You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan Kesehatan sebagai “ keadaan sehat


fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan fisik”.
Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar
keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat
memenuhi tangggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari,
dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Vindebeck,2008).

Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional,psikologis, dan sosial yang
terlihat drai hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep
diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck,2008). Sesorang dikatakan sehat jiwa
apabila memenuhi criteria seperti: sikap positif terhadap diri sendiri, integrasi dan ketanggapan
emosional, otonomi dan kemantapan diri, persepsi realitas yang akurat, serta penguasaan
lingkungan dan kompentesi sosial (Stuart,2007).

Menurut Sekretaris Jendral Departemen Kesehatan (Depkes,2006), Kesehatan jiwa saat


ini telah menjadi masalah kesehatan masalah global bagi setiap Negara termasuk Indonesia.
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap
nilai-nilai sosial dan budaya pada masyrakat. Gaya hidup dan persaingan hidup menjadi semakin
tinggi, hal ini disebabkan karena tuntunan akan kebutuhan hidup yang semakin meningkat
seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi (sandang, pangan, papan), pemenuhan kebutuhan kasih
saying, rasa aman dan aktualisasi diri. Disisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan
yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan, berdaptasi akan keinginan dan
kenyataan dari dalam maupun dari luar dirinya. Sehingga dapat berakibat tingginya tingkat stress
dikalangan masyarakat, jika individu kurang atau tidak mampu dalam menggunakan mekanisme
koping dan gagal dalam berdaptasi, maka individu akan mengalami berbagai penyakit fisik
maupun mental (timbul stress dan terjadi perilaku kekerasan).
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. PENGERTIAN

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan:

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secra fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus,
tapi lebih bnayak merujuk pada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah. (Berkowits, 1993)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan


yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).

Perilaku kekerasan adalah nyata melakukan kekerasan, ditujukan pada diri


sendiri/orang lain secara verbal maupun non verbal dan pada lingkungan. (Depkes RI,
2006)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan yang merupakan campuran perasaan


frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dan setiap
orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke
lingkungan, ke dalam diri atau secara deskruktif. (Yosep, 2011)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan kehilangan kendali perilaku yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri
sendiri dapat berupa melukai diri untuk bunuh diri, atau dalam bentuk menelantarkan diri.
Perilaku kekerasan pada orang lain adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai
orang lain atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada dilingkungan.

II. ETIOLOGI

Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri
rendah. Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebgai perasaan negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.

Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan


yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas.
Jika tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu denngan cara lain tanpa mengendalikan
orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.

III. RENTANG RESPON

Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan maladaptive.

Respon adaptif Respon maladaptive

Asertif Pasif Perilaku Kekerasan

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk bererilaku pasif, asertif, dan agresif/ perilaku
kekerasan. (Stuart dan Laraia,2005)

a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan untuk


mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti
orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkpakan
perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu
ancaman nyata.
c. Agresif/ perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tingii atau
ketakutan (panik)
d. Stress, cemas. Harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon marah bisa diekspresikan
secra eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan menyakiti fisik).
e. Mengekspreiskan marah dengan perilaku konstruktif, menggunakan kata-kata yang
dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan memberikan
perasaaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaanmarah dapat teratasi.
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan
individu karena dia merasa kuat. Cera demikian tidak menyelesaikan masalah, bahkan
dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku deskruktif.
f. Perilaku yang tidak asertif sepertimenekan perasaan marah dilakukan individu seoerti
pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga rasa
marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan
yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan destruktif yang ditujukan
kepada diri sendiri. (Rusdi,2013)

Asertif Pasif Agresif


Isi pembicaraan Positif Negatif Menyombongkan
Menawarkan diri Merendahkan diri diri, merendahkan
(“saya dapat”, “saya (“dapatkah saya”, orang lain (“kamu
akan”) dapatkah kamu”) selalu”, “kamu tidak
pernah”)

