You are on page 1of 10

A.

Latar Belakang Perang Padri

Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu minum-


minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang oleh kaum
Padri sangat bertentangan dengan agama Islam. Kaum Padri berusaha
menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat menolaknya maka kemudian
terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Gerakan Padri di Sumatera
Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah
tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat Minangkabau
dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang dianggapnya menyimpang dari
ajaran agama Islam.
Kaum Adat di Minangkabau mempunyai kebiasaan yang kurang baik yaitu
minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam. Kebiasaan itu dipandang
oleh kaum Padri sangat bertentangan dengan agama Islam. Kaum Padri berusaha
menghentikan kebiasaan itu, tetapi Kaum Adat menolaknya maka kemudian
terjadilah pertentangan antara kedua golongan tersebut. Gerakan Padri di Sumatera
Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah
tahun 1803. Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piabang. Ketiga haji itu membawa perubahan baru dalam masyarakat Minangkabau
dan sekaligus ingin menghentikan kebiasaan yang dianggapnya menyimpang dari
ajaran agama Islam.

B. Proses Terjadinya Perang Padri


1. Periode 1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat)
a. Sebab terjadinya Perang
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah
menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H.
Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah Datar. Di Saudi
Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang
bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak
baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau
menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok
ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat karena kebiasaan-
kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakatdi kawasan
Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang dimaksud
sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras,
tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan
ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang
bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat
dan golongan bangsawan. Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-
mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian
pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara
kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan
dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
b. Jalanya Perang
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya
menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Paderi dipimpin Datuk
Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk
Bandaro meninggal karean terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum Padri
dilanjutkan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang
kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan
di Bonjol. Tuanku Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari
Kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Pajang.
Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana.
Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena keluarga
kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, dalam perang itu, kaum
Padri mendapat kemenangan di mana-mana. Sejak tahun 18815 kedudukan
kaum Adat makin terdesakkarena keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh
di Tanah Datar, sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang
masih hidup meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu
masih berkuasa di Sumatera Barat).
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda,
maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat
akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821).
Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama
mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
c. Pemimipin yang terlibat
1) Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa,Tuanku
Imam Bonjol Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan
Cerdik.
2) Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
2. Periode 1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda)
Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda mengenai
penyerahan kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada tanggal 10 Februari
1821, hal ini menjadi tanda dimulainya keikutsertaan Belanda dalam melawan
kaum Padri.
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi
menjadi tiga periode:
a. Periode I (Tahun 1821 – 1825)
Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh
daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi
menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan
tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah
pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau,
sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar,
mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen) dan
Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja.
Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda
mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan
total di Muara Palam dan di Sulit Air.
Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan
perdamaian dan pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda berhasil mengadakan
perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di daerah VI Kota, isinya:
kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing. Adanya
perundingan ini sebenaranya hanya menguntungkan pihak Belanda untk
menunda waktu guna memperkuat diri. Setelah berhasil memperkuat
pertahannanya, Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan
kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
b. Periode II (Tahun 1825 – 1850)
Pada periode ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Padri
perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam keadaan sulit,
sebab baru memusatkan perhatiannya dan pengeriman pasukan untuk
menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan
perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda
berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November
1825 di Padang, yang isinya:
1) Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
2) Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang
kembali dari pengungsian.
3) Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan
dan berdagang.
4) Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau,
Limapuluhkota, Telawas dan Agam.
c. Periode III (Tahun 1830-1838)
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak
makin menghebat. Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat
diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan
lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode ketiga.
Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai
berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku
Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil.
Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh
Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-
daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada
tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan
tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat
diharuskan:
1) Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
2) Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
C. Akhir dari Perang Padri

Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan


ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku
Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa
perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain.
Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur
pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan
dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh
di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali
pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,
yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol
tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu
lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda
menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada
tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak
berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus
berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838. Setelah itu
berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.
D. Tokoh-tokoh Yang Terlibat Perang Padri
1. Pihak Padri (Indonesia)
a. Tuanku Iman Bonjol
b. Tuanku Koto Tuo (Ulama)
c. Tuanku Nan Renceh (Murid dari Tuanku Nan Tuo)
d. Haji Miskin (Ulama Pandai Sikek)
d. Haji Sumanik (Ulama Delapan Kota)
e. Haji Piobang (Ulama Limo puluah kota)
f. Tuanku Bansa
g. Tuanku Galung
h. Tuanku Lubuk Aur
i. Tuanku Padang Lawas
j. Tuanku Padang Luar
k. Tuanku Kubu Ambelan
l. Tuanku Kubu Sanang
m. Tuanku Raja Muning Alamsyah (Pagaruyung)
n. Tuanku Tangsir Alam (Utusan dari Tuanku Rajo Muning Alamsyah dalam
menemui Jenderal Rafless)
o. Tuanku Saruaso
p. Muhammad Syabab
q. Datuk Bandaro
r. Tuanku Lintau
s. Tuanku Nan Gelek
t. Tuanku Mansiangan (Pemimpin Paderi)
u. Tuanku Keramat
v. Tuanku Tambusai
2. Pihak Belanda (penjajah)
a. Du Puy (Residen di Padang)
b. Letkol Raaff (Residen Pengganti Du Puy)
c. Van Geen
d. De Stuers
e. Said Salim al-Jafrid (Penghubung dalam perdamaian antara Kaum Paderi
dengan Belanda)
f. Kolonel Elout
g. Letnan Thomson
h. Jenderal Cochius
i. Jenderal Van Den Bosch
j. Tuanku Limbur (Pengkianat)

E. Perjanjian Perang Padri


Karena gagal dalam penyerangan fase pertama, Belanda masih terus
mengupayakan perjanjian damai dengan kaum Padri. Namun, karena sudah
dikhianati di perjanjian Masang, kaum Padri menjadi berhati-hati dalam melakukan
perjanjian dengan Belanda. Karena itu, Kolonel De Stuers yang menjadi penguasa
sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha untuk melakukan kontak dengan tokoh-
tokoh kaum Padri. Hal ini dilakukan Belanda untuk menghentikan perang dan
melakukan perjanjian damai.
Akhirnya, Belanda meminta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab
yang bernama Sulaiman Aljufri untuk membujuk tokoh-tokoh dari kaum Padri
supaya bisa diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol
supaya mau berdamai dengan Belanda. Namun, Tuanku Imam Bonjol menolak.
Setelah itu, dia menemui Tuanku Lintau dan menerima ajakan damai itu. Akhirnya,
di tanggal 15 November 1825 dilakukanlah penandatanganan Perjanjian Padang.
Isi Perjanjian Padang itu antara lain :
1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang
Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama
di daerahnya.
2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.
3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang
melakukan perjalanan.
4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
F. Peninggalan dari Perang Padri
1. Benteng Bonjol

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal
dengan nama Bukit Tajadi.
2. Masjid Bingkudu

Masjid Bingkudu merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang didirikan
oleh kaum Padri di tengah kecamuk perang di Sumatera Barat. Masjid yang
terletak pada ketinggian sekitar 1000 meter dpl, dibangun abad ke-18 Masehi.
3. Tongkat Bersambung yang Tangguh

G. Nilai-Nilai Yang Dapat Diambil dari Peristiwa Perang Padri


Perang paderi terjadi karena pihak agama adat dan pihak adat telah diadu
domba oleh pihak belanda, perang ini berakhir ketika pihak adat dan pihak agama
melakukan aksi damai di bukit yang bernama bukit marapalam,,, sehingga
terbentuklah piagam bukit marapalam. Adapun nilai-nilai yang bisa diambil dari
perjuangan perang padri ialah sebagai berikut:
1. Adat dan agama itu tidak saling menghancurkan, tapi berdampingan satu sama
lain
2. Tiap tiap golongan tidak boleh pecah karena telah diadu domba
3. Tiap golongan harus bersatu.

GAMBAR TOKOH-TOKOH YANG TERLIBAT DALAM


PERANG PADRI

Tuanku Imam Bonjol Sentot Prawirodirdjo

_____

Frans David Cochius Van den Bosch

_____

You might also like