You are on page 1of 14

A.

Memahami definisi luka kronis

Luka kronik adalah :

 luka yang mengalami kegagalan / keterlambatan dalam


penyembuhannya

 terjadi penyembuhan namun tidak memulihkan integritas anatomis dan


fungsinya sehingga akan terjadi luka berulang

 proses penyembuhan yang membutuhkan waktu panjang/lama

 Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses


penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

Gambar luka kronis

B. Etiologi / Penyebab Luka

Secara alamiah penyebab kerusakan harus diidentifikasi dan dihentikan


sebelum memulai perawatan luka, serta mengidentifikasi, mengontrol penyebab
dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan sebelum mulai proses
penyembuhan. Berikut ini akan dijelaskan penyebab dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka :

1. Trauma
2. Panas dan terbakar baik fisik maupun kimia
3. Gigitan binatang atau serangga
4. Tekanan
5. Gangguan vaskular, arterial, vena atau gabungan arterial dan vena
6. Immunodefisiensi
7. Malignansi
8. Kerusakan jaringan ikat
9. Penyakit metabolik, seperti diabetes
10. Defisiensi nutrisi
11. Kerusakan psikososial
12. Efek obat-obatan

Pada banyak kasus ditemukan penyebab dan faktor yang mempengaruhi


penyembuhan luka dengan multifaktor.

Faktor yang berpengaruh pada luka kronis:

a. Faktor intrinsik atau faktor local


Faktor intrinsik merupakan abnormalitas yang terjadi dalam luka sehingga
memperlambat penyembuhannya. Termasuk faktor ini adalah adanya
benda asing, jaringan nektrotik, trauma berulang, hypoxia/ischemia,
insufisiensi vena, infeksi, defisit faktor pertumbuhan, degradasi matriks
protein yang berlebihan, dan radiasi.
1. Ischemia dan hipoksia memberi kontribusi utama bagi keterlambatan
penyembuhan luka. Hypoxia berakibat gangguan pada sintesis kolagen,
mencegah migrasi fibroblast, dan meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi. Atherosclerosis atau kerusakan lokal pada pembuluh darah
akibat trauma atau vaskulitis menyebabkan iskemia dan akibatnya
hipoksia pada luka.
2. Infeksi dapat memperlambat penyembuhan luka. Faktor penting yang
menentukan kerentanan terhadap infeksi adalah konsentrasi organisme,
virulensi, dan kekebalan host. Kekebalan host dapat terganggu pada
keadaan diabetes, malnutrisi, malignansi, steroid, atau obat
immunosupresi lainnya. Infeksi pada luka akan meningkatan destruksi
jaringan dan mengubah efek sitokin bagi penyembuhan luka.
3. Adanya benda asing dan jaringan nekrosis. Tertundanya penyembuhan
luka terjadi karena fase inflamasi dalam penyembuhan luka menjadi
memanjang hingga faktor penghambatnya dikeluarkan.
4. Insufisiensi vena kronis menyebabkan hipertensi vena persisten dan
edema kronis pada ekstremitas. Hal ini kemudian menyebabkan fibrosis
perikapiler, iskemia jaringan dan pengeluaran radikal superoksida yang
menyebabkan insufisiensi vena kronis.
5. Edema. Edema kronis sering menyebabkan deposit jaringan lemak
fibrous di bawah kulit sehingga membuat lipatan-lipatan iregular.
Beberapa jenis kulit dapat mengalami gangguan dan berkembang ke
arah infeksi. Pasien dapat disarankan untuk menjalani program elevasi
tungkai, kompresi eksternal dan managemen medis untuk edema.
b. Faktor ekstrinsik atau faktor sistemik.
1. Malnutrisi mengubah pola penyembuhan normal melalui defisiensi
vitamin dan mineral. Misalnya pada pasien scurvy (defisiensi vitamin C);
individu ini tidak adekuat menghidroksilasi kolagen yang berguna pada
penyembuhan luka.
2. Diabetes mellitus diyakini memiliki efek terhadap setiap fase
penyembuhan luka. Kekurangan insulin, hiperglikemia (mempengaruhi
migrasi dan fungsi fagosit sel inflamasi serta proliferasi fibroblast dan sel
endotel), neuropati, dan penyakit vascular pada DM memberi kontribusi
terhadap terganggunya penyembuhan luka.
3. Steroid dan obat antineoplastik, mengurangi kecepatan dan kualitas
penyembuhan luka. Efek nyata dari steroid tidak banyak diketahui.
Agen kemoterapi mengubah pola penyembuhan luka dengan
mengurangi proliferasi sel-sel mesenkim dan menginduksi leukopenia.
4. Merokok mengganggu penyembuhan dengan cara vasokonstriksi
cutaneus, mengurangi kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen,
dan menyebabkan aterosklerosis.
5. Agen pembersih (seperti chlorhexidine gluconate (Hibiclens) atau
povidone-iodine (Betadine) atau agen kimia lainnya mengganggu
penyembuhan luka dengan mempengaruhi migrasi sel.
6. Trauma berulang
7. Adanya penyakit ginjal, uremia terkait penyakit hepar sering
menghambat penyembuhan luka
8. Penyakit sel sikle

