Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Dr. Diah Utari, Sp.S
Penyusun :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pembuatan tugas referat ilmu penyakit saraf
yang berjudul “Bell’s Palsy” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Diah Utari, Sp.S selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktu dalam pemberian arahan guna meningkatkan
pemahaman, penerapan klinis dan penatalaksanaan yang komprehensif terhadap
kasus “Bell’s Palsy”.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang tersusun ini masih banyak kekurangan di
dalam penulisan, baik teori maupun penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran sehingga tugas referat rehabilitasi ini bisa bermanfaat
bagi semua pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
1.2 MANFAAT......................................................................................................... 1
2.1 DEFINISI........................................................................................................... 2
2.9 TERAPI........................................................................................................... 17
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 MANFAAT
Manfaat penulisan referat ini guna mempelajari sindrom bell’s palsy secara
secara mendalam meliputi, pengenalan sindrom bell’s palsy dari klinis serta
penatalaksanaanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran neurologi.
1.3 TUJUAN
Tujuan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik sub
departemen saraf di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Priguna,
2010).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi (Danette C Taylor, DO,
MS. 2011).
2.3 ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut (Djamil, 2009):
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetik.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
2
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e. Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).
2.4 PATOGENESIS
Mekanisme bell’s palsy telah diperdebatkan selama beberapa dekade, dengan
penyebab neuropathy tetap sukar dipahami dengan beberapa teori yang ada. Salah
satu teori menjelaskan bahwa Bell’s palsy adalah penyakit demyelinasi akut, yang
mungkin mempunyai mekanisme patogenesis yang mirip Guillain-Barre syndrome.
Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi neuritis demyelinasi dimana Bell’s palsy
dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis dari Guillain-Barre. (Greco A, 2012)
3
atau berat, menyebabkan variasi derajat degenerasi ischemia reversible atau
irreversible selubung myelin dan axon, dengan derajat bervariasi dair reaksi seluler
terhadap kerusakan myelin. Edema mungkin diserap, yang meninggalkan kerusakan
saraf reversible atau irreversible, atau mungkin menstimulasi pembentukan kolagen di
dalam epineurium, dengan neuropathy kompresi fibrous yang menetap N.facialis.
Konsep ini konsisten dengan hasil bervariasi Bell’s palsy, dan bergantung pada derajat
dan durasi edema, dan dimana fibrosis terjadi di dalam epineurium canalis facialis.
Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan pertukaran metabolik melalui jaringan
epineurial-perineurial-endoneurial, dan mungkin menyebabkan obliterasi drainase
vaskular. (Ann Otol, 1977)
4
Gambar 2.1
Sumber: http://www.dentalcare.com/en-US/dental-education/continuing-
education/ce323/ce323.aspx?ModuleName=coursecontent&PartID=1&SectionID=0
Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga berkaitan dengan bell’s
palsy Mutsch et al. Melakukan studi kasus kontrol dengan analisis serial kasus, pada
773 pasien bell’s palsy yang mendapatkan vaksin flu (Mutsch M, 2004). Setelah
mengatur variabel lain, mereka melaporkan bahwa terdapat hubungan spesifik dan
sementara; resiko terjadinya bell’s palsy pada pasien yang mendapat vaksin mencapai
19x kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch menemukan insiden puncak
Bell’s palsy pada 31-60 hari setelah vaksinasi. Dari data tersebut, diduga bahwa
aktivasi Bell’s pallsy bukan karena efek toksik langsung dari vaksin, melainkan karena
penyakit autoimmune atau reaktivasi HSV (Couch RB,2004). Ini penting untuk
mengingat bahwa vaksin intranasal tidak lama dalam penggunaan klinis. Tidak ada
hubungan antara palsy dengan vaksin flu parenteral.
