Professional Documents
Culture Documents
Desen Pengampu :
Dr. Isa Anshori, M.Si
Oleh :
Farid Kurnia Ilahi
A. Latar Belakang
Terdapat saling tarik menarik yang menjadikan isu pembaruan Islam aktual sekaligus
kontroversial sepanjang sejarah pemikiran Islam. Ada yang menganggap bahwa pembaruan
Islam sebagai suatu keharusan untuk aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam
sebagaimana dengan yang melakukan penolakan dan penentangan terhadap pembaruan
Islam karena dipandang bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran mutlak sehingga
upaya pembaruan dipandang bertentangan dengan watak kemutlakan Islam tersebut. Di
samping itu, penolakan tersebut didasari oleh suatu pandangan bahwa pembaruan
(modernitas) adalah produk kebudayaan Barat, sedangkan Barat dipandang sebagai musuh
Islam dan baik secara politik maupun kultural.1
1
Din Syamsudin, “Mengapa Pembaruan Islam?”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. IV Tahun 1993, 68-69.
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkap Al-Qabisiy adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-
Ma‘arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisiy adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang
terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy.
Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M dan meninggal dunia pada
tahun 1012 M.2 Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai
mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa
ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh
pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik.
Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di
Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain yang banyak ia
menimba ilmu dari mereka adalah Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy,
Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan
Abdullah bin Abi Zaid.3
2
Ali al-Jumbulati, Dirasatun Muqaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, terj. M. Arifin, dengan judul Perbandingan
Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 76.
3
Abdullah al-Amin al-Nu’my, Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut Ibnu Khaldun dan Al-Qabisy, (Jakarta:
t.pt., 1995), 184.
4
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2003), 25-26.
4
dan hadis Bukhari melalui ulama terkenal Ali Abu al-Hasan bin Ziyad al-Iskandari salah
seorang ulama yang termashur dalam meriwayatkan Imam Malik. Hal inilah yang
membuat ia menjadi seorang ahli fiqh Imam Malik. Demikian halnya selama beliau di
Iskandariyah beliau juga belajar hadis dengan Abu al-Hasan Ali bin Ja‟far. Perjalanannya
ke negeri Timur ini memberikan kefakihan dan menambahnya wawasan beliau dalam
ilmu-ilmu keislaman, sehingga ia dapat memberikan corak pendidikan Islam walaupun
dalam bentuk sederhana. Salah satu kegemilangan yang beliau peroleh dari perjalanannya
ke Timur ialah al-Qabisi adalah orang yang pertama kali membawa kitab Shahih Bukhari
ke Afrika Utara.5
5
Gamal Abdul Nasir, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Menurut Ibn Sahnun, al-Qabisi dan Ibn Khaldun, (Kuala
Lumpur: Cergas, 2003), 73.
6
Mushthafa ‘Abdullah al-Qasthanthani al-Rumi al-Hanafi, Kasyf al-Zhunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun, Jilid
5, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), 549.
5
pendidikan. Meski al-Qabisi tidak pernah langsung belajar mengenai ilmu-ilmu
pendidikan secara formal seperti pada masa ini. Namun berkat pengalaman beliau
menuntut ilmu ke berbagai daerah dan keterlibatannya dalam dunia pendidikan sebagai
seorang guru menimbulkan inspirasi pemikirannya terhadap dunia pendidikan. Hal ini
terlihat dalam karangann beliau berjudul al-Risalah al-Mufashshalah li Ahwal
alMuta’allimin wa Ahkam al-Mu’allimin wa al-Muta’allimin, buku ini menguraikan
tentang hal ihwal para pelajar dan hukum-hukum untuk para guru dan pelajar. Banyaknya
karya yang dilahirkan oleh al-Qabisi, telah banyak tersebar di seluruh pelosok dunia
termasuk di Indonesia, di mana pemikiran beliau telah banyak diadopsi dan
diinterpretasikan kembali sesuai dengan kebutuhan yang ada.7
7
Muslim, “Konfigurasi Pemikiran Al-Qabisi Tentang Pendidikan Islam”, POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam,
Vol. 2, No. 2, Desember 2016. 23.
