You are on page 1of 261

PROCEEDING

INTERNATIONAL SEMINAR
ON IMAM AL-GHAZALI’S SUFISM

‫مجموعة املقاالت‬
‫املؤثمر الدولي في ثصوف إلامام الغزالي‬
PROCEEDING I NTERNATIONAL S EMINAR ON IMAM AL-GHAZALI’S SUFISM
THEME :
THE ROLE AND C ONTRIBUTION OF I MAM AL -GHAZALI ON P EACE AND H ARMONIOUS W ORLD
Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018

Reviewer:
Pro. Dr. Achmad Mubarok, MA
Dr. Ali M. Abdillah, MA

Editor:
Dr. Zulfan Taufik, MA.Hum
Dewi Anggraini, MA

Cover Design:
Dian Makruf
Lala

First Edition: Januari 2018


Publisher: Al-Kamil Institute for Research and Islamic Studies
Adress: Jl. Transyogie Cikeas, Nagrak RT 02/03 No. 99 Gunung Putri 16967 Jakarta – Indonesia.
Telp: 021-82487799; Fax.: 021-82487800

ISBN: 978-979-16035-3-9

All right reserved


No part of this publication may be reproduced without
Written permissin of the publisher
PENGANTAR KETUA PELAKSANA
Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA.

Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥīm


Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt. yang telah
menurunkan rahmat-Nya sehingga Seminar International Tasawuf Imam al-
Ghazaly berlangsung dengan lancar, sesuai, bahkan lebih dari yang kami
harapkan.
Era global sekarang sangat memperihatinkan, terutama berkembangnya
proxy war yang sangat luas yang bukan hanya berakibat terjadinya eskalasi
permusuhan melalui media, tetapi sudah menurun menjadi konflik fisik antar-
bangsa dan negara, tak terkecuali negara-negara Islam. Adalah sangat memilukan
bagaimana orang yang sama-sama berpegang kepada Kitab Suci al-Qur`an yang
menyebarkan ajaran rahmat bagi alam semesta, raḥmatan li al-‘ālamīn, justru
saling membunuh yang menimbulkan korban tak berdosa dalam jumlah sangat
besar. Pendekatan diplomatik, pendekatan ekonomi, pendekatan politik, dan
pendekatan lainnya sudah sering dilakukan, tetapi hasilnya belum memuaskan.
Perbedaan cara pandang, cara berfikir, dan perbedaan kepentingan sering
membuat substansi masalah tidak memperoleh perhatian utama.
Perngalaman sejarah menunjukkan bahwa kearifan lebih efektif digunakan
sebagai problem solving dibanding logika murni. Dalam hal sejarah Islam, ilmu
tasawuf telah terbukti sangat efektiF dalam memberikan kesejukan batin dan
disiplin syariah sekaligus. Dalam hal ini, di kala berkembang berbagai aliran
baru dalam memahami Islam, Imam al-Ghazali yang digelari sebagai Ḥujjjat al-
Islām berjasa dalam mendamaikan antara tasawuf dan syari`at sehingga tasawuf
dapat diterima oleh sebagian besar umat Islam.
Mengingat tasawuf berdimensi suluky dan falsafy sekaligus, maka kajian
tasawuf harus selalu diaktualkan, baik di kalangan akademisi maupuin di
kalangan Pesantren. Dengan kajian tasawuf yang aktual maka nilai-nilai tasawuf

v
dapat menyelinap ke dalam interaksi sosial politik secara nasional, regional
maupun global yang ujungnya membangun harmoni global.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut serta
dalam mensukseskan seminar ini dan secara khusus kepada kalangan akademisi
yang ikut menyumbangkan kajian aktualnya berupa tulisan yang didiskusikan
dalam seminar ini. Insyaalloh akan memdatangkan berkah dan rahmat Alloh swt
kepada kita semua.

Jakarta, 14 Januari 2018


Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA.
Ketua OC Seminar International Tasawuf Imam Ghazali
Ketua Senat Guru Besar Universitas Islam Assyafi`iyyah Jakarta.

vi
DAFTAR ISI

Pengantar Ketua Pelaksana (v – vi)


Daftar Isi (vii – viii)

PEMBICARA UTAMA
Ajaran Tasawuf Imam al-Ghazali sebagai Dasar Muhaqiqīn dalam Bertarekat
Mu’tabarah
M. Luqman Hakim (3 – 10)
Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat
Hujjatullah Ibrahimiyan (11 – 22)

"‫من روائع اإلمام الغزايل للتزكية واإلصالح يف رياض كتابو "اإلحياء‬


)22 – 32( ‫حممد ياسر بن حممد خري القضماين‬
‫التصوف الفلسفي لإلمام الغزايل من خالل كتاب مشكاة األنوار‬
)16 – 23( ‫مازن الشريف‬
‫انتشار وتأثري تصوف الغزايل يف الغرب‬
)16 – 12( ‫حممد عزيز عابدين احلسيين‬
‫التصوف عند االمام الغزايل وتأثريه يف إندونيسيا‬
)77 – 16( ‫أمحد إلياس إمساعيل‬

SESI PANEL I
Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik
Achmad Mubarok (81 – 94)
UU. Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali
Agus Irfan (95 – 114)

vii
Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara
Hajam (115 – 133)
Popularitas, Pengaruh, dan Posisi Tasawuf al-Ghazali di Nusantara
Idris Masudi (135 – 144)

SESI PANEL II
Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik Al-Ghazali
Muhammad Iqbal Irham (147 – 164)
Relevansi Psikoterapi Sufistik dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi
Modern Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)
Ricky Firmansyah (163 – 183)
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya
Global
Dalmeri (185 – 207)
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali
Abdul Ghofur (209 – 246)
Reaktualisasi Zuhud al-Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi pada
Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
Yulianto dan Millatuz Zakiyah (239 – 253)

viii
PEMBICARA UTAMA
AJARAN TASAWUF IMAM AL-GHAZALI SEBAGAI DASAR
MUHAQQIQIN DALAM BERTAREKAT MU’TABARAH

M. Luqman Hakim
Pimred Majalah Cahaya Sufi Indonesia

GEDUNG BESAR AL-GHAZALI

Menelaah ajaran tasawuf Hujjatul Islam Imam al-Ghazali seperti


memandang Gedung Besar Ruhaniyah. Rumah itu menampung ragam
penempuh Jalan Ruhani dari para Pemula (Mubtadi’iin) maupun mereka yang
sedang menempuh Jalan Thariqah Sufi (Salikin), bahkan mereka yang sudah
sampai pada yang dituju, Allah Rabbul ‘alamin (Washilin). Di gedung ini ibarat
Supermarket, mereka menemukan apa yang dibutuhkan. Di Gedung ini ini ada
Supermarket, ada Rumah Sakit, ada tempat Olah Raga, ada Restoran, ada
tempat Pendidikan, Taman-taman yang indah, Ruang-ruang khusus, bahkan
seluruh fasilitas hingga pembuangan limbah yang benar dan sehat. Gedung besar
dengan arsitek dan fondasi bangunan yang kokoh sepanjang zaman.
Bagi para Pemula melihat gedung ini sangat menakjubkan. Tetapi ia harus
dipandu agar mengenal mana pintu gerbang, mana barang kebutuhan, tata cara
pemakaiannya, merawatnya, hingga berbagai pintu dan jalan keluar akhirnya.
Jika tidak dipandu ia akan kebingungan. Bagi para Penempuh gedung ini seperti
sudah menjadi kebutuhan – dengan segala, metode dan ajaran – ia akan terus
menjadi konsumen ilmu pengetahuan dan praktek sehari-harinya. Ia akan terus
menggunakan ruang pengetahuan dan ruang olah ruhani sampai ia sehat mental
spiritualnya. Mereka harus memasuki “Ruang Thariqah” Baru kelak ia
memasuki ruang-ruang khusus. Bagi mereka yang sudah meraih tujuan
utamanya (Muntahi) gedung ini akan tetap menjadi sumber inspirasi dan
rujukan ketika ia juga harus membangun gedung-gedung spiritual baru dalam
jiwanya.
Bagi para Ulama, gedung ini merupakan ruang baru yang
menyembunyikan apa yang selama ini mereka anggap sebagai gedung final
dengan kadar ilmiyah yang mereka miliki, yang mereka sebut dengan Gedung

3
M. Luqman Hakim

Syariat dan Gedung Tauhid. Ternyata ada ruang rahasia tersembunyi yang harus
mereka pandang, agar meraih Khasyyah, dan menjadi Ulama Billah yang
Warotsatul Ambiya’. Mereka menemukan cahaya dalam ruang “Al-Munqidz
minadh Dhalal” setelah lama perjalanan kegelapan pengetahuan dan jiwa.
Betapa mereka baru menyadari, bahwa “Cahaya-cahaya Ilahi itu mendahului
semua wacana Ijtihad dan intelektualitasnya”. Sementara mereka berada dalam
“Kegelapan Ilmiah yang sedang mencari cahaya hakiki”.
Bagi filosuf gedung ini akan menjadi wisata intelektual yang membuka
tirai (hijab) melalui metode yang tidak mereka kenal, dengan metode Kasyf dan
Dzauq yang melampaui seluruh perjalanan filosufis dan intelektual mereka. Bila
mereka meraih hidayah, ia akan mengalami katarsis dalam kesadaran Tahafutul
Falasifah. Tetapi bila mereka tertutup jiwanya, mereka akan kembali ke wilayah
apriori Tahafutut Tahafut.
Bagi para psikolog, gedung ini adalah impian-impian dan akhir semua
kegelisahan dan keresahannya. Karena sehebat apa pun yang mereka pelajari
mereka praktekkan dalam konseling, tak lebih dari kulit-kulit tipisnya belaka.
Bahkan yang mereka lakukan hanyalah memasuki ruang-ruang imajiner yang
semu, yang semakin mereka dalami semakin gelap.
Bagi mereka yang selama ini mendalami agama melalui pengetahuan yang
tekstual, hanya memandang agama dari formalitas yang tampak di permukaan,
merasa final dengan dengan apa yang diraihnya, memasuki gedung itu akan
muncul dua pandangan: Bila memasukinya dengan tulus dan ikhlas ia akan raih
pencerahan baru. Jika datang dengan apriori, gedung ini dianggap aneh, penuh
bid’ah, menyesatkan dan harus dirobohkan. Ini gedung hantu, kata mereka.
Gedung Besar ini bisa disebut dengan “Gedung Ihya’ Ulumuddin” yang
dibangun oleh seorang arsitek yang tidak hanya ahli di bidang arsitektur, sipil,
dan bahan-bahan bangunan. Tetapi ia sendiri turun membangun langsung,
mulai mengaduk bahan baku sampai ornament-ornamennya, setelah melakukan
penelitian panjang dari seluruh arsitektural dunia, berbagai aliran klasik hingga
modern, kelemahan dan kelebihannya. Arsitek yang cukup berpangaruh bagi
gedung ini antara lain Abu Thalib Al-Makky, Al-Harits al-Muhasiby, Abul
Qasim al-Qusyairy, Al-Junayd al-Baghdady, Abu Yazid Al-Bisthamy, Imam
Madzahibil Arba’ah, Imam Haramayn Abul Ma’aly al-Juwainy dan tak kalah
penting Abul Hasan al-Asy’ary.
Pintu Gerbangnya dinamakan “Bidayatul Hidayah” kemudian memasuki
gedung itu ada beberapa pintu ruang pertama, “Iljamul Awam ‘an Ilmil Kalam”
lalu deretan “Qawa’dut Tauhid fil ‘Aqa’id; Al-Qisthasul Mustaqim;” dan “ Al-
Iqtishad fil I’tiqad”. Untuk ruang anak-anak dan remaja yang sangat indah ada

4 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Ajaran Tasawwuf Imam Al-Ghazali Sebagai Dasar Muhaqqiqin Dalam Bertarekat Mu’tabarah

“Ayyuhal Walad”. Lalu terpampang dihadapannya, ruang “Al-Hikmah fi


Makhluqaatilllah Azza wa-Jalla”.
Mereka yang memasuki Gedung itu akan dihadapkan pada arena “Al-
Munqidz min Dhahal”, kemudian memasuki lorong-lorong yang penuh dengan
aroma harum dan indahnya “Kimiya’us Sa’adah”. Maka kita akan bertemu
ruang “Qanun a-Ta’wiil” dan “Mi’yarul ‘Ilm”. Menjelang tengah gedung itu ada
miniature gedung yang bisa dipandang cukup penting, “Mukhtashar Ihya’
Ulmuddin” dan “Jawahirul Qur’an “berlanjut “Kitabul Arba’in fi Ushuliddin”.
Lalu berjajar ruang-ruang indah yang terdiri dari “Al-Qawa’idul ‘Asyrah”
tentang aturan di gedung tersebut, agar bisa memasuki “Al-Adab fid Diin”
kemudian ruang “Minhaajul ‘Arifin”. Di depan ruang itu tertulis “Ar-Risalah al-
Wa’dhziyyah”.
Di luar maupun di dalam Gedung itu lampu-lampu menyala dari
“Misykatul Anwaar”. Mereka akan memasuki ruang “Mi’rajus Salikin” yang
terhampar taman-taman indah “Raudhatuth Thalibin wa’Umdatus Salikin” .
Baru kemudian kita masuki ruang “Minhajul ‘Abidin”. Ruang cermin, kamar-
kamar mandi yang lengkap, toilet, dan ruang istirahat sembari tafakkur. Kita
bisa lihat di ruang “Al-Kasyfu wat-Tabyiin fii Ghururil Khalqi Ajma’in”.
Ada ruang-ruang yang hanya khusus, seperti ruang “Tahafutul Falasifah;
Maqhashidul Falasifah” dan Ar-Risalah al-Laduniyyah “ dan ruang “Al-Ajwibah
Al-Ghazaliyah fil Masa’ilil Ukhrawiyah” dan “Ad-Durratul Akhirah fi Kasfi
‘Ulumil Akhirah” serta “Risalatuth Thayr” dan “Al-Maqshadul Asna”. Bahkan
ada ruang yang lebih khusus yang boleh masuk hanya kalangan tertentu, ruang
“Al-Madhnun bih ‘ala ghairi ahlih”. Kita akan keluar dari gedung itu melalui
pintu keluar ada “Khulashah at-Tashanif” dan “Al-Mawa’idz fil Ahaadits al-
Qudsiyyah”setelah melewati taman “Raudhatut Thalibin” dan ruang “Minhajul
‘Abidin”.
Secara keseluruhan gedung besar ini terdiri dari 4 Fondasi Utama: Fondasi
Pertama disebut sebagai “Rub’ul Ibadat” yang memiliki 10 pilar: Kitabul ‘Ilm;
Kitabu Qawaidil ‘Aqaid; Kitab Asrarit Thaharah; Kitab Asrar ash-Shalat; Kitab
Asrar az-Zakat; Kitab Asrar ash-Shiyam; Kitab Asrar al-Hajj; Kitab Adabi
Tilawatil Qur’an; Kitabul Adzkaar wad-Da’awat; Kitab Tartibil Awrad fil
Awqaat.
Fondasi Kedua disebut sebagai “Rub’ul ‘Aadaat” yang memiliki 10 pilar;
Kitab Adabil Akl; Kitab Adabin Nikah; Kitab Ahkamil Kasb; Kitab al-Halal wal
Haram; Kitab Adabus Shubah wal Mu’asyarah ma’ Ashnafil Khalq; Kitabul
‘Uzlah’ Kitab Adabis Safar; Kitab as-Sama’ wal Wujd; Kitab Al- Amr bil Ma’ruf
wan- Nahy ‘anil Munkar; Kitab Adabil Ma’isyah wa Akhalin Nubuwwah.”

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 5


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
M. Luqman Hakim

Fondasi Ketiga disebut dengan“Rub’ul Muhlikat” terdiri dari 10 pilar:


Kitab Syarhi ‘Ajaibil Qalb; Kitab Riyadhatun Nafs; Kitab Afatis Syahwatayn-
Syahwatul Bathn wal Syahwatil Farj; Kitab Afatil Lisan; Kitab Afatil Ghadhab
wal-Haqd wal Hasad; Kitab Dzamm ad Dunya; KitabDzammil Maal wal-
Bukhl; Kitab Dzammil Jaah war Riya’; Kitab Dzammil Kibr wal ‘Ujb; Kitab
Dzammil Ghurur.
Fondasi Keempat disebut dengan “Rub’ul Munjiyat’ terdiri 10 pilar: Kitab
At-Taubah; Kitab Ash Shabr wasy Syukr; KitabKitab Al-Khauf war Raja’; Kitab
al-Faqr waz Zuhd; Kitab at-Tauhid wat-Tawakkul; Kitab al-Mahabbah wal-Uns
wasy Syauq war Ridha; Kitab an-Niyat wash Shidq wal Ikhlash; Kitab al-
Muroqobah wal-Muhasabah; Kitab at-Tafakkur; Kitab Dzikril Maut. Fondasi-
fondasi yang kokoh, besar dan mampu menampung seluruh lapisan ummat
sesuai dengan tingkat intelektual dan spiritual masing-masing.

PANDANGAN UMUM AL-GHAZALI DALAM TASAWUF


Imam Al-Ghazali yang kelak menjadi poluler dengan Hujjatul Islam, telah
mewakili eksponen Mujaddid dan Mujtahid setiab abad. Sebagaimana Imam
Madzahibil Arba’ah yang monumental di bidang Fiqh, Al-Ghazali menancapkan
tonggak dan mercusuar Tasawuf dalam sejarah dunia Islam.
Spirit Al-Ghazali memasuki seluruh pandangan Tasawuf generasi
Mujaddid Sufi setelah abad-abad berikutnya. Dari seluruh karya dan biografi
intelektualnya menggambar perjalanan panjang, walaupun tujuannya sangatlah
dekat. Kalau boleh disebut Al-Ghazali adalah salah satu Nikmat Allah dan
Karomah yang agung yang diturunkan untuk ummat Kanjeng Nabi
Muhammad Saw yang tak habis-habisnya untuk disyukuri.
Tentu tidak perlu lagi mengutip definisi Tasawuf menurut Al-Ghazali;
karena Al-Ghazali telah menyederhanakan seluruh masa lalu dunia Sufi dalam
uraian sistematis, yang representative setiap zaman. Prestasi besar Al-Ghazali
antara lain:
1. Al-Ghzaly telah menyelamatkan ummat Islam dari pengaruh Hellenisme
(Filsafat Yunani), dan kembali menghidupkan kreativitas pemikiran
keagamaan dalam Cahaya Ketuhanan yang luar bisaa.
2. Al-Ghazali telah sukses memadukan hubungan Keniscayaan antara Wilayah
Syari’at dan Hakikat melalui pendekatan Tasawuf (Thariqah Shufiyah),
sekaligus menyelesaikan tarik menarik antara rasionalisme dan spiritualisme
dalam pencarian ilmu pengetahuan maupun dalam praktek keagamaan.

6 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Ajaran Tasawwuf Imam Al-Ghazali Sebagai Dasar Muhaqqiqin Dalam Bertarekat Mu’tabarah

3. Al-Ghazali telah berhasil menata kembali dan menjawab seluruh keresahan


dalam kemelut dunia filsafat berlangsung panjang, baik secara Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologisnya.
4. Al-Ghazali telah berhasil menyibak kegelapan demi kegelapan intelektual
melalui metode Mukasyafah dan Dzauq sebagai salah satu sumber ilmu
pengetahuan dan kebenaran untuk menuju hakikat.
5. Al-Ghazali berhasil menuntun manusia, dari pencarian jati dirinya sampai
ke ruang Rahasia Ketuhanan dan kembali menjadi manusia yang “Bersama
Tuhan” dalam segalanya, sehingga menjadi bagian dari “Rahmatan
lil’alamin”.
6. Kitab Ihya’ Ulumiddin telah mengurai hal-hal yang global dan pelik
menjadi mudah untuk dicerna.
Al-Ihya’ menertibkan dengan struktur keilmuan yang sangat sistematis,
mengumpulkan pecahan-pecahan yang berserak; menyatukan kembali
dalam silabus dan keutuhan metodologi yang luar bisaa.
Al-Ihya’ mebuang yang tidak perlu dan menyajikan yang bermanfaat dunia
akhirat dengan lebih meyakinkan.
Al-Ihya’ menyadarkan secara total bahwa adab dan akhlaq menjadi esensi
dari seluruh ilmu pengetahuan agama. Bukan Islamisasi Ilmu dan juga
bukan menempatkan agama sebatas ilmu, dan bukan mengagamakan ilmu
pengetahuan. Tetapi menempatkan agama sebagai sumber ilmu, adab ilmu,
ruhnya ilmu, agar muncul Ulumun Nafi’ (Ilmu yang bermanfaat) yang
dewasa ini telah dilupakan oleh filsafat pendidikan modern.
7. Al-Ghazali berhasil menegaskan metode Pembersihan Jiwa (Tazkiyatun
Nafs) dan Penyucian Hati (Tathhirul Qulub) dan Pencerahan Rahasia
Batin (Tanwir Al-Asrar) melalui Tahdzib dan Tashfiyah, Kasyf dan Dzauq,
Fana’, Musyahadah, Ma’rifah dan Mahabbah. Kelak juga kita kenal dengan
Takhally Tahally Tajally.
8. Al-Ghazali telah membuat rumpun-rumpun Maqomat dan Ahwaal dalam
dunia Sufi, bahkan telah menanamkan Syajarah Thayyibab dengan cabang-
cabangnya yang menjulang ke langit.
Namun dari seluruh perjalanan spiritual ityu, Al-Ghazali berhasil
memaparkan factor-faktor penghambat yang harus ditepis, sekaligus akan
membuahkan pencerahan baru, hingga meraih Wushul pada Allah swt.
9. Al-Ghazali telah mengantar kita semua bagaimana mewujudkan totalitas
kehambaan kita (tahqiq al’ubudiyyah) dan menegakkah Hak-hak
Ketuhanan (Iqomatu Huquq ar-Rubibiyyah) , dengan cara benar menjadi

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 7


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
M. Luqman Hakim

hambaNya (as-Shidq fil ‘Ubudiyyah) dan begantung terus menerus dengan


sifat RububiyahNya (at-ta’alluf bi Shifaati ar-Rububiyyah).

APLIKASI DALAM THARIQAH MU’TABARAH


Thariqah Shufiyah itu sendiri terbagi menjadi dua. Melaui Al-Jadzb dan
As-Suluk. Metode Jadz tidak bisa diajarkan, karena itu metode Suluk lebih
banyak diurai oleh para Ulama Sufi, termasuk Al-Ghazali. Kelak dua metode ini
dipadu dalam pandangan Syadziliyah dan tegaskan oleh Ibnu Athaillah as-
Sakandary, dalam Kitab Al-Hikam:
“Allah menunjukkan ciptaanNya agar mengenal asma-asmaNya,
dan mengenalkan Asma-asmaNya agar mengenal ketetapan Sifat-sifatNya,
lalu dengan ketetapan Sifat-sifatNya untuk mengenal DzatNya. Karena
mustahil sifat itu ada tanpa Dzat. Sedangkan mereka yang dianugerahi
Jadzb tersingkap dari Keparipurnaan DzatNya, kemudian diarahkan
mengenal Sifat-sifatNya, lalu dikembalikan untuk mendalami As-
asmaNya, hingga diturunkan untuk menyaksikan ciptaanNya. Sang salik
mengalami proses sebaliknya. Maka puncak sang salik adalah awal sang
majdzub. Begitu awal dari sang salik, malah puncak sang majdzub. Tetapi
tidak berarti sama. Kadang terjadi pertemuan di jalan penempuhan, satu
sedang naik satu sedang turun.”
Sang salik sesungguhnya juga sang majdzub, karena tanpa TarikanNya ia
tak akan menjadi salik. Sang majdzub juga salik, karena ia akan menempuh
aturan wilayah Jadzb. Maka, dalam pandangan Thariqah Al-Ghazali, kekuatan
Mujahadah, Tashfiyah, Tazkiyah dan Tathhir menempati posisi penting. Sebab
fana’, ma’rifah dan mahabbah sangat erat kaitannya dengan Mujahadah yang
dibimbing oleh Syekh atau Mursyid. Karena itu Al Ghazali membangun
paradigma yang cukup sederhana, yang aplikasinya akan terurai dalam Al-Ihya’
dan kitab-kitab lainnya. Namun praktek tasawuf yang begitu lembut
memerlukan panduan di tangan ahlinya. Jika tidak, seseorang bisa tersesat, dan
terjebak dalam ghurur yang gelap.
Di antara sistematika yang cukup penting bagi Salikin, Al-Ghazali
memberi kiat-kiat yang fundamental melalui enam tahap yang masing-masing
tahap spiritual itu mesti membuang hambatannya.
1. Memisahkan anggota fisik dari kontra terhadap aturan syari’ah (akan
meraih sumber-sumber hikmah qalbu).
2. memisahkan nafsu dari pemanjaan dirinya (akan meraih rahasia-rahasia
ilmu laduni).

8 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Ajaran Tasawwuf Imam Al-Ghazali Sebagai Dasar Muhaqqiqin Dalam Bertarekat Mu’tabarah

3. Memisahkan qalbu dari pengaruh ketololan manusiawi (akan meraih panji-


panji munajat di alam Malakut).
4. Memisakan jatidiri (rahasia batin) dari kotoran nafsu (melimpah cahaya-
cahayaNya).
5. Memisahkan ruh dari efek inderawi (penyaksian purnama Cinta).
6. Memisahkan akal dari imajinasi khayal (memasuki Taman Hadhrah
Kesucian).
Tema-tema penting dalam faktor penghalang itu haruslah dielaborasi
dalam Tarbiyah Ruhiyah untuk diajarkan oleh para pembimbing kepada para
penempuh (murid). Proses Tahdzib dalam suluk, tidak terbatas pada nafsu saja.
Tapi juga pada Akhlaq, Amal dan ke-Ma’rifatan. Itu berarti akan terjadi proses
Tahdzib (pembersihan) total dalam membangun kepribadian ummat. Karena
cahaya tidak akan memantul dari cermin yang buram. Mulai dari pemberishan
amal dari segala hal selain Allah, pembersihan akhlaq dari hal-hal tercela,
pembersihan ahwal dari jebakan-jebak (ghurur) spiritual, pembersihan adab dari
segala hal yang memihak pada nafsu, serta pembersihan fikiran, akal, qalbu, ruh,
dan sirrnya.
Karena itu dalam paradigm Al-Ghazali, sejumlah Thariqah yang mesti
ditempuh memerlukan mujahadah dan ilmu pengetahuan yang benar. Jika
tidak, manusia akan kembali pada dorongan hawa nafsunya yang kelak
melahirkan kemaksiatan, kealpaan dan pemanjaan syahwatnya. Itulah yang
menghalangi ketaatan, pengendalian dan kesadaran manusia akan hadirnya
Allah swt,
Dalam proses sulukiyah, Al-Ghazali membekali beberapa pandangan agar
dijadikan pijakan. Misalnya bagaimana mengenalkan Tauhid dan Ma’rifat. Dua
dasar penting dalam tasawuf, yang berhubungan dengan sejumlah peristiwa
ruhaniyah dalam diriu manusia. Bagaimana Tauhid dan Ma’rifat ini akan
melahirkan Pandangan Mata Hati, Mukasyafah, Musyahadah, Mu’ayanah, Al-
Hayat, Al-Yaqin, Ilham dan Firasat. Bagiamana membedakan antara Ilmu dan
Ma’rifat disana. Ini pun juga harus dikenalkan bagaimana makna Nafs, Ruh,
Qalbu dan Akal, dan apresiasinya masing-masing dalam amaliyah.
Begitu pula ketika aktivitas taubat sebagai awal yang harus ditempuh oleh
para salikin, Al-Ghazali menjelaskan seluruh nelemen taubat dalam metode yang
praktis, seperti keterkaitan kuat bagi kelangsungan taubat melalui Al-Firar, al-
Inabah dan Al-Ikhbaat.
Penjelasan-penjelasan dalam Kitab Raudhatut Thalibin, mengenai
rumpun Maqomat cukup sistematis;

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 9


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
M. Luqman Hakim

Tema Utama Rumpun yang dibuahkan Penjelasan


Tauhid dan Pandangan Mata Hati (Bashirah), Definisi, hubungan dan
Ma’rifat Mukasyafah, Musyahadah, praktek amaliyah.
Mu’ayanah, Al-Hayat, Al-Yaqin,
Ilham dan Firasat
Taubat Mengenal dosa, Firar, Inabat,
Ikhbat, Idz’an dan Inqiyad pada
Allah swt.
Sabar Riyadhah dan Tahdzib Bagaimana kiat sabar
melalui tahdzibun nafs
dan riyadhatun nafs
Khauf Huzn, Qabdh, Isyfaq (paduan Bagaimana berpadu
khauf dan raja’), khusyu’ dan mendukung khauf
wara’.
Raja’ Ragbah (motivasi), dan al-Basth Dimana posisi Khauf
dalam Raja’ dan
sebaliknya Raja’ dalam
Khauf
Rasa Fakir Tabattul, Fana’ dan Tajrid Definisi dan
(Faqr) kelangsungan
Zuhud Itsar wal Futuwwah, dan Al-
Murod.
Muhasabah I’tishab Billah dan Istiqomah Bagaimana kiatnya
Syukur Bahagia dan hikmah
Tawakal Tafwidh, Taslim, Percaya
padaNya, dan Ridho
Niat Al-Qasd, al-‘Azm (tekad) dan
Irodah
Shidq Infishal, Ittishal, Tahqiq dan
Tafrid
Dan sejumlah Maqomat serta Ahwaal yang dihantarkan oleh para Sufi
yang secara fundamental akan memudahkan para Salikin dalam mewujudkan
seluruh pandangan Al-Ghazali dalam praktek amaliyah sehari-hari.

10 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


IMAM AL-GHAZALI SANG PENDAMBA HAKIKAT

Hujjatullah Ibrahimiyan
Universitas Lintas Mazhab Tehran, Iran
dan Mantan Atase Kebudayaan Kedubes Iran di Jakarta

Abstrak
Imam Muhammad al-Ghazali adalah seorang faqih, arif, ulama dan pemikir
Islam asli Iran dan merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam
dunia Islam. Bisa dikatakan sangat sedikit orang yang punya pengaruh seperti
Al-Ghazali. Ia menjalani hidupnya tanpa rasa lelah dan penuh semangat dalam
mencari hakikat. Ia tidak terlena dengan predikat dan maqam relijius yang
disematkan kepadanya saat itu, dimana ia telah berhasil menyandang gelar
Hujjatul Islam. Gelar itu diberikan kepada seorang fakih terbesar di belahan Asia
Timur hingga Asia Tengah dan bahkan hingga jantung Andalusia. Ia juga
melepaskan diri dari kesibukkan di madrasah, Ia menanggalkan semua
kedudukan tersebut supaya tidak menjadi budak dunia yang hina ini dan
mampu menyelami lebih dalam segala hakikat. Mengkaji pribadi mulia Ulama
besar ini bisa menjadi sebuah panutan bagi setiap pencari Ilmu agama (Pelajar
dan Mahasiswa).
Kata kunci: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Hujatul Islam, Khorasan,
Madzhab Syafi’i.

PENDAHULUAN
Hujjatul Islam Muhammad al-Ghazali Thusi merupakan tokoh besar
yang hidup pada abad ke-5 hijriah, Ia habiskan seluruh umurnya untuk
pengetahuan dan petualangan spiritual. Pada umur 40 tahun Ia mencapai
puncak keilmuannya dalam berbagai bidang ilmu agama Islam dan namanya
dielu-elukan oleh Muslimin dunia. Imam Ghazali dengan karya-karyanya yang
mendalam di berbagai bidang keilmuan memberikan nafas baru bagi dunia
Islam. Ia juga banyak memberika pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran

11
Hujjatullah Ibrahimiyan

ulama berbagai madzhab setelahnya. Imam Ghazali merasa bahwa kesibukannya


di madrasah menghalanginya untuk mencapai tujuan Ilahiahnya, sehingga pada
waktu itu beliau memutuskan untuk menyendiri dan menanggalkan semua
reputasi dan kemasyhurannya.
Dalam beberapa aspek, kehidupan Imam Ghazali sangat penting bagi para
pelajar Islam untuk dijadikan panutan. Pertama, dengan karakternya yang
memiliki interes dan minat yang mendalam terhadap pencarian pengetahuan
dan hakikat, beliau mampu mengungguli ulama-ulama yang lain.
Kedua, karya-karyanya tak terbatas pada bidang-bidang keilmuan tertentu
dan mencakup berbagai khazanah ilmu, ia pun mampu menelurkan pemikiran
baru dari setiap disiplin ilmu yang ada. Pada mulanya ia merupakan seorang
faqih, kemudian bergelut dalam disiplin keilmuan rasional filsafat, setelah itu ia
terjun ke ranah tasawuf dan irfan.
Ketiga, keistimewaan yang ia miliki adalah bahwa pribadinya memiliki
pengaruh yang besar terhadap disiplin keilmuan dunia islam, khususnya
pemikiran-pemikiran ulama atau pemikir setelahnya. Pengaruhnya tak terbatas
bagi pengikut madzhab Islam tertentu, namun seluruh ulama madzhab Islam
mendapat manfaat dari hasil pemikiran dan pandangan-pandangannya.
Keempat, Al-Ghazali mengalami perubahan dan perkembangan spiritual
yang sangat pesat selama kehidupannya. Hal ini dengan mudah dipahami
melalui tulisan-tulisannya sehingga menjadi perhatian khusus bagi para peneliti.

KELAHIRAN DAN MASA KANAK-KANAK


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Thusi yang mashur dengan
sebuta Imam al-Ghazali dilahirkan pada 450 Hijriah (1058 M) di kota Thabran
Thus, Khorasan dekat kota Mashad sekarang. (Yaqut Humuw, Mu’jam a—
Buldan, Beirut, Daar ash_Shodir, 1397, Jil. 4, Hal. 49), ia dan saudaranya
Ahmad merupakan anak yatim semenjak kecil. Ayah Imam Ghazali merupakan
seorang yang terhormat dan seorang sufi. Di kota Thus dia berprofesi sebagai
pengrajin wol (ghazal) dan atau benang sutra. Kata “Ghazal” adalah sebutan
untuk seseorang yang profesinya menyediakan bulu dari kulit hewan mentah
dan lalu menjualnya kepada para tukang pembuat benang setelah bulu-bulu
tersebut dipintal. Ayahnya meninggal ketika Al-Ghazali belum berumur 7
tahun. Sebelum meninggal, ayahnya menitipkannya dan saudaranya, Ahmad
kepada temannya Ahmad bin Ahmad Razkani seraya mengatakan: “Saya sangat
sedih karena saya tidak bisa membaca dan menulis, saya berharap anak-anak
saya ini menjadi orang yang pintar.” (Sabuki, Abdul Wahab bin Ali, Tabaqat
asy-Syafiiyah al-Kubra, Tahqiq Mahmud Muhammad ath-Thanahi, 6/193)

12 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat

Setelah menjadi yatim dengan peninggalan berupa harta warisan yang


tidak terlalu banyak, kakak beradik ini dididik oleh teman kepercayaan ayahnya
tersebut dan menjadi bagian dari keluarganya. Ia menyarankan kepada kedua
anak ini supaya belajar disebuah sekolah agama. Akhirnya mereka dengan
terpaksa menerimanya. Al-Ghazali berkata: “Saya telah menimba ilmu bukan
karena Allah namun Ilmu selain karena Allah tidak akan diterima.” (Ibid,
6/194)

MASA PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN


Al-Ghazali menuntaskan pendidikan pertamanya selama 5 tahun di kota
Thus, kemudian ia ke pergi ke Jarjan (Gurgan). Di sana ia menimba ilmu dari
Abul Qasim Ismaili Jarjani. Pada saat itu ia berumur 18-19 tahun. Dalam
sebuah kesempatan ia pernah menukilkan kisahnya sendiri. Ia berkata:
“Di saat kami dalam perjalanan pulang dari Jarjan, kami dicegat
oleh sekelompok pemalak. Para pemalak tersebut merampas seluruh harta
yang kami miliki. Karena saya ingin mengambil buku-buku catatan saya,
saya mendatangi para pemalak tersebut lalu meminta kepada mereka
untuk mengenbalikan buku-buku catatanku. Saat melihatku memohon-
mohon kepada mereka, pemimpin mereka malah mengusirku dan bahkan
mengancam akan membunuhku. Saya pun dengan bersumpah
mengatakan pada mereka bahwa saya hanya akan mengambil buku
tersebut, toh itu tidak penting bagi mereka. Pencuri itu bertanya kepada
saya tentang buku catatan tersebut, saya mengatakan bahwa di dalamnya
terdapat kumpulan catatan yang saya tulis dan pelajari dengan susah
payah. Para pencuri itu tertawa seraya mengatakan kenapa kamu
mengatakan telah mempelajarinya tapi ketika diambil kamu tidak tahu
apa-apa? Lalu para pencuri itu mengembalikannya pada saya. Allah swt
melalui ucapan pencuri ini memberikan makna yang mendalam bagi saya
dan menyadarkan saya dalam menuntut ilmu. Ketika sampai di kota
Thus, saya menyendiri untuk berpikir dan merenung salama 3 tahun
sampai saya hafal semua catatan penting yang saya catat hingga jika terjadi
pencurian lagi atau hilang, saya tidak lupa.” (Ibn Aljauzi, Al-Muntadzam,
9/55; Sabuki, Tabaqat asy-Syafi’iyah, 6/195)
Saat berumur 23 Tahun, Al-Ghazali pergi menuju Naisabur. Sebuah kota
yang merupakan pusatnya para ulama Khorasan pada waktu itu. Di sana ia
bertemu dengan ulama terkemuka Imam Haramain Abul Ma’ali Jawini. Dalam
kurun waktu 2 tahun ia menjadi murid terbaik beliau sampai Abul Ma’ali
merasa bangga karena memiliki murid seperti Al-Ghazali.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 13


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hujjatullah Ibrahimiyan

Pada tahun 478 Hijriah Abul Ma’ali meninggal dan Imam al-Ghazali
sudah sampai tingkat keilmuan yang membuatnya tidak membutuhkan lagi
pengajar dan ia menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu seperti ilmu tata
bahasa, Fiqih, Ushul, Hadits, Kalam, Jadal, Ilmu perbandingan, dan lain
sebagainya.
Setelah ia meninggalkan Neishabur, dalam kurun waktu tujuh tahun ia
melalui kehidupannya di Iran dan selama itu ia sibuk menyempurnakan tulisan-
tulisan dan karangan-karangannya. (Hamai, Jalaluddin, Hamai Name, hal. 124-
125). Di masa-masa ini pula ia menyelesaikan kitab yang sangat luas
kandungannya yaitu Al-Khilaf, tepatnya di kota Hamadan.
Pada tahun tersebut, Al-Ghazali pergi ke sebuah pangkalan militer Dinasti
Saljuq yang dekat dengan Naisabur dan berkunjung ke teman sekotanya Khojah
Nizam Maliki Thusi (wafat: 485 H). Di hadapannya Ghazali berdebat dengan
para ulama dan fuqaha dan mengalahkan mereka sehingga mereka mengakui
keilmuannya. Khojah Nizamu Al-Muluk dengan sepenuh hati selalu
mendukung Al-Ghazali dan selalu menghormatinya sampai ia memberinya gelar
dengan “Zainuddin” dan “Syarafuddin”.