Tekanan suara Sedang Cepat, lambat, Keras, ngotot


mengeluh

Posisi badan Tegap dan santai Menundukkan Kaku condong


kepala kedepan

Jarak Mempertahankan Sikap dengan jarak


jarak yang nyaman Menjaga jarak akan menyerang
dengan sikap acuh / orang lain
mengabaikan

Penampilan Sikap tenang Mengancam posisi


Loyo, tidak dapat menyerang
tenang

Kontak mata Mempertahankan Mata melotot dan


kontak mata sesuai Sedikit / sama dipertahankan
dengan hubungan sekali tidak
yang berlangsung

IV. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


1) Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural.
a) Faktor Biologis
1. Instinctual Drive Theory ( Teori Dorongan Nakuri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebtuhan dasar yang sangat kuat.
2. Psychosomatic Theory (Teori Psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal, maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem
limbic berperan sebgai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.
b) Faktor Psikologis
1. Frustation Aggresion Theory (Teori Agresif Frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebgai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong
individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
memalui perilaku kekerasan.
2. Behavior Theory (Teori Perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas/situasi yang mendukung.
3. Ekstensial Thery ( Teori Ekstensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhi melalui berperilaku destruktif.
c) Faktor Sosiokultural
1. Sosial Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi skap individual dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk merespon asertif atau agresif.
2. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun proses
sosialisasi.
2) Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian,
dan lain-lain) maupun dalam (putus hubngan dengan orang yang berarti,
kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu
lingkunganyang terlalu rebut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan. (Rusdi, 2013)
V. PROSES TERJADI

Amuk merupakan respon kemarahan yang paling maladaptive yang ditandai


dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai dengan hilangnya control,
yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat,1991).
Amuk adalah respon marah terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri rendah, rasa
bersalah, putus asa, ketidakberdayaan.

Respon marah dapat diekpresikan secara internal atau eksternal. Secara internal
dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan melalui tiga cara
yaitu: 1. Mengungkapkanmarah secara verbal, 2. Menekan/mengingkari marah, 3.
Menetang perasaan marah.

Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruksi dengan menggunakan


kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakikti orang lain akan
memberikan keleegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan
perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukna karena ia merasa kuat. Cara ini
menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang
destruktif dan amuk. (Yusuf,2015).

VI. TANDA DAN GEJALA


1. Fisik: muka marah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, napas pendek,
keringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, dan tekanan darah meningkat.
2. Emosi: tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah, dendam, dan jengkel
3. Intelektual: mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, dan meremehkan.
4. Sosial: menarik diri, pengasingan, dan penolakan
5. Spiritual: keraguan, tidak bermoral, kebejatan, dan kreatifitas terhambat. (Jaya,2015)

VII. AKIBAT

Pasien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan berbahaya bagi


dirinya, orang lain, dan lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan
perabot, membakar rumah dan lain-lain. Sehingga pasien dengan perilaku kekerasan
berisiko untuk mencederai diri-sendiri, orang lain dan lingkungan. (Jaya,2015)

VIII. MEKANISME KOPING

Perawat perlu mgnidentifikasi mekanisme koping klien sehingga dapat membantu


klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego yaitu: sublimasi, proyeksi, represi, reaksi formasi, dan
displacement.

a. Sublimasi : menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimana


masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek
lain seperti meremas remas adonan kue, meninju tembok, dan sebagainya, tujuannya
adalah untk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b. Proyeksi : menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksual terhadap rekan kerjanya. Berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencooba merayu, mencumbunya.
c. Represi : mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kealam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan.
Sehingga perasaann benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d. Reaksi formasi : mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan. Dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya sesorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
e. Deplacement : melepaskanperasaan tertekan biasanya bermusuhan. Pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya: Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman
dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Doa mulai bermain perang-
perangan dengan temannya. (Prabowo,2014)

