You are on page 1of 42

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 berbunyi

demikian.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Keseriusan pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi dan mewujudkan tujuan

pendidikan nasional di atas, antara lain tampak dari adanya kebijakan pendidikan

karakter yang disuarakan sejak tahun 2003. Pendidikan karakter diharapkan agar

diterapkan oleh semua satuan pendidikan secara terintegrasi dalam pembelajaran di

kelas dan kultur sekolah. Senada dengan komitmen pemerintah di atas, Koesoema

(2010:116) menegaskan bahwa pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana

pembudayaan dan pemanusiaan. Peran pendidikan karakter bukan saja bersifat

integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual subjek didik, melainkan juga

bersifat kuratif, baik secara personal maupun sosial, yakni bisa menjadi salah satu

sarana penyembuh penyakit sosial.

Sehubungan dengan perilaku menyimpang, salah satu yang paling

mengkhawatirkan berkembang akhir-akhir ini adalah tawuran antarpelajar.

Pemberitaan media tentang tawuran antarpelajar di Indonesia semakin marak, terutama

pada sepanjang tahun 2012. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sudah

terjadi 147 kasus tawuran dengan korban jiwa sebanyak 82 anak

(www.megapolitan.com, 21 Desember 2012). Tawuran antarpelajar merupakan

persoalan yang cukup kompleks, karena berkaitan langsung dengan perilaku destruktif

siswa.

1
Persoalan tawuran antarpelajar mengindikasikan bahwa kebijakan pendidikan

karakter yang dibuat pemerintah belum terealisasi sebagaimana yang diharapkan.

Jangankan persoalan tawuran antarpelajar, masalah-masalah seperti bolos, menyontek,

sering terlambat ke sekolah, tidak mengerjakan tugas, pornografi, pembangkangan,

narkoba dan miras telah sangat memiriskan bagi banyak pihak. Berhadapan dengan

pelbagai persoalan siswa di atas, maka implementasi pendidikan karakter menjadi

semakin urgen. Karena itulah menarik untuk mempertanyakan dan menelusuri sejauh

mana sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjalankan perannya

mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter? Bagaimana mengelola atau me-

manage pendidikan karakter di lingkungan sekolah?

Bertitik tolak dari fenomena di atas, peneliti memilih satuan pendidikan SMK

Katolik Sta. Familia Tomohon sebagai obyek penelitian. Alasannya adalah sekolah ini

dikelola oleh Yayasan YEEMYE perwakilan Tomohon (Yayasan Yesus Maria Yosep).

Sebuah Yayasan dengan komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan pendidikan

karakater. Komitmen tersebut terwujud dari gencarnya sosialisasi dan lokakarya

pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh Yayasan pada setiap persekolahan yang

dikelolanya (diskusi singkat dengan Prof. Dr. Yong Ohoitimur sebagai Tim Pendidikan

Karakter Yayasan YEEMYE. Beliau sering membawakan lokakarya Pendidikan

Karakter di lingkungan persekolahan Yayasan YEEMYE).

SMK Katolik Sta. Familia Tomohon terletak di kelurahan Kolongan, kecamatan

Tomohon Utara, kompleks persekolahan Yayasan YEEMYE perwakilan Tomohon.

Sekolah ini mendidik dan melatih para siswa untuk memiliki pengetahuan dan

keterampilan di bidang akomodasi perhotelan, tata boga, tata busana, dan perkantoran.

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan, disiplin dan keramahtamahan (hospitality)

sangat ditekankan. Siswa harus berada di sekolah sebelum jam 06.45. Sesudah jam

tersebut, pintu gerbang dikunci oleh satpam. Siswa-siswa yang terlambat mendapatkan

2
sanksi yang tegas. Ucapan-ucapan seperti “selamat pagi, ada yang bisa dibantu?”

disertai senyum yang ramah menjadi keseharian para siswa ketika berpapasan dengan

tamu.

Hasil observasi awal di atas dikuatkan oleh penuturan Kepala Sekolah melalui

wawancara informal yang dilakukan peneliti. Kepala Sekolah menegaskan bahwa SMK

Katolik Sta. Familia adalah sekolah yang sangat menekankan pendidikan karakter,

bahkan jauh sebelum pemerintah menyuarakan urgensi pendidikan karakter. Hal ini

dilatarbelakangi oleh spiritualitas Yayasan YEEMYE sebagai Yayasan religius, karena

dikelola oleh para biarawati tarekat JMJ (Jesus, Mary and Joseph). Kepala Sekolah

menambahkan bahwa setiap bulan terdapat nilai tertentu yang ditekankan. Untuk bulan

April 2013 yang lalu misalnya, nilai yang ditekankan adalah respect

(menghormati/menghargai). Setiap komponen; siswa, guru maupun pegawai berupaya

untuk menghayati dan mewujudkan nilai respect ini.

Akan tetapi, Kepala Sekolah mengakui di tengah-tengah upaya

mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah ini, terdapat beberapa persoalan

mendasar, yaitu pertama, tidak semua siswa berasal dari lingkungan keluarga yang

harmonis. Banyak di antara mereka yang broken home, atau orang tuanya bermasalah.

Sehingga, kompensasi yang cenderung ke arah negatif seperti absensi, keterlambatan,

pembangkangan, dll. sering dilakukan oleh para siswa sekadar untuk mencari perhatian.

Lingkungan keluarga yang kondusif dapat menjaga kesinambungan pendidikan karakter

yang ditekankan di sekolah. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang bermasalah, dapat

menyebabkan terputusnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang diterima siswa di

sekolah. Kedua, SMK Katolik Sta. Familia adalah sekolah non-asrama. Kebersamaan

dengan siswa di sekolah tidak berlangsung 1x24 jam seperti di sekolah berasrama.

Paling tidak sekolah berasrama memiliki peluang lebih besar untuk menjaga kontinuitas

pendidikan karakter secara integral-holistik.

3
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk

mendalami manajemen pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah


Fokus penelitian ini adalah Manajemen Pendidikan Karakter pada SMK Katolik

Sta. FamiliaTomohon.Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:


1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia

Tomohon.
2. Bagaimana pengorganisasian pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta.

Familia Tomohon.
3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia

Tomohon.
4. Bagaimana pengawasan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia

Tomohon.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas

tentang:
1. Perencanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.
2. Pengorganisasian pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia

Tomohon.
3. Pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.
4. Pengawasan pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan praktis.

1. Manfaat Teoretik
Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan secara khusus

manajemen pendidikan karakter. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan acuan

bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

4
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pimpinan

yayasan, pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah, bahkan para pemerhati

pendidikan tentang pedoman pelaksanaan pendidikan karakter.

