You are on page 1of 21

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
JANUARI 2013
UNIVERSITAS HASANUDDIN
ATELEKTASIS PARU

Oleh
Indah Triayu Irianti
110207018

Supervisor
dr. Muhammad Nuralim Mallappasi, Sp.B-TKV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DI BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Indah Triayu Irianti

Stambuk : 110 207 018

Telah menyelesaikan referat berjudul “ATELEKTASIS PARU” dalam rangka


tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar, Januari 2013

Mengetahui

Supervisor,

(dr. Muhammad Nuralim Mallappasi, Sp.B-TKV)

2
ATELEKTASIS PARU

I. PENDAHULUAN

Atelektasis pertama kali di jelaskan oleh Laennec pada tahun 1819.


Atelektasis berasal dari kata ateles yang berarti “tidak sempurna” dan ektasis
yang berarti “ekspansi”. Secara keseluruhan atelektasis mempunyai arti ekspansi
yang tidak sempurna. Atelektasis di definisikan sebagai kolapsnya alveoli dan
berkurangnya udara di dalam ruang intrapulmonal atau kolapsnya semua atau
sebagian paru. Keadaan ini sering menjadi komplikasi paru pasca operasi dengan
bukti pemeriksaan radiografi mencapai 70% pada pasien yang sedang menjalani
1,2,3,4
thorakotomy dan celiotomy.
Komplikasi pada paru relatif sering terjadi pasca operasi dan dapat
dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, yang paling umum
terjadi adalah setelah operasi thorakoabdominal, dan operasi jantung. Kejadian ini
dilaporkan bahwa komplikasi paru pasca operasi berkisar 5 hingga 80%,
diantaranya adalah : atelektasis, bronkospasme, pneumonia, dan penyakit paru
eksarserbasi kronis. Komplikasi pada paru merupakan resiko pasca operasi,
dimana keadaan ini tergantung oleh faktor anastesia, faktor bedah, dan pasiennya
4,5
sendiri.
Penyebab atelektasis bervariasi, diantaranya adalah sumbatan mukus pada
bronkus, kompresi ekstrinsik dari hemopneumothoraks dan hipoventilasi
alveolus. Keadaan ini timbul karena penurunan volume tidal pernapasan yang
sering dicetuskan oleh nyeri insisi selama beberapa hari pertama setelah operasi.
Terdapat tiga faktor utama yang merupakan faktor pencetus pada perkembangan
terjadinya atelektasis pada pasien pasca bedah, yaitu posisi terlentang untuk
waktu yang lama, ventilasi dengan gas tinggi dalam konsentrasi oksigen yang
6
tinggi, dan pengurangan surfaktan paru setelah operasi.

3
II. ANATOMI & FISIOLOGI PARU

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam
rongga dada atau toraks. Jaringan paru terdiri dari serangkaian saluran napas yang
bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar
jaringan ikat elastik. Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding
arteriol dan bronkiolus. Tidak terdapat otot di dalam dinding alveolus yang dapat
menyebabkan alveolus mengembang atau menciut selama proses bernapas.
1
Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan dimensi-dimensi toraks.

Gambar 1. (a) Paru menempati sebagian besar volume rongga toraks. (b) Zona
konduksi trakeobronkial tree, dimulai pada trakea dan berakhir pada bronkhiolus
2,3,4
terminalis.
Dinding toraks dibentuk oleh dua belas pasang iga yang melengkung dan
menyatu di sternum di sebelah anterior dan vertebra torakalis di posterior.
Diafragma, yang membentuk dasar (lantai) rongga toraks, adalah lembaran besar
otot rangka berbentuk kubah yang memisahkan secara total rongga toraks dari
rongga abdomen. Diafragma hanya di tembus oleh esofagus dan pembuluh darah
yang melintas di antara rongga toraks dan-abdomen. Rongga toraks ditutup di
daerah leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-satunya komunikasi ( antara
toraks dan atmosfer adalah melalui saluran pernapasan ke dalam alveolus. Seperti
4
paru, dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat elastik.

4
Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan
berbentuk seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran pernapasan.
Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus Tipe I yang gepeng.
Jaringan padat kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal
satu lapisan sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan kapiler di
sekitarnya membentuk suatu sawar yang sangat tipis, dengan ketebalan hanya 0,2
µm yang memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru.
(Selembar kertas minyak tipis untuk menjiplak yang tebalnya lima puluh kali
dibandingkan ketebalan sawar udara-ke-darah ini.) Ketipisan sawar tersebut
4
mempermudah pertukaran gas.