MENGAJAR DI MADRASAH NIZAMIAH


Pada tahun 484 H, Ghazali mendapatkan kehormatan dari Khojah
Nizamu al-Muluk untuk mengajar di madrasah Nizamiyah Bagdad yang
merupakan lembaga keilmuan tertinggi pada waktu itu. Ia lalu berangkat dari
Thus ke Bagdad melalui Isfahan. (Ibn al-Jauzi, Al-Muntadzim, 9/44) Al-Ghazali
dengan cepat mendapatkan kemasyhuran di sana baik di kalangan masyarakat
awam maupun ulama terkemuka, kecerdasannya begitu tampak pada saat ia
hadir dan beraktifitas di majlis-majlis ilmu. Pada tahun 487 H, ia mendapatkan
gelar “Hujjatul Islam” dan menjadi guru besar di Nizamiyah. Setiap kelasnya
selalu dihadiri ratusan pelajar dari penjuru dunia. Pada tahun-tahun tersebut ia
lebih banyak menelaah buku-buku filsafat dan meneliti pandangan-padangan
para filusuf dan hukama. Pada tahun 504 H, Al-Ghazali menulis sebuah surat
untuk menjawab pertanyaan Nizamuddin Ahmad, dengan menampakkan
penyesalan akan masa lalunya yang penuh dengan polemik. Beliau menulis: “Di
Bagdad tidak ada hal lain selain berdiskusi dan berdebat, ia pun tak dapat
menolak ajakan Daarul Khilafah.”
Pada tahun-tahun tersebut, Imam Ghazali disamping kesibukannya
mengajar, ia menjabat sebagai Mufti dunia Islam dan menjadi rujukan yang
Fatwa-fatwanya wajib ditaati. Selain kedudukan ilmu dan spiritual yang tinggi,
ia pun memiliki pengaruh yang kuat di pemerintahan bagi politisi dan

14 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat

masyarakat seperti ketika beliau menjadi penengah antara Tarkan Khatun (Istri
dari Raja Saljuqi) dan Kholifah Muqtada Biamrillah dalam menyelesaikan
sebuah persoalan diantara mereka. (Ibn Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, 10/214) Ia
tinggal dan mengajar di Nizamiah Bagdad selama kurang lebih 4 tahun, yaitu
dari bulan Dzulqa’dah 484 sampai bulan yang sama pada tahun 488.

MENINGGALKAN KARYA DAN PELAJARAN


Sejak berumur 39 tahun, Al-Ghazali mulai menapaki fase baru dalam
kehidupannya, perubahan-perubahan dimensi ruhani beliau mulai tampak dan
merubah kepribadiannya yang melahirkan pribadi Al-Ghazali yang baru. Setelah
mendapatkan puncak ketenarannya dan menempati posisi tertinggi dalam
kehidupan sosialnya baik diantara masyarakat awam maupun ulama terkemuka,
jiwa eksplorasi (pencarian)-nya terus bergejolak dan membuatnya tidak tenang.
Ia merasa ringan meninggalkan harta dan kedudukan, namun untuk
meninggalkan ikatan pengetahuanya yang selama ini ia pelajari dengan susah
payah sunggh menjadi hal yang teramat sulit.

Hal inilah yang membuat gejolak syahwat dalam diri Ghazali muncul, ini
merupakan perjalanan yang paling sulit dalam hidupnya. Ia mengaku bahwa
pada tahap pertama, dalam meninggalkan status dan hartanya, dengan mudah
dapat ia lalui, namun pada tahap selanjutanya, ikatan pengetahuan dan
kesibukan mengajar yang dzohirnya sangat mengikat dan memikat ini dangat
sulit untuk dilepaskan. (Hamai, Ghazali e Name, Hal, 122) setelah melalui
pusaran pergumulan keraguan tersebut akhirnya ia bisa menempuh jalan irfan
dan menjadi seorang yang terbebas dari ikatan-ikatan tersebut.

Ahmad, saudaranya, menggantikannya dalam posisi sebagai pengajar di


madrasah Nizamiah. Dengan alasan berziarah ke Ka’bah (Mekah), ia akhirnya
meninggalkan Bagdad. Bertahun-tahun ia pergi seorang diri ke beberapa negara
seperti Hijaz, Syam dan Palestina untuk menyendiri (berkhalwat). Dari Bagdad
dia pergi ke Damaskus dan selama kurang lebih 2 tahun ia tinggal di Syam dan
beri’tikaf di Masjid Jami’ Umawi. Pada waktu itu, Syam merupakan tempat
penting bagi orang-orang zuhud dan sufi. Abu Bakr bin Walid Quraisyi (wafat
520 H) pernah pada suatu saat ingin berdiskusi dengan Ghazali di kota Syam
tersebut namun Ghazali menolaknya dan berkata “Saya sudah meninggalkan
diskusi dan perdebatan untuk anak-anak di Iraq.” (Yafi’I, Miraat al-Jinan, Jilid
3)

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 15


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hujjatullah Ibrahimiyan

Setelah itu ia pergi ke Baitul Maqdis untuk menziarahi makam Nabi


Ibrahim as. Pada kesempatan ini dia menulis:
“Sudah 15 tahun yang lalu ketika saya berada di makam Khalil as
pada tahun 489 H, saya memiliki 3 nazar; pertama, saya tidak akan
menerima harta apapun dari seorang Sultan/raja; kedua, tidak akan
mengunjungi raja-raja; ketiga saya tidak akan berdiskusi atau berdebat.jika
saya tidak bisa menjaga nazar ini, maka hati ini tidak akan tenang.”
(Ghazali, Makatib Farsi, 45)
Akhirnya ia banyak menghabiskan waktunya di Baitul Maqdis, dengan
berkhalwat atau menyendiri. Pada tahun 498 H ia melakukan ibadah haji dan
setelah itu kembali ke kota asalnya, Thus. Perjalanan ini sangat berdampak bagi
perubahan spiritualitasnya. Dikatakan bahwa sebelum ia melakukan perjalanan
panjang ini ia dikenal dengan seorang yang sombong, suka berdebat dan
mendekati para penguasa. Tetapi setelah hijrah tersebut Ia telah berubah
menjadi seorang yang rendah hati, memiliki karakter yang bersih, zuhud dan
qonaah. Ia tidak lagi menerima dinar dari raja-raja, tidak berdebat dan
berkomunikasi dengan penguasa. Ia menutup mata dari itu semua. Pada saat itu
ia hanya meraih upah dari menulis untuk melanjutkan kehidupannya. (Hamai,
Ghazali e Name, hal. 172)
Perubahan total telah terjadi pada diri Al-Ghazali setelah perjalanan
tersebut. Abdul Ghafur al-Farisi penulis kitab As-Siyaaq min Tarikh an-
Naisaburi yang merupakan ulama yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
Al-Ghazali mengisahkan bahwa ia tidak memiliki ketertarikan terhadap
pandangan-pandangan Ghazali sebelum melakukan hijrah karena ia melihatnya
sebagai orang yang sombong dan angkuh. Selanjutnya ia mengatakan: “Setelah
safar (perjalanan ruhani) tersebut, saya beberapa kali mengunjunginya dan di
awal kunjungan saya, saya mengira bahwa apa yang ia tampakkan berupa
ketenangan, kerendah hatian dan kemuliaan akhlaknya adalah karena riya’.
Namun setelah beberapa kali mengunjunginya dan menelusurinya lebih dalam
akhirnya Nampak bagi saya bahwa beliau benar-benar telah berubah dan tidak
seperti apa yang selama ini saya pikirkan. Setiap kali ulama atau fuqaha
mengkritiknya, beliau menanggapinya dengan tenang dan tidak ada seorangpun
yang berselisih dengannya. (Farsi, Al-Muntakhab Min as-Siyaq, hal. 83-84)

KEMBALI KE THUS
Masa-masa perjalanan dan petulangan Al-Ghazali berakhir pada tahun
498 H, pada tahun ini setelah melaksanakan haji ia kembali ke Iran. Pada bulan
Dzilqa’dah tahun 499 H, atas keinginan raja Sanjir dan dengan paksaan

16 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat

wazirnya Fakhrul Muluk putra Khojah Nizamul Muluk, Al-Ghazali berangkat


dari Thus ke Naisabur dan mengajar di madrasah Nizamiah di kota tersebut.
(Hamai, Ghazali Nameh, hal. 184)
“Pada bulan-bulan di tahun 499 H, dimana setelah 12 tahun melakukan
‘uzlah, Al-Ghazali ditugaskan untuk kembali ke Naisabur untuk mengisi kajian-
kajian keilmuan dan menyampaikan hukum-hukum syariat, mengingat kegiatan
keilmuan pada waktu itu mulai melemah. Hal tersebut akan membantu
mengawali kebaikan bagi hati-hati yang mulia serta untuk menghidupkan
kembali keilmuan dan syariat. Ketika Ghazali menyetujuinya dan datang ke
Naisabur maka aktivitas belajar lebih hidup lagi dan menarik perhatian pelajar
dari seluruh penjuru dunia untuk datang kesana.” (Ghazali, Makatib e farsi, 11)
Kemudian Ghazali pulang ke Thus dan disana ia membangun sebuah
madrasah dalam bidang al-Quran dan Hadits dan dilengkapi dengan asrama
untuk para pelajar. Setelah masa-masa tersebut, Ghazali terkadang dilindungi
oleh penguasa zamannya, kadang juga ditekan dan dimusuhi mereka. Namun ia
tetap berpegang teguh pada nazarnya dan tidak pernah mengunjungi penguasa
serta tidak menerima hadiah-hadiah dari mereka. Sejak saat itu ia menghabiskan
masa-masa terakhirnya di kampung halamannya. Murtadha Zubaidi, penulis
terkemuka Syarah Ihya’ Ulumuddin yang paling komprehensif, mengenai akhir-
akhir kehidupan Imam Ghazali mengatakan:
“Dikatakan bahwa Ghazali menghabiskan waktu-waktunya dengan
membaca ayat suci Al-Quran, berkumpul dengan orang-orang sholeh dan
melaksanakan shalat (beribadah) hingga bulan Jumadil Akhir tahun 505
H. Ahmad Ghazali, saudaranya, Mengatakan: pada hari senin ketika
adzan Subuh telah berkumandang, saudara saya Ghazali mengambil
wudhu lalu melaksanakan shalat, lalu ia berkata: bawakanlah kain kafan
untukku, dibawakan untuknya kain kafan kemudian ia mengambilnya
dan mengenakannya, kemudian dia menengadah seraya berkata: sam’an
wa tho’atan, selamat datang atas kehadiran sang malaikat, di saat itu ia
langsung merebahkan kakinya kearah kiblat dan sebelum terbit matahari
ia pun berpulang alam kekal akhirat (wafat).”
Kuburan Imam Ghazali terletak di Thabran Thus baru yang diketahui
setelah beberapa abad lamanya dan saat ini menjadi tempat ziarah masyarakat
muslim dunia. (Sabuki, Thabaqat As-Syafi’iyah, 6/201).

KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali adalah seorang ilmuan dan penulis yang kaya akan karya dan
tulisan yang ditulis dengan bahasa Persia dan Arab. Disamping untuk beribadah,

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 17


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hujjatullah Ibrahimiyan

Ia juga menggunakan seluruh waktunya di seumur hidupnya, untuk membaca,


tafakkur, mengajar dan menulis. Hingga akhirnya ia berhasil melahirkan karya
tulis yang banyak di berbagai disiplin ilmu yang beragam. Maka dari itu tak
heran bila ia juga dijuluki dengan Sayyidul Mushannifin. (Yafi’i, Mir’aat al-
Jinan, Haidar Abad, 1338 H, 3/190) Meskipun demikian, karya-karya Al-
Ghazali kebanyakan tak sebesar dan seluas buku Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya e
Sa’adat, namun kebanyakan berbentuk risalah pendek yang terdiri dari beberapa
halaman yang membahas tema khusus dan masing-masing memiliki judul
tersendiri (bukan gabungan yang membentuk sebuah buku besar-pen). Diantara
ratusan buku dan risalah yang dinisbatkan kepadanya memiliki judul dan tema
pembahasan yang sangat diragukan bila itu memang karya Al-Ghazali bahkan
dianggap mustahil.
Sebenarnya hingga kini jumlah karya murni miliknya tak diketahui secara
pasti. Di salah satu karya berbahasa Persianya yang ia tulis pada umur 35 tahun
tertulis, “Hampir 70 buku telah ditulis…” (Jalaluddin, Ghazali Nameh, hal
127). Bisa jadi dalam disiplin ilmu yang lain ia memiliki karya tulisan lainnya.
Beberapa buku dan makalah secara serius telah membahas tentang karya-karya
Al-Ghazali serta keasliannya. (Mu’allifat al-Ghazali, Abdul Rahman Badawi/
Fani, Kamran, Fehrest e Asar e Chapi Ghazali, Majaleh ye Maarif, Izar-Esfand,
1363/ Hama’I, Jalauddin, Ghazali Nameh, hal 240-274)
Ghazali menulis karyanay di masa-masa yang berbeda sepanjang
umurnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, saat ia berada di Syam, Baitul
Maqdis dan Hijaz ia menyelesaikan karya-karya terpentingnya, salah satunya
adalah Ihya’ Ulumuddin. Diperkirakan karya-karya yang berbahasa bahasa
Persia ia tulis saat ia kembali ke kampung halamannya. (Pour Javadi, Nasrullah,
Ghazali, 4/722) Namun ada juga buku lain yang iatulis dengan bahasa Arab di
Naisabur, seperti Al-Musthafa. Karya-karya Al-Ghazali secara global dapat
dikategorikan menjadi empat jenis:
Fikih dan Ushul Fikih
Al-Ghazali memulai masa belajarnya dengan mempelajari ilmu Fikih.
Adapun buku komperhensif tentang Fikih pertama yang ia tulis adalah buku Al-
Basith. Kemudian dari buku tersebut ia luaskan dan jabarkan lagi dan akhirnya
ia beri nama buku tersebut dengan Al-Wasith. Beberapa saat setelah itu tepatnya
sekitar tahun 495 H, ia memperbaiki dan mengembangkan buku yang sama dan
ia namai karya tersebut dengan Al-Wajiz. Buku ini adalah salah satu buku
terpenting Al-Ghazali dimana banyak ditulis buku-buku lain yang
mengomentari dan mensyarah buku tersebut. (Badawi, Abdul Rahman,
Mu’allafat al-Ghazali, 1977, hal 25-29)

18 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat

Dalam tema Ushul Fikih ia menulis buku Al-Mankhul min Ta’liqat al-
Ushul yang tak lain adalah kumpulan catatannya saat belajar dari gurunya,
Imam al-Haramain al-Juwaini di Madrasah Nidzamiyah di kota Naisabur. (baca
Gerji, Abu al-Qasim, Ara e Ghazali dar Elm e Oshule Feqh: Negahi be Ketabe al-
Musthafa). Selain itu di bidang ilmu Khilaf, Al-Ghazali telah menulis empat
karya, antara lain Ma’khadzul Khilaf, Al-Babu Al-Nadzr, Tahsin al-Ma’khadz
dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat. (Ghazali, Muhammad, Mi’yar al-Ilm, hal, 60)
Logika dan Filsafat
Selama hidupnya, Al-Ghazali memberikan porsi yang besar banyak untuk
mempelajari filsafat. Selama ia menetap di Baghdad, Al-Ghazali bergelut dengan
karya-karya para filsuf Neoplatonism dan Ibnu Sina. Karya filosofisnya,
Maqashid al-Falsafah, merupakan terjemahan dan adopsi dari buku
Daneshnameh Alaei karya Ibnu Sina yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Persia. (Khansari, Mohammad, Maoqef e Ghazali dar Barabar e Falsafeh va
Manteq, hal 14). Ia juga menulis tentang kritikan terhadap filsafat dan para
filsuf dalam buku yang diberi judul Tahafut al-Falasifah. Ia berupaya sebisa
mungkin untuk membantah keyakinan-keyakinan para filsuf dengan
menggunakan kaidah-kaidah dasar pemikiran mereka sendiri yang kemudian
menghasilkan kontradiksi-kontradiksi yang menggugurkan tatanan pemikiran
para filsuf.
Dalam bidang ilmu Logika, Al-Ghazali menulis dua buku, yaitu Mi’yar al-
Ilm dan Muhik al-Nadzr dan satu buah risalah yaitu al-Qisthas al-Mustaqim
yang membahas tentang acuan-acuan logika dalam Al-Qur’an. Buku Mi’yar al-
Ilm dianggap sebagai buku terpenting di bidang logika pada waktu itu. Yang
menjadi ciri khas dan nilai lebih dari Al-Ghazali dalam karya-karya logikanya
adalah kemampuannya dalam menciptakan metode baru dalam penyampaian
serta pemberian contoh yang baru serta penggunaan bahasa yang lebih mudah
dipahami.
Teologi dan Aqidah
Karya utama Al-Ghazali dalam bidang ini adalah buku Al-Iqtishad fi al-
I’tiqad. Buku ini membahas tentang teologi Asy’ariah yang disinyalir ditulis
pada sebelum atau setelah masa belajarnya di Baghdad (Watt, Montgomery, hal
130). Selain itu ia juga menulis buku Faishal at-Tafraqah baina al-Islam wa Az-
Zanadiqah. Ia juga menuangkan kritikannya terhadap mazhab Syiah Ismailiah
dalam bukunya Al-Mustadzhari. Ia juga menulis sebuah risalah yang cukup luas
dan mendalam mengenai kritikan-kritikan terhadap agama Kristen.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 19


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hujjatullah Ibrahimiyan

Tasawuf dan Akhlaq


Karya terpenting dan bisa dibilang paling mewakili pemikiran Al-Ghazali
adalah buku Ihya’ Ulumuddin yang ia tulis selama perjalan bertahun-tahun dari
Baitul Maqdis hingga Damaskus. Pandangannya mengenai dua pilar utama
agama yaitu syariat dan tarekat secara gamblang dijelaskan dalam karyanya
tersebut. Buku tersebut dibagi menjadi empat bab utama, yaitu: Ibadat, ‘Adat,
Muhlikat dan Munjiyat. Setiap bab terdiri dari sepuluh sub bab. Dalam
karyanya ini ia banyak menukil dan menggunakan pandangan-pandangan
penulis lainnya seperti Harits al-Mohasibi, Abu Thalib al-Makki, Abu Nashr
Siraj Thusi dan Abu Sa’ad Khargushi Naisaburi.
Buku ini telah menarik perhatian para pemikir dan ulama sejak zaman itu
dan juga memberikan banyak pengaruh terhadap karya-karya yang ditulis di
zaman setelahnya. Salah satu buku terpenting yang ditulis sebagai syarah dan
komentar Ihya’ Ulumuddin adalah buku Ithaf al-Sadah al-Muttaqin karya
Muhammad Husaini (Murtadha Zubaidi). Mulla Muhsin Faidh Kashani
(wafat: 1091 H), salah seorang ulama besar Syiah pada abad 11 meringkas dan
merubah beberapa bagiannya dan hasilnya adalah buku Al-mahajjat al-Baidha’ fi
Tahdzib al-Ihya.
Karya lainnya dalam bidang irfan dan tasawuf Al-Ghazali adalah Mishkat
al-Anwar. Dalam buku tersebut dibahas tentang ayat Nur (Surat Nur ayat 35)
dan hubungannya dengan Zat Allah swt. Ada lagi buku Jawahir al-Qur’an wa
Ar-Risalah al-Diniyyah. Buku Al-Maqshad al-Usna fi Sharhi Asma al-Husna serta
buku Bidayah al-Hidayah juga di antara buku-buku Al-Ghazali yang
bertemakan tasawuf dan irfan. Selain itu ada juga buku Minhaj al-Abidin yang
juga dianggap sebagai karya Alghazali dalam bidang ini meskipun sebagian
meragukan apakah itu karyanya atau bukan. (Badawi, Abdul Rahman,
Muallafat al-Ghazali, hal 237). Al-Munqidz min al-Dhalal adalah karya lainnya
yang ia tulis di usianya yang ke-50 di kota Thus. Buku tersebut menjelaskan
tentang peralihan berbagai pandangan dan pemikirannya serta perjalanan ruhani
dan maknawinya secara pribadi. Ia menjelaskan tentang tahapan-tahapan
pencapaiannya dari keraguan menjadi yakin dan makrifat.
Karya-karyanya yang berbahasa Persia kebanyakan membahas tentang
akhlak dan sebagian lainnya berupa kumpulan nasehat-nasehat dan ceramahnya.
Di antara karya-karya tersebut merupakan kumpulan surat-surat berbahasa
Persia yang di bahas di dalamnya masalah-masalah akhlak dan etika, tasawuf dan
hukum-hukum syari’at. Puisi-puisinya sederhana dan lugas dan tak begitu
terikat dengan aturan-aturan tata bahasa yang rumit.

20 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat

Karya terbesar dan terpenting lainnya dalam bidang tasawuf dan irfan
yang ditulis dengan bahasa Persia adalah Kimiya e Saadat. Meskipun karyanya
ini kandungannya berasal dari buku Ihya Ulumuddin, namun banyak hal yang
dijelaskan secara lebih luas yang tak adapat ditemukan di dalam Ihya-nya.
Kimiya e Saadat menjadi contoh karya sastra Persia yang sederhana namun tetap
menarik dan mampu mempengaruhi pembaca dengan ungkapan-ungkapan yang
mudah dipahami dimana kelebihan ini jarang ditemukan di karya-karya
Maulawi Rumi dan Attar Naisaburi. (Zarrinkoub, Farar az Madreseh, hal 137)
Buku lainnya yang tak kalah penting adalah Nasihat al-Muluk yang ditulis
menggunakan bahasa Persia. Buku tersebut disebut-sebut tak lain adalah
nasehat-nasehat yang ditujukan kepada Sultan Sanjar Seljuq. Buku ini memiliki
kandungan-kandungan yang sangat tinggi dari aspek akhlak, irfan dan hikmah
praktis. Buku ini terbagi menjadi dua bagian yang satu sama lainnya sangat
berbeda. Inilah yang membuat sebagian ilmuan dan peneliti meragukan
keabsahan bagian kedua dari buku tersebut. (Pour Javadi, Nasrullah, Ghazali,
hal 415-417) Satu abad setelah itu buku tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Persia yang kemudian diberi judul At-Tabarruk al-Masbuk fi Nasihat al-
Muluk. (Haji Khalifah, Kashf al-Dzunun, 1/337). Kemudian diterjemahkan lagi
ke dalam bahasa Turki oleh Ala’I bin Muhib Shirazi. Karya berbasa Persia
lainnya yang mirip dengan Nasihat al-Muluk adalah risalah Pand Nameh yang
tampaknya karya tersebut juga ditujukan kepada Sultan sanjar Seljuq (Pour
Javadi, Nasrullah, Ghazali, hal 412-449).
Tulisan berupa nasehat lainnya yang sarat akan pesan-pesan irfani adalah
buku Ey Farzandam atau dalam versi Arabnya Ayyuha al-Walad. Buku tersebut
berisi nasehat-nasehat yang ditujukan kepada salah satu muridnya. Selain itu ada
juga buku yang berjudul Fadha’il al-Anam min Rasa’ila Hujaj al-Islam yang tak
lain adalah kumpulan dari 34 suratnya di Khurasan dengan bahasa Persia
kepada para sultan, wazir dan amir pemerintah serta para ulama dan fukaha.
Dalam surat-surat tersebut terkandung banyak permasalahan sejarah, teologi
dan irfani. Salah satu karya lain Al-Ghazali adalah Resaleh dar Bayan e Hemaqat
e Ahl e Ebahat. Dalam risaah ini Al-Ghazali mengungkapkan kritikannya
terhadap sebagian orang yang tidak memperhatikan adab-adab dan kebiasaan-
kebiasaan syariat. Risalah ini digadang-gadang sebagai karya yang paling
berpengaruh dalam mengkritik kelompok Ibahat yang muncul pada abad ke 5
Hijriah. Selain itu karya lainnya dalam bahsa Persia adalah Akherat yang ditulis
untuk masyarakat awam.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 21


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hujjatullah Ibrahimiyan

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad, Mi’yar al-Ilm, tahqiq: Sulaiman Dunya, Mesir, Darul
Maarif, 1961.
Badawi, Abdul Rahman, Muallafat al-Ghazali, Kuwait, Wikalat al-Matbu’at,
1977.
Farisi, Abdul Ghaffar bin Ismail, Al-Muntakhab min as-Siyaq li Tarikh al-
Nisabur, disusun oleh Ibrahim bin Muhammad al-Shuraifini, diteliti oleh
Muhammad Kadzim al-Mahmudi, Teheran, Ketabkhane ye Shora ye
Eslami, 1391 (Kalender Iran).
Haji Khalifah, Kashfu al-Dzunun, Beirut, Daru Ihya’ al-Turats al-Arabi.
Hama’i, Jalal al-Din, Ghazali Nameh: Sharh e Hal va Asar va Aqaed va Afkar e
Adabi va Mazhabi va Falsafi va Erfani ye Emam Abu Hamed Mohammad
ben Mohammad ben Ahmad e Ghazali e Thusi, Teheran, Ketabfurushi e
Foroughi.
Ibn al-Jauzi, Al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, Haidar Abad
Dokan, Dairat al-Maarif al-Utsmaniyah, 1359 H.
Iqbal, Abbas, Makatib e Farsi e Ghazali (Fadha’il al-Anam min Rasa’il Hujaj al-
Islam), Teheran, Ketabkhane Tahuri, 1363 (Kalender Iran).
Khansari, Mohammad, Maoqefe Ghazali dar barabare Falsafe va Manteq,
Majaleh Maarif, bulan Azar-Esfand 1363 (Kalender Iran).
Pour Javadi, Nasrullah, Do Mojaddad: Pajuhesh haei dabrare e Mohammad
Ghazali va Fakhr e Razi, Teheran, Markaz e Nashr e Daneshgahi, 1381
(Kalender Iran).
Pour Javadi, Nasrullah, Ghazali: Daneshnameh e Zaban va Adab e Farsi, jilid 4,
Teheran, Farhanggestan e Zaban va Adab e Farsi, 1384 (Kalender Iran).
Sabuoki, Abdul Wahhab bin Ali, Tabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, Mahmud
Muhammad al-Tanahi.
Watt, Montgomery, Zendegi va Andishe ye Abo Hamid e Ghazali, terjemahan
Prof. Dalir Pour, Majale ye Kalam e Eslami, 1385 (Kalender Iran), nomer
57.
Yafeei, Mir’at al-Jinan wa Ibrat al-Yaqdhan, Dairatul Maarif al-Nidzamiyah
HAidar Abad, 1338 H.
Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldan, Beirut, Dar Shadir, 1397 H.
Zarrin Koub, Abdol Hossein, Farar az Madreseh: Darbare ye Zendegi va andishe
ye Abo Hamed e Ghazali, Teheran, Amir Kabir, 1378 (Kalender Iran).

22 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


‫من روائع إلامام الغسالي للتزكيت وإلاصالح في رياض كتابه " إلاحياء "‬
‫محمد ياصر بن محمد خير القظماني‬
‫مذًش صوٍت الٕضالُت مسجذ بني ؤمُت في دمع‪ٞ‬‬

‫ملخص‬
‫و‪ٜ‬ذ جبحن في خىاب الذِىة ؤن ؤَم ؤظباب الخذاعي لهزا اإلااجمش ما جىاحهه ؤمخىا‬
‫ؤلاظالمُت الُىم مً اهحىاه ألاخال‪ ٛ‬والفشاُ بحن اإلاعلمحن وٌهىس الخىشٗ‬
‫ٌ ٌٌ‬
‫وؤلاسَاب‪ٝ٘ .‬ذ خشحذ خاسحت ؼارة في آلاوهت ألاخحرة في ‪٠‬ثحر مً بالدها اه‪ٙ‬لخذ مً‬
‫لىابي الؽشَّت وبخاـت في حاهب ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش ٌو٘‪ٝ‬ه َزٍ‬
‫الؽشَّت وآدابها‪ .‬ومً َىا ٌ‬
‫ؤًذ ؤن ؤوحض الخذًث في ال‪٢‬الم ًِ ألامش باإلاّشوٗ والىهي‬
‫س‬
‫ًِ اإلاى‪٢‬ش مً ‪٠‬خاب ألامشباإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش مً ‪٠‬خاب "بحُاء ِلىم الذًً"‬
‫جفشٗ وج‪ٝ‬شٍب ل‪٢‬الم ؤلامام لُخّشٗ الُٕىس ٘‪ٝ‬ه الاحدعاب وآدابه لُبني ِلُه‪،‬‬‫مْ ٌ‬
‫وٍيسج ِل مىىاله وج‪ ٚ٢ٙ٢‬جل‪ ٤‬الخجاوصاث وج‪ٝ‬ل جل‪ ٤‬الجشاءاث ‪.‬‬
‫ٌ‬
‫مقدمت‬
‫الخمذ هلل الهادي بلى ظىاء العبُل ‪ ،‬وـلى هللا وظلم ِلى ؤ‪ٜ‬ىم دلُل‪ ،‬وِلى‬
‫آله وصخبه ؼ‪ٙ‬اء ‪١‬ل ِلُل‪ ،‬وسواء ‪١‬ل ٔلُل‪ٌ.‬‬
‫ٌ ٌٌ‬
‫٘‪ٝ‬ذ خشحذ خاسحت ؼارة في آلاوهت ألاخحرة في ‪٠‬ثحر مً بالدها اه‪ٙ‬لخذ مً‬
‫لىابي الؽشَّت وبخاـت في حاهب ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش و٘‪ٝ‬ه َزٍ‬
‫ٌ ٌ‬
‫الؽشَّت وآدابها ‪ ،‬ؤذا ‪٠‬ثحرون ِلى ؼى ٌي ال ًىا‪ ،ٛ‬وٍإبىن بال الخشوج ِما ‪ٜ‬شسٍ‬
‫ٌ‬
‫واخخل ألامً‪ ،‬واه‪ٙ‬شه الّ‪ٝ‬ذ‪،‬‬ ‫ال‪ٝٙ‬هاء الخ‪٢‬ماء الّذو‪٘ ٥‬عاءث لزل‪ ٤‬ألاحىا‪، ٥‬‬

‫‪23‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫جهجمهم‪ ،‬وبصسائهم ِلى ‪٠‬باس الّلماء‬ ‫واظخىحؾ الىاط مً وخُم حشاءاتهم‪ ،‬و‪ٜ‬بح ٌ‬
‫ووحىَهم!ٌ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫زم جمادي ألامش بلى ؤن ؤٔشي بّمهم بخُاالث صٌج ٘حها وؤن الخ‪ ٞ‬فى اإلاعإلت‬
‫ٌ‬ ‫ال‪ٙ‬الهُت ٌ‬
‫حّحن في ‪٠‬زا ٕ٘ذا الخشوج ًِ سؤيهم ومزَبهم خشوج مً اإلالت‪ ،‬وَى ال‪ٙ٢‬ش‬
‫‪ٙ٠‬شوٍ ‪١‬ا٘ش ال ؼ‪ ٤‬في ‪ٙ٠‬شٍ!ٌ‬‫الفشاح‪ ،‬بل اإلاتردد في ‪ٙ٠‬ش مً ٌ‬‫ٌ‬
‫ًشجذ ًِ دًىه؟! ؤلِغ ٌ‬
‫حذٍ‬ ‫وٍ‪ٝ‬ى‪َ ٥‬االء ‪ :‬حّالىا ؤخبروها ‪ -‬باهلل ِلُ‪٢‬م – ماحضاء مً ٌ‬
‫ٌ‬
‫ٌ‬
‫ؤن ًٌمشب ِى‪ٝ‬ه؟! ٘ذِىها ه‪ُٝ‬م الخذ! ال ًيبغي حّىُل الؽشَّت ‪ ،‬وَزا ح‪٢‬م هللا‬
‫الزي ال ًشجط ي ظىاٍ!!ٌ‬
‫ٌ ٌ‬
‫وو‪ ْٜ‬اإلا‪٢‬شوٍ مً ب‪ٜ‬امت الخذود َىا وَىا‪ٟ‬؛ ٘مشبذ ؤِىا‪ ،ٛ‬و‪ٜ‬ىّذ‬
‫ٌ ٌ‬ ‫وح ٌذِذ ؤهىٗ‪ٌ ،‬‬ ‫ٌو‪ٌ ٠‬عشث ؤًذي وؤسحل‪ٌ ،‬‬
‫وـلمذ آران‪ٌ ،‬وٌب‪ٝ‬شث بىىن ‪ ،‬بل و‪ٜ‬ىّذ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ ٌ‬
‫ٌ‬
‫ج‪ٝ‬ؽّش له ألابذان و حؽِب له‬ ‫ؤهاط بسبا بسبا‪ ،‬واحتٌزث سئوط ؼابذ في ؤلاظالم بما‬
‫هىاص ي الىلذان‪ٌ ،‬‬
‫وٍجهذ له البيُان!ٌ‬
‫ؤًذ ؤن ؤوحض الخذًث في ال‪٢‬الم ًِ ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ‬ ‫ومً َىا ٌ‬
‫س‬
‫اإلاى‪٢‬ش مً ‪٠‬خاب ألامشباإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش مً ‪٠‬خاب "بحُاء ِلىم الذًً" مْ‬
‫جفشٗ وج‪ٝ‬شٍب ل‪٢‬الم ؤلامام لُخّشٗ الُٕىس ٘‪ٝ‬ه الاحدعاب وآدابه لُبني ِلُه‪،‬‬ ‫ٌ‬
‫وٍيسج ِل مىىاله وج‪ ٚ٢ٙ٢‬جل‪ ٤‬الخجاوصاث وج‪ٝ‬ل جل‪ ٤‬الجشاءاث ‪ٌ .‬‬

‫وحىب ألامر باملعروف والنهي عن املنكر وفظله وذم إطاعته‬


‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬هللا حّالى‪ ﴿ :‬ولخ‪ ً٢‬مى‪٢‬م ؤمت ًذِىن بلى الخحر وٍإمشون باإلاّشوٗ وٍجهىن‬
‫ًِ اإلاى‪٢‬ش‪ ،‬وؤولئ‪َ ٤‬م اإلا‪ٙ‬لخىن ﴾ (آ‪ِ ٥‬مشان ‪ٌ)404 :‬‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬حجت ؤلاظالم الٕضالي ‪ -‬سحماث هللا ِلُه ‪ٙ٘ : -‬ي آلاًت بُان ؤلاًجاب ‪٘ ،‬ةن ‪ٜ‬ىله‬
‫حّالى (ولخ‪ )ً٢‬ؤمش‪ ،‬وٌاَش ألامش ؤلاًجاب‪ .‬و٘حها بُان ؤن ال‪ٙ‬الح مىىه به‪ ،‬بر حفش‬
‫ٌ‬
‫واخخق‬ ‫ِحن‪....‬‬ ‫و‪ٜ‬ا‪( :٥‬وؤولئ‪َ ٤‬م اإلا‪ٙ‬لخىن)‪ ،‬و٘حها بُان ؤهه ٘شك‬
‫‪ٙ٠‬اًت ال ٘شك ٌ‬
‫ٌ‬
‫ال‪ٙ‬الح بال‪ٝ‬اثمحن به اإلاباؼشًٍ له‪ٌ.‬‬

