You are on page 1of 45

LAPORAN KASUS

Cholelithiasis

Pembimbing:

dr. Imawarni

dr. Ari Fajarudi

Disusun oleh:

dr. Muhammad Dicky Hidayattullah

RSUD NATUNA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA 2017-2018

OKTOBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung


empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis.1
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila
batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran
klinis penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala
dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,
atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala
dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG,
atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG,
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini
sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya
peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan moralitas

2
BAB II

KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Z
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No RM : 04-46-XX
Tgl masuk bangsal : 8 September 2018
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bandarsyah

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas menjalar
hingga ke punggung sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan hilang
timbul berlangsung ± 30 menit seperti ditusuk-tusuk dan semakin lama
semakin sering. Nyeri sampai mengganggu aktifitas dan pasien tidak bisa
tidur bila kambuh. Keluhan dirasakan timbul saat pasien kecapaian dan
makan-makanan yang berlemak. Keluhan mual diakui saat makan-
makanan berlemak, Keluhan muntah 1x tadi malam, muntahan cairan
bening, sedikit. Keluhan demam, nyeri ulu hati disangkal. BAB lancar
1x/hari, warna kekuningan, BAK lancar 3x/sejak semalam, warna kuning
kecoklatan. Pasien sudah pernah berobat ke dokter dan telah didiagnosis
batu pada kantong empedu dan belum operasi.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
2. Riwayat penyakit gula : disangkal
3. Riwayat penyakit hati : disangkal
4. Riwayat kelainan darah : disangkal
5. Riwayat mengkonsumsi obat jangka lama: disangkal
6. Riwayat alergi obat : disangkal
7. Riwayat operasi di perut sebelumnya : disangkal
8. Riwayat tumor : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Riwayat kelainan yang sama : disangkal
2. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
3. Riwayat penyakit gula : disangkal
4. Riwayat penyakit hati : disangkal
5. Riwayat kelainan darah : disangkal
6. Riwayat tumor : disangkal
Riwayat Pribadi Ekonomi Sosial
Pasien adalah ibu rumah tangga dengan 2 orang anak. Sebelum
sakit sering mengkonsumsi makanan berlemak. Tidak merokok dan
minum-minuman beralkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Status Gizi
BB : 60 kg
PB : 152 cm
IMT : 26,08 kg/m2
Status gizi : kesan overweight

4
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,6° C (aksiler)
Status Generalis
a) Kulit
Warna sawo matang, ikterik (-)
b) Kepala
Kesan mesocephal
c) Mata
Konjungtiva palpebra anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(Ø 3mm/3mm)
d) Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-)
e) Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), septum
deviasi (-/-)
f) Mulut
Bibir kering (-), bibir sianosis (-)
g) Leher
Simetris, trachea di tengah, pembesaran KGB (-)
h) Thorax
Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Ø Lateral >Antero Ø Lateral >Antero
posterior posterior
Hemitorak Simetris Simetris
Dinamis Simetris Simetris
Retraksi (-) (-)

5
interkostal
2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Pelebaran ICS (-) (-)
Arcus Costa Normal Normal
3. Perkusi Sonor diseluruh Sonor di seluruh
lapang paru lapang paru

4. Auskultasi
Suara dasar
Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
Wheezing(-), Wheezing(-),
ronki (-) ronki (-)
Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada Dalam batas normal Dalam batas normal
Hemitorak Simetris Simetris

2. Palpasi
Stem fremitus Dextra = sinistra Dextra = sinistra
Pelebaran ICS (-) (-)

3. Perkusi
Suara lapang Sonor di seluruh Sonor di seluruh
paru lapang paru lapang paru

4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Wheezing(-), ronki (-) Wheezing(-), ronki (-)