II. ACUAN TEORETIK

A. Konsep Dasar Manajemen dan Manajemen Pendidikan

1. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia maneggiare

yang berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis

manège yang berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti

seni mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa

Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.

5
Berdasarkan etimologinya, istilah manajemen sebenarnya berasal dari bahasa Latin

manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang berarti ‘melakukan’.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5 April 2013). Jadi, secara

harafiah manajemen berarti mengatur, melaksanakan dan mengendalikan sesuatu.


Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian yang

lebih spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich (dalam

Kambey, 2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan

memelihara lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-

kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”. Sementara itu,

Sanches (dalam Kambey, 2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses

mengembangkan manusia”.
Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai seni.

Mary Parker Follet (dalam Sule dan Saefullah, 2010:5) menegaskan bahwa

“manajemen is the art of getting things done through people.” Artinya, manajemen

adalah seni menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Manajemen sebagai proses

ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan melalui

tahapan-tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan

pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk. (dalam Sule dan

Saefullah, 2010:6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen sebagai “the process

used to accomplish organizational goals through planning, organizing, directing, and

controlling people and other organizational goals”. Definisi sesungguhnya dari kata

manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi masing-masing ahli. Namun,

terdapat salah satu definisi klasik tentang manajemen yang dirumuskan oleh George

Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315), yakni “management is a distinct

process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to

determine and accomplish stated objetctives by the use of human beings and other

resources”. Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian,

6
pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk mewujudkan

tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer dikenal dengan

singkatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling).


Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka manajemen

dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk

mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu dalam arti sempit, yakni

dalam konteks lingkungan pendidikan, “manajemen adalah perencanaan program

sekolah, pelaksanaan program sekolah, kepemimpinan kepala sekolah,

pengawas/evaluasi, dan sistem informasi sekolah” (Usman, 2011:5). Lebih lanjut

Usman (2011:12) mengemukakan definisi manajemen pendidikan sebagai berikut:


Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.

Dari definisi di atas, Usman menjabarkan tujuan dan manfaat manajemen

pendidikan (2011:13), antara lain:

1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif,

efektif, menyenangkan dan bermakna.


2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu

kompetensi manajerial.
4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas

administrasi pendidikan.
6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.
7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan

akuntabel.
8. Meningkatnya citra positif pendidikan.

7
Secara ringkas, Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen Administrasi

Pendidikan UPI, 2011:88) menegaskan bahwa pentingnya manejemen agar pelaksanaan

suatu usaha terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat dan

lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.

2. Fungsi-Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen yang

dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengendalian/pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan elemen dasar yang akan

selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh

manajer/pemimpin dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.

Secara garis besar Gerloff (dalam Kusdi, 2009:9) menunjukkan melalui sebuah

tabel dinamika proses manajemen sebagai berikut:

Fungsi Tindakan Resultan/Efek


Planning Menentukan berbagai tujuan, Dasar bagi desain dan
strategi, dan arah yang ingin kebijakan organisasi
dicapai.
Organizing  Menentukan aktivitas-aktivitas  Struktur kerja formal
pokok. dengan mengidentifikasi
 Mengelompokkan aktivitas- jabatan, hubungan
aktivitas menjadi jabatan- pelaporan dan koordinasi,
jabatan. departemen-departemen,
 Mengelompokkan jabatan dan serta prosedur yang
menentukan tanggung jawab dibutuhkan.
 Mengisi jabatan dengan orang-  Menciptakan situasi yang
orang yang sesuai. memungkinkan munculnya
struktur kerja informal.
Directing  Memprakarsai dan Aliran komunikasi dari atas ke
memfokuskan tindakan para bawah yang mengaktifkan
bawahan menuju tujuan. rencana formal dan
mendukung prioritas-
prioritasnya.
Controlling Memonitor kinerja dan Standard-standar kerja, media
mengarahkan upaya menuju tujuan pelaporan, dan metode-
yang sudah direncanakan metode standard yang
merupakan bagian dari
struktur

8
2.1. Perencanaan

Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan: “Educational

planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan pendidikan adalah

langkah paling awal dari semua proses rasional. Dengan kata lain sebelum

melaksanakan kegiatan lain, langkah pertama yang mestinya dibuat adalah

perencanaan.

Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses memikirkan dan

menetapkan secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai

sumber daya dan metode yang tepat. Pengertian serupa dikemukakan oleh Gibson

(dalam Sagala, 2010:56), “perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran dan

alat sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Perencanaan yang dibuat

secara matang akan berfungsi sebagai kompas untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk

itu Sergiovanni (dalam Sagala, 2010:57) menegaskan: “plans are guides,

approximation, goal post, and compass setting not irrevocable commitments or dicision

commandments”.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen, 2011:93-95)

mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

- Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.


- Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.


- Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakan

sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.


- Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang

konsisten prosedur dan tujuan.


- Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.

9
- Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga

bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.


- Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal

dengan situasi eksternal.


- Menghindari pemborosan.

Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi

perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan satu

tahun, perencanaan jangkah menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka

waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat untuk jangka

waktu delapan sampai dua puluh lima tahun. Sementara itu proses perencanaan

dilaksanakan secara kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah. Alasan pentingnya

melibatkan mereka dalam perencanaan dikemukakan oleh Hoyle dan Moedjiarto

(dalam Sagala, 2010:57). Masyarakat sekolah akan bertanggungjawab atas perencanaan

yang ditetapkan dan akan menimbulkan sense of belonging (rasa memiliki), sehingga

mendorong warga sekolah untuk bersama-sama berusaha agar rencana tersebut berhasil.

2.2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan

mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi

untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner (dalam Tim Dosen, 2011:94) menyatakan

bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk

bekerja sama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran spesifik atau beberapa

sasaran”. Pada intinya mengorganisasikan berarti:

- menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan

organisasi.
- merancang dan mengembangkan kelompok kerja yang berisi orang yang

mampu membawa organisasi pada tujuan.

10
- menugaskan seseorang atau kelompok orang dalam suatu tanggung jawab

tugas dan fungsi tertentu.


- mendelegasikan wewenang kepada individu yang berhubungan dengan

keleluwasaan melaksanakan tugas.

Pengorganisasian yang tepat akan membuat posisi orang jelas dalam struktur

dan pekerjaannya melalui pemilihan, pengalokasian dan pendistribusian kerja yang

profesional. Untuk itu seorang manajer memerlukan kemampuan memahami sifat

pekerjaan dan kualifikasi orang yang harus mengisi jabatan.

