You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini membahas mengenai dua variabel, yaitu Subjective well being
(SWB) dan Peer attachment pada remaja, keterkaitan antara dua variabel, beserta
hipotesis penelitian.
A. Subjective well being
1. Pengertian Subjective well being
Subjective well-being merupakan evaluasi subyektif seseorang
mengenai kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi
menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan
pekerjaan, tingkat emosi tidak menyenangkan yang rendah (Diener, Scollon, &
Lucas, 2003).
Ryan dan Diener (2008) menyatakan bahwa subjective well-being
merupakan payung istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat well-
being yang dialami individu menurut evaluasi subjektif dari kehidupannya.
Menurut Diener dan Chan (2011), Subjective well being juga diartikan sebagai
evaluasi individu mengenai kepuasan hidupnya yang didasarkan pada perasaan
(termasuk mood dan emosi).
Snyder dan Lopez (2002), mendefinisikan subjective well being sebagai
sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam hidupnya. Evaluasi ini
mencakup reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kepuasan dan
kepuasan kognitif. Dengan demikian, subjective well being adalah konsep
luas yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya
tingkat suasana hati yang negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
Pengalaman positif yang terkandung dalam subjective well being tinggi
adalah konsep inti psikologi positif karena membuat hidup bermanfaat.
Berdasarkan beberapa uraian dapat disimpulkan bahwa Subjective well
being merupakan evaluasi subjektif pada kehidupannya mengenai kepuasan
hidup yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, serta
rendahnya emosi yang negatif.

8
9

2. Komponen Subjective well being (SWB)


Komponen subjective well being dapat dibagi menjadi dua, yaitu
evaluasi kognitif (penilaian dan judgement) dan afektif (emosional)
(Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Penjelasan komponen tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Komponen Kognitif Subjective well being
Komponen kognitif dari SWB adalah evaluasi terhadap
kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian dari hidup
seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi:

1) Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global, yaitu evaluasi


responden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan
hidup secara global dimaksudkan untuk merepresentasikan
penilaian responden secara umum dan reflektif terhadap
kehidupannya.

2) Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu, adalah


penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain
dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental,
pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga.
b. Komponen afektif subjective well being
Secara umum, komponen afektif subjective well being
merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di
dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif
yang ada seorang peneliti dapat memahami cara seseorang
menevaluasi konsisi dan peristiwa di dalam hidupnya. Komponen
afektif subjective well being dapat dibagi menjadi:
1) Evaluasi terhadap keberadaan afek positif
Afek positif merepresentasikan mood dan emosi yang
menyenangkan, seperti kasih sayang. Emosi positif atau
menyenangkan adalah bagian dari subjective well being karena
10

emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi individu terhadap


peristiwa-peristiwa yang menunjukan bahwa hidup berjalan
sesuai dengan apa yang diinginkan.
2) Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif
Afek negatif merepresentasikan mood dan emosi yang tidak
menyenangkan, dan mereflesikan respon negatif yang dialami
seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan,
keadaan, dan peristiwa yang mereka alami. Beberapa afek
negatif individu yang mempengaruhi level subjective well being,
yaitu rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan
(sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry),
kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression) dan
kedengkian (envy).

Sedangkan Diener (Eid dan Larsen, 2008) mengangkat studi mengenai


subjective well being. Studi tersebut menyebutkan ada tiga komponen yang
menyertai subjective well-being individu, yaitu afek positif, afek negatif dan
kepuasaan hidup. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Afek positif
Individu yang berhasil mencapai subjective well being umumnya
ditandai dengan tingginya perasaan positif/bahagia. Subjective well-
being adalah di mana evaluasi afektif individu menghasilkan bahwa
aspek positifnya memiliki jumlah yang lebih besar (mayoritas) dari
pada aspek negatifnya. Keadaan ini juga tidak hanya menunjukkan
bahwa kecil atau rendahnya faktor aspek negatif, tetapi lebih
menekankan pada kesehatan mental individu yang adekuat.
b. Afek negatif
Intensitas aspek positif dan negatif tidak terlalu mempengaruhi level
tinggi rendahnya subjective well being, sebaliknya frekuensi aspek
positif atau negatif sangat mempengaruhi level tinggi rendahnya
11

