi suatu tindakan invansif ringan yang rutin dikerjakan sehari-hari
misalnya pendektomi erakibat fatal. Kasus demikian dapat menjadi penyesalan
berkepanjangan. Dapat juga terjadi dilema etik pada dokter dirumah sakit, yang tega
mengungkapkan informasi yang selengkapnya kepada pasien, karena ia tahu jika itu
dilakukan pasien akan jadi bingung, panik, dan takut sehingga ia minta dipulangkan saja
untuk mencari pengobatan alternatif. padahal dokter percaya bahwa tindakan medik yang
direncanakan masih besar kemungkinannya untuk menyelamatkan pasien.

Dilema etika administratif berikutnya di rumah sakit dapat terjadi berhubung dengan faktor-
faktor situasi keuangan. Contoh-contoh berikut ini terjadi sehari-hari.
1. Apakah kemampuan pasien membayar uang muka adalah faktor yang mutlak bagi rumah
sakit untuk memberikan pertolongan kepadanya. karena pertimbangan tertentu, pemilik atau
manajeman rumah sakit mengalokasikan dana yang terbatas untuk proyek tertentu,dan
dengan demikian mengakibatkan kebutuhan lain yang mungkin lebih mendesak, lebih besar
manfaatnya, dan lebih efektif biaya.

2. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap dokter tertentu sangat tinggi tarif jasanya. Jika
ditegur ia pasti akan marah, dan mungkin akan hengkang kerumah sakit lain. padahal ia
patient getter yang merupakan ‘telur emas’bagi rumah sakit.

3. Bagaimana sikap terhadap pasien yang kurang tepat waktu melunasi piutang periodiknya,
padahal ia sangat memerlukan tindakan khusus lanjutan.

4. Untuk rumah sakit milik pemodal, bagaimana sikap manajemen jika ada konflik
kepentingan antara kebutuhan pasien dengan keingginan pemegang saham yang melihat
sesuatu hanya dari perhitungan bisnis.

5. Bagaimana jika ada konflik kepentingan antara pemilik, manajemen dan para klinis yang
akar masalahnya adalah soal keuangan dan pendapatan. Bagaimana sikap manajemen
terhadap dokter tertentu yang dapat diduga melakukan moral hazard dengan berkolusi
dengan PBF.

6. Bagaimana sikap rumah sakit terhadap teknologi mahal; disatu pihak diperlukan untuk
meningkatkan posisi dan citra rumah sakit, di pihak lain potensi moral hazard juga tinggi
demi untuk membayar cicilan kredit atau/ easing.

Isu-isu Etika Biomeidis

Isu etika biomedis di rumah sakit menyangkut persepsi dan perilaku profesional dan
instutisional terhadap hidup dan kesehatan manusia dari sejak sebelum kelahiran, pada saat-
saat sejak lahir, selama pertumbuhan, jika terjadi penyakit atau cidera, menjadi tua, sampai
saat-saat menjelang akhir hidup, kematian dan malah beberapa waktu setelah itu.

Sebenarnya pengertian etika biomedis dalam hal ini masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu
etika biomedis atau bioetika yang lahir sebagai dampak revolusi biomedis sejak tahun 1960-
an, yang antara lain berakibat masalah dan dilema baru sama sekali bagi para dokter dalam
menjalankan propesinya. Etika biomedis dalam arti ini didefinisikan oleh International
association of bioethics sebagai berikut; Bioetika adalah studi tentang isu-isu
etis,sosial,hukum,dan isu-isu lainyang timbul dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu
biolagi (terjemahan oleh penulis).

Pengertian etika biomedis juga masih perlu dipilah lagi dalam isu-isu etika medis’tradisional’
yang sudah dikenal sejak ribuan tahun, dan lebih banyak menyangkuthubungan individual
dalam interaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Kemungkinan adanya masalah etika
medis demikianlah yang dalam pelayanan di rumah sakit sekarang cepat oleh masyarakat
(dan media masa) ditunding sebagai malpraktek.