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat

6
Perkusi :
 Batas atas : ICS II parasternal sinsitra
 pinggang jantung : ICS III parasternal sinsitra
 batas kanan bawah : ICS IV lin. sternalis dextra
 kiri bawah : ICS IV linea midclavicula
sinistra 1 cm kearah medial
konfigurasi jantung : dalam batas normal
Auskultasi : reguler
Suara jantung murni: SI,SII (normal) reguler.
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-) SIII (-),
SIV (-)
i) Abdomen
Inspeksi : permukaaan datar, warna kulit normal, ikterik (-),
spider nervi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus 9 x / menit, bruit hepar (-), bruit aorta
abdominalis(-), bruit A.Renalis dextra (-), bruit
A.Renalis sinistra (-), bruit A.Iliaca dextra (-),
bruit A.iliaca sinistra (-).
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, liver span (10
cm), pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), nyeri
ketok CVA (-/-)
Palpasi : Nyeri tekan dalam region hipokondrium dextra
(+), hepar (sulit dinilai karena nyeri), murphy sign
(+), lien tidak teraba, ginjal ballottement (-/-),
rovsing sign (-), iliopsoas sign (-), Blumberg sign (-
), nyeri tekan titik mc. Burny (-), obturator sign (-)

7
j) Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Jaundice -/- -/-
Capilary refill <2”/ <2” <2”/ <2”

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium tanggal 08-09-2018
Darah Rutin
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Leukosit 9.6 103/ul 4.0 – 12.0
Eritrosit 4.13 106/ul 4.00 – 5.00
Hemoglobin L 11.6 g/dl 12.0 – 16.0
Hematokrit L 34.4 % 37.0 – 43.0
Trombosit 331 103/ul 150 – 400
MCV 83.2 fL 78.6 – 102.2
MCH 28.1 pg 25.2 – 34.7
MCHC 33.7 g/dl 31.3 – 35.4
HITUNG JENIS
Granulosit 73 % 50 – 80
Limfosit L 20.0 % 20.5 – 51.1
Monosit 7 % 2–9
HEMOSTASIS
Waktu pembekuan 4’10” Menit 2-6
Waktu pendarahan 3’30” Menit 1-5
Glukosa sewaktu 97 mg/dL < 125
KIMIA KLINIK

8
FUNGSI GINJAL
Ureum 26 mg/dL 10-50
Creatinin 0.61 mg/dL 0.50-0.90
FUNGSI HATI
Total Protein 6.6 g/dL 6.6-8.7
Albumin 3.5 g/dL 3.8-5.1
Bilirubin Total 0.80 mg/dL <1.5
Bilirubin Direk H 0.32 mg/dL 0.00-0.25
Bilirubin Indirek 0.48 mg/dL 0.00-1.10
SGOT H 214 U/L 0-40
SGPT H 99 U/L 0-40
SERO-IMUNOLOGI HEPATITIS
HBsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif

V. RESUME
Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas menjalar hingga ke
punggung sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan hilang timbul
berlangsung ± 30 menit seperti ditusuk-tusuk dan semakin lama semakin
sering. Nyeri sampai mengganggu aktifitas dan pasien tidak bisa tidur bila
kambuh. Keluhan dirasakan timbul saat pasien kecapaian dan makan-
makanan yang berlemak. Keluhan mual diakui saat makan-makanan
berlemak, Keluhan muntah 1x tadi malam, muntahan cairan bening,
sedikit. BAB lancar 1x/hari, warna kekuningan, BAK lancar 3x/sejak
semalam, warna kuning kecoklatan, demam (-), nyeri ulu hati (-). Pasien
sudah pernah berobat ke dokter dan telah didiagnosis batu pada kantong
empedu dan belum operasi.
Dari pemerikasaan fisik ditemukan KU: compos mentis, Tanda
Vital dalam batas normal. Status internus abdomen pada palpasi terdapat
nyeri tekan dalam region hipokondrium dextra (+), Murphy sign (+).