subjective well-being, yaitu tingginya level subjective well being


disebabkan oleh tingginya frekuensi aspek positif dan negatif.
c. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup merupakan hal yang dinilai secara holistik, memuat
keseluruhan dari kehidupan individu atau total penilaian kehidupan
pada periode hidupnya. Hal ini mencerminkan bahwa tidak hanya total
kuantitas hal-hal yang menyejahterakan kehidupan individu pada
waktu tertentu saja, tetapi juga mengenai kualitas penyalurannya,
apakah hal itu dapat membawa kesejahteraan individu di waktu
selanjutnya lebih permanen atau tidak.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan komponen-komponen
subjcetive well being yang di kemukakan oleh Diener (Eid dan Larsen,
2008), yaitu afek positif, afek negatif, dan kepuasan hidup. Adapun alasan
peneliti menggunakan komponen-komponen dari Diener (Eid dan Larsen,
2008), karena komponen-komponen tersebut dipaparkan dengan jelas dan
terperinci.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective well being (SWB)
Ada beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi subjective well
being:
a. Faktor genetik
Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) menjelaskan bahwa
walaupun peristiwa di dalam kehidupan mempengaruhi subjective well
being, seseorang dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut dan
kembali kepada ‘set point’ atau ‘level adaptasi’ yang ditentukan secara
biologis. Adanya stabilitas dan konsistensi di dalam subjective well
being terjadi karena ada peran yang besar dari komponen genetis, jika
ada sebagian orang yang memang lahir dengan kecenderungan untuk
bahagia, dan ada juga yang tidak. Faktor genetik tampaknya
mempengaruhi karakter respon emosional seseorang pada kondisi
kehidupan tertentu.
12

b. Kepribadian
Subjective well being adalah sesuatu yang stabil dan konsisten, dan
secara empiris berhubungan dengan konstruk kepribadian. Lykken dan
Tellegen (dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999) menyatakan bahwa
kepribadian mempunyai efek terhadap subjective well being saat itu
(immediate subjective well being) sebesar 50%, sedangkan pada jangka
panjangnya, kepribadian mempunyai afek sebesar 80% terhadap
subjective well being. Sisanya adalah efek dari lingkungan. Dua traits
kepribadian yang ditemukan paling berhubungan dengan subjective well
being adalah extraversion dan neuroticism. Extraversion mempengaruhi
afek positif, sedangkan neuroticism mempengaruhi afek negatif.
c. Faktor demografis
Secara umum, Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) mengatakan
bahwa efek faktor demografis (misalnya pendapatan, pengangguran,
status pernikahan, umur, jenis kelamin, pendidikan, ada tidaknya anak)
terhadap subjective well being biasanya kecil. Faktor demografis
membedakan anatara orang yang sedang-sedang saja dalam merasakan
kebahagiaan (tingkat subjective well being sedang), dan orang yang
sangat bahagia (tingkat subjective well being tinggi). Diener, Lucas,
dan Oishi (2002) menjelaskan bahwa sejauh mana faktor demografis
tertentu dapat meningkatkan subjective well being tergantung dari nilai
dan tujuan yang dimiliki seseorang, kepribadian, dan kultur.
d. Hubungan sosial
Diener, Suh, Lucas, dan Smith (1999) menemukan bahwa
hubungan sosial yang baik merupakan sesuatu yang diperlukan, tapi
tidak cukup untuk membuat subjective well being seseorang tinggi.
Artinya, hubungan sosial yang baik tidak membuat seseorang
mempunyai subjective well being yang tinggi, namun seseorang dengan
subjective well being yang tinggi mempunyai ciri-ciri berhubungan
sosial dengan baik.
13

e. Pengaruh masyarakat atau budaya


Diener (dalam Pavot & Diener, 2004), mengatakan bahwa
perbedaan subjective well being dapat timbul karena perbedaan
kekayaan negara. Diener menerangkan lebih lanjut bahwa kekayaan
sebuah negara dapat menimbulkan subjective well being yang tinggi
karena biasanya negara yang kaya menghargai hak asasi manusia,
memungkinkan orang yang hidup di situ untuk berumur lebih panjang,
dan memberikan demokrasi.
f. Proses Kognitif
Menurut Synder dan Lopez (2002) proses kognitif seperti
harapan, kecenderungan seseorang untuk optimis. Informasi yang
dapat dipikirkan oleh seseorang saat itu menyenangkan atau tidak
menyenangkan, juga akurasi dan efisien bagaimana seseorang
memproses informasi tersebut juga mempengaruhi subjective well
being (Diener, Lucas, & Oishi, 2002).
g. Tujuan (goals)
Cantor (dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999)
menekankan pada pentingnya mengetahui tugas yang dihadapi dalam
tahap perkembangan seseorang, dimana kultur juga berperan dalam
menentukan tujuan tertentu tiap tahap. Kemajuan terhadap
pencapaian tujuan tersebut adalah hal yang penting bagi subjective
well being-nya.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat tujuh faktor yang memengaruhi