Isu-isu Bioetika
Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti pertama
(bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik,teknologi
reproduksi,eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin, eutanasia,
isu-isu pada akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi
di atas tentang bioetika oleh International Association of Bioethics ,kegiatan-kegiatan di atas
dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika,tapi
juga isu-isu sosial, hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi,kependudukan,lingkungan
hidup,dan mungikin juga isu-isu di bidang lain.

Dengan demikian,identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak hanya
terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah Sakit dan
para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis ‘tradisional’- melainkan
kepedulian dan bidang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner tentang masalah-masalah
yang timbul karena perkembangan bidang biomedis pada skala mikro dan makro,dan tentang
dampaknya atas masyarakat luas dan sistemnilainya,kini dan dimasa mendatang
(F.Abel,terjemahan K.Bertens).

Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang sudah
banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia.Dengan demikian,identifikasi dan pemecahan
masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini.
yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang
‘fatwa’ pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional
seperti PBB, WHO, Amnesty International, atau’fatwa’ Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional
(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak
melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau
supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum
diketahui solusinya,pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.

Isu-isu Etika Medis

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan medis
dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya malpraktek,
terutama oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan tanggung jawab
institusional rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan
hukum (Perdata, Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.

Hukum Rumah Sakit

Hukum kesehatan eksistensinya masih sangat relatif baru, dalam perkembangannya di


Indonesia, semula dikembangkan oleh Fred Ameln dan Almarhum Prof. Oetama dalam
bentuk ilmu hukum kedokteran. Perkembangan kehidupan yang pesat di bidang kesehatan
dalam bentuk sistem kesehatan nasional mengakibatkan di perlukannya pengaturan yang
lebih luas, dari hukum kedokteran ke hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (hukum
kesehatan).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa
pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi
pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang
dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak
dan kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum
bagi para pihak yang terkait.

Sesuai dengan pengertian hukum kesehatan, maka hukum rumah sakit dapat disebut sebagai
semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan
kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu
rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman medik serta sumber-sumber
hukum lainnya.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit
dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu :

a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa
pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan
tindakan perawatan.

b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien
bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan
pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76).

Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/ tenaga kesehatan agar tidak
menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien mendapatkan
perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/ tenaga kesehatan.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit
bertanggung jawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga
bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan
1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71).

Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan
(YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri
dari :

1) Unsur mutu yang dijamin kualitasnya;

2) Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan

3) Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan atau medik
khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118).

Dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan hukum
dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik), mengetahui dan
memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib
simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir,
1999: 29).

Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah sakit
memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI),
Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak & Kewajiban
Pasien, Dokter dan Rumah Sakit

Panitia Etika Rumah Sakit (PERS)

Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI) disusun oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI). ERSI ini memuat tentang kewajiban umum rumah sakit, kewajiban rumah sakit
terhadap masyarakat, kewajiban rumah sakit terhadap pasien, kewajiban rumah sakit terhadap
staf dan lain-lain.

Pada saat ini beberapa rumah sakit telah mulai merasakan perlunya sebuah badan yang
menangani pelanggaran etik yang terjadi di rumah sakit. Di rumah sakit besar di Indonesia
telah ada badan yang dibentuk di bawah nama Panitia Etika Rumah Sakit (PERS) yang di
luar negeri disebut Hospital Ethical Commitee dimana anggotanya terdiri dari staf medis,
perawatan, administratif dan pihak lain yang berkaitan dengan tugas rumah sakit.

Fungsi Panitia Etika Rumah Sakit

Fungsi PERS ini adalah memberikan nasihat atau konsultasi melalui diskusi atau berperan
dalam menilai penyelesaian melalui kebijaksanaan, pendidikan pada lingkungannya dan
memberikan anjuran-anjuran pada pelayan kasus-kasus sulit.

Dengan demikian PERS dapat memberikan manfaat :

1. Sebagai sumber informasi yang relevan untuk menyelesaikan masalah etik di rumah sakit.

2. Mengidentifikasi masalah pelanggaran etik di rumah sakit dan memberikan pendapat untuk
penyelesaian.

3. Memberikan nasihat kepada direksi rumah sakit untuk meneruskan atau tidak, perkara
pelanggaran etik ke MKEK.

Tugas PERS adalah membantu para dokter, perawat dan anggota tim kesehatan di rumah
sakit dalam menghadapi masalah-masalah pelanggaran etik maupun pemantapan pengalaman
kode etik masing-masing profesi.