2.3. Pelaksanaan
Pelaksanaan, pengimplementasian, atau penggerakkan (actuating) merupakan

proses implementasi program agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi

serta proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-jawab dengan penuh

kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla, 2010:8). Proses memotivasi

berarti mendorong semua pihak agar mau bekerja sama, ikhlas dan bergairah untuk

mencapai tujuan yang sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditentukan atau

diorganisir sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh Terry (dalam Kambey, 2006:70),

“Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to strike to

achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning and

organizing the efforts”.


Dalam konteks manajemen sekolah, fungsi tersebut dijalankan oleh kepala

sekolah, yakni melalui tindakan merangsang guru dan personal sekolah lainnya

melaksanakan tugas-tugas dengan antusias dan kemauan yang baik untuk mencapai

tujuan dengan penuh semangat (Sagala, 2010:60). Menurut Sagala (2010:62-63), kepala

sekolah dalam menjalankan fungsinya perlu memperhatikan beberapa faktor seperti

keefektifan organisasi kerja yang terdiri dari sejumlah unit kerja (kelas, guru kelas,

bimbingan penyuluhan, usaha kesehatan sekolah), kepekaan terhadap sejumlah

11
kebutuhan pelayanan persoan sekolah, pelatihan guru, koordinasi yang meliputi

pembagian kerja dan spesialisasi atas dasar tanggung jawab profesionalnya masing-

masing, semangat kerja sama, tersedianya fasilitas dan kontak hubungan yang lancer

bagi semua pihak dan memulai tahapan suatu kegiatan dengan benar dan

mempertahankan kualitas pekerjaan sebagai proses yang kontinu.


Koordinasi dapat diwujudkan melalui 1) konfrensi atau pertemuan lengkap

yang mewakili unit kerja di sekolah, 2) pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat

tertentu, 3) pembentukan panitia gabungan jika diperlukan, 4) pembentukan badan

koordinasi staf untuk mengkoordinir kegiatan, 5) mewawancarai personal sekolah

untuk mengetahui hal yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, 6)

memorandum atau instruksi berantai, dan , 7) ada dan tersedianya buku pedoman

organisasi dan tatakerja.

2.4. Pengawasan

Sagala merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa pakar

berikut (dalam Sagala, 2010:65). Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi

pengawasan dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses

administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya

terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua, Hadari Nawawi

menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan menukur tingkat

efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu

dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga, Johnson mengemukakan pengawasan sebagai

fungsi sistem yang melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar

penyimpangan-penyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat

ditoleransi.

Dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, Sagala menegaskan bahwa

pengawasan adalah salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah

12
dan apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian

dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan. Pengawasan meliputi pemeriksaan

apakah semua berjalan sesuai rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan,

dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Massie

(dalam Sagala, 2010:65):

- Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan

keberhasilan.
- Menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan.
- Fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan

lingkungan.
- Cocok dengan organisasi pendidikan.
- Merupakan control diri sendiri.
- Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol di tempat pekerja.
- Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personal

pendidikan.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Oteng Sutisna (Sagala, 2010:65)

menegaskan bahwa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal, yaitu (1)

mengukur perbuatan atau kinerja; (2) membandingkan perbuatan dengan standar yang

ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada; dan (3) memperbaiki

penyimpangan dengan tindakan pembetulan.

Lebih lanjut Stoner (dalam Sagala, 2010:66) membagi pengawasan dalam

empat langkah berikut:

- Pertama, menetapkan standar dan metode untuk mengukur prestasi yang

mencakup di dalamnya penetapan standar dan ukuran untuk segala macam

keperluan, mulai dari target pencapaian kurikulum sampai pada target

pencapaian mutu lulusan.

13
- Kedua, mengukur prestasi kerja yang dilakukan secara berkesinambungan,

repetitif dan frekeunsinya tergantung pada jenis aktivitas yang sedang

diukur.
- Ketiga, membandingkan hasil yang telah diukur dengan sasaran dan standar

yang telah ditetapkan sebelumnya.


- Keempat, mengambil tindakan korektif, jika hasil-hasil yang dicapai tidak

memenuhi standar dan analisis menunjukkan perlunya diambil tindakan.

B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa Latin educare.

Koesoema (2010:53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara etimologis, kata

pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan

educere. Secara distingtif, Koesoema mendeskripsikan makna kedua istilah tersebut

sebagai berikut.

Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’.

Dalam konteks ini pendidikan dipahami sebagai “sebuah proses yang membantu

menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar

menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam

diri maupun dalam diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan

pendapat kaum behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan

sebagai proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001:7). Pendidikan juga berarti

“proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti

kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau daya-daya

seni”.

14
Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (keluar dari)

dan kata kerja ducere (memimpin). Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan

untuk menarik keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan dimengerti

sebagai “sebuah proses pembimbingan keluar yang terarah pada satu tujuan tertentu”.

Proses pembimbingan keluar ini bisa berarti secara internal, yakni keluar dari

keterbatasan fisik kodrati yang dimiliki sehingga tetap bertahan hidup, dan secara

eksternal lebih mengacu pada kecerdasan sosial individu, antara lain tampak dari

kemampuan bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich, 2011:67) pendidikan

adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan emosional

ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian

pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia

nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang

berbunyi demikian:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia.

Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur

hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang

mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).

2. Pengertian Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti

‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah

15
ini bermacam-macam. Mounier (dalam Koesoema, 2010:90-91) mengajukan dua cara

interpretasi, yaitu pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan

begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita”

(karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan

melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah

sebuah proses yang kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter di atas,

Ohoitmur (dalam Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa “karakter

personal terdiri dari dua unsur yakni karakter bawaan dan karakter binaan. Karakter

bawaan merupakan karakter yang secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya.

Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang berkembang melalui pembinaan

dan pendidikan secara sistematis.


Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Kemendiknas, 2010:12) karakter

diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,

sifat, tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti “berkepribadian, berperilaku,

bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah

seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya,

sesame dan lingkungannya dengan cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai

dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.


Tadkiroatun Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) berpendapat bahwa

“karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan”.

Karakter berhubungan dengan karakteristik psikologis individual. Hal ini ditegaskan

oleh Marvin W. Berkowitz (2002:69) sebagai berikut: “Character as an individual’s set

of psychological characteristics that affect that person’s ability and inclination to

function morally. Simply put, character is comprised of those characteristics that lead

person to do the right thing or not to do the right thing.” Karakter adalah kumpulan dari

karakteristik psikologis individual yang mempengaruhi bakat seseorang dan

kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain karakter itu

16
terdiri dari karakteristik-karakteristik yang menuntun seseorang untuk melakukan

sesuatu yang baik atau melakukan sesuatu yang tidak baik.

