You are on page 1of 10

Program Studi : Program Pendidikan Profesi Apoteker, FMIPA UNUD

Mata Kuliah : Farmakoterapi Terapan


Kode MK.SKS : FAPT1112/2SKS
Diskusi Kelompok : 1
Judul Makalah : Diabetes Melitus Tipe 2
Anggota Kelompok : 1. I Gusti Ayu Artini Ekajaya Amandari (1808611016)
2. Putu Irma Handayani (1808611017)
3. Ni Made Dwi Andani (1808611018)
4. Angga Rosadi (1808611019)
5. Ni Luh Nyoman Niti Kurniasari (1808611020)
6. Dewa Ayu Satriawati (1808611021)
7. Ni Made Kencana Sari (1808611022)

Hari/Tgl/Waktu : Jumat, 19 Oktober 2018

Nama Anggota Kelompok Kecil Diskusi Kelas (Case Study):


No Nama Mahasiswa NIM
1 Icha Budha Yanti 1808611009
2 Gusti Ayu Ari Sawitri 1808611010
3 Desak Made Nita Pratiwi 1808611011
4 Diajeng Putri Dwinda Saputra 1808611012
5 Ni Putu Uma Sari Dewi 1808611013
6 I Made Kusuma Adi Suyadnya 1808611014
7 Ni Wayan Wahyuni Citradewi 1808611015

Koordinator Kelompok Kecil:

I. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Kontrol rutin untuk penyakit diabetes tipe 2 yang diderita
pasien setiap bulannya
Keluhan : kesemutan di jari-jari tangan dan tengkuk terasa kaku
Tambahan

II. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu : Diabetes Melitus tipe 2 selama 3 tahun
Riwayat pengobatan : Metformin dan glibenklamid
Data Laboratorium pendukung:
Parameter Nilai normal Hasil uji Keterangan
ALT 10-40 IU/L 16,4 Normal
AST 10-42 IU/L 14,8 Normal
BUN 7-18 mg/dL 22,1 Di atas normal
Creatinin 0,6-1,3 1,22 Normal
GDP 80-120 mg/dL 210 mg/dL Di atas normal
Ureum 20 – 40 47,29 Di atas normal
RBC 3,7-6,5/µL 3,81106/µL Normal
HGB 12-18/dL 10,1 g/dL Di bawah normal
HCT 47-75% 31,6% Di bawah normal
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 1
MCV 80-99 Fl 82,9 Fl Normal
MCH 27-31 Fl 26,5 Fl Di bawah normal
PLT 150-450 µL 308,013µL Normal
RDW 35-47 Fl 42,2 Fl Normal
PDW 9-13 Fl 9,9 Fl Normal
MPV 7,2-11,1 Fl 8,4 Fl Normal

Differential
Parameter Nilai normal Hasil uji Keterangan
MXD 0-8% 6,2 % Normal
Neut 40-74 % 67,3% Normal
Lym# 1-3,7/ µL 1,6 103/ µL Normal
MXD# 0-1,2/ µL 1,0 103/ µL Normal
Neut# 1,5-7 mg/dL 1,9 103/ µL Normal

Untuk mengetahui apakah pasien mengalami obesistas atau tidak, perlu dilakukan perhitungan
Body Mass Index (BMI) dengan rumus sebagai berikut:

BMI = [weight (kg) / height (cm)2] x 10000

Sehingga perhitungan BMI pasien dengan berat badan 82 kg dan tinggi 165 cm, diperoleh
sebagai berikut:
BMI =[ 82 kg / (165 cm)2] x 10000
= [82 / 27225] x 10000
= 30,12
Tabel 1. Klasifikasi kategori BMI
BMI Klasifikasi
<18,5 Underweight
18,5-24,9 Normal
25,0-29,9 Pre-obese
30,0-34,9 Obese I
35,0-39,9 Obese II
≥40 Obese III
(WHO, 2000)
Berdasarkan hasil perhitungan BMI, diperoleh bahwa BMI pasien adalah 30,12 dimana
berdasarkan pada klasifikasi kategori BMI (WHO, 2000) menunjukkan bahwa pasien
mengalami obesitas I.
Selain obesitas, fungsi ginjal pasien juga harus diperhatikan. Untuk mengetahui apakah fungsi
ginjal pasien masih berfungsi dengan baik atau tidak dapat dilihat dari laju filtrasi glomerulus.
Laju filtrasi glomerulus dapat diketahui dengan melakukan penghitungan Klirens Kreatinin
menggunakan rumus Salazar and Corcoran pada pasien obesitas laki-laki:

CrCl = (137 – umur) x {(0,285 x BB (kg)) + (12,1 x tinggi2 (m))}


FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 2
51 x Serum Kreatinin

CrCl = (137 – 51) x {(0,285 x 82) + (12,1 x1,652)}


51 1,22
52 = 86 x (23,37+32,94)
62,22
= 77,83 mL/menit

Tabel 2. Klasifikasi Klirens Kreatinin normal


Derajat kegagalan ginjal Klirens Kreatinin (mL/menit) Serum Kreatinin (mg/dL)
Normal >80 1,4
Ringan 27-79 1,5-1,9
Moderat 10-49 2,0-6,4
Berat <10 > 6,4
Anuria 0 <12
(Kemenkes RI, 2011)
Berdasarkan hasil perhitungan klirens kreatinin, pasien memiliki nilai klirens kreatinin 77,83
mL/menit, sedangkan nilai klirens kreatinin normal berdasarkan tabel klirens kreatinin normal
(Kemenkes RI, 2011) adalah di atas 80 mL/menit. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
mengalami penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga dari penurunan laju filtrasi glomerulus
diketahui bahwa fungsi ginjal pasien mengalami penurunan. Penurunan fungsi ginjal pasien
juga dapat terlihat dari kadar BUN dan ureum yang berada di atas rentang normal

IV. ASSESMENT
IV.1. Terapi Pasien
Jumlah Obat yang
Nama Obat Kandungan Zat Aktif Dosis Obat
Diberikan
Metformin Metformin 3 × 500 mg 90 tablet
Glibenklamid Glibenklamid 1 × 5 mg pc 30 tablet
Neurosanbe Vitamin B1, B6, dan B12 1 × 1 tablet 30 tablet

IV.2. Problem Medik dan DRP Pasien


Problem Subyektif dan Drug Related Problem
Terapi
Medik Obyektif (DRP)
Diabetes Subyektif: - Metformin a. Pemilihan obat yang tidak
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 3
Melitus tipe 2 - Kesemutan di 3 × 500 mg dc (90 tab) sesuai:
jari-jari tangan - Glibenklamid Glibenklamid merupakan obat
1 × 5 mg pc (30 tab) antidiabetik oral golongan
Obyektif:
- GDP: 210 mg/dL - Neurosanbe sulfonilurea yang memiliki
1 x 1 tab (30 tab) efek samping peningkatan
nafsu makan dan berat badan,
sehingga tidak sesuai
diberikan pada pasien DM
tipe 2 yang tergolong obesitas
(PERKENI, 2015).

b. Efek Samping Obat:


Pemakaian Metformin jangka
panjang dapat mengakibatkan
terjadinya defisiensi vitamin
B12 sehinggga dapat
menyebabkan terjadinya
anemia (Reinstatler et al.,
2012).
Tanda terjadinya anemia
terlihat dari nilai HGB, HCT
dan MCH pasien yang berada
di bawah rentang normal.

Peningkatan Subyektif: c. Adanya Indikasi yang


tekanan - Tengkuk terasa Belum Memperoleh Terapi:
darah sistolik kaku Nilai sistolik dan diastolik
dan diastolik pasien menunjukkan bahwa
Obyektif:
tekanan darah pasien berada
- TD: 140/80 mmHg
diatas tekanan darah normal.

Penurunan Subyektif: - - Neurosanbe Tidak ada masalah


1 × 1 tablet,
nilai HGB,
30 tablet
HCT, dan Obyektif:
MCH - HGB: 10,1 g/dl
- HCT: 31,6%
- MCH: 26,5 Fl

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 4


IV.3. Pertimbangan Pengatasan DRP
Beberapa pertimbangan untuk mengatasi DRP pada kasus ini adalah sebagai berikut.
a. DRP 1
Pasien DM tipe 2 diketahui mengalami obesitas tingkat II (IMT 30,12), berdasarkan
perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus sebagai berikut:
IMT = berat badan(kg)/tinggi badan (m2)
(PERKENI, 2015).
IMT = [82 kg / (165 cm)2] x 10000
= [82 / 27225] x 10000
= 30,12
Pasien DM tipe 2 yang mengalami obesitas tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi OHO
golongan sulfonilurea. Maka pemberian glibenklamid sebagai OHO kombinasi metformin
menjadi tidak sesuai. Apabila pemberian monoterapi tidak mencapai target HbA1C <7% dan
diperlukan penggunaan 2 obat kombinasi, maka pemberian glibenklamid sebaiknya diganti
dengan akarbosa (golongan alfa glukosidase inhibitor) dengan dosis 3 × 1 tablet, 50 mg/hari.
Pemilihan akarbosa berkaitan dengan sifatnya yang tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Selain itu akarbosa juga tidak meningkatkan nafsu makan dan tidak menyebabkan kenaikan berat
badan sehingga cocok digunakan untuk terapi diabetes yang disertai obesitas (Tjay dan Rahardja,
2010). Selama pemberian dilakukan monitoring dengan melihat nilai kadar gula darah dan nilai
HbA1c (PERKENI, 2015).