Gambar 2. (a) Alveolus, merupakan tempat pertukaran gas oksigen dan karbon
dioksida. Oksigen dan karbondioksida menembus dinding alveolus dan kapiler
pembuluh darah dengan cara difusi. (b) Sel Alveolar Tipe I yang tipis dan
membentuk dinding alveolus, epitel alveolus mengandung sel alveolus Tipe II,
diaman sel tipe 2 yang mengeluarkan surfaktan paru, suatu kompleks
fosfolipoprotein yang mempermudah pengembangan (ekspansi) paru. Di dalam
lumen kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan
3,4,5
tubuh.

5
Selain itu, pertemuan udara-darah di alveolus membentuk permukaan yang
sangat luas untuk pertukaran gas. Di paru terdapat sekitar 300 juta alveolus,
masing-masing bergaris tengah sekitar 300 µm (1/3 mm). Sedemikian padatnya
jaringan kapiler paru, sehingga setiap alveolus dikelilingi oleh suatu lapisan
darah yang hampir kontinu. Dengan demikian, luas permukaan total yang
terpajan antara udara alveolus dan darah kapiler paru adalah sekitar 75 meter
persegi (seukuran lapangan tenis). Sebaliknya, apabila paru terdiri dari hanya
sebuah ruang berongga dengan ukuran sama dan tidak terbagi-bagi menjadi
satuan-satuan alveolus yang sangat banyak tersebut, luas permukaan totalnya
hanya akan mencapai 1/100 meter persegi.
Di dinding alveolus terdapat pori-pori Kohn berukuran kecil yang
memungkinkan aliran udara antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu
proses yang dikenal sebagai ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk
mengalirkan udara segar ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat
4
penyakit.
Terdapat kantung tertutup berdinding ganda, yang disebut kantung pleura,
yang memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks dan struktur di sekitarnya.
Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer, yang membasahi
permukaan pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat
4
gerakan bernapas.

Gambar 3. Pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi


setiap paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan viseralis terdapat

6
suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua
permukaan bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks
4,6
dan paru.
MEKANIKA PERNAPASAN
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah, yaitu, menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan
keluar paru selama proses bernapas dengan mengikuti penurunan gradien
tekanan yang berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat
aktivitas siklik otot-otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan berbeda yang penting
4
pada ventilasi:
1. Tekanan Atmosfer (barometrik). Tekanan yang ditimbulkan oleh berat
udara di atmosfer terhadap benda - benda di permukaan bumi. Di ketinggian
permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer
berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut
karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun. Dapat terjadi
fluktuasi minor tekanan atmosfer akibat perubahan kondisi-kondisi cuaca
4
(yaitu, pada saat tekanan barometrik meningkat atau menurun).
2. Tekanan Intra-alveolus. Dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis, adalah
tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer
melalui saluran pernapasan, udara dengan cepat mengalir mengikuti
penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi perbedaan antara tekanan
intra-alveolus dan tekanan atmosfer; udara terus mengalir sampai tekanan
4
keduanya seimbang (equilibrium).
3. Tekanan Intra-pleura. Tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga
dikenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru
di dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih kecil daripada
tekanan atmosfer, rata - rata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan darah
yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik rujukan

7
(yaitu, tekanan sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg lebih besar daripada
tekanan atmosfer 760 mmHg atau dalam realitas 880 mmHg), 756 mmHg
kadang - kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg, walaupun sebenarnya
tidak ada apa yang disebut sebagai tekanan negatif absolut. Tekanan -4
mmHg adalah tekanan yang negatif jika dibandingkan dengan tekanan
4
atmosfer normal yang 760 mmHg.

Gambar 4. Gradien Tekanan Transmural melintasi dinding paru. Tekanan intra-


alveolus sebesar 760 mmHg mendorong kearah luar, sementara tekanan intra-
pleura 756 mmHg mendorong kearah dalam. Perbedaan tekanan sebesar 4
mmHg ini membentuk gradient tekanan transmural yang mendorong paru ke
arah luar, meregangkan paru untuk mengisi rongga toraks.Melintasi dinding
toraks, tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg mendorong ke arah dalam,
sementara tekanan intra-pleura sebesar 756 mmHg mendorong ke arah luar.
Perbedaan tekanan 4 mmHg ini membentuk gradient tekanan transmural yang
4
mendorong ke arah dalam dan menekan dinding toraks.

