Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini membahas mengenai dua variabel, yaitu Subjective well being
(SWB) dan Peer attachment pada remaja, keterkaitan antara dua variabel, beserta
hipotesis penelitian.
A. Subjective well being
1. Pengertian Subjective well being
Subjective well-being merupakan evaluasi subyektif seseorang
mengenai kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi
menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan
pekerjaan, tingkat emosi tidak menyenangkan yang rendah (Diener, Scollon, &
Lucas, 2003).
Ryan dan Diener (2008) menyatakan bahwa subjective well-being
merupakan payung istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat well-
being yang dialami individu menurut evaluasi subjektif dari kehidupannya.
Menurut Diener dan Chan (2011), Subjective well being juga diartikan sebagai
evaluasi individu mengenai kepuasan hidupnya yang didasarkan pada perasaan
(termasuk mood dan emosi).
Snyder dan Lopez (2002), mendefinisikan subjective well being sebagai
sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam hidupnya. Evaluasi ini
mencakup reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kepuasan dan
kepuasan kognitif. Dengan demikian, subjective well being adalah konsep
luas yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya
tingkat suasana hati yang negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
Pengalaman positif yang terkandung dalam subjective well being tinggi
adalah konsep inti psikologi positif karena membuat hidup bermanfaat.
Berdasarkan beberapa uraian dapat disimpulkan bahwa Subjective well
being merupakan evaluasi subjektif pada kehidupannya mengenai kepuasan
hidup yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, serta
rendahnya emosi yang negatif.
8
9
a. Afek positif
Individu yang berhasil mencapai subjective well being umumnya
ditandai dengan tingginya perasaan positif/bahagia. Subjective well-
being adalah di mana evaluasi afektif individu menghasilkan bahwa
aspek positifnya memiliki jumlah yang lebih besar (mayoritas) dari
pada aspek negatifnya. Keadaan ini juga tidak hanya menunjukkan
bahwa kecil atau rendahnya faktor aspek negatif, tetapi lebih
menekankan pada kesehatan mental individu yang adekuat.
b. Afek negatif
Intensitas aspek positif dan negatif tidak terlalu mempengaruhi level
tinggi rendahnya subjective well being, sebaliknya frekuensi aspek
positif atau negatif sangat mempengaruhi level tinggi rendahnya
11
b. Kepribadian
Subjective well being adalah sesuatu yang stabil dan konsisten, dan
secara empiris berhubungan dengan konstruk kepribadian. Lykken dan
Tellegen (dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999) menyatakan bahwa
kepribadian mempunyai efek terhadap subjective well being saat itu
(immediate subjective well being) sebesar 50%, sedangkan pada jangka
panjangnya, kepribadian mempunyai afek sebesar 80% terhadap
subjective well being. Sisanya adalah efek dari lingkungan. Dua traits
kepribadian yang ditemukan paling berhubungan dengan subjective well
being adalah extraversion dan neuroticism. Extraversion mempengaruhi
afek positif, sedangkan neuroticism mempengaruhi afek negatif.
c. Faktor demografis
Secara umum, Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) mengatakan
bahwa efek faktor demografis (misalnya pendapatan, pengangguran,
status pernikahan, umur, jenis kelamin, pendidikan, ada tidaknya anak)
terhadap subjective well being biasanya kecil. Faktor demografis
membedakan anatara orang yang sedang-sedang saja dalam merasakan
kebahagiaan (tingkat subjective well being sedang), dan orang yang
sangat bahagia (tingkat subjective well being tinggi). Diener, Lucas,
dan Oishi (2002) menjelaskan bahwa sejauh mana faktor demografis
tertentu dapat meningkatkan subjective well being tergantung dari nilai
dan tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian, dan kultur.
d. Hubungan sosial
Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) menemukan bahwa
hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi
tidak cukup untuk membuat subjective well being seseorang tinggi.
Artinya, hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang
mempunyai subjective well being yang tinggi, namun seseorang dengan
subjective well being yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan
sosial dengan baik.
13
subjective well being, dan yang terakhir yaitu tujuan (goals) yang berperan
penting bagi subjective well being-nya.
B. Peer Attachment
1. Pengertian Peer Attachment
Menurut Barrocas (2009), pada masa remaja terbentuk ikatan
kelekatan dengan teman sebaya yang berhubungan dengan pikiran, perasaan
dan emosi. Ketika masa perkembangan, anak tidak hanya membentuk ikatan
emosional dengan orang tua, melainkan juga dengan orang lain. Transisi
pada masa remaja ditandai dengan eksplorasi dan kemandirian baik fisik
maupun psikologis, maka kehadiran seorang figur kelekatan (attachment)
menjadi penting.
Menurut Armsden dan Greenberg (1987), peer attachment
(kelekatan dengan teman sebaya) merupakan suatu hubungan seorang
individu saat remaja dengan teman sebayanya yang dapat menjadi sumber
keamanan psikologis bagi diri individu tersebut.
