You are on page 1of 50

2.2.

3 Penyebab Pembentukan Batu Saluran Kemih


Penyebab pasti pembentukan BSK belum diketahui, oleh karena banyak faktor yang dilibatkannya,
sampai sekarang banyak teori dan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan BSK yaitu :
a.Teori Fisiko Kimiawi
Prinsip dari teori ini adalah terbentuknya BSK karena adanya proses kimia, fisika maupun gabungan
fisiko kimiawi. Dari hal tersebut diketahui bahwa terjadinya batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
bahan pembentuk batu di saluran kemih. Berdasarkan faktor fisiko kimiawi dikenal teori pembentukan
batu, yaitu:

a.1 Teori Supersaturasi


Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu merupakan dasar terpenting dan
merupakan syarat terjadinya pengendapan. Apabila kelarutan suatu produk tinggi dibandingkan titik
endapannya maka terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan terbentuknya kristal dan pada akhirnya
akan terbentuk batu. Supersaturasi dan kristalisasi dapat terjadi apabila ada penambahan suatu bahan yang
dapat mengkristal di dalam air dengan pH dan suhu tertentu yang suatu saat akan terjadi kejenuhan dan
terbentuklah kristal. Tingkat saturasi dalam air kemih tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah bahan
pembentuk BSK yang larut, tetapi juga oleh kekuatan ion, pembentukan kompleks dan pH air kemih.

a.2 Teori Matrik


Di dalam air kemih terdapat protein yang berasal dari pemecahan mitokondria sel tubulus renalis yang
berbentuk laba-laba. Kristal batu oksalat maupun kalsium fosfat akan menempel pada anyaman tersebut
dan berada di sela-sela anyaman sehingga terbentuk batu. Benang seperti laba - laba terdiri dari protein
65%, heksana 10%, heksosamin 2-5% sisanya air. Pada benang menempel kristal batu yang seiring waktu
batu akan semakin membesar. Matriks tersebut merupakan bahan yang merangsang timbulnya batu.

a.3 Teori Tidak Adanya Inhibitor


Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu organik dan anorganik. Pada inhibitor organik terdapat bahan yang sering
terdapat dalam proses penghambat terjadinya batu yaitu asam sitrat, nefrokalsin, dan tamma-horsefall
glikoprotein sedangkan yang jarang terdapat adalah gliko-samin glikans dan uropontin. Pada inhibitor
anorganik terdapat bahan pirofosfat dan Zinc. Inhibitor yang paling kuat adalah sitrat, karena sitrat akan
bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat yang dapat larut dalam air. Inhibitor mencegah
terbentuknya kristal kalsium oksalat dan mencegah perlengketan Kristal kalsium oksalat pada membaran
tubulus. Sitrat terdapat pada hampir semua buah-buahan tetapi kadar tertinggi pada jeruk. Hal tersebut
yang dapat menjelaskan mengapa pada sebagian individu terjadi pembentukan BSK, sedangkan pada
individu lain tidak, meskipun sama-sama terjadi supersanturasi.

a.4 Teori Epitaksi


Pada teori ini dikatakan bahwa kristal dapat menempel pada Kristal lain yang berbeda sehingga akan
cepat membesar dan menjadi batu campuran. Keadaan ini disebut nukleasi heterogen dan merupakan
kasus yang paling sering yaitu kristal kalsium oksalat yang menempel pada kristal asam urat yang ada.

a.5 Teori Kombinasi


Banyak ahli berpendapat bahwa BSK terbentuk berdasarkan campuran dari beberapa teori yang ada.

a.6 Teori Infeksi


Teori terbentuknya BSK juga dapat terjadi karena adanya infeksi dari kuman tertentu. Pengaruh infeksi
pada pembentukan BSK adalah teori terbentuknya batu survit dipengaruhi oleh pH air kemih > 7 dan
terjadinya reaksi sintesis ammo nium dengan molekul magnesium dan fosfat sehingga terbentuk
magnesium ammonium fosfat (batu survit) misalnya saja pada bakteri pemecah urea yang menghasilkan
urease. Bakteri yang menghasilkan urease yaitu Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter,
Pseudomonas, dan Staphiloccocus.
Teori pengaruh infeksi lainnya adalah teori nano bakteria dimana penyebab pembentukan BSK adalah
bakteri berukuran kecil dengan diameter 50-200 nanometer yang hidup dalam darah, ginjal dan air kemih.
Bakteri ini tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dimana dinding pada bakteri tersebut
dapat mengeras membentuk cangkang kalsium kristal karbonat apatit dan membentuk inti batu, kemudian
kristal kalsium oksalat akan menempel yang lama kelamaan akan membesar. Dilaporkan bahwa 90%
penderita BSK mengandung nano bakteria.

b.Teori Vaskuler
Pada penderita BSK sering didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah yang tinggi, maka
Stoller mengajukan teori vaskuler untuk terjadinya BSK, yaitu :

b.1 Hipertensi
Pada penderita hipertensi 83% mempunyai perkapuran ginjal sedangkan pada orang yang tidak hipertensi
yang mempunyai perkapuran ginjal sebanyak 52%. Hal ini disebabkan aliran darah pada papilla ginjal
berbelok 1800̊ dan aliran darah berubah dari aliran laminer menjadi turbulensi. Pada penderita hipertensi
aliran turbelen tersebut berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla (Ranall’s plaque)
disebut juga perkapuran ginjal yang dapat berubah menjadi batu.

b.2 Kolesterol
Adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah akan disekresi melalui glomerulus ginjal dan tercampur
didalam air kemih. Adanya butiran kolesterol tersebut akan merangsang agregasi dengan Kristal kalsium
oksalat dan kalsium fosfat sehingga terbentuk batu yang bermanifestasi klinis (teori epitaksi).
Menurut Hardjoeno (2006), diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni supersaturasi dan nukleasi.
Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu terdapat dalam jumlah yang besar dalam urine,
yaitu ketika volume urine dan kimia urine yang menekan pembentukan menurun. Pada proses nukleasi,
natrium hidrogen urat, asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat
kemudian merekat (adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini dinamakan nukle
asi heterogen. Analisis batu yang memadai akan membantu memahami mekanisme patogenesis BSK dan
merupakan tahap awal dalam penilaian dan awal terapi pada penderita BSK.

2.2.4 Klasifikasi Batu Saluran Kemih


Komposisi kimia yang terkandung dalam batu ginjal dan saluran kemih dapat diketahui dengan
menggunakan analisis kimia khusus untuk mengetahui adanya kalsium, magnesium, amonium, karbonat,
fosfat, asam urat oksalat, dan sistin.
a.Batu kalsium
Kalsium adalah jenis batu yang paling banyak menyebabkan BSK yaitu sekitar 70%-80% dari seluruh
kasus BSK. Batu ini kadang-kadang di jumpai dalam bentuk murni atau juga bisa dalam bentuk
campuran, misalnya dengan batu kalsium oksalat, batu kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur
tersebut. Terbentuknya batu tersebut diperkirakan terkait dengan kadar kalsium yang tinggi di dalam urine
atau darah dan akibat dari dehidrasi. Batu kalsium terdiri dari dua tipe yang berbeda, yaitu:

a.1Whewellite (mo nohidrat) yaitu , batu berbentuk padat, warna cokat/ hitam dengan konsentrasi asam
oksalat yang tinggi pada air kemih.
a.2 Kombinasi kalsium dan magnesium menjadi weddllite (dehidrat) yaitu batu berwarna kuning, mudah
hancur daripada whewellite.
b.Batu asam urat
Lebih kurang 5-10% penderita BSK dengan komposisi asam urat. Pasien biasanya berusia > 60 tahun.
Batu asam urat dibentuk hanya oleh asam urat. Kegemukan, peminum alkohol, dan diet tinggi protein
mempunyai peluang lebih besar menderita penyakit BSK, karena keadaan tersebut dapat meningkatkan
ekskresi asam urat sehingga pH air kemih menjadi rendah. Ukuran batu asam urat bervariasi mulai dari
ukuran kecil sampai ukuran besar sehingga membentuk staghorn (tanduk rusa). Batu asam urat ini adalah
tipe batu yang dapat dipecah dengan obat-obatan. Sebanyak 90% akan berhasil dengan terapi kemolisis.

c.Batu struvit (magnesium-amo nium fosfat) (foto polos abdomen Semi-opak)


Batu struvit disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini disebabkan oleh adanya infeksi
saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea splitter
yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis
urea menjadi amoniak. Kuman yang termasuk pemecah urea di antaranya adalah : Proteus spp, Klebsiella,
Serratia, Enterobakter, Pseudomonas, dan Staphiloccocus . Ditemukan sekitar 15-20% pada penderita
BSK Batu struvit lebih sering terjadi pada wanita daripada laki -laki. Infeksi saluran kemih terjadi karena
tingginya konsentrasi ammonium dan pH air kemih >7. Pada batu struvit volume air kemih yang banyak
sangat penting untuk membilas bakteri dan menurunkan supersaturasi dari fosfat.

d.Batu Sist in (lucent)


Batu Sistin terjadi pada saat kehamilan, disebabkan karena gangguan ginjal. Merupakan batu yang paling
jarang dijumpai dengan frekuensi kejadian 1-2%. Reabsorbsi asam amino, sistin, arginin, lysin dan
ornithine berkurang, pembentukan batu terjadi saat bayi. Disebabkan faktor keturunan dan pH urine yang
asam. Selain karena urine yang sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang
memiliki riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang statis karena imobilitas. Memerlukan
pengobatan seumur hidup, diet mungkin menyebabkan pembentukan batu, pengenceran air kemih yang
rendah dan asupan protein hewani yang tinggi menaikkan ekskresi sistin dalam air kemih.