8
Gambar 5. Perubahan Volume Paru dan Tekanan Intra-aveolus Selama
Inspirasi dan Ekspirasi. (a,b) Inspirasi. Ketika volume paru meningkat selama
inspirasi, tekanan intra-alveolus menurun, sehingga tercipta gradien tekanan
yang menyebabkan udara mengalir ke dalam alveolus dari atmosfer, yaitu
terjadi inspirasi. (c) Ekspirasi. Pada saat paru menciut ke ukuran pra inspirasi
karena otot melemas, tekanan intra-alveolus meningkat, menciptakan gradient
tekana yang menyebabkan udara mengalit ke luar alveolus menuju atmosfer,
4
terjadilah ekspirasi.
III. DEFINISI
Atelektasis paru adalah ekspansi tak lengkap atau kolapsnya semua atau
sebagian paru. Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi bronkus dan
1,2,3,4,5
kompresi pada jaringan paru.

(a) (b)

Gambar 6. (a) Paru-paru normal, perfusi vaskular dan inflasi alveolar yang
tidak mengalami cedera. (b) Epitel yang cedera oleh karena pembuluh darah

9
yang mengalami kompresi dan rusaknya endotel yang disebabkan oleh
gangguan mikrovaskular. Epitel dan endotel yang mengalami cedera merupakan
keadaan awal yang menginisiasi terjadinya cedera paru. Cedera awal yang
terjadi adalah kolaps alveoli, kemudian akan terjadi reaksi inflamasi dan
6
hilangnya integritas epitel.
IV. ETIOPATOGENESIS
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan
kontribusi terjadinya atelektasis, diantaranya adalah: Obstruksi saluran
pernapasan, kompresi jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks,
intratoraks, maupun proses pada dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli,
dan gangguan fungsi dan defisiensi surfaktan. Ketiga penyebab ini dapat
1,9
menjelaskan dasar fisiologis penyebab atelektasis.
1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk
udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus
2
akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps.

Gambar 7. Atelektasis Resorpsi. Terjadi akibat obstruksi total pada saluran


3
napas. Keadaan ini bersifat reversible jika obstruksi dihilangkan.
Penyumbatan aliran udara biasanya akibat penimbunan mukus dan
obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus
tertentu. Setiap keadaan yang menyebabkan akumulasi mukus, seperti :

10
fibrosis kistik, pneumonia, atau bronkitis kronik yang meningkatkan resiko
atelektasis resorpsi. Obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke
dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang sudah
terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam
2,4
aliran darah dan alveolus menjadi kolaps.
Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik
atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh
sekret atau eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya
disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar getah bening, aneurisma
atau jaringan parut. Pembedahan merupakan faktor resiko terjadinya
atelektasis resorpsi karena efek anastesia yang menyebabkan terbentuknya
mukus serta keengganan membatukkan mukus yang terkumpul setelah
pembedahan. Hal ini terutama terjadi pada pembedahan di daerah abdomen
atau toraks karena batuk akan menimbulkan nyeri yang hebat. Tirah baring
yang lama setelah pembedahan meningkatkan resiko terbentuknya atelektasis
resorpsi karena berbaring menyebabkan pengumpulan sekret mukus di daerah
dependen paru sehingga ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi
mukus meningkatkan resiko pneumonia karena mukus dapat berfungsi
2,4,5
sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme.
Atelektasis resorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang
menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan. Tanpa surfaktan
tegangan permukaan alveolus sangat tinggi, meningkatkan kemungkinan
kolapsnya alveolus. Bayi premature dikaitan dengan penurunan produksi
surfaktan dan tingginya insiden atelektasis resorpsi. Kerusakan sel alveolus
tipe II yang menghasilkan surfaktan juga dapat menyebabkan atelektasis
resorpsi. Sel sel ini dihancurkan oleh dinding alveolus yang rusak, hal ini
terjadi selama proses beberapa jenis penyakit pernapasan. Demikian juga

11
dengan terapi tinggi oksigen dalam periode lebih dari 24 jam. Akibat tidak
2
adanya sel sel ini produksi surfaktan mengalami penurunan.
2. Atelektasis Kompresi
Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan
eksudat,darah, tumor,atau udara. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks,
efusi pleura, atau tumor dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari
luar alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga
alveolus menjadi kolaps.