‫‪24‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫مً سواجْ ؤلامام الٕضالي للتز‪ُ٠‬ت وؤلاـالح في سٍاك ‪٠‬خابه " ؤلاحُاء "‬

‫و‪ٜ‬ا‪ ٥‬حّالى‪٠﴿ :‬ىخم خحر ؤمت ؤخشحذ للىاط جإمشون باإلاّشوٗ وججهىن ًِ‬
‫اإلاى‪٢‬ش﴾ (آ‪ِ ٥‬مشان ‪ٌ)440 :‬‬
‫ٌ‬
‫وَزا ًذ‪ِ ٥‬لى ٘مُلت ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش؛ بر بحن ؤنهم ‪١‬اهىا به خحر ؤمت‬
‫ؤخشحذ للىاط‪ٌ.‬‬
‫و‪ٜ‬ا‪ ٥‬ابً ِباط سض ي هللا ِىه‪ُٜ :‬ل ًا سظى‪ ٥‬هللا؛ ؤتهل‪ ٤‬ال‪ٝ‬شٍت و٘حها‬
‫الفالخىن؟ ‪ٜ‬ا‪(( :٥‬وّم))‪ُٜ .‬ل‪ :‬بم ًا سظى‪ ٥‬هللا؟ ‪ٜ‬ا‪(( :٥‬بتهاونهم وظ‪٣‬ىتهم ًِ‬
‫مّاص ي هللا ِض وحل))‪ٌ.4‬‬
‫وظئل حزً‪ٙ‬ت سض ي هللا ِىه ًِ مُذ ألاحُاء‪ٝ٘ ،‬ا‪ :٥‬الزي الًى‪٢‬ش اإلاى‪٢‬ش بُذٍ‪ ،‬و ٌال‬
‫بلعاهه‪ ،‬وال ب‪ٝ‬لبه‪ٌ2‬‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬حجت ؤلاظالم الٕضالي ‪ -‬سحمه هللا ‪٘ : -‬ةن ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ‬
‫اإلاى‪٢‬ش َى ال‪ٝ‬ىب ألاٍِم في الذًً‪ ،‬وَى اإلاهم الزي ابخّث هللا له الىبُحن‬
‫ٌ‬
‫ؤحمّحن‪،‬ولى وىي بعاوه‪ ،‬وؤَمل ِلمه وِمله لخّىلذ الىبىة‪ ،‬والمحلذ الذًاهت‪،‬‬
‫وِمذ ال‪ٙ‬خىت‪ ،‬و٘ؽذ الماللت‪ ،‬وؼاِذ الجهالت‪ ،‬واظدؽشي ال‪ٙ‬عاد‪ ،‬واحعْ الخش‪،ٛ‬‬ ‫ٌ‬
‫وخشبذ البالد‪ ،‬وَل‪ ٤‬الّباد‪ ،‬ولم ٌؽّشوا بالهال‪ ٟ‬بلى ًىم الخىاد‪ ،‬و‪ٜ‬ذ ‪١‬ان الزي‬
‫خ‪ٙ‬ىا ؤن ً‪٣‬ىن ‪٘ ،‬ةها هلل وبها بلُه ساحّىن‪ٌ.‬‬

‫أركان ألامر باملعروف وشروطه‬


‫ألاس‪١‬ان في الخعبت (بمّنى ٌادخاس ألاحش ِىذ هللا حّالى) التي هي ِباسة ؼاملت‬
‫ٌ‬
‫اإلاحدعب ُ٘ه‪،‬‬ ‫ٌ‬
‫اإلاحدعب ِلُه‪،‬‬ ‫ٌ‬
‫اإلاحدعب‪،‬‬ ‫لؤلمش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش ؤسبّت ‪:‬‬
‫وه‪ٙ‬غ الاحدعاب‪ٌ.‬‬
‫الركن ألاول ‪ :‬املحتضب‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫له ؼشوه ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن م‪٣‬ل‪ٙ‬ا‪ ،‬معلما‪ٜ ،‬ادسا‪ٌ.‬‬
‫واإلا‪٣‬ل‪ً ٚ‬ذخل ُ٘ه ال‪ٙ‬اظ‪ ٞ‬والش‪ ُٜٞ‬واإلاشؤة‪ٌ.‬‬

‫‪1‬‬
‫‪ .‬الىبراوي في ال‪٢‬بحر (‪)270/44‬‬
‫‪2‬‬
‫‪ .‬البحه‪ٝ‬ي في الؽّب (‪)7484‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪25‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫مذجىج ؛ ٘ى‪ٝ‬ى‪ :٥‬وّم‪ٜ ،‬ذ ٌع‪ٝ‬ي جإزحر ‪٠‬المه ِ٘ع‪ٝ‬ي‬ ‫ٌ‬ ‫ٌومً ٌمٌى ٌْ ٌح ٌعبت ال‪ٙ‬اظ‪ٞ‬‬
‫وحىب ال‪٢‬الم؛ ول‪ ً٢‬الخعبت ال‪ٝ‬هشٍت بن ‪ٜ‬ذس ِلحها با‪ُٜ‬ت‪ ،‬و٘حها جخ‪ ُٚٙ‬مً الؽشوس‪ٌ.‬‬
‫والحضبت لها خمط مراجب ‪ٌ:‬‬
‫أوالها ‪ :‬الخّشٍ‪ٌٚ‬‬
‫والثانيت ‪ :‬الىَِ بال‪٢‬الم اللىُ‪ٌٚ‬‬
‫والثالثت ‪ :‬بالخّىُ‪ٚ‬؛ ‪ٝ٠‬ىله ‪ :‬ؤال جخاٗ مً هللا؟!ٌ‬
‫والرابعت ‪ :‬اإلاىْ بال‪ٝ‬هش بىشٍ‪ ٞ‬اإلاباؼشةٌ‬
‫والخامضت ‪ :‬الخخىٍ‪ ٚ‬والتهذًذ بالمشب‪ ،‬ؤو مباؼشجه ‪ ،‬وَزٍ جحخاج مً آلاحاد الى‬
‫ًجش بلى حمْ ؤِىان مً الجاهبحن ٌ‬
‫ُ٘جش الى ٘خىت ِامت!ٌ‬ ‫هٍش؛ بر ‪ٜ‬ذ ٌ‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬حجت ؤلاظالم الٕضالي – بّذ ؤن ؤوسد آلاًاث وألاخباس في وحىب ألامش‬
‫باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش‪ : -‬بن آلاًاث وألاخباس التي ؤوسدهاَا جذ‪ِ ٥‬لى ؤن ‪١‬ل مً‬
‫ٌ‬
‫سؤي مى‪٢‬شا ٘ع‪٢‬ذ ِلُه ِص ى‪ ،‬بر ًجب نهُه ؤًىما سآٍ و‪ُٙ٠‬ما سآٍ ِلى الّمىم‪ٌ.‬‬
‫و‪ٜ‬ا‪ ٥‬بثبىث والًت الخعبت للىلذ ِلى الىالذ‪ ،‬والّبذ ِلى العُذ‪ ،‬والضوحت‬
‫ٌ‬
‫ِلى الضوج‪ ،‬والخلمُز ِلى ألاظخار‪ ،‬والشُِت ِلى الىلي ل‪ ً٢‬بُجهما ٘ش‪ ٛ‬في الخ‪ٙ‬فُل‪ٌ.‬‬
‫‪٘ -‬للىلذ الخعبت بالشجبخحن ألاولُحن والباقي ُ٘ه هٍش‪.‬‬
‫ؤؼذ مً الىالذ ٘لِغ لهم مّه بال الخّشٍ‪ٚ‬‬ ‫‪ -‬وؤما الشُِت مْ العلىان ٘األمش ُ٘ه ٌ‬
‫والىصر ‪٘ ،‬إما الشجبت الثالثت ٘‪ٙ‬حها هٍش مً حُث بن الهجىم ِلى ؤخز ألامىا‪٥‬‬
‫ٌ‬
‫مً خضاهخه وسٌٌدَا بلى اإلاال‪٣ً ...ٟ‬اد ً‪ٙ‬ط ي بلى خش‪َُ ٛ‬بخه وبظ‪ٝ‬اه حؽمخه‪،‬‬
‫ورل‪ ٤‬محٍىس وسد الىهي ِىه‪ٌ.3‬‬
‫‪ -‬و‪ٜ‬لىا‪ٜ :‬اد ٌسا؛ وال ًخ‪ٙ‬ى ؤن الّاحض لِغ ِلُه حعبت بال ب‪ٝ‬لبه؛ بر ‪١‬ل مً ٌ‬
‫ؤحب‬
‫هللا حّالى ُ٘‪٢‬شٍ مّاـُه وٍى‪٢‬شَا [ِىذ ابً اإلاباس‪ ٟ‬في الضَذ ‪ٜ :‬ا‪ ٥‬ابً معّىد‬

‫‪3‬‬
‫سوي الخا‪٠‬م في اإلاعخذس‪ ،)290/3( ٟ‬والبحه‪ٝ‬ي في العجن ال‪٢‬بري (‪ )464/8‬مً حذًث ُِاك بً ٔىم سض ي هللا ِىه مش٘ىِا‪" :‬مً ‪١‬اهذ‬
‫‪ٜ‬بلها‪ ،‬وبال ‪١‬ان ‪ٜ‬ذ ٌؤدي الزي ِلُه والزي له"‪.‬‬
‫‪ٜ‬بلها ٌ‬
‫ٌ‬
‫ِىذٍ هفُحت لزي ظلىان ٘ال ً‪٣‬لمه بها ِالهُت ولُإخز بُذٍ ٘لُخل به‪٘ .‬ةن ٌ‬
‫ٌ‬
‫وللترمزي (‪ )2224‬مً حذًث ؤبي ب‪٢‬شة الث‪ٙٝ‬ي سض ي هللا ِىه مش٘ىِا ‪" :‬مً ؤَان ظلىان هللا في ألاسك ؤَاهه هللا" ‪ٜ‬اله ؤبى ب‪٢‬شة لشحل‬
‫ظمّه ً‪ٝ‬ى‪ : ٥‬ؤهٍشوا بلى ؤمحرها ًلبغ زُاب ال‪ٙ‬عا‪.ٛ‬‬

‫‪26‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫مً سواجْ ؤلامام الٕضالي للتز‪ُ٠‬ت وؤلاـالح في سٍاك ‪٠‬خابه " ؤلاحُاء "‬

‫سض ي هللا ِىه ‪ :‬حاَذوا اإلاىا٘‪ٝ‬حن بإًذً‪٢‬م ٘ةن لم حعخىُّىا ٘بإلعيخ‪٢‬م ‪٘ ،‬ةن‬
‫ٌ‬
‫٘ا‪ٙ٠‬هشوا في وحىَهم‪.4‬‬ ‫ٌ‬
‫ج‪ٙ٢‬هشوا في وحىَهم‬ ‫لم حعخىُّىا بال ؤن‬
‫قال إلامام الغسالي ‪ :‬واِلم ؤهه ال ً‪ ٚٝ‬ظ‪ٝ‬ىه الىحىب ِلى العجض ٌ‬
‫الخس ٌي‬
‫بل ًلخح‪ ٞ‬به ما ًخاٗ ِلُه م‪٢‬شوَا ًىاله‪٘ ،‬زل‪ ٤‬في مّنى العجض‪ ،‬و‪٠‬زل‪ ٤‬برا لم‬
‫ٌ‬
‫ًخ‪ ٚ‬م‪٢‬شوَا ول‪ِ ً٢‬لم ؤن به‪٣‬اسٍ ال ًى‪ٌ.ْٙ‬‬
‫ٌ‬
‫و‪ٜ‬ا‪ - ٥‬في حالت ؤهه ال ً‪ُٙ‬ذ به‪٣‬اسٍ ل‪٢‬ىه ال ًخاٗ م‪٢‬شوَا ‪ -‬ال ًجب ِلُه الخعبت‬
‫لّذم ٘اثذتها‪ ،‬ول‪ ً٢‬حعخحب إلٌهاس ؼّاثش ؤلاظالم‪ ،‬وجز‪٠‬حر الىاط بإمش الذًً‪ٌ.‬‬
‫وفي حالت ؤن ٌّلم ؤهه ًفاب بم‪٢‬شوٍ ول‪ً ً٢‬بىل اإلاى‪٢‬ش ب‪ّٙ‬له‪٘ ،‬هزا لِغ‬
‫بىاحب ولِغ بحشام‪ ،‬بل َى معخحب‪ .‬وٍذ‪ِ ٥‬لُه الخبر الزي ؤوسدهاٍ في ٘مل ‪١‬لمت‬
‫ح‪ِ ٞ‬ىذ بمام حاثش‪ ،‬وال ؼ‪ ٤‬في ؤن رل‪ ٤‬مٍىت الخىٗ‪ٌ.5‬‬
‫وفي [‪ٜ‬ىث ال‪ٝ‬لىب] ٌسوي ًِ ؤبي ظلُمان الذاساوي ‪ -‬سحمه هللا حّالى ‪ -‬ؤهه‬
‫ٌ‬
‫‪ٜ‬ا‪ : ٥‬ظمّذ مً بّن الخل‪ٙ‬اء ‪٠‬الما ‪٘ ،‬إسدث ؤن ؤه‪٢‬ش ِلُه وِلمذ ؤوي ؤ‪ٜ‬خل ولم‬
‫ٌ‬ ‫ًمىّني ال‪ٝ‬خل ‪ ،‬ول‪١ ً٢‬ان في مئل مً الىاط ٘خؽِذ ؤن ٌّترًني ٌ‬
‫التزًً للخل‪٘ ٞ‬إ‪ٜ‬خل‬ ‫ٌ‬
‫مً ٔحر بخالؿ في ال‪ّٙ‬ل‪ٌ.6‬‬
‫و‪ٜ‬ا‪ ٥‬ؤلامام الٕضالي‪ :‬الًٍ الٕالب في َزٍ ألابىاب في مّنى الّلم‪ ...‬ومجشد الخجىٍض ال‬
‫ٌع‪ٝ‬ي الىحىب؛ ٘ةن رل‪ ٤‬مم‪ ً٢‬في ‪١‬ل حعبت ‪ ،‬وبن ؼ‪ُ٘ ٤‬ه مً ٔحر سجخان ٘هزا‬
‫محل الىٍش‪ .‬وألاصر‪ :‬الىحىب بح‪٢‬م الّمىماث‪ٌ.‬‬
‫‪ -‬املعصيت لها ثالثت أحىال‪:‬‬
‫إحداها ‪ :‬ؤن ج‪٣‬ىن مخفشمت ‪٘ ،‬الّ‪ٝ‬ىبت ٌ‬
‫بالخذ ؤو الخّضٍش بلى الىالة ال بلى آلاحاد‪ٌ.‬‬
‫الثانيت ‪ :‬ؤن ج‪٣‬ىن ساَىت وـاحبها مباؼش لها‪٘ .‬ةبىالها واحب ب‪٣‬ل ما ًم‪ ً٢‬ما لم ًاد‬
‫بلى ؤ٘حؾ مجها ؤو مثلها‪ ،‬وَزا ًثبذ لآلحاد والشُِت‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫الثالثت ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن مخى‪ّٜ‬ا ٘ال ًثبذ لآلحاد بال بىشٍ‪ ٞ‬الىَِ والىصر‪٘ .‬إما بالخّىُ‪ٚ‬‬
‫والمشب ٘ال ًجىص لآلحاد وال للعلىان بال برا ‪١‬اهذ جل‪ ٤‬اإلاّفُت ِلمذ مىه بالّادة‬
‫‪4‬‬
‫الضَذ البً اإلاباس‪)4377( ٟ‬‬
‫‪5‬‬
‫والخذًث ِىذ الخا‪٠‬م في اإلاعخذس‪ ًِ )495/3( ٟ‬حابش سض ي هللا ِىه‪ ،‬ول‪ٍٙ‬ه ‪" :‬ظُذ الؽهذاء حمضة بً ِبذ اإلاىلب وسحل ‪ٜ‬ام بلى‬
‫بمام حاثش ٘إمشٍ ونهاٍ ٘‪ٝ‬خله‪.‬‬
‫‪6‬‬
‫‪ٜ‬ىث ال‪ٝ‬لىب (‪)437/2‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪27‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫اإلاعخمشة و‪ٜ‬ذ ؤ‪ٜ‬ذم ِلى العبب اإلا‪ٙ‬ط ي بلُه‪ ،‬ولم ًب‪ ٞ‬لخفى‪ ٥‬اإلاّفُت بال ما لِغ‬
‫له ُ٘ه بال الاهخٍاس؛ ورل‪١ ٤‬ى‪ٜ‬ىٗ ألاحذار ِلى ؤبىاب حماماث اليعاء للىٍش بلحهً‬
‫٘ةنهم وبن لم ًمُ‪ٝ‬ىا الىشٍ‪ ٞ‬لعّخه ٘خجىص الخعبت ِلحهم بة‪ٜ‬امتهم مً اإلاىلْ‬
‫ومىّهم مً الى‪ٜ‬ىٗ بالخّىُ‪ ٚ‬والمشب‪ٌ.‬‬

‫الركن الثاني ‪ :‬ما فيه الحضبت‬


‫وَى ‪١‬ل مى‪٢‬ش‪ ،‬مىحىد في الخا‪ٌ ،٥‬اَش للمحدعب بٕحر ججعغ‪ ،‬مّلىم ‪١‬ىهه‬
‫ٌ‬
‫مى‪٢‬شا بٕحر احتهاد‪ٌ.‬‬
‫٘هزٍ ؤسبّت ؼشوه ‪ٌ:‬‬
‫ٌ‬
‫ألاو‪١ :٥‬ىهه مى‪٢‬شا ؛ ول‪ َٙ‬مى‪٢‬ش ؤِم مً اإلاّفُت؛ ألها همىْ الفبي واإلاجىىن مً‬
‫ٌ‬
‫ؼشب الخمش‪ .‬وه ٌذخل الخعبت في الفٕاثش ‪١‬الخلىة باألحىبُت ؛ وبجباُ الىٍش لليعىة‬
‫ألاحىبُاث‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫الثاوي ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن مىحىدا في الخا‪ٌ.٥‬‬
‫ٌ‬
‫الثالث ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن ٌاَشا للمحدعب بٕحر ججعغ‪ .‬و‪ٜ‬ذ اِترك سحل ِلى ِمش سض ي‬
‫هللا ِىه ححن حعل‪ِ ٞ‬لى داسٍ‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫الشابْ ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن ‪١‬ىهه مى‪٢‬شا مّلىما بٕحر احتهاد‪ٌ.‬‬
‫٘‪٣‬ل ما َى في محل الاحتهاد ٘ال حعبت ُ٘ه ؛ ٘لِغ للخى‪ٙ‬ي ؤن ًى‪٢‬ش ِلى الؽا٘عي‬
‫ؤ‪١‬له مترو‪ ٟ‬الدعمُت‪ ،‬وال للؽا٘عي ؤن ًى‪٢‬ش ِلى الخى‪ٙ‬ي حلىظه في داس ؤخزَا‬
‫بؽ‪ّٙ‬ت الجىاس‪ٌ.‬‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬ؤلامام‪٘ :‬ةن ‪ٜ‬لذ‪ :‬برا ‪١‬ان ال ٌّترك ِلى الخى‪ٙ‬ي في الى‪٣‬اح بال ولي ألهه‬
‫ًشي ؤهه ح‪ُ٘ ٞ‬يبغي ؤال ٌّترك ِلى اإلاّتزلي في ‪ٜ‬ىله ‪ :‬بن هللا ٌ‬
‫الًشي‪ ...‬وال ِلى‬
‫ٌٌ‬
‫ٌ‬
‫معخ‪ٝ‬ش ِلى الّشػ"‪....‬ألن‬ ‫الخؽى ٌٌي في ‪ٜ‬ىله ‪ :‬بن هللا حّالى حعم وله ـىسة وبهه‬
‫ٌ‬
‫َاالء ؤًما ٌؤدي احتهادَم بلى ما ‪ٜ‬الىٍ‪ٌ.‬‬
‫٘اِلم ؤن اإلاعاثل جى‪ٝ‬عم ‪ :‬بلى ما ًٌخفىس ؤن ً‪ٝ‬ا‪٘ ٥‬حها ‪١( :‬ل مجتهذ مفِب)‬
‫الخل والخشمت‪ .‬ورل‪َ ٤‬ى الزي ال ٌٌّترك ِلى اإلاجتهذًً ُ٘ه؛‬ ‫وهي ؤح‪٣‬ام ألاّ٘ا‪ ٥‬في ٌ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫بر ال ٌٌّلم خىاَم ‪ٜ‬ىّا ‪ ،‬بل ٌىا‪ٌ.‬‬

‫‪28‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫مً سواجْ ؤلامام الٕضالي للتز‪ُ٠‬ت وؤلاـالح في سٍاك ‪٠‬خابه " ؤلاحُاء "‬
‫ٌ‬ ‫وبلى ما ال ًٌ ٌ‬
‫خفىس ؤن ً‪٣‬ىن اإلافِب ُ٘ه بال ٌواحذا ‪٠‬معإلت الشئٍت ‪ ،‬وه‪ٙ‬ي‬
‫ٌ‬
‫الفىسة والجعمُت والاظخ‪ٝ‬شاس ًِ هللا حّالى‪٘ ،‬هزا مما ٌٌّلم خىإ اإلاخىئ ُ٘ه ‪ٜ‬ىّا‬
‫‪٘ ،‬ال ًب‪ٝ‬ى لخىئه الزي َى حهل محن ٌو ٌح ٌه ‪ٌ.‬‬
‫من نفائط إلاحياء و بديع فقه الغسالي‬
‫ح‪ِ ٞ‬ىذ‬‫ِىذ ال‪٢‬الم ِلى الاحدعاب والشد ِلى اإلابخذُ ‪ٜ‬ذ ً‪ٝ‬ا‪ : ٥‬اإلابخذُ ٌم ٌ‬
‫ٌ‬ ‫و‪١‬ل ًٌذعي ؤهه ٌ‬ ‫ه‪ٙ‬عه‪ ،‬واإلاح‪ ٞ‬مبخذُ ِىذ اإلابخذُ‪ٌ ،‬‬
‫مح‪ ٞ‬وٍى‪٢‬ش ‪١‬ىهه مبخذِا‪ُٚ٢٘ .‬‬
‫ًخم الاحدعاب؟ٌ‬
‫ألحل َزا الخّاسك ه‪ٝ‬ى‪ًٌ :٥‬ىٍش بلى البلذة التي ٘حها‬ ‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬ؤلامام ‪" :‬اِلم ‪ٌ :‬ؤها ٌ‬
‫العٌىت ٘لهم الخعبت‬ ‫ٌؤٌهشث جل‪ ٤‬البذِت‪٘ .‬ةن ‪١‬اهذ البذِت ٔشٍبت والىاط ‪١‬لهم ِلى ٌ‬
‫العٌىت‪ ،‬و‪١‬ان‬‫ِلحهم بٕحر برن العلىان ‪ ،‬وبن اه‪ٝ‬عم ؤَل البلذ بلى ؤَل البذِت وؤَل ٌ‬
‫في الاِتراك بخحشٍ‪٘ ٤‬خىت باإلا‪ٝ‬اجلت ٘لِغ لآلحاد الخعبت في اإلازاَب بال بىفب‬
‫العلىان‪ٌ.‬‬
‫الخ‪ ٞ‬وهفشٍ‪ ،‬وؤرن لىاحذ ؤن ًضحش اإلابخذِت ًِ‬ ‫٘ةرا سؤي العلىان الشؤي ٌ‬
‫لٕحرٍ‪٘ ،‬ةن ما ً‪٣‬ىن بةرن العلىان ال ًخ‪ٝ‬ابل‪ ،‬وما‬ ‫بٌهاس البذِت ‪١‬ان له رل‪ ٤‬ولِغ ٌ‬
‫ً‪٣‬ىن مً حهت آلاحاد ُ٘خ‪ٝ‬ابل ألامش ُ٘ه‪ٌ.‬‬
‫ؤَم مً الخعبت في ‪١‬ل اإلاى‪٢‬شاث‪ ،‬ول‪ً٢‬‬ ‫وِلى الجملت‪٘ :‬الخعبت في البذُ ٌ‬
‫ًيبغي ؤن ًٌشاعى ٘حها َزا الخ‪ٙ‬فُل الزي ر‪٠‬شهاٍ‪١ ،‬ي ال ًخ‪ٝ‬ابل ألامش ٘حها‪ ،‬وال ٌ‬
‫ًىجش بلى‬
‫جحشٍ‪ ٤‬ال‪ٙ‬خىت‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫الركن الثالث‪ :‬املحتضب عليه‬
‫ٌ‬
‫وؼشوه ‪ :‬ؤن ً‪٣‬ىن بف‪ٙ‬ت ًفحر ال‪ّٙ‬ل اإلامىىُ مىه في ح‪ٝ‬ه مى‪٢‬شا ولّله ً‪ٙ٢‬ي‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫في رل‪ ٤‬ؤن ً‪٣‬ىن بوعاها ‪ ،‬وال ٌؽتره ‪١‬ىهه م‪٣‬ل‪ٙ‬ا‪ٌ.‬‬
‫وؤما مىْ الخُىان مً ب٘عاد الضسُ ٘لِغ رل‪ ٤‬مً مىلىُ الخعبت؛ بر الخعبت‬
‫لخ‪ ٞ‬هللا حّالى؛ ـُاهت للممىىُ ًِ م‪ٝ‬اس٘ت اإلاى‪٢‬ش‪ٌ.‬‬ ‫ِباسة ًِ اإلاىْ ًِ مى‪٢‬ش ٌ‬
‫ومن نفائط إلامام‪:‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪29‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫همىْ اإلاجىىن مً الضها وبجُان البهُمت وؼشب الخمش‪ ،‬و‪٠‬زا الفبي ال ـُاهت‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫للبهُمت اإلاإٌجٌُت ؤو الخمش اإلاؽشوب ‪ ،‬بل ـُاهت للمجىىن ًِ ؼشب الخمش‪ ،‬وججزيها له‬
‫مً حُث بهه بوعان محترم‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫مضألت مهمت‪ :‬مً ‪ٜ‬ذس ِلى ح‪ َٙ‬ما‪ ٥‬ؤخُه مً المُاُ مً ٔحر ؤن ًىاله ح ٌّ ٌب في‬
‫بذهه‪ ،‬ؤو خعشان في ماله‪ ،‬ؤو ه‪ٝ‬فان في حاَه وحب ِلُه رل‪ .٤‬وَزا ؤ‪ٜ‬ل دسحاث‬
‫ح‪ٝ‬ى‪ ٛ‬اإلاعلم‪ ،‬وَزا ؤولى باإلًجاب مً سد العالم؛ ٘ةن ألاري في َزا ؤ‪٠‬ثر مً ألاري‬
‫في جش‪ ٟ‬سد العالم‪ٌ.‬‬
‫وؤما بن ‪١‬ان ِلُه حّب ؤو لشس في ما‪ ٥‬ؤو حاٍ لم ًلضمه رل‪٤‬؛ ألن ح‪ٝ‬ه ٌ‬
‫مشعي‬
‫في مى‪ّٙ‬ت بذهه وفي ماله وحاَه ‪٠‬ح‪ٔ ٞ‬حرٍ ٘ال ًلضمه ؤن ً‪ٙ‬ذي ٔحرٍ بى‪ٙ‬عه؛ وّم‪،‬‬
‫ٌ ٌ‬ ‫ٌ ٌ‬
‫ؤلاًثاس معخحب ‪ ،‬وج ٌجؽ ٌم اإلافاِب ‪ٌ ٜ‬شٌبت‪ٌ.‬‬

‫الركن الرابع‪ :‬الاحتضاب نفضه (درحاجه وآدابه)‬


‫‪ -‬دسحاث الاحدعاب الثماهُت ‪:‬‬
‫الدرحت ألاولى ‪ :‬التعرف‬
‫ؤي ولب اإلاّش٘ت بجشٍان اإلاى‪٢‬ش ورل‪ ٤‬مىهي ِىه وَى الخجعغ‪ٌ.‬‬
‫الدرحت الثانيت ‪ :‬التعريفٌ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫اإلاى‪ٌ ٢‬ش ‪ٜ‬ذ ًٌ ٌ‪ٌ ٝ‬ذم ِلُه اإلا ٌ‪ٌ ٝ‬ذم بجهله وبرا ٌِ ٌشٗ ؤهه مى‪٢‬ش جش‪٠‬ه ٌ‬
‫٘ىّشٗ‬ ‫ٌ‬ ‫٘ةن‬
‫باللى‪ ٚ‬مً ٔحر ِى‪ .ٚ‬والىباُ ؤحشؿ ِلى ظتر ِىسة الجهل مجها ِلى ظتر الّىسة‬
‫الخ‪ُُٝٝ‬ت؛ ألن الجهل ‪ٜ‬بح في ـىسة الى‪ٙ‬غ‪ ،‬و‪ٜ‬بح العىءجحن ًشحْ بلى ـىسة البذن‪،‬‬
‫والى‪ٙ‬غ ؤؼشٗ مً البذن‪ ،‬و‪ٜ‬بحها ٌ‬
‫ؤؼذ مً ‪ٜ‬بح البذن‪ ،‬زم َى ٔحر ملىم ِلُه ؛ ألهه‬
‫خل‪ٝ‬ت لم ًذخل جحذ اخخُاسٍ حفىله وال في اخخُاسٍ بصالخه وجحعِىه‪ ،‬والجهل ‪ٜ‬بح‬
‫ًم‪ ً٢‬بصالخه وجبذًله بحعً الّلم‪ٌ.‬‬
‫مثال للمعرف في شأن الاحتضاب للمس يء في الصالة ‪:‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ه‪ٝ‬ى‪ ٥‬له ‪ :‬بن ؤلاوعان ال ًىلذ ِاإلاا‪ ،‬ول‪ٝ‬ذ ‪٠‬ىا ؤًما حاَلحن بإمىس الفالة‪،‬‬
‫ّ٘لمىا الّلماء‪ ،‬ولّل ‪ٜ‬شٍخ‪ ٤‬خالُت ًِ ؤَل الّلم‪ ،‬ؤو ِاإلاها ٌ‬ ‫ٌ‬
‫م‪ٝ‬فش في ؼشح الفالة‬
‫وبًماحها‪ ،‬بهما ؼشه الفالة الىمإهِىت في الش‪١‬ىُ والسجىد‪ٌ.‬‬
‫‪30‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬
‫مً سواجْ ؤلامام الٕضالي للتز‪ُ٠‬ت وؤلاـالح في سٍاك ‪٠‬خابه " ؤلاحُاء "‬

‫الدرحت الثالثت ‪ :‬النهي بالىعظ والنصح والتخىيف باهلل عس وح‬


‫ورل‪ُ٘ ٤‬مً ًٌ ٌ‪ٌ ٝ‬ذم ِلى ألامش وَى ِالم ب‪٣‬ىهه مى‪ٌ ٢‬شا ‪ ،‬ؤو ُ٘مً ٌ‬
‫ؤـش ِلُه بّذ‬
‫ٌ‬
‫ؤن ِشٗ ‪١‬ىهه مى‪٢‬شا بةًشاد ألاخباس بالىُِذ في رل‪ ٤‬وظحر العل‪ ٚ‬بؽ‪ٝٙ‬ت وسحمت‪ٌ.‬‬
‫ر‪ ٥‬بالخّشٍ‪ ،ٚ‬وال ؤٌهش ٌ‬
‫جمحزي بالّلم؛ ٘هزا‬ ‫جخيب ‪ :‬ال ٌؤ ٌ‬
‫وَهىا آ٘ت ًيبغي ؤن ٌج ٌ‬
‫العجب داء مهل‪ٌ!٤‬‬ ‫مى‪٢‬ش ؤ‪ٜ‬بح مً اإلاى‪٢‬ش الزي ٌّترك ِلُه؛ بر ٌ‬
‫ًىد ؤن ًمخىْ اإلازهب بى‪ٙ‬عه ؤو باحدعاب ٔحرٍ وبال‬ ‫ومً ِالماث ـذ‪ ٛ‬اإلاحدعب ؤهه ٌ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫٘هى مخبْ َىي ه‪ٌ ٙ‬‬
‫عه ‪ٌ.‬‬
‫الدرحت الرابعت ‪ :‬الضب والتعنيف بالقىل الخشن‬
‫ٌ‬
‫ؤٗ ل‪٢‬م وإلاا حّبذون مً دون‬ ‫‪ٝ٠‬ى‪ ٥‬ظُذها ببشاَُم ِلُه الفالة والعالم ‪ٌ ﴿ :‬‬
‫هللا ؤ٘ال حّ‪ٝ‬لىن ﴾ (ألاهبُاء ‪ٌ) 67 ,‬‬
‫و‪ٝ٠‬ى‪ ٥‬اإلاحدعب للمخال‪ً : ٚ‬ا حاَل‪ ،‬ؤال جخاٗ هللا؟!ٌ‬
‫وَزا ِىذ المشوسة والعجض ًِ اللى‪ ٚ‬وال ٌعترظل ُ٘ه‪ٌ.‬‬
‫الدرحت الخامضت ‪ :‬التغيير باليد‬
‫وفي َزٍ الذسحت ؤدبان‪ٌ:‬‬
‫ٌ‬
‫اإلاحدعب ِلُه رل‪ٌ.٤‬‬ ‫ؤحذَما ‪ :‬ؤال ًباؼش بُذٍ ما لم ٌعجض ًِ ج‪٣‬لُ‪ٚ‬‬
‫الثاوي‪ :‬ؤن ً‪ٝ‬خفش في وشٍ‪ ٞ‬الخُٕحر ِلى ال‪ٝ‬ذس اإلاحخاج بلُه؛ ٘ةن صٍادة ألاري ُ٘ه‬
‫معخٕنى ِىه‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫‪٠‬مً ًشٍ‪ ٞ‬الخمش ًخىقى ‪٠‬عش ألاواوي بن ٌوحذ بلُه ظبُال‪ ،‬بال ؤن ج‪٣‬ىن لاسٍت‬
‫بالخمش ال جفلر بال لها‪ٌ.‬‬
‫٘هزٍ جفش٘اث د‪ُٜٝ‬ت ٘‪ٝ‬هُت ًحخاج اإلاحدعب ‪ -‬ال محالت ‪ -‬بلى مّش٘تها‪ٌ.‬‬
‫الدرحت الضادصت ‪ :‬التهديد والتخىيف‬
‫ورل‪ ٤‬بالمشب ؤو ال‪٢‬عش وما ؤؼبهه‪ ،‬وال يهذد بما ال ًجىص جح‪ُٝٝ‬ه ‪١‬التهذًذ‬
‫ٌ‬
‫بمشب الىلذ ؤو نهب الذاس؛ ٘ةن ‪ٜ‬اله ًِ ِضم ‪١‬ان حشاما‪ ،‬وبن ‪١‬ان ًِ ٔحر ِضم ٘هى‬
‫‪٠‬زب‪ٌ.‬‬
‫الدرحت الضابعت ‪ :‬مباشرة الظرب وغير ذلك مما ليط فيه شهر صالح‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪31‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫ورل‪ ٤‬حاثض لآلحاد بؽشه الالىشاس والا‪ٜ‬خفاس ِلى ‪ٜ‬ذس الخاحت في الذْ٘ ٘ةرا‬
‫ٌ‬
‫اهذْ٘ اإلاى‪٢‬ش ُ٘يبغي ؤن ً‪ٌ. ٚ٢‬‬
‫ٌ‬
‫بخاؿ ح‪ ٞ‬هللا وما ًخّل‪ ٞ‬بح‪ ٞ‬آلادمُحن‪ٌ.‬‬ ‫وال ٘ش‪ ٛ‬بحن ما ًخّل‪ٞ‬‬
‫الدرحت الثامنت ‪ :‬أال يقدر عليه بنفضه ويحتاج فيه إلى أعىان يشهرون الضالح‪.‬‬
‫٘‪ٝ‬ا‪ٜ ٥‬اثلىن‪ :‬ال ٌعخ‪ٝ‬ل آحاد الشُِت بزل‪٤‬؛ ألهه ًادي بلى جحشٍ‪ ٤‬ال‪ٙ‬تن‪،‬‬
‫وَُجان ال‪ٙ‬عاد‪ ،‬وخشاب البالد‪ٌ.‬‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬ؤلامام ‪ :‬اإلاعإلت محخملت‪ ،‬وسجر حىاص ّ٘له دون برن‪ ،‬ألن َزا مً‬
‫الىىادس في الخعبت ٘ال ٌٕحر به ‪ٜ‬اهىن ال‪ُٝ‬اط‪ٌ.‬‬
‫ألهه برا حاص لآلحاد ألامش باإلاّشوٗ وؤواثل دسحاجه جذِى بلى زىاهُه و‪ٜ‬ذ جيخهي ‪-‬‬
‫ال محالت ‪ -‬بلى الخماسب‪ ،‬والخماسب ًذِى بلى الخّاون ‪ ...‬ومىتهاٍ ججىُذ الجىىد في‬
‫سلا هللا ودْ٘ مّاـُه‪ ،‬وهحً ٌ‬
‫هجىص لآلحاد مً الٕضاة ؤن ًجخمّىا وٍ‪ٝ‬اجلىا مً ؤسادوا‬
‫ٌ‬
‫مً ٌ٘ ٌش‪ ٛ‬ال‪ٙ٢‬اس‪ٜ ،‬مّا ألَل ال‪ٙ٢‬ش‪٢٘ ،‬زل‪ٜ ٤‬مْ ؤَل ال‪ٙ‬عاد حاثض‪ٌ.‬‬

