You are on page 1of 21

Kehidupan Ekonomi Dalam Daulah Khilafah Islamiyah

(Wednesday, 25 May 2005) - Written by Muhammad Riza Rosadi - Last Updated ()

Keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah ditujukan dalam rangka melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan
menjadikan pemikiran dan hukum-hukum Islam sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Daulah
Khilafah akan menerapkan Islam bagi seluruh rakyat dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Penerapan hukum-hukum
Islam di bidang ekonomi, misalnya, akan menjadikan kegiatan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan Islam secara keseluruhan.

Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai satu tujuan, yakni
menciptakan kesejahteraan menyeluruh bagi setiap individu rakyat—Muslim dan
non-Muslim—yang hidup dalam naungan Daulah Khilafah. Hal ini karena semua
kegiatan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan penerapan politik-ekonomi Islam,
yakni menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap
indidvidu masyarakat secara keseluruhan pemenuhan berbagai kebutuhan pelengkap
(sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. Politik-ekonomi seperti
ini pada akhirnya akan menciptakan kehidupan ekonomi yang sejahtera, penuh
ketenangan dan kesederhanaan, namun tetap produktif dan inovatif.

Kondisi ini berbeda dengan kehidupan ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis.
Meskipun penerapan sistem ekonomi kapitalis berhasil menciptakan pertumbuhan
ekonomi, namun secara bersamaan, telah melahirkan gejolak, pertentangan
antarkelas yakni pemilik modal (kapitalis) kelompok pekerja. Akibatnya, akan
kita temukan berbagai dampak nyata dalam kehidupan ekonomi kapitalis; mulai dari
ketimpangan sosial yang parah, munculnya ketegangan, pertentangan, dan keresahan
diantara kelompok masyarakat; berkembangnya kehidupan materialistik yang penuh
dengan keserakahan yang didorong oleh semangat mencintai harta dan asyik dengan
kekayaan; hingga terjadinya proses dehumanisasi karena manusia tidak ubahnya
seperti binatang yang hanya berupaya memperebutkan materi semata. Merebaknya
kegiatan prostitusi, perjudian, pornografi pada berbagai media, bisnis hiburan
yang penuh maksiat, praktek riba, narkoba, miras, korupsi, sogok-menyogok, dan
lain-lain telah membuktikan hal itu. Selain itu, penguasaan aset umat dan
negara—seperti hutan, pertambangan, dan kepemilikan umum lainnya—oleh hanya
segelintir orang tertentu telah berdampak pula pada kerusakan dan terganggunya
berbagai kemaslahatan umum. Semua ini terjadi karena kehidupan ekonomi kapitalis
dibangun di atas nilai manfaat yang menghalalkan segala cara (bebas nilai).

Sebaliknya, kondisi di atas tidak akan ditemukan dalam kehidupan ekonomi di


dalam Daulah Khilafah, karena penerapan hukum-hukum Islam dalam bidang ekonomi
telah menjadikan kegiatan ekonomi berjalan di atas pedoman dan pijakan yang
jelas. Kegiatan ekonomi yang menjadi perhatian bukan hanya sektor produksi untuk
mengejar pertumbuhan semata. Sektor ini tetap penting, namun yang lebih penting
lagi adalah kegiatan ekonomi yang dapat menjamin terpecahkannya persoalan
ekonomi yang sebenarnya, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh individu
rakyat serta terjaminnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan melalui
pemenuhan kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) mereka. Terpenuhinya kedua
jenis kebutuhan tersebut, secara alami, akan menghilangkan berbagai sebab yang
dapat menciptakan ketegangan, pertentangan, dan keresahan di antara kelompok
masyarakat.

Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan ekonomi dalam Daulah


Khilafah Islamiyah di masa mendatang, maka menjelaskan berbagai pandangan,
kebijakan, program-program ekonomi yang dijalankan oleh Daulah Khilafah adalah
suatu hal yang sangat penting. Tulisan ini berusaha mencoba memberikan sedikit
gambaran tentang bagaimana kehidupan ekonomi dalam Daulah Khilafah. Untuk itu,
alur pembahasannya akan dimulai dengan: pandangan Islam tentang ekonomi,
kemudian pandangan Islam tentang problematika ekonomi; dilanjutkan dengan
politik-ekonomi Islam yang memberikan gambaran tentang kebijakan ekonomi yang
ditempuh untuk menyelesaikan problematika ekonomi; dan akhirnya akan diberikan
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
gambaran tentang berbagai kegiatan ekonomi praktis.

Dari sisi pandangan ekonomi, akan dijelaskan perbedaan antara sistem ekonomi
Islam dan sistem ekonomi kapitalis dalam memandang ekonomi; dalam menetapkan apa
yang menjadi permasalahan (problematika) ekonomi yang sebenarnya; dan dalam
menentukan berbagai langkah dan strategi yang ditempuh untuk mengatasi
permasalahan ekonomi tersebut. Pada bagian akhir, akan dipaparkan gambaran real
dan praktis kehidupan ekonomi yang meliputi kegiatan ekonomi di berbagai pasar
komoditi—mencakup kegiatan produksi, investasi, perdagangan, konsumsi, dan
distribusi; pasar input yang mencakup sektor jasa (tenaga kerja), politik
pertanahan; sektor kegiatan keuangan dan perbankan; perdagangan luar negeri;
hingga pendapatan dan belanja negara.