Epidemiologi Penyakit Batu Saluran Kemih


Distribusi dan Frekuensi

Berdasarkan data dari Urologic Disease in America pada tahun 2000, insidens rate tertinggi kelompok
umur berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih atas adalah pada kelompok umur 55-64 tahun 11,2 per
-100.000 populasi, tertinggi kedua adalah kelompok umur 65-74 tahun 10,7 per-100.000 populasi.
Insidens rate tertinggi jenis kelamin berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih atas adalah pada jenis
kelamin laki-laki 74 per -100.000 populasi, sedangkan pada perempuan 51 per-100.000 populasi. Insidens
rate tertinggi kelompok umur berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih bawah adalah pada kelompok
umur 75-84 tahun 18 per-100.000 populasi, tertinggi kedua adalah kelompok umur 65-74 tahun 11 per
-100.000 populasi. Insidens rate tertinggi jenis kelamin berdasarkan letak batu yaitu saluran kemih bawah
adalah jenis kelamin laki-laki 4,6 per-100.000 populasi sedangkan pada perempuan 0,7 per-100.000
populasi.
Analisis jenis batu berdasarkan jenis kelamin di Amerika Serikat pada tahun 2005, jenis kelamin laki
-laki dengan batu kalsium 75%, batu asam urat 23,1%, batu struvit 5%, dan batu cysteine 0,5%,sedangkan
pada perempuan jenis batu kalsium 86,2%, batu asam urat 11,3%, batu struvit 1,3%, dan batu cysteine
1,3%. Analisis jenis batu berdasarkan jenis kelamin di Australia Selatan pada tahun 2005 yaitu pada
jenis kelamin laki-laki jenis batu kalsium oksalat 73%, batu asam urat 79%, sedangkan pada perempuan
jenis batu struvit 58%. Analisis jenisbatu berdasarkan kelompok umur, jenis batu kalsium oksalat 50-
60 tahun, batu asam urat 60-65 tahun dan batu struvit 20-55 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Hardjoeno dkk pada tahun 2002-2004 di RS dr.Wahidin Sudirohusodo
Makasar berdasarkan jenis kelamin proporsi tertinggi adalah jenis kelamin laki-laki 79,9 % sedangkan
wanita 20,1%.
Di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2007 jumlah pasien rawat inap BSK 113 orang, berdasarkan
kelompok umur proporsi tertinggi adalah kelompok umur 46-60 tahun 39,8%,berdasarkan jenis kelamin
proporsi tertinggi adalah jenis kelamin laki-laki 80,5%, dan berdasarkan jenis batu proporsi yang tertinggi
adalah jenis batu kalsium oksalat 100%, struvite 96,5%, dan Cystine 66,4%

2.3.2 Determinan
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
BSK pada seseorang. Faktor -faktor tersebut adalah factor intrinsik, yaitu keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik , yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan disekitarnya.

a.Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam individu sendiri. Termasuk faktor intrinsik adalah
umur, jenis kelamin, keturunan, riwayat keluarga.

a.1 Umur Umur terbanyak penderita BSK di negara- negara Barat adalah 20-50 tahun, sedangka
n di Indonesia terdapat pada golongan umur 30-60 tahun. Penyebab pastinya belum diketahui,
kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan faktor sosial ekonomi, budaya, dan diet.Berdasarkan
penelitian Latvan, dkk (2005) di RS.Sedney Australia, proporsi BSK 69% pada kelompok umur 20-49
tahun. Menurut Basuki (2011), penyakit BSK paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

a.2Jenis kelamin
Kejadian BSK berbeda antara laki-laki dan wanita. Jumlah pasien laki –laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan.Tingginya kejadian BSK pada laki-laki disebabkan oleh anatomis
saluran kemih pada laki-laki yang lebih panjang dibandingkan perempuan, secara alamiah didalam air
kemih laki-laki kadar kalsium lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan pada air
kemih perempuan kadar sitrat (inhibitor) lebih tinggi, laki -laki memiliki hormone testosterone yang dapat
meningkatkan produksi oksalat endogen di hati, serta adanya hormon estrogen pada perempuan yang
mampu mencegah agregasi garam kalsium.

a.3Heriditer/ Keturunan
Faktor keturunan dianggap mempunyai peranan dalam terjadinya penyakit BSK. Walaupun demikian,
bagaimana peranan faktor keturunan tersebut sampai sekarang belum diketahui secara jelas.

b.Faktor Ekstrinsik
b.1 Geografi
Prevalensi BSK banyak diderita oleh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Hal tersebut
disebabkan oleh sumber air bersih yang dikonsumsi oleh masyarakat dimana sumber air bersih tersebut
banyak mengandung mineral seperti phospor, kalsium, magnesium, dan sebagainya. Letak geografi
menyebabkan perbedaan insiden BSK di suatu tempat dengan tempat lainnya. Faktor geografi mewakili
salah satu aspek lingkungan dan sosial budaya seperti kebiasaan makanannya, temperatur, dan
kelembaban udara yang dapat menjadi predoposisi kejadian BSK.
b.2 Faktor Iklim dan Cuaca
Faktor iklim dan cuaca tidak berpengaruh langsung, namun kejadiannya banyak ditemukan di daerah
yang bersuhu tinggi. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan jumlah keringat dan meningkatkan
konsentrasi air kemih. Konsentrasi air kemih yang meningkat dapat menyebabkan pembentukan kristal
air kemih. Pada orang yang mempunyai kadar asam urat tinggi akan lebih berisiko menderita penyakit
BSK.
b.3 Jumlah Air yang di Minum
Dua faktor yang berhubungan dengan kejadian BSK adalah jumlah air yang diminum dan kandungan
mineral yang terdapat dalam air minum tersebut. Bila jumlah air yang diminum sedikit maka akan
meningkatkan konsentrasi air kemih, sehingga mempermudah pembentukan BSK.
b.4 Diet/Pola makan
Diperkirakan diet sebagai faktor penyebab terbesar terjadinya BSK. Misalnya saja diet tinggi purine,
kebutuhan akan protein dalam tubuh normalnya adalah 600 mg/kg BB, dan apabila berlebihan maka akan
meningkatkan risiko terbentuknya BSK. Hal tersebut diakibatkan, protein yang tinggi terutama protein
hewani dapat menurunkan kadar sitrat air kemih, akibatnya kadar asam urat dalam darah akan naik,
konsumsi protein hewani yang tinggi juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan memicu terjadinya
hipertensi.
b.5 Jenis Pekerjaan
Kejadian BSK lebih banyak terjadi pada orang-orang yang banyak duduk dalam melakukan pekerjaannya.

b.6 Kebiasaan Menahan Buang Air Kemih


Kebiasaan menahan buang air kemih akan menimbulakan statis air kemih yang dapat berakibat timbulnya
Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK yang disebabkan oleh kuman pemecah urea dapat menyebabkan
terbentuknya jenis batu struvit.

2.4.
Faktor Metabolik
2.4.1.
Diabetes
Penelitian lebih lanjut mengungkapkan pasien diabetes yang mengalami batu ginjal lebih sering terkena
batu jenis asam urat dibandingkan dengan jenis batu lain. Hal ini disebabkan pasien yang mengalami
diabetes, khususnya diabetes melitus tipe II, memiliki pH yang rendah. Hal ini menyebabkan batu dapat
mudah terbentuk. Selain itu, pasien dengan diabetes mellitus mengeksresikan oksalat urin lebih banyak
daripada orang yang tidak menderita diabetes
2.4.2.
Hiperurikosuria
Batu asam urat dapat terjadi akibat gout artritis atau pada penyebab sekunder dari kelebihan produksi
purin. Penyebab sekunder dari batu ini termasuk diare kronik yang diakibatkan oleh ileostomi, kolitis
ulserasi, dan penyakit Chron. Diare kronik ini menyebabkan orang tersebut terpapar dengan kondisi pH
urin yang rendah akibat hilangnya bikarbonat, berkurangnya eksresi amonia, dan rendahnya volume urin
(Colella et al., 2005).
Tabel 2.4
2.4.3.Derajat Keasaman (pH)
Pada pH urin yang rendah (pH<5,5), asam urat yang belum berdisosiasi masih mendominasi urin
sehingga dapat menyebabkan pembentukan batu asam urat dan/atau kalsium. Batu kalsium oksalat
terbentuk akibat nukleasi heterogen dengan kristal asam urat. Setiap kelainan yang dapat menyebabkan
rendahnya pH urin akan menjadi faktor predisposisi terhadap pembentukan batu. Penderita metabolik
asidosis kronik dapat menyebabkan rendahnya pH urin, hiperkalsiuria, dan hipositraturia. Asidosis dapat
menyebabkan peningkatan resorpsi kalsium dari tulang dan menyebabkan peningkatan kalsium urin.

