You are on page 1of 14

MAKALAH FILARIASIS (KAKI GAJAH)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1 : K3

ARMAN

ARTHA FATHIYAH KING

M. ANWAR

GUTAP SURAJI

SITI MARIYAM

PERGURUAN TINGGI MITRA LAMPUNG

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

BANDAR LAMPUNG

2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “
FILARIASIS (KAKI GAJAH)“.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang dapat mendukung sangat kami harapkan. Jika ada kesalahan
dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf.

Bandar Lampung,26 Oktober 2011

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah
penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang
ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular
filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles,Cu lex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Filariasis dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.

Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang


dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus
penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis
(Abercrombie et al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan
di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul
kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak
1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi
yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.

Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan


Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health problem by The Year 2020) yaitu program pengeliminasian
filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan melalui pengobatan masal
dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis
dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri telah
menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di
Indonesia sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai
pada tahun 2002 di 5 Kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan
dilaksanakan setiap tahunnya.
Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata.
Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan
mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan
serta rehabilitasinya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan tentang Filariasis


Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis
adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup
dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk.
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan
akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga
spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble,
1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk,
memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing
dewasa disebut mikrofilaria (Gambar 1.).

A B C
Gambar 1. Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia
timori (C).(Sumber : Juni Prianto L.A. dkk., 1999)
Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran ±250µ, cacing
betina dewasa berukuran panjang 65 – 100mm dan cacing jantan dewasa
berukuran panjang ±40mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999). Di ujung daerah kepala
membesar, mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir (Oral stylet) seperti
terlihat pada Gambar 2. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori,
mikrofilarianya berukuran ±280µ. Cacing jantan dewasa panjangnya 23mm dan
cacing betina dewasa panjangnya 39mm (Juni Prianto L.A. dkk., 1999).
Mikrofilaria dilindungi oleh suatu selubung transparan yang mengelilingi
tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria lebih banyak terjadi pada malam hari
dibandingkan siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat ditemukan beredar di
dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria memiliki
granula-granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar
matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapiler-kapiler paru-paru.
Ketika tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem
pembuluh darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah pada waktu 6
bulan sampai 1 tahun setelah terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5
– 10 tahun.

Gambar 2. Struktur tubuh mikrofilaria Wuchereria bancrofti.


(Sumber : Elmer R. Noble dan Glenn A. Noble, 1989)

Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia
yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada
umumnya laki-laki lebih mudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak
kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang
dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat
hidup pada kucing, kera, kuda, dan sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis,
tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria
bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex
quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat
perindukannya. Wuchereria bancrofti yang ada di daerah pedesaan dapat
ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk.
Di Irian Jaya, Wuchereria bancrofti terutama ditularkan oleh Anopheles
farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya.
Di daerah pantai di NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles
subpictus. Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh
berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, dan
Mansonia dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan,
dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan oleh Anopheles
barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. Brugia
timori ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah
sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya
ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.
Tanda dan Gejala
1. Filariasis Akut
a. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, Demam dapat hilang bila
istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat
b. pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan
paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
c. radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung
(retrograde lymphangitis)
d. filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
e. pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
2. Filariasis Kronis
elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya yang
menetap) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elefantiasis skroti).

Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh


atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya:
1. Filariasis limfatik
Etiologi : disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori
Tanda dan Gejala : elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di
bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori
diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat
menyerang tungkai dada, serta alat kelamin.

2. Filariasis subkutan (bawah jaringan kulit)


Etiologi: Loa loa (cacing mata Afrika), Mansonella streptocerca, Onchocerca
volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea). Mereka menghuni
lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit.

3. Filariasis rongga serosa (serous cavity)


Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan
Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini
disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk
Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea). Selain elefantiasis, bentuk serangan
yang muncul adalah kebutaan Onchocerciasis akibat infeksi oleh Onchocerca
volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea
Seseorang yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara
sebagai berikut.
1. Diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan gejala dan tanda klinis akut
ataupun kronis
2. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah pada
pemeriksaan sediaan darah tebal. Pengambilan darah dilakukan pada
malam hari karena mikrofilaria aktif pada malam hari dan banyak beredar
dalam sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Jika pada sediaan ditemukan
mikrofilaria, maka orang tersebut telah terinfeksi cacing filaria.
3. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum.

B. Mekanisme Terjadinya Filariasis


Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III
(L3). Nyamuk tersebut mendapatkan mikrofilaria sewaktu menghisap darah
penderita atau binatang reservoar yang mengandung mikrofilaria. Siklus
penularan filariasis ini melalui dua tahap (Gambar 3.), yaitu mosquito satges
atau tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan human stages atau
tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) atau binatang (hospes
reservoar).
Gambar 3. Siklus penularan filariasis Wuchereria bancrofti.
(Sumber : http://www.filariasis.org)

Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya


ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang
kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot
dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang
hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12 – 14 hari. L3 kemudian bergerak
menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut
menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut.
Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki
pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan
berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak.
Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh
limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu
lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki,
lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi
dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami
pembengkakan tersebut.

C. Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Rehabilitasi Filariasis


1. Upaya Pencegahan Filariasis
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
(mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu
tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk,
mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan pakaian panjang
yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat
menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol)
secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis.
Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan
memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M, membersihkan tanaman air
pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun,
mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan
nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.
2. Upaya Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah
endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC
dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka
panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat yang efektif, aman,
dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang
dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk
filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5
mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah
demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan
filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping
yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan
dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih
lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan dosis tunggal DEC
dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan
kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah
antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas
terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria.
Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif
berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan
antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu
dapat juga dilakukan pembedahan.
3. Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total.
Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya,
beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia
kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan
operasi.

D. Epidemiologi
Filariasis ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika Tengah dan
Selatan, dengan 120 juta manusia terjangkit. WHO mencanangkan program dunia
bebas filariasis pada tahun 2020. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas
hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000
yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis
6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata
Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi
cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan
karena nyamuk penularnya tersebar luas.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup
dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan
menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5
hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan
skrotum.
2. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva
infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap
selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan
tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi
pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.
3. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan
dengan Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan
pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.

B. Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis
karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga
akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus
filariasis ini pula, diharapkan Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia
Sehat Tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abercrombie, et al. 1997. Kamus Lengkap Biologi. Jakarta : Erlangga.


2. Dedidwitagama. 2008. Filariasis = Kaki Gajah. Diakses dari situs
http://dedidwitagama.-wordpress.com
3. Noble, Elmer R. & Glenn A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit
Hewan Edisi Kelima. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
4. Prianto, Juni L.A., dkk. 1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
5. Roche, John P. 2002. Lymphatic Filariasis. Diakses dari situs
http://images.google.co.id/-imgres?imgurl.

You might also like