Pandangan Tentang Ekonomi

Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai
suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau kelompok-kelompok
masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan manusia pada saat akan
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena setiap manusia mempunyai
keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya. Pilihan yang
dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi, investasi, serta
kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Intinya, pembahasan
ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat mengalokasikan
keterbatasan (kelangkaan) sumberdaya yang dimilikinya.

Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan: alokasi sumberdaya yang
langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa; cara-cara
memperoleh barang dan jasa; kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; kegiatan investasi, yakni kegiatan
pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki; serta kegiatan distribusi,
yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi—mulai dari produksi, konsumsi, investasi,
serta distribusi barang dan jasa tersebut—dibahas dalam ilmu ekonomi yang
sering dipaparkan dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas—yang memasukkan seluruh kegiatan


ekonomi; mulai dari produksi, konsumsi, investasi, hingga distribusi dalam
pembahasan ilmu ekonomi—berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam.
Perbedaan ini dapat diketahui dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam
berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (di hadapan Allah) hingga ia ditanya
tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan;
tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan; dan tentang
tubuhnya untuk apa ia korbankan. [HR .at-Tirmidzi dari Abu Barzah r.a.].

Hadis di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan dimintai


pentanggungjawabannya atas empat perkara: umur, ilmu, harta, dan tubuhnya.
Tentang umur, ilmu, dan tubuhnya, setiap orang hanya ditanya dengan
masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan
dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
dipergunakan. Dengan demikian, Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar
terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain,
Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi.

Akan tetapi, pengaturan Islam dalam bidang ekonomi tidak mencakup seluruh
kegiatan ekonomi. Dalam konteks pengadaan serta produksi barang dan jasa, Islam
tidak mengaturnya; bahkan menyerahkannya kepada manusia. Islam hanya mengatur
kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan tatacara perolehan harta (konsep
kepemilikan); tatacara pengelolaan harta, mulai dari pemanfaatan (konsumsi)
hingga pengembangan kepemilikan harta (investasi); serta tatacara
pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat. Pembahasan tentang pengadaan
dan produksi barang dan jasa dipandang sebagai bagian dari ilmu ekonomi.
Sementara itu, pembahasan tentang tatacara perolehan, pengelolaan, dan
pendistribusian harta di pandang sebagai bagian dari sistem ekonomi. Atas dasar
ini, Islam memberikan pandangan yang berbeda terhadap ilmu ekonomi dan sistem
ekonomi.

Menurut An-Nabhani (1990), pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi
pengadaan dan produksi harta kekayaan (barang dan jasa) dalam kehidupan adalah
berbeda dengan pandangan Islam terhadap tatacara perolehan, pemanfaatan, dan
pendistribusiannya. Aspek yang pertama dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu
ekonomi (‘ilmun iqtishadiyun) yang bersifat universal dan sama untuk setiap
bangsa di dunia, sementara aspek yang kedua dimasukkan ke dalam pembahasan
sistem ekonomi (nizhâmun iqtishadiyun) yang dapat berbeda di antara setiap
bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya).

Menurut Islam, dari segi keberadaannya, harta kekayaan terdapat dalam kehidupan
secara alamiah; Allah Swt. telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia.
Allah Swt. berfirman dalam banyak ayat-Nya, antara lain:

Dialah Yang telah menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada di bumi. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 29).

Allahlah Yang telah menundukkan untuk kalian lautan agar bahtera bisa berjalan
di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya.
(Qs. Al-Jatsiyah [45]: 12).

(Dialah) Yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. (Qs. Al-Jatsiyah [45]: 13).

Hendaknya manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah


mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami membelah bumi dengan
sebaik-baiknya, lalu Kami menumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan
sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, buah-buahan,
serta rumput-rumputan untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
(Qs. ‘Abasa [80]: 24-32).

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain yang serupa menunjukkan bahwa Allah
Swt. menegaskan bahwa Dia-lah Yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan.

Agar harta kekayaan yang telah Allah Swt. ciptakan tersebut dapat dimanfaatkan
oleh manusia, manusia tentu harus melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk
dapat mengelolanya. Dalam hal bagaimana bagaimana manusia memproduksi harta
kekayaan dunia sekaligus meningkatkan produktivitasnya, Islam, sebagai sebuah
prinsip hidup, tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus.
Tidak terdapat satu keterangan pun, baik yang berasal dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan bagaimana
cara memproduksi harta kekayaan tersebut. Justru sebaliknya, kita malah
menemukan banyak keterangan yang menjelaskan bahwa syariat Islam telah
menyerahkan kepada manusia ihwal menggali dan memproduksi kekayaan tersebut.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah memberi nasihat kepada orang yang sedang
melakukan penyerbukan kurma. Setelah orang tersebut mengikuti nasihat Nabi saw,
ternyata orang tersebut mengalami gagal panen. Setelah hal itu disampaikan
kepada Nabi saw., beliau bersabda:

Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian. [HR. Muslim dari Anas
ra.].

Ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Nabi saw. telah mengutus dua orang Muslim
berangkat ke Yaman untuk mempelajari industri persenjataan.

Semua ini menunjukkan bahwa syariat telah menyerahkan masalah bagaimana


memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan mereka. Semua ini, menurut pandangan ekonomi Islam, dimasukkan ke
dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal sehingga boleh dipelajari
dan diambil dari manapun asalnya; apakah dari Barat maupun dari Timur.