Gambar 8. Atelektasis Kompresi. Terjadi ketika rongga pleura mengembang


karena cairan, atau karena udara. Keadaan ini bersifat reversible jika udara
3
dan cairan dihilangkan.
Atelektasis kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka,
karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru
mengembang (tekanan pleura), dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru
akan kolaps. Atelektasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan
yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan tumor, distensi
abdomen yang mendorong diafragma ke atas, atau edema dan penimbunan
ruang interstisial yang mengelilingi alveolus. Tekanan ini yang mendorong
udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Atelektasis tekanan lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan atelektasis absorpsi. Bentuk atelektasis kompresi
biasanya dijumpai pada penyakit payah jantung, penyakit peritonitis atau

12
abses diafragma yang dapat menyebabkan diafragma terangkat keatas dan
mencetuskan terjadinya atelektasis. Pada atelektasis kompresi diafragma
2,4
bergerak menjauhi atelektasis.
3. Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal
atau menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara
3
sempura. Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.

Gambar 9. Atelektasis Kontraksi (sikatrisasi) terjadi ketika terdapat fibrosis


umum atau lokal yang menghambat ekspansi paru atau pleura dan
3,6
meningkatkan elastisitas recoil selama ekspirasi.
4. Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi
paru-paru yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang paling
penting yaitu hilangnya surfaktan. Surfaktan memilki phospholipid
dipalmitoyl phosphatidylcholine yang mencegah kolaps paru dengan
mengurangi tegangan permukaan alveolus. Berkurangnya produksi atau
inaktivasi surfaktan, keadaan ini biasanya ditemukan pada NRDS (Neonatal
Respiratory Distress Syndrome), ARDS (Adult Respiratory Distress
6,7
Syndrome), dan proses fibrosis kronik.

13
Gambar 10. Mikroatelektasis terjadi akibat gangguan pada fungsi dan
3,6
produksi surfaktan.
NRDS atau dikenal sebagai hyaline membrane disease merupakan
keadaan akut yang terutama ditemukan pada bayi prematur, lebih sering pada
bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat dibawah
1500 gram. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai.
Surfaktan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveoli
kolaps dan menurunkan kerja respirasi dengan menurunkan tegangan
permukaan. Pada defisiensi surfaktan, tegangan permukaan meningkat,
menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya komplians paru, yang akan
mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia
8
dengan asidosis respiratorik.
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) merupakan sindrom yang
ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap
air, larutan,dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan
akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein. Cairan dan
protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus dan terjadi kerusakan
yang lebih parah. Penyebab langsung ARDS adalah injury pada epitel
alveolus, seperti aspirasi isi gaster, infeksi paru difus, contusio paru,

14
tenggelam, inhalasi toksik, sedangkan penyebab tidak langsung ialah sepsis,
6,7
trauma non toraks, pankreatitis, dan transfuse darah yang massif.
V. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA
ATELEKTASIS PARU
1. Obesitas
Dijelaskan bahwa selama anestesi umum, pasien yang mengalami
obesitas memiliki resiko lebih besar terbentuk atelektasis dibandingkan pada
1
pasien non-obesitas.

Gambar 11. Sampel perbandingan pasien yang mengalami obesitas dengan


1
non obesitas sebelum anastesi, setelah ekstubasi, dan setelah 24 jam.
Atelektasis berlangsung selama setidaknya 24 jam pada pasien yang
mengalami obesitas dibandingkan pada pasien yang non-obesitas. Sisa
kapasitas fungsional (FRC) lebih rendah pada pasien yang obesitas, dimana
gradien oksigenasi alveolar arterial meningkat dan terjadi peningkatan
tekanan intra-abdomen. Perbedaan mekanik pada sistem respirasi dan
ditemukannya hipoksia pada pasien obesitas sebagian besar dikarenakan oleh
1
penurunan volume paru-paru dan peningkatan tekanan intraabdominal.
2. Tipe Anastesi
Atelektasis terbentuk akibat anastesi inhalasi dan intravena, terlepas
dari apakah pasien bernapas spontan atau lumpuh dan menggunakan ventilasi
mekanis. Ketamine adalah satu satunya anastesi yang tidak mencetuskan