IX. PENATALAKSANAAN
a. Faktor Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun
pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi contohnya:
clorpomazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak
ada dapat digunakan efek rendah, contohnya: transquilizer bukan obat anti psikotik
seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti
tegang, anti cemas, adan anti agitasi.
b. Terapi Okupasiterapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, tetapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
menegmbalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan itu bagi dirinya.
Terapi ini merupakan lagkah awal yang harus dilakukan oleh petugas rehabilitasi
setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya.
c. Peran Serta Keluarga
Keluarga merupakan sitem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
ada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,membuat
keputusan tindakan kesehatan, member perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, san menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptive (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke
perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal. (Budi Anna Keliat, 1992)
d. Terapi Somatik
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terpi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan mengubah perilaku yang
maladaptive dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik pasien,
tetapi target terapi adalah perilaku pasien.
e. Terapi Kejang Listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis pasien. Terapi ini pada
awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya
dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali). (Prabowo, 2014).
X. POHON MASALAH

Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Perilaku Kekerasan/amuk

Gangguan Harga Diri: Harga Diri Rendah

(Prabowo, 2014)
A. Pengkajian
a. Data yang perlu dikaji
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif
- Klien mengatakan benci atu kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal
atau marah.
- Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
- Mata merah, wajah agak merah.
- Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri
sendiri/orang lain.
- Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang-barang.
2. Perilaku kekerasan / amuk
1). Data Subyektif :
- Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal
dan marah.
- Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Obyektif
- Mata memerah, wajah agak memerah.
- Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
- Ekspresi arah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang-barang.
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah
1). Data Subyektif
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodo,
mengkritik diri sendiri, mengungkapan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data Obyektif
3). Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.
(http://www.smallcrab.com/kesehatan/1202-asuhan-keperawatan-perilaku-
kekerasan)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencedarai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan/amuk.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri rendah.
(Prabowo, 2014).
C. Intervensi
1. Dx 1 : resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan/amuk.
TUM :
Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
TUK :
1) Pasien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4) Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilakunkekerasan.
5) Pasien dapat mengidentifikasi berespon terhadap kemarahan secara konstruktif.
6) Pasien dapat mengidentifikasi obat yang benar.
Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
R/ : Hubungan salig percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
R/ : informasi dari pasien penting bagi perawat untuk membantu pasien dalam
menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal.
R/ : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam, akan
menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyesalan persoalan.
4. Anjurkan pasien mengungkapkan dilema yang dirasakan saat jengkel.
R/ : pengungkapan kekesalan secara konstruktif utnuk mencari penyelesaian masalah
yang konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada pasien.
R/ : mengetahui perilaku yang dilakukan oleh pasien sehingga memudahkan untuk
intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel/kesan yang dialami pasien.
R/ : memudahkan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan pasien untuk mengungkapan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
R/ : memudahkan dalam pemberian tindakan.
8. Bantu pasien dalam bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang bisa dilakukan.
R/ : mengetahui bagaimana cara pasien melakukannya.
9. Bicarakan dengan pasien apakah dengan cara yang pasien lakukan masalahnya akan
selesai.
R/ : membantu dalam menberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10. Bicarakan akibat/kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan pasien.
R/ : mencari metode yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama pasien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
R/ : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan marah.
12. Tanyakan pada pasien “apakah anda ingin mempelajari cara baru yang sehat?”
R/ : menambah pengetahuan pasien tentang koping yang konstruktif.
13. Beri pujian jika pasien mengetahui cara sehat.
R/ : mendorong pengulangan perilaku yang ositif, meningkatkan harga diri pasien.
14. Diskusikan dengan pasien cara lain yang sehat.
R/ : dengan cara yang sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan pasien.
15. Bantu pasien memilih cara yang paling tepat untuk pasien.
R/ : memotivasi pasien dalam mendemontrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16. Bantu pasien mengindentifikasi manfaat yang telah dipilih.
R/ : mengetahui respon pasien terhadap cara yang diberikan.

2. Dx 2 : perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri rendah.


TUM :
Pasien dapat mengontrol perilaku pada saat berhungan dengan orang lain.
TUK :
1) Pasien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Pasien dapat mengindentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
3) Pasien dapat menilai kemampuan yang dimiliki.
4) Pasien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
5) Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
6) Pasien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya dan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.