Berbeda halnya dengan aktivitas ekonomi yang menyangkut tatacara perolehan,


pengelolaan (konsumsi dan investasi), dan pendistribusian harta. Dalam hal ini,
Islam mengaturnya secara jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadis tentang
pertanyaan Allah Swt. kepada manusia pada Hari Kiamat kelak, bahwa mereka akan
dimintai pertanggungjawaban tentang hartanya: dari mana serta dengan cara apa ia
memperolehnya; juga tentang bagaimana ia memanfaatkan hartanya tersebut mulai
dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya. Pengaturan Islam dalam
bidang ini juga dapat dilihat dari hukum-hukum fikih praktis yang mengatur
seluruh kegiatan tersebut, seperti hukum tentang sebab-sebab kepemilikan harta;
hukum tentang pengembangan kepemilikan harta seperti jual-beli, syirkah
(perseroan) dan lain-lain.

Dari segi tatacara perolehan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan


hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan, seperti hukum
berburu, menghidupkan tanah mati, kontrak jasa, industri, waris, hibah, wasiat,
dan lain sebagainya. Demikian juga dalam masalah pemanfaatan harta kekayaan,
Islam ikut campur tangan secara jelas. Misalnya, Islam mengharamkan pemanfaatan
beberapa bentuk harta kekayaan seperti minuman keras, bangkai, daging babi.
Selain itu, Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang
pendistribusian harta kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada
masyarakat; pembagian harta waris; pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf, dan
lain sebagainya.

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Oleh karena itu, jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang
sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi Islam menyerahkannya kepada
manusia. Dengan kata lain, Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan
harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sebaliknya,
secara mutlak, Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan
faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, karena hal itu termasuk
dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal.

Menurut Az-Zein (1981) dan juga An-Nabhaniy (1995), Islam membedakan pembahasan
ekonomi dari segi pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa
dengan pembahasan ekonomi dari segi tatacara memperoleh, memanfaatkan, dan
mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari segi yang pertama
dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan ekonomi
dari segi yang kedua dimasukan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.

Ilmu ekonomi, menurut pandangan Islam, adalah ilmu yang membahas tentang prsoses
pengadaan dan peningkatan produktivitas barang dan jasa—artinya berkaitan
dengan aspek produksi. Harta kekayaan sifatnya ada secara alami. Upaya
mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya pun dilakukan manusia secara
universal. Oleh karena itu, pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan pembahasan
yang universal pula sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Karena ilmu
ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat
universal, maka ia dapat diambil dari manapun selama bermanfaat.

Sedangkan sistem ekonomi terkait dengan masalah kepemilikan harta kekayaan serta
bagaimana cara memanfaatkan, mengembang-kan, dan mendistribusikannya kepada
masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Islam membedakan pembahasan ekonomi


dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling
efisien— yang dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi—dengan pembahasan
ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan
barang dan jasa—yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.

Sementara itu, sistem ekonomi kapitalis menjadikan pembahasan ilmu ekonomi dan
sistem ekonomi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan, sistem
ekonomi kapitalis telah menjadikan pembahasan sistem ekonomi sebagai bagian dari
ilmu ekonomi yang berlaku universal. Artinya, pembahasan ekonomi dari segi
pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa serta dari segi
tatacara perolehan, pemanfaatan, dan pendistribusian-nya disatukan semuanya
dalam lingkup pembahasan ilmu ekonomi. Padahal, terdapat perbedaan mendasar di
antara keduanya.

Dengan penjelasan ini, dapat kita ketahui dan pahami, bahwa pembahasan sistem
ekonomi sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku
secara universal. Oleh karena itu, sistem ekonomi dalam pandangan ideologi Islam
tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan ideologi kapitalis ataupun
ideologi sosialis-komunis.

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Problematika Ekonomi dan
Solusinya

Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya, khususnya Kapitalisme, dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi
permasalahan ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan
ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa.
Alasannya, setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya
tidak terbatas, sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Kebutuhan yang dimaksud mencakup kebutuhan
(need) dan keinginan (want). Menurut pandangan ini, pengertian antara kebutuhan
(need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu
sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia menuntut untuk dipenuhi
oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas.
Karena kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sementara alat dan sarana
yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.

Dari pandangan tersebut di atas, sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa


problem ekonomi akan muncul pada setiap individu, masyarakat, atau negara karena
adanya keterbatasan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
terbatas. Oleh karena itu, lantas disimpulkan bahwa problem ekonomi yang
sesungguhnya adalah akibat adanya kelangkaan (scarcity).

Dari pandangan demikian, muncul pula solusi untuk memecahkan problem ekonomi
tersebut yang menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan
tersebut. Perhatian sistem ekonomi kapitalis yang begitu besar terhadap aspek
produksi dan pertumbuhan ekonomi ini justru sering mengabaikan aspek distribusi
dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan
yang sangat besar kepada para konglomerat. Alasannya, pertumbuhan yang tinggi
dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi, sebaliknya sulit
dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.

Karena sangat mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem
ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang
dicapai betul-betul real, yakni lebih mengandalkan sektor real, ataukah semu,
yakni mengandalkan sektor non-real (sektor moneter). Dalam kenyataannya, dalam
sistem ekonomi kapitalis, pertumbuhan yang terjadi lebih dari 85 persennya
ditopang oleh sektor non-real, sementara sisanya sektor real. Akibatnya, ketika
sektor moneter ambruk, ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi
kapitalis juga ambruk.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa
problem ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah
masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan
pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak
sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas dan
cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan
manusia ada yang sifatnya pokok (al-hâjât al-asasiyah) dan ada yang sifatnya
pelengkap (al-hâjât al-kamaliyah) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier.
Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang, dan papan dalam kenyataannya
adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang memakan makanan tertentu, pada
saat itu sebenarnya, kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk
memakan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu,
meskipun hanya beberapa potong saja, sebenarnya kebutuhannya akan pakaian sudah
terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
tinggal, meskipun hanya dengan jalan menyewa, sebenarnya kebutuhannya akan rumah
tinggal sudah terpenuhi. Jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya
maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami
kesulitan yang berarti.