15
terjadinya atelektasis ketika digunakan secara tunggal, meskipun terdapat
hubungan dengan blokade neuromuskular, keadaan ini dapat mengakibatkan
atelektasis. Efek ventilasi dari anestesi regional bergantung pada jenis dan
luasnya blockade motorik. Blokade Neuroaxial dapat megurangi kapasitas
inspirasi hingga 20% dan volume cadangan ekspirasi yang mendekati nol,
efek blokade yang kurang luas dapat mempengaruhi pertukaran gas paru yang
hanya minimal, oksigenasi arteri dan eliminasi karbondioksida yang baik.
2
Keadaan ini dipertahankan selama anestesi spinal dan epidural.
3. Pengaruh Posisi
Penurunan volume sisa fungsional paru merupakan faktor predisposisi
terjadinya atelektasis, yaitu penutupan bronkus bagian bawah, sehingga dapat
menciptakan pola khas atelektasis basis. Pada orang dewasa, terjadi
perubahan FRC dari posisi tegak ke posisi terlentang, yaitu terjadi penurunan
FRC dari 0,5 liter ke 1,0 liter,ketika pasien terjaga. Setelah anestesi, FRC
berkurang dari 0,5 ke 0,7. Posisi trendelenburg memungkinkan isi perut
mendorong diafragma sehingga terjadi penurunan FRC. Posisi terlentang
pada pasien pasca bedah yang terbaring dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pengurangan FRC dan dapat mencetuskan terjadinya
2
atelektsis.
4. Fraksi Oksigen Terinspirasi
Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2) adalah jumlah oksigen yg
dihantarkan atau diberikan ke pasien melalui ventilator. Konsentrasi berkisar
21-100%, Rekomendasi untuk pengaturan FiO2 pada awal pemasangan
ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak boleh terlalu lama

sebab resiko keracunan oksigen akan meningkat. Keracunan O2


menyebabkan perubahan struktur pada membran alveolar kapiler, dan
keadaan ini dapat menyebabkan edema paru, atelektasis, dan penurunan
1
PaO2 yg refrakter (ARDS).

16
Ketika gradien konsentrasi kapiler alveoli meningkat, kapiler akan
menyerap oksigen secara berulang dan terjadilah atelektasis. Walaupun
terdapat perbedaan pengguanaan konsentrasi oksigen, lebih baik jika FiO2
3
diberikan lebih dari 0,8.
VI. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,
pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala
gejala lainnya adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi
pernapasan, pernapasan bronkial,dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara
tiba-tiba, maka gejala yang paling penting didapatkan pada atelektasis adalah
sianosis. Jika obstruksi melibatkan bronkus utama, mengi dapat didengar,
dapat terjadi sianosis dan asfiksia, dapat terjadi penurunan mendadak pada
tekanan darah yang mengakibatkan syok. Jika terdapat sekret yang meningkat
pada alveolus dan disertai infeksi, maka gejala atelektasis yang didapatkan
berupa demam dan denyut nadi yang meningkat (takikardi). Pada
pemeriksaan klinis didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi didapatkan
berkurangnya gerakan pada sisi yang sakit, tkabunyi nafas yang berkurang,
pada palpasi ditemukan vokal fremitus berkurang, trakea bergeser ke arah sisi
yang sakit, pada perkusi didapatkan pekak dan uskustasi didapatkan
1,2,3,4
penurunan suara pernapasan pada satu sisi.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang
didapatkan, serta pemeriksaan radiografi . Foto radiografi dada digunakan
untuk konfirmasi diagnosis. CT scan digunakan untuk memperlihatkan lokasi
obstruksi. Foto radigrafi dada dilakukan dengan menggunakan proyeksi
anterior-posterior dan lateral untuk mengetahui lokasi dan distribusi
atelektasis. Sebagai dasar gambaran radiologi pada atelektasis adalah
pengurangan volume paru baik lobaris,segmental, atau seluruh paru, yang
akibat berkurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang lebih suram

17
(densitas tinggi) dan pergeseran fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak
langsung dari atelektasis adalah sebagian besar dari upaya kompensasi
pengurangan volume paru, yaitu : penarikan mediastinum kearah atelektasis,
elevasi hemidiafragma,sela iga menyempit, pergeseran hilus. Adanya "Siluet"
merupakan tanda memungkinkan adanya lobus atau segmen dari paru-paru
1,2,3
yang terlibat.

