You are on page 1of 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Hadist


Tidak diragukan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada di tangan kita
sekarang adalah catatan firman Allah yang silsilahnya bersambung secara
mutawatir sampai dengan mushaf di masa Nabi. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun,
Nabi menyuruh para sahabat terpercaya menulisnya, kemudian mereka diangkat
sebagai sekretaris wahyu. Jumlah mereka tidak kurang dari 40 orang. Jadi,
penulisan dan pembukuan ayat Al-Qur’an dilakukan semenjak masa Nabi. Tidak
ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya. Berbeda dengan
al-hadits. Benar, banyak riwayat menyebutkan bahwa di masa Nabi ada beberapa
sahabat yang menulis atau mempunyai catatan hadits. Tetapi dalam penuturan
sejarah, tulisan tersebut masih tidak jelas. Catatan al-hadits atau al-sunnah tertua
yang kini dapat kita temukan adalah al-Muwattha’ tulisan Imam Malik yang hidup
antara 713-795 M (Bandingkan dengan tahun wafat Rasulullah, 632 M). ada
tenggang waktu hampir satu abad antara masa “produksi” hadits dengan kitab
hadits tertua ini. Bahkan penilaian obyektif terhadap kitab ini adalah bahwa andai
kata tidak ada kitab hadits sahih lain (seperti sahih al-Bukhari dan Muslim) yang
memuat hadits-hadits seperti yang terkandung dalam al-Muwattha’, maka banyak
hadits al-Muwattha’ yang harus ditinggalkan karena dari segi sanad tidak sahih.
Matan-matan hadits al-Mutawattha’ dapat diterima (sahih) karena matan-matan
tersebut diriwayatkan juga oleh periwayat lain dengan sanad yang sahih.
Kitab hadits yang “melegakan” adalah yang ditulis oleh al-Bukhari (194-
256 H) yang disebut Al-Jami’ al-Shahih. Dia menjamin bahwa semua hadits yang
ditulisnya sahih. Masa al-Bukhari dikenal dengan masa pemilihan hadits sahih.
Cukup jauh tenggang waktu antara masa Nabi menyampaikan hadits dengan masa
al-Bukhari, sekitar dua abad.
Dari keterangan singkat ini dapat diketahui bahwa jarak antara ‘produksi”
hadits dengan penulisannya panjang. Satu abad dengan al-Muwattha’ dan dua
abad dengan Kitab Hadits sahih. Berbeda dengan Al-Qur’an, semenjak turun
sudah dibukukan. Karenanya banyak orang yang karena tidak mengetahui detail
bagaimana cara para ulama hadits, seperti al-Bukhari menulis hadits, menganggap
bahwa al-sunnah atau al-hadits itu lebih menggambarkan tradisi dan pikiran yang
berkembang di masyarakat penulisnya, kemudian dinyatakan sebagai berasal dari
Nabi. Mereka berkata, hadits itu makin lama makin banyak jumlahnya karena
sunnah dinilai sebagai catatan tradisi penulisnya.