Sementara itu, kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier)
memang pada kenyataannya selalu berkembang terus seiring dengan tingkat
kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun, perlu ditekankan di
sini, bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi
kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau
masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti.
Oleh karena itu, anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak
terbatas adalah tidak tepat, karena ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas
selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus
bertambah.

Berbeda halnya dengan kebutuhan manusia. Keinginan manusia memang tidak


terbatas. Sebagai contoh, seseorang yang sudah dapat makan kenyang—kebutuhan
akan makanan sudah terpenuhi—tentunya ia dapat saja menginginkan makanan
lainnya sebagai variasi dari makanannya. Demikian pula seseorang yang telah
berpakaian—kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi—tentunya dapat pula
menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal. Contoh lainnya
adalah seseorang yang telah memiliki rumah tinggal—kebutuhan papannya telah
terpenuhi—tentunya dapat saja menginginkan rumah tinggal yang lebih besar dan
lebih banyak. Oleh karena itu, kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas,
sementara keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih
hidup. Oleh karena itulah, pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan
antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta
yang ada.

Oleh karena itulah, permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan
pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu, barang dan jasa
yang ada, kalau sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka
jumlah sangat mencukupi. Namun demikian, karena distribusinya sangat timpang dan
rusak, maka akan selalu kita temukan—meskipun di negara-negara
kaya—orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka
secara layak.

Atas dasar inilah, persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi
kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengatasinya, menurut sistem ekonomi
Islam, haruslah dengan jalan memberi perhatian yang besar terhadap upaya
perbaikan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat, namun aspek produksi
dan pertumbuhan tetap tidak diabaikan.

Politik Ekonomi Islam: Strategi


Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat

Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan akan


barang-barang tertentu berupa pangan, sandang, dan papan; serta kebutuhan
terhadap jasa-jasa tertentu berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem
Ekonomi Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok
(primer) setiap warga negara Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa
barang maupun jasa.
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Pangan, sandang, dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia
yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan
tersebut. Dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan
kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan
(perumahan). Allah Swt. berfirman:

Kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang baik…. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233).

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. (Qs. An-Nisaa’ [4]: 4).

Berilah makan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Qs. Al-Hajj [22]: 28).

Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu…. (Qs. Ath-Thalaaq [65]: 6).

Sementara itu dalam hadis Rasulullah saw. yang dikutip Az-Zein (1981),
disebutkan demikian: Anak Adam tidak mempunyai kebutuhan selain sepotong roti
untuk menghilangkan laparnya, seteguk air untuk meredakan dahaganya, dan
sepotong pakaian untuk menutup auratnya. Lebih dari itu adalah keutamaan.
(Hadis)

Nash-nash al-Qur’an dan hadis di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kebutuhan
pokok adalah kebutuhan yang tiga tersebut. Selain dari yang tiga tersebut
merupakan kebutuhan pelengkap (kamâliyât).

Demikian pula jasa-jasa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Ketiganya merupakan


kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dijadikannya
keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami.
Alasannya, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya,
terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja,
kewajiban bermuamalat secara Islami —termasuk menjalankan aktivitas
pemerintahan— sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamananan yang
menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, jelas harus ada
jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Demikian pula dengan kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani
berbagai aktivitas sehari-hari tanpa mempunyai kesehatan yang cukup untuk
melaksanakannya. Pasalnya, kesehatan juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang
pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.

Dalil yang menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan merupakan salah satu
kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw. berikut:
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Siapa saja yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya, dan di
sampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan
baginya. (Hadis).

Sementara itu, dalil yang menunjukkan bahwa jasa pendidikan merupakan kebutuhan
pokok adalah adalah alasan bahwa tidak mungkin manusia mampu mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, apalagi di akhirat, kecuali jika dia
memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan tersebut.
Dalam hal ini, Rasululah saw. bersabda:

Siapa saja yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia mempunyai ilmu;


siapa saja yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu;
dan siapa saja yang menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka
hendaklah ia mempunyai ilmu. (Hadis).

Rasulullah saw. juga bersabda:

Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim dan Muslimah. [HR. Thabrani].

Walhasil, tidak akan mungkin seseorang dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan
di akhirat tanpa adanya ilmu. Ilmu pengetahuan sendiri tidak mungkin diperoleh
tanpa adanya pendidikan. Oleh karena itulah, pendidikan sebagai sarana untuk
menuntut ilmu termasuk juga dalam kebutuhan jasa yang pokok.

Secara garis besar, strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan; antara


pemenuhan kelompok kebutuhan pokok yang berupa barang (sandang, pangan dan
papan) dengan kelompok kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan
pendidikan). Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara
pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang berbentuk barang dan yang
berbentuk jasa. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, Sistem
Ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan
jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan
tersebut. Sebaliknya, berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan
mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok
tersebut.

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan


Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)

Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang,


dan papan, Islam telah menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk
melaksanakan strategi tersebut. Strategi pemenuhan kebutuhan tersebut
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh
dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Pertama, memerintahkan kepada setiap individu bekerja agar mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri. Agar semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa
terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
pelengkap (sekunder dan tersier), maka barang-barang kebutuhan yang ada harus
bisa diperoleh oleh manusia sehingga mereka dapat memenuhi seluruh
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sementara itu, barang-barang pokok tersebut tidak
mungkin diperoleh, kecuali jika mereka berusaha mencarinya. Oleh karena itu,
Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Bahkan, Islam
telah menjadikan hukum mencari rezeki, khususnya bagi orang yang harus
menangggung diri sendiri, adalah sebuah kewajiban sehingga mereka mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya sendiri.