9
Dari pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hemoglobin L 11.6,
Hematokrit L 34.4, bilirubin direk H 0.32, SGOT H 214, SGPT H 99,
HbsAg rapid non reaktif.
VI. ASSESMENT
Diagnosis Kerja : Suspek Cholelithiasis

VII. PLANNING
Ip Dx: Suspek Cholelitiasis
S:-
O : EKG, USG
Ip Tx :
 Operatif : Cholesistectomy (konsul Sp.B)
 Non operatif :
o Infus RL 20 tpm
o Injeksi Ketorolac 2 x 30 mg
o Injeksi Omeprazole 2 x 20 mg
o Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 g
o Ursodex acid tab 3 x 1
Ip Mx :
 Monitoring KU dan Vital Sign
 Monitoring perbaikan klinis
 Monitoring laboratorium
Ip Ex :
- Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien dan rencana
pengobatan dan terapi operatif yang akan diberikan.
- Menjelaskan bahwa tindakan operatif adalah pengobatan satu-
satunya untuk penyakit pasien.
VIII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam

10
IX. FOLLOW UP
1. Pre Operatif

Hasil EKG :
1. Irama sinus
2. Heart Rate : 300/4 = 75 x/menit
3. Normoaxis
4. Zona transisi : pada V2
5. Gelombang patologis : tidak ada

11
USG Abdomen tanggal 09-09-2018

12
Pembacaan :
Hepar : ukuran normal, tepi tajam, permukaan rata,
parenkim homogeny, nodul (-), V. Porta dan V.
Hepatica tak melebar.
Duktus biliaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar
Vesika fellea : dinding diffuse agak menebal disertai lesi
hiperechoik, jumlah multiple, acoustic shadow (+),
diameter terbesar ± 0,52 mm
Pankreas : ukuran normal, tak tampakmassa/kalsifikasi
Kelenjar para Aorta : tak melebar
Lien : ukuran normal, nodul (-), V lienalis tak melebar
Ginjal kanan : ukuran normal, parenkim normal, PCS tak
melebar, batu (-)
Ginjal kiri : ukuran normal, parenkim normal, PCS tak
melebar, batu (-)
Vesika urinaria : dinding tak menebal, tak tampak batu/massa

13
Kesan : Tampak cholelitiasis dengan batu multiple,
diameter terbesar ± 0,52 mm disertai tanda-tanda
cholecystitis.

Follow Up
Tanggal Catatan Terapi
9/8/2018 S : nyeri perut kanan, mual (+), Terapi tetap
Jam 07.00 muntah (-), demam (-), BAK Rencana operasi
seperti teh, BAB dempul (-) Cholesistectomy
O : KU/ Kes : lemah/CM, TD
110/70mmHg, HR : 70x/menit,
RR : 20x/menit, t : 36,4oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
hipokondrium dextra, timpani,
BU (+) N
10/8/2018 S : nyeri perut kanan, mual (+), Terapi tetap
Jam 07.00 muntah (-), demam (-), BAK Rencana operasi
seperti teh, BAB dempul (-) Cholesistectomy
O : KU/ Kes : lemah/CM , TD
140/80mmHg, HR : 69x/menit,
RR : 20x/menit, t : 36,4oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
hipokondrium dextra, timpani,
BU (+) N
11/8/2018 S : nyeri perut kanan, mual (+), Operasi Cholesistectomy
Jam 07.00 muntah (-), demam (-), BAK Rawat ICU post op
seperti teh, BAB dempul (-) RL+D5 28 tpm drip
O : KU/ Kes : lemah/CM , TD tramadol/8jam
150/90mmHg, HR : 74x/menit, Injeksi Ceftriaxone 2x1
RR : 20x/menit, t : 36,2oC Injeksi ketoroloac 2x1

14
Mata : sclera ikterik +/+ Injeksi omeprazol 2x1
Abdomen : supel, nyeri tekan
hipokondrium dextra, timpani,
BU (+) N

2. Post Operatif
Laboratorium tanggal 12-09-2018
Darah Rutin
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Leukosit 11.4 103/ul 4.0 – 12.0
Eritrosit L 3.97 106/ul 4.00 – 5.00
Hemoglobin L 11.5 g/dl 12.0 – 16.0
Hematokrit L 32.8 % 37.0 – 43.0
Trombosit 256 103/ul 150 – 400
MCV 82.5 fL 78.6 – 102.2
MCH 29.0 pg 25.2 – 34.7
MCHC 35.1 g/dl 31.3 – 35.4
KIMIA KLINIK
FUNGSI GINJAL
Ureum 16 mg/dL 10-50
Creatinin 0.59 mg/dL 0.50-0.90
FUNGSI HATI
Total Protein 6.9 g/dL 6.6-8.7
Albumin 4.0 g/dL 3.8-5.1
ELEKTROLIT
Kalium 4.00 mmol/L 3.50 – 5.10
Natrium L 134 mmol/L 135 – 145
Klorida 102 mmol/L 95-115