A. Hadits di Masa Nabi

1|Page
Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah orang islam di masa Nabi terus
bertambah banyak, baik di periode Makkah maupun Madinah. Kalau perhatian
ummat terhadap agama baru yang dibawa oleh Nabi baru amat besar, agaknya
tidak berlebihan. Banyak hal baru yang mereka dengar dari Nabi. Maka tidak
mustahil kalau para sahabat Nabi kemudian ingin tahu lebih banyak tentang ajaran
Nabi dengan cara meluangkan waktu untuk selalu menyertainya, kemudian
mereka sampaikan kepada orang lain.
Di samping utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat.
Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja, (Rasul, pemimpin masyarakat,
panglima perang, kepala rumah tangga, teman,) maka, tingkah laku, ucapan dan
petunjuknya disebut sebagai ajaran agama Islam. Ia sendiri sadar sepenuhnya
bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud dalam kehidupan
sehari-hari. Karenanya setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkanya,
sehingga banyak media yang digunakan Nabi menyampaikan hadits. Para sahabat
juga mengambil kesempatan itu untuk belajar.
Pertemuan resmi seperti khutbah, pertemuan antar kelompok merupakan
media efektif tersiarnya banyak hadits. Media lain yang peranannya sama dengan
pertemuan resmi dalam penyiaran hadits antara lain:
1. Peristiwa yang dijumpai langsung oleh Nabi. Misalnya sebuah hadits dari
Abu Hurairah: ketika Rasulullah mencurigai seorang pedagang bahan
makanan di pasar, ia bertanya “bagaimana cara kamu berdagang?” setelah
dijawab, Nabi menyuruh agar pedagang itu memasukkan tangannya ke
dalam dagangannya. Setelah tangan dikeluarkan ternyata basah, tanda
kecurangan. Nabi berkata, “Tidak termasuk golongan kami orang yang
menipu”1
2. Peristiwa yang dijumpai sahabat kemudian dilaporkan kepada Nabi untuk
dimintakan fatwanya. Dua orang sahabat yang berpergian hendak shalat,
tidak mendapatkan air. Maka mereka shalat dengan tayammum. Selesai
shalat mereka mendapatkan air, sementara waktu shalat belum habis.
Seorang mengulangi shalatnya, seorang lagi tidak. Perbedaan perilaku ini
dilaporkan kepada Nabi. Kepada yang tidak mengulangi shalat, Nabi
berkata, “Engkau telah memenuhi sunnah, shalatmu sudah cukup.”
Kepada yang mengulangi shalat, Nabi berkata, “Engkau mendapat pahala
dua kali.”2
Karena sahabat adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga,
bekerja, dll. Maka tidak setiap kali lahir sebuah hadits disaksikan oleh semua
mereka. Sebagian sahabat menerima hadits dari sahabat lain yang mendengar
langsung ucapan Nabi, atau melihat langsung tindakannya. Apalagi sahabat yang

1
Musnad Ahmad, Juz. 13 hlm. 18. No. hadits 7290.
2
Sunan Abu Daud, J. I. hlm. 142-143.

2|Page
berdomisili di daerah yang jauh dari Madinah, seringkali hanya memperoleh
hadits dari sesama sahabat.

1. Penyebarluasan Hadits
Substansi ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan al-hadits. Sebagai Rasul,
Muhammad SAW. Berkepentingan menyebarkan Islam kepada umat manusia. Al-
hadits tersiar bersama penyiaran Islam itu dengan sendirinya. Dalam sebuah
riwayat Nabi Berkata “Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati
hanya satu ayat!.”3
Dalam hadits lain disebutkan “Hendaknya orang yang menyaksikan hadits
di antara kamu menyampaikannya kepada yang tidak hadir (di majelis hadits
ketika itu). Karena boleh jadi, banyak orang yang menerima hadits (dari kamu)
lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang mendengar (langsung dari saya).4
Hadits ini disampaikan oleh Nabi dalam Haji wada’. Sebab itu, para
sahabat kemudian mempunyai kebiasaan menyampaikan pesan-pesan agama yang
didengar dari Nabi kepada sahabat lain yang tidak sempat mengetahuinya
langsung.
Adapun faktor yang mendukung percepatan penyiaran hadits di masa Nabi
adalah:
a) Rasulullah SAW sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b) Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat
orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran
agama ini, selanjutnya, secara otomatis tersebar ke orang lain secara
bersinambungan.
c) Peranan para istri Nabi amat besar dalam penyiaran Islam, hadits
termasuk didalamnya. Terdapat kasus-kasus yang ditanyakan oleh kaum
wanita tentang ajaran Islam yang berlaku bagi mereka. Persoalan yang
dipandang oleh mereka amat rahasia tidak ditanyakan langsung kepada
Nabi, tetapi melalui perantara istri-istri beliau.

2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya


Kalau di masa hidupnya Nabi mengangkat banyak sahabat untuk menulis
Al-Qur’an, tidak demikian halnya untuk hadits. Bahkan terdapat beberapa riwayat
yang isinya, Nabi melarang penulisan hadits. Misalnya, Abu Sa’id al-Khudri
meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda “Janganlah kamu menulis dari saya
selain Al-Qur’an . barang siapa menulisnya agar dihapus. Riwayatkanlah dari

3
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, bab al-anbiya, no. 50.
4
Ibid, bab al-Iman, no. 9.

