You are on page 1of 5

Tim Hukum Appi-Cicu melakukan gugatan kepada KPU Makassar

atas dugaan sejumlah pelanggaran. Perkara pertama yang ditangani oleh


Bawaslu Sulsel menilai, tak ada pelanggaran dalam penetapan keputusan
KPU Makassar.
Ketentuan dalam hukum formil, bahwa setelah upaya hukum di
Panwaslu, ada upaya lain yang bisa ditempuh jika tidak puas dengan
keputusan Panwaslu. Salah satunya itu ke PT TUN.
Tim Hukum Appi-Cicu melanjutkan kasus tersebut ke PT TUN.
Perkara kedua ini hasilnya berbeda. PT TUN menerima seluruh gugatan
Appi-Cicu dan memerintahkan KPU agar DIAmi dihentikan sebagai calon
sah dan mendiskualifikasi pasangan Moh Ramdhan Pomanto dan Indira
Mulyasari Paramastuti (DIAMI) dari Pilwakot Makassar.
Sidang putusan sengketa Pemilihan Wali Kota Makassar digelar di
kantor Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar. Majelis
hakim yang dipimpin Edi Supriatno menerima gugatan pasangan calon
Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar nomor 1, Munafri Arifuddin-Andi
Rachmatika Dewi.
Gugatan pasangan calon nomor urut 1 yang didukung parpol,
Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi diterima setelah melihat
keterangan saksi ahli dan fakta sidang yang membutikan adanya
pelanggaran penggunaan kewenangan, program dan kegiatan yang
merugikan atau menguntungkan salah satu paslon sebagaimana diatur
dalam pasal 71 ayat 3 UU No 10 tahun 2016.
Dasar gugatannya yakni dugaan pelanggaran UU No 10 tahun
2016 di pasal 71 ayat 3 junto pasal 89 ayat 2 PKPU No 15 tahun 2017,
bahwa petahana dalam kapasitasnya sebagai Wali Kota dilarang untuk
menggunakan kewenangan, program dan kegiatan pemerintah kota 6
bulan sebelum tanggal penetapan paslon sampai dengan penetapan
calon terpilih yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon.
Juga dugaan mobilisasi ketua RT RW melalui Aparatur Sipil Negara baik
itu Lurah atau Camat, untuk mengumpulkan KTP dan membagikan ponsel
yang diduga sengaja digunakan petahana untuk memberikan intervensi
secara psikologis kepada ketua-ketua RT RW agar mau membantunya
dalam proses pencalonan.
PT TUN memerintahkan KPU Makassar mencabut keputusan
Nomor 35/P.KWH/HK.03.1-Kpt/7371/KPU-Kot/II/2018 tentang Penetapan
Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. PT TUN memerintahkan
KPU Makassar segera menganulir pasangan Danny Pomanto-Indira
Mulyasari (DIAmi) sebagai peserta Pilwali Makassar 2018.
Menurut pasangan Appi-Cicu, KPU Kota Makassar telah
menyalahgunakan kewenangan mereka dengan meloloskan pasangan
DIAMI. Padahal, pasangan yang berstatus petahan ini dinilai bermasalah.
Namun, masalah itu kembali berlanjut di Mahkamah Agung (MA) atas
kasasi yang dilakukan oleh pihak KPU. Upaya kasasi yang dilakukan oleh
KPU Makassar ditolak oleh MA.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin
Makassar, Aminuddin Ilmar menganggap Keputusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar untuk menggugurkan pasangan
calon Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira
Mulyasari Paramastuti (DIAMI) sebagai keputusan yang keliru besar.
Pasalnya, PTUN tidak memiliki hak untuk mengadili pelanggaran Pilkada,
tetapi lebih pada sengketa kewarganegaraan. seharusnya PT TUN tidak
mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh pasangan Munafri Arifuddin
dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) atas dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar yang
meloloskan pasangan DIAMI sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota
Makassar. Mahkamah Agung (MA) harus cermat melihat dalam
membedakan mana pelanggaran dan masalah sengketa. Dimana tugas
PTUN adalah mengadili masalah sengketa tentang haknya yang dikebiri
oleh pihak-pihak tertentu, bukanlah masalah pelanggaran apalagi masalah
administrasi Pilkada.
Karena itu, Mahkamah Agung wajib mengoreksi atau
membatalkan putusan PT TUN yang mengabulkan gugatan yang
dilayangkan oleh pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi
(Appi-Cicu) atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Makassar yang meloloskan pasangan DIAMI
sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar.
Meski UU Pilkada terdapat kerancuan dalam pengaturan sengketa
Pilkada : antara sengketa biasa dan sengketa TUN. Tapi MA sendiri tidak
konsisten dengan hukum acaranya. Peraturan MA No. 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Sengketa TUN. Dalam Perma 11/2016, Pemohon
Sengketa TUN adalah pasangan yang tidak diloloskan oleh KPU sebagai
Peserta Pilkada. Namun, dalam praktiknya, MA juga menerima
permohonan sengketa dari Paslon Peserta Pilkada.
Putusan sesat lahir karena hakim keliru dalam
mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. Mestinya APPI-CICU tidak
menggunakan jalur sengketa tapi jalur pelanggaran. Karena jika
menggunakan jalur sengketa pasti jadinya salah alamat. Sehingga
putusan PTTUN menjadi putusan sesat karena salah kamar.
Dengan demikian Mahkamah agung (MA) tidak ikut melanggar
peraturan MA perma nomor 11 tahun 2016 sebagaimana pelanggaran
kewenangan yang dilakukan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara
(PTTUN) Makassar dalam menyidang dan memutus sengketa yang
diajukan pasangan Munafri Afifuddin-Rahmatika Dewi (appi-cicu).
Meskipun gugatan yang diajukan APPI-CICU Rana pelanggaran yang
menurut UU No 10 Tahun 2016 junto PKPU No.15 Tahun 2017 dan
Perbawaslu No.14 dan 15 tahun 2016 merupakan wewenang Bawaslu,
bukan wewenang PTTUN.