8
Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Terj. H. M. ARifin, dari judul asli Dirasah al-Muqarranah fi
al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 87.
9
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 27.
6
b). Kurikulum Pendidikan
Secara garis besar kurikulum menurut al-Qabisi dibagi kepada dua macam yaitu:
kurikulum pokok dan kurikulum pilihan (penunjang). Pembagian kurikulum ini juga
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa ilmu itu juga terbagi kepada dua macam,
yaitu ilmu wajib dan tidak wajib sebagaimana halnya juga al-Ghazali membagi ilmu
kepada fardhu a’in dan fardhu kifayah. Ilmu- ilmu wajib ini merupakan kurikulum
pokok yang harus diajarkan terlebih dahulu kepada anak didik yang terdiri atas:
membaca atau menghafal al-Qur'an, mempelajari shalat, do‟a, sebahagian kaedah
nahwu kemudian membaca dan menulis. Sedangkan kurikulum pilihan ialah:
mempelajari ilmu hitung, seluruh kaedah nahwu, syair-syair, dan nama-nama hari
Arab.11
10
Muslim, “Konfigurasi Pemikiran Al-Qabisi Tentang Pendidikan Islam”, 206
11
Ibid.,
7
kehidupan Islam karena mengajarkan Al-Qur‟an bagi anak-anak diangggap satu hal
yang amat perlu, sehingga kebanyakan para Ulama berpendapat mengajarkan Al-
Qur‟an bagi anak-anak dipandang sebagai fardhu kifayah, di samping itu Nabi sendiri
menyatakan bahwa belajar itu sangat perlu, sehingga beliau mewajibkan tiap- tiap
tawanan perang Badar untuk mengajarkan orang- orang Islam sebagai tebusan
perang.12
8
terikat erat pula, dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.” Jika orang
yang menghafal al-Qur’an di waktu malam dan di siang hari mengulangngulanginya,
maka ia akan tetap mengingatnya, dan jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan
melupakannya (hilang hafalannya).14
Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau
yang dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi perhatian al-Qabisi.
Ia tidak setuju bila murid laki-laki dicampur dengan murid perempuan di kuttab,
sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia baligh (dewasa). Menurut al-Qabisi
bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar adalah
suatu hal yang tidak baik. Pendapat ini tampak kelihatan kuno dan tidak dapat diterima
masyarakat modern yang menuntut kesamaan derajat dan kemitraan sejajar. Dalam
hubungan ini al-Qabisi menilai sesungguhpun pendapatnya terkesan kuno, namun
pendapat itulah yang sesuai dengan garis ajaran agama Islam. Karena anak yang
berusia muharriqah (masa puberitas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan
timbul dorongan kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga sampai waktu
dewasa.15
Al-Qabisi sebagaimana halnya Ibnu Sahnun (abad 3 H), sependapat bahwa guru
yang paling tidak disukai adalah guru yang megajarkan anak-anak perempuan remaja,
kemudian mereka dicampur dengan anak laki-laki remaja. Hal demikian akan
menimbulkan kerusakan bagi anak perempuan remaja. Salah satu alasan mengapa Al-
Qabisi berpegang teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia kawatir kalau anak-
anak itu menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak
kecil dengan remaja yang telah dewasa (telah bermimpi coitus), kecuali bila anak
remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil. Sikap al-Qabisi yang tidak
sependapat dengan bercampurnya anak laki-laki dengan perempuan dalam satu tempat
dalam belajar itu, antara lain didasarkan pada pandangannya bahwa dorongan syahwat
biologis (seksual) termasuk dorongan yang paling kuat, dan jika berdekatan dengan
wanita dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran seksual yang dapat merendahkan
14
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 35.