C. Klasifikasi Luka Kronis


Pembagian luka kronis berdasarkan penyebabnya yakni ulcus decubitus
diabetic foot ulcer (ulkus kaki )

Klasifikasi luka

1. Berdasarkan penyebab
a) Luka pembedahan atau bukan pembedahan
b) Akut atau kronik
2. Kedalaman jaringan yang terlibat
a) Superficial

Hanya jaringan epidermis

b) Partial thickness

Luka yang meluas sampai ke dalam dermis

c) Full thickness

Lapisan yang paling dalam dari jaringan yang destruksi.


Melibatkan jaringan subkutan dan kadang-kadang meluas sampai ke
fascia dan struktur yang dibawahnya seperti otot, tendon atau tulang

D. Prinsip Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah proses yang komplek dan dinamis dengan


perubahan lingkungan luka dan status kesehatan individu. Fisiologi dari
penyembuhan luka yang normal adalah melalui fase hemostasis, inflamasi,
granulasi dan maturasi yang merupakan suatu kerangka untuk memahami prinsip
dasar perawatan luka. Melalui pemahaman ini profesional keperawatan dapat
mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk merawat luka dan dapat
membantu perbaikan jaringan. Luka kronik mendorong para profesional
keperawatan untuk mencari cara mengatasi masalah ini. Penyembuhan luka
kronik membutuhkan perawatan yang berpusat pada pasien ”patient centered”,
holistik, interdisiplin, cost efektif dan eviden based yang kuat.
Penelitian pada luka akut dengan model binatang menunjukkan ada empat
fase penyembuhan luka. Sehingga diyakini bahwa luka kronik harus juga melalui
fase yang sama. Fase tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hemostasis

Pada penyembuhan luka kerusakan pembuluh darah harus ditutup. Pada


proses penyembuhan luka platelet akan bekerja untuk menutup kerusakan
pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah sendiri akan konstriksi dalam berespon
terhadap injuri tetapi spasme ini biasanya rilek. Platelet mensekresi substansi
vasokonstriktif untuk membantu proses tersebut.
Dibawah pengaruh adenosin diphosphat (ADP) kebocoran dari kerusakan
jaringan akan menimbulkan agregasi platelet untuk merekatkan kolagen. ADP
juga mensekresi faktor yang berinteraksi dengan dan merangsang pembekuan
intrinsik melalui produksi trombin, yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen.
Hubungan fibrin diperkuat oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil.
Akhirnya platelet juga mensekresi sitokin seperti ”platelet-derived growth factor”.
Hemostatis terjadi dalam waktu beberapa menit setelah injuri kecuali ada
gangguan faktor pembekuan.