2.4.4.Infeksi Saluran Kemih


Batu magnesium amonium fosfat (struvite) sangat erat kaitannya dengan batu infeksi. Batu ini sering
dihubungkan dengan infeksi dari organisme seperti Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella,
Staphylococcus, dan E. coli. Kalsium fosfat adalah varian terbanyak kedua yang dihubungkan dengan
infeksi. Kalsium fosfat terbentuk ketika pH urin berada <6,4 dan sering
disebut sebagai batu brusit, sedangkan batu infeksi apatit dihubungkan dengan pH urin >6,4
(Stoller, 2012). Infeksi juga dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi urin dan keadaan
statis pada bagian kalkulus proksimal. Infeksi juga dapat menjadi
faktor penyebab persepsi rasa nyeri pada pasien karena bakteri dapat menghasilkan eksotoksin maupun
endotoksin yang akan mengubah aktivitas peristaltik otot saluran kemih (Stoller, 2012). Inflamasi lokal
dapat menyebabkan aktivasi kemoreseptor dan persepsi nyeri yang mengikuti pola referal pattern
Keadaan tertentu seperti pyuria, demam, leukositosis, atau bakteri dapat memberi petunjuk mengenai
diagnosis infeksi saluran kemih dengan kemungkinan obstruksi atau pyonephrosis

c.Manifestasi Klinis
Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat infeksi dan ada
tidaknya obstruksi saluran kemih. Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis

1)Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi
karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan
sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih.Peningkatan
peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan pada
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada
ginjal (Purnomo, 2012) sehingga menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin
E2 ginjal. Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada
ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora
pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis

2.) Gangguan miksi


Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow) mengalami penurunan sehingga sulit
sekali untuk miksi secara spontan. Pada pasien nefrolithiasis , obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal
sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien
uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi disaluran paling akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin
ada namun hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi. Batu dengan ukuran kecil mungkin
dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero - pelvik, saat ureter
menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli - buli (Purnomo, 2012).

3)Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya
sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga
urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria) Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien
urolithiasis , namun jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan
hematuria yang masive, hal ini dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitas
yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009)

4)Mual dan muntah


Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada pasien karena nyeri yang sangat
hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung.
Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun gejala
gastrointestinal biasanya tidak ada

5)Demam
Demam terjadi Karen a adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam yang disertai dengan
hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis.
Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak
kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan
terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik
6)Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan menyebabkan vasodilatasi
maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi
pada regio vesika

Diagnosis
Selain ultrasonografi, pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto polos.
Foto polos (KUB) dapat digunakan untuk melihat posisi batu di ginjal, ureter, dan kandung kemih. KUB
memiliki sensitivitas 90% dalam mendeteksi batu saluran kemih, dan 92% batu dapat ditentukan melalui
tindakan ini (Turk et al, 2013). KUB dapat dijadikan pilhan untuk pemeriksaan yang cepat, ekonomis dan
akurat.
Akan tetapi, foto polos tidak dapat digunakan untuk mendeteksi batu yang bersifat non-opaque dan batu
berukuran dibawah 2 mm.

IVP (Intravenous Pyelogram) adalah prosedur diagnostik untuk menentukan batu intrarenal dan
kondisi anatomi ureter. IVP memiliki sensitivitas dan spesifisits yang tinggi untuk menentukan lokasi
batu dan derajat obstruksi. IVP dapat mendeteksi batu radiolucent dan kelainan anatomi yang
berhubungan dengan pembentukan batu. (Pahira dan Pevzner, 2007)

Non Contrast Computed Tomography


(NCCT) telah menjadi standar dalam mendiagnosa nyeri akut menggantikan Intravenous Urography
(IVU) yang telah menjadi baku emas selama bertahun-tahun. NCCT juga dpat digunakan untuk diagnosa
kelainan peritoneal dan retroperitoneal dan membantu bila diagnosa belum pasti. NCCT dapat mendeteksi
batu asam urat dan batu xanthine yang bersifat radiolucent pada foto polos. NCCT memiliki sensitivitas
97% dan spesivisitas 96%

Tatalaksana
2.1.4.1 Penatalaksanaan Konservatif
Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih. Penatalaksanaan
non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu per 5 tahun sampai 60%. Penatalaksanaan
konservatif berupa :
1.Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar berjumlah lebih
dari 2 liter per hari
2.Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0 gram/kgBB/hari untuk mengurangi insiden
pembentukan batu
3.Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari efektif untuk mengurangi eksresi kalsium
pada pasien dengan hiperkalsiuria
4.Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan pembentukan batu seperti calcitrol,
suplemen kalsium, diuretic kuat dan probenecid
5.Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk mengurangi pembentukan batu. Makanan
yang harus dikurangi seperti teh, bayam, coklat, kacang -kacangan dan lain-lai
2.1.4.2 Penatalaksanaan Spesifik
1. Batu kalsium
Untuk Absorptive hypercalciuria tipe I dapat diberikan diuretic tiazid 25-50 mg untuk menurunkan kadar
kalsium dalam urin sampai 150 mg/hari. Hal ini terjadi melalui turunnya volume urin yang
mengakibatkan kompensasi meningkatnya reabsorpsi natrium dan kalsium di tubulus proksimal.
Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu chlorthalidone 25-50 mg, indapamide 1,25-2,5 mg/hari (Stoller,
2008).

Pada AH tipe II, dilakukan restriksi diet kalsium 600 mg/hari. Restriksi diet natrium juga penting untuk
menurunkan hiperkalsiuria. Tiazid dan suplemen kalium sitrat juga dapat diberikan apabila
penatalaksanaan konservatif tidak efektif. Pada AH tipe III, diberikan orthophospate yang akan
menurunkan kadar 1,25(OH)2D3 dan meningkatkan kadar inhibitor dalam urin.
Tiazid juga diberikan pada renal hiperkalsiuria untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus. Hal ini
akan menormalkan kadar kalsium dalam serum dan menurunkan kadar hormon paratiroid. Diet natrium
juga dikurangi menjadi 2 g/hari dan menjaga natrium urin dibawah 100
mEq/hari. Pada hiperoksalouria primer, pyridoxine dapat menurunkan produksi oksalat endogen. Dosis
pyridoxine yang dianjurkan adalah 100-800 mg/hari. Orthophospate oral juga dapat diberikan dalam dosis
4 kali sehari. Magnesium oral, suplemen kalium sitrat dan konsumsi cairan yang ditambah dapat
membantu terapi (Turk et al, 2013) Pasien dengan hipositraturia diberikan kalium sitrat untuk
meningkatkan pH intraselular dan produksi sitrat. Selain kalium sitrat, konsumsi jus lemon setiap hari
yang dilarutkan dalam 2 liter air akan meningkatkan kadar sitrat dalam urin (Stoller, 2008).
2. Batu asam urat
Untuk pasien dengan batu asam urat, penatalaksanaan harus dilakukan adalah penatalaksanaan
konservatif dibantu dengan pemberian obat-obatan. Pemberian acetazolamide 250-500 mg pada malam
hari akan berguna untuk mengontrol pH urin. Allupurinol diberikan apabila kadar asam urat dalam darah
diatas 800 mg/hari dan pH urin diatas. Suplementasi kalium sitrat berguna untuk menjaga pH urin tetap
bersifat alkali sekitar 6,5. Kadar pH dalam urin harus tetap dijaga agar tidak naik sampai keatas 7, untuk
mengurangi resiko terbentuknya batu kalsium fosfat
(Pearle et al, 2012).
3. Batu sistin
Pasien dengan batu sistin harus meningkatkan konsumsi cairan agar mendapatkan urin sekitar 3,5 liter
setiap harinya untuk disolusi maksimal dari batu sistin. Alkalinisasi urin menggunakan kalium sitrat atau
sodium bikarbonat digunakan untuk menjaga pH urin 7,5-8,5. Urin yang alkali akan meningkatkan
larutnya sistin dalam urin.
Bila pengobatan diatas tidak berhasil dan kadar sistin dalam urin diatas 3 mmol per hari, maka dapat
diberikan tiopronin. Dosis tiopronin yang digunakan adalah 250 mg per hari. Tiopronin dianggap lebih
baik dari pendahulunya yaitu D-penicillamine yang dianggap menimbulkan banyak efek samping

2.5.5 Tindakan Operasi


Penanganan BSK, biasanya terlebih dahulu diusahakan untuk mengeluarkan batu secara spontan tanpa
pembedahan/operasi. Tindakan bedah dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk penanganan
lainnya. Ada beberapa jenis tindakan pembedahan, nama dari tindakan pembedahan tersebut tergantung
dari lokasi dimana batu berada, yaitu :
a. Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di dalam ginjal
b.Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di ureter
c.Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang berada di vesica urinearia
d.Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang berada di uretra

Komplikasi
Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada
ginjal, pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat
menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang
akan menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia. Selain itu stagnansi
batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis
Syndroma Nefrotik
Definisi
Sindrom nefrotik ditandai oleh adanya proteinuria masif (>3.5 g/ 24 jam atau 40 mg/ m2/ jam atau
dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (<2.5 g/dL ), edema, dan hiperlipidemia / hiperkolesterolemia. Secara
umum etiologi SN dibagi menjadi primer dan sekunder.

Klasifikasi
1. Sindrom nefrotik primer atau dikenal juga dengan sebutan sindrom nefrotik idiopati
terjadi berkaitan dengan adanya penyakit glomerulopati yang menjadi penyebab intrinsik
pada ginjal dan tidak berkaitan dengan penyakit sistemik.

2. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder berkaitan dengan adanya penyebab ekstrinsik


pada ginjal autoimun (Henoch- Schonlein Purpura (HSP), Systemic Lupus
Erythematosus(SLE),dan sebagainya), penyakit infeksi, keganasan, paparan lingkungan
dan obat-obatan, dan penyakit sistemik (diabetes mellitus).

3. Sindroma Nefrotik Kongenital


Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi
maternofetal. Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala edema
pada masa neonates.

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah 11 :

a. Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)

b. Denys-Drash syndrome (WT1)

c. Frasier syndrome (WT1)

d. Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)

e. Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)

f. Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)

Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik 5:

1) Remisi (masa perbaikan)

Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari

berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.