15
Follow Up
Tanggal Catatan Terapi
12/9/2018 S : nyeri bekas operasi, sesak Terapi tetap
Jam 07.00 nafas (-), demam (-), flatus (-) Pasang NGT
O : KU/ Kes : lemah/CM, TD Diet cair
150/80 mmHg, HR :
124x/menit, RR : 24x/menit, t :
36,2oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
bekas operasi, timpani, BU (-)

13/9/2018 S : nyeri bekas operasi, sesak Pindah bangsal


Jam 07.00 nafas (-), demam (-), mual (-), NGT aff
muntah (-), kembung (-), flatus Mobilisasi
2x Diet bubur
O : KU/ Kes : lemah/CM, TD
150/80 mmHg, HR :
111x/menit, RR : 20x/menit, t :
37,1oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
bekas operasi, timpani, BU (+)
N

14/9/2018 S : nyeri bekas operasi, sesak Terapi tetap


Jam 07.00 nafas (-), demam (+) Paracetamol tab 1x
O : KU/ Kes : lemah/CM, TD
130/80 mmHg, HR : 80x/menit,
RR : 20x/menit, t : 37,8oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
bekas operasi, timpani, BU (+)

16
15/9/2018 S : nyeri bekas operasi, sesak Terapi lanjut
Jam 07.00 nafas (-), demam (-)
O : KU/ Kes : lemah/CM, TD
130/70 mmHg, HR : 82x/menit,
RR : 20x/menit, t : 36oC
Abdomen : supel, nyeri tekan
bekas operasi, timpani, BU (+)
N

16/9/2018 S : nyeri bekas operasi Ganti balut


Jam 07.00 O : KU/ Kes : baik/CM, TD Diet nasi tim rendah
120/80 mmHg, HR : 80x/menit, lemak
RR : 20x/menit, t : 36oC Cefixime 2x1
Abdomen : supel, nyeri tekan Metronidazol 3x1
bekas operasi, timpani, BU (+) Ketorolac 2x1
N Omeprazol 2x1

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Cholelithiasis atau pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat
dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus
(choledocholithiasis).
Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering
dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada wanita dikarenakan
memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan genetik.
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.

Gambar 2.1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

—-

18
3.2 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai
duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi
kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan
collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus
coeliacus.

19
Gambar 3.1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

3.3 Fisiologi Saluran Empedu


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada
ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan

20
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan
membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini
disebabkan oleh dua hal yaitu:
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai
duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormon
Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen:
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun


hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

21
Komposisi Cairan Empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu

Air 97,5 gm % 95 gm %

Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %

Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %

Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %

Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %

Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %

Elektrolit - -

a. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna
lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-
kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian
besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada

22
gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
b. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole
menjadi bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat
ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila
terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria
maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

3.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda
jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an
agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

3.5 Faktor Resiko


Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung
empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

23
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi
garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung
empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

24
3.6 Patofisiologi
3.6.1 Patogenesis Bentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari
Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa
berupa sebagai:
 Batu Kolesterol Murni
 Batu Kombinasi
 Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar
kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
 Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
 Batu Kolesterol
 Batu Campuran (Mixed Stone)
 Batu Pigmen.

 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam
perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di
dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima
sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio
kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan
normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi

25
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13.
Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya
pada gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi
(gangguan sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat
dan kadar chenodeoxycholat rendah, padahal
chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan
menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan
bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen.
Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium
bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang
homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap
karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup
waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan
normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan
sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan
dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi

26
akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada
penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total
parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi,
karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang
baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung
empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa
keluar.

 Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena
pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan
penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi
karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang
sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase
yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat
kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel
bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo
Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau
bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung
dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing
tambang.

27
3.6.2 Patofisiologi Umum
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu,
kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi,
melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan
kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

28
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi.