b. DRP 2
Terapi farmakologi pada pasien dengan penyakit Diabetes Melitus tipe 2 diberikan dua
kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) yaitu metformin dan glibenklamid. Oleh karena tidak
diketahui nilai HbA1C maka tidak dapat ditentukan pengobatan farmakologi baik dengan
monoterapi oral atau kombinasi obat.
- Apabila pasien DM tipe 2 dengan HbA1C <7,5% maka dianjurkan untuk melakukan
pengobatan non farmakologis dengan modifikasi gaya hidup, dengan evaluasi HbA1C 3
bulan, namun jika pengobatan HbA1C tidak mencapai target <7% maka dilanjutkan
dengan monoterapi oral.
- Apabila obat monoterapi tidak mencapai target HbA1C <7% dalam waktu 3 bulan maka
terapi ditingkatkan menjadi 2 macam obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini
pertama ditambah dengan obat lain yang mempunya mekanisme kerja yang berbeda
(PERKENI, 2015).
Pemberian metformin pada pasien telah sesuai sebagai pilihan pertama pada pasien kasus DM
tipe 2. Berdasarkan dari hasil data laboratorium, nilai GDP pasien adalah 210 mg/dl. Nilai GDP
yang masih diatas normal menunjukkan bahwa pasien masih memerlukan OHO. Selain nilai GDP,
perlu dilakukan penegakkan diagnosa dengan mengetahui nilai GD2PP dan HbA1C pasien.
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 5
Penggunaan metformin jangka panjang dapat memberikan efek samping defisiensi vitamin
B12. Gejala kekurangan vitamin B12 salah satunya adalah kesemutan. Efek samping dari
metformin dapat diatasi dengan pemberian vitamin B12, sehingga mampu mengganti kehilangan
vitamin B12 dalam tubuh (Reinstatlet et al., 2012; Anand and Vindhya, 2014). Pemberian
suplemen yang mengandung vitamin B12 seperti neurosanbe (zat aktif vitamin B1 (tiamin), B6
(piridoksin), dan B12 (kobalamin)) 1 x 1 tablet, diharapkan mampu mengatasi defisiensi vitamin
B12 akibat penggunaan metformin. Pasien dianjurkan untuk patuh pada pemakaian obat yang
diberikan dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar Homocystein Serum dan
Methylmalonic Acid (MMA) sebagai tes spesifik untuk mengetahui status defisiensi vitamin B12
(Pawlak, 2017). Terapi kombinasi neurosanbe dilakukan selama 30 hari, untuk pertimbangan
dalam melihat progresifitas defisiensi vitamin B12 akibat penggunaan metformin.

c. DRP 3
Salah satu gejala peningkatan tekanan darah adalah kaku pada tengkuk. Pada kasus, pasien
mengalami keluhan berupa tengkuk yang kaku. Hipertensi dapat terjadi bersamaan dengan DM
atau merupakan akibat proses patologis diabetes. Tekanan darah pasien berdasarkan hasil lab
adalah 140/80. Menurut putaka, tekanan darah pada penderita DM dikontrol < 140/90 mmHg
(Njoto, 2014). Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa tekanan sistolik pasien melebihi tekanan
sistolik normal yang disarankan, sedangkan diastolik normal, untuk itu pasien disarankan
mengkonsultasikan kembali dengan dokter untuk memperoleh penanganan tekait peningkatan
tekanan darah pada pasien serta mengikuti anjuran terapi non farmakologis.