‫آداب الاحتضاب‬
‫حمُْ آداب اإلاحدعب ججمل بثالر ـ‪ٙ‬اث ‪ :‬الّلم‪ ،‬والىسُ‪ ،‬وحعً الخل‪ٌ.ٞ‬‬
‫‪ .4‬الّلم بمىا‪ ْٜ‬الخعبت وحذودَا لُ‪ٝ‬خفش ِلى حذ الؽشُ ٘حها‪.‬‬
‫‪ٜ‬بل الىاط مىه بل‬ ‫‪ .2‬الىسُ الزي ًذجضٍ ًِ الاسجذاُ ِما ًحدعب ُ٘ه ؛ وبال ‪ ،‬ما ٌ‬
‫ٌعتهضئون وِلُه ٌ‬
‫ًخجشئون‪.‬‬
‫‪ .3‬حعً الخل‪ ٞ‬ؤظاط هجاح اإلاحدعب‪ ،‬وبحعً خل‪ٝ‬ه ًفبر ِلى ما ًفِبه‬
‫﴿واـبر ِلى ما ؤـاب‪ ،٤‬بن رل‪ ٤‬مً ِضم ألامىس﴾ (ل‪ٝ‬مان ‪ . )47 :‬وبال‪٘ ،‬ةرا‬
‫ؤـِب ِشله وماله ؤو ه‪ٙ‬عه بؽخم ؤو لشب وس ي الخعبت ؤ‪ٙ‬ل ًِ دًً هللا‬
‫واؼخٕل بى‪ٙ‬عه‪.‬‬
‫٘باحخماُ َزٍ الف‪ٙ‬اث جفحر الخعبت مً ال‪ٝ‬شباث‪ ،‬وبها جىذْ٘ اإلاى‪٢‬شاث؛ وبن‬
‫ٌ‬
‫ؤًما مى‪٢‬شة؛ إلاجاوصٌة ٌ‬
‫حذ الؽشُ‪ٌ.‬‬ ‫٘‪ٝ‬ذث لم ًىذْ٘ اإلاى‪٢‬ش؛ بل سبما ‪١‬اهذ الخعبت‬

‫‪32‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫مً سواجْ ؤلامام الٕضالي للتز‪ُ٠‬ت وؤلاـالح في سٍاك ‪٠‬خابه " ؤلاحُاء "‬

‫نص ثمين في آداب املحتضب ‪ٌ:‬‬


‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫مً ؤَم ما ًيبغي ؤن ٌّش٘ه اإلاحدعب ؤهه ال ٌؽتره ؤن ً‪٣‬ىن ِاإلاا محُىا‬
‫ٌ‬
‫وحعب‪ٌ.‬‬ ‫وبهما الّلم بما ًإمش وٍىهى‬
‫٘‪ٙ‬ي الخذًث ِىذ الذًلمي في معىذ ال‪ٙ‬شدوط ًِ ؤوغ سض ي هللا ِىه ‪ " :‬ال‬
‫ًيبغي للشحل ؤن ًإمش باإلاّشوٗ وٍىهى ًِ اإلاى‪٢‬ش حتى ً‪٣‬ىن ُ٘ه خفا‪ ٥‬زالزت‪ :‬سُ٘‪ٞ‬‬
‫بما ًإمش‪ ،‬وسُ٘‪ ٞ‬بما ًىهى ‪ِ ،‬الم ُ٘ما ًإمش‪ِ ،‬الم ُ٘ما ًىهى ‪ِ ،‬ذ‪ُ٘ ٥‬ما ًإمش ِذ‪٥‬‬
‫ُ٘ما ًىهى"‪ٌ.7‬‬
‫وَزا الىق اؼخمل ِلى ما ‪ٜ‬ذمىاٍ مً الف‪ٙ‬اث الثالزت‪ٌ.‬‬
‫ِى‪ ٚ‬سحل بج‪ٙ‬اء ِلى اإلاإمىن‪ٝ٘ .‬ا‪ ٥‬له‪ً :‬ا سحل‪ٌ ،‬اس٘‪ٞ‬؛‬ ‫الش٘‪ ٞ‬س‪ ً٠‬للىجاح ؛ و‪ٜ‬ذ ٌ‬
‫٘‪ٝ‬ذ بّث هللا مً َى خحر مى‪ ٤‬بلى مً َى ٌ‬
‫ؼش مني وؤمشٍ بالش٘‪ٝ٘ .ٞ‬ا‪ ٥‬حّالى ‪ٝ٘﴿ :‬ىال‬
‫ٌ ٌ‬
‫له ‪ٜ‬ىال لُىا لّله ًخز‪٠‬ش ؤو ًخص ى﴾ (وه ‪ٌ)44 :‬‬
‫عدم العم ببعع املعلىم ال يضقط الاحتضاب‪:‬‬
‫في الىبراوي ألاوظي والفٕحر ًِ ؤوغ سض ي هللا ِىه ؤهه ‪ٜ‬ا‪ٜ : ٥‬لىا ًا سظى‪٥‬‬
‫هللا‪ ،‬ؤال هإمش باإلاّشوٗ حتى وّمل به ‪١‬له‪ ،‬وال هىهى ًِ اإلاى‪٢‬ش حتى هجخيبه ‪١‬له؟ ٘‪ٝ‬ا‪٥‬‬
‫ـلى هللا ِلُه وظلم ‪(( :‬بل مشوا باإلاّشوٗ وبن لم حّملىا به ‪١‬له‪ ،‬وانهىا ًِ اإلاى‪٢‬ش‬
‫وبن لم ججخيبىٍ ‪١‬له))‪ٌ.8‬‬
‫لزا ً‪ٝ‬ى‪ ٥‬الٕضالي ‪ -‬سحمه هللا ‪ٌ : -‬ع‪ٝ‬ي ؤزشٍ ًِ ال‪ٝ‬لىب بٍهىس ٘ع‪ٝ‬ه‬
‫للىاط‪ٌ .‬‬
‫ومما يتأكد للمحتضب جقلي العالئق وقطع الطمع عن الخالئق‬
‫‪ٜ‬ا‪ ٥‬حجت ؤلاظالم ‪ :‬ومً آلاداب ج‪ٝ‬لُل الّالث‪ ٞ‬حتى ال ً‪٢‬ثر خى٘ه‪ ،‬و‪ٜ‬ىْ‬
‫الىمْ ًِ الخالث‪ ٞ‬حتى جضو‪ِ ٥‬ىه اإلاذاَىت‪ٌ.‬‬
‫و‪ٜ‬ا‪ :٥‬مً لم ً‪ٝ‬ىْ الىمْ مً الخل‪ ٞ‬لم ً‪ٝ‬ذس ِلى الخعبت‪ ،‬ومً ومْ في ؤن‬
‫ج‪٣‬ىن ‪ٜ‬لىب الىاط ِلُه وُبت‪ ،‬وؤلعىتهم بالثىاء ِلُه مىل‪ٝ‬ت لم جخِعش له الخعبت‪ٌ.‬‬

‫‪7‬‬
‫معىذ ال‪ٙ‬شدوط (‪)7744‬‬
‫‪8‬‬
‫ألاوظي (‪ )6624‬والفٕحر (‪)78/2‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪33‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ًاظش بً محمذ خحر ال‪ٝ‬مماوي‬

‫‪ٜ‬ا‪ّ٠ ٥‬ب ألاخباس سض ي هللا ِىه ألبي معلم ‪ -‬سحماث هللا ِلُه ‪ُٚ٠ : -‬‬
‫مجزلخ‪ ٤‬بحن ‪ٜ‬ىم‪٤‬؟ ‪ٜ‬ا‪ : ٥‬حعىت ‪ٜ .‬ا‪ : ٥‬بن الخىساة ج‪ٝ‬ى‪ : ٥‬بن الشحل برا ؤمش‬
‫باإلاّشوٗ وههى ًِ اإلاى‪٢‬ش ‪ ،‬ظاءث مجزلخه ِىذ ‪ٜ‬ىمه! ٘‪ٝ‬ا‪ ٥‬ؤبى معلم ‪ :‬ـذ‪ٜ‬ذ‬
‫الخىساة و‪٠‬زب ؤبى معلم‪ٌ.9‬‬

‫خاجمت‬
‫َزا وباهلل الخىُ٘‪ ٞ‬إلاا ُ٘ه بصالت ‪١‬ل حّىٍ‪ ،ٞ‬والاهتهاك للعلى‪ ٟ‬في ؤ‪ٜ‬ىم‬ ‫ٌ‬
‫وشٍ‪ ، ٞ‬والخؽش مْ صمشة ؤؼشٗ ٘شٍ‪ ، ٞ‬والؽشب مً ؤحلى سحُ‪ ، ٞ‬مً ًذ ‪ٜ‬ذوجىا‬
‫الخ‪ ُٞٝ‬ـلى هللا ِلُه وِلى آله و صخبه وظلم ‪ ،‬وآخش دِىاها ؤن الخمذ هلل سب‬
‫الّاإلاحن‪.‬‬

‫‪9‬‬
‫جاسٍخ دمؽ‪ ٞ‬البً ِعا‪٠‬ش (‪)203/27‬‬

‫‪34‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫التصىف الفلضفي لإلمام الغسالي من خالل كتاب مشكاة ألانىار‬

‫مازن الشريف‬
‫جىوغ‬
‫‪ٌacharifmazen@hotmail.fr‬‬

‫مقدمت عامت‬
‫ًمث للل الخف للىٗ واح للذا مللً ؤَ للم اإلاىال للُْ الت للي ج للذاولتها الّ‪ ٝ‬للى‪ ٥‬ج للذبشا وألا‪ ٜ‬للالم‬
‫م‪ٙ‬ع ل للش إلاّاهُ ل لله‪ ،‬ومب ل ل ّلحن‬
‫‪٠‬خاب ل للت مى ل للز وؽ ل للإة اإلاف ل للىلر ف ل للي ال‪ ٝ‬ل للشن الث ل للاوي للهج ل للشة‪ ،‬ب ل للحن ّ‬
‫لخ‪ُٝٝ‬خ لله‪ ،‬وباح للث ف للي ؤظل لشاسٍ وظ للابش ألٔ للىاسٍ‪ ،‬وماـ للل ل لله‪ ،‬ودخُ للل ِلُ لله وها‪ ٜ‬للذ ل لله‬
‫لخهجم مى‪ ٢‬للش‪ .‬و‪ ٜ‬للذ ج للإجج ال‪ ٢‬للالم ال‪ ٝ‬للادح للخف للىٗ م للْ ب للشوص ّجُ للاساث وع للبخه للبذِ للت‬ ‫وم ل ّ‬
‫والؽ للش‪٠ ،ٟ‬م للا حؽ للّبذ مع للاثله م للْ اجف للاله بال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت ؤىـ لله ف للي اإلاّ للاوي ؤلاؼ لشا‪ُٜ‬ت‬
‫حتى جم ال‪٢‬الم ًِ الخلى‪ ٥‬ووحذة الىحىد ؤحرَا مً اإلاعاثل‪ٌ.‬‬
‫ّ‬
‫ول‪٢‬للً ِلمللا مللً ؤِللالم الخفللىٗ جمحللز ِللً ظللىاٍ وؤزللش وؤزللشي‪ ،‬بللل لّللله مللً ال‪ٝ‬لللت‬
‫الل للزًً ‪١‬ل للان لهل للم مح ل لزان د‪ُٜ‬ل لل‪ ٞ‬واصن بل للحن الّ‪ٝ‬ل للل والل للشوح‪ ،‬والتز‪ُ٠‬ل للت والل للزو‪ ،ٛ‬والٍل للاَش‬
‫والباوً‪ ،‬وبحن ؤـلى‪ ٥‬الّ‪ُٝ‬لذة وؤظلشاس الخ‪ُٝٝ‬لت‪٘ ،‬علىْ بلزل‪ ٤‬هجمله وبلشص اظلمه حتلى‬
‫ظمي حجت ؤلاظالم‪٘ ،‬إبى حامذ الٕضالي ‪١‬ان رل‪ ٤‬الشحل الّالم الّاسٗ‪ٌ.‬‬
‫وبن ‪٠‬خابلله "بحُللاء ِلللىم الللذًً" مللً ؤؼللهش ‪٠‬خللب الخفللىٗ بن لللم ً‪٢‬للً ؤؼللهشَا‪،‬‬
‫ول‪٢‬ىىللا ظللىحاو‪ ٥‬ؤن وعللدبحن مىهجلله الفللىفي مللً ‪٠‬خللاب ؤ‪ٜ‬للل ؼللهشة وبن ‪١‬للان مللً ‪٠‬خبلله‬
‫اإلاهمت‪ ،‬وَى ‪٠‬خاب "مؽ‪٣‬اة ألاهىاس"‪ .‬وظىدبْ في رل‪ ٤‬اإلاىهج الخالي‪ٌ:‬‬
‫‪ /4‬الخّشٍ‪ ٚ‬بالخفىٗ ِامت‪ ،‬والخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي خاـت‪ٌ.‬‬
‫‪ /2‬الخّشٍ‪ ٚ‬بإبي حامذ الٕضالي‪ٌ.‬‬
‫‪ /3‬الخّشٍ‪ ٚ‬ب‪٢‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‪ٌ.‬‬

‫‪35‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫‪ /4‬الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‪ٌ.‬‬


‫‪٘ /5‬اثذة مىهجُتٌ‬
‫‪ /6‬خاجمت‪ٌ.‬‬
‫وظللىٗ هحللاو‪ ٥‬الاخخفللاس والاختلزا‪ ،٥‬مللْ ب‪ٜ‬شاسهللا ؤن اإلاىلللىُ مدؽللّب ـللّب‪ ،‬بر‬
‫ؤن مبحث الخفىٗ ِامت والخفلىٗ ال‪ٙ‬لعل‪ٙ‬ي خاـلت للِغ باإلابحلث الِعلحر‪ .‬وهللا ملً‬
‫وساء ال‪ٝ‬فذ وَى اإلاعخّان وبه الخىُ٘‪ٌ.ٞ‬‬
‫ٌ‬
‫التعريف بالتصىف عامت‪ ،‬والتصىف الفلضفي خاصت‬
‫أ‪ /‬معنى التصىف عامت‬
‫ٌّخبللر الخفللىٗ مفللىلخا هاؼللئا فللي ال‪ٝ‬للشن الثللاوي‪ ،‬واهدؽللش ؤ‪٠‬ثللر فللي ال‪ٝ‬للشن الثالللث‪،‬‬
‫وجشسللخذ وش‪ٜ‬لله ال‪٢‬بللري فللي ال‪ٝ‬للشن العللادط للهجللشة‪ ،‬ول‪٢‬ىلله ؤـللُل ‪٠‬مّنللى فللي ؤلاظللالم‬
‫مىز وؽإجه البؽلشٍت ألاوللى (ملْ آدم ِلُله العلالم)‪ ،‬ولله وحلىد فلي ِمل‪ ٞ‬ؤلاسر الخملاسي‬
‫وال‪ ٢ٙ‬للشي وألادب للي ؤلاوع للاوي ِل للى اخ للخالٗ ال للذًاهاث وألام للم والّف للىس‪ ،‬و‪ ٜ‬للذ جشس للخذ‬
‫مّاهُلله مللْ الللذِىة اإلاحمذًللت واهدؽللاس الللذًً ؤلاظللالمي‪٣٘ ،‬للان لللمً بللاب اإلاّنللى (جض‪ُ٠‬للت‬
‫وبحعاها وجشبُت وظلى‪١‬ا) ِمال سباهُا في ‪ٜ‬لب وه‪ٙ‬لغ وراجله هبُله اإلافلى‪ٙ‬ى‪ ،‬وحهلذا هبىٍلا‬
‫ف للي رواث آ‪ ٥‬بِخ لله وؤص للخابه‪ ،‬بم للذد بله للي وظ لىذ ‪ٜ‬شآو للي‪ ،‬بر ف للي ال‪ ٝ‬لشآن آً للاث ‪٠‬ثح للرة ِ للً‬
‫الخ‪٢‬م للت واإلاىٍِ للت الخع للىت والتز‪ ُ٠‬للت وألادب وألاخ للال‪ ،ٛ‬و‪ ١‬للل رل لل‪ ٤‬م للً سوح الخف للىٗ‬
‫ومّىاٍ‪ٌ.‬‬
‫ؤمللا اإلافللىلر ٍ٘هللش بّللذ رللل‪ ،٤‬و‪ٜ‬للذ ٘عللشٍ الللبّن مّىللاٍ الاـللىال ي بالفللىٗ‬
‫ولباظلله ومللا ٌؽللحر بلُلله رللل‪ ٤‬مللً صَللذ وج‪ٝ‬ؽلل‪ ٚ‬وَللى مللً ؤحللىا‪ ٥‬ؤَللل الخفللىٗ‪ .‬وؤؼللاس‬
‫آخشون بلى ؤَل الف‪ٙ‬ت مً صخابت سظى‪ ٥‬هللا وحالهم مً صَذ و٘‪ٝ‬ش‪ٌ.‬‬
‫ًل‪ٝ‬لب بفللى٘ت‬ ‫ور‪٠‬لشوا ؤن الل‪ٙ‬لَ ًشحلْ بللى حلل فللي الجاَلُلت ‪١‬لان اَلذا مخّبلذا ّ‬
‫ص‬ ‫س‬
‫واظللمه الٕللىر بللً مللش بللً ؤد‪ ،‬وؤؼللاس الضمخؽللشي فللي ؤظللاط البالٔللت وال‪ٙ‬حللروص آبللادي فللي‬
‫ج‬
‫‪ٜ‬امىظله اإلاحللُي بلللى ؤن ‪ٜ‬ىمللا فللي الجاَلُللت ظلمىا بهللزا الاظللم و‪١‬للاهىا ًلللىن بحللاصة الىللاط‬
‫بللالدج فللي م‪٢‬للت ومللً حؽللبه بهللم ظللمي ـللىفي‪ ،‬ومللجهم وؽللإث وب‪ٝ‬للت اإلاخحى‪ٙ‬للحن مثللل وس‪ٜ‬للت‬
‫بً هى٘ل‪ًٝ .‬ى‪ ٥‬الضمخؽشي في ‪٠‬خلاب ؤظلاط البالٔلت‪١ " :‬لان آ‪ ٥‬ـلى٘ت ًجحلزون الخلاج‬
‫‪36‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬
‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫م للً ِش٘ للاث ؤي ً‪ُٙ‬م للىن به للم‪ ،‬وٍ‪ ٝ‬للا‪ ٥‬له للم‪ :‬آ‪ ٥‬ـ للى٘ان وآ‪ ٥‬ـ لل‪ٙ‬ىان و‪ ١‬للاهىا ًخ للذمىن‬
‫ج‬ ‫ّ‬
‫وٍخيعلل‪٣‬ىن ولّل ّلل الفللىُ٘ت وعللبىا بلللحهم حؽللبحها بهللم فللي اليعلل‪ ٤‬والخّبللذ ؤو بلللى‬ ‫ال‪ّ٢‬بللت‬
‫ج‬
‫ؤَل الف‪ٙ‬ت ٘‪ُٝ‬ل‪ :‬م‪٣‬ان الف‪ُٙ‬ت الفىُ٘ت ب‪ٝ‬لب بحذي ال‪ٙ‬اءًً واوا للخخ‪ُٙ‬ل‪ ٚ‬ؤو بللى‬
‫الفىٗ الزي َى لباط الّباد وؤَل الفىامْ"‪.‬‬
‫بالفل‪ٙ‬ت (بر ؤن الخفللىٗ َللى اجفلاٗ بمحاظللً ألاخللال‪ٛ‬‬ ‫وسبلي آخللشون اإلافللىلر ّ‬
‫والف‪ٙ‬اث‪ ،‬وجش‪ ٟ‬اإلالزمىم مجهلا‪ ).‬وبالفل‪٢٘ ( ٚ‬لإنهم فلي الفل‪ ٚ‬ألاو‪ ٥‬ب‪ٝ‬للىبهم ملً حُلث‬
‫حمل للىسَم مل للْ هللا؛ وحعل للاب‪ٝ‬هم فل للي ظل للاثش الىاِل للاث)‪ ،‬وبٕحل للر رلل لل‪ ٤‬ممل للا ؼل للا‪١‬ل الل‪ٙ‬ل للَ‬
‫وحاوع لله‪ ،‬و‪ ٜ‬للا‪ ٥‬بّ للن اإلاعدؽ للش‪ٜ‬حن ؤن اإلاف للىلر ساح للْ بل للى ـ للىُ٘ا ؤو الخ‪٢‬م للت ل للذي‬
‫ؤلأشٍلل‪ ،ٞ‬بر ؤن ؤـللل مفللىل "٘لعلل‪ٙ‬ت" َللى "ُ٘لللىط ـللىُ٘ا" ؤو حللب الخ‪٢‬مللت‪ ،‬وَىللا‬
‫ًلخ‪ ٝ‬ل للي الخف ل للىٗ بال‪ٙ‬لع ل لل‪ٙ‬ت ف ل للي ح ل للب الخ‪٢‬م ل للت والخ ل للذبش ف ل للي الىح ل للىد ومّ ل للاوي ؤلاؼ ل لشا‪ٛ‬‬
‫(زُىـىُ٘ا) التي جىحذ ؤًما في اإلافىلر الهىذي للخفىٗ‪ٌ .‬‬
‫ول‪ ً٢‬الٕاللب ؤن الخفلىٗ وللجن حملْ ملً ‪١‬لل رلل‪٘ ،٤‬هلى باألظلاط ـل‪ٙ‬اء‪ًٝ ،‬لى‪٥‬‬
‫الؽاِش الفىفي ؤبى ال‪ٙ‬خح البعتي (جىفي ‪َ 400‬ل ‪ 4040 /‬م)‪:‬‬
‫ج‬
‫وٌىه البّن مؽخ‪ٝ‬ا مً الفىٗ‬ ‫جىاصُ الىاط في الفىفي واخخل‪ٙ‬ىا ٌ‬
‫ـ‪ٙ‬ا ٘فىفي حتى ُظمي الفىفيٌ‬ ‫ٔحر جٌ‬
‫٘تىٌ ٌ‬ ‫ولعذ ؤمىح َزا الاظم َ‬
‫وؤم للا ٌه للىس اإلاف للىلر ٘ه للى ف للي ال‪ ٝ‬للشن الث للاوي للهج للشة‪ ،‬وٍ للز‪٠‬ش ؤب للى هف للش ِب للذ هللا‬
‫العشاج الىىس يٌ(جىفي ‪َ 378‬ل ‪ 988 /‬م)في ‪٠‬خابه "اللمْ في الخفلىٗ" اللزي ٌّخبلر ؤَلم‬
‫مفللى‪ ٚ‬مىظللىعي فللي جللاسٍخ الخفللىٗ ؤن ؤو‪ ٥‬مللً جل‪ٝ‬للب بالفللىفي َللى ؤبللى َاؼللم ال‪٣‬للىفي‬
‫اإلاخللىفي ظللىت ‪ 450‬للهجللشة‪ ،‬وٍ‪ٝ‬للى‪ ٥‬محمللذ ـللذً‪ ٞ‬الٕمللاسي فللي ‪٠‬خابلله "الاهخفللاس لىشٍلل‪ٞ‬‬
‫الفللىُ٘ت ألاخُللاس"‪ ،‬ؿ‪ 47‬ل ل ل ل ل ‪":.48‬وَّمللذ مللا ر‪٠‬للشٍ ابللً خلللذون فللي جللاسٍخ ٌهللىس اظللم‬
‫ال‪ْ ٢‬ىللذي ل ل ل ل و‪١‬للان مللً ؤَللل ال‪ ٝ‬لشن الشابللْ ل ل ل ل فللي ‪٠‬خللاب "والة مفللش" فللي‬ ‫الخفللىٗ مللا ر‪٠‬للشٍ ِ‬
‫ح ل للىادر ظ ل للىت اإلا ل للاثخحن‪ :‬به ل لله ٌه ل للش باإلظ ل لل‪٢‬ىذسٍت واث‪ ٙ‬ل للت ٌع ل للم ْىن بالف ل للىُ٘ت ً ل للإمشون‬
‫ج‬
‫بللاإلاّشوٗ‪ .‬و‪٠‬للزل‪ ٤‬مللا ر‪٠‬للشٍ اإلاعللّىدي فللي "مللشوج الللزَب" حا‪ُ٠‬للا ِللً ًح للى بللً ؤ‪٠‬للثم‬
‫ج‬
‫٘‪ٝ‬للا‪ :٥‬بن اإلاللإمىن ًىمللا لجللالغ‪ ،‬بر دخللل ِلُلله ِلللي بللً ـللالر الخاحللب‪ٝ٘ ،‬للا‪ً :٥‬للا ؤمحللر‬
‫اإلال لامىحن! سح للل وا‪ ٜ‬لل‪ ٚ‬بالب للاب‪ِ ،‬لُ لله زُ للاب ب للُن ٔ للالً‪ً ،‬ىل للب ال للذخى‪ ٥‬للمى للاٌشة‪،‬‬
‫ّ٘لمللذ ؤهلله بّللن الفللىُ٘ت‪٘ .‬هاجللان الخ‪٣‬اًخللان حؽللهذان ل‪٢‬للالم ابللً خلللذون فللي جللاسٍخ‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪37‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬
‫ُ‬
‫وؽل للإة الخفل للىٗ‪ .‬ور‪٠‬ل للش فل للي "‪٠‬ؽل لل‪ ٚ‬الٍىل للىن" ؤن ؤو‪ ٥‬مل للً ظل للمي بالفل للىفي ؤبل للى َاؼل للم‬
‫الفىفي اإلاخىفى ظىت خمعحن ومئت (‪َ 450‬ل)"‪ٌ.‬‬
‫و‪ٜ‬ذ ر‪٠‬ش الّاس٘ىن بالخفىٗ ِلى مش ال‪ٝ‬شون ؼِئا مً مّاهُه‪ ،‬مً رل‪ ٤‬آلاحي‪ٌ:‬‬
‫*ؤلامام الجىُذ‪ :‬الخفىٗ اظخّما‪١ ٥‬ل خل‪ ٞ‬ظني‪ ،‬وجش‪١ ٟ‬ل خل‪ ٞ‬دوي‬
‫*ؤلام للام ؤب للى الخع للً الؽ للارلي‪ :‬الخف للىٗ ج للذسٍب ال للى‪ٙ‬غ ِل للى الّبىدً للت‪ ،‬وسدَ للا‬
‫ألح‪٣‬ام الشبىبُت‪.‬‬
‫*ؤلامام ابً عجُبت‪ :‬الخفىٗ َى ِلم ٌّشٗ بله ‪ُُٙ٠‬لت العللى‪ ٟ‬بللى حملشة ملل‪٤‬‬
‫اإلالى‪ ،ٟ‬وجف‪ُٙ‬ت البىاوً مً الشراثل‪ ،‬وجحلُتها بلإهىاُ ال‪ٙ‬ملاثل‪ ،‬وؤولله ِللم‪ ،‬ووظلىه‬
‫ِمل‪ ،‬وآخشٍ مىَبت‪ٌ.‬‬
‫*الؽ للُخ ؤحم للذ صسو‪ :ٛ‬الخف للىٗ ِل للم ‪ٜ‬ف للذ إلـ للالح ال‪ٝ‬ل للىب وب٘شادَ للا هلل حّ للالى‬
‫ِمللا ظللىاٍ‪ .‬وال‪ٝٙ‬لله إلـللالح الّمللل وح‪ٙ‬للَ الىٍللام وٌهللىس الخ‪٢‬مللت باألح‪٣‬للام‪ .‬وألاـللى‪٥‬‬
‫"ِل ل للم الخىحُ ل للذ" لخح‪ ُٝ‬ل لل‪ ٞ‬اإلا‪ ٝ‬ل للذماث ب ل للالبراَحن وجحلُ ل للت ؤلاًم ل للان باإلً‪ ٝ‬ل للان‪ ..‬و‪ ٜ‬ل للذ ُح ل للذ‬
‫الخفللىٗ وسظللم و٘عللش بىحللىٍ جبلللٖ هحللى ألال‪ٙ‬للحن‪ ،‬مشحللْ ‪١‬لهللا لفللذ‪ ٛ‬الخىحلله بلللى هللا‪،‬‬
‫وبهما هي وحىٍ ُ٘ه‪.‬‬
‫*الؽل للُخ ص‪٠‬شٍل للا ألاهفل للاسي ‪ :‬الخفل للىٗ ِلل للم حّل للشٗ بل لله ؤحل للىا‪ ٥‬جض‪ُ٠‬ل للت الى‪ٙ‬ل للىط‪،‬‬
‫وجف‪ُٙ‬ت ألاخال‪ ٛ‬وحّمحر الٍاَش ٌوالباوً لىُل العّادة ألابذًت‪.‬‬
‫الؽللُخ الؽللّشاوي‪ّ :‬‬
‫الفل ّ‬ ‫ّ‬
‫لىفي َللى الللزي ًخ‪ٝ‬ل ّلشب بلللى هللا‪ ،‬ب‪ٙ‬للشوك هللا‪ ،‬زللم ًضٍللذَا‬ ‫*‬
‫الشظى‪ِ ٥‬لُه الفالة والعالم مً حيغ ما ٘شك هللا وؤن ً‪٣‬ىن ِىذٍ ـل‪ٙ‬اء فلي‬ ‫بعىت ّ‬ ‫ّ‬
‫ج‬
‫اظخ‪ٝ‬با‪ ٥‬ؤ‪ٜ‬مُت الّبادة ُ٘‪٣‬ىن ـاُ٘ا هلل‪ ،‬والف‪ٙ‬ا َى ‪١‬ىهل‪ ٤‬جفلاٗ‪ .‬وهلي ‪١‬لهلا جلذوس‬
‫في ٘ل‪ ٤‬الف‪ٙ‬اء وال‪ٝ‬شب مً هللا والخىحه بلُه واإلاحبت ُ٘ه‪ٌ.‬‬
‫وٍشحْ الخفىٗ ‪٠‬على‪ ٟ‬ومىهج وؤخال‪ ٛ‬وس‪ٜ‬اث‪ ٞ‬بّذ مىبّله الىبلىي ألاو‪ ٥‬ومجهلله‬
‫اإلاحملذي الى‪ٝ‬للي زللم ملا ‪١‬للان مللً مللىهج ؤلاملام ِلللي ومللً مىلاعج الصللخابت سضل ي هللا ِللجهم‬
‫آلاخزًً ًِ سظى‪ ٥‬هللا وجشبِخه وجض‪ُ٠‬خه بؽ‪٣‬ل مباؼش‪ ،‬بلى ِلملحن ‪٠‬بحلرًً َملا الخعلً‬
‫البفللشي‪ ،‬وَللى جلمُللز ؤلامللام ِلللي‪ ،‬وؤلامللام ِلللي جلمُللز مباؼللش للشظللى‪ ٥‬ألا‪٠‬للشم نهللل مللً‬
‫ِلمه وجشبِخه‪ٌ.‬‬