2. Inflamasi

Secara klinik, inflamasi adalah fase ke dua dari proses penyembuhan yang
menampilkan eritema, pembengkakan dan peningkatan suhu/hangat yang sering
dihubungkan dengan nyeri, secara klasik ”rubor et tumor cum calore et dolore”.
Tahap ini biasanya berlangsung hingga 4 hari sesudah injuri. Pada proses
penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan debris/sisa-sisa. Ini adalah
pekerjaan dari PMN’s (polymorphonucleocytes). Respon inflamasi menyebabkan
pembuluh darah menjadi bocor mengeluarkan plasma dan PMN’s ke sekitar
jaringan. Neutropil memfagositosis sisa-sisa dan mikroorganisme dan merupakan
pertahanan awal terhadap infeksi. Mereka dibantu sel-sel mast lokal. Fibrin
kemudian pecah sebagai bagian dari pembersihan ini.
Tugas selanjutnya membangun kembali kompleksitas yang membutuhkan
kontraktor. Sel yang berperan sebagai kontraktor pada penyembuhan luka ini
adalah makrofag. Makrofag mampu memfagosit bakteri dan merupakan garis
pertahan kedua. Makrofag juga mensekresi komotaktik yang bervariasi dan faktor
pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor pertumbuhan
epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi (tgf) dan interleukin-1 (IL-
1).

3. Proliferasi (proliferasi, granulasi dan kontraksi)

Fase granulasi berawal dari hari ke empat sesudah perlukaan dan biasanya
berlangsung hingga hari ke 21 pada luka akut tergangung pada ukuran luka.
Secara klinis ditandai oleh adanya jaringan yang berwarna merah pada dasar luka
dan mengganti jaringan dermal dan kadang-kadang subdermal pada luka yang
lebih dalam yang baik untuk kontraksi luka. Pada penyembuhan luka secara
analoginya satu kali pembersihan debris, dibawah kontraktur langsung terbentuk
jaringan baru.
Kerangka dipenuhi oleh fibroblas yang mensekresi kolagen pada dermal
yang kemudian akan terjadi regenerasi. Peran fibroblas disini adalah untuk
kontraksi. Serat-serat halus merupakan sel-sel perisit yang beregenerasi ke
lapisan luar dari kapiler dan sel endotelial yang akan membentuk garis. Proses ini
disebut angiogenesis. Sel-sel ”roofer” dan ”sider” adalah keratinosit yang
bertanggungjawab untuk epitelisasi. Pada tahap akhir epitelisasi, terjadi kontraktur
dimana keratinosit berdifrensiasi untuk membentuk lapisan protektif luar atau
stratum korneum.

4. Remodeling atau maturasi

Setelah struktur dasar komplit mulailah finishing interior. Pada proses


penyembuhan luka jaringan dermal mengalami peningkatan tension/kekuatan,
peran ini dilakukan oleh fibroblast. Remodeling dapat membutuhkan waktu 2
tahun sesudah perlukaan.
Tabel 1. Fase penyembuhan luka

Analogi
Fase Sel-sel yang
Waktu membangun
penyembuhan berperan
rumah

Hemostasis Segera Platelets Capping off

Inflamation Hari 1-4 Neutrophils conduits

Unskilled
laborers to
clean uap the
site
Proliferation Hari 4 – Macrophages

Granulation 21 Lymphocytes Supervisor Cell


Angiocytes Specific
Neurocytes laborers at the
site:

Plumber

Contracture Fibroblasts Electrician

Keratinocytes
Framers

Remodeling Fibrocytes Roofers and

Hari 21 – Siders

2 tahun

Remodelers

Pada beberapa literatur dijelaskan juga bahwa proses penyembuhan luka


meliputi dua komponen utama yaitu regenerasi dan perbaikan (repair). Regenerasi
adalah pergantian sel-sel yang hilang dan jaringan dengan sel-sel yang bertipe
sama, sedangkan repair adalah tipe penyembuhan yang biasanya menghasilkan
terbentuknya scar. Repair merupakan proses yang lebih kompleks daripada
regenerasi. Penyembuhan repair terjadi oleh intention primer, sekunder dan
tersier.
Intension Primer

Fase-fase dalam penyembuhan Intension primer :

1. Fase Inisial (3-5 hari)


2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel, mulai pertumbuhan sel
3. Fase granulasi (5 hari – 4 minggu)

Fibroblas bermigrasi ke dalam bagian luka dan mensekresi kolagen.