V. PLAN
5.1 Care Plan
A. DRP nomor 1 diatasi dengan intervensi pada
a. Penulis resep
Apoteker berkonsultasi kepada dokter penulis resep terkait penghentian penggunaan
glibenklamid dan memberikan rekomendasi pilihan terapi obat hipoglikemik oral (OHO)
lainnya.
b. Obat
Pemberian glibenklamid pada pasien dengan obesitas kurang tepat karena dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan serta memperburuk kondisi obesitas pada
pasien. Maka dari itu, glibenklamid dapat digantikan dengan akarbosa sebanyak 3xsehari
dengan dosis 50 mg. Akarbosa dipilih karena akarbosa merupakan terapi tambahan yang
efektif pada kasus DM yang tidak dapat dikendalikan dengan obat dan diet (Sukandar, 2008),
selain itu penggunaan kombinasi metformin dan akarbosa memiliki efektivitas yang lebih
baik dibandingkan penggunaan obat tunggalnya (Salemi, 2016).
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 6
c. Pasien/caregiver
Apoteker memberikan informasi dan edukasi kepada pasien atau keluarga pasien untuk
melakukan pengukuran Kadar Gula Darah Puasa (KGDP) dan Kadar Gula Darah 2-jam Post
Prandial (GD2PP) dua minggu setelah mengonsumsi metformin+akarbosa serta
menyarankan pasien atau keluarga pasien untuk melakukan pemeriksaan rutin HbA1C setiap
tiga bulan sekali.
B. DRP nomor 2 diatasi dengan intervensi pada
a. Obat
Berdasarkan hasil laboratorium berupa nilai HGB, HCT, dan MCH, maka pasien
diindikasikan mengalami anemia. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan metformin,
dimana sekitar 10-30% penderita DM tipe 2 yang mendapatkan pengobatan dengan
metformin menunjukkan adanya defisiensi vitamin B12 dalam tubuh (Jager et al., 2010; Wei
Ting et al., 2006), sehingga pasien mengalami anemia. Maka dari itu, diperlukan pemberian
Neurosanbe sebanyak 1xsehari.
b. Pasien/Caregiver
Apoteker memberikan informasi dan edukasi kepada pasien atau keluarga pasien terkait
pemakaian obat. Selain itu, pasien pun disarankan untuk melakukan pemeriksaan HGB, HCT,
dan MCH setelah pemberian obat Neurosanbe, sehingga perbaikan atau perburukan kondisi
pasien dapat diketahui.
C. DRP nomor 3 diatasi dengan intervensi pada
a. Penulis resep
Apoteker berkonsultasi kepada dokter penulis resep terkait pertimbangan penambahan terapi
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tekanan darah (TD) pasien.
b. Pasien/caregiver
Apoteker menyarankan pengobatan non-farmakologi kepada pasien atau keluarga pasien,
seperti menjaga pola makan rendah garam/diet garam, perbanyak konsumsi sayur dan minum
air putih, dibarengi dengan aktivitas fisik ringan, seperti berjalan santai, jogging, bersepeda,
dan berenang.

5.2 Implementasi Care Plan


5.2.1 Terapi Farmakologi
a. Apoteker menyarankan kepada dokter penulis resep mengenai penggantian kombinasi
metformin+glibenklamid menjadi metformin+akarbosa. Metformin dapat diberikan 3xsehari
setelah makan dan akarbosa dapat diberikan 3xsehari saat makan dengan dosis 50 mg.
b. Neurosanbe diberikan sebanyak 1xsehari setelah makan pada pagi hari.
5.2.2 Terapi Non Farmakologi
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 7
a. Pasien disarankan untuk melakukan diet serta mengonsumsi makanan dengan komposisi
karbohidrat, protein, dan lemak yang seimbang. Pasien pun disarankan agar mengonsumsi
makanan yang mengandung lemak nabati dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang
banyak (Wells et al., 2009).
b. Apoteker menyarankan agar pasien melakukan terapi non-farmakologi, seperti menjaga pola
makan rendah garam/diet garam, perbanyak konsumsi sayur dan minum air putih, dibarengi
dengan aktivitas fisik ringan, seperti berjalan santai, jogging, bersepeda, dan berenang
(PERKENI, 2015).