Penyebab infeksi lain bell’s palsy yang diketahui meliputi: adenovirus, coxsackie
virus, CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella (Morgan M , 1992). Rickettsia adalah
penyebab infeksi yang jarang (Bitsori M,2001). Dugaan penyebab non-infeksi meliputi
proses autoimun seperti Ensefalopati Hashimoto (Schaitkin BM,2000), ischemia dari
atherosclerosis yang mengarah pada edema N.facialis (Goroll AH, 2009), dan familial,
dengan sekitar 4% sampai 8% pasien Bell’s palsy mempunyai riwayat keluarga serupa
(Wolfson AB,2009)
5
Kondisi lain penyebab bell’s palsy antara lain lesi struktural dalam telinga atau
kelenjar parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat memproduksi kompresi dan
paralisis N.facialis. Penyebab lain palsy nervus perifer meliputi Guillain-Barre syndrome,
Lyme disease, otitis media, Ramsay Hunt sydnrome (outbreak herpes zooster dalam
distribusi nervus facialis), sarcoidosis. Penyebab-penyebab tersebut mempunyai
gambaran lain yang dapat membedakannya dari Bell’s palsy (AAFP, 2007). Kerusakan
langsung pada N.facialis karena trauma pada wajah atau fraktur tengkorak juga dapat
menyebabkan bell’s palsy (Ninds, 2014)
2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan N.facialis melalui
bagian os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal. Sebuah teori populer
menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi N.facialis di dalam kanal tulang
ini. Penyebab edema dan iskemia masih belum diketahui. Kompresi ini telah nampak
dalam scan MRI dengan fokus N.facialis (Seok JI, 2008).
Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling
sempit; foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini
adalah lokasi yang diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy.
Karena sempitnya canalis facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi, demyelinasi,
iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini
(Medscape, 2014).
6
Gambar 2.2
Sumber:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9c/Facial_canal.png/250px-
Facial_canal.png
Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus
saraf. Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi
proksimal dari ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas
gustatory dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan awal chorda tympani
menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada
foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (Medscape,
2014).
7
Gambar 2.3
Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf
Gambar 2.4
Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf
8
2.6 SIGN & SYMTOMPS
Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai
kelumpuhan maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu 5 hari .
Nyeri di belakang telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari dan
dalam beberapa pasien cukup intens dan terus-menerus.
Jika lesi berada pada canal nervus facialis di atas pertemuan dengan chorda
tympani tetapi di bawah ganglion genikulatum, semua gejala bisa timbul ditambah
kehilangan rasa pada lidah 2/3 anterior pada sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi juga
mempengaruhi saraf pada otot stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus dimana
pasien sensitif dan merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion
genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin berkurang. Lesi pada
daerah ini dapat berpengaruh juga pada nervus delapan yang menyebabkan tuli,
tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).
2.7 DIAGNOSA
Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)
Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai
paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)
Pemeriksaan
o Nervus fasialis
9
Inspeksi
a. Kerutan dahi
b. Pejaman mata
c. Plika nasolabialis
d. Sudut mulut
Gambar 2.5
Sumber: http://www.riversideonline.com/health_reference/nervous-system/ds00168.cfm
Motorik
a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
d. Mencucurkan bibir
e. Menggembungkan pipi
10
Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu
ujung dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama
5 menit dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru dan terjadi
perembesan 20- 30 mm.
Gambar 2.6
Sumber: http://tube.medchrome.com/2013/09/schirmers-test-i-ii-dry-eye-screening.html
11
kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan
berikutnya.
Gambar 2.7
Sumber: http://hubpages.com/hub/Tongue-Map-Myth-How-Does-Taste-Work
c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian dilakukan
pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan
menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika
hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).
Gambar 2.8
Sumber: http://www.soundandvision.com/content/through-diaphonic-lens
12
o Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bell’s palsy, namun tes- tes berikut dapat
berguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain :
a. CBC
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa (orang
yang memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena bell’s palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian pasien diminta
menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan antara kedua
kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.
Gambar 2.9
Sumber:
http://www.nidcr.nih.gov/research/NIDCRLaboratories/MolecularPhysiology/SjogrensSy
ndrome/SjogrensSyndromeClinic.htm
13
d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak
berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya
yang menyebabkan paralisis atau untuk melihat cerebellopontine
angle.
MRI pada pasien bell’s palsy menunjukkan pembengkakan dan
peningkatan yang merata dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan
N.VII yang terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan
N.VII (schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).
Gambar 2.10
Sumber: http://laceyspathologyexperience.blogspot.com/2009/09/bells-palsy.html
14
Grading
Menurut House danBrackmann, bell’s palsy dikategorikan menjadi :
Tabel 2.1
15
2.8 DIAGNOSA BANDING
Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus varicella
zoster. Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane mukosa faring,
vesikel pada chonca atau saluran pendengaran externa. Sering melibatkan
nervus ke 8 (n. vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal sebelumnya
seperti malaise, sakit kepala, demam.
Lyme disease
Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan
kuku (erythema chronicum migrans).
Facial diplegia
Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat disebabkan
oleh sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever (Heefordt syndrome).
Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi n.
facialis lebih daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam,
pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi
merupakan karakteristik sarcoidosis.
Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy (meningioma,
cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya tersembunyi dan
semakin lama semakin memburuk.
Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan acular
abduction.
Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui. Ditandai
dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema, lipatan
lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Hemifacial Spasm
16
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan kontraksi
yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke 6.
Kekakuan biasanya dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot
lain disisi yang terkena.
Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit dan
jaringan subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa
remaja atau dewasa. Perjalanan penyakit lambat.
HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral Bell’s palsy.
2.9 TERAPI
Non-Medikamentosa:
1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan pada kornea.
2. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area yang
terpengaruh dapat mengurangi nyeri
Gambar 2.11
Sumber: https://gottabeot.files.wordpress.com/2014/04/face-exercises.jpg
17
Medikamentosa
1. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi saraf
pada pasien dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan dosis
60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya. Hal ini
dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan hasil akhirnya.
2. Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bell’s palsy, maka
telah diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan 5-7 hari) dan
Acyclovir (400 mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil penelitian,
penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk penyembuhan
penyakit. Tetapi, penggunaan Valacyclovir dan prednisone, memberikan hasil
yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone sendiri, terutama pada
pasien dengan gejala klinis yang parah
2.10 PROGNOSIS
Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf
menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang
dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa terapi, sebagian besar individu membaik
dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya
kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa pasien bisa lebih lama.
Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang sama atau di sisi
lain wajah (NIH, 2014).
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
Pasien terserang palsy komplit, sehingga paralisis pada satu sisi wajah
Usia lebih dari 60 tahun
Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala
18
Hipertensi
Diabetes
Kehamilan
N. facialis rusak berat
Perbaikan tidak ada setelah dua bulan terlewati
Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan
Sekitar 14% pasien mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari, pada sisi wajah
lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada keluarga.
Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab Bell’s palsy,
yang bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:
19
Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.
Crocodile tears
Menangis saat sedang makan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adam, R. D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. 8th.ed. Mc
Graw-Hill, New York.
Ann Otol Rhinol Laryngol. Pathogenesis of Bell's palsy. Retrograde epineurial edema
and postedematous fibrous compression neuropathy of the facial nerve. 1977
Jul-Aug;86(4 Pt 1):549-58.
Anonim, 2015, Bell’s Palsy, American Academy Of Otolaryngology- Head And Neck
Surgery, http://www.entnet.org/content/bells-palsy
Anonim, 2013, Facial Nerve Disorders : Bell’s Palsy and Facial Paralysis, University Of
Maryland Medical Center, http://umm.edu/programs/hearing/services/facial-
nerve-disorders
Baringer JR. Herpes simplex virus and Bell palsy. Ann Intern Med. 1996;124(1 Pt 1):63.
Bitsori M, Galanakis E, Papadakis CE, Sbyrakis S. Facial nerve palsy associated with
Rickettsia conorii infection. Arch Dis Child. 2001;85(1):54.
21
Couch RB. Nasal vaccination, Escherichia coli enterotoxin, and Bell’s palsy. N Engl J
Med.2004;350(9):860–61
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300.
dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011, Rehabilitasi Medik Bell’s Palsy, Siaran
RRI, Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center
Morgan M, Nathwani D. Facial palsy and infection: the unfolding story. Clin Infect
Dis. 1992;14(1):263.
22
Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y, et al. Bell’s palsy and herpes simplex virus:
identification of viral DNA in endoneurial fluid and muscle. Ann Intern
Med. 1996;124(1):27–33.
Mutsch M, Zhou W, Rhodes P, et al. Use of the inactivated intranasal influenza vaccine
and the risk of Bell’s palsy in Switzerland. N Engl J Med. 2004;350(9):896–903.
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#showall
Poinier, AC, dkk, 2014, Bell’s Palsy : Topic Overview, WebMD Medical Reference from
Healthwise, http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview
Peitersen E. Bell’s palsy: The spontaneous course of 2,500 peripheral facial nerve
palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl. 2002;(549):4–30.
Schaitkin BM, May M, Podvinec M, et al. Idiopathic (Bell’s) palsy, herpes zoster
cephalicus, and other facial nerve disorders of viral origin. In: May M, Schaitkin
BM, editors. The facial nerve: May’s. 2nd ed. New York: Thieme Medical; 2000.
pp. 319–38
Schirm J, Mulkens PS. Bell’s palsy and herpes simplex virus. APMIS. 1997;105:815–23
Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localising lesions in Bell's
palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Apr 2008;79(4):418-
20.
Sidharta, Priguna. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat. 2007.
23
Sorensen J, dkk, House Brackmann, London: Sorensen Clinic,
http://sorensenclinic.com/microsurgery/house-brackmann/
24