3. Pendidikan Karakter

3.1. Pengertian Pendidikan Karakter


Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) menyebutkan pendidikan

karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help

people understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter

adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak

menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13),

pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral

dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi

manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama. Perbedaannya terletak

pada ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil

keputusan. Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang.

Sedangkan dalam pendidikan karakter ruang lingkupnya selain terdapat dalam diri

individu, juga memiliki konsekuensi kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam

kinerja dan kebijakan lembaga pendidikan (Koesoema, 2010:198).


Koesoema (2010:42) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya

dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya

pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali

pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus positivisme yang dipelopori

oleh filsuf dan sosiolog Perancis Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan

menurut Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan

esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter

menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.

Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut Foerster

17
menyebutkan kekuatan karakter seseorang tampak dalam empat ciri fundamental yang

mesti dimiliki. Kematangan keempat ciri fundamental karakter inilah yang

memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.


Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan

hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk selalui merupakan sebuah kesediaan dan

keterbukaan untuk mengubah dan dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.


Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat

mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru

atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama

lain. Kredilibitas seseorang akan runtuk apabila tidak ada koherensi.


Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan

dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian

keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.


Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan

seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan

dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.


Lebih lanjut, Koesoema sendiri (2010:193-190) melihat pendidikan karakter

sebagai keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi,

baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati

kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya

sendiri sebagai peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan

karakter memiliki dua dimensi sekaligus, yakni dimensi individual dan dimensi sosio-

struktural. Dimensi individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan

moral seseorang. Sedangkan dimensi sosio-kultural lebih melihat bagaimana

menciptakan sebuah sistem sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu.


Tidak hanya di Indonesia, pendidikan karakter juga menjadi perhatian di

belahan dunia lain, seperti di Amerika. Character Education Partnership (CEP) (dalam

Koesoema, 2012:57), sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat,

mendefinisikan pendidikan karakter demikian.

18
Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat
menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan
untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan
dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan penekanan
pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan
usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan Negara bagian yang sifatnya intensional
dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai oral inti,
seperti perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness),
tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.

Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika

Serikat (dalam Koesoema, 2012:57-58), mendefinisikan pendidikan karakter sebagai

berikut.
Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan
dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati,
keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapat bertanggungjawab
secara moral dan memiliki disiplin diri.

Pendidikan karakter baik di Indonesia, maupun di Amerika memuat nilai-nilai

yang kurang lebih sama. Dalam konteks Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011)

menyebutkan delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar

membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab. Koesoema

(2010:208-2011) mengambil garis besarnya saja dengan menyebutkan delapan nilai,

yakni keutamaan, keindahan, kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi

nilai moral, dan kemanusiaan.

3.2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter


Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di

sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh

siswa dan setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa

prinsip dasar itu antara lain sebagai berikut.


a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu

katakan atau kamu yakini.

19
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang

macam apa dirimu.


c. Karakter yang bai mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan

dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus

membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.


d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain

sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik

dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang

individu bisa mengubah dunia.


f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu

menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi

tempat yang lebih baik untuk dihuni.

3.3. Metode Integral bagi Pendidikan Karakter


Koesoema menyebutkan secara praktis dan sederhana lima unsur yang bisa

dipertimbangkan dalam upaya mengarahkan sekolah pada penghayatan pendidikan

karakter yang realistis, konsisten, dan integral (2010:212-217). Koesoema menegaskan

bahwa kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan dalam menghayati

dan mencoba menghidupi pendidikan karkater di dalam setiap lembaga pendidikan.

Lima hal tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa

berputar semakin maju. Kelima unsur itu adalah mengajarkan, keteladanan,

menentukan prioritas, praksis prioritas, dan refleksi.


a. Mengajarkan

Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep

nilai tertentu. Artinya, untuk dapat melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka

peserta didik pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan, keadilan

dan nilai. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar subjek dalam

melaksanakan nilai. Untuk inilah, salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter

adalah mengajarkan nilai-nilai sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual

20
tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan

karakter pribadinya.

Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan bisa

memanfaatkan berbagai macam unsur lain, misalnya proses perencanaan kurikulum.

Dalam merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis yang

menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki nilai-nilai yang ditawarka

(espoused values). Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tambu dalam

sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-nilai utama

yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para peserta didik.

b. Keteladanan

“Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini berarti kata-kata

memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk itu

pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri. Sebab,

pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi kredibel ketika gagasan teoretis

normatif itu ditemui oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.

Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya pendidikan karakter.

guru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi

dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan

melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang

guru,d alam kehidupannya yang nyata di luar kelas. Indikasi adanya keteladanan dalam

pendidikan karakter adalah apakah terdapat model peran dalam diri insane pendidik.

Demikian juga, apakah secara kelembagaan terdapat contoh-contoh kebijakan serta

perilaku yang bisa diteladani oleh siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang

nilai-nilai itu memang dekat dengan hidup mereka, dan mereka dapat menemukan

afirmasi dalam perilaku individu atau lembaga sebagai manifestasi nilai.

21
c. Menentukan prioritas

Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap

penting bagi realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga

pendidikan mesti menentukan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada

peserta didik. Untuk ini, setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih

apakah prioritas nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter di lingkungan

sekolahnya. Selain prioritas nilai, diperlukan juga penentuan sekumpulan perilaku

standar yang diketahui dan dipahami oleh peserta didik, orang tua dan masyarakat.

d. Praksis prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah verifikasi di

lapangan tentang karakter yang dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain

bagaimana sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah, bagaimana

sanksi itu diterapkan secara transparan sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi

visi dalam kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk

mempertanggungjawabkan pendidikan karakter di hadapan publik.

e. Refleksi

Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi, perlulah diadakan semacam

evaluasi, pendalaman atau refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan

telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter. Keberhasilan dan

kegagalan itu lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan yang dasarnya

adalah pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa setelah

memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dapat menyampaikan refleksi

pribadinya tentang nilai-nilai tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah

22
ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya

bisa diterbitkan dalam jurnal, koran sekolah, dll?