5.3 Monitoring
A. Efektivitas Terapi
a. Kondisi Klinik
Monitoring kondisi klinik pasien meliputi pemantauan terhadap tanda dan gejala
hiperglikemia, hipoglikemia, serta risiko kardiovaskuler (Widyati, 2014). Pemberian OHO
diharapkan mampu menurunkan kadar gula darah pasien, namun tetap dilakukan monitoring
secara berkala terhadap kadar gula darah pasien untuk menghindari terjadinya syok
hipoglikemia.
b. Pemeriksaan Tanda Vital
Selain itu, dilakukan pula pemantauan terhadap hasil pemeriksaan tekanan darah, dengan
harapan agar tekanan darah pasien tetap berada pada rentang normal dengan nilai <140/90
mmHg (PERKI, 2015).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Oleh Apoteker, dilakukan pula pemantauan terhadap hasil pemeriksaan Kadar Gula Darah
Puasa (GDP) (<110 mg/dL) dan Kadar Gula Darah 2-jam Post Prandial (GD2PP) (<140
mg/dL) dengan tujuan untuk mengetahui perburukan atau perbaikan kondisi pasien. Selain
itu, turut dilakukan pemantauan terhadap hasil pemeriksaan nilai HGB, HCT, dan MCH dan
pemantauan terhadap kondisi obesitas pasien dengan target Body Mass Index (BMI) sebesar
<26 kg/m2 (AACE, 2015).
d. Efek samping
1. Metformin
Metformin dapat menimbulkan gangguan pada saluran cerna seperti anoreksia, muntah, diare,
serta dapat menyebabkan anemia (ISFI, 2010).
2. Akarbosa
Akarbosa dapat menimbulkan gangguan pada saluran cerna seperti perut kembung, diare, dan
nyeri pada saluran cerna (ISFI, 2010).
3. Neurosanbe
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 8
Neurosanbe dapat mengakibatkan alergi pada kulit, mual, dan muntah (ISFI, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
American Association of Clinical Endocrinologists and American College of Endocrinologi (AACE).
2015. Clinical Practice Guidelines For Developing A Diabetes Millitus Comprehensive Care
Plan-2015. Endocr Pract. 21(1).
Anand, N. N. and Vindhya, M. 2014, Prevalence of Vitamin B12 Deficiency In Type 2 Diabetic Patients,
International Journal of Pharma and Bio Sciences, 5:260-263.
ISFI. 2010. Informasi Spesialite Obat (ISO), Edisi 46. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.
Jager, J. et al. 2010. Long term Treatment with Metformin in Patients with Type 2 Diabetes and Risk of
Vitamin B-12 Deficiency: Randomized Placebo Controlled Trial. BMJ. 340: 2181.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KemenKes RI).2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.
Available at: www.binfar.kemkes.go.id (Citedon September 6, 2015).Hal.9-12.
Mahadhana, S., R. P. Tarigan, dan I. G. R. Karyadi. 2016, Prevalensi Hipertensi Pada Masyarakat Di Desa
Tembuku Kabupaten Bangli Bulan September 2014, E-Jurnal Medika, 5(4):1-9.
Njoto, E. M. 2014. Target Tekanan Darah pada Diabetes Melitus. CKD 41(11):864-866.
Pawlak, R. 2017, Vitamin B12 for Diabetes Patients Treated with Metformin. Journal of Family Medicine
and Disease Prevention, 3:1-7.
PERKENI. 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia, Jakarta:
PB PERKENI.
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Reinstatler, L., Y. P. Qi, R. S. Williamson, J. V. Garn, and G. P. Oakley. 2012. Assosiation of Biochemical
B12 Devisiency with Metfomin Therapy and Vitamin B12 Supplements. Diabetes Care
35(2):327-333.
Salemi, S., Rafie, E., Goodarzi, M., Ghaffari, M. 2016. Effect of Metformin, Acarbose and Their
Combination on the Serum Visfatin Level in Nicotinamide/Streptozocin-Induced Type 2 Diabetic
Rats. Iran Red Crescent Medical Journal. 1(1):1-7.
Sukandar, E.Y., R. Andrajati, J.I. Sigit, Adnyana, A.A.P. Setiadi dan Kusnandar. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta; PT ISFI Penerbitan.
Tjay T.H. dan K. Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.
FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 9
Wei Ting, R. Z., et al. 2006. Risk Factors of Vitamin B12 Deficiency in Patients Receiving Metformin.
Arch Intern Med. 166: 1975-1979.
Wells, B.G., J. Dipiro, T.L. Schwinghammer, and C.V. Dipiro. 2009. Pharmacotherapy Handbook, 7th
Edition. USA: McGraw-Hill. Page 207-225
WHO. 2000. Obesity: preventing and managing the global epidemic. Geneva: who technical report series
894.
Widyanti. 2014. Praktik Farmasi Klinik. Surabaya: Brilian International.

FARMAKOTERAPI TERAPAN, PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN APOTEKER FMIPA UNUD 10

You might also like