3|Page
saya. Barang siapa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di
neraka.”5
Tetapi terdapat pula hadits yang membolehkan orang menulis hadits.
Misalnya, Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah
Rasulullah SAW bangkit untuk berkhotbah di tengah orang banyak. Maka
berdirilah seorang penduduk yaman, bernama Abu Syah. Katanya,“Ya
Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Kata Nabi,“Tuliskanlah untuknya.”6
Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, Nabi mengirim surat-surat ke
berbagai penguasa negara-negara tetangga. Sesuai dengan cakupan hadits adalah
apa saja yang berasal dari Nabi, termasuk isi surat, maka dengan perintah menulis
surat, Nabi memberi izin penulisan surat.
Dari kedua versi hadits itu diperoleh kesan ada pertentangan antara
larangan dan izin menulis hadits. Tetapi yang jelas, kini kita mendapatkan hadits
dari tulisan-tulisan. Ada beberapa teori muncul mengatasi kontradiksi kedua versi
hadits tersebut. Misalnya:
a) Larangan menulis hadits itu di periode permulaan Islam, dan izin
penulisannya diberikan di periode akhir kerasulan.
b) Larangan penulisan hadits itu bagi orang yang kuat hafalan dan tidak
dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur
dengan Al-Qur’an. Izin menulis diberikan kepada yang pandai menulis,
tidak dikhawatirkan salah serta bercampur dengan Al-Qur’an.
c) Larangan itu ditujukan bagi yang kurang pandai menulis, dikhawatirkan
tulisannya keliru. Sementara, orang yang pandai menulis tidak dilarang
menulis hadits.

Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya banyak Sahabat


Nabi yang pandai menulis, dan banyak pula mempunyai catatan hadits yang
terpisah dari catatan Al-Qur’an. Artinya, sesuai dengan keterangan diatas, catatan
hadits itu dibuat oleh para sahabat di masa Rasulullah SAW dalam wujud
shahifah. Sebagian sahabat membakar catatan-catatan hadits yang mereka miliki
sebelum mereka wafat. Di antara shahifah yang perlu dijadikan contoh di sini
adalah Al-Shahifah al-Shadiqah milik Abdullah ibn Amr ibnil Ash (7 SH-65 H).
Rasulullah SAW memang telah mendengar bahwa Abdullah ibn Amr ini
mempunyai catatan hadits karena ia penulis yang baik. Di Madinah, sahabat ini
menyaksikan para sahabat menulis hadits. Ia menuturkan “Pada suatu saat para
sahabat berada di kediaman Nabi. Saya juga berada disana. Ketika itu Rasulullah
bersabda ‘Barang siapa dengan sengaja bohong atas nama diriku maka neraka
bagiannya’ setelah kami keluar saya bertanya kepada mereka. ‘Bagaimana kalian

5
.H.R. Muslim dalam Syarh al-Nawawi, J. 18, hlm. 129.
6
H.R. Ahmad, Juz. 12. Hlm. 232.

4|Page
meriwayatkan hadits dari Nabi, sedangkan Nabi bersabda begitu?’ mereka tertawa
sembari mengatakan, “Wahai kemenakan kami, semua hadits yang kami dengar
dari Rasulullah itu sudah kami catat dalam tulisan.”7
Dalam riwayat lain, sebagai disebutkan diatas, ketika ia ragu akan
kebolehan menulis hadits Nabi, lalu ia menghadap Nabi, beliau berkata, “Tulislah,
demi Allah, tidak keluar dari mulutku ini kecuali kata-kata yang benar.”8 Atas
dasar pengalamannya ini tampaknya Abdullah ibn Amr Ibnil Ash memiliki minat
mencatat hadits. Catatan haditsnya dikenal dengan nama al-Shahifah al-Shadiqah.
Dimaksudkan, bahwa catatanya berisi petunjuk yang benar yang berasal dari
Rasulullah SAW.

B. Hadits di Masa Sahabat dan Tabi’in

1. Sahabat dan Riwayat Hadits


Siapa yang disebut sahabat antara lain:
a) Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dengan beriman kepadanya dan
mati sebagai orang Islam.9
b) Orang yang lama menemani Nabi SAW dan berulang kali mengadakan
perjumpaan dengannya dalam rangka mengikuti dan mengambil pelajaran
darinya.10
c) Orang Islam yang pernah menemani Nabi SAW atau melihatnya.11