Hospital Bylaw

Istilah Hospital Bylaw itu terdiri dari dua kata ‘Hospital’ dan ‘Bylaw’. Kata ‘Hospital’
mungkin sudah cukup familiar bagi kita, yang berarti rumah sakit. Sementara kata ‘Bylaw’
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli. Menurut The Oxford Illustrated
Dictionary:Bylaw is regulation made by local authority or corporation. Pengertian lainnya,
Bylaws means a set of laws or rules formally adopted internally by a faculty, organization, or
specified group of persons to govern internal functions or practices within that group,
facility, or organization (Guwandi, 2004). Dengan demikian, pengertian Bylaw tersebut dapat
disimpulkan sebagai peraturan dan ketentuan yang dibuat suatu organisasi atau perkumpulan
untuk mengatur para anggota-anggotanya. Keberadaan Hospital Bylaw memegang peranan
penting sebagai tata tertib dan menjamin kepastian hukum di rumah sakit. Ia adalah ‘rules of
the game’ dari dan dalam manajemen rumah sakit.
Ada beberapa ciri dan sifat Hospital Bylaw yaitu pertama tailor-made. Hal ini berarti bahwa
isi, substansi, dan rumusan rinci Hospital Bylaw tidaklah mesti sama. Hal ini disebabkan oleh
karena tiap rumah sakit memiliki latar belakang, maksud, tujuan, kepemilikan, situasi, dan
kondisi yang berbeda. Adapun ciri kedua, Hospital Bylaw dapat berfungsi sebagai
‘perpanjangan tangan hukum’. Fungsi hukum adalah membuat peraturan-peraturan yang
bersifat umum dan yang berlaku secara umum dalam berbagai hal. Sedangkan kasus-kasus
hukum kedokteran dan rumah sakit bersifat kasuistis. Dengan demikian, maka peraturan
perundang-undangannya masih harus ditafsirkan lagi dengan peraturan yang lebih rinci, yaitu
Hospital Bylaw. Sebagaimana diketahui, hampir tidak ada kasus kedokteran yang persis
sama, karena sangat tergantung kepada situasi dan kondisi pasien, seperti kegawatannya,
tingkat penyakitnya, umur, daya tahan tubuh, komplikasi penyakitnya, lama pengobatan yang
sudah dilakukan, dan sebagainya. Ketiga, Hospital Bylaw mengatur bidang yang berkaitan
dengan seluruh manajemen rumah sakit meliputi administrasi, medik, perawatan, pasien,
dokter, karyawan, dan lain-lain. Keempat, rumusan Hospital Bylaw harus tegas, jelas, dan
terperinci. Hospital Bylaw tidak membuka peluang untuk ditafsirkan lagi secara individual.
Kelima, Hospital Bylaw harus bersifat sistematis dan berjenjang.

Hospital Bylaw merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: tata tertib
rawat inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit,
informed consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komite
medik, panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas
rumah sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan
tenaga kesehatan dan rekanan. Adapun bentuk HBL dapat merupakan kumpulan dari
Peraturan Rumah Sakit, Standar Operating Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat
Penugasan, Pengumuman, Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU). Namun demikian,
peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya seperti
Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah dan Undang-undang. Dalam
bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan Undang-undang nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.

Belakangan ini tidak jarang keluhan masyarakat bahwa rumah sakit tidak melayani
masyarakat dengan baik. Bahkan beberapa rumah sakit saat ini telah dituntut karena
pelayanan yang tidak sesuai harapan. Ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa masih ada
rumah sakit yang belum mempunyai aturan rumah sakit yang jelas, sistematis, dan rinci.
Karena itu, sesuai prinsip tailor made rumah sakit seharusnya mempunyai Hospital Bylaw
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Banyaknya kasus malapraktik di negara ini merupakan salah satu bentuk dari kurang
demokratisnya dokter dalam melayani pasien. Tidak dapat disangkal bahwa di negara ini
masih banyak rumah sakit yang menerapkan doctor-oriented. Padahal, seharusnya
manajemen rumah sakit menetapkan patient-oriented.