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain

mendeskripsikan secara detail pelbagai metode integral untuk mewujudkan pendidikan

karakter yang utuh dan menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam lingkungan

sekolah. Metode integral berarti terkait upaya pengembangan kualitas individu, desain

program yang sesuai dengan tanggung jawab individu, dan upaya membangun

lingkungan yang ramah atau kondusif bagi pertumbuhan individu sesuai dengan tahap

perkembangan kepribadiannya. Berikut pelbagai metode integral yang disarikan dari

pemikiran Koesoema (2012:70-82).

a. Menyerambah ke seluruh kehidupan sekolah


Metode pendidikan karakter seperti ini didesain secara khusus agar seluruh

dinamika kehidupan sekolah senantiasa berjiwa pembentukan karakter. Pendidikan

karakter utuh dan menyeluruh menyerambah seluruh fase kehidupan sekolah, mulai

dari siswa-siswa masuk melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang kelas,

perpustakaan sampai mereka kembali melalui gerbang yang sama untuk pulang ke

rumah.
b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)

Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau keutamaan apa yang

akan diraih. Prioritas nilai dan keutamaan ini menjadi dasar penting bagi pertumbuhan

individu agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang diprioritaskan

itu dijunjung tinggi, disepakati bersama, dihormati, dan diteladankan oleh para pendidik

dan orang-orang lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, diharapkan

para siswa dapat menangkap bahwa nilai-nilai tersebut sungguh merupakan nilai-nilai

bersama yang ingin diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah. Dalam setiap

pembicaraan, diskusi atau berhadapan dengan berbagai masalah di sekolah, setiap

23
anggota komunitas senantiasa menyadari bahwa segala peristiwa dalam lembaga

pendidikan mesti diletakkan dalam kerangka pengembangan prioritas nilai, yang

menggerakkan dinamika kehidupan sekolah.

c. Mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup

Metode pendidikan karakter utuh dan menyeluruh mengembangkan seluruh

dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati,

dan olahraga. Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami nilai-

nilai dan keutamaan secara benar. Individu mengetahui mengapa ia melakukan sebuah

tindakan dan mengapa tindakan yang dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral

(moral reasoning). Olah hati berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam

diri individu sampai pemahaman tersebut sungguh menjadi bagian berharga dalam

dirinya. Dengan kata lain, individu menghidupi dan mencintai nilai-nilai yang telah

diajarkan kepadanya. Olah hati mengarahkan individu agar mampu membangun

komitmen menjadi pribadi berintegritas secara mendalam (moral loving). Selanjutnya,

olah raga merupakan pembadanan dari praksis nilai, yaitu merawat tubuh diri dan

orang lain. Penghargaan atas tubuh menjadi tanda dihargainya harkat dan martabat

manusia. Olah raga mengindikasikan bahwa tindakan bermoral itu hanya dapat

diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana fungsi organis tubuh berperan penting.

pemahaman dan penghargaan atas tubuh secara benar membuat individu mampu juga

menghargai keberadaan fisik orang lain apapun keadaan mereka.

d. Pengembangan organisasi dan manajemen

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh juga menyerambah sampai pada

pembentukan organisasi dan manajemen sekolah yang berjiwa pembentukan karakter,

baik itu berupa kebijakan-kebijakan maupun keputusan-keputusan yang diambil.

Definisi tugas yang jelas yang jelas dari masing-masing individu, proses pengaturan

24
relasi antar individu dalam kerangka organisasi perlu diperjelas, sehingga masing-

masing individu dalam lembaga pendidikan tersebut memiliki pemahaman akan

cakupan tanggung jawab mereka secara spesifik dan khas. Sekolah yang memiliki

manajemen yang baik mampu merealisasikan visi dan misi lembaga ke dalam praksis,

membentuk tradisi pendidikan yang kokoh, serta memiliki kepemimpinan yang

berkelanjutan.

e. Pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring community)

Pendidikan karakter akan semakin efektif, relevan dan berkesinambungan jika

terarah pada pengembangan kultur sekolah yang menghargai individu dalam

mengembangkan karakter pribadinya. Pengembangan kultur sekolah yang baik pada

gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan kultur sekolah di lingkungan

pendidikan lain. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi

pengembangan pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri.

Kehadirannya yang bermutu dan bai semestinya juga dapat menjadi contoh dan model

sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Dengan demikian, kultur pendidikan karakter di satu

sekolah yang baik dapat memengaruhi lingkungan pendidikan lain di sekitarnya.

f. Eksplisit, direncanakan, terpadu

Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan (intentional), dan

terpadu (integrated). Pendidikan karakter mesti bersifat eksplisit. Artinya, isi,

pendekatan, dan bentuk praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara

transparan kepada seluruh pemangku kepentingan sekolah, yakni siswa, guru, orang

tua, ataupun masyarakat.

Pendidikan karakter juga mesti secara sengaja direncanakan. Ada semacam

intense, niat, kehendak dan kemauan untuk secara sengaja mengembangkan pendidikan

karakter di sekolah. Guru, tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas,

25
serta anggota komunitas lain terlibat dalam desain dan perencanaan strategis

pendidikan karakter. Melalui perencanaan secara sadar, keberhasilan pendidikan

karakter dapat dievaluasi dan dinilai untuk pengembangan selanjutnya.

Pendidikan karakter juga mesti dipraktikkan secara terpadu, dan melibatkan

sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pendidikan

karakter di sekolah. Pendidikan karakter menjadi kepentingan bersama yang akan

berdampak luas dalam masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling

mendukung antara lembaga pendidikan dengan masyarakat sangatlah penting.

keterpaduan ini juga mempersyaratkan adanya simultanitas program, yakni berjalannya

berbagai macam program secara serentak dan bersama-sama. Simultanitas program

mengandaikan adanya pembenahan praksis di lapangan bukan memulai dari awal atau

menunggu program pendidikan matang. Caranya adalah dengan mulai membuat skala

prioritas hal-hal mendesak mana yang mesti dilakukan segera.

g. Pertumbuhan motivasi individu

Sifat utuh dan menyeluruh pendidikan karakter merangkum persoalan tentang

motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup bagaimana menumbuhkan dalam diri

individu sebuah semangat pembaruan diri terus-menerus dalam kebersamaan untuk

menghidupi dan menghayati nilai-nilai moral inti yang diperjuangkan. Dengan

mengembangkan motivasi dalam diri individu, program tidak sekedar dipaksakan dari

atas. Sebaliknya, ada rasa memiliki, rasa satu panggilan untuk menghayati dan

melaksanakan setiap program pengembangan sebagai bagian dari tugas panggilan

hidupnya di dunia.