3.7 Manifestasi Klinis


Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat
karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang
disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang
dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia,
flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda
Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi,
perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung
empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke
abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan

29
dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan
atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain
kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis,
sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena
perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit
penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan
telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien
disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui
duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk
di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit
koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa
gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan
tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri
sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone
pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran
empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi
penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

30
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

3.8 Diagnosis
3.8.1 Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik
(adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks (
menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 %
kolelitiasis adalah asimptomatik.1
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri
di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-
lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

31
3.8.2 Pemeriksaan Fisik
 Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau
umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

3.8.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan
akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

32
b. Pemeriksaan radiologis
TEKNIK IMAGING
Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus
biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat
diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula
penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras.
Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut
porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan
karsinoma kandung empedu.
Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga
(mercedez-ben sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak
langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus
choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus
biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-
kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh
organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya
(emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan
biasanya timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik
disebabkan diabetic angiopathy.
Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan
secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan cholecystitis
hebat.
Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak
diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan oral
yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam
empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung empedu yang
tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal
lain dari kandung empedu.
Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral.
Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung
iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu

33
pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan
kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan bermacam-
macam keuntungan. Tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu menelan kontras.
Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk
mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali.
Seorang ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan
hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada
patophysiology, kolesistografi oral memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak
orang yang mempunyai batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu derajat
tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien
mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu kecil dari pada
kolesistografioral.
Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari
pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung empedu.
Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari patologi fisiologi dari
sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid
compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan radioaktivitas
dapat diikuti ke dalam duodenum.
Kolelitiasis
Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada
kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik dibawahnya. Batu yang
kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada
keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat
membantu.

Kolesistitis akut
Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan
dinding kandung empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di
sekelilingnya yang menandakan adanya perikolesistitis atau perforasi. Sering
diikuti rasa nyeri pada penekanan dengan transuder yang dikenal sebagai morgan
sign positif atau positif transuder sign.

34
Kolesistitis kronik
Kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding menjadi sangat
tebal dan eko cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis
kronik lanjut dimana kandung empedu sudah mengisut (contracted gallblader).
Kadang-kadang terlihat hanya eko batunya saja yang terlihat pada fossa vessika
felea.

Saluran empedu
Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu,
USG merupakan pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur pencitraan.
Saluran empedu intra hepatik akan mudah dilihat bila terjadi pelebaran karena
selaluberjalan periportal anterior. Hal ini menjadi sangat penting karena pelebaran
saluran empedu ini kadang-kadang sudah terlihat sebelum bilirubin darah
meningkat.
Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus koledukus melebar arau tidak,
maka pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih dahulu.
Pada keadaan obstruksi duktus koledukus, maka setelah fatty meal tersebut akan
terlihat lebih lebar, sedangkan pelebaran fisiologik, misalnya pada usia tua, diman
elastisitas dinding saluran sudah berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih
kecil.
Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau
tidaknya obstruksi yang terjadi. Pada penderita-penderita yang mengalami
obstruksi sebagian (partial obstruction) baik disebabkan oleh duktus koledukus,
tumor papila vateri ataukolangitis sklerosis, kadang-kadang tidak memperlihatkan
pelebaran saluran empedu sama sekali, tetapi mungkin saja dijumpai pelebaran
yang berkala.
Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput
pankreas dan duktus pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu dalam
menentukan lokasi sumbatan tersebut.

35
Pada umumnya terhadap penderita-penderita dengan ikterus yang tidak
ditemukan adanya saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih
kepada kelainan-kelainan parenkim hati misalnya pada sirosis hati, hepatitis,
maupun metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan dari parenkim hati
normal.
Ringkasan dibawah ini akan sangat membantu dalam mempelajari sistem
traktus biliaris. Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan saluran
empedu adalah untuk menentukan ikterus, apakah berasal dari kelainan
hepatoseluler atau karena obstruksi saluran empedu. Namun demikian sampai saat
ini belum ada zat kontras yang dapat digunakan seperti halnya pada kolesistografi.
Didalam parenkim hati, kita harus dapat membedakan pelebaran saluran empedu
dari vena hepatika serta vena porta.