Gambar 12. Atelektasis pada lobus kiri bawah. Panah biru menunjukkan
tepi daerah segitiga menunjukkan kepadatan yang meningkat pada sulkus
cardiophrenikus kiri. Panah merah pada CT Scan aksial menunjukkan atelektasis
4
pada lobus kiri bawah dibatasi oleh celah besar pengungsi.

Gambar 13. Foto rontgen dada posteroanterior yang memperlihatkan


atelektasis disertai efusi pleura. Tampak gambaran opak pada hemithoraks kiri
5
disertai deviasi trakea ke kiri.

18
Gambar 14. Atelektasis pada lobus paru bagian kanan atas. Tampak
7
elevasi dari fissura horizontal dan deviasi trakea ke arah kanan.

Gambar 15. Atelektasis pada lobus paru bagian medial dextra. Pada foto
7
dada lateral tampak gambaran opak berbentuk segitiga pada bagian hilus.

Gambar 16. Atelektasis pada lobus paru bagian bawah dextra. Tampak
siluet pada bagian hemidiafragma dextra dengan densitas triangular
7
posteromedial.

19
VIII. TERAPI
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mengeluarkan dahak dan
kembali mengembangkan jaringan paru yang kolaps. Terapi bisa dimulai dengan
fisioterapi thoraks agresif, tetapi mungkin memerlukan bronkoskopi untuk
melepaskan sumbatan pada paru dan reekspansi segmen paru yang kolaps. Jika
penyebab atelektasis adalah obstruksi parsial, maka langkah pertama adalah
menghilangkan obstruksinya. Sebuah benda asing dapat dihilangkan dengan cara
membuat pasien batuk, dengan suction, dan bronkoskopi. Sumbatan lendir dapat
di dilakukan dengan cara 'drainase postural', yaitu cara klasik untuk
mengeluarkan sekret dari paru dengan mempergunakan gaya berat dan sekret itu
sendiri. Drainase postural dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret
dalam saluran nafas dan mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
ateletaksis. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk berbaring pada sisi normal
sehingga paru-paru yang kolaps mendapat kesempatan untuk kembali
berkembang. Pasien dapat melakukan pernapasan yang dalam dengan tujuan agar
paru dapat mengembang. Dalam kasus atelektasis yang dikarenakan oleh
pengumpulan cairan di rongga pleura dilakukan drainase interkostalis. Jika
alveoli mengalami kompresi karena beberapa tumor di rongga dada, maka
pengangkatan tumor dengan operasi harus dilakukan. Tetapi jika jaringan paru-
paru yang rusak diperbaiki dan tidak dapat dikembalikan secara normal maka
1,2
satu-satunya jalan untuk jenis atelektasis adalah lobektomi.
IX. PROGNOSIS
Prognosis sangat bergantung pada penyebab yang mendasari, dan luasnya
paru-paru yang kolaps. Jika hanya sebagian kecil daerah paru-paru yang kolaps,
prognosis sering sangat baik. Di sisi lain, atelektasis bisa menjadi kondisi yang
mengancam hidup jika sebagian besar paru-paru terlibat, atau gejala-gejala muncul
1
dengan cepat.

20
X. KOMPLIKASI
1. Pnemonia. Keadaan ini diakibatkan oleh berkurangnya oksigen dan
kemampuan paru untuk mengembang sehingga secret mudah tertinggal dalam
alveolus dan mempermudah menempelnya kuman dan mengakibatkan
1
terjadinya peradangan pada paru.
2. Hypoxemia dan gagal napas. Bila keadaan atelektasis dimana paru tidak
mengembang dalam waktu yang cukup lama dan tidak terjadi perfusi ke
jaringan sekitar yang cukup maka dapat terjadi hypoxemia hingga gagal napas.
Bila paru yang masih sehat tidak dapat melakukan kompensasi dan keadaan
1
hipoksia mudah terjadi pada obstruksi bronkus.
3. Sepsis. Hal ini dapat terjadi bila penyebab atelektasis itu sendiri adalah suatu
proses infeksi, dan bila keadaan terus berlanjut tanoa diobati maka mudah
terjadi sepsis karena banyak pembuluh darah di paru, namun bila keadaa segera
1
ditangani keadaan sepsis jarang terjadi.
4. Bronkiektasis. Ketika paru paru kehilangan udara, bentuknya akan menjadi
kaku dan mengakibatkan dyspnea, jika obstruksi berlanjut dapat
1
mengakibatkan fibrosis dan bronkiektasis.

21

You might also like