Dengan motivasi moral, tampaklah bahwa setiap anggota komunitas

menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral inti dalam hidup mereka. Untuk

mendukung tumbuhnya motivasi internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan

26
bermoral baik mesti memperoleh penghargaan secara natural, pujian yang wajar. Upah

perilaku bermoral yang baik adalah pujian tulus dari komunitas, kesadaran, dan

kebanggaan diri bahwa individu tersebut menjadi contoh bagi integritas moral seorang

pribadi. Rasa hormat dan pujian ini dilakukan secara wajar dan normal dalam setiap sisi

kehidupan sekolah.

h. Pengembangan professional

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyertakan pengembangan

professional para pelakunya sebagai bagian penting. Tujuannya adalah pengayaan serta

peningkatan kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang efektif,

seperti lokakarya tentang cara mengajar yang baik dan efektif, teknik berkomunikasi

dengan orang lain, manajemen kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan bagi

kinerja dan pengembangan tugas guru. Di sini dibutuhkan pengetahuan dan

keterampilan agar individu yang terlibat dalam dunia pendidikan bertumbuh secara

sehat dan professional.

i. Kerja sama dengan banyak pihak

Metode pengembangan pendidikan karakter juga melibatkan berbagai macam

pihak dalam komunitas pendidikan. keterlibatan semua pihak diperlukan karena

pendidikan karakter menyangkut kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama

guru, staf pendidik, dan karyawan non-kependidikan. Keyakinan bersama (shared

believed) mesti muncul pada hal-hal yang esensial: nilai-nilai dan keutamaan, prinsip-

prinsip pendidkan karakter, dan nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan

oleh lembaga pendidikan.

Selain itu, pendidikan karakter di lembaga pendidikan juga berusaha

menjembatani dan menghubungkan pendidikan karakter dalam konteks tantanan

perubahan masyarakat yang lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan

27
masyarakat, terutama orang tua, merupakan sebuah keharusan. Lembaga pendidikan

melibatkan komunitas yang lebih besar agar terlibat dalam pengembangan dan promosi

pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain

kelompok bisnis, kelompok organisasi kepemudaan, organisasi pemerintah dan non-

pemerintah.

j. Terintegrasi dalam kurikulum

Metode pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum ini

mempergunakan berbagai macam materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum demi

pembentukan karakter siswa. Pembelajaran di dalam kelas mesti menghargai keunikan

setiap peserta didik dan membantu mengembangkan karakter mereka.

Proses pembelajaran di kelas terarah pada pembentukan karakter siswa melalui

pendalaman materi, baik tematis maupun non-tematis. Guru memiliki tanggung jawab

dalam merancang dan mengembangkan pendidikan karakter dalam konteks kelas, yaitu

melalui pengajaran, manajemen kelas dan pembuatan kesepakatan kelas yang

mendukung tercapainya pengembangan belajar di dalam kelas. Melalui metode

pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar,

dan perhatian pada pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa dapat

berkembang.

k. Memberikan ruang bagi tindakan

Setiap anggota komunitas diberikan ruang untuk bertindak dan mempraktikkan

nilai-nilai yang diperjuangkan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memberikan

harapan yang jelas tentang apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa

terlibat dalam tindakan-tindakan yang terkait dengan pengembangan kehidupan moral

mereka, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Caranya adalah dengan

memberikan penekanan pada unsur pengembangan tanggung jawab pribadi, sprotivitas

28
dalam olah raga, kesediaan untuk membantu orang lain, dan pelayanan pada sekolah

ataupun komunitas. Metode ini akan semakin efektif ketika lembaga pendidikan

mampu memberikan pada siswa berbagai macam kesempatan dan kemungkinan untuk

melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan program yang dibuat oleh

sekolah, yang membuat mereka terlibat aktif dalam kehidupan sekolah.

l. Kepemimpinan pendidikan berkarakter

Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin sangatlah penting dalam

pengembangan dan keberlangsungan program pendidikan karakter. Namun,

kepemimpinan kepala sekolah tidaklah berdiri sendiri. Ada berbagai macam jenis

kepemimpinan yang bisa terlibat bagi pengembangan pendidikan karakter. Untuk itu

berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam

pengembangan pendidikan karakter, akan semakin lestari pengembangan program

tersebut. Pembentukan Tim Pendidikan Karakter sekolah yang melibatkan berbagai

macam pemangku kepentingan sekolah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan.

m. Sistem evaluasi berkesinambungan

Agar pendidikan karakter dapat berlangsung lestari dan menjadi semakin baik,

maka diperlukan sistem evaluasi pendidikan karakter yang berkesinambungan. Sistem

evaluasi ini mesti memotret sekolah sebagai lembaga pendidikan, mengevaluasi

program yang didesain dan dibuat, serta memiliki sistem evaluasi individual secara

berkelanjutan utnuk melihat sejauh mana setiap individu sungguh telah bertumbuh dan

berkembang dalam pembentukan diri menjadi pribadi berkarakter.

Sekolah menentukan indikator-indikator keberhasilan dan menilah keseluruhan

program untuk melihat keberhasilan program pendidikan karakter sesuai dengan visi-

misi yang ingin dicapai. Oleh karena itu, harus ada sistem evaluasi kualitatif dan

29
kuantitatif utnuk menilai sejauh mana program pendidikan karakter itu berhasil

diterapkan.

Sekolah juga menilai dan mengevaluasi sejauh mana program pendidikan

karakter mampu mengembangkan dan menumbuhkan prestasi akademik siswa serta

membantu mereka untuk semakin termotivasi dalam membentuk diri sebagai pelajar

yang bertanggung jawab.

3.4. Desain Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang efektif dan utuh menyertakan tiga basis desain dalam

pemrogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah basis kelas, basis kultur sekolah

dan basis komunitas. Berikut intisari desain pendidikan karakter menurut Koesoema

(2012:105-153).

3.4.1. Pendidikan karakter berbasis kelas

Kelas yang dimaksud bukan terutama bangunan fisik, melainkan lebih pada

corak relasional yang terjadi antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Untuk itu

pendidikan karakter berbasis kelas membahas lebih tentang bagaimana lembaga

pendidikan dapat memaksimalkan corak relasional yang terjadi dalam kelas agar

masing-masing individu dapat bertumbuh secara sehat, dewasa, dan bertanggung

jawab.

Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua ranah

yang berjalan seiring, yaitu intstruksional dan non-instruksional. Ranah instruksional

terkait secara langsung dengan tindakan pembelajaran dan pengajaran di dalam kelas,

yakni proses pembelajaran bersama terhadap materi kurikulum yang diajarkan.