2) Relaps

Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m 2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada


urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut

relaps.

3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh

(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.

4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh

(2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi.

5) Sindrom nefrotik relaps jarang

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons

awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.

6) Sindrom nefrotik relaps sering

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons

awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.

7) Sindrom nefrotik dependen steroid

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison

diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-

turut.

Klasifikasi Klinis

Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai

penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan

prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. 5 Berdasarkan hal tersebut, saat ini

klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :

1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)


2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Ilmu Kesehatan Anak Sindroma Nefrotik


2Epidemiologi
Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasusper 100.000 anak.
Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000.
3
Sindromnefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakansindrom
nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000anak. Prevalensi di
indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antaralaki-laki dan perempuan berkisar 2:1.
dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5tahun.

Patofisiologi:
2.4 Gejala Sindrom Nefrotik

2.4.1 Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier)
dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN mekanisme barrier tersebut akan
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
membran basal glomerulus.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar
melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin
sedangkan non-selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.

Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi dari foot processus sel epitel viseral glomerulus
dan terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya preparat heparan sulfat
proteoglikan pada glomerulonefritis lesi minimal menyebabkan muatan negatif membran basal
glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urine.

Pada glomerulosklerosis fokal segmental peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus


disebabkan suatu faktor yang ikut dalam sirkulas. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral
glomerulus terlepas dari membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada
glomerulonefritis membranosa kerusakan membran basal glomerulus terjadi akibat endapa komplek imun
di sub-epitel. Kompleks C5b-9 yang terbentuk pada glomerulonefritis membranosa akan meningkatkan
permeabilitas membran glomerulus, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
2.4.2 Hipolbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein
melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha m
eningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati akan tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
2.4.3 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma sehingga terjadi hipovolemia dan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan natrium. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume inravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut
ditemukan pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus , dan keterkaitan dengan penyakit jantung dan hati
akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap
adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita Sindroma nefrotik.
Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik
dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.

Hiperlipidemia
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat. Paling tidak
ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

Manifestasi klinis dan diagnosis

Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak
mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena
adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan
pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites.
Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan
asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.
Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat
berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat
siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut:
 Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan
dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein
urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.2
 Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit. 2
 Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed collection
dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan
harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis.2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g. 2,8
 Albumin serum
- kualitatif : ++ sampai ++++
- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
 Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
 USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik. 2
 Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid,
dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang
tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi
penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting
untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena
minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid. 2
 Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
Penatalaksanaan

1. Terapeutik
Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid,
levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan
kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.

ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap kotikosteroid mempunyai
kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25% pasien yang tidak respon. Pada
pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 %
merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6%
yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology
Study Group melaporkan sekitar 63% pasien dengan diffuse membranous hypercellularity, dan
30% pasien dengan focal glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid. 1

Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m 2/24jam (maksimum dosis
60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon
dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari
berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan
pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten
steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang
tepat.

Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis
prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis
tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat
dihentikan secara mendadak.

Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai
berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini
menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang
berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah
perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut
tergantung steroid.

Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka
cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain.

- Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal,


selama total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap diteruskan selama
pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor
setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm 3.
komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic cystitis,
keganasan, mutasi dan infertilitas.
- Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah
sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama
4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia
dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan.
- Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi
relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada
anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat induksi
siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat menyebabkan hisurtism,
hipertensi dan hipertropi ginggiva.
2. Pengobatan supotif
Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap
pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting
bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu
mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan.
- terapi dietetik 1,2
 masukan garam dibatasi ± 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan
natrium yang positif
 diet tinggi kalori, protein dibatasi ± 2 gram/kgBB/hari.
 Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan
hiperlipidemia.
- Pengobatan terhadap edema.
Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium (spirinolakton,
triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam etekrinat atau
bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering dipakai karena
toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.

- Proteinuria dan hipoalbuminemia


 ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama
pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai dengan dosis
rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal.

 Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%, efek ini
disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, nenurunnya
tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi.
Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang
sering dipakai.

 n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi proteinuria
sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.

- Hiperlipidemia
Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin
merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik.

- Hiperkoagulabilitas
Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko tromboemboli
seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat pemberian
kortikosteroid iv dosis tinggi.

Prognosis

Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis
untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi
kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus
sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2
kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya
30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon
terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien,
dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra
renal.

Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis,
yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid
dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan
30-40% dalam sepuluh tahun.

Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari
proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi
proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien
dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi
steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara
pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan
menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1

VIII. PENATALAKSANAAN

Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau
imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik
untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan
proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit. 2,5

Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon
terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial
dan pengobatan relaps.2,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa
adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8minggu diikuti 1 mg/kg berat
badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi
bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan.2,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan
resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl,
kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5
g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.5
Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN non-
relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah
mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami
relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam periode 12 bulan setelah
pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam
periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik
dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu
14 hari setelah pengobatan dihentikan. 5,7
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka
panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan
dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5
mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan,
kemudian dicoba untuk dihentikan.5,7
Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil,
Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya digunakan
untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid. 5

Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta
proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat
sampai berat.Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik. 1,4
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai
dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala
tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per
hari.Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu
lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat
diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian
furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran
cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang mendapat infus
albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung. 1,2,5,7
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang adekuat.
Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang seringkali
mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 – 2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari
lemak.Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin.Restriksi
garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang nyata. 1,2,5,7
Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis.Hal
ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel T, dan
kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya
infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya disebabkan
oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman Gram negatif.Peritonitis
primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga perlu
diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan edema anasarka dan
asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari
sampai asites berkurang.1,2,5,7

Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat
efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim angiotensin
konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers. 1,2,5,7
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol,
terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah
hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma.
Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan
fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan. 1,2,5,7
Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas.
Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga
oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya
tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau
kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat
dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah
terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara
intravena.1,2,5,7
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak.
Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu
meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat
proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma
sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di
samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat
sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan
kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid
seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih
diperdebatkan.1,2,5,7

Komplikasi

1. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan kerentanan
terhadap infeksi disebabkan oleh5:

- penurunan kadar imunoglobulin


kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana pada
suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM meningkat.
Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang diperantarai sel T
pada sintesis IgG dan IgM
- cairan edema yang berperan sebagai media biakan. 2
- defisiensi protein,
- penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
- imunosupresif karena pengobatan,
- penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,
- kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng oponisasi
bakteria tertentu.
Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu seperti 1 :

- Streptococcus pneumoniae,
- Haemophilus influenzae,
- Escherichia coli,
- Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya. Jenis
infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK. Terapi
profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk mencegah
terjadinya peritonitis. 5

2. Kelainan koagulasi dan trombosis


Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan glomerulopati
membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal jarang menimbulkan
komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII,
VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan
sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar
plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein
S meningkat dalam plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat
timbul dari dua mekanisme yang berbeda 2:

- peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:


 meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti
trombin III, protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin
 hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan fibrinolisis.
- Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan
oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
3. Pertumbuhan abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal
ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat
komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran gastrointestinal. 1,2

Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat
menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis
melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan
produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid
mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer ,
melalui efeknya terhadap somatomedin.

4. Perubahan hormon dan mineral


Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat
hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa
pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin
serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap
normal dan menetap.2

5. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemianya
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi.
Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran.
Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein
ini dalam urin dalam jumlah besar.

IX. PROGNOSIS
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada penyebabnya.
Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid. 2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria, 10 %
lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps, menjadi
dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan
glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun. 2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps yang sama
dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko
rendah untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN
nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40%
pada glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid
jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus. 2,4
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik. Prognosis
dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari
SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi
infeksi dari pemberian imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis
yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang
mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai
prognosis yang paling buruk.2,8
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.Pada nefropati
diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik
terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi
nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa pasienakan
membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada amiloidosis
sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini
berhubungan dengan SN.2
GAGAL GINJAL KRONIK
2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis denga etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsu ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.
Uremia (sindroma uremik) adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. 3
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.
Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru Gagal Ginjal per tahunnya.
Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun.

2.3 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik3

a. Kerusakan ginjal (renal demage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau

fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

- Kelainan patologis

- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan

dalam tes pencitraan (imaging tests)

b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2, selama 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60

ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik3

Klasifikasi ini didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (Stage) penyakit (tabel 1) dan atas

dasar diagnosis etiologi (tabel 2). Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung

dengan mempergunakan Rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

- Untuk Laki-laki:
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 – umur ) x BB
72x Kreatinin plasma(mg/dl)

- Untuk Perempuan:
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = ( 140 – umur ) x BB X 0,85
72x Kreatinin plasma(mg/dl)

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit


Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73 m2)
1. Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89
3. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59
4. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29
5. Gagal ginjal < 15 atau
dialisis

2.5 Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel
yang berasal dari berbagai penyebab. Angka perkembangan penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi.
Perjalanan ESRD (End State Renal Diseases) hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan
hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas
seperti yang tercantum pada tabel 3.4

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi Penyakit Penyakit
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Glomerulonefritis
2. Penyakit peradangan Nefrosklerosis benigna
3. Penyakit vaskular hipertensif Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteria renalis
Lupus Eritematosus Sistemik
4. Gangguan jaringan ikat Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Penyakit ginjal polikistik
5. Gangguan kongenital dan herediter Asidosis tubulus ginjal
Diabetes melitus
6. Penyakit metabolik Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis
Penyalahgunaan analgesik
7. Nefropati toksik Nefropati timah
Traktus urinarius bagian atas: batu,
8. Nefropati obstruktif neoplasma, fibrosis retroperitoneal.
Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi
prostat, striktur uretra, anomali kongenital
leher vesika urinaria dan uretra.