Dari uraian diatas diketahui bahwa sahabat itu mempunyai unsur bergaul
dengan Nabi dan beragama Islam. Kalau periode Rasul adalah perode ketika
Rasul masih hidup, yang lazim disebut periode wahyu dan pembentukan tata
aturan Islam, maka dimaksud dengan periode sahabat adalah periode sesudah
Rasul wafat hingga tampilnya generasi tabi’in selaku murid para sahabat. Di
periode sahabat, daerah kekuasaan Islam semakin luas melalui ekspansi militer.
Penyiaran hadits sebagai bagian dari penyiaran Islam menyertainya. Memasuki
periode ini , yang dihadapi oleh umat Islam adalah persoalan orang-orang murtad
dan pertikaian poitik. Inilah sebab munculnya hadits-hadits palsu. Karenanya
tidak mengherankan kalau para sahabat, utamanya Khulafa al-Rasyidun tidak
menyukai banyak periwayatan dari Rasul, takut terjadi kebohongan atas nama
Rasul, dan pembelokan perhatian orang Islam dari al-Qur’an kepada al-hadits.
Periode ini lazim disebut Masa Pengetatan Periwayatan Hadits.

7
Ibid., hlm. 171. Ia mengutip riwayat ini dari kitab Majma’ al-Zawaid
8
Musnad Ahmad, J.II. hlm. 192,207,215.
9
Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ulum al-Hadits, Jami’ah al-Azhar, 1971, J. I, hlm
132-200.
10
Ibid
11
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Maktabah Wahbah, Cairo, 1963, hlm.387.

5|Page
 Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu , misalnya Abu Bakar, meminta
pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang kepadanya mengatakan
“Saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh putra anak laki-laki saya.”
Kata Abu Bakar, “Saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari al-Qur’an
maupun dari Rasul.” Lebih lanjut Abu Bakar berkata, “Siapa diantara kalian yang
mendengar ketentuan itu dari Rasul?” Maka tampillah Muhammad bin Maslamah
sebagai saksi bahwa seorang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian
seperenam harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya. Kemudian Abu Bakar
memberikan bagian tersebut.12
Ada sebuah riwayat yang bersumber dari Aisyah Ra, ia berkata, “Ayahku
mengumpulkan hadits Rasul sebanyak 500 buah. Di suatu malam beliau tampak
resah. Akhirnya saya bertanya, ‘Apakah Ayah sedang sakit atau ada sesuatu?’
Pagi harinya, beliau menyuruhku mendatangkan hadits yang ada padaku. Setelah
aku menyerahkannya, beliau membakarnya. Saya bertanya, ‘kenapa ayah
membakarnya?’ Beliau menjawab, “Saya khawatir, bila saya mati hadits itu masih
ada padaku....”
Terhadap riwayat ini, Al-Dzahabi berpendapat bahwa riwayat diatas tidak
shahih. Tokoh-tokoh lain, seperti Ibn Katsir, mengkritik hadits ini dengan
mengatakan, hadits ini lemah. Alasannya, Abu Bakar sendiri menulis hadits.
Dalam suratnya kepada Anas ibn Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar
mencantumkan beberapa hadits tentang kewajiban membayar zakat bagi orang-
orang Islam.13 Disamping itu, al-Thabrani di al-Mu’jam al-Kabir, J.I.
menyebutkan, Abu Bakar berkirim surat kepada Amru ibn al-Ash, didalamnya
ditulis beberapa hadits.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan
hadits. Akan tetapi tidak perlu disalahpahami bahwa beliau tidak anti terhadap
penulisan hadits. Bahkan, untuk kepentingan tertentu, hadits Nabi ditulisnya.

 Umar ibn al-Khatthab


Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al-Khatib mengatakan, Umar
bin al-Khattab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang
menghamburkan riwayat hadits, atau orang yang membawa hadits (khabar)
mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi, dan ia
meminta para sahabat untuk memperkecil jumlah riwayat atau tidak
menghamburkannya. Hal itu di maksudkannya agar manusia tidak begitu saja

12
Imam Malik, al-Muwattha’ , J. 2, hlm. 513. Periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibn
Majah.
13
Shahih al-Bukhari, hadits no. 1454