subjective well being, yaitu faktor genetik yang dapat memengaruhi karakter
respon emosional individu, faktor kepribadian yang memengaruhi afek
postif dan afek negatif, faktor demografis yang dapat meningkatkan
subjective well being pada individu, hubungan sosial yang baik, pengaruh
masyarakat dan budaya yang dapat menghargai hak asasi manusia, proses
kognitif dimana cara individu memproses informasi dapat memengaruhi
14

subjective well being, dan yang terakhir yaitu tujuan (goals) yang berperan
penting bagi subjective well being-nya.

B. Peer Attachment
1. Pengertian Peer Attachment
Menurut Barrocas (2009), pada masa remaja terbentuk ikatan
kelekatan dengan teman sebaya yang berhubungan dengan pikiran, perasaan
dan emosi. Ketika masa perkembangan, anak tidak hanya membentuk ikatan
emosional dengan orang tua, melainkan juga dengan orang lain. Transisi
pada masa remaja ditandai dengan eksplorasi dan kemandirian baik fisik
maupun psikologis, maka kehadiran seorang figur kelekatan (attachment)
menjadi penting.
Menurut Armsden dan Greenberg (1987), peer attachment
(kelekatan dengan teman sebaya) merupakan suatu hubungan seorang
individu saat remaja dengan teman sebayanya yang dapat menjadi sumber
keamanan psikologis bagi diri individu tersebut.
Neufeld dan Mate (2004), berpendapat bahwa peer attachment
merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara remaja dengan
teman sebayanya, baik dengan individu maupun dengan kelompok
sebayanya. Dari ikatan tersebut, remaja akan melihat dan meniru segala
tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang
dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah
dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang penting dan bahkan
bagaimana remaja memiliki persepsi mengenai dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa,
peer attachment merupakan ikatan kelekatan yang terjalin pada remaja
dengan teman sebayanya, dimana ikatan tersebut dapat mempengaruhi
kemandirian fisik maupun psikologis.

2. Aspek-aspek Peer Attachment


Menurut Armsden dan Greenberg (1987), terdapat tiga aspek peer
attachment.
15

a. Communication (Komunikasi)
Adanya komunikasi yang baik maka akan menciptakan ikatan
emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Pada remaja, aspek
komunikasi ditunjukkan dengan adanya ungkapan perasaan, teman
sebaya menanyakan permasalahan yang dihadapi individu, meminta
pendapat teman sebaya dan teman sebaya membantu individu untuk
memahami dirinya sendiri.
b. Trust (Kepercayaan)
Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan
keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi
kebutuhan individu. Kepercayaan dapat muncul saat hubungan
terjalin dengan kuat. Kepercayaan pada figur attachment merupakan
proses pembelajaran dimana ini akan muncul setelah adanya
pembentukan rasa aman melalui pengalaman- pengalaman secara
konsisten kepada individu. Kepercayaan juga merupakan kualitas
penting dalam suatu hubungan kelekatan dengan teman sebaya.
c. Alienation (Keterasingan)
Keterasingan erat kaitannya dengan penghindaran dan
penolakan. Ketika seseorang merasa atau menyadari bahwa figur
tidak hadir, maka akan berakibat pada buruknya attachment yang
dimiliki oleh individu.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek peer
attachment yang dikemukakan oleh Armsden dan Greenberg (1987),
yaitu Communication, trust, dan alienation. Adapun alasan peneliti
menggunakan aspek-aspek dari Armsden dan Greenberg (1987), karena
sesuai dengan karakeristik partisipan penelitian ini.