30
Sedangkan ranah non-instruksional mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika belajar

mengajar di dalam kelas, seperti motivasi, keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan

norma, aturan dan prosedur, komitmen bersama, dan lingkungan fisik.

a. Ranah Instruksional

Desain pendidikan karakter berbasis kelas yang sifatnya instruksional dapat

terjadi melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis. Pertama,

pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis adalah diberikannya materi

pembelajaran tertentu tentang pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar.

Pendidik memilih satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan

waktu khusus untuk pengembangan pembentukan karkater, baik melalui pengajaran

tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. Sifat

pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis ini adalah parsial selektif.

Artinya, program pendidikan karakter yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema

khusus atau memilih tema tertentu tentang nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam

pendidikan karakter.

Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis. Ini adalah

sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter dengan

mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam

kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran.

Dalam proses pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus yang mau dibahas,

tetapi terintegrasi dengan materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu

khusus untuk melatih dan mengajarkan pembentukan karkater karena dengan model ini

pembentukan karakter yang dilakukan terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam

setiap mata pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar mengajar sesuai dengan

mata pelajaran yang diampunya untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh

31
konkretnya, guru diminta membuat silabus, yang di dalamnya dimasukkan kolom

‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), beberapa

nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses pembelajaran mesti disebut secara

eksplisit.

b. Ranah Non-Instruksional

Ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas tertuju pada

penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pembentukkan atau

pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi

manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.

Pertama, manajemen kelas berarti menciptakan dan menjaga sebuah lingkungan

pembelajaran yang mendukung pengajaran dan meningkatkan prestasi siswa. Guru dan

siswa berhadapan dan berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama

mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas terjadi secara terencana

dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar

tujuan pembelajara dapat tercapai, yaitu penguasaan materi, keterampilan teknis,

pengayaan pribadi tentang objek pembelajaran tertentu.

Kedua, pendampingan perwalian. Momen pembinaan wali kelas sesungguhnya

menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa. Siswa

di ajak berkumpul bersama melalui berbagai macam cara. Di dalamnya warga kelas

mengevaluasi dinamika kelas mereka, mengembangkan dinamika kelompok, mencoba

mencari cara-cara penyelesaian konflik secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan

dalam program perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung jawab

bersama, saling membantu dalam proses belajar, pembelajaran demokrasi dengan

mengajak siswa menentukan tujuan kelas secara bersama beserta cara-cara praktis

untuk mencapai tujuan, keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama pendampingan

32
kelas adalah membangun kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan keberhasilan

mereka sebagai komunitas kelas yang belajar.

Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar dari pengembangan ini adalah

hubungan timbale balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat

(respect), dan saling menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki

aturan bersama yang dipahami oleh setiap anggota komunitas kelas sehingga proses

belajar mengajar menjadi lancar. Dalam mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan

setiap anggota kelas sangatlah diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui

dan disepakati oleh anggota komunitas kelas.

Pada pendidikan karakter berbasis kelas tersebut, dapat disimpulkan beberapa

karakteristik yang menjadi cara bertindak dalam pengembangan pendidikan karakter

berbasis kelas, antara lain:

- Guru sebagai fasilitator pembelajaran.


- Guru sebagai motivator pembelajaran.
- Guru sebagai desainer program.
- Guru sebagai pembimbing dan sumber keteladanan.
- Isi kurikulum menjadi sumber bagi pembentukan karakter.
- Metode pengajaran dialog bukan monolog.
- Mempergunakan metode pembelajaran melalui kerja sama (collaborative

learning).
- Partisipasi komunitas kelas dalam pembelajaran.
- Penciptaan kelas sebagai komunitas moral.
- Penegakkan disiplin moral.
- Penciptaan lingkungan kelas yang demokratis.
- Membangun sebuah ‘rasa tanggung jawab bagi pembentukan diri’.
- Pengelolaan konflik moral melalui pengajaran.
- Solusi konflik secara adil dan tanpa kekerasan.

3.4.2. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah

Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan

cara bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam

sebuah komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertidaknya adalah norma

33
sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena itu

kultur sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)

yang lebih efektif memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota

komunitas sekolah. Kultur sekolah berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam

merancang sebuah program, setiap individu dapat bekerja sama satu sama lain

melaksanakan visi dan misi sekolah melalui berbagai macam kegiatan.

Pada pendidikan karakter berbasis kultur sekolah terdapat integrasi antara

idealisme lembaga pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai macam struktur

yang mendefinisikan kinerja individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam

mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, berbagai macam momen

dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat

struktural, polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural adalah peristiwa

yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural

ini di antaranya adalah proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan,

peraturan sekolah, job description setiap jabatan dan kedudukan.

Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the

spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat

rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka

pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan siswa baru,

ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan

pengembagan professional guru. Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah kebijakan

rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun,

seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orang tua murid, penerimaan rapor, dll.

Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa

pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu

34
yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan,

dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak

dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak

sekolah untuk menyikapinya.

Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mengarah pada

pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral. Prinsip-prinsip moral dasar

semestinya menjadi dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip-prinsip yang

dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak, setiap individu berharga di dalam

dirinya, dan prinsip moral dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik

dan pengambil keputusan.

Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan sekolah

merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater berbasis kultur

sekolah. Mengembangkan kultur demokratis di sekolah tidak berarti menghapus

otoritas yang dimiliki guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu, terutama guru,

menghayati tanggung jawab moral yang diembannya secara akuntabel dan transparan

dalam kebersamaan dengan komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab

bersama dan melibatkan seluruh anggota untuk membangunnya. Dialog, komunikasi,

kesediaan untuk saling mendengarkan dan menghargai perbedaan adalah ciri medasar

sebuah komunitas demokratis. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis

pengembangan kultur demokratis di sekolah, misalnya: proses pemilihan ketua kelas,

ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau evaluasi atas kehidupan bersama.

Adapun momen-momen dalam dunia pendidikan yang dapat dijadikan sebagai

pengembangan kultur sekolah antara lain:

- Momen pengembangan diri sepertu kelompok diskusi, jurnalistik, karya

ilmiah, seni teater, menggambar, dll.

35
- Momen perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran

kelulusan.
- Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain.
- Masa orientasi sekolah (MOS).
- Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.
- Kebijakan pendidikan.
- Kolegialitas antarguru.
- Pengembangan professional guru.
- Merawat tradisi sekolah.
- Asosiasi guru-orang tua.