6|Page
mempermudah urusannya, lalu dengan seenaknya memasukannya segala
kepalsuan, dan agar tidak terjadi penipuan dan kebohongan, baik dari orang-orang
Arab Badwi. Begitu pula dari kalangan pemuka sahabat atau keluarga terdekat
Rasulullah SAW seperti, Abu Bakar, al-Zubeir, Abu Ubaidillah dan Abbas bin
Abd. al-Muthallib, mereka memperkecil jumlah riwayat hadits dari Nabi, bahkan
ada diantara mereka yang hampir-hampir tak pernah meriwayatkan sepotong
hadits pun, seperti halnya Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail, satu diantara
sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk surga.14
Abu Hurairah, seorang sahabat terbanyak meriwayatkan hadits, pernah
ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits dimasa Umar,
lalu menjawab “Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti aku
meriwayatkannya kepadamu (membanyakkan riwayat), niscaya Umar akan
mencambukku dengan cambuknya.15
Informasi diatas menggambarkan bahwa Umar bin al-Khatthab tidak
senang terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadits dengan terlalu
mudah dan sembrono. Tentu, agar kemurnian hadits Nabi dapat terpelihara. Ini
tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadits. Umar r.a. mengutus para ulama
untuk menyebarkan Al-Qur’an dan hadits. Pada akhir hayatnya Ia berkata. “ Ya
Allah, saksikanlah bahwa kami pernah mengutus para ulama mengajarkan Islam
dan Sunnah Nabi kepada penduduk negeri.16
Riwayat lain menyebut perkataan Umar r.a. “Saya tidak mengangkat
penguasa daerah untuk memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian.
Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Al-Qur’an dan hadits kepada
kamu semua.”
Dari keterangan di atas diketahui, disamping ketatnya pembatasan
periwayatan oleh hadits oleh Umar, terlihat juga usaha beliau agar hadits Nabi
diriwayatkan oleh orang-orang Islam di berbagai negeri tentu dengan cara yang
selektif.

2. Sahabat dan Tingkatannya


Begitu banyak sahabat Nabi sehingga tidak dapat dihitung secara pasti.
Mereka juga tidak berbarengan masuk Islam. Al-Naisaburi membagi para sahabat
dalam banyak kelompok. Kelihatannya pengelompokan ini dilihat dari tingkat
keutamaan. Antara lain:
a) Sahabat yang masuk Islam di Makkah seperti Abu Bakar, Umar, Ustman,
Ali, dll.

14
Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah, op.cit., hlm. 92.
15
Ibid., hlm. 96.
16
Musnad Ahmad, J. I. hlm. 48.

7|Page
b) Sahabat yang tergabung dalam Dar al-Nadwah, yang ketika Umar
menyatakan keislamannya mereka membawanya kepada Rasulullah lalu
membai’atnya.
c) Sahabat yang turut berhijrah ke Habsyi.
d) Sahabat yang membai’at Nabi SAW di Aqabat al-Ula.
e) Sahabat yang membai’at Nabi pada Aqabat kedua, yang kebanyakan
orang-orang Anshar.
f) Orang-orang muhajirin pertama yang menemui Rasulullah selagi beliau di
Quba, sebelum memasuki Madinah.
g) Sahabat yang termasuk dalam pasukan Badar pertama.
h) Sahabat yang ikut berhijrah ke suatu tempat antara Badar dan
Hudaibiyyah.
i) Kelompok Bai’atur Ridhwan.
j) Sahabat yang ikut hijrah antara al-Hudaibiyyah dan al-Fath, seperti
Khalid ibn al-Walid, Amru ibn al-Ash, Abu Hurairah, dll.
k) Para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah SAW pada
waktu penaklukan Makkah dan Haji wada’ atau di tempat-tempat lain.17

Kenyataan bahwa sahabat itu begitu banyak jumlahnya dan berasal dari
latar belakang sosial kemasyarakatan yang berbeda, begitu pula kemampuan
berfikir dan menghafal yang bervariasi, maka tidak mungkin pengetahuan mereka
tentang hadits dan sunnah itu sederajat. Bahkan tidak seorang sahabat pun yang
dapat meliput seluruh hadits Rasulullah. Sebab, adakalanya Nabi bersabda,
berfatwa, memutuskan perkara, yang mendengar dan melihat hanya sahabat yang
ketika itu kebetulan hadir. Kemudian mereka menyampaikan riwayat tentang
kasus yang mereka saksikan kepada sahabat lain.

17
Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadits, Maktabah al-Mutanabbi, Kairo, tt., hlm. 22-24.

8|Page

You might also like