2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β(TFG-β). Beberapa hal yan juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabiltas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal ( renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, saluran pernafasan, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah lebih
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tranplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 3
2.7 Manifestasi Klinik
Gagal ginjal kronik disertai sekelompok tanda dan gejala dengan atau tanpa penurunan curah urin,
tetapi selalu disertai dengan konsentrasi nitrogen urea dan kreatinin serum yang meningkat. Riwayat
penyakit sering sangat membantu, terutama jika terdapat fungsi ginjal yang normal sebelum timbulnya
kerugian yang terjadi secara mendadak.
Adapun manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronik :
1. Gangguan cairan dan elektrolit
Sementara massa nefron dan fungsi ginjal berkurang, ginjal menjadi tidak mampu mengatur cairan,
elektrolit dan sekresi hormon, sehingga dapat terjadi hipernatremia dan hiponatremia, hiperkalemia dan
hipokalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. 5
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan yang amat memberatkan pada seseorang yang mengalami penyakit
ginjal kronik. Hipertensi mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, selain
juga progresivitas penurunan fungsi ginjal yang terus berlangsung. 6
Sering ditemukan dan dapat diakibatkan oleh meningkatnya produksi renin dan angiotensin, atau
akibat kelebihan volume yang disebabkan oleh retensi garam dan air. Keadaan ini dapat mencetuskan
gagal jantung dan mempercepat kemerosotan GFR bila tidak dikendalikan dengan baik.
3. Kelainan Kardiopulmoner
Gagal jantung kongestif dan edema paru-paru terjadi akibat kelebihan volume. Aritmia janung dapat
terjadi akibat hiperkalemia. Perikarditis uremia mungkin terjadi pada penderita uremia dan juga dapat
muncul pada pasien yang sudah mendapat dialisis.
4. Anemia
Anemia terutama terjadi akibat menurunnya sintesis eritropoietin pada ginjal. Sediaan apus darah
tepi mengungkapan anemia normokromik, normositik. Selain itu waktu hidup eritrosit memendek pada
penderita gagal ginjal.
5. Kelainan Hematologi
Selain anemia, pasien pada gagal ginjal memiliki waktu perdarahan yang lebih lama dan
kecenderungan untuk berdarah, meskipun waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan
hitung trombosit normal. Mukosa gastrointestinal adalah tempat yang paling lazim untuk
perdarahan uremia.
6. Efek gastrointestinal
Anoreksia, mual, dan muntah terjadi pada uremia. Perdarahan gastrointestinal sering ditemukan dan
dapat diakibatkan oleh gastritis erosif dan angiodisplasia. Kadar amilase serum dapat meningkat sampai
tiga kali kadar normal karena menurunnya bersihan ginjal.
7. Osteodistrofi ginjal
Hiperparatiroidisme menyebabkan osteitis fibrosa kistika dengan pola radiologik yang klasik berupa
resorpsi tulang subperiosteal (yang paling mudah dilihat pada falangs distal dan falangs pertengahan jari
kedua dan ketiga), osteomalasia dan kadang-kadang osteoporosis.
8. Efek neuromuskular
Neuropati uremia terutama melibatkan tungkai bawah dan dapat menyebabkan gejala “restless leg”,
mati rasa, kejang dan foot drop bila berat. Penurunan status jiwa, hiperefleksia, klonus, asteriksis, koma,
dan kejang mungkin terjadi pada uremia yang telah parah.
9. Efek imunologis
Pasien dengan gagal ginjal dapat sering mengalami infeksi bakterial yang berat karena menurunnya
fungsi limfosit dan granulosit akibat beredarnya toksin uremia yang tidak dikenal.
10. Efek Dermatologis
Pruritus sering ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis, selain itu juga dijumpai adanya
pucat, hiperpigmentasi dan ekimosis.
11. Obat
Banyak obat nefrotoksik dapat memperburuk fungsi ginjal dan harus dihindari (NSAID,
aminoglikosida). Dosis obat-obat mungkin terpaksa diatur pada pasien dengan gagal ginjal 7.

2.8 Pendekatan Diagnostik


Gambaran Klinis
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, Infeksi Traktus urinarius, Batu Traktus urinarius,
Hipertensi, Hiperurikemia, SLE, dll.
b. Sindroma uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Gambaran Laboratoris
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar Hb, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemi, hiponatremia, heper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis, meliputi proteinuria, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran Radiologik
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak dapat melewati filter glomerulus,
disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi, dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis
secara non invasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal
kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney),
ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas dan obesitas.3

2.8. Komplikasi
Tabel 4. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik3
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
(ml/mnt)
1 Kerusakan ginjal ≥90 -
dengan LFG normal

Kerusakan ginjal
2 dengan penurunan 60-89 Tekanan darah
LFG ringan mulai ↑
Penurunan LFG
sedang
3 30-59 Hiprfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Penurunan LFG Hipertensi
berat Hiperhomosistinemia

4 15-29 Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Gagal ginjal Cendrung
hiperkalemia
Dislipidemia
5 <15 Gagal jantung
Uremia

2.9. Penatalaksanaan
Menurut buku Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam dari Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RS Dr.Cipto Mangunkusomo edisi 2004, tata laksana dari penyakit ginjal kronik sebagai
berikut :
a). Nonfarmakologis :
- Pengaturan asupan protein :
Pasien non dialisis 0,6-0,7 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien.
Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB/hari
Pasien peritoneal diaisis 1,3 gram/kgBB/hari
- Pengaturan asupan kalori : 35 kal/kgBB ideal/hari
- Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
- Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
- Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
- Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
- Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17 mg/hari
- Kalsium: 1400-1600 mg/hari
- Besi: 10-18 mg/hari
- Magnesium: 200-300 mg/hari
- Asam folat pasien HD: 5 mg
- Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss). Pada CAPD air disesuaikan dengan
jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan BB di antara waktu HD <5% BB kering.
b). Farmakologis:
- Kontrol Tekanan Darah:
 Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian evaluasi kreatinin dan kalium serum,
bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
 Penghambat kalsium
 Diuretik
- Pada pasien DM, kontrol gula darah dan hindari pemakaian Metformin atau obat-obat Sulfonilurea dengan
masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2
adalah 6%.
- Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 gr/dl.
- Kontrol Hiperfosfatemia: Kalsium karbonat atau kalsium asetat
- Kontrol renal osteodistrofi: Kalsitriol.
- Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l.
- Koreksi hiperkalemi
- Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan golongan Statin.
- Tatalaksana ginjal pengganti: Transplantasi ginjal, dialisis 8.
2.11 Prognosis
Prognosis gagal ginjal kronik pada usia lanjut kurang begitu baik jika dibandingkan dengan
prognosis gagal ginjal kronik pada usia muda.10

NEFRITIS LUPUS

A. DEFINISI
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik (SLE). Lupus erimatosus
sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Diagnosis nefritis
lupus ini ditegakkan bila pada lupus erimatosus sistemik (SLE) terdapat tanda-tanda proteuniria
dalam jumlah lebih atau sama dengan 1gram/24jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau
dengan penurunan fungsi ginjal sampai 30%. 10
Nefritis lupus merupakan suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan oleh sistemik lupus
erimatosus, yaitu suatu penyakit autoimun, selain ginjal, SLE juga dapat merusak kulit, sendi, system
saraf dan hampir semua organ dalam tubuh. 12

B. EPIDEMIOLOGI
DiAmerika, prevalensi lupus erimatosus sistemik adalah 1 kasus per 2000 penduduk pada
populasi umum. Karena kesulitan diagnosis dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi,
sebagian besar peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih dekat ke 1 kasus per 500-
1000 populasi. Data prevalensi lupus erimatosus sitemik di indonesia sampai saat ini belum ada,
jumlah penderita lupus erimatosus di indonesia menurut yayasan lupus indonesia sampai dengan
tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang. 8 Keterlibatan ginjal lupus erimatosus sistemik
merupakan manifestasi penyakit yang umum di jumpai dan merupakan prediktor kuat luaran yang
buruk. Prevalensi penyakit ginjal pada studi kohort besar yang terdiri atas 2649 pasien lupus
erimatosus sitemik bervariasi antara 31-65%. Di dapatkan insidensi penyakit ginjal akut sebesar
10%, bedasarkan data dari Asia, keterlibatan renal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan. 13
Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien Sle berkisar antara 30-90% pada
studi-studi yang sudah di pulikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis lupus klinis pada pasien
SLE kemungkinan sekitar 50%. SLE lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit hitam dan ras
Asia dibandingkan denganras lain, karena prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita (rasio
wanita:pria=9:1) nefritis lupus juga sering dijumpai pada wanita. Kebanyakan pasien dengan lupus
erimatosus sistemik (SLE) terkena nefritis lupus pada awal perjalanan penyakitnya. Lupus
erimatosus sistemik lebih sering terjadi pada wanita di dekade tiga kehidupannya, dan nefritis lupus
juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun. Anak dengan SLE memiliki risiko penyakit ginjal
lebih tinggi daripada dewasa dan lebihsering mengalami cedera akibat penyakit agresif dan
toksisitas akibat pengobatan.