3. Manfaat Peer Attachment


Santrock (2003) menyebutkan beberapa manfaat kelekatan, antara
lain:
16

a. Kelekatan pada masa remaja bisa memfasilitasi kecakapan dan


kesejahteraan sosial seperti yang dicerminkan dalam beberapa ciri
seperti harga diri, penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik.
b. Membantu remaja menunjukkan kesejahteraan emosi yang lebih
baik.
c. Membantu remaja untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi.
d. Sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman terhadap
remaja agar dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru
serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi psikologi yang
sehat.
e. Membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan
tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari
masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.
f. Membantu keberhasilan remaja dalam hubungan intim dan harga diri
pada awal masa dewasa.
g. Membantu remaja untuk menghasilkan hubungan positif dan dekat di
luar keluarga dengan teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
manfaat attachment ialah, remaja bisa memfasilitasi kecakapan,
kesejahteraan sosial, memiliki harga diri, menyediakan rasa aman,
membantu perasaan tertekan atau ketegangan emosi, menghasilkan
hubungan positif dan membantu dalam hubungan intim.
17

C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia dan Feldman (2012) masa remaja adalah masa
transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, dan
psikososial dari masa anak-anak (childhood) ke masa dewasa
(adulthood). Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang
melibatkan perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial.
Sementara itu, Sarwono (2001) menggunakan batasan usia 11-24
tahun dan belum menikah menjadi definisi remaja di Indonesia.
Sedangkan Monks, Knoers dan Haditono (2001) membedakan masa
remaja awal dengan batasan usia 12-14 tahun. Remaja tengah untuk
usia 15-18 tahun dan remaja akhir 19-24 tahun.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut remaja merupakan
masa transisi perkembangan yang melibatkan perubahan fisik, kognitif,
dan psikososial dari masa anak-anak ke masa dewasa yang memiliki
batasan usia 11 hingga 24 tahun.

2. Ciri-ciri Remaja
Adapun ciri-ciri remaja menurut Baruth dan Robinson III (dalam
Lesmana, 2005) adalah sebagai berikut :
a. Meragukan diri sendiri, seringkali mempunyai kompleks
inferioritas, dan butuh dukungan
b. Kutub “senang” dan “tidak senang” berbeda dengan sangat
tajam
c. Senang berorientasi pada teman sebaya dan butuh pengakuan
dari teman kelompoknya
d. Gelisah, mempunyai banyak energi yang tidak terkendali
e. Bosan dengan rutinitas
f. Tidak menyukai arahan dari orang lain
18

g. Mencemaskan hal-hal yang belum diketahui, tentang bertemu


dengan orang-orang baru atau tentang dirinya sendiri
h. Canggung karena perubahan fisik yang cepat dan cemas tentang
perubahan-perubahan fisik dan emosi yang terjadi
i. Cenderung berkelompok
j. Moody, memikir-mikirkan kesalahan dan seringkali berkhayal
k. Suka bergosip
l. Amat loyal kepada teman

3. Tahap Perkembangan Remaja


Menurut Sarwono (2006) ada tiga tahap perkembangan
remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa, yaitu.
a. Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini
berusia 10-12 tahun masih terheran–heran akan perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-
dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan
jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang
berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali
terhadap “ego”.
b. Remaja Madya (Middle Adolescence) Tahap ini berusia 13-15
tahun. Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan.
Ada kecenderungan “narastic”, yaitu mencintai diri sendiri,
dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang
sama dengan dirinya. Selain itu, remaja berada dalam kondisi
kebingungan karena tidak tahu harus memilih yang mana antara
peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya.
c. Remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini (16-19 tahun) adalah
masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan
pencapaian lima hal dibawah ini.
19

1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.


2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-
orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri
dengan orang lain.
5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private
self) dan masyarakat umum (the public).

4. Tugas-tugas Perkembangan Remaja


Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Monks (2004)
antara lain:
a. Perkembangan fisik/ Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun
perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia
mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan
seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk
bereproduksi. Pertumbuhan secara cepat dari hormonhormon
tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak
perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa
sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga
perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dan lain-
lain. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara,
otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya
hormon testosterone.
b. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif remaja merupakan periode
terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal
(period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para
20

remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha


memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak.
Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa
sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak
alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau
hasilnya.
c. Perkembangan Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai
bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri
remaja. Para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam
menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungannya, misalnya politik, kemanusiaan, perang, keadaan
sosial, dan sebagainya. Kemampuan berpikir dalam dimensi
moral (moral reasoning) pada remaja mulai berkembang karena
remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang remaja yakini dengan kenyataan
yang ada di sekitarnya.
d. Perkembangan Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada
masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan
sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja
yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum
tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
e. Perkembangan Sosial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit
adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja
harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan
21

yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan


dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.

