You are on page 1of 7

5.

Sikap dan Standar berpikir kritis dalam keperawatan

a. Sikap untuk Berpikir Kritis

Paul (1993) telah meringkaskan sikap-sikap yang merupakan aspek sentral dari pemikir kritis.

Sikap ini adalah nili yang harus ditunjukkan keberhasilannya oleh pemikir kritis. Individu

harus menunjukkan keterampilan kognitif untuk berpikir secara kritis, tetapi juga penting

untuk memastikan bahwa keterampilan ini digunakan secara adil dan bertanggung jawab.

Berikut ini contoh sikap berpikir kritis.

1) Tanggung gugat
Ketika individu mendekati suatu situasi yang membutuhkan berpikir kritis, adalah

tugas individu tersebut untuk “mudah menjawab” apa pun keputusan yang dibuatnya.

Sebagai perawat professional, perawat harus membuat keputusan dalam berespons

terhadap hak, kebutuhan, dan minat klien. Perawat harus menerima tanggung gugat

untuk apapun penilaian yang dibuatnya atas nama pasien.


2) Berpikir mandiri
Sejalan dengan seseorang menjadi dewasa dan mendapatkan pengetahuan baru,

mereka belajar mempertimbangkan ide dan konsep dengan rentang yang luas dan

kemudian membuat penilaian mereka sendiri. Untuk berpikir secara mandiri, seorang

menantang cara tradisional dalam berpikir, dan mencari rasional serta jawaban logis

untuk masalah yang ada


3) Mengambil risiko
Dalam hal ini perawat perlu dibutuhkan niat dan kemauan mengambil risiko untuk

mengenali keyakinan apa yang salah dan untuk kemudian melakukan tindakan

didasarkan pada keyakinan yang didukung oleh fakta dan dan bukti yang kuat.

4) Kerendahan hati
Penting untuk mengetahui keterbatasan diri sendiri. Pemikir kritis menerima bahwa

mereka tidak mengetahui dan mencoba untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan

untuk membuat keputusan yang tepat. Keselamatan dan kesejahteraan klien mungkin
berisiko jika perawat tidak mampu mengenali ketidakmampuannya untuk mengatasi

masalah praktik.
5) Integritas
Pemikir kritis mempertanyakan dan menguji pengetahuan dan keyakinan pribadinya

seteliti mereka menguji pengetahuan dan keyakinan orang lain. Integritas pribadi

membangun rasa percaya dari sejawat dan bawahan. Orang yang mempunyai integritas

dengan cepat berkeinginan untuk mengakui dan mengevaluasi segala ketidakkonsistenan

dalam ide dan keyakinannya.


6) Ketekunan
Pemikir kritis terus bertekad untuk menemukan solusi yang efektif untuk masalah

perawatan klien. Solusi yang cepat adalah hal yang tidak dapat diterima. Perawat belajar

sebanyak mungkin mengenai masalah, mencoba berbagai pendekatan untuk perawatan,

dan terus mencari sumber tambahan sampai pendekatan yang tepat ditemukan.
7) Kreativitas
Kreativitas mencakup berpikir original. Hal ini berarti menemukan solusi di luar apa

yang dilakukan secara tradisional. Sering kali klien menghadapi masalah yang

membutuhkan pendekatan unik.

b. Standar untuk Berpikir Kritis

Paul (1993) menemukan bahwa ada 2 standar berpikir kritis yaitu standar intelektual

dan profesional. Standar intelektual menjadi universal untuk berpikir kritis. Standar

professional untuk berpikir kritis mengacu pada kriteria etik untuk penilaian keperawatan dan

kriteria unuk tanggung jawab dan tanggung gugat professional. Penerapan standar ini

mengharuskan perawat menggunakan berpikir kritis untuk kebaikan individu atau kelompok.

(Kataoka-Yhiro & Saylor, 1994 ).