C. ETIOLOGI
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan komplemen terbentuk di ginjal
yang menyebabkan terjadinya peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya
sindrom nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk
nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah, lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang berbagai
struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis intertitial dan glomerulonefritis membranosa. 18
D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis timbulnya lupus erimatosus sitemik (SLE) diawali oleh, estrogen memegang peranan
kunci sebagai penyebab SLE. Faktor lain yang berpengaruh pada kejadian SLE adalah genetik,
lingkungan, kontrasepsi hormonal, sosial dan pola antibodi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
adalah sinar matahari atau ultra violet yang dapat meningkatkan, eksaserbasi SLE. interaksi faktor-
faktor tersebut ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang
menimbulkan peningkatan sel T dan sel B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibody (DNA-anti-
DNA), sebagian auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom
(DNA-histon)kromatin, C1q, laminin Ro(SS-A), ubiquitin dan ribosom, yang kemudian akan membuat
deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Pada sebagian kecil nefritis lupus tidak
ditemukan deposit kompleks imun dengan sediaan imunofluoresens atau mikriskop electron,
sehingga disebut sebagai pauci-immune necrotizing glomerulonefritis. 4
Lupus nefritis terkait dengan produksi autoantibodi nefritogenik dengan ciri-ciri sebagai berikut
18

1. Yang dianggap antigen secara spesifik adalah nukleosom atau dsDNA : beberapa antibodi dsDNA
bereaksi silang dengan membran basal glomerulus.
2. Autoantibodi yang berafinitas tinggi dapat membentuk kompleks imun intravaskular, yang
menumpuk dalam glomerulus.
3. Autoantibodi kationik memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan membran basal glomerulus yang
bersifat anionik.
4. Autoantibodi isotop tertentu (IgG1 dan IgG3 ) dapat mengaktivasi komplemen.

Kompleks imun terbentuk intravaskular dan kemudian diendapkan dalam glomeruli. Selain itu,
autoantibodi dapat berikatan langsung dengan protein pada membran basal glomerulus (yang
kemungkinan adalah α-aktinin) dan membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun
mencetuskan respons inflamasi dengan mengaktivasi komplemen dan menarik sel-sel radang,
termasuk limfosit, makrofag dan netrofil. Tipe histologis dari nefritis lupus yang terjadi tergantung
dari berbagai faktor, termasuk spesifisitas antigen dan sifat lain autoantibodi serta tipe respons
inflamasi yang ditentukan oleh faktor-faktor host lainnya. Pada bentuk yang berat dari nefritis lupus,
proliferasi sel endotel, mesangial dan epitel serta produksi matriks protein dapat berakhir pada
fibrosis.16 11
Nefritis lupus yang signifikan secara klinis biasanya terkait dengan penurunan klirens kreatinin
30%, proteinuria >1000 mg/hari dan temuan biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis lupus aktif.
Antibodi anti-nukleosom muncul dini pada perjalanan respons autoimun pada LES, mereka memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk diagnosis LES serta titernya berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Antibodi anti-C1q berkaitan erat dengan nefritis lupus, titer tinggi berkorelasi dengan
penyakit ginjal aktif. Abnormal urinalysis findings (albuminuria, leucocyturia, haematuria, granular
casts, hyaline casts, red blood cell casts, fatty casts, oval fat bodies)
Abnormal urinary sediment findings (leucocyturia, haematuria, granular casts, hyaline casts) . 15

E. MANIFESTASI
Gejala nefritis aktif termasuk edema perifer sekunder terhadap hipertensi atau
hipoalbuminemia. Edema perifer ekstrim lebih sering pada pasien dengan nefritis lupus difus
proliferatif atau membranosa, karena kedua lesi renal ini terkait dengan proteinuria berat. Gejala
lain yang terkait langsung dengan hipertensi akibat nefritis lupus proliferatif difus termasuk sakit
kepala, pusing, gangguan visual dan tanda-tanda gagal jantung. 6
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan ginjalnya sendiri
dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat, system hematologi,
persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri didapatkan pada semua pasien ,
sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular
pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien,
dan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan dapat
berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang
dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain
ras kulit hitam, hematokrit 2.4 mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl.

Klasifikasi lupus menurut International Society of Nephrology/ Renal Pathology Society (ISN/RPS)
2003 :
Class I : Minimal mesangeal lupus nephritis
Class II : Mesangeal proliferative lupus nephritis
Class III : Focal lupus nephritis
Class IV : Diffuse segmental (IV-S) or global (IV-G) lupus nephritis
Class V : Membranous lupus nephritis
Class VI : Advance sclerosing lupus nephritis

F. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan edem, hipertensi.
Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan overload cairan . 9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan: 9

- Tes ANA tes ini sangat sensitif untuk SLE, tetapi tidak spesifik. ANA juga dapat ditemukan
pada pasien atritis rematoid, skleroderma, sindroma syogren, poli miositis dan infeksi HIV.
Titer ANA tidak mempunyai kolerasi yang baik dengan berat kelainan ginjal.
- Tes anti ds DNA ( anti double stranded DNA) lebih spesifik tetapi kurang sensitif. Tes ini
untuk kira-kira 75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik
Radiomunoassay Farr atau teknik ELISA. Anti ds DNA mempunyai kolerasi yang baik dengan
adanya kelainan ginjal.
- Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperti anti Sm dan anti-nRNP.
- Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada nefritis lupus tipe
proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus
bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
- Basal urea nitrogen dan kreatinin
- Urinalisis
- Urine immunoglobulin rantai pendek
- Biopsi ginjal
o Biopsi ginjal membantu menentukan tipe nefritis dan berguna untuk terapi lebih
tepat tetapi beberapa ahli tidak merekomendasikan biopsi ginjal sebagai tindakan
rutin pada setiap nefritis, karena merupakan tindakna invasif ( Bertias dkk, 2000).
o Indikasi biopsi ginjal menurut beberapa ahli adalah perburukan protein uria respon
pengobatan minimal, nefritis kambuh, dan gagal ginjal akut. 17
o Indikasi biopsi ginjal menurut ahli yang lain. 3
 Hematuria dan silinder uria positif atau hematuria dan protein uria > 0,5 gr
sehari
 Hematuria dengan protein uria < 0,5 gr sehari tetapi kadar C3 rendah atau
dan ds DNA positif
 Protein uria > 1gr sehari terutama di tambah kadar komplemen C3 rendah
dan ds DNA positif

G. DIAGNOSIS
Diagnosis lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria klinis dan laboratorium. Kriteria
yang dikembangkan oleh American College of. Rheumatology (ACR). Pada diagnosis klinis NL
ditegakan bila pada pasien SLE (minimal terdapat 4 dari kriteria ARA) didapatkan protein urea ≥
1gr/24 jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit/LPB) dengan atau penurunan fungsi ginjal sampai
30% sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakan dengan biopsi ginjal. Protein uria umumnya
di peruksa dengan cara mengukur jumlah secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24
jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang banyak mulai dilakukan ialah mengukur rasio protein
dengan kreatinin pada sample urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000mg/24jam /1,75m 2;
rasio protein keatinin normal ,0,2). Pemeriksaan ini lebih mudah dikerjakan terutama diperiksa
menilai perubahan jumlah protein setelah dilakukan pengobatan.

Kriteria ARA

1. Ruam Malar
2. Ruam Diskoid
3. Foto sensitif
4. Ulkus di mulut
5. Artritis/artralgia
6. Serositis
a. Efusi perikardial
b. Efusi paru
7. Kelainan ginjal

a. Proteinuria (>0.5 gr//24 jam)

b. Cellular cast

8. Kelainan neurologis

9. Kelainan darah

a. Anemia hemolitik

b. Leukopenia (< 4000)

c. Limfopenia (<1500)

d. Trombositopenia (<100.000)

10. Sero-imunologi

a. Anti ds DNA

b. Anti Sm

c. Sel LE

d. VDRL

11. ANA

Pada suatu studi yang menggunakan pasien berpenyakit jaringan ikat sebagai grup kontrol,
kriteria diagnostik ACR untuk LES ditemukan memiliki sensitivitas96% dan spesifisitas 96%. Studi lain
melaporkan sensitivitas mulai 70-96 persen dan spesifisitas mulai 89-100 persen. Bagaimanapun
kriteria ACR mungkin kurang akurat pada pasien dengan manifestasi ringan LES. 12 Peningkatan titer
antibodi antinuklear (ANA) menjadi 1:40 atau lebih tinggi adalah yang paling sensitif dari kriteria
ACR. Lebih dari 99 persen pasien dengan LES memiliki peningkatan ANA titer pada titik tertentu,
walaupun sejumlah besar pasien mungkin titernya negatif pada fase awal penyakit. Bagaimanapun
tes ANA tidak spesifik untuk LES. Penyakit lain yang sering terkait dengan uji ANA positif termasuk
sindrom Sjögren (68% dari pasien), skleroderma (40-75% pasien), artritis rematoid (25-50%) dan
artritis rematoid juvenil (16%). Uji ANA juga bisa positif pada pasien dengan fibromialgia. Pada
pasien dengan penyakit selain LES, titer ANA umumnya lebih rendah dan pola imunofluoresensinya
berbeda. ACR merekomendasikan uji ANA pada pasien yang mengalami dua atau lebih gejala dan
tanda. Apabila titer ANA normal pada kasus keterlibatan sistem organ yang nyata dengan kecurigaan
lupus eritematosus sistemik maka harus dilakukan penelusuran diagnosis alternative. Bila
tidakditemukan sebab lain, dapat dipertimbangkan diagnosis LES ANA-negatif dan konsultasi ke ahli
reumatologi. Bila pasien dengan titer ANA normal mengalami gejala klinis baru yang sesuai dengan
LES maka ujui ANA harus diulangi .2

H. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk pasien yang baru
terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal segera, (2) untuk mencegah renal flare,
(3) untuk menghindari gangguan ginjal kronik, (4) untuk mencapai tujuan-tujuan di atas dengan
toksisitas minimal. Akhirnya, toksisitas terkait pengobatan masih merupakan kekuatiran utama,
seperti efek samping metabolik dan tulang pada kortikosteroid dosis tinggi, infeksi tulang atau gagal
ovarium prematur pada wanita yang menerima siklofosfamid dosis tinggi. 16

Prinsip pengobatan nefritis lupus:

1. Terapi kortikosteroid harus diberikan bila pasian mengalami penyakit ginjal yang signifikan
secara klinis. Gunakan agen imunosupresif terutama siklofosfamid, azathioprine, atau
mycophenolate mofetil bila pasien mengalami lesi proliferatif agresif. Agen-agen ini juga bisa
digunakan bila pasien tidak respon atau terlalu sensitif terhadap kortikosteroid.
2. Obati hipertensi secara agresif, pertimbangkan pemberian ACE inhibitor atau ARB bila pasien
mengalami proteinuria signifikan tanpa insufisiensi renal signifikan.
3. Restriksi asupan lemak atau gunakan terapi lipid-lowering seperti statin untuk hiperlipidemia
sekunder terhadap sindrom nefrotik. Restriksi asupan protein bila fungsi ginjal sangat
terganggu. Berikan suplementasi kalsium untuk mencegah osteoporosis bila pasien dalam
terapi steroid jangka panjang dan pertimbangkan penambahan bifosfonat.
4. Hindari obat-obatan yang mempengaruhi fungsi ginjal, termasuk OAINS terutama pada
pasien dengan level kreatinin yang meningkat. Salisilat non asetilasi dapat digunakan untuk
mengobati gejala inflamasi pada pasien dengan penyakit ginjal.
5. Pasien dengan nefritis lupus aktif harus menghindari kehamilan, karena dapat memperburuk
penyakit ginjalnya.
6. Pasien dengan ESRD, sklerosis dan indeks kronisitas tinggi berdasarkan biopsi ginjal biasanya
tidak berespon terhadap terapi agresif. Pada kasus-kasus ini fokuskan terapi pada manifestasi
ekstrarenal dari LES dan kemungkinan transplantasi ginjal
7. Terapi untuk tipe spesifik nefritis lupus berdasarkan patologi renal :
- Kelas I : Nefritis lupus minimal mesangial tidak memerlukan terapi spesifik
- Kelas II : Nefritis lupus mesangial proliferatif mungkin memerlukan pengobatan bila
proteinuria lebih dari 1000 mg/hari. Pertimbangkan prednison dosis rendah sampai
moderat (mis. 20-40 mg/hari selama 1-3 bulan diikuti tapering.
- Kelas III dan IV : Pasien dengan nefritis fokal atau difus berisiko tinggi menjadi ESRD dan
memerlukan terapi agresif.
 Berikan prednison 1 mg/kg/hari selama paling sedikit 4 minggu tergantung
respons klinis. Kemudian dilakukan tapering sampai dosis rumatan 5-10 mg/hari
selama kurang lebih 2 tahun. Pada pasien sakit akut, metilprednisolon intravena
dengan dosis hingga 1 gram/hari selama 3 hari dapat digunakan untuk inisiasi
terapi kortikosteroid.
 Berikan siklofosfamid intravena secara bulanan selama 6 bulan dan setelahnya
tiap 2-3 bulan tergantung respons klinis. Durasi terapi yang umum adalah 2-2,5
tahun. Turunkan dosis bila klirens kreatinin <30 mL/menit. Sesuaikan dosis
tergantung respon hematologis. Leuprolide asetat, suatu analog gonadotropin-
releasing hormone, dapat melindungi terhadap gagal ovarium.
 Azathioprine dapat juga digunakan sebagai agen lini kedua, dengan penyesuaian
dosis tergantung respon hematologis.
 Mycophenolate mofetil berguna pada pasien dengan nefritis lupus fokal atau
difus dan telah terbukti setidaknya sama efektif dengan siklofosfamid intravena
dengan toksisitas lebih rendah pada pasien dengan fungsi ginjal yang stabil.
- Kelas V : Pasien dengan nefritis lupus membranosa umumnya diterapi dengan prednison
selama 1-3 bulan, diikuti tapering selama 1-2 tahun bila respon baik. Bila tidak ada
respon, obat dihentikan. Agen imunosupresif umumnya tidak digunakan kecuali fungsi
ginjal memburuk atau komponen proliferatif ditemukan pada sampel biopsi renal.
Beberapa bukti klinis mengindikasikan bahwa azathioprine, siklofosfamid, siklosporin,
dan klorambusil efektif dalam mengurangi proteinuria. Mycophenolate mofetil juga
mungkin efektif.
Pasien dengan ESRD memerlukan dialisis dan merupakan kandidat yang baik untuk transplantasi
ginjal.

Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa berupa kortikosteroid dan
agen imunosupresif . Dialisis dapat dilakukan untuk mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi
ginjal juga direkomendasikan (pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan transplantasi
ginjal). Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi IV, dan masa paparan terhadap Siklofosfamid IV
dan Metilprednisolon dalam pengobatan Nefritis Lupus dan Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam
penelitian observasional selama 7 tahun.1

Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah fokus pada strategi terapi yang bertujuan
untuk mengurang progresifitas penyakit ginjal, menghambat perkembangan penyakit vaskuler,
menghambat kambuhnya penyakit dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL
bertujuan untuk terjadinya induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula
maintenance pengobatan jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent sering disertai dengan
terjadinya efek samping dan morbiditas. Rata-rata kejadian relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun. 5

I. PROGNOSIS
Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna
sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus kelas III dan
IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus kelas III yang
keterlibatan glomerolus 50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus
kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan
nefropati membranosa primer, sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat. 19

Prognosis bergantung kepada bentuk dari nefritis lupus. Pasien dapat sembuh sementara dan
kemudian timbul kembali gejala akut dari lupus. Beberapa kasus berkembang menjadi gagal ginjal
kronik.14

Gagal ginjal akut

a. Definisi

Gagal ginjal atau acute kidney injury (AKI) yang dulu disebut injury acute renal failure (ARF)
dapat diartikan sebagai penurunan cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini
biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi
BUN (blood Urea Nitrogen). Setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal,
sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin(1).

Angka kematian di AS akibat gagal ginjal akut berkisar antara 20-90%. Kematian di dalam RS 40-50% dan
di ICU sebesar 70-89%. Kenaikan 0,3 mg/dL kreatinin serum merupakan prognostik penting yang
signifikan. Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin dan
trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan nilai BUN juga dapat terjadi tanpa
disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan
steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang hati-hati dalam menentukan
apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak(1)

.2 Etiologi dan Klasifikasi Gagal Ginjal

Penyebab gagal ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pre-renal (gagal

ginjal sirkulatorik), renal (gagal ginjal intrinsik), dan post-renal (uropati obstruksi akut). Penyebab pre-

renal adalah hipoperfusi ginjal, ini disebabkan oleh (1,7,8):

1. Hipovolemia, penyebab hipovolemi misalnya pada perdarahan, luka bakar, diare, asupan kurang,

pemakaian diuretic yang berlebihan. Kurang lebih sekitar 3% neonatus masuk di ICU akibat

gagal ginjal prerenal.

2. Penurunan curah jantung pada gagal jantung kongestif, infark miokardium, tamponade jantung,

dan emboli paru.

3. Vasodilatasi perifer terjadi pada syok septic, anafilaksis dan cedera, dan pemberian obat

antihipertensi.

4. Gangguan pada pembuluh darah ginjal, terjadi pada proses pembedahan, penggunaan obat

anestesi, obat penghambat prostaglandin, sindrom hepato-renal, obstruksi pembuluh darah ginjal,

disebabkan karena adanya stenosis arteri ginjal,embolisme, trombosis, dan vaskulitis.

5. Pada wanita hamil disebabkan oleh sindrom HELLP, perlengketan plasenta dan perdarahan

psotpartum yang biasanya terjadi pada trimester 3.

Penyebab gagal ginjal pada renal (gagal ginjal intrinsik) dibagi antara lain (1):

1. Kelainan pembuluh darah ginjal, terjadi pada hipertensi maligna, emboli kolesterol, vaskulitis,

purpura, trombositopenia trombotik, sindrom uremia hemolitik, krisis ginjal, scleroderma, dan

toksemia kehamilan.

2. Penyakit pada glomerolus, terjadi pada pascainfeksi akut, glomerulonefritis, proliferatif difus dan

progresif, lupus eritematosus sistemik, endokarditis infektif, sindrom Goodpasture, dan vaskulitis.

3. Nekrosis tubulus akut akibat iskemia, zat nefrotksik (aminoglikosida, sefalosporin, siklosporin,

amfoterisin B, aziklovir, pentamidin, obat kemoterapi, zat warna kontras radiografik, logam berat,
hidrokarbon, anaestetik), rabdomiolisis dengan mioglobulinuria, hemolisis dengan

hemoglobulinuria, hiperkalsemia, protein mieloma, nefropati rantai ringan,

4. Penyakit interstisial pada nefritis interstisial alergi (antibiotika, diuretic, allopurinol, rifampin,

fenitoin, simetidin, NSAID), infeksi (stafilokokus, bakteri gram negatif, leptospirosis, bruselosis,

virus, jamur, basil tahan asam) dan penyakit infiltratif (leukemia, limfoma, sarkoidosis).