Kedua, kepala keluarga diwajibkan menafkahi kebutuhan pokok orang-orang yang


menjadi tanggungannya. Menurut Az-Zein (1981), kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan pokok tersebut telah ditetapkan oleh syariat atas orang-orang
tertentu. Kewajiban memberi nafkah kepada istri berupa pangan, sandang, dan
papan adalah merupakan kewajiban setiap suami. Dalam hal ini, Allah Swt.
berfirman:

Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu…. (Qs. Ath-Thalaaq [65]: 6).

Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda:

Mereka (para istri) mempunyai hak atasmu agar kamu memberi makan dan pakaian
kepada mereka. (Hadis).

Hak mereka atas kamu adalah kamu membaguskan bagi mereka dalam hal pakaian dan
makanan mereka. (Hadis).

Nash-nash ini menjelaskan kewajiban suami untuk menafkahi istrinya. Selain itu,
seorang ayah berkewajiban untuk menafkahi anak-anaknya berdasarkan firman Allah
Swt.:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu. (Qs. Al-Baqarah [2]:
233).

Anak-anak juga berkewajiban untuk menafkahi kedua orang tua mereka. Dalam hal
ini, Allah Swt. berfirman:

Berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak. (Qs. An-Nisaa’ [4]: 36).

Rasulullah saw. Juga bersabda:

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Sesungguhnya yang paling baik dimakan oleh seorang lelaki adalah sesudah
kasabnya (usahanya), dan anaknya itu termasuk kasabnya. (Hadis).

Dari nash-nash ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak wajib menafkahi kedua
orangtuanya. Nafkah itu menurut syariat adalah pangan, sandang, dan papan.

Selain itu, kerabat yang mempunyai pertalian darah (mahram) juga berkewajiban
untuk menafkahi kerabatnya itu didasarkan pada firman-Nya:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf…. dan ahli waris pun berkewajiban demikian. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233).

Rasulullah saw. bersabda:

Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu,


ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang
jauh, kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh. (Hadis).

Ketiga, negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap


orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang yang wajib
bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan,
sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka
negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas
agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Hal
tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw. bersabda:

Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta
pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua
dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw. berkata kepadanya:

Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk
bekerja. (Hadis).

Di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari juga disebutkan bahwa
ada seseorang yang mencari Rasulullah, dengan harapan Rasulullah saw. akan
memperhatikan masalah yang dihadapinya. Ia adalah sorang yang tidak mempunyai
sarana yang dapat digunakan untuk bekerja dalam rangka mendapatkan suatu hasil
(kekayaan), juga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Rasulullah saw. lantas
memanggilnya. Beliau menggenggam sebuah kapak dan sepotong kayu yang diambilnya
sendiri. Beliau kemudian menyerahkannya kepada orang tersebut. Beliau
memerintahkan kepadanya agar ia pergi ke suatu tempat yang telah beliau tentukan
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
untuk krmudian bekerja di sana, dan nanti kembali lagi memberi kabar tentang
keadaannya. Setelah beberapa waktu, orang itu mendatangi Rasulullah saw. seraya
mengucapkan rasa terima kasih kepada beliau atas bantuannya. Ia menceritakan
tentang kemudahan yang kini ia dapati.

Al-Badri (1992) bertutur sebagai berikut:

Suatu ketika, Amirul Mukminin, ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. memasuki sebuah
masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang
berdoa kepada Allah Swt. ‘Umar r.a. lalu bertanya, “Apa yang sedang kalian
kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?” Mereka
menjawab, “Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
bertawakal kepada Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut, marahlah ‘Umar
r.a. seraya berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal
kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian
‘Umar r.a. mengusir mereka dari masjid setelah sebelumnya memberi mereka
setakar biji-bijian. Beliau berkata kepada mereka, “Tanamlah dan bertawakallah
kepada Allah.”

Dari sini, para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah)
memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan
lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya
terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. Itulah kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat. Kewajiban ini telah diterapkan oleh para pemimpin
Negara Islam (Daulah Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan
kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

Keempat, Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk
bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika ternyata
kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang
menjadi tanggungannya. Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan
berbagai fasilitas pekerjaan, namun ternyata seorang individu tetap tidak mampu
bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi
tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan
ahli warisnya, sebagaimana firman Allah Swt.:

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknysa dan seorang ayah
karena anaknya; ahli waris pun berkewajiban demikian…. (Qs. Al-Baqarah [2]:
233).

Ayat al-Qur’an di atas menjelaskan tentang adanya kewajiban atas ahli waris.
Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orangtuanya (yang tidak mampu) untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud al-wârits pada ayat tersebut bukan
hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak
mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw. telah bersabda:

Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu. [HR. Ibn Majah].

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Jika ada yang mengabaikan kewajiban memberi nafkah kepada orang-orang yang
menjadi tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara
berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum
tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fikih
Islam.