Neufeld dan Mate (2004), berpendapat bahwa peer attachment
merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara remaja dengan
teman sebayanya, baik dengan individu maupun dengan kelompok
sebayanya. Dari ikatan tersebut, remaja akan melihat dan meniru segala
tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang
dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah
dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang penting dan bahkan
bagaimana remaja memiliki persepsi mengenai dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa,
peer attachment merupakan ikatan kelekatan yang terjalin pada remaja
dengan teman sebayanya, dimana ikatan tersebut dapat mempengaruhi
kemandirian fisik maupun psikologis.
a. Communication (Komunikasi)
Adanya komunikasi yang baik maka akan menciptakan ikatan
emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Pada remaja, aspek
komunikasi ditunjukkan dengan adanya ungkapan perasaan, teman
sebaya menanyakan permasalahan yang dihadapi individu, meminta
pendapat teman sebaya dan teman sebaya membantu individu untuk
memahami dirinya sendiri.
b. Trust (Kepercayaan)
Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan
keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi
kebutuhan individu. Kepercayaan dapat muncul saat hubungan
terjalin dengan kuat. Kepercayaan pada figur attachment merupakan
proses pembelajaran dimana ini akan muncul setelah adanya
pembentukan rasa aman melalui pengalaman- pengalaman secara
konsisten kepada individu. Kepercayaan juga merupakan kualitas
penting dalam suatu hubungan kelekatan dengan teman sebaya.
c. Alienation (Keterasingan)
Keterasingan erat kaitannya dengan penghindaran dan
penolakan. Ketika seseorang merasa atau menyadari bahwa figur
tidak hadir, maka akan berakibat pada buruknya attachment yang
dimiliki oleh individu.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek peer
attachment yang dikemukakan oleh Armsden dan Greenberg (1987),
yaitu Communication, trust, dan alienation. Adapun alasan peneliti
menggunakan aspek-aspek dari Armsden dan Greenberg (1987), karena
sesuai dengan karakeristik partisipan penelitian ini.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia dan Feldman (2012) masa remaja adalah masa
transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, dan
psikososial dari masa anak-anak (childhood) ke masa dewasa
(adulthood). Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang
melibatkan perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial.
Sementara itu, Sarwono (2001) menggunakan batasan usia 11-24
tahun dan belum menikah menjadi definisi remaja di Indonesia.
Sedangkan Monks, Knoers dan Haditono (2001) membedakan masa
remaja awal dengan batasan usia 12-14 tahun. Remaja tengah untuk
usia 15-18 tahun dan remaja akhir 19-24 tahun.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut remaja merupakan
masa transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif,
dan psikososial dari masa anak-anak ke masa dewasa yang memiliki
batasan usia 11 hingga 24 tahun.
2. Ciri-ciri Remaja
Adapun ciri-ciri remaja menurut Baruth dan Robinson III (dalam
Lesmana, 2005) adalah sebagai berikut :
a. Meragukan diri sendiri, seringkali mempunyai kompleks
inferioritas, dan butuh dukungan
b. Kutub “senang” dan “tidak senang” berbeda dengan sangat
tajam
c. Senang berorientasi pada teman sebaya dan butuh pengakuan
dari teman kelompoknya
d. Gelisah, mempunyai banyak energi yang tidak terkendali
e. Bosan dengan rutinitas
f. Tidak menyukai arahan dari orang lain
18
well being yang berarti bahwa semakin baik Parent and Peer Attachment pada
remaja maka semakin baik pula Subjective well being pada remaja.
Hasil penelitian lainnya mengenai Subjective well being yang dilakukan
oleh Eryilmaz (2011) partisipan dalam penelitian ini merupakan remaja yang
bersekolah di sekolah menengah, hubungan pertemanan disekolah memiliki peran
penting bagi tingkat subjective well being remaja. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa tingkat subjective well being pada remaja meningkat sejalan dengan
kepuasan hidup serta tujuan hidup remaja.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Laghi, Pallini, Baumgartner, dan
Baiocco (2016) mengenai parent and peer attachment dengan kepuasan hidup pada
remaja. Partisipan dalam penelitian ini merupakan pelajar dengan rentang usia 16
sampai 19 tahun. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara peer attachment dengan kepuasan hidup remaja. Hal tersebut juga
diperkuat oleh Aziz dan Mohamed (2011) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif ditemukan antara kepuasan hidup dan hubungan dengan
teman sebaya. Peneliti juga mengemukakan, kekuatan pengaruh pada penyesuaian
emosional teman sebaya meningkat secara dramatis selama masa remaja, dimana
remaja akan selalu membutuhkan dukungan emosional dari teman sebaya untuk
meningkatkan kepuasan hidupnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dapat
diperoleh kesimpulan bahwa, remaja yang masih memiliki emosi labil
membutuhkan hubungan dengan teman sebayanya untuk memperoleh kepuasan
hidup. Dimana, kepuasan hidup itu sendiri merupakan salah satu bagian dari
subjective well being. Tingkat dari subjective well being ditandai oleh tinggi
rendahnya tingkat kepuasan hidup, serta tingginya afek positif dan rendahnya afek
negatif. Adapun kelebihan dari penelitian ini yaitu belum banyaknya penelitian
yang meneliti mengenai peer attachment dan subjective well being, khususnya pada
remaja di Indonesia.
23
E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan
antara peer attachment dengan subjective well being pada remaja.