3.4.3. Pendidikan karakter berbasis komunitas

Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang erat

dengan komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara langsung atau tidak

langsug. Komunitas-komunitas itu antara lain:

- Komunitas sekolah: siswa, guru, karyawan, staf sekolah, pengurus yayasan,

dll.
- Komunitas keluarga: orang tua, wali siswa, komite sekolah.
- Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai perkumpulan sosial, dll.
- Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang pendidikan, mulai dari

pejabat di tingkat dinas pendidikan sampai kementrian pendidikan nasional.

Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai macam

corak kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan komunitas-

komunitas dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran lembaga pendidikan

semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota komunitas

tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Penelitian tentang model pendidikan karakter sudah pernah dilakukan dengan

judul “Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA

Lokon St. Nikolaus Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong, Program Pascasarjana

36
UNIMA, Tahun 2012. Penelitian ini menyoroti tentang bagaimana perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter siswa berasrama.


Dari penelitian tersebut disimpulkan, pertama, perencanaan pendidikan karakter

di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat oleh masing-masing unit dan sub-unit

yang ada di lembaga pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat

koordinasi antarunit, yakni sekolah, asrama, dan yayasan.


Kedua, pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon

dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program pendidikan karakter yang

telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang

ditentukan. Pendidikan karakter merupakan bagian dari kurikulum yang diatur dan

dilaksanakan oleh sekolah dan asrama. Di sekolah pendidikan karakter diintegrasikan

dalam tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan karakter dilaksanakan

dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal maupun kelompok.


Ketiga, evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon,

dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid dibuat berdasarkan

kenyataan. Sekolah tidak membuat format penilaian tersendiri untuk pendidikan

karakter karena sudah terintegrasi dalam mata pelajaran. Sementara asrama

menggunakan raport sendiri dalam penilaian pendidikan karakter. Nilai pendidikan

karakter siswa diambil dari catatan-catatan yang dibuat oleh pamong, pembina asrama

saat proses pendampingan berlangsung. Penilaian pendidikan karakter didasarkan pada

indikator-indikator yang dijabarkan dari tiga nilai utama, yakni Veritas, Virtus, Fides

(Kebenaran, Kebajikan, Iman). Nilai pendidikan karakter dibuat dalam bentuk penilaian

kualitatif, bukan kuantitatif.


Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah terletak

pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan

karakter yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada lingkungan

pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek penelitian ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN


37
A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitiannya

dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2011:14). Alasan

menggunakan metode ini adalah calon peneliti bermaksud mendapatkan pemahaman

secara lebih mendalam tentang manajemen pendidikan karakter pada SMK Katolik Sta.

Familia Tomohon (Sugiyono, 2011:399).

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMK Katolik Sta. Familia Tomohon.

Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama 5 (lima) bulan terhitung sejak

penyusunan proposal penelitian hingga perbaikan tesis (Juni 2013– Oktober 2013).

C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber

data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah pernyataan dan

tindakan dari orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai yang dicatat melalui

catatan tertulis atau melalui perekaman dan pengambilan foto. Selebihnya adalah

sumber data sekunder seperti tulisan/dokumen, foto dan statistik (Moleong: 2007:157).

Data primer diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru,

danperwakilan siswa. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang ada

berupa catatan, gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah trianggulasi atau

gabungan dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam

dan studi dokumentasi. Calon peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data

yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Observasi

partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi akan digunakan untuk semua

sumber data secara serempak (Sugiyono, 2011:330).

E. Teknik Analisis Data

38
Dalam penelitian ini data akan dianalisis secara interaktif dan berlangsung

secara terus-menerus sampai datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data

mengikuti flow model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono,

2011:337), yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

Langkah-langkah analisis data ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Periode pengumpulan data


Reduksi data
Antisipasi Selama Setelah
Display data
Selama Setelah
Kesimpulan/verifikasi
Selama Setelah Analisis

Komponen dalam analisis data (flow model)


Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 337)
Berdasarkan gambar tersebut peneliti melakukan pengumpulan data melalui

kegiatan anticipatory sebelum melakukan reduksi data. Selanjutnya model interaktif

dalam analisis data seperti gambar di bawah ini:

Data
collection
Data Display

Data reduction Data Display


Conclusion:
Komponen dalan analisis data (interactive model) drawing/verifyin
Sumber: MilesData reduction
dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 338)
g
F. Rencana Pengujian Keabsahan Data
Dalam pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data peneliti akan

menggunakan teknik pemeriksaan seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2011:367-

378) yakni: 1) Credibility (Derajat Kepercayaan) yaitu perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan dalam penelitian, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat,

analisis kasus negative, menggunakan bahan referensi, dan member check.2)

Transferability (keteralihan) yaitu mendeskripsikan secara rinci, jelas, dan sistematis

temuan-temuan yang diperolah di lapangan ke dalam format yang telah disiapkan. 3)

39
Dependability (kebergantungan) adalah melakukan audit keseluruhan aktivitas peneliti

dalam melakukan penelitian.4) Confirmability (kepastian) adalah menguji hasil

penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan.

IV. JADWAL PENELITIAN


Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 5 (lima) bulan, yakni dari

bulan Juni 2013 sampai dengan Oktober 2013, terhitung sejak penulisan Rencana

Usulan Penelitian (RUP) dengan jadwal sebagai berikut:

No Kegiatan Juni Juli Agu Sep Okt


1 Studi pustaka dan observasi lokasi emb stus
2 Penulisan RUP
3 Konsultasi RUP
4 Seminar RUP
Pengumpulan data, analisis data
5
dan konsultasi
6 Penulisan laporan, dan konsultasi
7 Ujian Tesis
8 Perbaikan tesis

DAFTAR PUSTAKA

Kambey, Daniel C. 2006. Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Manado: Tri


Ganesha Nusantara.

Koesoema, Doni A. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Di Zaman


Global. Jakarta: Grasindo.

40
________________ 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta:
Kanisius.

Kusdi, 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Megapolitan, Tawuran Antarpelajar, [Online] (http://www.megapolitan.com, diakses 21


Desember 2012).

Moleong, Lexy J., 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Ratag, Mezak A. & Korompis, Ronald, 2009. Kurikulum Berbasis Kehidupan:


Pandangan tentang Pendidikan Menurut Ronald Korompis. Tomohon: Yayasan
Pendidikan Lokon.

Sagala, Syaiful, 2010. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.


Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, 2010. Pengantar Manajemen. Jakarta:
Kencana.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2011.


Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Usman, Husaini, 2011. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.

Wikipedia Indonesia, Manajemen, [Online]


(http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5 April 2013).

Tesis:

Kumendong, Riny Cintya, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama.


Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon. Manado: Program Studi
Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Manado.

41
42

You might also like