Kelima, mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara
kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan. Jika seseorang tidak mampu
memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, baik
terhadap sanak keluarganya atau mahram-nya, sementara ia pun tidak memiliki
sanak-kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban
pemberian nafkah itu beralih kepada Baitul Mal (negara). Namun demikian, sebelum
kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup
orang-orang yang tidak mampu tersebut, Islam juga telah mewajibkan kepada
tetangga dekatnya yang Muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok
orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk
menyambung hidup. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah bersabda:

Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang
yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan
dan dia mengetahui hal tersebut. [HR Al-Bazzar].

Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara agar
pihak yang dibantu tidak meninggal karena kelaparan. Untuk jangka panjang,
negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Alasannya, memang
negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh,
sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.

Keenam, negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari
seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan. Menurut Islam, negara
(Baitul Mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan
pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini,
negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi
tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna—baik karena mereka
telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun karena lemah dan
cacat sehingga tidak mampu untuk bekerja—maka negara harus menempuh berbagai
cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Negara dapat saja memberikan nafkah Baitul Mal tersebut berasal dari harta zakat
yang merupakan kewajiban syariat, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya,
sebagaimana firman Allah Swt.:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka…. (Qs. At-Taubah [9]: 103).

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, para aamil (pekerja zakat), para muallaf yang diikat hatinya…. (Qs.
At-Taubah [9]: 60).

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Al-Amilûn adalah para pekerja yang ditugaskan oleh negara untuk menarik zakat.
Negara kemudian mendistribusikan kepada delapan golongan (asnaf) yang
jelas-jelas tersebut dalam al-Qur’an. Di antara mereka ada orang-orang fakir
(al-fuqarâ) dan orang-orang miskin (al-masâkin), sebagaimana dalam ayat 60
surat at-Taubah tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam
kekurangan. Dalam hal ini negara berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta
benda Baitul Mal (di luar harta zakat) jika harta benda dari zakat tidak
mencukupi. Rasulullah saw bersabda:

Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali aku bertanggungjawab padanya di dunia dan
akhirat.

Rasul selanjutnya bersabda:

Oleh karena itu, jika seorang Mukmin mati dan meninggalkan harta warisan,
dipersilakan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Akan
tetapi, jika dia mati dan meninggalkan utang atau orang-orang yang terlantar,
maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya.
[HR. Pemilik Kitab Shahih yang Enam].

Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Keamanan, Kesehatan, dan


Pendidikan)

Keamanan, kesehatan, dan pendidikan merupakan kebutuhan asasi yang harus


dirasakan oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa
barang (pangan, sandang, dan papan), yang pemenuhannya dijamin oleh negara
melalui mekanisme bertahap, pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan,
pendidikan, dan kesehatan) dipenuhi negara secara langsung kepada setiap
individu rakyat. Pemenuhan ketiga kebutuhan tersebut termasuk ke dalam
“pelayanan umum” (ri’âyah asy-syu’ûn) dan kemaslahatan hidup
terpenting. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin ketiga
jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkan
ketiganya agar dapat dinikmati oleh seluruh rakyat; baik Muslim maupun
non-Muslim; baik orang miskin ataupun orang kaya. Seluruh biaya yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditanggung oleh Baitul Maal.

Jaminan Keamanan

Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan jasa yang pokok mudah
dipahami. Alasannya, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh
aktivitasnya—terutama yang wajib seperti ibadah, bekerja, bermuamalat secara
Islami, dan menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam
tanpa adanya keamananan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk itu, negara harus
memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara.

Dalil yang menunjukkan bahwa keamanan merupakan salah satu kebutuhan jasa pokok
adalah sabda Rasulullah saw.:

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya, dan di
sampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan
baginya. (Hadis).

Dalil yang menjamin terpenuhinya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah


saw.. Beliau bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada
setiap warga negara (Muslim dan kafir dzimmi) sebagaimana sabdanya:

Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan


Lâ ilâha illallâh Muhammadur Rasûlullâh. Apabila mereka telah melakukanya
(masuk Islam atau tunduk pada aturan Islam) maka terpelihara olehku darah-darah
mereka dan harta-harta mereka, kecuali dengan jalan yang hak, sedangkan hisabnya
terserah kepada Allah. [HR. al-Bukhari, Muslim, dan Pemilik Sunan yang empat].

Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan jalan
menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa,
darah, dan harta orang lain. Aturan yang tegas ini, selain berfungsi sebagai
upaya mencegah terjadinya tindakan gangguan keamanan, juga berfungsi sebagai
tindakan hukuman hingga membuat pelaku jera. Sebagai gambaran, kepada siapa saja
yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan membunuhnya, maka
pelakunya, menurut Hukum Islam, harus dikenakan sanksi qishâsh, yakni hukum
balasan yang setimpal.

Menurut Al-Maliki (1990), Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh
dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishâsh, yakni dibunuh atau ahli
warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa diyat (denda) yang besarnya senilai
dengan 100 ekor unta. Bahkan, pembunuhan yang tidak sengaja pun akan
mendatangkan hukuman bagi pelakunya. Dalilnya adalah firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka; hamba dengan
hamba; wanita dengan wanita. Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Tindakan demikian adalah suatu keringanan dari Tuhan
kalian dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. (Qs. Al-Baqarah [2]: 178).

Dalam ayat lain Allah Swt. juga berfirman:

Tidak layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain) kecuali
karena tidak sengaja. Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin karena tidak
sengaja hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak meperolehnya,
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat
kepada Allah. Allah Mahatahu lagi Mahabijak. (Qs. An-Nisaa’ [4] : 92).
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan harta orang lain dengan jalan
mencuri atau merampoknya; ia akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras.
Sebagai gambaran, kepada pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1
dinar=4,25 gram emas) atau setara dengan 3 dirham perak, maka Islam menetapkan
hukuman potong tangan. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah.
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 38).