15
Ibid., 37.
9
martabatnya dan menjauhkan dari keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian, sikapnya itu tampak lebih didasarkan pada sikap yang amat berhati-
hati dalam menjaga moral agama. Di sini terlihat dengan jelas betapa prinsipnya yang
demikian kuat berpegang kepada agama dan taat beribadah kepada Allah.16
Relevansi dari pemikiran Al-Qabisi dalam pendidikan Islam diera Modern ini
sangat bisa di pakai didunia pendidikan sekarang. Melihat realita pendidikan sekarang
yang sudah jauh dari kata prilaku baik dalam menghasilkan generasi yang berakhalak
baik, tapi mulai banyak dari pemikiran Al-Qabisi yang di pakai dan di terapkan pada
pendidikan modern ini. Mesikpun ada yang mengkritik pemikiran dari Al-Qabisi seperti
Al-Qabisi tidak mengungkapkan dengan jelas tentang psikologi dalam kurikulumnya.
Tapi, kalau kita ulas dan periksa kembali lebih dalam, Al-Qabisi sebenarnya juga sangat
peduli dengan anak-anak psikologi. Hal ini terlihat dari miliknya pernyataan dalam
mendidik anak-anak. Dia berkata bahwa orang harus mempertimbangkan kesesuaiannya
bahan dengan tingkat usia anak-anak. Lebih jelas lagi, materi Al-Qur’an itu diajarkan
16
Ibid.,
17
Abdullah al-Amin al-Nu‟my, Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut Ibnu Khaldun dan AlQabisy, 203-205.
10
kepada anak-anak harus sesuai untuk kemampuan menghafal anak-anak. Anak-anak yang
lebih lemah dalam menghafal seharusnya tidak perlakukan juga anak-anak yang lebih
kuat dalam menghafal Padahal, anak-anak yang ada keterampilan yang lebih lemah
dalam menghafal tidak seharusnya dimasukkan dalam kelompok yang sama dengan anak-
anak yang kuat memori, berdasarkan penjelasan ini, itu tidak masuk akal jika sebagian
besar orang menilai Al-Qabisi Kurikulum tidak termasuk psikologi anak-anak, salah
satunya diklaim oleh Ali al- Jumbulati & Al-Futuh di-Tuwanisi.18
18
Al-Husaini M.Daud. “Al-Qabisi’s Thoughts about Curriculum”. TAWARIKH: International Journal for Historical
Studies, 5(2) April 2014. 194.
19
Ibid., 195.
11
BAB III
PENUTUP
Al-Qabisiy lahir di Kota Qairawan Tunisia pada tahun 324 H-935M dan
meninggal dunia pada tahun 1012 M. Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota
Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan
Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Al-Qabisiy pernah sekali melawat
ke wilayah Timur Islam dan menghabiskan waktu selama 5 tahun, untuk menunaikan
ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu. Ia pernah menetap di bandar-bandar besar
seperti Iskandariyah dan Kairo (Negara Mesir) serta Hejaz dalam waktu yang relatif
tidak begitu lama.
Relevansi dari pemikiran Al-Qabisi dalam pendidikan Islam diera Modern ini
sangat bisa di pakai didunia pendidikan sekarang. Melihat realita pendidikan sekarang
yang sudah jauh dari kata prilaku baik dalam menghasilkan generasi yang berakhalak
baik, tapi mulai banyak dari pemikiran Al-Qabisi yang di pakai dan di terapkan pada
pendidikan modern ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nu’my. Abdullah al-Amin, Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut Ibnu Khaldun
dan Al-Qabisy, Jakarta: t.pt., 1995.
Nasir. Gamal Abdul, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Menurut Ibn Sahnun, al-Qabisi dan
Ibn Khaldun, Kuala Lumpur: Cergas, 2003.
Syamsudin, Din, “Mengapa Pembaruan Islam?”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3 Vol.
IV Tahun 1993.
13