Akibat manajemen rumah sakit yang kerap kali ”menganakemaskan” para dokternya, dalam
artian mengelola rumah sakit berdasarkan keinginan para dokter, telah menjadi bumerang
bagi perkembangan rumah sakit di negara ini. Contoh kecil berkembangnya sikap doctor-
oriented dapat dilihat dari perekrutan dokter oleh pihak pengelola rumah sakit. Dalam hal ini,
pihak manajemen akan mempekerjakan dokter-dokter yang sudah terkenal dan mempunyai
pasien tetap.
Secara ekonomis, praktik seperti ini memang menguntungan. Pasien-pasien dokter yang
direkrut tersebut akan berpindah ke rumah sakit di mana si dokter berpraktik, selain
berpraktik secara pribadi. Padahal, hal seperti ini tidak boleh dilakukan karena dokter dengan
kemampuannya yang terbatas, tidak mungkin bisa menangani begitu banyak pasien. Otak dan
tubuh kita perlu istirahat setelah digunakan dalam jangka waktu tertentu. Tapi, hal ini sering
diabaikan karena sejumlah dokter lebih mementingkan nilai material yang dapat diraihnya.

Dengan demikian, kepentingan Hospital Bylaw dapat dilihat dari tiga sudut yaitu pertama,
untuk kepentingan peningkatan mutu pelayanan. Dalam hal ini Hospital Bylaw dapat menjadi
instrumen akreditasi rumah sakit. Rumah sakit perlu membuat standar-standar yang berlaku
baik untuk tingkat rumah sakit maupun untuk masing-masing pelayanan misalnya pelayanan
medis, pelayananan keperawatan, administrasi dan manajemen, rekam medis, pelayanan
gawat darurat, dan sebagainya. Standar-standar ini terdiri dari elemen struktur, proses, dan
hasil. Adapun elemen struktur meliputi fasilitas fisik, organisasi, sumber daya manusianya,
sistem keuangan, peralatan medis dan non-medis, AD/ART, kebijakan, SOP/Protap, dan
program. Proses adalah semua pelaksanaan operasional dari staf/unit/bagian rumah sakit
kepada pasien/keluarga/masyarakat pengguna jasa rumah sakit tersebut. Hasil (outcome)
adalah perubahan status kesehatan pasien, perubahan pengetahuan/pemahaman serta perilaku
yang mempengaruhi status kesehatannya di masa depan, dan kepuasan pasien.

Kepentingan yang kedua, dilihat dari segi hukum Hospital Bylaw dapat menjadi tolak ukur
mengenai ada tidaknya suatu kelalaian atau kesalahan di dalam suatu kasus hukum
kedokteran. Di dalam Hukum Rumah Sakit pembuktian yang lebih rinci harus terdapat dalam
Hospital Bylaw. Ketiga, dilihat dari segi manajemen risiko, maka HBL dapat menjadi alat
(tool) untuk mencegah timbulnya atau mencegah terulangnya suatu risiko yang merugikan.
Dengan demikian, pasien akan semakin terlindungi sesuai prinsip patient safety. Hospital
Bylaw juga akan memperjelas fungsi dan kedudukan dokter dalam sebuah rumah sakit .
Sebagai tenaga medis, dokter dituntut melakukan tindakan medis sesuai dengan standar
profesi yang ditetapkan dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Apalagi, berdasarkan
strategi WTO pada tahun 2010 Indonesia akan membuka peluang dokter asing untuk
berpraktik. Sementara itu, ASEAN bersepakat dua tahu lebih cepat yaitu pada tahun 2008
membuka peluang yang sama untuk tenaga kesehatan.