1. Standar intelektual

Standar intelektual merupakan petunjuk atau prinsip untuk berpikir rasional. Paul (1993)

menyebutkan beberapa standar dalam berpikir kritis


a). Kejelasan (clarity)

Bersikap kritis terhadap pandangan atau pendapat orang lain, kita harus mendengar

atau membaca pendapat orang itu. Ini yang seringkali bermasalah. Tidak jarang kita

menemukan betapa pendapat orang tersebut sulit dimengerti. Sebabnya bisa macam-

macam. Ada orang yang sulit mengemukakan pendapatnya karena tidak terampil dalam

berkomunikasi. Ada orang yang memang bodoh, tetapi yang lainnya lebih karena

kemalasan atau ketidakpeduliaan. Dengan kata lain, kejelasan (clarity) dalam

mengemukakan gagasan atau pendapat menjadi salah satu standar berpikir kritis.

b). Presisi (precision)

Ketepatan (presisi) dalam mengemukakan pikiran atau gagasan sangat ditentukan oleh

bagaimana seseorang membiasakan dan melatih dirinya dalam mengobservasi sesuatu

dan menarik kesimpulan-kesimpulan logis atas apa yang diamatinya tersebut.

Kemampuan presisi juga berhubungan dengan apa yang diistilah dengan close attention.

“Really valuable ideas can only be had at the price of close attention,” demikian Charles

S. Pierce.

Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak bidang yang membutuhkan presisi. Misalnya

dalam bidang kedokteran, teknik, arsitektur, dan sebagainya. Dalam pemikiran kritis pun

dibutuhkan ketepatan. Kemampuan mengamati dan menentukan apa yang sebenarnya

sedang terjadi atau sedang dihadapi membutuhkan kemampuan presisi ini. Misalnya,

Anda seorang dokter menghadapi pasien dengan gejala-gejala tertentu. Anda harus

dengan tepat mengatakan jenis penyakit apa yang diderita pasien tersebut plus alasan-

alasannya.

c). Akurasi (Accuracy)


Keakuratan putusan kita sangat ditentukan oleh informasi yang masuk ke dalam

pikiran kita. Jika kita menginput informasi yang salah atau menyesatkan, maka jangan

heran kita menghasilkan suatu putusan atau kesimpulan yang salah pula. Misalnya,

seorang pemimpin perusahaan memutuskan memecat karyawannya karena mendengar

informasi yang salah dari karyawan lain bahwa karyawan yang dipecat itu melanggar

kode etik perusahaan. Seharusnya pimpinan memanggil dan menggali sendiri informasi

dari karyawan tersebut dan informasi-informasi lainnya yang terkait. Meskipun Anda

seorang yang sangat pintar, Anda tetap bisa mengambil putusan yang keliru jika

informasi yang Anda dapatkan keliru.

Orang yang selalu berpikir kritis tidak akan gegabah dalam mengambil putusan jika

informasi-informasi yang dibutuhkan belum mencukupi. Mereka yang terbiasa berpikir

kritis tidak hanya menjunjung tinggi dan memberikan penilaian pada suatu kebenaran.

Mereka juga memiliki passion yang mendalam tentang keakuratan dan informasi-

informasi yang tepat. Socrates mengatakan bahwa hidup yang tidak direfleksikan tidak

pantas untuk dihidupi tampaknya tepat untuk menggambarkan kemampuan berpikir kritis

yang satu ini.

d). Relevansi (Relevance)

Relevansi adalah bagaimana kita memusatkan perhatian pada informasi-informasi

yang dibutuhkan bagi kesimpulan berpikir kita, dan tidak membiarkan pikiran dikuasai,

dikendalikan, atau dialihkan oleh informasi-informasi lain yang tidak relevan. Misalnya,

dalam sebuah debat politik mengenai boleh tidaknya menggusur sebuah gedung

bersejarah untuk membangun supermarket. Seorang politisi, misalnya, mengalihkan

pembicaraan dari substansi permasalahan dengan mengatakan bahwa gedung tua itu

temboknya sudah lapuk, catnya sudah mengelupas, dan tidak enak dipandang mata.
Gedung tua itu merusak pemandangan kota. Cara berargumentasi seperti ini, jika diikuti

hanya akan mengalihkan perhatian dari hal-hal yang substansial ke hal-hal yang sifatnya

sekunder dan periferal.