‫‪38‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫والّل للم الث للاوي َ للى ؤوَ للغ ال‪ٝ‬شو للي ال للزي ؤوص ل ى الىب للي ِلُلله الف للالة والع للالم ‪٠‬ب للاس‬
‫الصخابت بن حاءَم ؤن ٌعإلىٍ الذِاء‪ ،‬و‪١‬اهذ له ـلت ‪٠‬بحرة باإلمام ِلي ؤًملا‪ ،‬وَّلذ‬
‫م للً ‪٠‬ب للاس ؤَ للل الخف للىٗ ِل للى ح‪ ُٝٝ‬للت مّى للاٍ‪ ،‬و‪ ٠‬للزل‪ ٤‬هخب للت م للً ؤَ للل ال للزو‪ ٛ‬والؽ للى‪ٛ‬‬
‫والضَل للذ والتربُل للت ‪١‬الخل للاسر اإلاحاظل للبي وظل للشي العل لل‪ٝ‬ىي وظل للهل بل للً ِبل للذ هللا الدعل للتري‬
‫ؤح للرَم‪ .‬ول‪ ٢‬للً ؤَ للل الّل للم ؤسحّ للىا الخف للىٗ ‪٠‬ىشٍ‪ ٝ‬للت واـ للىالح ؤظاظ للا بل للى الجىُ للذ‬
‫البٕ للذادي (ج للىفي ظ للىت ‪ 940 /ٌ 295‬م)‪ ،‬حت للى ‪ ٜ‬للا‪ ٥‬ابللً ِاؼ للش ف لي مخى لله الؽ للهحر ل للمً‬
‫حّشٍ‪ ٙ‬لله باإلاذسظ للت اإلإاسبُ للت ول للمً حم للْ ب للحن ال‪ ٝٙ‬لله والّ‪ ُٝ‬للذة والخف للىٗ ‪٠‬إـ للى‪ ٥‬ال‬
‫اه‪ٙ‬فللا‪ ٥‬بُجهللا لللمً حللىَش وح‪ُٝٝ‬للت الللذًً ؤلاظللالمي‪ :‬فللي ِ‪ٝ‬للذ ألاؼللّشي و٘‪ٝ‬لله ماللل‪..٤‬‬
‫وفي وشٍ‪ٝ‬ت الجىُذ العال‪ ..٤‬ولِغ الخفىٗ في الخ‪ُٝٝ‬ت ح‪٢‬شا ِلى ألامت ؤلاظالمُت‪ٌ،‬‬
‫٘‪ ٝ‬للذ ِش٘ للذ ‪ ١‬للل ألام للم الخف للىٗ‪ ،‬أله لله ح للا‪ ٥‬بوع للاوي‪ ،‬وألن ألادً للان حمُّه للا ‪ ١‬للان‬
‫٘حهللا س‪٠‬للً ؤظاس ل ي وَللى التز‪ُ٠‬للت وتهللزًب الللى‪ٙ‬غ‪٘ ،‬ىجللذ الخفللىٗ اإلاعللُ ي‪ ،‬والخفللىٗ‬
‫ل للذي ؤجب للاُ البراَم للا وب للىرا (لّله للا دًاه للاث ظ للماوٍت ألاـ للل)‪ ،‬و‪ ٠‬للزل‪ ٤‬ل للذي ال‪ٙ‬الظ لل‪ٙ‬ت‬
‫الأشٍ‪ ٞ‬مثل ظ‪ٝ‬شاه وؤ٘الوىن وؤسظىى‪ ،‬و‪٠‬زل‪ ٤‬لذي ٘الظ‪ٙ‬ت آخشًٍ بّذَم‪ٌ.‬‬
‫ٌول‪٢‬للً محللزة الخفللىٗ ؤلاظللالمي الللزي ٌٕلللب فللي ج‪ٙ‬عللحر مفللىلخه بِللادة رللل‪ ٤‬بلللى‬
‫الفل لل‪ٙ‬اء‪٘ ،‬هل للي ؤهل لله س‪٠‬ل للً زالل للث للل للذًً‪ ،‬بل للل َل للى حل للىَشٍ وسوحل لله‪ ،‬بر الخفل للىٗ ًخّلل لل‪ٞ‬‬
‫بالتز‪ ُ٠‬للت ؤظاظ للا‪ ،‬والتز‪ ُ٠‬للت مج للا‪ ٥‬سق للي ال للزو‪ ،ٛ‬وال للزو‪ ٛ‬ب للاب الّش٘ للان‪ ،‬والّش٘ للان بىاب للت‬
‫ؤلاظ للالم ؼللهادة وؤس‪ ١‬للان‪ ،‬والّ‪ ُٝ‬للذة‬ ‫ؤلاحعللان‪ ،‬وؤلاحع للان مّ لشاج الترقللي والخل‪ ٝ‬للي‪ ،‬بر ؤن ٌ‬
‫ججزً لله وب‪ٜ‬ل لشاس بالف لل‪ٙ‬اث ِل للى م لشاد هللا مجه للا‪ ،‬وؤلاًم للان جف للذً‪ ٞ‬بالُٕ للب‪ ،‬والؽ للشَّت م للا‬
‫ؼ ل للشُ هللا للى ل للاط وم ل للا ح‪ ٢‬ل للم‪ ،‬ول‪ ٢‬ل للً َ ل للزا الّل ل للم الؽ ل للشعي والّ‪ ٝ‬ل للذي‪ ،‬ورل ل لل‪ ٤‬ؤلاظ ل للالم‬
‫وؤلاًم للان‪ ،‬ؤب للىاب إلا‪ ٝ‬للام ؤس٘ للْ َ للى م‪ ٝ‬للام ؤلاحع للان ال للزي وسد مّى للاٍ ف للي بحاب للت الخبِ للب‬
‫اإلافللى‪ٙ‬ى ـ للى هللا ِلُلله وظلللم لعللاا‪ ٥‬حبرًللل ِلُلله العللالم فللي الخللذًث الؽللهحر‪" :‬ؤن‬
‫حّبذ هللا ‪٠‬إه‪ ٤‬جشاٍ‪٘ ،‬ةن لم ج‪ ً٢‬جشاٍ ٘هى ًشا‪ٌ."ٟ‬‬
‫٘الخفل للىٗ س‪٠‬ل للً زالل للث بّل للذ الّ‪ُٝ‬ل للذة والؽل للشَّت‪ ،‬وؤلاحعل للان م‪ٝ‬ل للام زالل للث بّل للذ‬
‫ؤلاظالم وؤلاًمان‪ ،‬والتز‪ُ٠‬ت ؤـلل ِلحهلا ً‪ٝ‬لىم ِللم ال‪٢‬خلاب والخ‪٢‬ملت‪ ،‬وفلي رلل‪ٜ ٤‬لا‪ ٥‬هللا‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ج‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ ُْ ْ‬ ‫ََ‬
‫ظ للبحاهه وحّ للالى‪" :‬ل‪ ٝ‬ل ْلذ َم للً الل ل ُله َِل للى اإلا للا ِم ِى َحن ِبر َب َّ للث ِ٘ ل ِلحه ْم َس ُظ للىال ِّم ل ْلً ؤ ُه‪ِ ٙ‬ع ل ِله ْم ًَ ْخل للى‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪39‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬
‫ََ‬ ‫َ َ‬ ‫َ ُ‬ ‫ََ ْ ْ َ َُ َّ ْ َُ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ ْ َ‬
‫ل للال‪ ٥‬م ِب للحن‬ ‫لاب َوال ِخ‪َ ٢‬م للت َوِبن ‪ ١‬للاهىا ِم للً ‪ْ ٜ‬بل ُلل ل ِ‪ ٙ‬للي‬ ‫ِلللح ِهم آًا ِج ل ِله وٍ للض ِ‪ِ ٠‬حهم وَّ ِلمه للم ال ِ‪٢‬خل‬
‫(‪( )464‬آ‪ِ ٥‬مشان)‪ٌ .‬‬
‫٘للال‪ٝ‬شآن هللض‪ ٥‬ظللشٍ وؤمللشٍ‪ ،‬وسظللى‪ ٥‬هللا ‪١‬للان َذًلله وحّلُملله‪ ،‬جض‪ُ٠‬للت ؤوال‪ ،‬فللي ال‪ٙ‬تللرة‬
‫اإلا‪ُ٢‬للت‪ ،‬تهللزًبا لؤله‪ٙ‬للغ وجىهح لرا لل‪ٝ‬لللىب‪ ،‬زللم ‪١‬للان ِلللم ال‪٢‬خللاب والخ‪٢‬مللت ومللا هللض‪ ٥‬مللً‬
‫و٘فل مً ؼإن الّ‪ُٝ‬ذة وما حّل‪ ٞ‬بها‪ٌ.‬‬ ‫حؽشَْ ّ‬
‫ومّلىم ؤن ؤلاوعان الزي ال جض‪١‬لى ه‪ٙ‬عله‪ ،‬للً ً‪ُٙ‬لذٍ ِللم ال‪٢‬خلاب والخ‪٢‬ملت‪ ،‬وللً‬
‫ً‪٣‬للىن بظللالمه بال وبللاال وبًماهلله بال ه‪٣‬للاال‪ ،‬ألن ٘هملله للّ‪ُٝ‬للذة ظللُخخل‪ ،‬و٘هملله للؽللشَّت‬
‫ظُّخل‪ٙ٘ ،‬ي ُٔاب الزو‪٣ً ٛ‬ىن الخىشٗ‪ ،‬والخجعلُم‪ ،‬والضهذ‪ٜ‬لت‪ ،‬والاحلشام‪ ،‬وَلى حلا‪٥‬‬
‫الخللىاسج الللزًً لللم جتهللزب اه‪ٙ‬ع للهم ٘ىـلل‪ٙ‬هم سظللى‪ ٥‬هللا ٘‪ٝ‬للا‪" :٥‬جح‪ٝ‬للشون جالوج‪ ٢‬للم بال‬
‫جالوته للم وـ للالج‪٢‬م بال ـ للالتهم‪ًٝ..‬شئون ال‪ٝ‬ل لشآن ال ًج للاوص جشا‪ٜ‬حهم‪ً...‬مش‪ ٜ‬للىن م للً ال للذًً‬
‫الشمُللت"‪ .‬و‪٠‬للزل‪ ٤‬حللا‪ ٥‬مللً جبللْ مللىهجهم بلللى الُللىم‪ ،‬فللي ججعللُمهم‬ ‫‪٠‬مللا ًمللش‪ ٛ‬العللهم ِللً ّ‬
‫هلل‪ ،‬وفي ظ‪٢ٙ‬هم للذماء خل‪ ٞ‬هللا وج‪ٙ٢‬حرَم ألمت سظى‪ ٥‬هللا‪ٌ.‬‬
‫ولللزل‪ ١ ٤‬للان ؤَ للل الخف للىٗ ِب للر جللاسٍخهم ؤَ للل ِل للم بالّ‪ ُٝ‬للذة‪ ،‬وِل للم بالؽ للشَّت‪،‬‬
‫وبالخالواث والخذًث‪ ،‬بل ظادة في رل‪٘ ،٤‬مجهم ال‪ٝٙ‬هلاء وملجهم اإلاحلذزىن‪١ ،‬الؽلُخ ِبلذ‬
‫ال‪ ٝ‬للادس الجُالو للي الّ للالم ال‪ ُٝٙ‬لله واإلاح للذر‪ ،‬والؽ للُخ ؤحم للذ الش٘ للاعي ال للزي بل للٖ مشجب للت‬
‫ؤلاحته للاد اإلاىل لل‪ ،ٞ‬والؽ للُخ الّ للض ب للً ِب للذ الع للالم اإلال‪ ٝ‬للب بع لللىان الّلم للاء‪ ،‬وظ للىاَم‬
‫‪٠‬ثح للر‪ ،‬ب للل ال ً‪ ٣‬للاد ًخل للى ظ للىذ ف للي الخ للذًث ؤو ال‪ ٝ‬لشاءاث ؤو ال‪ ٝٙ‬لله م للً ِلم للاء الخف للىٗ‬
‫وسحال لله جح‪ ُٝٝ‬للا وج للذ‪ُٜٝ‬ا‪ .‬وم للجهم ِلم للاء اإلاىى لل‪ ٞ‬وال‪ ٢‬للالم ال للزًً ٔاـ للىا ف للي الّ‪ ُٝ‬للذة‬
‫ّ‬
‫وسدوا ِلللى الضهاد‪ٜ‬للت واإلاجعللمت واإلاّىلللت‪ ،‬وِلللى سؤظللهم ؤلامللام ؤبللي حامللذ الٕضالللي الللزي‬
‫‪١‬ان بلا٘ت بلى رل‪ٝ٘ ٤‬حها وؤـىلُا وـىُ٘ا ‪٠‬بحرا‪ٌ .‬‬
‫ول‪ٝ‬لذ ‪٠‬خبللذ ‪٠‬خللب ‪٠‬ثحلرة فللي حّشٍلل‪ ٚ‬الخفللىٗ وجحذًلذ مّاهُلله و‪ٜ‬ىاِللذٍ وؤـللىله‪،‬‬
‫مث للل الشظ للالت ال‪ٝ‬ؽ للحرًت‪ ،‬والخ‪ ٢‬للم الّىاثُ للت‪ ،‬و‪٠‬خ للاب ‪ٜ‬ىاِ للذ الخف للىٗ للؽ للُخ ؤحم للذ‬
‫صسو‪ ٛ‬ال‪ٙ‬اس ي‪ ،‬وبحُاء ِلىم الذًً لئلملام الٕضاللي‪ ،‬ولّلل ملً ؤَلم الخّشٍ‪ٙ‬لاث للخفلىٗ‬
‫وؤَلله ملا ر‪٠‬للشٍ الّالملت ِبلذ الللشحمً بلً خللذون فللي اإلا‪ٝ‬ذملت حُلث ‪ٜ‬للا‪َ" :٥‬لزا ِللم مللً‬
‫الّلللىم الؽللشُِت وؤـللله ؤن وشٍ‪ٝ‬للت َللىالء ال‪ٝ‬للىم لللم جللض‪ِ ٥‬ىللذ ظللل‪ ٚ‬ألامللت و‪٠‬باسَللا مللً‬
‫الصللخابت والخللابّحن ومللً بّللذَم وشٍلل‪ ٞ‬الخلل‪ ٞ‬والهذاًللت‪ ،‬وؤـلللها الّ‪٣‬للىٗ ِلللى الّبللادة‬

‫‪40‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫والاه‪ٝ‬ىللاُ بلللى هللا حّللالى وؤلاِلشاك ِللً صخللشٗ الخُللاة وصٍىتهللا والضَللذ ُ٘مللا ً‪ٝ‬بللل ِلُلله‬
‫الجمهللىس مللً لللزة ومللا‪ ٥‬وحللاٍ والاه‪ٙ‬لشاد ِللً الخللل‪ ٞ‬فللي الخلللىة للّبللادة‪ .‬و‪١‬للان رللل‪ِ ٤‬امللا‬
‫ف للي الص للخابت والع للل‪ ٚ‬وإلا للا وؽ للإ ؤلا‪ٜ‬ب للا‪ِ ٥‬ل للى ال للذهُا ف للي ال‪ ٝ‬للشن الث للاوي وم للا بّ للذٍ وح للىح‬
‫الىاط بلى مخالىت الذهُا اخخق اإلا‪ٝ‬بلىن ِلى هللا باظم الفىُ٘ت"‪ٌ.‬‬
‫َ‬
‫‪٠‬مل للا ً‪ٝ‬ل للى‪ ٥‬ؤلامل للام ال‪ٝ‬ؽل للحريٌ‪" :‬اِلمل للىا ؤن اإلاعل لللمحن بّل للذ سظل للى‪ ٥‬هللا لل للم ًَ ٌدعل للم‬
‫ؤ٘ال لللهم ف للي ِف للشَم بدع للمُت ِل للم ظ للىي ص للخبت الشظ للى‪ ، ٥‬بر ال ؤ٘م لللُت ٘ى‪ٜ‬ه للا‪،‬‬
‫٘‪ُٝ‬ل لهم الصلخابت‪ ،‬زلم اخخلل‪ ٚ‬الىلاط وجباًيلذ اإلاشاجلب‪ُٝ٘ ،‬لل لخلىاؿ الىلاط ل مملً‬
‫والّبلاد‪ ،‬زلم ٌهلشث البذِلت‪ ،‬وحفلل الخلذاعي بلحن‬ ‫لهلم ؼلذة ِىاًلت بلإمش اللذًً ل ل الضَلاد ُ‬
‫ج‬
‫ال‪ٙ‬ش‪٣٘ ،ٛ‬ل ٘شٍ‪ ٞ‬ادِىا ؤن ٘حهم صَادا‪٘ ،‬لاه‪ٙ‬شد خلىاؿ ؤَلل العلىت اإلاشاِلىن ؤه‪ٙ‬علهم‬
‫مْ هللا ظبحاهه وحّالى‪ ،‬الخاٍ٘ىن ‪ٜ‬لىبهم ًِ وىاس‪ ٛ‬الٕ‪ٙ‬للت باظلم الخفلىٗ‪ ،‬واؼلتهش‬
‫َزا الاظم لهاالء ألا‪١‬ابش ‪ٜ‬بل اإلااثخحن مً الهجشة"‪.‬‬
‫وال ًخ‪ٙ‬ى ؤن لذي ؤدُِاء الخفىٗ والذخالء ِلُه ؤمىسا ‪٠‬ثحلرة ال ـللت لهلا ب‪ٝٙ‬له‬
‫وال بّ‪ ُٝ‬للذة‪ ،‬ؤو ‪ ٜ‬لشآن وظ للىت‪ ،‬وَ للاالء ح للزس م للً م للىهجهم ؤَ للل الخف للىٗ الخ لل‪ ،ٞ‬ال للزًً‬
‫حل للذدوا او ل لشا مهمل للت ووامل للخت للخفل للىٗ‪ ،‬بر َل للى مىـل للى‪ ٥‬بال‪٢‬خل للاب والعل للىت‪ ،‬مخفل للل‬
‫بال‪ٝٙ‬لله والّ‪ُٝ‬للذة‪ ،‬وفللي رللل‪ ٤‬مللا ر‪٠‬للشٍ الفللىفي الّالمللت ؤحمللذ صسو‪ ٛ‬فللي ‪٠‬خللاب "‪ٜ‬ىاِللذ‬
‫ُ‬
‫الخفللىٗ" بر ً‪ٝ‬للى‪٘ " :٥‬للال جفللىٗ بال ب‪ٝٙ‬لله‪ ،‬بر ال حّللشٗ ؤح‪٣‬للام هللا الٍلاَشة بال مىلله‪،‬‬
‫وال ٘‪ ٝ‬لله بال بخف للىٗ‪ ،‬بر ال ِم للل بال بف للذ‪ ٛ‬وجىح لله‪ ،‬وال َم للا بال بةًم للان‪ ،‬بر ال ًص للر‬
‫واحللذ مجهمللا بذوهلله‪٘ ،‬لللضم الجمُللْ لخالصمهمللا فللي الخ‪٢‬للم‪٠ ،‬للخالصم ألاسواح لؤلحعللاد‪ ،‬بر ال‬
‫ّ‬
‫وحىد لها بال ٘حها‪٠ ،‬ما ال ‪٠‬ما‪ ٥‬له بال بها‪٘ ،‬ا٘هم"‪ٌ .‬‬
‫ٌ‬
‫ؤلامام ؤبى حامذ الٕضالي‪"" :‬ول‪ٝ‬ذ ِلمذ ً‪ُٝ‬ىا‬ ‫وخخاما هىسد ما ‪ٜ‬اله حجت ؤلاظالم ٌ‬
‫خاـت وؤن ظحرتهم ؤحعً ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ىُ٘ت َم العال‪٣‬ىن لىشٍ‪ ٞ‬هللا حّالى ٌ‬ ‫ٌؤن ٌ‬
‫الف ٌ‬
‫العحرة‬
‫ٌ‬
‫ووشٍ‪ٝ‬تهم ؤـىب الىش‪ ٛ‬وؤخال‪ٜ‬هم ؤص‪١‬ى ألاخال‪ ...ٛ‬وبالجملت ٘مارا ً‪ٝ‬ى‪ ٥‬ال‪ٝ‬اثلىن في‬
‫بال‪٣‬لُت ِما ظىي هللا حّالى‪،‬‬ ‫وشٍ‪ٝ‬ت وهاستها‪ -‬وهي ؤو‪ ٥‬ؼشووها‪ -‬جىهحر ال‪ٝ‬لب ٌ‬
‫ٌ‬ ‫وم‪ٙ‬خاحها الجاسي مجها مجشي الخحشٍم مً ٌ‬
‫الفالة اظخٕشا‪ ٛ‬ال‪ٝ‬لب بال‪٣‬لُت بز‪٠‬ش هللا‪،‬‬
‫ٌ‬
‫وآخشَا ال‪ٙ‬ىاء بال‪٣‬لُت في هللا"‪ٌ.‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪41‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫ب‪ :‬معنى التصىف الفلضفي‬


‫الخف للىٗ ال‪ٙ‬ع للل‪ٙ‬ي جُ للاس م للً جُ للاساث الخف للىٗ‪ً ،‬خّل لل‪ ٞ‬بالجاه للب الخ للإملي‪ ،‬وسئٍ للت‬
‫الفللىُ٘حن للىحللىد‪ ،‬ولّللىالم الُٕللب والؽللهادة‪ ،‬واإلاُخا٘حزً‪ُٝ‬للا‪ ،‬ومّللاوي ال‪ٙ‬ىللاء وؤحللىا‪٥‬‬
‫ؤَ للل اإلاىاحل للذ‪٣ُ٘ ،‬ل للىن اؼل للخٕالهم بخ‪ٙ‬عل للحر جلل لل‪ ٤‬ألاح للىا‪ ٥‬ومل للا ٌّتل للري ؤَل للل الجل للزب فل للي‬
‫ظ لل‪٢‬شَم‪ ،‬والىح للذ ف للي ِؽ لل‪ٝ‬هم‪٠ .‬م للا ؤه لله ج‪ ٢ٙ‬للش ٘لع لل‪ٙ‬ي ف للي ألاح للىا‪ ٥‬الشوحُ للت واإلا‪ٝ‬ام للاث‬
‫الّش٘اهُت وح‪ُٝٝ‬ت اإلاّش٘ت وفي ؤلالهُاث وِلىم الباوً‪ ،‬و‪٠‬زل‪ ٤‬في ماَُلت ؤلاوعلان وفلي‬
‫الخ‪ ٢ٙ‬ل للش الىح ل للىدي ؤحل ل للر رل ل لل‪ ،٤‬لل ل للمً ج‪ٙ‬اِل ل للل م ل للْ ال‪ٙ‬لع ل لل‪ٙ‬ت اإلاؽ ل للاثُت ألا٘الوىهُل ل للت‬
‫وألاسظللىُت ومللىهج ظلل‪ٝ‬شاه ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي‪ ،‬و‪٠‬للزل‪ ٤‬مللْ ٘لعلل‪ٙ‬اث ؤخللشي ‪١‬ال‪ٙ‬اسظللُت والهىذًللت‬
‫ؤحرَا‪ ،‬لمً ملا ‪١‬لان ملً جال‪ٜ‬لح حملاسي وز‪ٝ‬لافي فلي الّلالم ؤلاظلالمي فلي ال‪ٝ‬لشهحن الثلاوي‬
‫والثالث وما بّذَما‪ٌ.‬‬
‫ومللً مللذاسط الخفللىٗ ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي هجللذ مذسظللت ؤلاؼ لشا‪ ٛ‬للعللهشوسدي اإلا‪ٝ‬خللى‪ ٥‬فللي‬
‫‪ٜ‬لّ للت حل للب ظ للىت ‪ 586‬للهج للشة‪ .‬وحّن للي ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت ؤلاؼل لشا‪ُٜ‬ت الف للى‪ُٜ‬ت «ٌه للىس ألاه للىاس‬
‫ؤلالهُللت فللي ‪ٜ‬لللب ؤلاوعللان الفللىفي (الّللاسٗ)»ٌو‪٠‬للزل‪ ٤‬جللم حّشٍ‪ٙ‬هللا ِلللى ؤنهللا «مّش٘للت هللا‬
‫م للً وشٍ لل‪ ٞ‬ال‪٢‬ؽ لل‪ ٚ‬ؤو هدُج للت الهبّ للار ه للىس م للً الّ للالم ٔح للر اإلاحع للىط"‪ .‬وج‪ ٝ‬للىم ِل للى‬
‫اإلاّش٘للت ِىللذ العللهشوسدي ِلللى الخللذط وال‪٢‬ؽلل‪ ٚ‬وِلللى الجللىاَش الىىاسهُللت فللي اجفللالها‬
‫بالللزاث الّاس٘للت‪ ،‬وفللي رللل‪ًٝ ٤‬للى‪“ :٥‬مللً ًبحللث ِللً الخ‪ُٝٝ‬للت مللً خللال‪ ٥‬البرَللان ‪٠‬مللً‬
‫ًبحث ًِ الؽمغ بىاظىت اإلافباح”‪ٌ.‬‬
‫و‪٠‬للزل‪١ ٤‬للان للؽللُخ ألا‪٠‬بللر م للي الللذًً ابللً ِشبللي (ولللذ فللي مشظللُت فللي ألاهللذلغ فللي‬
‫لهش سممللان ِللام ‪ َ 558‬ل ‪4464 /‬م ‪ ،‬وجللىفي فللي دمؽلل‪ِ ٞ‬للام ‪ َ638‬ل ‪4240 /‬م‪ ).‬ببحللاس‬ ‫ؼل ٌ‬
‫ِمُل‪ ٞ‬فلي ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت الفلىُ٘ت والللزي ظلمي ببحلش الخ‪ٝ‬للاث‪ ٞ‬وسثلِغ اإلا‪٣‬اؼلل‪ٙ‬حن‪ ،‬و‪١‬لان مللً‬
‫‪٠‬ب ل للاس اإلاخف ل للى٘ت وال‪ٙ‬الظ ل لل‪ٙ‬ت اإلاع ل لللمحن ب ل للل وف ل للي ال‪ ٢ٙ‬ل للش ؤلاوع ل للاوي ‪١‬ل ل لله‪ .‬وَّخب ل للر ‪٠‬خاب ل لله‬
‫"ال‪ٙ‬خىح للاث اإلا‪ ُ٢‬للت" م للً ؤِاحُ للب م للا ؤه للخ ال‪ ٢ٙ‬للش الف للىفي ال‪ٙ‬ع للل‪ٙ‬ي‪ ،‬وم للا ح للىاٍ م للً‬
‫دون ؤلاملام اللشواط ؤًملا م‪٣‬اؼل‪ٙ‬اجه وؤحىالله فلي ‪٠‬خبله‬ ‫م‪٣‬اؼ‪ٙ‬اث وؤحلىا‪ ٥‬وؤظلشاس‪ .‬و‪ٜ‬لذ ّ‬
‫و‪ٜ‬فاثذٍ‪ ،‬ول‪٢‬جها لم ج‪٘ ً٢‬لع‪ٙ‬ت ب‪ٝ‬ذس ما ‪١‬اهذ ؤحىالا وُ٘ىلاث‪ٌ.‬‬
‫وف للي َ للزٍ ألاو للش الف للىُ٘ت ال‪ٙ‬لع لل‪ُٙ‬ت واإلاّ للاوي الزو‪ ُٜ‬للت ؤلاؼل لشا‪ُٜ‬ت‪ ،‬وف للي اجف للا‪٥‬‬
‫بج للىاَش الى للىس ومّاهُ لله ولىاث‪ ٙ‬لله‪ ،‬وبال للزاث ؤلاوع للاهُت وبىاوجه للا الشوحاهُ للت‪ ١ ،‬للان ‪٠‬خ للاب‬

‫‪42‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫"مؽ لل‪٣‬اة ألاه للىاس" لئلم للام الٕضال للي ال للزي ٌّ للذ ؤًم للا م للً ‪٠‬ب للاس ؤَ للل الخف للىٗ وال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت‪،‬‬
‫وظىٗ همط ي بلى حّشٍ‪ ٚ‬مىحض بله وب‪٢‬خابله‪ ،‬زلم وٕلىؿ ‪ٜ‬للُال فلي بّلن مّاهُله‪ ،‬لى‪ٙ‬لىص‬
‫بللذسس ِش٘اهُللت بذٌّللت‪ ،‬ولىخللزو‪ ٛ‬مّللاوي سا‪ُٜ‬للت‪ ،‬وليؽللهذ مؽلل‪٣‬اة الى ل ٌىس وهللشي ‪ُ٠‬لل‪٘ ٚ‬عللش‬
‫ؤلام للام الٕضال للي آً للت الى للىس وبل للى ؤً للً حملخ لله ؤم للىاج الّش٘ للان وال‪٢‬ؽ لل‪ ٚ‬وؤؼ للشِت ال للزو‪ٛ‬‬
‫واإلاّش٘ت‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫التعريف بأبي حامد الغسالي‬
‫الٕضالي‬‫حاء في مى‪ ْٜ‬وٍ‪ُ٢‬بُذًا لمً الخّشٍ‪ ٚ‬باإلمام الٕضالي‪" :‬ؤبى حامذ محمذ ٌ‬
‫ِفشٍ وؤحذ ؤؼهش‬ ‫ٌ‬ ‫الىىس ي الىِعابىسي الفىفي الؽا٘عي ألاؼّشي‪ ،‬ؤحذ ؤِالم‬
‫ِلماء اإلاعلمحن في ال‪ٝ‬شن الخامغ الهجشي‪َ 450( ،‬ل ‪َ 505 -‬ل ‪4058 /‬م ‪4444 -‬م)‪.‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ال‪ٝٙ‬ه بر لم ً‪ً٢‬‬ ‫ٌ‬ ‫ؼا٘عي‬ ‫الىشٍ‪ٝ‬ت‪،‬‬
‫ٌ‬ ‫ـىفي‬ ‫‪١‬ان ٘‪ٝ‬حها وؤـىلُا وُ٘لعى٘ا‪ ،‬و‪١‬ان‬
‫ٌ‬
‫للؽاُّ٘ت في آخش ِفشٍ مثله‪ ،‬و‪١‬ان ِلى مزَب ألاؼاِشة في الّ‪ُٝ‬ذة‪ ،‬و‪ٜ‬ذ ٌِشٗ‬
‫ألاؼّشٍت في ِلم ال‪٢‬الم‪ ،‬وؤحذ ؤـىلها الثالزت بّذ ؤبي‬ ‫‪٠‬إحذ ماظس ي اإلاذسظت ٌ‬
‫ٌٌ‬ ‫الخعً ألاؼّشي‪( ،‬و‪١‬اهىا البا‪ٜ‬الوي والجىٍني ٌ‬
‫والٕضالي)‪ .‬ل‪ٝ‬ب الٕضالي بإل‪ٝ‬اب ‪٠‬ثحرة في‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫حُاجه‪ ،‬ؤؼهشَا ل‪ٝ‬ب ٌ‬
‫ومذجت‬ ‫"حجت ؤلاظالم"‪ ،‬وله ؤًما ؤل‪ٝ‬اب مثل‪ :‬صًٍ الذًً‪،‬‬
‫ألامت‪ ،‬وبش‪٠‬ت ألاهام‪ ،‬وبمام ؤثمت الذًً‪ ،‬وؼشٗ ألاثمت‪ٌ.‬‬ ‫الذًً‪ ،‬والّالم ألاوحذ‪ ،‬وم‪ٙ‬تي ٌ‬
‫‪١‬ان له ؤزش ‪٠‬بحر وبفلمت واملخت فلي ِ ّلذة ِللىم مثلل ال‪ٙ‬لعل‪ٙ‬ت‪ ،‬وال‪ٝٙ‬له الؽلا٘عي‪،‬‬
‫َ‬
‫وِل للم ال‪ ٢‬للالم‪ ،‬والخف للىٗ‪ ،‬واإلاىى لل‪ ،ٞ‬وج للش‪ ِ ٟ‬للذدا م للً ال‪٢‬خ للب ف للي جل لل‪ ٤‬اإلاج للاالث‪ .‬ول للذ‬
‫وِ للاػ ف للي و للىط‪ ،‬ز للم اهخ‪ ٝ‬للل بل للى هِع للابىس ل للُال م ؤب للا اإلاّ للالي الج للىٍني ّ‬
‫(اإلال‪ ٝ‬للب بةم للام‬ ‫ص‬
‫ّ ج‬ ‫ّ‬
‫الخللشمحن)‪٘ ،‬إخللز ِىلله مٍّللم الّلللىم‪ ،‬وإلاللا بلللٖ ِمللشٍ ‪ 34‬ظللىت‪ ،‬سحللل بلللى بٕللذاد مذسظللا‬
‫ف للي اإلاذسظ للت الىٍامُ للت ف للي ِه للذ الذول للت الّباظ للُت بىل للب م للً ال للىصٍش الع لللجىقي هٍ للام‬
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬
‫اإلال لل‪ .٤‬ف للي جل لل‪ ٤‬ال‪ٙ‬ت للرة اؼ ل ُلتهش ؼ للهشة واظ للّت‪ ،‬وـ للاس م‪ٝ‬ف للذا لى للالب الّل للم الؽ للشعي م للً‬
‫حمُللْ البلللذان‪ ،‬حتللى بلللٖ ؤهلله ‪١‬للان ًجللغ فللي مجلعلله ؤ‪٠‬ثللر مللً ‪ 400‬مللً ؤ٘الللل الىللاط‬
‫وِلمائهم ٌعخمّىن له وٍ‪٢‬خبىن ِىله الّللم‪ .‬وبّلذ ‪ 4‬ظلىىاث ملً الخلذسَغ ‪ٜ‬لشس اِتلزا‪٥‬‬
‫بالف للىُ٘ت و‪٠‬خ للبهم‪٘ ،‬خ للشج م للً‬ ‫الى للاط والخ‪ ٙ‬للشٓ للّب للادة وجشبُ للت ه‪ٙ‬ع لله‪ ،‬مخ للإز جشا ب للزل‪ّ ٤‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪43‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬
‫ج‬
‫بٕل للذاد خ‪ُٙ‬ل للت فل للي سحلل للت وىٍلل للت بلٕل للذ ‪ 44‬ظل للىت‪ ،‬جى‪ٝ‬ل للل خاللهل للا بل للحن دمؽل لل‪ ٞ‬وال‪ٝ‬ل للذط‬
‫والخلُل للل وم‪٢‬ل للت واإلاذًى ل للت اإلاىل للىسة‪٠ ،‬خل للب خالله ل للا ‪٠‬خابل لله اإلاؽل للهىس بحُ ل للاء ِلل للىم ال ل للذًً‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫‪٠‬خالـ للت لخجشبخ لله الشوحُ للت‪ ِ ،‬للاد بّ للذَا بل للى بل للذٍ و للىط مخخ للزا بج للىاس بِخ لله مذسظ للت‬
‫للخّبذ والّضلت) للفىُ٘ت"‪ٌ.‬‬ ‫لل‪ٝٙ‬هاء‪ ،‬وخاه‪ٝ‬اٍ (م‪٣‬ان ّ‬
‫وبّللذ جبحللشٍ فللي ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت زللم ه‪ٝ‬للذٍ لهللا‪ ،‬وجبحللشٍ فللي ِلللم ال‪٢‬للالم‪ ،‬وفللي ال‪ٝٙ‬لله ‪ٜ‬بللل‬
‫رل لل‪ ،٤‬وف للي ِ للذد ‪٠‬بح للر م للً اإلاّ للاسٗ‪ ،‬وبل للىٔهم ـ للِخا ِالُ للا ومج للذا ‪٠‬بحل لرا وس٘ للاٍ‪ ١ ،‬للان‬
‫َ‬
‫للٕضالللي مىِللذ مللْ الخفللىٗ "بّللذ خللىك الٕضالللي فللي ِلللىم ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت والباوىُللت‪٢َِ ،‬لل‪ٚ‬‬
‫ِل للى ‪ٜ‬ل لشاءة ودساظ للت ِل للىم الف للىُ٘ت‪ ،‬وص للخب الؽ للُخ ال‪ٙ‬م للل ب للً محم للذ ال‪ٙ‬اسم للزي‬
‫ج‬
‫(ال ل للزي ‪ ١‬ل للان م‪ٝ‬ف ل للذا للف ل للىُ٘ت ف ل للي ِف ل للشٍ ف ل للي هِعل ل لابىس‪ ،‬وَ ل للى جلمُ ل للز ؤب ل للى ال‪ٝ‬اظ ل للم‬
‫ال‪ٝ‬ؽ للحري)‪٘ [.‬خ للإزش الٕضال للي ب للزل‪ ،٤‬والح للَ ِل للى ه‪ٙ‬ع لله بّ للذٍ ِ للً ح‪ ُٝٝ‬للت ؤلاخ للالؿ هلل‬
‫وِللً الّلللىم الخ‪ُُٝٝ‬للت الىاّ٘للت فللي وشٍلل‪ ٞ‬آلاخللشة‪ ،‬وؼللّش ؤن جذسَعلله فللي الىٍامُللت مللليء‬
‫والع ُجب واإلا‪ٙ‬اظذ‪ِ ،‬ىذ رل‪ِٝ ٤‬ذ الّضم ِلى الخشوج مً بٕذاد"‪ٌ .‬‬ ‫بحب الؽهشة ُ‬
‫٘‪ ٝ‬للذ جا‪ ٜ‬للذ ٌسوح لله بل للى ‪٠‬ع للش ‪ ُٜ‬للىد م للا حىل لله م للً هم للي الخ للذسَغ وم للا ف للي ِ للالم‬
‫اإلا للش٘هحن وؤَ للل الج للاٍ م للً م‪ٙ‬اظل للذ‪ ،‬وف للي رل لل‪ ًٝ ٤‬للى‪" :٥‬زل للم الحٍ للذ ؤح للىالي‪ ٘ ،‬للةرا ؤهل للا‬
‫مل للىٕمغ فل للي الّالثل لل‪ ،ٞ‬و‪ٜ‬ل للذ ؤحل للذ‪ٜ‬ذ بل للي مل للً الجىاهل للب‪ ،‬والحٍل للذ ؤِمل للالي ‪ -‬وؤحعل للجها‬
‫الخ للذسَغ والخّل للُم ‪ ٘ -‬للةرا ؤه للا ٘حه للا م‪ٝ‬ب للل ِل للى ِل للىم ٔح للر مهم للت‪ ،‬وال هاّ٘ للت ف للي وشٍ لل‪ٞ‬‬
‫آلاخ للشة‪ .‬ز للم ج‪ ٢ٙ‬للشث ف للي هُت للي ف للي الخ للذسَغ‪ ٘ ،‬للةرا ه للي ٔح للر خالف للت لىح لله هللا حّ للالى‪ ،‬ب للل‬
‫باِثهللا ومحش‪٠‬هللا ولللب الجللاٍ واهدؽللاس الفللِذ‪٘ ،‬خُ‪ٝ‬ىللذ ؤوللي ِلللى ؼلل‪ٙ‬ا حللشٗ َللاس‪ ،‬وؤوللي‬
‫‪ ٜ‬للذ ؤؼ لل‪ُٙ‬ذ ِل للى الى للاس‪ ،‬بن ل للم ؤؼ للخٕل بخالف للي ألاح للىا‪٘ ..٥‬ل للم ؤص‪ ٥‬ؤج للشدد ب للحن جج للارب‬
‫ج‬
‫آلاخشة‪ٜ ،‬شٍبا مً ظلخت ؤؼلهش ؤولهلا سحلب ظلىت ‪ .ٌ 488‬وفلي َلزا‬ ‫ؼهىاث الذهُا‪ ،‬ودواعي ٌ‬
‫الؽهش حاوص ألامش حذ الاخخُلاس بللى الاللىشاس‪ ،‬بر ؤ‪ٜٙ‬لل هللا ِللى لعلاوي حتلى اِخ‪ٝ‬لل ِلً‬
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬
‫الخ للذسَغ‪٢٘ ،‬ى للذ ؤحاَ للذ ه‪ٙ‬سل ل ي ؤن ؤدسط ًىم للا واح للذا جىُِب للا ل‪ٝ‬ل للىب اإلاخخل‪ ٙ‬للت بل للي‪،‬‬
‫٘‪ ٣‬للان ال ًىى لل‪ ٞ‬لع للاوي ب‪٣‬لم للت واح للذة وال ؤظ للخىُّها البخ للت‪ .‬زل لم إلا للا ؤحعع للذ بعج للضي‪،‬‬
‫وظلل‪ٝ‬ي بال‪٣‬لُللت اخخُللاسي‪ ،‬الخجللإث بلللى هللا الخجللاء اإلامللىش الللزي ال حُلللت للله‪٘ ،‬إحللابني‬
‫ال للزي ًجُ للب اإلام للىش برا دِ للاٍ‪ ،‬وظ للهل ِل للى ‪ٜ‬لب للي ؤلاِ لشاك ِ للً الج للاٍ واإلا للا‪ ٥‬وألاَ للل‬
‫والىلذ وألاصخاب"‪ٌ.‬‬