R/ : hubungan saling percaya memungkinkan pasien terbuka pada perawat dan sebagai
dasar untuk itervensi selanjutnya.
2. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
R/ : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat pasien dalam hidupnya.
3. Utamakan memberi pujian yang relastic pada kemampuan dan aspek positif pasien.
R/ : meningkatkan harga diri pasien
4. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
R/ : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan
5. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya dirumah sakit
R/ : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan
6. Beri pujian
R/ : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan
7. Meminta pasien untuk memilih salah satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
R/ : agar pasien dapat melakukan kegiatan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan
yang dimiliki
8. Bantu pasien melakukan kegiatan, jika perlu diberi contoh
R/ : menuntun pasien dalam melakukan kagiatan
9. Beri pujian atas keberhasilan pasien
R/ : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
10. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih
R/ : mengidentifikasi pasien agar agar berlatih secara teratur.
11. Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telat direncanakan
R/ : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon
koping maladaptife dengan yang lebih adaptif
12. Beri pendidikan pada keluarga tentang cara merawat pasien dengan harga diri rendah.
R/ : meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat pasien secara bersama
13. Bantu keluarga memberikan dukungan selama pasien dirawat
R/ : meningkatkan peran serta keluarga dalam membantu meningkatkan harga diri
pasien.
(https://www.facebook.com/permalink.php?id=146250918872988&story_fbid=16631112
6866967)
D. Implementasi
Impelementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik
(nursalam 2001).
1. Persiapan
a. Review antisipasi tindakan keperawatan.
b. Menganalisa dan ketrampilan yang diperlukan.
c. Mengetahui komplikasi yang timbul.
d. Persiapan lingkungan yang kondusif
2. Intervensi
a. Interdependen
Suatu kegiatan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dokter
atau tenaga kesehatan lainnya.
b. Independen
Menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga
kesehatan lainnya.
c. Dependen
Berhubungan dengan pelaksanaan rencaan tindakan medis.
3. Dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan
akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan (Yusuf, 2015).
E. Evaluasi
Mengukur apakah tujuan dan kriteria sudh tercapai. Perawat dapat mengobservasi
perilaku lain. Dibawah ini beberapa perilaku yang dapat mengidentifikasi evaluasi yang
positif:
1. Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan kemarahan pasien
2. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang tersebut
3. Sudahkah klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya pada yang lain.
4. Buatlah komentar yang kritikal
5. Apakah sudah mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda
6. Klien mampu menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi perasaan
marahnya
7. Mampu mentoleransi rasa marahnya
8. Konsep diri pasien sudah meningkatkan
9. Kemandirian dalam berpikir dan aktifitas meningkat (Yusuf, 2015)
Daftar Pustaka

Keliat, Budi ana. 2007.model praktik keperawatan jiwa. Jakarta. Egc

Yosep, iyus. 2013. keperawatan jiwa. Bandung : refika aditama

Rusdi, deden dermawan. 2013. Keperawatan jiwa konsep kerangka kerja asuhan keperawatan
jiwa. Yogyakarta : gosyen publishing

Prabowo eko. 2014. Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta : nuha medika

Jaya, kusnadi. 2015. Keperawatan jiwa. Jakarta : binapurna aksara publisher

Yusuf, ahmad, dkk. 2015. Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : salemba medika

http://barryvanilow.blogspot.com/p/asuhan-keperawatan-jiwa-klien-dengan.html diunduh
tanggal 10 april 2015, pukul 17: 00 WIB

https://www.facebook.com/permalink.php?id=146250918872988&story_fbid=16631112686696
7 diunduh tanggal 10 april 2015, pukul 17:00 WIB

http://www.smallcrab.com/kesehatan/1202-asuhan-keperawatan-perilaku-kekerasan diunduh
tanggal 10 april 2015, pukul 17: 00 WIB

http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasien-
dengan_5109.html diunduh tanggal 10 april 2015, pukul 17:00 WIB

You might also like