Masalah Etika dan Hukum di Rumah Sakit

Masalah etika dan hukum di rumah sakit yang paling marak saat ini adalah malpraktek.
Malpraktek (medis) sebenarnya adalah istilah hukum yang berarti kesalahan dalam
menjalankan profesi. Berkhouwer dan Borstman (dikutip oleh Veronica Komalawati)
mengatakan, seorang dokter melakukan kesalahan profesi, apabila ia tidak memeriksa, tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan atau tidak menghindari tindakan (tertentu),
sedangkan dokter-dokter yang baik pada umumnya pada situasi yang sama akan melakukan
pemeriksaan, membuat penilaian, melakukan tindakan atau menghindari tindakan (tertentu).

Kita dapat melihat bahwa: Pertama, definisi ini bersifat relatif. Baik buruknya seorang dokter
menjalankan profesinya dibandingkan dengan rata-rata dokter lain. Tentu ini ada kelemahan-
kelemahannya, dapat saja seorang dokter yang inovatif di tuduh melakukan malpraktek
karena ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan kebanyakan dokter lain, padahal
yang ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bagi pasien. Soal standar profesi tidak
disinggung dalam devinisi itu,mungkin karena belum ada, karena buku dua ahli hukum
Belanda itu diterbitkan lebih daripada setengah abad yang lalu dalam tahun 1950.

Kedua, walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan, dalam definisi ini dengan kesalahan
profesional ditonjolkan tentang kelainan; dokter tentu tidak melakukan pemeriksaan. tidak
membuat penilaian, tidak melakukan tindakan, dan tidak menghindari tindakan tertentu. Ini
sesuai dengan pemahaman, bahwa malpraktek adalah sama dengan negligence.

Sesuai dengan konteks makalah ini, tentang malpraktek dengan latar belakang pelanggaran
hukum tidak dibicarakan lebih jauh. Fokus utama adalah pada masalah etika medis di rumah
sakit.

1. Etika dalam hal ini diartikan sebagai kewajiban dan tanggung jawab.

2. Etika rumah sakit adalah etika institusi, jadi kewajiban dan tanggng jawab itu adalah
institusional, bukan individual.

3. Namun, eksekutif puncak rumah sakit- sebagai yang oleh pemilik melalui Governing Body
(Badan Pengampu, Majelis Wali Amanah, Dewan Pembina, atau nama jenis yang lain) diberi
kekuasaan mengelola dan tanggung jawab rumah sakit, dengan sendirinya juga adalah
penanggung jawab moral dan etika institusional.

4. Etika medis berhubungan dengan hidup dan kesehatan. Objek kewajiban dan tanggung
jawab pada etika medis adalah hidup dan kesehatan manusia dan kelompok manusia
dilingkungan luar rumah sakit. itu berarti pasien staf serta karyawan rumah sakit,dan
masyarakat.

5. Masalah etika rumah sakit timbul apabila terjadi pelanggaran terhadap asas-asas etika
(umum)dan Kode Etik Rumah Sakit, yang adalah uraian lebih operasional dari asas-asas
etika.

6. Asas-asas etika yang diterapkan pada etika rumah sakit sebagai etika praktis adalah:

 o Rumah sakit berbuat kebaikan (benifecence) dan tidak menimbulkan mudharat atau
cidera (nonmalifecence) pada pasien, staf dan karyawan,masyarakat umum,serta
lingkungan hidup. Dua asas etika klasik ini sudah ada dalam lafal Sumpah
Hipprokrates sejak lebih 23 abad yang lalu. Dua asas ini adalah juga ajaran semua
agama. Ajaran islam hampir selalu menyebut dua asas itu dalam satu kalimat (Amar
ma ‘arupnahi mungkar).dalam ajaran agama hindu, nonmaleficence adalah Ahimsa.
 o Asas menghormati manusia (respect for persons) berarti menghormati pasien,staf
dan karyawan,serta masyarakat dalam hal hidup dan kesehatan mereka. itu berarti
menghormati otonomi (hak untuk mengambil keputusan tentang diri sendiri),hak-hak
asasi sebagai warga negara, hak atas informasi,hak atas privasi,hak atas
kerahasiaan,seta harkat dan mertabat mereka sebagai manusia dan lain-lain.
 o Asas keadilan (justice): keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan perlakuan yang
‘fair’terhadap pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum.