1. PTUN tidak bisa bedakan Sengketa Pemilihan (Pasal 142 UU 8/2015) dengan
Sengketa TUN Pemilihan (Pasal 153 UU 10/2016)
2. Cermati dan dibandingkan unsur-unsur kaedah pada Pasal 144 dan Pasal 153
UU 10 tahun 2016;
3. Materi gugatan ke PTUN bukan materi sengketa tetapi materi pengawasan
Bawaslu. Mestinya Panwas bisa jadikan bahan tersebut sebagai temuan
sebelum dilaporkan
Tiga pelanggaran berikut mestinya jadi perhatian panwas:
1). Pembagian smartphone kepada ketua RT/RW (kalo ini diproses oleh
panwas sangat mungkin berawal dari pidana dan berujung ke diskualifikasi),
2).Pengangkatan guru honorer
3). Penggunakan jargon dua kali tambah baik.
4. Atas pertimbangan No.1-11, PTUN telah mencampurbaurkan hukum tata
pemerintahan, hukum tata administrasi negara, dan hukum tata negara;
5. PTUN telah mengadili perkara yang bukan kewenangnya juga merupakan
pelanggaran terhadap Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Adminimistrasi
Negara, dan Hukum Tata Negara, sehingga secara politik, termasuk obyek
sengketa TUN.
6. tiga materi gugatan ini adalah bagian dari kewenangan pejabat yang
bersangkutan. Tapi UU Pilkada mencabut itu atas dasar potensial disalagunakn
untuk kpentingan petahana. Jadi, itu tidak masuk dalamm ranah PTUN setelah
UU Pilkada berlaku. Karena petahana ketiganya ini tidak masalah. Walikota
punya kewenangan bagikan hp/alat komunikasi jika itu terkait maksimalisasi
fungsi rt/rw. Begitu juga guru honorer, boleh diangkat bila memang
dibutuhkan.

You might also like