Selama fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh
darah. Tampak granula-granula merah. Luka berisiko dehiscence dan resisten
terhadap infeksi.
Epitelium permukaan pada tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari
lapisan epitelium yang tipis bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel
menebal dan mulai matur dan luka merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi
terjadi selama 3 – 5 hari.

4. Fase kontraktur scar ( 7 hari – beberapa bulan )

Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling.


Pergerakan miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area penyembuhan,
membentu menutup defek dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar
yang matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur tidak mengandung pembuluh
darah dan pucat dan lebih terasa nyeri daripada fase granulasi
Intension sekunder

Adalah luka yang terjadi dari trauma, elserasi dan infeksi dan memiliki
sejumlah besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan jaringan
yang cukup luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi inflamasi dapat
lebih besar daripada penyembuhan primer.
Intension Tersier

Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua lapisan jaringa
granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang terkontaminasi terbuka
dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Ini juga dapat terjadi ketika luka
primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh jaringan granulasi dan
kemudian dijahit. Intension tersier biasanya mengakibatkan skar yang lebih luas
dan lebih dalam daripada intension primer atau sekunder

Patofisiologi pressure ulcer

Pada saat tubuh mendapat tekanan dalam waktu yang singkat, tubuh akan
berespon dengan meningkatnya aliran darah pada daerah yang mengalami
tekanan. Namun bila tekanan yang terjadi cukup tinggi dan lama, menyebabkan
berkurangnya aliran darah pada kapiler, oklusi pembuluh darah dan iskemia serta
oklusi pada saluran limfe. Hal ini bertanggungjawab dalam terjadinya nekrosis
otot, jaringan subkutan, dermis dan epidermis dan akibatnya pembentukan
pressure ulcer.
Tekanan eksternal yang diberikan 50 mmHg dapat meningkat menjadi lebih dari
200 mmHg pada daerah penonjolan tulang, sehingga penggantian posisi secara
teratur pada pasien yang berisiko dapat mencegah ulkus decubitus.8

Bagan patofisiologi pressure ulcer

Stadium Ulkus decubitus

Stadium I: Eritema persisten pada kulit yang intak. Pada kulit gelap dapat muncul
sebagai warna kemerahan, kebiruan atau lembayung. Kulit yang eritema lebih
hangat, nyeri atau gatal, terdapat indurasi.

Gambar 1: ulkus decubitus stadium I


Stadium II: terbentuk ulkus yang meluas hingga dermis. Secara klinis tampak
lepuh (blister), ulkus dangkal, abrasi.

Gambar 2: ulkus decubitus stadium II

Stadium III: Ulkus yang meliputi lapisan lemak subkutan dan berbatasan dengan
fascia dari otot. Tampak ulkus yang dalam (pada umumnya dengan kedalaman
2.075 mm atau lebih). Pada tahap ini sudah mulai terjadi infeksi dengan jaringan
nekrotik yang berbau.
Gambar 3: ulkus decubitus stadium III

Stadium IV: Ulkus dengan destruksi yang luas, dapat meliputi otot, tulang, serta
struktur internal (skrotum, rektum, tendon)