Identifikasi Masalah Etika Di Rumah Sakit


Kurt Darr mengatakan, bahwa seorang eksekutuf rumah sakit tidak perlu sampai mengikuti
kursus tentang pilosofi atau etika untuk dapat mengidentifikasikan masalah etika, walaupun
kursus-kursus demikian akan banyak menolong. yang penting,harus ada kepekaan, kebiasaan
melakukan refleksi (an inquiring mind), dan etika pribadi (personal etics)yang cukup baik.
tiga pertanyaan berikut ini dianjurkan diajukan pada diri sendiri untuk mengidentifikasikan
kemungkinan adanya etika pada kasus tertentu.

 Apakah pasien, staf dan karyawan, atau masyarakat umum dalam kasus tertentu itu
diperlakukan seperti saya ingin diperlakukan dalam kasus seperti itu? ini dinamakan
The Golden Rule.
 Apakah pasien, staf dan karyawan, serta masyarakat umum cukup dilindungi terhadap
kemungkinan cidera dalam keberadaan dan pelayanan di rumah sakit?
 Apakah penjelasan tentang informed conset kepada pasien cukup memberi informasi
baginya tentang apa yang akan dilakukan pada dirinya?

Jika salah satu atau lebih dari tiga pertanyaan itu terjawab dengan “tidak”,ada indikasi
masalah etika pada kasus yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah:

 Adakah pasal-pasal dalam Kode Etik Rumah Sakit yang dilanggar?


 Adakah asas-asas etika umum yang dilanggar?
 Jika masih perlu untuk lebih memastikan: Teori etika mana yang dapat dipakai untuk
pembenaran keputusan atau tindakan rumah sakit yang menimbulkan masalah etika
administratif atau etika biomedis.

Sama halnya dengan proses pemecahan masalah secara umum, mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang tepat adalah bagian penting proses itu.

Pemecahan Masalah Etika Di Rumah Sakit

Setelah berhasil mengidentifikasikan adanya masalah etika administratif, masalah bioetika,


masalah medis tradisional, atau gabungan berbagai masalah etika itu dirumah sakit, langkah
berikutnya adalah mencari solusi untuk masalah-masalah itu. Perlu segera ditambahkan,
bahwa pemecahan masalah etika secara umum tidak mudah. Pada dasarnya ada dua model
untuk pemecahan masalah secara umum; model terprogram (rasional) dan model tak
terprogram.

Model rasional terprogram mungkin dapat diterapkan pada pemecahan banyak masalah
manajemen umum, tetapi rasio saja tidak selalu berhasil diterapkan pada pemecahan masalah
etika. Masalah etika administratif tertentu di rumah sakit yang menyangkut proses atau
prosedur mungkin dapat lebih mudah dipecahkan secara rasional. Tetapi, masalah etika
biomedis yang menyangkut substansi atau prinsif sering kali sangat sensitif, karena itu rasio
saja tidak selalu efektif. Diperlukan kebijaksanaan yang umumnya tidak dapt diprogramkan.

Dianjurkan langkah langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah etika rumah
sakit:

1. Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-


komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar
masalah.Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia dapat
berupa kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya organisasi, sarana, alat,
sistem, prosedur, atau faktor-faktor lain.

2. Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause
analysis),untuk menetapkan arah pemecahannya.

3. Menetapkan beberapa alternatif untuk pemecahan akar masalah.

4. Memilih alternatif yang situasional terbaik untuk pemecahan masalah itu.

5. Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan yang sudah dilaksanakan.

6. Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi
terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika manusia
sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah sakit.

Kesimpulan

1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara
pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman
medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

2. Rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan telah mempunyai etika
yang di Indonesia terhimpun dalam Etik Rumah Sakit Indonesia (ERSI).

Saran

Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, masing-masing profesi harus berpedoman pada


etika profesinya dan harus pula memahami etika profesi disiplin lainnya apalagi dalam wadah
dimana mereka berkumpul (rumah sakit) agar tidak saling berbenturan.

You might also like