Pelebaran saluran empedu


Merupakan tabung (tubukus) yang anekoik (cairan) dengan dinding
hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang
berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang tidak terdapat pada vena portae.
Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic
enhancement)
Kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi obstruksi traktus
biliaris sangat sukar dideteksi, maka pemeriksaan lanjutan seperti kolongiografi
transhepatik (PTC) atau retrograd endoskopik kolangiopankreatikografi (ERCP)
sangat diperlukan.

Kekurangan pengisian kandung empedu menunjukkan adanya obstruksi


duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akut.

Kolesskintigrafi salah satu prosdur yang dapat mendeteksi obstruksi duktus


biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengang ultrasounografi.
Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan kebocoran empedu
oleh berbagai penyebab.

36
Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung
duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu
di dalam duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus.
Papilotomi, biopsi, mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi
dan penempatan nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin
dengan ERCP “ Percutaneus Transhepatic Cholangiography” dilakukan dengan
penyuntikan bahan kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge
berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya dengan ERC dan
keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu
biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan cairan dan menempatkan
eksternal dan internal drainage stents dpat dikerjakan secara percutan.

Computed tomography (CT): CT tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi


kandung empedu dan sistem duktus dari pada metoda yang lain, tetapi berguna
pada studi neoplasma parenkim hati. Dalam penentuan gas di dalam vena porta
lebih sensitif dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan
menentukan komposisi batu.

 Foto polos Abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang
khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang
bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung
cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

37
Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat
dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren
lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

38
Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai
hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

39
 CT scan
Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gb 5. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

 ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.
Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang
disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki
gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah
diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

40
Gb 6. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek)
dan di duktus intrahepatik (panah panjang)

 Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)


Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi
dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk
mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi
batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.

Gb 7. Hasil MRCP

41
3.9 Penatalaksanaan
Konservatif
a). Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimptomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan
umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam
ursodeoksikolat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu
pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.
Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 %
dalam 5 tahun1.
b). Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi2.
c). Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien
yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas
ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksikolat.

Penanganan operatif
a). Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untukdekompesi dan drainase kandung emedu
yang terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen. Tinmdakan ini
dapat dilakukan pada pasien yang tiudak cukup memungkinkan kondisinya untuk
dilakukan operasi abdominal. Drainase perkutaneus yang dituntun ultrasound
dengan kateter pigtail merupakan prosedur yang dipilih. Kateter dimasukkan
melalui kawat penuntun yang sebelumya telah dipasang menembus dinding
abdomen, hepar, dan masuk ke dalam kandung empedu. Dengan menggunakan
kateter yang melewati hepar, resiko terjadinya empedu yang merembes dari

42
sekitar kateter dapat dikurangi. Kateter dapat dilepas apabila inflamasi sudah
hilang dan kondisi pasien membaik. Kandung empedu dapat dibuang jika ada
indikasi, biasanya dengan tindakan laparoskopi4.

Gambar 2.6 Percutaneous Colescystostomy (medicc.jp, 2010)

b). Open cholecystectomi


Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk cholecystectomy adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh cholecystitis akut. Komplikasi yang berat jarang
terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini
menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka
pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang
dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun
angka kematian mencapai 0,5 %4.
c). Cholecystectomy laparoscopy
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan waktu
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah
nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang

43
tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis,
bocor Ductus cysticus dan trauma Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris
sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat
nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali,
dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
d). Cholecystectomy minilaparotomy
Modifikasi dari tindakan cholecystectomy terbuka dengan insisi
lebih kecil dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah

44
DAFTAR PUSTAKA

Schwartz S, Shires G, Spencer F. Principles of Surgery Tenth Edition. United


State America: McGraw Hill. 2014.
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical
Practice, 20th edition. 2016. Pennsylvania : Elsevier.
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2009.
Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology 13th Edition. Pennsylvania:
Elesevier, 2016.
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery.
In : Washington Manual of Surgery 7th edition. 2016. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins.

45

You might also like