Besarnya jumlah percurian ditegaskan oleh sejumlah hadis Rasulullah saw.


Rasulullah saw. bersabda:

Tangan pencuri (harus) dipotong, karena (mencuri) barang seharga seperempat


dinar. [HR. al-Bukhari].

Dalam riwayat yang lain, beliau juga bersabda:

jangan kamu potong kurang dari harga seperempat dinar. [HR. Ahmad].

Masih banyak ketentuan hukum Islam yang menjamin keamanan jiwa, darah, dan harta
setiap warga negara. Hukum-hukum itu diterapkan dengan tegas dalam rangka
mencegah masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan.

Jamninan Kesehatan

Menurut Al-Badri (1990), dalam kaitannya dengan jaminan kesehatan, ada riwayat
yang menyatakan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan)
seorang dokter (ahli pengobatan)-nya untuk Rasulullah saw. Oleh Rasulullah saw.,
dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum Muslim dan untuk seluruh rakyat.
Ia bertugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit. Tindakan Rasulullah
saw. itu menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum Muslim menunjukkan bahwa
hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah
semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi beliau, tetapi untuk kaum Muslim
atau untuk negara. Lain halnya jika hadiah tersebut dipakai oleh beliau pribadi,
seperti selimut bulu dan keledai hadiah dari Raja Aikah, misalnya. Hadiah
seperti itu memang khusus untuk pribadi, bukan untuk seluruh kaum Muslim.

Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah saw. terhadap suatu hadiah


yang diterimanya telah menjelaskan kepada kita bentuk hadiah yang bernilai
khusus (pribadi) dan untuk kemaslahatan umum; juga bentuk suatu hadiah yang
diberikan kepada kepala negara, wakil, atau penggantinya yang mana hadiah itu
masuk ke dalam kekayaan Baitul Mal dan untuk seluruh kaum Muslim.

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Rasulullah saw. pernah sangat marah kepada seorang pegawai negara yang mewakili
beliau dalam pengambilan zakat. Orang tersebut ternyata telah menerima hadiah
dari seseorang. ‘Urwah ibn Zubayr, menuturkan riwayat dari Abu Hamid
as-Sa’idi r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. telah mempekerjakan salah
seorang dari suku Azad untuk mengambil Zakat Bani Sulaym. Ketika ia kembali
dengan membawa sejumlah harta, Rasulullah menghitungnya. Orang tersebut berkata
kepada Rasul saw., “Ini adalah untukmu dan ini adalah hadiah yang diberikan
orang kepadaku.”

Mendengar pengakuan tersebut, Nabi saw. berkata:

Apakah tidak lebih baik jika engkau duduk-duduk saja di rumah ibumu sampai
hadiah itu datang kepadamu? (Apakah mungkin hadiah itu akan datang jika engkau
duduk-duduk di rumah ayah-ibumu?).

Seketika itu juga beliau berdiri dengan maksud untuk menjelaskan aspek hukum
Islam tentang masalah tersebut kepada orang banyak. Setelah mengucapkan pujian
dan syukur kepada Allah Swt., beliau berkata:

Bagaimana mungkin ada seorang laki-laki yang telah aku pekerjakan mengerjakan
suatu tugas yang dipercayakan Allah kepadaku, kemudian ia berkata, “Ini
kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang
kepadaku.” Apakah tidak lebih baik jika ia duduk-duduk saja di rumah ayah atau
ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? (Apakah mungkin hadiah itu akan
datang bila engkau duduk-duduk di rumah ayah-ibumu?). Demi Zat yang jiwa
Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah aku menugaskan seseorang atau suatu
pekerjaan yang telah dipercayakan Allah kepadaku, kemudian ia berlaku curang,
maka pada Hari Kiamat ia akan datang dengan memikul unta yang mulutnya tidak
henti-hentinya meneteskan busa, atau sapi yang terus-terusan mengauk, atau
kambing yang tidak berhenti mengeluarkan kotoran.” Kemudian beliau mengangkat
kedua tangannya ke langit, hingga tampak putih ketiaknya, seraya berkata, “Ya
Allah, sungguh telah aku sampaikan, Ya Allah, saksikanlah!” [HR. Muslim].

Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan
sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati
orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah saw.
pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan
membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.

Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urayrah datang mengunjungi
Rasulullah saw. di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya
kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan
menderita sakit limpa. Rasulullah saw. memerintahkan mereka beristirahat di pos
penggembalaan ternak kaum Muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba’, di tempat
yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk
kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta),
karena mereka memang berhak.

Dalam buku Târîkh al-Islâm as-Siyâsî diceritakan bahwa Sayidina Umar r.a.
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
telah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu kaum yang terserang
penyakit lepra di jalan menuju Syam ketika melewati daerah tersebut. Hal yang
sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan para pemimpin wilayah. Bahkan,
Khalifah Walid ibn ‘Abdul Malik telah memberikan bantuan secara khusus kepada
orang-orang yang terserang penyakit lepra.

Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibn Thulun di Mesir memiliki masjid
yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat
menyimpan minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan
(dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.

Jadi, menyediakan dokter di tengah masyarakat, menanggulangi problem kesehatan


masyarakat, dan membangun sarana atau balai-balai kesehatan adalah tugas-tugas
yang dibebankan Islam terhadap negara. Negaralah yang bertanggung jawab untuk
mewujudkan semua itu.