D. Keterkaitan Peer Attachment dengan Subjective well being


Remaja merupakan tahapan masa transisi yang melibatkan perubahan fisik,
kognitif, emosional, dan sosial (Papalia & Feldman, 2014). Kondisi emosi remaja
yang masih labil dan mudah berubah-ubah merupakan salah satu dampak
menyebabkan remaja merasa tidak puas akan kehidupannya serta mudah jatuh
dalam kondisi emosi yang negatif.p
Pengalaman emosi yang dialami oleh remaja tersebut salah satunya dapat
dipahami atau digambarkan dalam konsep Subjective well-being yaitu suatu konsep
umum yang mengevaluasi mengenai kehidupan remaja (Diener, Lucas, & Oishi,
2002). Menurut Snyder dan Lopez (2002), menyatakan bahwa subjective well being
merupakan konsep luas yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan,
rendahnya tingkat suasana hati yang negatif dan kepuasan hidup yang tinggi.
Saat usia remaja biasanya remaja lebih banyak menghabiskan waktu
dengan teman sebayanya untuk mencari jati diri maupun pengalaman-pengalaman
emosi. Menurut Neufeld dan Mate (2004), menyatakan bahwa peer attachment
merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara remaja dengan teman
sebayanya, baik dengan individu maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan
tersebut, remaja akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan
memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Teman
sebaya akan menjadi penengah dari apa yang baik, apa yang terjadi, apa yang
penting dan bahkan bagaimana remaja memiliki persepsi mengenai dirinya.
Menurut Diener dan Seligman (2004), bahwa kelekatan pada hubungan
sosial memainkan peran penting dalam Subjective well being individu. Dengan
demikian, kemampuan untuk membangun hubungan yang dekat pada dasarnya
dapat mempengaruhi Subjective well being individu.
Baytemir (2016) menyatakan bahwa adanya arah hubungan kedua variabel
prediktor dengan variabel kriterium adalah positif, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan positif antara Parent and Peer Attachment dan Subjective
22

well being yang berarti bahwa semakin baik Parent and Peer Attachment pada
remaja maka semakin baik pula Subjective well being pada remaja.
Hasil penelitian lainnya mengenai Subjective well being yang dilakukan
oleh Eryilmaz (2011) partisipan dalam penelitian ini merupakan remaja yang
bersekolah di sekolah menengah, hubungan pertemanan disekolah memiliki peran
penting bagi tingkat subjective well being remaja. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa tingkat subjective well being pada remaja meningkat sejalan dengan
kepuasan hidup serta tujuan hidup remaja.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Laghi, Pallini, Baumgartner, dan
Baiocco (2016) mengenai parent and peer attachment dengan kepuasan hidup pada
remaja. Partisipan dalam penelitian ini merupakan pelajar dengan rentang usia 16
sampai 19 tahun. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara peer attachment dengan kepuasan hidup remaja. Hal tersebut juga
diperkuat oleh Aziz dan Mohamed (2011) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif ditemukan antara kepuasan hidup dan hubungan dengan
teman sebaya. Peneliti juga mengemukakan, kekuatan pengaruh pada penyesuaian
emosional teman sebaya meningkat secara dramatis selama masa remaja, dimana
remaja akan selalu membutuhkan dukungan emosional dari teman sebaya untuk
meningkatkan kepuasan hidupnya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dapat
diperoleh kesimpulan bahwa, remaja yang masih memiliki emosi labil
membutuhkan hubungan dengan teman sebayanya untuk memperoleh kepuasan
hidup. Dimana, kepuasan hidup itu sendiri merupakan salah satu bagian dari
subjective well being. Tingkat dari subjective well being ditandai oleh tinggi
rendahnya tingkat kepuasan hidup, serta tingginya afek positif dan rendahnya afek
negatif. Adapun kelebihan dari penelitian ini yaitu belum banyaknya penelitian
yang meneliti mengenai peer attachment dan subjective well being, khususnya pada
remaja di Indonesia.
23

E. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan
antara peer attachment dengan subjective well being pada remaja.

You might also like