‫‪44‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫وحّخبر َلزٍ اإلاشحللت م‪ٙ‬فللُت فلي حُلاة ؤلاملام الٕضاللي اللزي ‪ٜ‬لا‪ :٥‬ولبىلا الّللم لٕحلر‬
‫وِبر ًِ حاله را‪ ٟ‬ب‪ٝ‬ىله‪" :‬هىس ‪ٜ‬ز٘ه هللا في ـذسي"‪ٌ.‬‬ ‫هللا ٘ما ؤسادٍ هللا بال له"‪ّ ،‬‬
‫و‪ ٜ‬للذ ‪١‬اه للذ لئلم للام الٕضال للي م‪٣‬اه للت ِلمُ للت ‪٠‬بح للرة وِب‪ٝ‬شٍ للت ٘شٍ للذة‪ ،‬حت للى ‪ ٜ‬للا‪ِ ٥‬ى لله‬
‫الزَبي في ظحر ؤِالم الىبالء ج‪ 9‬ؿ ‪ " : 323‬الٕضالي الؽُخ ؤلامام البحش حجلت ؤلاظلالم‬
‫ؤعجىبللت الضمللان صٍللً الللذًً ؤبللى حامللذ محمللذ بللً محمللذ بللً محمللذ بللً ؤحمللذ الىىسل ي‬
‫ج‬ ‫ََ‬
‫الؽ للا٘عي الٕضال للي ـ للاحب الخف للاهُ‪ ٚ‬وال للز‪١‬اء اإلا‪ ٙ‬للشه ج‪ ٝٙ‬لله ببل للذٍ ؤوال ز للم جح للى‪ ٥‬بل للى‬
‫هِع للابىس ف للي مشا٘‪ ٝ‬للت حماِ للت م للً الىلب للت ٘ للالصم بم للام الخ للشمحن ٘ب للرُ ف للي ال‪ ٝٙ‬لله ف للي م للذة‬
‫‪ٜ‬شٍبت ومهش في ال‪٢‬الم والجذ‪ ٥‬حتى ـاس ِحن اإلاىاٌشًٍ‪ٌ"..‬‬
‫و‪ ٜ‬للذ ‪ ١‬للان جف للىٗ ؤلام للام الٕضال للي جف للىٗ الّ للالم ال للزي ؤج‪ ٝ‬للً ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت والّل للم‬
‫ال‪٢‬لالم‪ ،‬و‪١‬لان ملً ال‪ٝٙ‬هلاء ال‪٢‬بلاس ومللً الّلملاء بلال‪ٝ‬شآن والخلذًث‪ ،‬وبالّ‪ُٝ‬لذة والؽللشَّت‬
‫ب للل ٌّ للذ م للً ؤس‪ ١‬للان اإلاّخ‪ ٝ‬للذ ألاؼ للّشي‪ ،‬ول‪٢‬ى لله آز للش الخف للىٗ ؤ للاؿ ُ٘ لله و‪ ٜ‬لشؤ أل‪ٜ‬ىاب لله‬
‫ودسط ‪٠‬خب للا ‪٠‬ثح للرة " مث للل‪ ٜ :‬للىث ال‪ٝ‬ل للىب ألب للي وال للب اإلا‪ ٣‬للي‪ ،‬و‪٠‬خ للب الخ للاسر اإلاحاظ للبي‪،‬‬
‫واإلاخ‪ٙ‬ش‪ٜ‬للاث اإلاللإزىسة ِللً الجىُللذ وؤبللي ب‪٢‬للش الؽللبلي وؤبللي ًضٍللذ البعللىامي‪٠ .‬مللا ؤهلله ‪١‬للان‬
‫ًحم ل للش مج ل للالغ الؽ ل للُخ ال‪ٙ‬م ل للل ب ل للً محم ل للذ ال‪ٙ‬اسم ل للزي الف ل للىفي‪ ،‬وال ل للزي ؤخ ل للز ِى ل لله‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫الىشٍ‪ٝ‬ت‪٘ ،‬خإزش بهم جإزشا ‪٠‬بحرا‪ ،‬حتى ّؤدي بله ألاملش لتر‪٠‬له للخلذسَغ فلي اإلاذسظلت الىٍامُلت‬
‫ف لي بٕللذاد‪ ،‬واِتزاللله الىللاط وظلل‪ٙ‬شٍ إلاللذة ‪ 44‬ظللىت‪ ،‬جى‪ ٝ‬للل خاللهللا ب للحن دمؽلل‪ ٞ‬وال‪ ٝ‬للذط‬
‫والخلُللل وم‪٢‬للت واإلاذًىللت اإلاىللىسة‪٠ ،‬خللب خاللهللا ‪٠‬خابلله اإلاؽللهىس فللي الخفللىٗ بحُللاء ِلللىم‬
‫الذًً‪ ،‬و‪١‬اهذ هدُجت سحلخه الىىٍلت جل‪ٌ"٤‬‬
‫و‪ٜ‬للذ حل ّلشب الخلللىة ملشاسا‪ ،‬ؤللاؿ فللي ِللىالم ال‪٢‬ؽلل‪ ٚ‬حتللى ‪ٜ‬للا‪" :٥‬واه‪٢‬ؽلل‪ٙ‬ذ لللي فللي‬
‫ؤزىاء َزٍ الخلىاث ؤملىس ال ًم‪٢‬لً بحفلائَا واظخ‪ٝ‬فلائَا‪ ،‬وال‪ٝ‬لذس اللزي ؤر‪٠‬لشٍ لُيخ‪ٙ‬لْ‬
‫ج‬
‫بلله ؤوللي ِلمل ُلذ ً‪ُٝ‬ىللا ؤن الفللىُ٘ت َللم العللال‪٣‬ىن لىشٍلل‪ ٞ‬هللا حّللالى خاـللت وؤن ظللحرتهم‬
‫ؤحعً العحر‪ ،‬ووشٍ‪ٝ‬هم ؤـىب الىش‪ ،ٛ‬وؤخال‪ٜ‬هم ؤص‪١‬ى ألاخال‪ٌ."ٛ‬‬
‫و‪٠‬خابلله "بحُللاء ِل للىم الللذًً" م للً ؤَللم وؤزللشي ‪٠‬خ للب الخفللىٗ‪٘ ،‬ه للى مللً مشاحّلله‬
‫ال‪٢‬بري ‪١‬الشظالت ال‪ٝ‬ؽحرًت‪ ،‬و‪٠‬ما ؤن لله ‪٠‬خبلا ‪٠‬ثحلرة فلي الّ‪ُٝ‬لذة وِللم ال‪٢‬لالم وال‪ٙ‬لعل‪ٙ‬ت‬
‫واإلاىىلل‪ ،ٞ‬وفللي ال‪ٝٙ‬لله وؤـللىله وِلللم الجللذ‪ ،٥‬وفللي الخفللىٗ‪ ،‬وفللي ٘ىللىن ؤخللشي‪ ،‬ول‪٢‬ىىللا‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪45‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫ظيبحث في ‪٠‬خاب مً ‪٠‬خبه لّله لم ًحَ بالّىاًت والؽهشة التي حٍي بهلا ‪٠‬خلاب بحُلاء‬
‫ِلىم الذًً‪ ،‬ؤ ٌال وَى ‪٠‬خابه "مؽ‪٣‬اة ألاهىاس"‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫التعريف بكتاب مشكاة ألانىار‬
‫‪٠‬خللاب ـللٕحر الدجللم ؤل‪ٙ‬لله ؤلامللام الٕضالللي فللي ؤواخللش حُاجلله‪ ،‬وَللى سظللالت ‪٠‬خبهللا سدا‬
‫ِل ل ل ل للى ظ ل ل ل للاثل ظ ل ل ل للإله ح ل ل ل للى‪ ٥‬مّن ل ل ل للى ‪ٜ‬ىل ل ل ل لله ظ ل ل ل للبحاهه وحّ ل ل ل للالى "هللا ه ل ل ل للىس الع ل ل ل للمىاث‬
‫وألاسك(آلاًل للت)"‪ٌ،‬ولل للِغ الخل للاسٍخ اإلاحل للذد للخل للإلُ‪ ٚ‬بثابل للذ ‪٠‬مل للا ًل للشي ا مح‪ٝ‬ل لل‪ ٞ‬الشظل للالت‬
‫الذ‪٠‬خىس ؤبلى الّلال ِ‪ُٙٙ‬لي )‪ ،(1897 -1966‬اإلاخلخق فلي ال‪ٙ‬لعل‪ٙ‬ت والخفلىٗ ؤلاظلالمي‪":‬‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫ألاظلخار ماظليُىن فلي ‪٠‬خابله‬ ‫ل‪٢‬ىا ال وعخىُْ ؤن همْ جاسٍخا محذودا لخإلُ‪ٙ‬هلا ‪٠‬ملا ّ٘لل ٌ‬
‫"مجم للىُ هف للىؿ ٔح للر ميؽ للىسة خاـ للت بخ للاسٍخ الخف للىٗ ف للي ؤلاظ للالم‪ :‬ب للاسَغ ‪"4929‬‬
‫حُللث ً‪ٝ‬للى‪ ٥‬بنهللا ؤل‪ٙ‬للذ فللي ال‪ٙ‬تللرة مللا بللحن ‪ 495‬ب ‪ ،505‬وهللى ال‪ٙ‬تللرة التللى ‪ٜ‬مللاَا الٕضالللى‬
‫فللي وللىط وِ‪٢‬لل‪٘ ٚ‬حهللا ِلللى الخللإلُ‪ ٚ‬والّبللادة‪ .‬وٍللز‪٠‬ش ماظلليُىن مللً مال‪ٙ‬للاث الٕضالللى فللي‬
‫َل للزٍ ال‪ٙ‬تل للرة ‪٠‬خل للاب "مُّل للاس الّلل للم" و‪٠‬خل للاب "محل لل‪ ٤‬الىٍل للش" و‪٠‬خل للاب "اإلا‪ٝ‬فل للذ ألاظل للنى"‬
‫وسظ للالت "مؽ لل‪٣‬اة ألاه للىاس"‪ .‬ول‪٢‬ى للا ه للشي ف للي "مؽ لل‪٣‬اة ألاه للىاس" بح للاالث ِل للى َ للزٍ ال‪٢‬خ للب‬
‫حمُّهللا ممللا ًللذ‪ِ ٥‬لللى ؤن الٕضالللى ؤل‪ٙ‬هللا ‪ٜ‬بللل اإلاؽلل‪٣‬اة‪ ،‬وال هللذسي برا ‪١‬للان ؤل‪ٙ‬هللا ‪١‬لهللا فللي‬
‫ه‪ٙ‬غ ال‪ٙ‬ترة التى ًحذدَا ماظيُىن‪ .‬وال هًٍ ؤن لؤلظخار ماظيُىن مً العلىذ الخلاسٍ ى‬
‫ما ٌّخمذ ِلُه في جحذًذ ظىىاث جإلُ‪٠ ٚ‬خب الٕضالى ِلى الىحى الزي سظمه‪ٌ.".‬‬
‫زللم ًمللُ‪" :ٚ‬لللم جللل‪ ٞ‬سظللالت "مؽلل‪٣‬اة ألاهللىاس" مللً ِىاًللت البللاحثحن مللا ل‪ُٝ‬لله بّللن‬
‫‪٠‬خب الٕضالى ألاخشي ِلى الشٔم مً ؤَمُتها ومجزلتها الّالُت بحن ‪٠‬خب اإلاال‪ ٚ‬التلى ‪٠‬خبهلا‬
‫فلي ِفلش هجللجه‪ .‬والشظلالت حلذًشة بالذساظللت والخحلُلل الّمُلل‪ ٞ‬إلالا جل‪ُٝ‬له مللً للىء ِلللى‬
‫بّللن اإلاعللاثل التللى ِالجهللا الٕضالللى فللي ‪٠‬خللب ظللاب‪ٝ‬ت ِلحهللا‪ ،‬وألنهللا جفللىس اإلاى‪ٜ‬لل‪ ٚ‬الجهللاجى‬
‫ال للزي و‪ ٜٙ‬لله م للً َ للزٍ اإلاع للاثل‪ .‬و‪ ٜ‬للذ ح للشئ ٘حه للا ِل للى م للا ًج للشئ بالخف للشٍح بمثل لله ف للي ؤي‬
‫مال لل‪ ٚ‬آخ للش‪ ٝ٘ :‬للذ ؤؼ للشٗ ٘حه للا ِل للى ال‪ ٝ‬للى‪ ٥‬بىح للذة الىح للىد‪ ،‬وخل للق بّ للذ مىا‪ٜ‬ؽ للاث‬
‫وىٍلل للت بلل للى ال‪ٝ‬ل للى‪ ٥‬بإهل لله لل للِغ فل للي الىحل للىد مىحل للىد ح‪ُٝٝ‬ل للى بال هللا؛ ألن ‪١‬ل للل مل للا ظل للىاٍ‬
‫معخمذ وحىدٍ مىله؛ وملا ‪١‬لان وحلىدٍ ِاسٍلت ٘هلى فلي ح‪٢‬لم اإلاّلذوم‪٘ .‬الّلالم فلي ح‪ُٝٝ‬خله‬

‫‪46‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫ال وحللىد للله‪ .‬وؤ‪ٜ‬ص ل ى مللا ـللشح بلله فللي ‪٠‬خبلله ألاخللشي ‪ٜ‬ىللله "بهلله لللِغ فللي الىحللىد بال هللا‬
‫وآزاسٍ وال‪٣‬ىن ‪١‬له مً آزاسٍ‪ٌ".‬‬
‫ولّللل العللش فللي ِللذم ب‪ٜ‬بللا‪ ٥‬البللاحثحن ِلللى دساظللت َللزٍ الشظللالت ؤنهللا جللذوس حللى‪٥‬‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫مىلىُ خاؿ لُ‪ ٞ‬في مٍهشٍ وبن ‪١‬ان واظّا ِمُ‪ٝ‬ا في ح‪ُٝٝ‬خه‪ٌ.‬‬
‫ج‬
‫٘‪ٝ‬ذ ًخىَم الىاٌش ٘حها هٍشة ِلابشة ؤنهلا لِعلذ بال ج‪ٙ‬علحرٌا آلًلت ‪ٜ‬شآهُلت خاـلت هلي‬
‫آً للت الى للىس‪ ،‬وال ً للذس‪ ٟ‬ؤن الٕضال للى ‪ ٜ‬للذ لخ للق ف للي َ للزا الخ‪ٙ‬ع للحر ٘لع لل‪ٙ‬ت بؼ لشا‪ُٜ‬ت ‪١‬امل للت‪،‬‬
‫وهٍشٍ للت ف للي ح‪ ُٝٝ‬للت الىح للىد ‪٠‬م للا ًخف للىسٍ‪ .‬وٍخجل للى ف للي الشظ للالت بل للى حاه للب َ للزا اإلا ل ُ‬
‫لىهج‬
‫الزي التزمه الٕضالى في جإوٍله لل‪ٝ‬شآن وجخشٍجه للمّاوى الباوىُت ُ٘ه‪ ،‬وَلى اإلالىهج اللزي‬
‫ال ؼ لل‪ ٤‬ف للي ؤن اب للً ِشب للى ‪ ٜ‬للذ حا‪ ١‬للاٍ ُ٘ لله ِى للذما اظ للخخلق مزَب لله ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ى الف للىفى‬
‫َ‬
‫‪ ١‬للامال م للً واث‪ ٙ‬للت مح للذودة م للً آلاً للاث ال‪ٝ‬شآهُ للت‪ ،‬وبن ‪ ١‬للان الٕضال للى ‪ ٜ‬للذ ‪ٜ‬ف للش مىهج لله‬
‫الخ للإوٍلى ف للي ألأل للب ِل للى آلاً للاث الت للى ًم للشب ٘حه للا هللا ألامث للا‪ ٥‬للى للاط ف للي ح للحن ؤن اب للً‬
‫ِشبى التزم َزا اإلاىهج في ج‪ٙ‬عحرٍ لل‪ٝ‬شآن بشمخه"‪ٌ.‬‬
‫والشظ ل للالت مبح ل للث بؼ ل لشاقي بامخُ ل للاص‪ ،‬ظ ل للاب‪ ٞ‬للع ل للهشوسدي‪ً ،‬جّ ل للل ؤلام ل للام الٕضال ل للي‬
‫اإلااظغ الخ‪ُٝٝ‬ي لخل‪ ٤‬اإلاذسظت التي ججاوصث ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت اإلاؽاثُت بلى آ٘ا‪ ٛ‬ؤسحب‪ٌ.‬‬
‫‪ٜ‬عم ؤلامام الٕضالي سظالخه بلى زالزت ٘فى‪ٌ:٥‬‬
‫*ال‪ٙ‬فل ألاو‪ :٥‬فلي بُلان ؤن الىلىس الخل‪َ ٞ‬لى هللا حّلالى وؤن اظلم الىلىس لٕحلرٍ مجلاص‬
‫محن ال ح‪ُٝٝ‬ه له‪ٌ.‬‬
‫*ال‪ٙ‬ف للل الث للاوي‪ :‬ف للي بُ للان مث للا‪ ٥‬اإلاؽ لل‪٣‬اة واإلاف للباح والضحاح للت وال للجشة والضٍ للذ‬
‫والىاس‪ٌ.‬‬
‫ج‬
‫ال‪ٙ‬ف للل الثال للث‪ :‬ف للي مّن للي ‪ٜ‬ىل لله ِلُ لله الع للالم‪" :‬ؤن هلل ظ للبّحن حجاب للا م للً ه للىس‬
‫وٌلمت لى ‪٠‬ؽ‪ٙ‬ها ألحش‪ٜ‬ذ ظبحاث وحهه ‪١‬ل مً ؤدس‪٠‬ه بفشٍ"‪ٌ.‬‬
‫وظىٗ هحاو‪ ٥‬ؤن هدبحن اإلاىهج الفىفي ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلملام الٕضاللي اللزي وشحله ملً‬
‫ال‪ُٝ‬مت وألازش ال‪ٙ‬شٍذ‪ٌ.‬‬ ‫خال‪َ ٥‬زٍ الشظالت ّ‬

‫ٌ‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪47‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫التصىف الفلضفي لإلمام الغسالي من خالل كتاب مشكاة ألانىار‬


‫جبنل للي الشظل للالت ؤو ال‪٢‬خل للاب ِلل للى ج‪ٙ‬عل للحر آًل للت ‪ٜ‬شآهُل للت لهل للا م‪ٝ‬ل للام ‪٠‬بحل للر فل للي الىحل للذان‬
‫اإلاع لللم‪٘ ،‬ه للي م للْ آً للت ال‪٢‬شسل ل ي م للً مح‪٢‬م للاث ال‪٢‬خ للاب وآلاً للاث ألاَ للم وألا‪ ٜ‬للذط ِى للذ‬
‫اإلاعلللمحن (سٔللم ‪ٜ‬ذاظللت ال‪ٝ‬لشآن ‪١‬للله)‪ ،‬و‪٠‬ثحلر مللً الّلمللاء ج‪٣‬لمللىا ِللً خللىاؿ َللزٍ آلاًللت‬
‫الٍُّمت‪ ،‬واَخم اإلاخفى٘ت بها ؤ‪٠‬ثر مً ظىاَم‪ٌ.‬‬
‫لىس‬‫آلاًللت هللي الخامعللت والثالزللىن مللً ظللىسة الىللىس‪ٜ ،‬للا‪ ٥‬ظللبحاهه وحّللالى‪" :‬اللل ُله ُهل ُ‬
‫َ َ ُ‬ ‫اح ف للي ُص َح َ‬ ‫ف ل َلباح َ ْ ِاإلا ْ‬
‫ف ل َلب ُ‬ ‫َ َ َ َْ‬
‫ألا ْسك ث َم َث ل ُلل ُه للىسٍ َ‪٠‬م ْؽ ل َل‪٣‬اة ٘ َحه للا م ْ‬
‫اح للت‬ ‫اح للتٌ َ الضح‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِِ ِ‬ ‫اث و ِ‬ ‫الع للماو ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ََ َ َ‬
‫‪٠‬إن َهلا ‪ْ ١‬ى‪٠‬لب ُد ّ ِس يي ًُى‪ُ ٜ‬لذ ِملً ر َلج َشة م َب َاس‪٠‬للت َصٍْ ُخىهلت ال ؼ ْلش ِ‪ُٜ‬ت َوال ٔ ْشِبُلت ًَ‪ُ ٣‬لاد َصٍْ ُت َهلا ًُ ِطل ُيء‬
‫َ َ َ ُ ََ ْ ُ ُ َْ‬
‫ألا ْم َثل َ‬ ‫ُ ُ‬ ‫ََ ا ُ َْ‬ ‫ََ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ َ‬
‫لا‪٥‬‬ ‫ب الللله‬ ‫لىس ٍِ مللً ٌؽللاء ث وٍمل ِلش ٌ‬ ‫ولللى لللم جمععلله هللاس ث هللىس ِلللى هللىس و يهل ِلذي الللله ِلىل ِ‬
‫ُ َ‬
‫اط و َوالل ُه ِب‪ّ ِ ٣‬ل ش ْيء َِ ِلُم (‪ٌ." )35‬‬ ‫ِللى ِ‬
‫وفي آلاًت ‪٠‬الم ًِ مىلىُ ِلى ٔاًت ال‪ُٝ‬مت‪ًٝ ،‬ترب مً الشوحاهُلت‪ ،‬وَٕلىؿ فلي‬
‫الشحماهُ للت‪ ،‬وٍىجل للي ف للي ٘ل لل‪ ٤‬الجم للا‪ ٘ ،٥‬للالىىس مه للم ف للي ال‪ ٝ‬لشآن وف للي وح للذان اإلاع لللمحن‪،‬‬
‫وهللا ظبحاهه وحّالى ّبحن ‪ُٜ‬مت َزا الىىس‪ ،‬وخفق مىه ؤهلىاسا وحّلل ُ٘له ؤظلشاسا‪ ،‬ملً‬
‫ُ‬
‫هللىس خل‪ٝ‬للذ مىلله اإلاالث‪٢‬للت‪ ،‬بلللى هللىس الهذاًللت‪ ،‬و‪ٜ‬للذ ر‪٠‬للشث ‪١‬لمللت "هللىس" فللي ال‪ ٝ‬لشآن ال‪٢‬للشٍم‬
‫ؤ‪٠‬ثل للر مل للً ؤسبّل للحن مل للشة‪ ،‬لل للمً ظل للُا‪ٜ‬اث سبىل للذ الىل للىس باأللىَُل للت (هللا هل للىس العل للماواث‬
‫وألاسك) وبال‪ٝ‬شآن والخىساة وؤلاهجُلل‪ ،‬و‪٠‬لزل‪ ٤‬بمّلاوي ؤخلشي ‪٠‬ىلىس ال‪ٝ‬ملش وهلىس البفلش‪،‬‬
‫ؤالبللا مللا ً‪ٝ‬تللرن بمللذٍ (الٍلمللاث) لُ‪٣‬للىن حّبح لرا ِللً الاهخ‪ٝ‬للا‪ ٥‬مللً حللا‪ ٥‬بلللى حللا‪ ،٥‬مللً‬
‫مىث بلى حُاة‪ ،‬ومً لال‪ ٥‬بلى َذاًت‪ .‬و‪٠‬زل‪ ًِ ٤‬حا‪ ٥‬اإلاامىحن ًىم ال‪ُٝ‬املت وهلىسَم‪،‬‬
‫وبؼشا‪ ٛ‬ألاسك بىىس سبها‪ ،‬وآلاًاث في العُا‪٠ ٛ‬ثحرة‪ٌ.‬‬
‫و‪ ٜ‬للذ ر‪ ٠‬للش ـ للىفي ؤلاؼ لشا‪ ٛ‬الع للهشوسدي الى للىس‪ ٝ٘ ،‬للا‪ ٥‬ؤن (”ٌهللا ه للىس ألاه للىاس”ٌوم للً‬
‫َ‬
‫هىسٍ خشحذ ؤهىاس ؤخشي هي ِماد الّاإلاحن اإلاادي و الشو ي‪ .‬وؤن “الىلىس ؤلابلذاعي ألاو‪ٌ”ٌ٥‬‬
‫٘للاك ِللً “ألاو‪ٌ”ٌ٥‬الللزي َللى ”ٌهللا‪/‬هللىس ألاهللىاس”ٌوجفللذس ِللً الىللىس ؤلابللذاعي ألاو‪ ٥‬ؤهللىاس‬
‫وىلُت ظماَا “ال‪ٝ‬ىاَش الّالُت”ٌوجفلذس ِلً َلزٍ ال‪ٝ‬لىاَش ؤهلىاس ِشللُت ظلماَا “ؤسبلاب‬
‫ج‬
‫ألاه للىاُ ”ٌج للذًش ؼ للاون الّ للالم الخس ل ي‪٘ ،‬ابخ للذُ الع للهشوسدي ِاإلا للا ؤوظ للي ب للحن الّ للاإلاحن‬

‫‪48‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬
‫ّ‬ ‫ُ‬
‫الّ‪ٝ‬لللي “هللىس ألاهللىاس”ٌوالّللالم اإلاللادي ظللماٍ “ِللالم البللرص ”ٌو”ِللالم اإلاثللل”ٌوَللى مللا ًللز‪٠‬ش‬
‫ُ‬
‫بّالم اإلاثل ِىذ ؤ٘الوى ٌن‪ٌ.)"40‬‬
‫ول‪٢‬للً ؤلامللام الٕضالللي ‪١‬للان للله مللىهج ِلمللي مخخللل‪ ٚ‬فللي معللإلت الىللىس‪ ،‬لللمً معللاس‬
‫حذدٍ في ال‪ٙ‬فى‪ ٥‬الثالزت‪ .‬وهشجبها ِلى الىحىس الخالي‪:‬‬
‫ؤ‪ /‬مشاجللب الىللىس ِىللذ ؤلامللام الٕضالللي‪ً :‬للشي ؤلامللام الٕضالللي ؤن الىللىس ؤهللىاس ومشاجللب‪،‬‬
‫وٍمحلز فلي رللل‪ ٤‬وَّللل حتلى ًفللل بللى ح‪ُٝٝ‬لت هللي ِىلىان ٘فلله ألاو‪( :٥‬فللي بُلان ؤن الىللىس‬
‫مجاص محن ال ح‪ُٝٝ‬ه له)‪ٌ .‬‬ ‫الخ‪َ ٞ‬ى هللا حّالى وؤن اظم الىىس لٕحرٍ ٌ‬
‫وملخ للق م للا ر‪ ٠‬للشٍ ِ للً مشاج للب الى للىس ل للذي الّام للت والخاـ للت والخاـ للت وخاـ للت‬
‫الخاـت‪ ،‬وج‪ٝ‬عُمه الخس ي وما ًشي به البفش‪ ،‬والّ‪ٝ‬لي وَى ؤِللى‪٘ ،‬هلى فلي ‪ٜ‬ىلله‪ " :‬ألن‬
‫الىللىس ِبللاسة ِمللا ًى‪٢‬ؽلل‪ ٚ‬بلله ألاؼللُاء‪ ،‬وؤِلللى مىلله مللا ًى‪٢‬ؽلل‪ ٚ‬بلله وللله‪ ،‬وؤِلللى مىلله مللا‬
‫ًى‪٢‬ؽ‪ ٚ‬به وله ومىه"‪ٌ.‬‬
‫٘هي مشاجب محذدة‪ ،‬ججّل ألاهىس ًفذس بّملها ِلً بّلن‪ ،‬جفلاِذا حتلى جفلل‬
‫بلى هىس َى اإلافذس الزي ًى‪٢‬ؽ‪ ٚ‬به وله ومىه‪ٌ.‬‬
‫و‪١‬للل َللزٍ ألاهللىاس مفللذسَا الىللىس ؤلالهللي‪٘ ،‬هللى الىللىس الخلل‪ ٞ‬والخ‪ُٝٝ‬للي وألاوحللذ‪،‬‬
‫ومللا ِللذاٍ ميعللىب بلُلله‪ ،‬وـللادس ِىلله‪ ،‬وخالللْ للله‪ .‬وٍجّللل لؤلهللىاس سظللما بللذٌّا ومثللاال‬
‫حمللُال ُ٘‪ ٝ‬لى‪ ":٥‬ألاهللىاس العللماوٍت التللى ج‪ٝ‬خ للبغ مجهللا ألاهللىاس ألاسلللُت بن ‪١‬للان لهللا جشجِ للب‬
‫بحُث ً‪ٝ‬خلبغ بّملها ملً بّلن‪٘ ،‬لاأل‪ٜ‬شب ملً اإلاىبلْ ألاو‪ ٥‬ؤوللى باظلم الىلىس ألهله ؤِللى‬
‫ج‬ ‫سجبت‪ .‬ومثا‪ ٥‬جشجِبه في ِالم الؽهادة ال جذس‪٠‬ه بال بلإن ً‪ٙ‬لشك ل ُ‬
‫لىء ال‪ٝ‬ملش داخلال فلي ‪١‬لىة‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫بِللذ وا‪ّٜ‬للا ِلللى م لشآة مىفللىبت ِلللى حللاثي‪ ،‬ومىّ‪٢‬عللا مجهللا بلللى حللاثي آخللش فللي م‪ٝ‬ابلتهللا‪،‬‬
‫ج‬
‫ز للم مىّى‪ ٙ‬للا مى لله بل للى ألاسك بحُ للث حع للدىحر ألاسك‪٘ .‬إه للذ حّل للم ؤن م للا ِل للى ألاسك م للً‬
‫الىلىس جلابْ إلالا ِلللى الخلاثي‪ ،‬وملا ِلللى الخلاثي جلابْ إلالا ِلللى اإلالشآة‪ ،‬وملا ِلللى اإلالشآة جلابْ إلاللا‬
‫ف للي ال‪ٝ‬م للش‪ ،‬وم للا ف للي ال‪ٝ‬م للش ج للابْ إلا للا ف للي الؽ للمغ‪ :‬بر مجه للا ٌؽ للش‪ ٛ‬الى للىس ِل للى ال‪ٝ‬م للش‪ .‬وَ للزٍ‬
‫ألاهللىاس ألاسبّللت مشجبللت بّمللها ؤِلللى وؤ‪٠‬مللل مللً بّللن‪ ،‬ول‪٣‬للل واحللذ م‪ٝ‬للام مّلللىم ودسحللت‬
‫خاـت ال ًخّذاَا‪ٌ".‬‬

‫ٌ‬
‫‪10‬‬
‫ًِ م‪ٝ‬ا‪ :٥‬العهشوسدي ِالم ؼاب ‪ٜ‬خله ال‪ٝٙ‬هاء ٍُٔا مً ِلمه"‪ ،‬ل‪ٙ‬اسط ظّذ [وؽش في ‪ ،02/08/2044‬الّذد‪،9636 :‬‬
‫ؿ(‪ )44‬حشٍذة الّشب]‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪49‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫٘للالىىس مخفللل بللالىىس‪ ،‬بللحن هللىس حسل ي وآخللش مّىللىي‪ ،‬ول‪٢‬للً الىللىس الللزي بلله ً‪ٝ‬للىم‬
‫‪١‬ل هىس‪َ ،‬ى هللا ظبحاهه‪ ،‬وَىا ٌٕىؿ ؤلاملام الٕضاللي فلي احلىا‪ ٥‬ؤَلل ال‪٢‬ؽل‪ ٚ‬واللزو‪،ٛ‬‬
‫سٔللم بؼللاسجه الذاثمللت فللي ‪٠‬خابلله بلللى ؤهلله ًللىحض بًجللاصا وٍخخفللش اخخفللاسا مشاِللاة إلاعللخىي‬
‫بدسا‪ ٟ‬ظ للاثله ال للزي خ للي بلُ لله الشظ للالت‪ ُٝ٘ ،‬للى‪ ٘ ":٥‬للةرا ِش٘ للذ َ للزا ٘ للاِلم ؤن ؤسب للاب‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫البفاثش ما سؤوا ؼِئا بال سؤوا هللا مّه‪ .‬وسبما صاد ِلى َزا بّمهم ٘‪ٝ‬ا‪" ٥‬ملا سؤًلذ ؼلِئا‬
‫بال سؤًذ هللا ‪ٜ‬بله" ألن مجهم ملً ًلشي ألاؼلُاء بله‪ .‬وملجهم ملً ًلشي ألاؼلُاء ٘حلراٍ باألؼلُاء‪.‬‬
‫َ‬ ‫ُ َ‬ ‫َ‬ ‫َََ ْ َ ْ‬
‫‪ِ ٚ‬ب َشِّب َ‪ ٤‬ؤه ُه ِلى ‪ّ ِ ١‬ل شل ْيء ؼ ِلهُذ؛ ؛ وبللى الثلاوى‬ ‫وبلى ألاو‪ ٥‬ؤلاؼاسة ب‪ٝ‬ىله حّالى‪{ :‬ؤولم ً‪ِ ٢‬‬
‫َ ُ‬
‫{ظل للج ِر ِيه ْم َآًا ِج َىل للا ِفل للي آلا٘ل للا‪ٛ‬؛ ٘ل للاألو‪ ٥‬ـل للاحب مؽل للاَذة‪ٌ ،‬والثل للاوى‬ ‫ؤلاؼل للاسة ب‪ٝ‬ىلل لله حّل للالى‪:‬‬
‫ـللاحب الاظللخذال‪ِ ٥‬لُلله‪ :‬وألاو‪ ٥‬دسحللت الفللذً‪ٝ‬حن‪ ،‬والثللاوى دسحللت الّلمللاء الشاسللخحن‪،‬‬
‫ولِغ بّذَم بال دسحت الٕا٘لحن اإلاذجىبحن‪ٌ.‬‬
‫ب‪ /‬الىللىس الٍللاَش‪ ،‬والىللىس ؤلالهللي‪ً :‬محللز ؤلامللام الٕضالللي بللحن ٘للشِحن مللً الىللىس‪ :‬هللىس‬
‫ٌاَش به ًلشي البفلش‪ ،‬وهلىس هللا اللزي بله جلشي البفلحرة‪ ،‬و‪٠‬ملا ًملىح الىلىس الٍلاَش للّلحن‬
‫والبفللش ‪ٜ‬للذسة ؤلابفللاس‪٘ ،‬للةن البفللحرة حعللخمذ مللً الىللىس ؤلالهللي مللا بلله جٍهللش لهللا ألاؼللُاء‪.‬‬
‫ُ٘‪ٝ‬للى‪ ٥‬ؼللاسحا رللل‪" :٤‬وبر ‪ٜ‬للذ ِش٘للذ َللزا ٘للاِلم ؤهلله ‪٠‬مللا ٌهللش ‪١‬للل ش ل ىء للبفللش بللالىىس‬
‫الٍاَش‪ٝ٘ ،‬ذ ٌهش ‪١‬ل ش ىء للبفحرة الباوىت باهلل‪٘ .‬هى مْ ‪١‬ل ش ىء ال ً‪ٙ‬اس‪ٜ‬له زلم ًٍهلش‬
‫‪ ١‬للل ش ل ىء‪٠ ،‬م للا ؤن الى للىس م للْ ‪ ١‬للل ش ل ىء وب لله ًٍه للش‪ .‬ول‪ ٢‬للً ب‪ ٝ‬للى َ للا َى للا ج‪ ٙ‬للاوث‪ :‬وَ للى ؤن‬
‫الىللىس الٍللاَش ًُ َخفللىس ؤن ٌُٕللب بٕللشوب الؽللمغ وٍذجللب حتللى ًٍهللش الٍللل‪ ،‬وؤمللا الىللىس‬
‫ؤلالهى الزي به ًٍهش ‪١‬ل ش ىء‪ ،‬ال ًخفلىس ُٔبخله بلل ٌعلخحُل حٕحلرٍ‪ُ٘ .‬ب‪ٝ‬لى ملْ ألاؼلُاء‬
‫ج‬
‫داثم ل للا‪ ٘ ،‬ل للاه‪ٝ‬ىْ وشٍ ل لل‪ ٞ‬الاظ ل للخذال‪ ٥‬بالخ‪ٙ‬ش‪ ٜ‬ل للت‪ .‬ول ل لى جف ل ل ّلىس ُٔبخ ل لله النه ل للذث الع ل للماواث‬
‫وألاسك‪ .‬وألدس‪ ٟ‬به مً الخ‪ٙ‬ش‪ٜ‬ت ما ًمىش مّه بلى اإلاّش٘ت بما به ٌهلشث ألاؼلُاء‪ .‬ول‪٢‬لً‬
‫م للا حع للاوث ألاؼ للُاء ‪١‬له للا ِل للى هم للي واح للذ ف للي الؽ للهادة ِل للى وحذاهُ للت خال‪ٝ‬ه للا اسج‪ ٙ‬للْ‬
‫الخ‪ٙ‬شٍ‪ ٞ‬وخ‪ٙ‬ى الىشٍ‪ :ٞ‬بر الىشٍ‪ ٞ‬الٍاَش مّش٘ت ألاؼُاء باألللذاد؛ ٘ملا ال للذ لله ٌوال‬
‫حٕحر له جدؽابه ألاحىا‪ ٥‬فلي الؽلهادة لله‪٘ .‬لال ًبّلذ ؤن ًخ‪ٙ‬لى وٍ‪٣‬لىن خ‪ٙ‬لائٍ لؽلذة حالثله‬
‫والٕ‪ٙ‬لت ِىه إلؼشا‪ ٛ‬لُاثه‪٘ .‬عبحان مً اخخ‪ٙ‬لى ِلً الخلل‪ ٞ‬لؽلذة ٌهلىسٍ‪ ،‬واحخجلب‬
‫ِجهم إلؼشا‪ ٛ‬هىسٍ"‪ٌ.‬‬