Jaminan Pendidikan

Masalah pendidikan juga menjadi tanggung jawab negara. Ia termasuk kategori


kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh
rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan
pemerintah. Pembayarannya diambil dari kas Baitul Mal.

Rasulullah saw. telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan Perang


Badar. Beliau mengatakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status
tawanan jika seorang tawanan telah mengajari 10 orang penduduk Madinah
baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.

Kita mengetahui bahwa barang tebusan tidak lain adalah hak milik Baitul Mal.
Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam Perang
Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke
Baitul Mal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian
baca-tulis), berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu
setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau memberi upah kepada para pengajar
itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal.

Menurut Al-Badri (1990), ad-Damsyiqi menceritakan suatu kisah dari al-Wadliyah


bin Atha’. Ia menyebutkan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang
mengajar anak-anak. Atas jerih-payah mereka, Khalifah Umar ibn al-Khaththab,
memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (satu
dinar=4,25 gram emas).

Pendidikan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Negara


berkewajiban menyediakan berbagai sarana dan tempatnya. Rasulullah saw.
bersabda:

Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim dan Muslimah. [HR. Thabrani].
http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Mengemban dakwah Islamiyah juga merupakan kewajiban atas segenap kaum Muslim
berdasarkan firman Allah Swt.:

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Qs. An-Nahl [16]: 125).

Rasulullah saw. juga bersabda:

Sampaikan apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat. [HR. Bukhari].

Akan tetapi, mungkinkah tugas dakwah dan tablig itu dapat terlaksana tanpa
adanya pendidikan?

Al-Badri (1990) juga menyebutkan bahwa Imam Ibn Hazm, dalam Al-Ahkâm, telah
memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan agar
ibadat dan muamalat kaum Muslim dapat diterima (sah). Beliau menjelaskan bahwa
seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan
sampai pada ungkapannya:

Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji
orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat.

Mencari ilmu adalah kewajiban yang yang harus dipikul oleh setiap individu
(fardhu ‘ain). Ilmu-ilmu lain yang bersifat fardhu kifayah tidak akan gugur
sebelum sebagian kaum Muslimin berhasil melaksanakannya dalam batas yang
mencukupi, misalnya ilmu ekonomi, kedokteran, industri, elektronika, mekanika,
serta ilmu-ilmu lain yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan dalam kehidupan kaum
muslimin.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan


kebutuhan pokok setiap warga masyarakat berupa pangan, sandang, papan. Islam
juga telah menjamin penanganan masalah keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Semua itu merupakan kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara
dan pengatur urusan rakyat. Negaralah yang melaksanakan dan menerapkan semua itu
berdasarkan syariat Islam.

Daftar Bacaan:

Abdullah, M.H., 1990. Diraâsâat fî al-Fikrî al-Islâmî. Penerbit Dar


http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
al-Bayariq, Aman.

Al-’Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim, 1999. Sistem, Prinsip, dan Tujuan
Ekonomi Islam (terj.). Penerbit CV. Pustaka Setia, Bandung.

Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (terj.). Penerbit Gema
Insani Press, Jakarta.

An-Nabhani, T., 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Penerbit Darul


Ummah, Beirut.

An-Nabhaniy, T., 1953. An-Nizhâm al-Islâm. Penerbit Hizbut Tahrir, Beirut.

Arief, S. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Penerbit CIDES, Jakarta.

Az-Zein, S. A. 1981. Syariat Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik, dan


Sosial sebagai Studi Perbandingan (terj.). Penerbit Husaini, Bandung.

Budiono. 1998. Ekonomi Makro. Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2. Edisi
4. BPFE. Yogyakarta.

Chapra, M. U., 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kontemporer
(terj.). Penerbit Risalah Gusti, Surabaya.

Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit PT RajaGrafindo


Persada, Jakarta.

Djojohadikusomo, S., 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi


Pembangunan. PT. Pustaka LP3ES, Jakarta.

Djojohadikusumo, S., 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Penerbit Yayasan Obor


Indonesia, Jakarta.

Magnis-Suseno, F. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke


Perselisihan Revisionisme. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mannan, M.A., 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti
Wakaf, Yogyakarta.

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44
Mubyarto, 1999. Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan. Penerbit Aditya Media, Yogyakarta.

Qardhawi, Y., 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. (terj.). Penerbit. Gema
Insani Press. Jakarta.

Qardhawi, Y., 1995. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (terj.).
Penerbit Robbani Press. Jakarta.

Qureshi. A.I. 1985. Islam and The Theory of Interest. (terj.). Penerbit Titamas,
Jakarta.

Rahman, 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (terj.). Penerbit Dana Bhakti
Wakaf, Yogyakarta.

Samuelson, P. A dan Wiliam D. Nordhaus, 1995. Mikroekonomi Edisi Ke-14 (terj.).


Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia, Jakarta.

Tambunan, T., 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Penerbit Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Tjokroamidjojo, B., 1976. Perencanaan Pembangunan. PT. Toko Gunung Agung.


Jakarta.

Ya’kub, H., 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Cetakan ke-3. (terj.).
Penerbit CV. Diponegoro. Bandung.

Zallum, A. Q., 1963. Muqaddimah ad- Dustûr aw al-Asbâb al-Mawjibat lah.


Penerbit Hizbut Tahrir, Beirut.

Zallum, A. Q., 1983. Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Penerbit Darul Ilm li


al-Malayin, Beirut-Lebanon.

Sumber: al-Wa'ie Edisi 8,9 dan 10

http://www.syariah.org/portal - komunitas rindu syariah Powered by Mambo Generated: 28 June, 2007, 06:44

You might also like