.
Gambar 4: ulkus decubitus stadium IV

E. Penanganan luka decubitus

Penanganan ulkus decibitus terdiri dari perawatan operatif dan operatif. Ulkus
stadium I dan II biasanya nonoperatif, sedangkan stadium III dan IV
memerlukan intervensi bedah. Pada stadium I dan II dapat dilakukan tindakan
antara lain:
 Mengurangi tekanan dengan jalan mengubah posisi setiap 2 jam,
memberikan pergerakan pasif pada pasien yang mengalami paralise.
 Menjaga kebersihan luka
 Asupan gizi yang baik

Perawatan Luka decubitus meliputi:

a. Pembersihan luka

Tujuan utama pembersihan luka adalah untuk mengurangi beban biologis


dan menfasilitasi penyembuhan luka. Normal salin dapat digunakan untuk
mengirigasi luka dan mengurangi efek pengeringan oleh irigant lainnya
pada luka. Povidone-iodine digunakan untuk melawan bakteri, spora,
jamur, dan virus. Pemakaiannya dibatasi bila terdapat granulasi jaringan.
Data laboratorium menemukan efek toksik povidone-iodine terhadap
fibroblasts, yang merupakan komponen yang berguna pada penyembuhan
luka.

Asam asetat (0.5%) memiliki efek spesifik terhadap Pseudomonas


aeruginosa. Namun asam asetat potensial dapat menyebabkan
superinfeksi, sehingga sesudah pemakaian larutan ini direkomendasikan
pemakaian normal salin untuk membersihkannya. Sodium hypochlorite
(2.5%) merupakan suatu agen oksida. Meskipun larutan ini tidak memiliki
efek anti kuman, larutan ini digunakan terutama pada jaringan debris atau
nekrosis. Sebelum memakainya, dibubuhkan zinc oksida pada tepi luka
terlebih dahulu untuk mengurangi iritasi. Untuk membersihkannya dapat
digunakan normal salin

b. Debridement
Tujuan debridement pada luka adalah untuk mengurangi material yang
memperlambat pembentukan granulasi, penyebab infeksi dan yyang
mengganggu penyembuhan termasuk jaringan nekrosis. Tiga macam
debridement yang sering digunakan: enzymatic debridement, mechanical
nonselective debridement, dan sharp debridement.
 Enzymatic debridement

Enzymatic debridement menggunakan berbagai macam agen kimia


(enzim proteolitik) yang beraksi dengan menyerang kolagen dan
jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan granulasi.

 Mechanical nonselective debridement

Mechanical nonselective debridement, dimana jaringan nekrotik


dikeluarkan secara mekanis (irigasi, kassa basah-kering)

 Sharp debridement

Sharp debridement adalah pengangkatan jaringan nekrotik dengan


jalan operasi. Cara ini merupakan cara yang paling efektif untuk
mengangkat jaringan nekrotik

c. Pemakaian dressing (kassa) pada ulcus decubitus

Pemakaian transparent adhesive dressing memungkinkan pertukaran gas


dan penguapan air pada kulit, dan mencegah terjadinya maserasi pada kulit
sehat sekitar luka. Kassa ini tidak diabsorpsi, dapat mengurangi infeksi
sekunder, serta mengurangi trauma karena pengangkatan agen
debridement. Namun, agen ini tidak berfungsi baik pada pasien dengan
luka yang memiliki eksudat banyak. Hydrocolloid water dressings
mengandung partikel hidroaktif yang berinteraksi dengan eksudat luka
untuk membentuk gel. Jenis dressing ini memungkinkan absorpsi eksudat
ringan hingga sedang dan menjaga permukaan luka tetap lembab. Gel
memiliki efek fibrillolitik yang meningkatkan penyembuhan luka, mencegah
infeksi sekunder, dan mengisolasi luka dari kontaminan. Gel dressings
tersedia dalam bentuk lembaran, granules, dan liquid gel. Calcium alginate
dressings berasal dari alga cokelat, memiliki sifat semiocclusive, absorpsi
tinggi, dan mudah digunakan. Calcium alginate dressings sangat efektif
digunakan pada luka basah (eksudat) dan dapat digunakan pada luka yang
terkontaminasi atau terinfeksi.

You might also like