‫‪50‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫وؤهللذ جللشي ‪ُ٠‬لل‪ ٚ‬حّللل إلاللا ؤساد مللً مّنللى الىللىس جىـللُ‪ٙ‬ا د‪ُٜٝ‬للا واظللخذالال ح‪ُ٢‬مللا‬
‫بالؽللمغ وال‪ٝ‬مللش ومللا دونهمللا‪ ،‬و‪ُ٠‬لل‪ ٚ‬حّللل جالصمللا بللحن مللا ًلشاٍ البفللش ومللا جلشاٍ البفللحرة‬
‫بحُ للث برا ص للر ؤن الى للىس ؤٌه للش للبف للش م للا ؤٌه للش‪٘ ،‬األ‪ ُ٠‬للذ ؤن الى للىس الشب للاوي ؤ‪ ٜ‬للذس ِل للى‬
‫رل‪ ٤‬في البفاثش‪.‬‬
‫ج‪ /‬بللحن هللىس الّللحن وهللىس الّ‪ٝ‬للل‪ٌّ :‬لللي ؤلامللام الٕضالللي مللً م‪٣‬اهللت الّ‪ٝ‬للل فللي مؽلل‪٣‬اة‬
‫ألاهلىاس‪ ،‬وَّىللي لّللىالم اإلاّنللى ‪ُٜ‬ملت ؤٍِللم ملً ِللىالم اإلاللادة‪٘ ،‬الشوحاهُللت ِىللذٍ ؤٍِللم‬
‫مللً الجعللمُت‪ ،‬والّ‪ٝ‬للل ؤٍِللم مللً الخللىاط‪ًٝ ،‬للى‪ ٥‬فللي ـللذد رللل‪٘ "" :٤‬للةن ألاحعللام فللي‬
‫ؤـلللها ؤخللغ ؤ‪ٜ‬عللام اإلاىحللىداث‪ ،‬وألالللىان وألاؼلل‪٣‬ا‪ ٥‬مللً ؤخللغ ؤِشاللله"‪٘ .‬الجعللم فللي‬
‫هٍش الٕضالي ؤخغ مىحىداث الّالم‪ ،‬واللىن والؽ‪٣‬ل وما جذس‪٠‬له الّلحن ؤخلغ ألاِلشاك‬
‫الٍللاَشة‪ ،‬وَ للى ل للزل‪ً ٤‬ب للرس ظ للبب ج‪ٝ‬ذًم لله لىللىس الّ‪ ٝ‬للل ِل للى ه للىس البف للش‪ ،‬وللّ‪ ٝ‬للل ِل للى‬
‫الّ للحن الخع للُت‪ ُٝ٘ ،‬للى‪ " :٥‬بِل للم ؤن ه للىس بف للش الّ للحن مىظ للىم ب للإهىاُ الى‪ٝ‬ف للان‪٘ :‬ةه لله‬
‫ًبف للش ٔح للرٍ وال ًبف للش ه‪ٙ‬ع لله‪ ،‬وال ًبف للش م للا َب ُّ للذ مى لله‪ ،‬وال ًبف للش م للا َ للى وساء حج للاب‪.‬‬
‫وٍبف للش مل للً ألاؼل للُاء ٌاَشَ للا دون باوجهل للا؛ وٍبفل للش م للً اإلاىحل للىداث بّمل للها دون ‪١‬لهل للا‪.‬‬
‫ج‬
‫وٍبفللش ؤؼللُاء مخىاَُللت وال ًبفللش مللا ال نهاًللت للله‪ .‬وَٕلللي ‪٠‬ثح لرا فللي ببفللاسٍ‪٘ :‬حللري ال‪٢‬بحللر‬
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬
‫ـللٕحرا والبُّللذ ‪ٜ‬شٍبللا والعللا‪ ً٠‬مخحش‪١‬للا واإلاخحللش‪ ٟ‬ظللا‪٠‬ىا‪٘ .‬هللزٍ ظللبْ ه‪ٝ‬للاثق ال ج‪ٙ‬للاس‪ٛ‬‬
‫الّللحن الٍللاَشة‪٘ .‬للةن ‪١‬للان فللي ألاِللحن ِللحن مجزَللت ِللً َللزٍ الى‪ٝ‬للاثق ‪١‬لهللا ٘لُللذ ؼللّشي‬
‫َل َى ؤولى باظم الىىس ؤم ال؟ٌ‬
‫ٌّب للر ِجه للا ج للاسة‬ ‫واِل للم ؤن ف للي ‪ٜ‬ل للب ؤلاوع للان ُِى ل جلا َ للزٍ ـ لل‪ٙ‬ت ‪٠‬ماله للا وه للى الت للى ّ‬
‫ودُ ِىل لل‪ ٤‬الّبل للاساث ٘ةنهل للا برا ‪٠‬ثل للرث‬ ‫بالّ‪ٝ‬ل للل وجل للا ة بل للالشوح وجل للا ة بل للالى‪ٙ‬غ ؤلاوعل للاوى‪ْ .‬‬
‫س‬ ‫س‬
‫ؤوَ َمذ ِىذ لُّ‪ ٚ‬البفحرة ‪٠‬ثلرة اإلاّلاوى‪٘ .‬ىّنلى بله اإلاّنلى اللزي ًخمحلز بله الّا‪ٜ‬لل ِلً‬ ‫َ‬
‫ج‬
‫الى‪ٙ‬ل للل الشلل للُْ وِل للً البهُمل للت وِل للً اإلاجىل للىن‪ .‬وليعل للمه "ِ‪ٝ‬ل للال" مخابّل للت للجمهل للىس فل للي‬
‫ج‬
‫الاـ للىالح ٘ى‪ ٝ‬للى‪ :ٌ٥‬الّ‪ ٝ‬للل ؤول للى ب للإن ٌع للمى ه للىسا م للً الّ للحن الٍ للاَشة لشّ٘ للت ‪ ٜ‬للذسٍ ِ للً‬
‫الى‪ ٝ‬للاثق الع للبْ وَ للى ؤن الّ للحن ال جبف للش ه‪ٙ‬ع للها‪ ،‬والّ‪ ٝ‬للل ً للذس‪ٔ ٟ‬ح للرٍ وٍ للذس‪ ٟ‬ـ لل‪ٙ‬اث‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫ه‪ٙ‬عه‪ :‬بر ًذس‪ ٟ‬ه‪ٙ‬عه ِاإلاا و‪ٜ‬اد ٌسا‪ :‬وٍذس‪ِ ٟ‬لم ه‪ٙ‬عه وٍذس‪ِ ٟ‬لمه بّلم ه‪ٙ‬عله وِلمله‬
‫بّلم لله بّل للم ه‪ٙ‬ع لله بل للى ٔح للر نهاً للت‪ .‬وَ للزٍ خاـ للُت ال جخف للىس إلا للا ً للذس‪ ٟ‬بأل للت ألاحع للام‪.‬‬
‫ووساءٍ ظ ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للش ًىل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للى‪ ٥‬ؼل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للشحه‪.‬‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪51‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫والثللاوى ؤن الّللحن ال جبفللش مللا َب ُّللذ مجهللا وال مللا ‪ٜ‬للشب مجهللا ‪ٜ‬شبللا م‪ٙ‬شوللا‪ :‬والّ‪ٝ‬للل ٌع للخىي‬
‫ج‬
‫ِىللذٍ ال‪ٝ‬شٍللب والبُّللذ‪ٌّ :‬للشج فللي جىشٍ‪ٙ‬للت بلللى ؤِلللى العللماواث س‪ُٜ‬للا‪ ،‬وٍجللز‪ ٥‬فللي لخٍللت بلللى‬
‫ج‬
‫َىٍللا‪ .‬بللل برا ح‪ٝ‬للذ الخ‪ٝ‬للاث‪٢ً ٞ‬ؽلل‪ ٚ‬ؤهلله مجللزٍ ِللً ؤن جحللىم بجىبللاث‬ ‫جخللىم ألاسلللحن ِ‬
‫‪ٜ‬ذظ لله مّ للاوى ال‪ ٝ‬للشب والبّ للذ ال للزي ً‪ ٙ‬للشك ب للحن ألاحع للام‪٘ ،‬ةه لله ؤهم للىرج م للً ه للىس هللا‬
‫حّ ل ل للالى‪ ،‬وال ًخل ل ل للى ألاهم ل ل للىرج ِ ل ل للً محا‪ ١‬ل ل للاة‪ ،‬وبن ‪ ١‬ل ل للان ال ًشق ل ل للي بل ل ل للى رسوة اإلاع ل ل للاواة‪...‬‬
‫الثالللث ؤن الّللحن ال جللذس‪ ٟ‬مللا وساء الدجللب‪ ،‬والّ‪ٝ‬للل ًخفللشٗ فللي الّللشػ وال‪٢‬شس ل ى ومللا‬
‫وساء حج للب الع للماواث‪ ،‬وف للي اإلا للؤل ألاِل للى واإلال‪ ٣‬للىث ألاظ للمى ‪٠‬خف للش٘ه ف للي ِاإلا لله الخ للاؿ‬
‫وممل‪٢‬خه ال‪ٝ‬شٍبت ؤِنى بذهه الخاؿ‪ .‬بل الخ‪ٝ‬اث‪١ ٞ‬لها ال جحخجب ًِ الّ‪ٝ‬ل"‪ٌ.‬‬
‫وَللزٍ الجزِللت الّ‪ٝ‬الهُللت جبللحن مللذي حّملل‪ ٞ‬الٕضالللي ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي‪٘ ،‬هللى لللم ًىجللشٗ بلللى‬
‫الخح‪ٝ‬ح ل للر م ل للً الّ‪ ٝ‬ل للل ؤم ل للام الى‪ ٝ‬ل للل ‪٠‬م ل للا ً‪ ّٙ‬ل للل ٔ ل للالة ال‪ٝٙ‬ه ل للاء‪ ،‬وال ٘ف ل للل الّ‪ ٝ‬ل للل ِ ل للً‬
‫الشوحاهُ للت ‪٠‬م للا ّ٘ للل ال‪ٙ‬الظ لل‪ٙ‬ت اإلا للادًىن ف للي مشاح للل الح‪ ٝ‬للت‪ ،‬وه للي مىاصه للت ه للادسة وسئٍ للت‬
‫٘شٍذة بح‪.ٞ‬‬
‫د‪ /‬الى للىس الخ‪ ُٝٝ‬للي‪ ،‬والى للىس اإلاج للاصي‪ ً :‬للشي ؤلام للام الٕضال للي ؤن ه للىس هللا َ للى الى للىس‬
‫ألاو‪ ،٥‬وؤن هللا َللى الىللىس الخلل‪ ،ٞ‬و‪١‬للل مللا ِللذا رللل‪ ٤‬مللً ؤهللىاس ٘هللى مجللاصي ٔحللر ح‪ُٝٝ‬للي‪،‬‬
‫لزل‪ًٝ ٤‬ى‪" :٥‬بل ؤ‪ٜ‬ى‪ ٥‬وال ؤبالى بن اظم الىىس ِلى ٔحر الىىس ألاو‪ ٥‬مجاص محلن‪ :‬بر ‪١‬لل‬
‫ما ظىاٍ برا اِخبر راجه ٘هى في راجه مً حُث راجه ال هىس له‪ :‬بل هىساهِخه معلخّاسة ملً‬
‫ٔح للرٍ وال ‪ ٜ‬ل ٌىام لىىساهِخ لله اإلاع للخّاسة بى‪ٙ‬ع للها‪ ،‬ب للل بٕحرَ للا‪ .‬ووع للبت اإلاع للخّاس بل للى اإلاع للخّحر‬
‫مجاص محن"‪ٌ.‬‬
‫وَللزا ً‪ٙ‬للخح ِلللى هٍللشة وحىدًللت ‪١‬املللت‪٘ ،‬للالٕضالي ًجّللل ‪١‬للل شل يء و‪١‬للل هللىس محا‪ٜ‬للا‬
‫مىللذزشا ومجللشد ـللىسة مجاصٍللت ؤمللام الىللىس ألاو‪ ،٥‬وَللزا رو‪ ٛ‬ـللىفي سُ٘للْ ًلخ‪ٝ‬للي ُ٘لله مللْ‬
‫العهشوسدي في ه‪ٝ‬اه‪ ،‬ول‪٢‬ىه ج‪ٙ‬فُله ؤد‪ ٛ‬وؤحلى وبشَاهه ؤ‪ٜ‬ىي وؤد‪.٥‬‬
‫ٌ‪ /‬الىح ل للىد ِى ل للذ ؤلام ل للام الٕضال ل للي‪ :‬اإلاع ل للإلت الىحىدً ل للت م ل للً اإلاع ل للاثل الهام ل للت ف ل للي‬
‫ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت بللل هللي مللً ؤمهللاث ال‪ٝ‬مللاًا‪ ،‬مىللز ظلل‪ٝ‬شاه بلللى دً‪٣‬للاسث ِمُللذ اإلاللىهج الىحللىدي‬
‫الخللذًث‪ ،‬و‪٠‬للزل‪ِ ٤‬للً ال‪ٙ‬الظلل‪ٙ‬ت اإلاعلللمحن ‪١‬ال‪٢‬ىللذي وابللً ظللِىا وابللً سؼللذ‪ ،‬بللحن باحللث‬
‫ف للي ح‪ ُٝٝ‬للت ِىف للشٍ ومف للذسٍ ألاو‪ ،٥‬وب للحن مدع للاثل ِ للً وبُّخ لله‪ ،‬ومع للخٕش‪ ٛ‬ف للي ٘ه للم‬
‫مّاهُلله‪ ،‬ول‪٢‬للً للىحللىد لللذي الٕضالللي لللمً هٍللشٍ الفللىفي ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي فللي مؽلل‪٣‬اة الاهللىاس‬

‫‪52‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫ـللىسة ؤخللشي ججّللله ٔحللر مىحللىد ح‪ُٝٝ‬للت‪ ،‬بللل وحللىدٍ وحللىد مجللاص ووعللبت بلللى مىحللذٍ‪،‬‬
‫وهللا َى الىحىد ال‪ّٙ‬لي ألاوحذ‪ ،‬وال وحىد بال هلل ولىحهه‪ ،‬والباقي ال وحىد لله ح‪ُٝٝ‬لت‪،‬‬
‫بل َى مجشد اظخّاسة‪ُٝ٘ ،‬ى‪ " :٥‬والىحىد ًى‪ٝ‬عم بلى ملا للصل ىء ملً راجله وبللى مالله ملً‬
‫ٔحللرٍ‪ .‬وماللله الىحللىد مللً ٔحللرٍ ٘ىحللىدٍ معللخّاس ال ‪ٜ‬للىام للله بى‪ٙ‬علله‪ .‬بللل ُ‬
‫اِخبللر راجلله مللً‬
‫حُللث راجلله ٘هللى ِللذم محللن‪ .‬وبهمللا َللى مىحللىد مللً حُللث وعللبخه بلللى ٔحللرٍ‪ ،‬ورللل‪ ٤‬لللِغ‬
‫بىح للىد ح‪ ُٝٝ‬للى ‪٠‬م للا ِش٘ للذ ف للي مث للا‪ ٥‬اظ للخّاسة الث للىب وال ِٕ َن للى‪ ٘ .‬للاإلاىحىد الخ لل‪ َ ٞ‬للى هللا‬
‫حّالى‪٠ ،‬ما ؤن الىىس الخ‪َ ٞ‬ى هللا حّالى"‪ٌ.‬‬
‫وَللى اظللخٕشا‪ ٛ‬فللي الخللا‪ ٥‬الفللىفي ؤللش‪ ٛ‬فللي بحللاس الجللال‪ ٥‬والجمللا‪ .٥‬ول‪٢‬ىلله ؤًمللا‬
‫‪٠‬الم ًىؼ‪ ٤‬ؤن ً‪٣‬ىن جفشٍحا بىحذة الىحىد بن لم ً‪ ً٢‬جفشٍحا بزل‪ٌ.٤‬‬
‫وَللى هٍللش ـللىفي ً‪ٝ‬تللرب مللً مّللاوي ال‪ٙ‬ىللاء فللي هللا‪ ،‬لُفللل بلللى مّنللى ؤن ‪١‬للل ش ل يء‬
‫٘للان ومىخلله فللي الخ‪ُٝٝ‬للت وال وحللىد بال هلل‪ ، ،‬وَللى ؤًمللا هللىُ مللً ال‪ٝ‬للى‪ ٥‬بىحللذة الىحللىد‬
‫ِلى ؤحذ مّاهحها‪ ،‬ولجن ؤه‪٢‬ش مّنى آخش لزل‪٠ ٤‬ما ظيبحن ُ٘ما ًلي‪ٌ.‬‬
‫و‪ /‬ؤلامل للام الٕضالل للي ووحل للذة الىحل للىد‪ :‬جمثل للل معل للإلت وحل للذة الىحل للىد مل للً ال‪ٝ‬مل للاًا‬
‫الجذلُ للت ال‪٢‬ب للري الت للي س‪ ٠‬للض ِلحه للا اإلاعدؽ للش‪ٜ‬ىن ف للي دساظ للتهم للخف للىٗ ؤلاظ للالمي‪ ،‬و‪ ٜ‬للذ‬
‫ومبحن إلاّاهحها‪ ،‬وبلحن ها‪ٜ‬لذ ‪ٜ‬لادح‪ ،‬حتلى ؤنهلا حّخبلر‬ ‫ؤ٘الذ ال‪٢‬ثحر مً الخبر بحن م‪ٙ‬عش لها ّ‬
‫لذي ‪٠‬ثحر مً ؤَل ال‪ٝٙ‬ه هىِا مً الضهذ‪ٜ‬ت‪ٌ.‬‬
‫و‪ ٜ‬للذ ج للإزش ب‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت وح للذة الىح للىد الت للي حّن للي ُ٘م للا حّىُ لله ؤن "هللا َ للى الىح للىد‬
‫الخلل‪ ،"ٞ‬وؤهلله ـللىسة َللزا الّللالم اإلاخلللى‪ ،ٛ‬ؤمللا مجمللىُ اإلاٍللاَش اإلاادًللت ٘هللي حّلللً ِللً‬
‫وح للىد هللا دون ؤن ً‪ ٣‬للىن له للا وح للىد ‪ ٜ‬للاثم بزاج لله"‪ ،‬و‪ ٜ‬للذ ‪ ١‬للان م للً اإلايع للىبحن بل للى َ للزٍ‬
‫ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت الخالج وابً ِشبي‪ ،‬وابً ال‪ٙ‬اسك وابً ظبّحن والخلمعاوي‪ٌ .‬‬
‫وال‪ ٝ‬للى‪ ٥‬بىح للذة الىح للىد م للزَب ٘لع لل‪ٙ‬ي ‪ ٜ‬للذًم ًشح للْ بل للى ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت ألا٘الوىهُ للت‬
‫اإلاحذز للت و٘لع لل‪ٙ‬ت ال للشوا‪ُٜ‬حن‪ ،‬و‪ ٠‬للزل‪ ٤‬بل للى ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت الهىذوظ للُت‪ ،‬وله للا وح للىد ف للي ال‪ ٢ٙ‬للش‬
‫الحهىدي واإلاعُ ي وفي ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت ال‪ٙ‬اسظُت بيعلب مخ‪ٙ‬اوجلت‪ ،‬و‪ٜ‬لذ اهدؽلشث فلي ؤوسوبلا ِللى‬
‫ً ل للذ ال‪ُٙ‬لع ل للىٗ الالَ ل للىحي ؤلاًى ل للالي حىسداه ل للى بشوه ل للى (ال ل للزي اِذمخ ل لله ال‪٢‬ىِع ل للت بتهم ل للت‬
‫الهشو‪ٝ‬للت) وال‪ُٙ‬لعللىٗ الهىلىللذي ال‪٢‬بحللر بللاسو ظللبِىىصا وَللى مللً ؤَللم ٘الظلل‪ٙ‬ت ال‪ٝ‬للشن‬
‫‪ٌٌ .47‬‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪53‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫وف للي ظ للُا‪ ٛ‬وح للذة الىح للىد ً‪ ٝ‬للى‪ ٥‬م للي ال للذًً ب للً ِشب للي (اإلاخ للىفي ظ للىت ‪َ638‬ل لل‪/‬‬
‫لحن‬ ‫‪4240‬م) فللي مىالللْ مخخل‪ٙ‬للت‪٘" :‬للةن الّللا ٗ مللً ًللشي الخلل‪ ٞ‬فللي ‪١‬للل ش ل يء‪ ،‬بللل ً لشاٍ ِل َ‬
‫س‬
‫‪١‬ل ش يء"‪.‬‬
‫‪١‬ل مّبلىد مجللى للخل‪ٌُّ ٞ‬بلذ ُ٘له‪ ،‬وللزل‪ ٤‬ظلمىٍ ‪١‬لهلم‬ ‫"والّاسٗ اإلا‪٢‬مل مً سؤي ّ‬
‫ج‬
‫بلها مْ اظمه الخاؿ بذجش ؤو رجش ؤو حُىان ؤو بوعان ؤو ‪١‬ى‪٠‬ب ؤو مل‪ٌ..."٤‬‬
‫ؽهذ‪ ،‬وال جذس‪٠‬ه ألابفاس‪ ،‬بلل َلى ًلذس‪ ٟ‬ألابفلاس‪ ،‬للى‪ٙ‬له وظلشٍاهه فلي ؤُِلان‬ ‫"وال ٌُ َ‬
‫ألاؼُاء"ٌ‬
‫"٘ للةن ِؤلال لله اإلاىل لل‪ ٞ‬ال ٌع للّه ش ل يء‪ ،‬أله لله ِ للحن ألاؼ للُاء وِ للحن ه‪ٙ‬ع لله‪ ،‬والص ل يء ال‬
‫ً‪ٝ‬ا‪ُ٘ ٥‬ه‪ٌ :‬عْ ه‪ٙ‬عه وال الٌعّها‪٘ ،‬ا٘هم"‪ٌ.‬‬
‫وح للحن ه‪ٝ‬ل لشؤ للٕضال للي ف للي مؽ لل‪٣‬اة ألاه للىاس هج للذ ؤه لله ًى‪ ٙ‬للي الىح للىد للىح للىد‪ ،‬وٍف للله‬
‫بمىحذ الىحىد‪٘ ،‬هى اإلاىحىد الخ‪ُٝٝ‬ي وما جب‪ٝ‬لى َالل‪ ٤‬ؤصال وؤبلذا‪ ،‬ول‪٢‬ىله ًىحلى فلي رلل‪٤‬‬
‫مى للى خاـللا حللحن ًشبىلله بأًللت مللً ال‪ٝ‬لشآن ال‪٢‬للشٍم‪ ،‬وٍيعللب رللل‪ ٤‬بلللى مللا بلٕلله الّللاس٘ىن‬
‫حللحن هٍللشوا فللي مّللاوي ‪ٜ‬ىللله ظللبحاهه فللي آلاًللت الثامىللت والثمللاهحن مللً ظللىسة ال‪ٝ‬فللق‪" :‬‬
‫ُ َ‬
‫‪١‬ل ش ْيء ََ ِال‪ِ ٤‬بال َو ْح َه ُه "‪ٌ.‬‬
‫٘خإم للل ‪ٜ‬ىل لله‪" :‬م للً َى للا جشق للي الّ للاس٘ىن م للً حم للُن اإلاج للاص بل للى ً‪ ٙ‬للاُ الخ‪ ُٝٝ‬للت‪،‬‬
‫واظللخ‪٢‬ملىا مّلشاحهم ٘لشؤوا باإلاؽللاَذة الُّاهُللت ؤن لللِغ فللي الىحللىد بال هللا حّللالى‪ٌ ،‬وؤن‬
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ُ َ‬
‫{‪١‬للل ش ل ْيء ََ ِاللل‪ِ ٤‬بال َو ْح َهل ُله؛ ال ؤهلله ًفللحر َال‪٣‬للا فللي و‪ٜ‬للذ مللً ألاو‪ٜ‬للاث؛ بللل َللى َاللل‪ ٤‬ؤصال‬
‫وؤبذا ال ًخفىس بال ‪٠‬زل‪٤‬؛ ٘ةن ‪١‬ل ش ىء ظىاٍ برا ُ‬ ‫ج‬
‫اِخ ِبر راجه مً حُلث راجله ٘هلى ِلذم‬
‫ج‬
‫محللن؛ وبرا اِخبللر مللً الىحلله الللزي ٌعللشي بلُلله الىحللىد مللً ألاو‪ ٥‬الخلل‪ ٞ‬سئي مىحللىدا‬
‫ال فللي راجلله ل‪٢‬للً مللً الىحلله الللزي ًلللى مىحللذٍ‪٣ُ٘ ،‬للىن اإلاىحللىد وحلله هللا حّللالى ٘‪ٝ‬للي‪.‬‬
‫٘ل‪ ٣‬للل شل ل ىء وحه للان‪ :‬وح لله بل للى ه‪ٙ‬ع لله ووح لله بل للى سب لله؛ ٘ه للى باِخب للاس وح لله ه‪ٙ‬ع لله ِ للذم‬
‫وباِخبللاس وحلله هللا حّللالى مىحللىد‪٘ .‬للةرن ال مىحللىد بال هللا حّللالى ووحهلله‪٘ .‬للةرن ‪١‬للل ش ل ىء‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫َال‪ ٤‬بال وحهه ؤصال وؤبذا"‪ٌ.‬‬
‫وَللزا ال‪ٙ‬هللم ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي للىحللىد والىٍللش بلللى ألالىَُللت ًخخللل‪ِ ٚ‬مللا ؤوسدهللا مللً ‪٠‬للالم‬
‫ابً ِشبي‪٘ ،‬هلى ًلشي ؤن الىحلىد فلي ح‪ُٝٝ‬خله مىخل‪ ،ٚ‬وؤن ال مىحلىد ح‪ٝ‬لا بال هللا‪ ،‬بمّنلى‬
‫ؤهلله ًجّللل وعللبي الىحللىد واإلاىبثلل‪ ٞ‬مللً الّللذم ب‪ٝ‬للذسة اإلاىحللذ‪ ،‬والعللاثش بلللى ال‪ٙ‬ىللاء ب‪ٝ‬للذسة‬

‫‪54‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫ال‪ٝ‬للذًش الللزي حّللل ل‪٣‬للل اإلاىحللىداث نهاًللت حخمُللت بلاإلاىث وبال‪ُٝ‬امللت‪ ،‬ؤن ًجّللله فللي حللا‪٥‬‬
‫الاوّ للذام‪ ،‬أله لله وح للىد ِشضل ل ي‪ ،‬ميع للىب بل للى اإلاىح للىد الخ‪ ُٝٝ‬للي وَ للى هللا‪ ،‬وَ للزا ‪ ٜ‬للى‪٥‬‬
‫ًم‪ ً٢‬ؤن ًىا‪ٜ‬ؾ بىشاث‪٠ ٞ‬ثحرة‪ ،‬وٍم‪ ً٢‬ه‪ٝ‬فذ ٘لع‪ُٙ‬ا وِلمُا وِش٘اهُلا‪ ،‬ول‪٢‬نلي اِخ‪ٝ‬لذ‬
‫ؤن مىا‪ٜ‬ؽللخه الخشُ٘للت و٘لل‪ ٞ‬اإلاللىهج ال‪ٝٙ‬هللي دون مّش٘للت ٘لعلل‪ُٙ‬ت ؤو رو‪ ٛ‬وسئٍللت ِمُ‪ٝ‬للت‬
‫‪ٜ‬للذ ً‪٣‬للىن مفللحرَا الخ‪٢‬للم ِلللى رللل‪ ٤‬بالضهذ‪ٜ‬للت زللم ال‪ٝ‬خللل ‪٠‬مللا ‪١‬للان مللً ؤمللش العللهشوسدي‬
‫والخالج‪ٌ.‬‬
‫ص‪ /‬الٕضال ل للي ومع ل للإلت الخل ل للى‪ ٥‬والاجح ل للاد‪ :‬بل ل للا٘ت بل ل للى وح ل للذة الىح ل للىد‪ ٘ ،‬ل للالخلى‪٥‬‬
‫والاجح للاد مف للىلخان ح للذلُان ؤًم للا‪ ،‬و‪ٜ‬م للِخان م للً ‪ٜ‬م للاًا ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ت الف للىُ٘ت وم للً‬
‫اإلاعاثل التي ؤلبذ ِلى ال‪ٝ‬اثلحن بها مً اإلاخفى٘ت‪ٌ.‬‬
‫٘إمللا الخلللى‪٘ ٥‬للإن ًحللل اإلاىحللذ فللي اإلاىحللىد‪ ،‬وؤمللا الاجحللاد ٘اجحللاد هللا بمللا خللل‪،ٞ‬‬
‫بمّنلى ؤن ً‪٣‬لىن الىحلىد ٘‪ٝ‬لذ وسد فلي ال‪٣‬لُلاث لل‪ٙ٢‬لىي (ال‪٢‬خاب‪٠:‬خلاب ال‪٣‬لُلاث (معجلم‬
‫ف ل للي اإلاف ل للىلخاث وال‪ ٙ‬ل للشو‪ ٛ‬اللٕىٍ ل للت) اإلاال ل لل‪ :ٚ‬ألً ل للىب ب ل للً مىسل ل ل ى الخع ل للُني ال‪ٝ‬شٍم ل للي‬
‫ج‬
‫‪" )ٌ40‬بن الخلى‪َ ٥‬لى ؤن ً‪٣‬لىن الصل يء حاـلال‬ ‫ال‪ٙ٢‬ىي‪ ،‬ؤبى الب‪ٝ‬اء الخى‪ٙ‬ي (اإلاخىفى‪94 :‬‬
‫‪4094‬‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫فللي الصل يء‪ ،‬ومخخفللا بلله‪ ،‬بحُللث ج‪٣‬للىن ؤلاؼللاسة بلللى ؤحللذَما بؼللاسة بلللى آلاخللش جح‪ُٝٝ‬للا‪ ،‬ؤو‬
‫ج‬
‫ج‪ٝ‬ذًشا"‪.‬‬
‫و‪ ٜ‬للذ ‪ٜ‬ع للمىٍ بل للى خ للاؿ وِ للام‪٘ ،‬الخ للاؿ حل للى‪ ٥‬ال للشب ف للي بّم لله خل‪ ٝ‬لله (‪ ٝ٠‬للى‪٥‬‬
‫اليع ل للىىسٍت م ل للً الىفل ل للاسي ف ل للي ‪٠‬المه ل للم ِل ل للً الع ل للُذ اإلاع ل للُح بحلل ل للى‪ ٥‬الالَ ل للىث فل ل للي‬
‫الىاظللىث)‪ ،‬والّللام حلىللله فللي ‪١‬للل م‪٣‬للان‪ ،‬وفللي رللل‪ًٝ ٤‬للى‪ ٥‬ال‪ٝ‬اؼللاوي (محمللذ محعللً بللً‬
‫مشجط ل ل ى بل للً محمل للىد اإلاؽل للهىس بل‪ٝ‬ل للب ال‪ٙ‬ل للُن ال‪٣‬اؼل للاوي (‪ َ 4007‬ل ل ‪ َ 4094 -‬ل لل) بإهل لله‪:‬‬
‫«ؼللهىد الىحللىد الخلل‪ ٞ‬الىاحللذ اإلاىللل‪ ٞ‬الللزي ال‪٣‬للل بلله مىحللىد بللالخ‪ُ٘ ،ٞ‬خحللذ بلله ال‪٣‬للل‬
‫ج‬ ‫ج‬ ‫ج‬
‫م للً حُ للث ‪ ١‬للىن ‪ ١‬للل (ش ل يء) مىح للىدا ب لله مّ للذوما بى‪ٙ‬ع لله‪ ،‬ال م للً حُ للث ؤن ل لله وح للىدا‬
‫ج‬
‫خاـا اجحذ به‪٘ ،‬ةهه محا‪."٥‬‬
‫وِش٘لله العللُذ محمللىد ؤبللى ال‪ٙ‬للُن اإلاىللىفي (محمللىد بللً ِلللي بللً ِمللش بللً ببلشاَُم‬
‫الؽشٍ‪ ٚ‬الخعُني‪ ،‬وللذ فلي مىلىٗ فلي مفلش ظلىت ‪ )ٌ 4342‬ل بإهله‪« :‬ؼلهىد الخل‪ ٞ‬ملً ٔحلر‬
‫حللى‪ ٥‬ؤو مالبعلت ‪٠‬مللا ًحلذر ملً ألاحعللام لؤلحعلام"‪.‬وراث ألاملش فللي الاجحلاد‪ :‬اجحللاد هللا‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪55‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫بللبّن خل‪ٝ‬لله‪ ،‬ؤو ب‪٣‬للل مللا خللل‪َ " ٞ‬للى ِللحن وحللىد ال‪٣‬اثىللاث"‪ ..‬و‪٠‬ثح لرا مللا ًللخم الخلللي بللحن‬
‫وحذة الىحىد والاجحاد‪ٌ.‬‬
‫و‪ٜ‬ذ اؼتهش بِخان ألبي هىاط ووعبا ؤًما للعهشوسدي في مّنى الخلى‪ ٥‬والاجحاد‪ٌ :‬‬
‫س‪ ٛ‬الضحاج وسا‪ٜ‬ذ الخمش *** وحؽابها ٘دؽا‪١‬ل ألامش‬
‫٘‪٢‬إهما خمش وال ‪ٜ‬ذح *** و‪٠‬إهما ‪ٜ‬ذح وال خمشٌ‬
‫ُ‬
‫ؤم للا ألاؼ للهش ف للي َ للزٍ ال‪ٝ‬م للُت ٘ه للى الخ للالج‪ ،‬ال للزي ‪ٜ‬خ للل باتهام لله بالضهذ‪ ٜ‬للت ل‪ٝ‬ىل لله‬
‫بللالخلى‪ ٥‬والاجحللاد ؤو إلاللا جللم ٘هملله ِلللى ؤهلله ‪ٜ‬للى‪ ٥‬بللزل‪ ٤‬فللي مّىللاٍ الخشفللي‪ ،‬ومللً ؤؼللهش مللا‬
‫‪ٜ‬ا‪ٌ :٥‬‬
‫“ؤها مً ؤَىي ومً ؤَىي ؤها‬
‫هل للحً سوحان حللىا بذها‬
‫٘ ل للةرا ؤبفشجني ؤبفشجه‬
‫وبرا ؤبفل ل للشجه ‪١‬ان ؤه للا‬
‫سوحه سو ي وسو ي سوحه‬
‫مً سؤي سوححن حال بذه للا”ٌ‬
‫ول‪٢‬لً الٕضالللي ال‪ُٝٙ‬لله اإلاللخم‪ ً٢‬والّلالم بالّ‪ُٝ‬للذة‪ًٝ ،‬للى‪ ٥‬فللي رلل‪ٜ ٤‬للىال ٘فللال حلُللا‬
‫ج‬
‫وامللخا‪ُٝ٘ ،‬للى‪" :٥‬وسبمللا لللم ً‪ٙ‬هللم ؤًمللا ‪٠‬ىلله َللزا ال‪٢‬للالم بّللن ال‪ٝ‬اـللشًٍ‪٘ ،‬للُ‪ٙ‬هم مللً‬
‫‪ٜ‬ىلىللا "بن هللا مللْ ‪١‬للل ش ل ىء ‪١‬للالىىس مللْ ألاؼللُاء" ؤهلله فللي ‪١‬للل م‪٣‬للان؛ حّللالى وج‪ٝ‬للذط ِ للً‬
‫اليعبت بلى اإلا‪٣‬ان"‪ٌ .‬‬
‫وال ٔشابل للت ٘هل للى مل للً ؤس‪١‬ل للان الّ‪ُٝ‬ل للذة ألاؼل للشِشٍت اإلاجزَل للت هلل ِل للً وِل للً الجمعل للُت‬
‫والخحزًللت والخللذ‪ُ٢٘ ،‬لل‪ً ٚ‬حللل فللي اإلا‪٣‬للان خللال‪ ٞ‬اإلا‪٣‬للان‪ ،‬و‪ُ٠‬لل‪٣ً ٚ‬للىن فللي العللماء ٘للاوش‬
‫وم‪ٙ٢‬للشوَم مللً ججعللُم‬ ‫العللماء‪ ،‬وَللى مللً الخللبي الللزي و‪ٜ‬للْ ُ٘لله اإلاىللاوثىن للخفللىٗ ّ‬
‫و‪ٜ‬ى‪ ٥‬بإن هللا في العماء حّالى هللا ًِ رل‪ ٤‬ظبحاهه‪ٌ.‬‬
‫‪٠‬ما ًمط ي ؤلامام الٕضالي الزي حمْ بحن الؽشَّت والخ‪ُٝٝ‬ت‪ ،‬وبحن ال‪ٝٙ‬ه وِلم‬
‫ال‪٢‬الم وال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت واإلاىى‪ ،ٞ‬بلى ج‪ٙ‬عحر مّاوي ؤ‪ٜ‬ىا‪ ٥‬بّن الفىُ٘حن التي وعبذ بلحهم‬
‫الضهذ‪ٜ‬ت وظببذ لهم ال‪ٝ‬خل‪ُٝ٘ ،‬ى‪ِ " :٥‬اس٘ىن ‪ -‬بّذ الّشوج بلى ظماء الخ‪ُٝٝ‬ت ‪-‬‬
‫اج‪ٝٙ‬ىا ِلى ؤنهم لم ًشوا في الىحىد بال الىاحذ الخ‪ .ٞ‬ل‪ ً٢‬مجهم مً ‪١‬ان له َزٍ‬