Penyebab gagal ginjal post-renal dibagi menjadi dua yaitu terjadinya :

1. sumbatan ureter yang terjadi pada fibrosis atau tumor retroperitoneal, striktura bilateral

pascaoperasi atau radiasi, batu ureter bilateral, nekrosis papiler lateral, dan bola jamur bilateral.

2. Sumbatan uretra, hipertrofi prostate benigna, kanker prostat, striktura ureter, kanker kandung

kemih, kanker serviks, dan kandung kemih “neurogenik”.

Tabel 1. Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group

Kriteria laju filtrasi glomerulus Kriteria jumlah urine


Risk Peningkatan serum kreatinin 1,5 kali < 0,5 ml/kg/jam selama 6 jam
Injury Peningkatan serum kreatinin 2 kali
Failure Peningkatan serum kreatinin 3 kali atau < 0,5 ml/kg/jam selama 12
kreatinin 355 μmol/l jam
Loss Gagal ginjal akut persisten, kerusakan total < 0,5 ml/kg/jam selama 24
fungsi ginjal selama lebih dari 4 minggu jam
ESRD Gagal ginjal terminal lebih dari 3 bulan atau anuria selama 12 jam

II.3 Patofisiolgi

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman

yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus

distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul(1).

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan yang diatur

oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini

adalah (9):

 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen


 Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi autoregulasi.

Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi

akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang

selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan

vasopressin dan endothelin-I (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan

darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan

mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol

afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi

arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET-1(9,10).

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung dalam

jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent

mengalami vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air.

Keadaan ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan struktural

dari ginjal(9).

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intrarenal menjadi normal

kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama

pada pasien – pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat

terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan

diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan

– keadaan yang merupakan resiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit

renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah penelitian terhadap tikus

yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis(9,11).

Pada gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut.

Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular Pada kelainan vaskuler terjadi (1,9):
1) peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang menyebabkan sensitifitas terhadap

substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.

2) terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal, yang

mngakibatkan peningkatan A-II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide

yang bearasal dari endotelial NO-sintase.

3) peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan interleukin-18, yang selanjutnya akan

meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga

peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan

radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi

intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.

Gambar 1. Patofisiologi gagal ginjal akut di renal.


Pada kelainan tubular terjadi (1,12):

1) Peningkatan Ca2+, yang menyebabkan peningkatan calpain sitosolik phospholipase A2 serta kerusakan

actin, yang akan menyebabkan kerusakan sitoskeleton. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan

basolateral Na+/K+-ATP ase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi natrium di tubulus
proximalis serta terjadi pelepasan NaCl ke maculadensa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan

tubuloglomeruler.

2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO syntase, caspases dan metalloproteinase serta

defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.

3) obstruksi tubulus, mikrofili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk

substrat yang menyumbat tubulus, dalam hal ini pada thick assending limb diproduksi Tamm-Horsfall

protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah

menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya natrium yang konsentrasinya

meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel epitel tubulus yang terlepas baik sel yang

sehat, nekrotik maupun yang apoptopik, mikrofili dan matriks ekstraseluler seperti fibronektin akan

membentuk silinder-silinder yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal.

4) kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali dari cairan intratubuler masuk ke dalam

sirkulasi peritubuler. Keseluruhan proses tersebut di atas secara bersama-sama yang akan menyebabkan

penurunan GFR.

Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal

disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal

(urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi

pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik ( keganasan pada

pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan

prostate) dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli

dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi(12).

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan

peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2,

setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2

dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ke-3 atau fase

kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal
dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu

tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktorfaktor

pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial ginjal(12,13).

Gambar 2. Batu pada ginjal


II.4 Gejala Klinis

Gejala klinis yang sering timbul pada gagal ginjal akut adalah jumlah volume urine berkurang

dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari, anuri bila produksi urin < 50 ml/hari, jumlah

urine > 1000 ml/hari tetapi kemampuan konsentrasi terganggu, dalam keadaan ini disebut high output

renal failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana BUN di atas 40 mmol/l, edema paru terjadi

pada penderita yang mendapat terapi cairan, asidosis metabolik dengan manifestasi takipnea dan gejala

klinik lain tergantung dari faktor penyebabnya(1,14).

II. 5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan untuk dapat membedakan GGA pre-renal, renal, dan post-renal. Diawali

dengan menanyakan riwayat penyakit untuk mengetahui saat mulainya GGA serta faktor-faktor pencetus

yang terjadi, tanyakan pula riwayat penyakit dahulu. Pemeriksaan fisik yang harus diperhatikan adalah

status volume pasien, pemeriksaan kardiovaskuler, pelvis, dan rectum, dan pemasangan kateter untuk
memonitor jumlah urine yang keluar selama pemberian terapi cairan. Pemeriksaan laboratorium harus

mencakup elektrolit serum, BUN, kreatinin serum, kalsium, fosfor, dan asam urat(1).

Pemeriksaan penunjang lain yang penting adalah pemeriksan USG ginjal untuk menentukan

ukuran ginjal dan untuk mengenali batu dan hidronefrosis, bila perlu lakukan biopsy ginjal sebelum terapi

akut dilakukan pada pasien dengan GGA yang etiologinya tidak diketahui. Angiografi (pemeriksaan

rontgen pada arteri dan vena) dilakukan jika diduga penyebabnya adalah penyumbatan pembuluh darah.

Pemeriksaan lainnya yang bisa membantu adalah CT scan dan MRI. Jika pemeriksaan tersebut tidak

dapat menunjukkan penyebab dari gagal ginjal akut, maka dilakukan biopsi (pengambilan jaringan untuk

pemeriksaan mikroskopis) misalnya pada nekrosis tubular akut. Perlu diingat pada Angiografi,dengan

menggunakan medium kontras dapat menimbulkan komplikasi klinis yang ditandai dengan peningkatan

absolute konsentrasi kreatinin serum setidaknya 0,5 mg/dl (44,2 μmol/l) atau dengan peningkatan relative

setidaknya 25 % dari nilai dasar(1,16,17).

II. 6 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengelolaan GGA adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,

mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi, serta

mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Penatalaksanaan gagal

ginjal meliputi, perbaikan faktor prerenal dan post renal, evaluasi pengobatan yang telah doberikan pada

pasien, mengoptimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal, mengevaluasi jumlah urin, mengobati

komplikasi akut pada gagal ginjal, asupan nutrisi yang kuat, atasi infeksi, perawatan menyeluruh yang

baik, memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi, dan pemberian obat sesuai dengan GFR.

Status volume pasien harus ditentukan dan dioptimalkan dengan pemantauan berat badan pasien

serta asupan dan keluaran cairan setiap hari. Pada pasien dengan kelebihan volume, keseimbangan cairan

dapat dipertahankan dengan menggunakan diuretika Furosemid sampai dengan 400 mg/hari. Dosis obat

harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal, obat-obat yang mengandung magnesium (laksatif dan

anatasida) harus dihentikan. Antibiotik bisa diberikan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Untuk
dukungan gizi yang optimal pada GGA, penderita dianjurkan menjalani diet kaya karbohidrat serta

rendah protein,natrium dan kalium(2,15).

Terapi khusus GGA

Dialisis diindikasikan pada GGA untuk mengobati gejala uremia, kelebihan volume, asidemia,

hiperkalemia, perikarditis uremia, dan hipoinatremia. Indikasi dilakukannya dialisa adalah(2,15):

1. Oligouria : produksi urine < 2000 ml in 12 h

2. Anuria : produksi urine < 50 ml in 12 h

3. Hiperkalemia : kadar potassium >6,5 mmol/L

4. Asidemia : pH < 7,0

5. Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L

6. Ensefalopati uremikum

7. Neuropati/miopati uremikum

8. Perikarditis uremikum

9. Natrium abnormalitas plasma : Konsentrasi > 155 mmol/L atau < 120 mmol/L

10. Hipertermia

11. Keracunan obat

Kebutuhan gizi pada gagal ginjal akut (18):

1. Energy 20–30 kcal/kgBW/d

2. Carbohydrates 3–5 (max. 7) g/kgBW/d

3. Fat 0.8–1.2 (max. 1.5) g/kgBW/d

4. Protein (essential dan non-essential amino acids)

5. Terapi konservatif 0.6–0.8 (max. 1.0) g/kgBW/d

6. Extracorporeal therapy 1.0–1.5 g/kgBW/d

7. CCRT, in hypercatabolism Up to maximum 1.7g/kgBW/d


GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya tindakan

nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh

batu, striktur uretra atau pembesaran prostate(4).

Tabel 2. Pengobatan suportif pada gagal ginjal akut

Komplikasi Pengobatan
Kelebihan volume intravaskuler Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1L/hari)
Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Hiponatremia Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari infuse
larutan hipotonik.
Hiperkalemia Batasi asupan diit K (<40 mmol/hari), hindari
diuretic hemat kalium
Asidosis metabolic Natrium bikarbonat ( upayakan bikarbonat serum >
15 mmol/L, pH >7.2 )
Hiperfosfatemia Batasi asupan diit fosfat (<800 mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat, kalsium
karbonat)
Hipokalsemia Kalsium karbonat; kalsium glukonat ( 10-20 ml
larutan 10% )
Nutrisi Batasi asupan protein (0,8-1 g/kgBB/hari) jika
tidak dalam kondisi katabolic
Karbohidrat 100 g/hari
Nutrisi enteral atau parenteral, jika perjalanan
klinik lama atau katabolik

1. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku Ajar:
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006.
2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi
2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
3. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2005.

You might also like