e). Konsistensi (Consistency)

Mencari dan mempertahankan kebenaran menuntut adanya konsistensi sikap, baik

dalam upaya terus menerus mencari kebenaran maupun membangun argument-argumen

mengenai pengetahuan. Kebenaran tidak pernah dicapai sekali untuk selamanya, dia

harus terus dikejar dan diusahakan. Tanpa sikap konsisten dalam mencari kebenaran

mustahil memperoleh kebenaran. Demikian pula sikap konsisten dalam membangun

argumentasi yang adalah ekspresi pengetahuan subjek mengenai sesuatu. Argumen yang

jelas dan terpilah-pilah harus tetap dipertahankan, dan ini langsung memperlihatkan

konsistensi dari si subjek yang berpikir kritis.

Ada dua ketidakkonsistenan yang harus dihindari. Pertama, inkonsistensi logis, dalam

arti percaya atau menerima sebagai benar suatu materi tertentu yang tidak benar sebagian

atau seluruhnya. Kedua, inkonsistensi praktis, yakni diskrepansi antara perkataan dan

perbuatan. Orang yang konsisten harus memiliki sikap yang mencerminkan apa yang

dikatakannya. Hal ini akan nyata benar dalam pemikiran dan sikap moral

f). Kebenaran Logis (Logical Correctness)

g). Keutuhan (Completeness)


keutuhan Ini lebih berhubungan dengan rasa tidak puas pikiran kita ketika mencerna

atau memahami suatu pemikiran. Misalnya, kita membaca laporan investigasi koran atau

majalah tertentu mengenai kejahatan kra putih (white Collar Crime). Mungkin karena

keterbatasan ruang atau data-data, kita sebagai pembaca merasa tidak puas dengan apa

yang disajikan. Reaksi pikirn kita ini wajar adanya, karena kita sadar betul, bahwa

sesuatu akan menjadi lebih baik jika mendalam dan sebaliknya. Pikiran kita akan

mengapresiasi pemikiran-pemikiran yang mendalam lebih dari sekadar basa-basi atau

dibuat-buat.

h). Fairness

Berpikir kritis menuntut kita agar memiliki pemikiran yang fair, dalam arti open

minded, impartial, serta bebas distorsi dan praduga. Memang agak sulit menghindari hal-

hal demikian dalam pemikiran kita, tetapi kita harus menghindarinya kalau mau bersikap

kritis. Kita memang hidup dalam kebudayaan masyarakat yang menyenangi hal-hal

bersifat gossip, dugaan, prasangka, stereotype, dan sebagainya yang ternyata sangat

menyenangkan dan menghibur. Tetapi kalau kita mau berpikir dan bersikap kritis, maka

hal-hal seperti ini harus dihindari. Jika tidak, pemikiran atau argumentasi yang kita

bangun tidak akan objektif dan fair.

2. Standar professional

Standar professional untuk pemikiran kritis merujuk pada criteria etik untuk penilaian

keperawatan, criteria berdasarkan bukti untuk evaluasi dan criteria untuk tanggung jawab

professional (Paul, 1993). Penerapan standar professional memerlukan penggunaan

pemikiran

DAFTAR PUSTAKA
Perry &Potter.2005.Fundamental keperawatan.Jakarta.EGC.

Rubenfeld, M, Gaie. 2006. Berpikir Kritis dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

Rubenfeld, M, Gaie. 2010.Berpikir Kritis untuk Perawat: Strategis Berbasis Kompetensi.

Jakarta:EGC

You might also like