You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses
kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan
yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat,
memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu
farmakokinetik dan farmakodinamik.

Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah untuk bagi
pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan yang cermat, obat
akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang tidak mengganggu.

Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio
fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat meningkat sejalan
dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan farmakologi bagi
seorang farmasis.

Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan
farmakodinamik) serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan obat?

2. Apa itu farmakologi?

3. Apa itu farmakokinetik?

4. Apa itu farmakodinamik?

C. Tujuan Makalah

Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca
terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk dikuasai oleh seorang
farmasis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sejarah Obat

Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat
menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya.[1]

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara
mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun
atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun disimpan dan
dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan tradisional jamu di
Indonesia.[2]

Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, ada pula yang pada awalnya
digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh. Misalnya, strychnine
dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi Afrika dan Amerika Selatan.
Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula digunakan sebagai gas racun
(mustard gas) pada perang dunia pertama.[3]

Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering kali
berbeda-beda tergantung dari asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini dianggap kurang
memuaskan sehingga lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia, yang terkenal di
antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang (Ephedra vulgaris), kinin dari kulit pohon kina,
atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu (Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis
lanata, dan masih banyak lagi.[4]

Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak kemajuannya dengan ditemukannya
obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor yang kemudian disusul oleh sejumlah
obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan kemoterapeutika
sulfanilamide (1935) dan penisilin (1940).[5]

Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini menguntungkan sekali
bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih kurang 80% dari semua obat yang kini
digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa terakhir.[6]

B. Farmakologi Obat

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses
kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang
mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.[7]
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh
aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme
hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan
pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian,
yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetik, farmakodinamik, toksikologi, dan farmakoterapi.[8]

Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang erat dengan
ilmu dasar maupun ilmu klinik.[9]

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat,
memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat.[10]

Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik. Farmakokinetik
ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi, distribusi,
biotransformasi, dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali hubungannya dengan ilmu kimia dan
biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau makhluk, secara
keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi, biokimia, dan patologi. Farmakokinetik maupun
farmakodinamik obat diteliti terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia dan disebut
sebagai farmakologi eksperimental.[11]

C. Farmakokinetik Obat

Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat rumit.
Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase:[12]

1. Fase farmaseutik;

2. Fase farmakokinetik; dan

3. Fase farmakodinamik.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam darah dan jarigan
sebagai fungsi dari waktu.[13]

Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang dimaksud
dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam
organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang menyebabkan
penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme, ekskresi).[14] Lihat gambar 1.

Invasi

Absorpsi
Distribusi

Eliminasi

Metabolisme

Ekskresi

Gambar 1. Bagian proses farmakokinetik

1. Absorpsi

Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi, difusi, atau
transport aktif.[15]

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada
cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit,
paru, otot, dan lain-lain.[16]

Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit, dapat
disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian bronkholitika dalam bentuk
aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal sitostatika ke dalam
kandung kemih.[17]

Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan keburukannya
ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.[18]

Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk juga infuse ditandai
oleh:[19]

a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya dalam hal-
hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena itu mengakibatkan
penurunan ketersediaan hayati.

b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar maka
persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan
penyuntikan subkutan.
c. Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.

Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat penting, misalnya
dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.[20]

Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban pasien
(ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.[21]

Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat
relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini. Akan
tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi melalui saluran
cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk kasus terakhir dibutuhkan
pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan terhadap cairan lambung.[22]

Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak diperlukan kadar
dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini disebabkan oleh kuosien absorpsi
sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.[23]

Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal analgetika
dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada pasien yang cenderung
muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal sejauh tidak dibutuhkan pemberian
parenteral.[24]

2. Distribusi

Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran darah dalam
sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat mencoba untuk
meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh
darah ke dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi, bergantung pada
banyak peubah.[25]

Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda (kompartemen):
[26]

a. Ruang intrasel dan

b. Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)

Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan intrasel dan komponen sel yang
padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:[27]

a. Air plasma;

b. Ruang usus; dan

c.

Cairan plasma
Cairan transsel

Ruang ekstrasel

Ruang usus

Ruang intrasel

Cairan intrasel

Komponen sel padat


Cairan transsel.

Gambar 2. Ruang distribusi organisme

Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan, misalnya
rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau jaringan dan
lemak.[28]

Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van
der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:[29]

a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin dan
asam-asam lemak.

b. α-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.

c. CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.

d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.

Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks obat-protein
terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke jaringan (dengan cara
yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya, ke hati (di mana
obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali
ke darah) dan ke ginjal (di mana obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin).[30]

Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat yang larut
lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena perbedaan pH di
dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di luar sel dan obat-obat
basa lebih banyak da dalam sel.[31]

Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa yang diekskresi
dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam bagian usus
yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari darah ka dalam
lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi enterogaster).[32]

Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan obat (drug
targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan. Efek samping
sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang diinginkan, ia
bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu sistem pembawa yang
sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam jaringan yang dituju dan dengan
demikian memungkinkan kekhasan kerja yang diinginkan.[33]

Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul sintetik atau
sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan kovalen sitostatika kepada
antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem demikian sampai sekarang malah
mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui penambahan antibodi monoklon yang
makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat diperbaiki.[34]

3. Metabolisme

Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan karena obat dapat
merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat asing ini
menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses
ekskresinya oleh ginjal.[35]

Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi
dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam darah.[36]

Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh darah (vena
portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati. Dengan pemberian
sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini dan hati akan
dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya hasil perubahannya (metabolit)
menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada
pula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi
metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.[37]

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air)
agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah
menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau
menjadi toksik.[38]

Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi,
dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau
kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen: asam
glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar. Dengan
demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau
reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus
hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat
endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat
langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup
polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih dulu.[39]

Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang disebut
juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam endoplasmic reticulum
(mikrosom) hati.[40]

4. Ekskresi

Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi
bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia (bobot
molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.[41]

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni disebut
ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:[42]

a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).

b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehida, dan
anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).

c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein
(pencahar).

Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal,
dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan
dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.[43]

Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi semua obat akan keluar
dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.[44]

Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran P-
glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel dengan
selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat dan P-gp untuk kation organik dan zat
netral. Dengan demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik
untuk disekresi. [45]
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak. Oleh karena
derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi
ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.[46]

Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya dengan
pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung
berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada gangguan ginjal
dapat dihitung.[47]

D. Farmakodinamik Obat

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan
respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis obat baru.[48]

Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi
obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons
khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, hal ini
mencakup dua konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua,
obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.[49]

Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah senyawa yang diuji
merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.[50]

Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:[51]

1. Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;

2. Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;

3. Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan

4. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.

Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena itu, perbedaan
kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda. Kemungkinan besar kerja senyawa
demikian menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur membran dalam
hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik antara lain,
anestetika inhalasi, demikian juga zat desinfektan.[52]

Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi dengan reseptor spesifik.
Efeknya sangat bergantung pada struktur kimia dan dengan demikian bergantung kepada bentuknya,
besarnya, dan pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus fungsinya serta
distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam konsentrasi yang lebih kecil daripada
senyawa yang bekerja tidak spesifik. Bahkan perubahan yang sangat kecil pada struktur kimianya dapat
sangat mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan dengan reseptor yang sama
memiliki banyak unsur struktur yang umum yang disebut gugus farmakofor, dalam tata susun ruang yang
sesuai.[53]

Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan tetapi mengenai
mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.[54]

Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:[55]

1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis. Aktivitas anestetika
inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan
lemak dari membran sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari oksigen
dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya adalah hilangnya perasaan. Pencahar
osmotis (magnesium dan natrium sulfat) lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses osmosis
menarik air dan sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian merupakan
rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan isinya.

2. Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida, seperti
natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat mengikat kelebihan asam lambung
melalui reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan
suatu ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan oleh
ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan penisilamin (dimetilsistein) yang
digunakan sebagai obat rematik.

3. Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang mengganggu pembentukan
dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu pula antimikroba
mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulir proses filtrasi contoh
lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain
amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya diperpanjang.

4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk reseptor
spesifik atau untuk enzim.

Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen,
hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.[56]

Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau bagiannya dalam
organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat. Persyaratan untuk interaksi obat-reseptor
adalah pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar
terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan suatu obat untuk
menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek, setelah membentuk kompleks dengan reseptor
disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh
masing-masing senyawa.[57]

Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:[58]

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu
terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama (antagonisme
antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat
dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.

Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.[59]

Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis secara
reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis
dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi,
diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang sama.[60]

Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang tetapi
afinitas terhadap reseptornya tidak berubah.[61]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara
mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun
atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun disimpan dan
dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan tradisional jamu di
Indonesia.

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses
kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang
mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam darah dan jarigan
sebagai fungsi dari waktu.

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan
respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan
berguna dalam sintesis obat baru.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan pada makalah ini mohon
dimaklumi dan kami sangat membutuhkan saran atau kritikan demi perbaikan makalah kami ke
depannya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.

Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

[1] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 3

[2] Ibid, hal. 3

[3] Ibid, hal. 3

[4] Ibid, hal. 3

[5] Ibid, hal. 3

[6] Ibid, hal. 3-4

[7] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1

[8] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 4

[9] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1

[10] Ibid, hal. 1

[11] Ibid, hal. 1

[12] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5

[13] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 22

[14] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5-6

[15] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 23

[16] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 2
[17] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5

[18] Ibid, hal. 7

[19] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 7

[20] Ibid, hal. 7

[21] Ibid, hal. 7

[22] Ibid, hal. 8

[23] Ibid, hal. 9

[24] Ibid, hal. 9

[25] Ibid, hal. 16

[26] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 16

[27] Ibid, hal. 16

[28] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 27

[29] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 6

[30] Ibid, hal. 6

[31] Ibid, hal. 6

[32] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 18

[33] Ibid, hal. 19

[34] Ibid, hal. 19

[35] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 24

[36] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 20

[37] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 25

[38] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 8

[39] Ibid, hal. 8

[40] Ibid, hal. 8

[41] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 34

[42] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 29-30

[43] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 11

[44] Ibid, hal. 11

[45] Ibid, hal. 11


[46] Ibid, hal. 11

[47] Ibid, hal. 11

[48] Ibid, hal. 12

[49] Ibid, hal. 12

[50] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52

[51] Ibid, hal. 52

[52] Ibid, hal. 52

[53] Ibid, hal. 52

[54] Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 35

[55] Ibid, hal. 35

[56] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 17

[57] Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52

[58] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20

[59] Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20

[60] Ibid, hal. 21

[61] Ibid, hal. 21

You might also like