‫‪56‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫الخا‪ِ ٥‬ش٘اها ِلمُا‪ ،‬ومجهم مً ـاس له رل‪ ٤‬حاال رو‪ُٜ‬ا‪ .‬واهخ‪ٙ‬ذ ِجهم ال‪٢‬ثرة بال‪٣‬لُت‬
‫واظخٕش‪ٜ‬ىا بال‪ٙ‬شداهُت اإلاحمت واظخىُ٘ذ ٘حها ِ‪ٝ‬ىلهم ٘فاسوا ‪١‬اإلابهىجحن ُ٘ه ولم‬
‫ٌ‬
‫ًب‪٘ ٞ‬حهم مدعْ ال لز‪٠‬ش ٔحر هللا وال لز‪٠‬ش ؤه‪ٙ‬عهم ؤًما‪٘ .‬لم ً‪ِ ً٢‬ىذَم بال هللا‪،‬‬
‫ٌ‬
‫٘ع‪٢‬شوا ظ‪٢‬شا دْ٘ دوهه ظلىان ِ‪ٝ‬ىلهم‪ٝ٘ ،‬ا‪ ٥‬ؤحذَم "ؤها الخ‪ "ٞ‬و‪ٜ‬ا‪ ٥‬آلاخش‬
‫"ظبحاوى م ا ؤٍِم ؼاوى! " و‪ٜ‬ا‪ ٥‬آخش "ما في الجبت بال هللا"‪ .‬و‪٠‬الم الّؽا‪ ٛ‬في حا‪٥‬‬
‫ىىي وال ًح‪٣‬ى‪٘ .‬لما خ‪ِ ٚ‬جهم ظ‪٢‬شَم وسدوا بلى ظلىان الّ‪ٝ‬ل الزي َى‬ ‫الع‪٢‬ش ًٌ ٌ‬
‫محزان هللا في ؤسله‪ِ ،‬ش٘ىا ؤن رل‪ ٤‬لم ً‪ ً٢‬ح‪ُٝٝ‬ت الاجحاد بل ؼبه الاجحاد مثل ‪ٜ‬ى‪٥‬‬
‫الّاؼ‪ ٞ‬في حا‪٘ ٥‬شه ِؽ‪ٝ‬ه "ؤها مً ؤَىي ومً ؤَىي ؤها" (و ‪8‬ل ب) وال ًبّذ ؤن‬
‫ً‪ٙ‬اجىء ؤلاوعان مشآة ُ٘ىٍش ٘حها ولم ًش اإلاشآة ‪ٜ‬ي‪ ًٍُ٘ ،‬ؤن الفىسة التى سآَا هى‬
‫ـىسة اإلاشآة مخحذة بها‪ ،‬وٍشي الخمش في الضحاج ًٍُ٘ ؤن الخمش لىن الضحاج‪ .‬وبرا‬
‫ٌ‬
‫ـاس رل‪ِ ٤‬ىذٍ مإلى٘ا وسس ُ٘ه ‪ٜ‬ذمه اظخٕ‪ٙ‬ش و‪ٜ‬ا‪ٌ:٥‬‬
‫س‪ ٛ‬الضحاج وسا‪ٜ‬ذ الخمشٌ ‪٘...‬دؽابها ٘دؽا‪١‬ل ألامش‬
‫٘‪٢‬إهما خمش وال ‪ٜ‬ذحٌ ‪...‬و‪٠‬إهما ‪ٜ‬ذح وال خمشٌ‬
‫و٘ش‪ ٛ‬بحن ؤن ً‪ٝ‬ى‪ :٥‬الخمش ‪ٜ‬ذح‪ ،‬وبحن ؤن ً‪ٝ‬ى‪٠ :٥‬إهه ‪ٜ‬ذح‪ .‬وَزٍ الخالت برا‬
‫ٔلبذ ظمُذ باإللا٘ت بلى ـاحب الخالت "٘ىاء"‪ ،‬بل "٘ىاء ال‪ٙ‬ىاء"‪ :‬ألهه ٘نى ًِ‬
‫ه‪ٙ‬عه و٘نى ًِ ٘ىاثه‪٘ ،‬ةهه لِغ ٌؽّش بى‪ٙ‬عه في جل‪ ٤‬الخا‪ ٥‬وال بّذم ؼّىسٍ‬
‫بى‪ٙ‬عه‪ .‬ولى ؼّش بّذم ؼّىسٍ بى‪ٙ‬عه ل‪٣‬ان ‪ٜ‬ذ ؼّش بى‪ٙ‬عه‪ .‬وحعمى َزٍ الخالت‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫باإللا٘ت بلى اإلاعخٕش‪ ٛ‬به بلعان اإلاجاص اجحادا ؤو بلعان الخ‪ُٝٝ‬ت جىحُذا‪ .‬ووساء َزٍ‬
‫ٌ‬
‫الخ‪ٝ‬اث‪ ٞ‬ؤًما ؤظشاس ًىى‪ ٥‬الخىك ٘حها"‪ٌ.‬‬
‫وَ للى لّم للشي م للً ؤد‪ ٛ‬وؤس‪ ٛ‬وؤبل للٖ م للا ‪ ُٜ‬للل ف للي َ للزٍ اإلاع للإلت‪ ،‬وم للا ؤِم لل‪ٜ ٞ‬ىل لله‪" :‬‬
‫ج‬
‫وحعمى َزٍ الخالت باإللا٘ت بلى اإلاعخٕش‪ ٛ‬بله بلعلان اإلاجلاص اجحلادا ؤو بلعلان الخ‪ُٝٝ‬لت‬
‫ج‬
‫جىحُ للذا"‪٘ .‬ه للي ؤح للىا‪ ٥‬حّخل للي اله للاثمحن ال‪ ٙ‬للاهحن ف للي هللا‪ ،‬وٍج للب الىٍ للش بلحه للا م للً َ للزٍ‬
‫الضاوٍ للت الزو‪ ُٜ‬للت‪ ،‬ؤو ِل للى ألا‪ ٜ‬للل ب للبّن ال‪ٙ‬ه للم إلاج للاص الل‪ ٙ‬للَ والّ للزس لل للىاعج الّؽ للا‪ٛ‬‬
‫ال‪ٙ‬للاهحن‪ ،‬ؤمللا الخ‪ٙ‬عللحر الخشفللي ٘خل‪ٙ‬لله مللا خل‪ٙ‬لله مللً ج‪ٙ٢‬حللر و‪ٜ‬خللل وَللى الؽللاجْ لؤلظلل‪،ٚ‬‬
‫وبن ‪٠‬ىللذ ؤسي البّللذ ِللً َللزٍ الّبللاساث ؤولللى وؤ٘مللل‪ ،‬والاج لضام ؤ‪٠‬ثللر بللاإلاىى‪ ٞ‬والؽ للشُ‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪57‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫واإلاخّ للاسٗ م للً اإلاّ للاوي وألال‪ ٙ‬للاً‪ ،‬خاـ للت ف للي و‪ٜ‬خى للا الخ للالي‪ ،‬وَ للى ؤم للش ًى للى‪ ٥‬ؼ للشحه ف للي‬
‫ؼان الخفىٗ وِال‪ٜ‬خه باإلاجخمْ والىاط وما ًثاس حىله مً حذ‪ٌ.٥‬‬
‫ح‪ /‬ؤلامام الٕضالي بلحن الؽلشَّت والخ‪ُٝٝ‬لت‪ :‬الفلشاُ بلحن الٕلالة فلي الالتلزام الخشفلي‬
‫بالؽللشَّت‪ ،‬وبللحن الفللىُ٘حن ـلشاُ ‪ٜ‬للذًم‪ ،‬بعللببه ‪ٜ‬خللل الخللالج والعللهشوسدي وظللىاَما‪،‬‬
‫وَللى معللخمش بلللى الُللىم مللْ مللا ً‪ٝ‬للى‪ ٥‬بلله الٕللالة الخ‪ٙ٢‬حرًللىن مللً ‪ٜ‬خللل لل‪٢‬ثحللر مللً مؽللاًخ‬
‫الخفىٗ‪ٌ.‬‬
‫والخ‪ ُٝٝ‬ل لت ؤن ؤلاؼل لل‪٣‬ا‪ ٥‬بل للحن الٕل للالة فل للي الؽل للشُ والٕل للالة فل للي الخفل للىٗ ‪٠‬بحل للر‪ ،‬وؤن‬
‫َىال‪ ٤‬مً ؤ٘عذ الزو‪ ٛ‬الفىفي ‪٠‬ما َىال‪ ٤‬مً ؤ٘عذ الخ‪٢‬مت الؽشُِت‪ٌ.‬‬
‫وبم للا ان ؤلام للام الٕضال للي سح للل ٘‪ ٝ‬لله وؼ للشَّت وِ‪ ُٝ‬للذة‪ ،‬وِ للاسٗ ـ للىفي و٘لع لل‪ٙ‬ي‪،‬‬
‫ومخبح للش ف للي ِل للم ال‪ ٢‬للالم واإلاىى لل‪ ٘ ،ٞ‬للةن مى‪ ٜٙ‬لله ب للحن الؽ للشَّت والخ‪ ُٝٝ‬للت مى‪ ٜ‬لل‪ ٚ‬مت ل ٌزن‬
‫ومخمح للز‪٘ ،‬ه للى ال ً‪ٙ‬ف للل بُجهم للا ب للل ً للشي ٘حهم للا الخ‪٣‬ام للل‪ ،‬وٍ للشي ؤنهم للا ِشل للخان لل للذخالء‬
‫وألادُِاء‪ُٝ٘ ،‬ى‪ٌ :٥‬‬
‫ج‬
‫"٘إه للا ؤحم للْ ب للحن الٍ للاَش والع للش حمُّ للا‪٘ ،‬ه للزا َ للى ال‪٣‬ام للل‪ :‬وَ للى اإلاّن ل ّلى ب‪ ٝ‬للىلهم‬
‫"ال‪٣‬ام للل م للً ال ًى‪ ٙ‬للىء ه للىس مّش٘خ لله ه للىس وسِ لله"‪ .‬ول للزل‪ ٤‬ج للشي ال‪٣‬ام للل ال حع للمح ه‪ٙ‬ع لله‬
‫ْ‬
‫بتر‪ ٟ‬حذ مً حذود الؽشُ مْ ‪٠‬ملا‪ ٥‬البفلحرة‪ .‬وَلزٍ َمٕلىلت مجهلا و‪ٜ‬لْ بّلن العلال‪٢‬حن‬
‫ج‬
‫بلللى ؤلاباحللت ووللى بعللاه ألاح‪٣‬للام ٌللاَشا‪ ،‬حتللى ؤهلله سبمللا جللش‪ ٟ‬ؤحللذَم الفللالة وصِللم ؤهلله‬
‫ج‬
‫داثم للا ف للي الف للالة بع للشٍ‪ .‬وَ للزا ظ للىي مٕلى للت الخم‪ ٝ‬للى م للً ؤلاباحُ للت ال للزًً مإخ للزَم‬
‫جشَ للاث ‪ ٝ٠‬للى‪ ٥‬بّم للهم "بن هللا ٔن للى ِ للً ِملى للا"‪ ،‬و‪ ٜ‬للى‪ ٥‬بّم للهم بن الب للاوً م للخىن‬
‫بالخباث للث ل للِغ ًم‪ ٢‬للً جض‪ُ٠‬خ لله‪ ،‬وال ًىم للْ ف للي اظدئف للا‪ ٥‬الٕم للب والؽ للهىة؛ لٍى لله ؤه لله‬
‫مإمىس باظدئفالهما‪ :‬وَزٍ حما‪ٜ‬اث"‪ٌ.‬‬
‫ّ٘لمللاء الٍللاَش لهللم ٘هللم‪ ،‬وِلمللاء البللاوً لهللم‪ ،‬وَللى مخ‪٣‬امللل مللْ الٍللاَش‪ ،‬لللزل‪٤‬‬
‫‪ ١‬للان ؤ‪ٜ‬ى للاب الخف للىٗ ‪ ١‬للالجُالوي والش٘ للاعي والذظ للىقي ًا‪ ٠‬للذون ِل للى الالتل لزام بالؽ للشُ‬
‫وبال‪ٝ‬شآن والعىت‪ ،‬وإلاً ر‪٠‬شث ‪٠‬الم مدؽابه ً‪ٝ‬ىلىن ُ٘ه‪ :‬وشٍ‪ٝ‬خىا معلخمذة ملً ال‪٢‬خلاب‬
‫والع للىت‪ ،‬و‪ ٠‬للزل‪ ٤‬ألام للش م للْ الب للذوي والؽ للارلي وظ للىاَما‪ ،‬ب للل بن ؤلام للام مال لل‪ ٤‬ـ للاحب‬
‫اإلا للزَب ‪ ٜ‬للا‪١ ٥‬لم للت ٍُِم للت ٘حه للا مح لزان د‪ ُٜ‬لل‪ ٞ‬ب للحن الخف للىٗ وال‪ ٝٙ‬لله‪" :‬م للً ج‪ ٝٙ‬لله ول للم‬
‫ج‪ٙ‬علل‪ ،ٞ‬ومللً جفللىٗ ولللم ًخ‪ ٝٙ‬له ٘‪ٝ‬للذ جضهللذ‪ ، ،ٛ‬ومللً حمللْ بُجهمللا ٘‪ٝ‬للذ‬ ‫ًخفللىٗ ٘‪ٝ‬للذ ّ‬

‫‪58‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫جح‪ ،"ٞٝ‬وسٔم ؤن َىال‪ ٤‬مؽ‪٢٢‬حن في وعبت َزٍ اإلا‪ٝ‬ىلت لئلملام مالل‪ ،٤‬والتلي ر‪٠‬لشث فلي‬
‫حاؼ للُت الّالم للت ِل للي الّ للذوي ِل للى ؼ للشح الام للام الضس‪ ٜ‬للاوي ِل للى م للتن الّضٍ لله ف للي ال‪ ٝٙ‬لله‬
‫اإلال للال‪٣‬ي‪ .‬وؼل للشح ِل للحن الّلل للم وصٍل للً الخلل للم لالمل للام مل للال ِلل للي ‪ٜ‬ل للاسي‪٘ ،‬ةنهل للا جفل للِب ِل للحن‬
‫الخ‪ ُٝٝ‬للت‪ ،‬وال ٔشاب للت ؤن ً‪ ٣‬للىن ‪ٜ‬اثله للا ؤلام للام مال لل‪ ٤‬وَ للى ِ للالم التز‪ ُ٠‬للت ‪٠‬م للا َ للى الّ للالم‬
‫بال‪ٝٙ‬ه والخذًث‪ ،‬ولزل‪ ٤‬هجلذ الخفلىٗ ؤـلال فلي اإلاذسظلت اإلاال‪ُ٢‬لت الضٍخىهُلت الخىوعلُت‬
‫واإلإاسبُت ‪٠‬ما ؤومر الّالمت ِبذ الىاحذ بً ِاؼش في مخىه‪ٌ:‬‬
‫في ِ‪ٝ‬ذ ألاؼّشي و٘‪ٝ‬ه مال‪...٤‬وفي وشٍ‪ٝ‬ت الجىُذ العال‪ٌ.٤‬‬
‫٘هلي ِ‪ُٝ‬للذة ؤؼللّشٍت ججللزٍ هللا حّللالى‪ ،‬و٘‪ٝ‬لله مللال‪٣‬ي‪ ،‬وجفللىٗ حىُللذي‪ ،‬ألن التز‪ُ٠‬للت‬
‫ؤظاط وحىَش‪.‬‬
‫و‪ /‬في مّنى الىىس واإلاؽ‪٣‬اة واإلافباح والضٍذ والضٍخىهت‪ً :‬مط ي ؤلامام الٕضاللي فلي‬
‫ج‪ٙ‬ع للحر آً للت الى للىس ب للزو‪٘ ٛ‬لع لل‪ٙ‬ي ـ للىفي ٘شٍ للذ وخ للاؿ‪ ،‬حُ للث ً للاو‪ ٥‬اإلاّن للى بل للى راجُ للت‬
‫ؤلاوعان وسوحاهِخه‪ ،‬لمً جشجِب محذد مً ؤسواح خمعلت فلي جشاجلب ِملىدي ملً ؤدولى‬
‫بلى ؤِلى‪ٌ:‬‬
‫‪/4‬ال للشوح الخع للاط‪ :‬اإلاؽ لل‪٣‬اة‪ :‬ألنه للا حامّ للت ألظ للباب الٍ للاَش‪.‬وج‪٣‬ىن ف للي الخُ للىان‬
‫والى‪ٙ‬ل الشلُْ ‪٠‬ما ًشي‪ٌ.‬‬
‫‪/2‬الشوح الخُالي‪ :‬الضحاحت‪ :‬للى‪ ٚ‬والف‪ٙ‬اء‪ٌ.‬‬
‫‪/3‬الشوح الّ‪ٝ‬لي‪ :‬اإلافباح‪ :‬ألهه هىس الخّ‪ٝ‬ل وؤلادسا‪ٌ.ٟ‬‬
‫‪ /4‬الل للشوح ال‪٢ٙ‬ل للشي‪ :‬وٍ‪ٝ‬ل للى‪ ٥‬فل للي ؼل للإهه‪" :‬وؤمل للا الشابل للْ وَل للى الل للشوح ال‪٢ٙ‬ل للشي ٘مل للً‬
‫خاـ للِخه ؤه لله ًبخ للذت م للً ؤـ للل واح للذ ز للم جدؽ للّب مى لله ؼ للّبخان‪ ،‬ز للم م للً ‪ ١‬للل ؼ للّبت‬
‫ؼّبخان وَ‪٢‬زا بلى ؤن ج‪٢‬ثر الؽّب بالخ‪ٝ‬عُماث الّ‪ٝ‬لُلت‪ ،‬زلم ً‪ٙ‬طل ى بلاآلخشة بللى هخلاث‬
‫ج‬ ‫ج‬
‫هللى زمشاتهللا‪ .‬زللم جللل‪ ٤‬الثملشاث حّللىد ٘خفللحر بللزوسا ألمثالهللا‪ :‬بر ًم‪٢‬للً ؤًمللا جل‪ٝ‬للُح بّمللها‬
‫ب للالبّن حت للى ًخم للادي بل للى زم لشاث وسائه للا ‪٠‬م للا ر‪٠‬شه للاٍ ف للي ‪٠‬خ للاب ال‪ٝ‬ع للىاط اإلاع للخ‪ُٝ‬م‪.‬‬
‫لالخش ّي ؤن ً‪ ٣‬للىن مثال لله م للً َ للزا الّ للالم ال للجشة‪ .‬وبر ‪١‬اه للذ زمشاج لله م للادة لخم للاِ‪ٚ‬‬ ‫٘ب ل ِ‬
‫لالخش ّي ؤال جمث للل ب للجشة الع لل‪ٙ‬شحل والخ‪ ٙ‬للاح والشم للان‬ ‫ؤه للىاس اإلاّ للاسٗ وزباته للا وب‪ٝ‬ائه للا ٘ب ل ِ‬
‫ؤحرَللا‪ ،‬بللل مللً حملللت ظللاثش ألارللجاس بالضٍخىهللت خاـللت‪ :‬ألن لللب زمشَللا َللى الضٍللذ الللزي‬
‫َل للى مل للادة اإلاف ل للابُح‪ ،‬وٍخل للخق مل للً ظ ل للاثش ألادَل للان بخاـل للُت صٍ ل للادة ؤلاؼ ل لشا‪ ٛ‬مل للْ ‪ٜ‬ل ل للت‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪59‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫الللذخان‪ ....‬ال ًدىللاهى زمشتهللا بلللى حللذ محللذود ْؤولللى ؤن حعللمى رللجشة مباس‪٠‬للت‪ .‬وبرا ‪١‬اهللذ‬
‫ؼّب ألا٘‪٣‬اس الّ‪ٝ‬لُت اإلاحمت خاسحت ِلً ‪ٜ‬بلى‪ ٥‬ؤلاللا٘ت بللى الجهلاث وال‪ٝ‬لشب والبّلذ‪،‬‬
‫٘بالخش ّي ؤن ج‪٣‬ىن ال ؼش‪ُٜ‬ت وال ٔشبُت ‪ٌ".‬‬ ‫ِ‬
‫‪ /5‬ال للشوح ال‪ٝ‬ذس ل ي الىب للىي‪ :‬وَ للى ألاٍِ للم وألاَ للم‪ ،‬وخخ للام العلع لللت‪" :‬وبرا ‪١‬اه للذ‬
‫َ للزٍ ألاه للىاس مترجب للت بّم للها ِل للى بّ للن‪٘ :‬الخسل ل ى َ للى ألاو‪ ،٥‬وَ للى ‪١‬الخىوئ للت والخمهُ للذ‬
‫ج‬
‫للخُللالى‪ ،‬بر ال ًخفللىس الخُللالى بال مىلللىِا بّللذٍ؛ وال‪٢ٙ‬للشي والّ‪ٝ‬لللى ً‪٣‬ىهللان بّللذَما؛‬
‫٘بل للالخشي ؤن ج‪ ٣‬ل للىن الضحاح ل للت ‪١‬اإلاح ل للل للمفل للباح واإلاؽ ل لل‪٣‬اة ‪١‬اإلاح ل للل للضحاح ل للت‪ ٣ُ٘ :‬ل للىن‬
‫ج‬
‫اإلافباح في صحاحت‪ ،‬والضحاحت في مؽ‪٣‬اة‪.‬وبرا ‪١‬اهذ َزٍ ‪١‬لها ؤهىاسا بّملها ٘لى‪ ٛ‬بّلن‬
‫ج‬
‫٘بالخش ّي ؤن ج‪٣‬ىن هىسا ِلى هىس"‪ٌ.‬‬ ‫ِ‬
‫وَللزا مللىهج ٘شٍللذ فللي ج‪ٙ‬عللحر َللزٍ آلاًللت‪ ،‬بشبىهللا بللاهىاُ الللشوح‪ ،‬ؤو ـللىىٗ الّ‪ٝ‬للل‬
‫وال‪ٙ‬ه للم والادسا‪ ،ٟ‬ولّ للل الّ‪ ٝ‬للل وال للشوح ًمتزح للان ف للي ج‪ٙ‬ع للحر الٕضال للي‪ ،‬وَ للزا ٘ للً ـ للىفي‬
‫٘لع لل‪ٙ‬ي روق للي‪ًُٙ ،‬ه للم ف للي بو للاسٍ‪ ،‬وٍى للى‪ ٥‬ه‪ٝ‬اؼ لله برا ؤسده للا ه‪ٝ‬اؼ للا‪ ،‬ول للِغ سدٍ بالخ‪ٙ‬ع للحر‬
‫الخشف للي بىشٍ لل‪ ٞ‬ص للخُح ف للي هٍ للشي‪ ،‬ب للل َ للى بز لشاء للمّن للى وجاوٍ للل وشٍ لل‪ ،ٚ‬ل للمً ؤو للشٍ‬
‫وحللذودٍ‪ ،‬و‪ٜ‬للذ لللشب ؤمثلللت ِلللى مللا ّبِىلله ال هللشي ٘اثللذة فللي الاظخ‪ٙ‬الللت فللي ؼللشحها‪ٝ٘ ،‬للذ‬
‫بلٕىللا ال‪ٝ‬فللذ بمللا بِىللا مللً مالمللح اإلاللىهج الفللىفي ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي ِىللذ الامللام الٕضالللي‪ ،‬وسمىللا‬
‫ؤمهللاث ال‪ٝ‬مللاًا‪ ،‬ولللجن ‪١‬اهللذ الشظللالت زشٍللت‪ ،‬وؤ٘‪٣‬اسَللا ‪٠‬ثحللرة وحللذًشة بالى‪ٝ‬للاػ والبحللث‬
‫والى‪ٝ‬ذ‪ٌ.‬‬
‫ه‪ /‬فل للي الخجلل للي والدجل للاب‪ :‬خخامل للا هبعل للي بّمل للا ممل للا ر‪٠‬ل للشٍ الامل للام الٕضالل للي فل للي‬
‫ال‪ٙ‬فللل الثالللث وألاخحللر مللً ‪٠‬خابلله‪ ،‬وَللى ِللً الخجلللي ؤلالهللي‪ ،‬وحجللب الىللىس والٍلمللاث‪،‬‬
‫لللمً حّلُ‪ ٝ‬لله ؤو ج‪ٙ‬عللحرٍ ِ للً ح للذًث العللبحاث والدج للب اإلاللإزىس ِ للً سظ للى‪ ٥‬هللا‪" :‬بن‬
‫ج‬
‫هلل ظللبّحن حجاب للا م للً ه للىس وٌلمللت ل للى ‪٠‬ؽ لل‪ٙ‬ها ألحش‪ ٜ‬للذ ظللبحاث وحه لله ‪ ١‬للل م للً ؤدس‪ ٠‬لله‬
‫َ َ‬ ‫َ‬
‫بفلشٍ"‪ ،‬و‪ٜ‬لذ سوي ؤًملا بل‪ٙ‬لَ آخلش‪َ " :‬حلذز َىا َِ ْم ُلشو ْب ُلً َِ ِل ّلي‪َ ،‬و ُم َحم ُلذ ْب ُلً ًَ ْح َ لى ‪ٜ‬لاال‪ :‬زىلا‬
‫لا‪َ َٜ :٥‬‬
‫لام‬ ‫ان‪ْ َِ ًْ َِ ،‬مشو ْبً ُمش َة‪َ ًْ َِ ،‬ؤبي ُِ َب ُْ َذ َة‪َ ًْ َِ ،‬ؤبلي ُمى َسل ى‪َ َٜ ،‬‬ ‫َؤ ُبى َِاـم‪ُ ًْ َِ ،‬ظ ْ‪َ َُ ٙ‬‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫لام َوَال ًَ ْي َبغ للي َل ل ُله َؤ ْن ًَ َى للامَ‬
‫هللا َِ َل ُْ لله َو َظ للل َم ب ل َلإ ْسَبْ‪« :‬بن الل ل َله َال ًَ َى ل ُ‬
‫ـ لللى ُ‬ ‫٘ َُى للا َس ُظ للى ُ‪ ٥‬الل لله َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ن ال ِ‪ْ ٝ‬عللي و ٍَ ْش٘ ُّلله‪ْ ًُ ،‬ش٘ل ُلْ ِبل ُْل ِله ِ َمل ُلل الل ُْل ِلل ‪ْ ٜ‬بل َلل الج َهل ِلاس ‪ ,‬وِ َمل ُلل الج َهل ِلاس ‪ْ ٜ‬بل َلل الل ُْل ِلل‪،‬‬ ‫ًَخ ِ‪ ٙ‬ل ُ‬
‫ف ُش ٍُ"‪ٌ.‬‬‫اث َو ْحهه ُ‪١‬ل َش ْيء َؤ ْد َس َ‪ُ ٠‬ه َب ْ‬ ‫ح َج ُاب ُه الى ُاس‪َ ،‬ل ْى َ‪َ ٠‬ؽ َ‪َ ٙ‬ها َ َأل ْح َش َ‪ْ ٜ‬ذ ُظ ُب َح ُ‬
‫ِِ‬ ‫ِ‬
‫‪60‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬
‫الخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي لئلمام الٕضالي مً خال‪٠ ٥‬خاب مؽ‪٣‬اة ألاهىاس‬

‫ً‪ ٝ‬ل للى‪ ٥‬ؤلام ل للام الٕضال ل للي‪" :‬بن هللا حّ ل للالى مخج ل للل ف ل للي راج ل لله لزاج ل لله‪ ،‬وٍ‪ ٣‬ل للىن الدج ل للاب‬
‫باإلل للا٘ت بل للى مذج للىب ال محال للت؛ وبن اإلاذج للىبحن م للً الخل لل‪ ٞ‬زالز للت ؤ‪ٜ‬ع للام‪ :‬م للجهم م للً‬
‫حجب بمجشد الٍلمت؛ ومجهم مً حجب بالىىس اإلاحن؛ ومجهم مً حجلب بىلىس م‪ٝ‬لشون‬
‫بٍلمت"‪ٌ.‬‬
‫وٍ‪ٝ‬عم ألا‪ٜ‬عام الثالزت بلى ٘شوُ‪ٌ:‬‬
‫٘ال‪ٝ‬ع ل للم ألاو‪" :٥‬وَ ل للم اإلاذجىب ل للىن بمح ل للن الٍلمل ل لت‪ ،‬وَ ل للم اإلالخ ل للذة ال ل للزًً ال‬
‫ًامى للىن ب للاهلل والُ للىم آلاخ للش‪ .‬وَ للم ال للزًً اظ للخحبىا الخُ للاة ال للذهُا ِل للى آلاخ للشة ألنه للم ال‬
‫ج‬
‫ًامىىن باآلخشة ؤـال"‪ٌ.‬‬
‫وال‪ٝ‬عللم الثللاوي‪" :‬واث‪ٙ‬للت حجبللىا بىللىس م‪ٝ‬للشون بٍلمللت وَللم زالزللت ؤـللىاٗ‪ :‬ـللى‪ٚ‬‬
‫ميؽللإ ٌلمللتهم مللً الخللغ‪ ،‬وـللى‪ ٚ‬ميؽللإ ٌلمللتهم مللً الخُللا‪ ،٥‬وـللى‪ ٚ‬ميؽللإ ٌلمللتهم‬
‫مً م‪ٝ‬اٌعاث ِ‪ٝ‬لُت ٘اظذة"‪ٌ.‬‬
‫ال‪ٝ‬عللم الثالللث‪" :‬اإلاذجىبللىن بمحللن ألاهللىاس وَللم ؤـللىاٗ وال ًم‪٢‬للً بحفللائَم‪:‬‬
‫٘إؼحر بلى زالزت ؤـىاٗ مجهم"ٌ‬
‫ومخت ل ل للز‪ ٥‬ال‪ ٝ‬ل ل للى‪ ٥‬ؤن الٕضال ل ل للي ًٍه ل ل للش مّش٘ ل ل للت باألدً ل ل للان واإلال ل ل للل وال‪ ٙ‬ل ل للش‪ ،ٛ‬ول‪ ٢‬ل ل للً‬
‫اإلاع للخخلق ال‪ٙ‬لع لل‪ٙ‬ي الف للىفي م للً َ للزا ال‪ٙ‬ف للل ٘ه للى ال‪ٙ‬ه للم للخجل للي ؤلاله للي ِب للر ججل للي‬
‫الللزاث ِلللى الللزاث‪ ،‬واهذجللاب الللزاث ِللً ظللىاَا‪ ،‬و‪١‬للىن الىللىس ًم‪٢‬للً ؤن ً‪٣‬للىن حجابللا‬
‫ؤًم للا‪ ،‬ؤو ؤن ً‪ ٣‬للىن م للْ الٍلم للت ف للي حج للاب‪ ،‬او ؤن ً‪ ٣‬للىن الدج للاب ٌلم للت محم للت‪ ،‬وَ للى‬
‫٘هم ٘شٍذ ؤًما ومخّم‪٢ً ،ٞ‬ؽ‪ ًِ ٚ‬وى‪ ٥‬جذبش الشحل وج‪٢ٙ‬شٍ وِم‪ ٞ‬جإمالجه‪ٌ.‬‬
‫‪٘ /5‬اث ل للذة مىهجُ ل للت‪ :‬اإلاع ل للخ‪ٙ‬اد م ل للً مؽ ل لل‪٣‬اة ألاه ل للىاس ‪٠‬ثح ل لر‪ٙ٘ ،‬حه ل للا سئٍ ل للت ٘لع ل لل‪ُٙ‬ت‬
‫بؼ لشا‪ُٜ‬ت ـللىُ٘ت مخ‪٣‬املللت وِمُ‪ٝ‬للت‪ ،‬ظللب‪ٝ‬ذ العللهشوسدي ولللجن اؼللتهش الاؼ لشا‪ ٛ‬باظللمه‪،‬‬
‫و٘ا‪ٜ‬ذ ابً ِشبلي فلي حىاهلب‪ ،‬و‪١‬اهلذ هٍلشة حامّلت بلحن مّلاسٗ ‪٠‬ثحلرة‪ :‬ملً ٘‪ٝ‬له وِ‪ُٝ‬لذة‬
‫ومىىلل‪ ٞ‬وِلللم ‪٠‬للالم و٘لعلل‪ٙ‬ت‪ ،‬وِلللم باإلالللل والىحللل‪ ،‬وججلللى ٘حهللا ٘‪ُٝ‬لله مخبحللش‪ ،‬وـللىفي‬
‫حللشب الخلللىاث ؤللاؿ ف لي الخ‪ٝ‬للاث‪ ٞ‬واإلا‪٣‬اؼلل‪ٙ‬اث‪ ،‬وَللزا بحللذ راجلله همللىرج ممحللز‪ ،‬بللل ال‬
‫ه‪٣‬اد هٍ‪ٙ‬ش بؽبُه للٕضالي في حّذدٍ اإلاّشفي و٘شادجه الّش٘اهُت‪ٌ.‬‬
‫‪٠‬ما ؤن مىهجه ‪١‬ان د‪ُٜٝ‬ا ـاسما‪ ،‬و‪١‬ان الخمص ي َادثلا مخإهُلا‪ ،‬ملً الىلىس ومّىلاٍ‪،‬‬
‫بل للى مشاجب لله‪ ٘ ،‬للالىحىد وح‪ُٝٝ‬خ لله‪ ،‬وؤن هللا َ للى الىح للىد الخ لل‪ ٞ‬والى للىس ألاو‪ ،٥‬ز للم مّ للاوي‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪61‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ماصن الؽشٍ‪ٚ‬‬

‫اإلاؽ‪٣‬اة واإلافباح وما في آلاًت‪ ،‬بخ‪ٙ‬عحر مخ‪ٙ‬شد وشٍ‪ ،ٚ‬وجإوٍل حمُل ٌشٍل‪ ،ٚ‬زلم مّلاوي‬
‫الخجلللي والدجللاب ومللا فللي رللل‪ ٤‬مللً ؤ‪ٜ‬عللام ِامللت وؤخللشي ٘شُِللت‪ ،‬وفللي الشظللالت ممللامحن‬
‫‪٠‬ثحرة حعخح‪ّ٘ ٞ‬ال الذساظت والبحث والخّم‪ ٞ‬واإلا‪ٝ‬اسهت والى‪ٝ‬ذ‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫خاجمت‬
‫حاولىل للا فل للي َل للزٍ الذساظل للت ؤن هبل للحن مّن ل لى الخفل للىٗ ؤوال‪ ،‬وح‪ُٝٝ‬خل لله‪ ،‬واسجباول لله‬
‫بالؽللشَّت والّ‪ُٝ‬للذة‪ ،‬واجفللاله بهمللا‪ ،‬زللم بالخفللىٗ ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ي ومّاهُلله ومباهُلله وخاـللت‬
‫ال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت الاؼ لشا‪ُٜ‬ت‪ ،‬زللم ِش٘ىللا بةًجللاص بذجللت الاظللالم ؤبللي حامللذ الٕضالللي‪ ،‬الللزي ًمثللل‬
‫٘ لشادة وِب‪ٝ‬شٍ للت ‪ ٜ‬للل هٍحرَ للا ف للي الخ للاسٍخ الاظ للالمي والاوع للاوي ِام للت‪ .‬ز للم دخلى للا ف للي بح للاس‬
‫‪٠‬خابلله "مؽ لل‪٣‬اة الاهللىاس" وه للي سظللالت ف للي ج‪ٙ‬عللحر آً للت الىللىس‪ ،‬وظ للُّىا بلللى اظ للخخالؿ ؤَ للم‬
‫اإلاّللاوي ال‪ٙ‬لعلل‪ُٙ‬ت الفللىُ٘ت ٘حهللا‪ ،‬ومللا جىىللىي ِلُلله‪ ،‬وال هللذعي ؤهىللا ؤحىىللا ب‪٣‬للل مللا فللي‬
‫الشظللالت‪ ،‬ألن ‪١‬للل ٘‪ٝ‬للشة ٘حهللا حللذًشة ببحللث مى‪ٙ‬فللل‪ ،‬ول‪٢‬جهللا محاولللت وم‪ٝ‬اسبللت ؤسدهللا بهللا‬
‫الخّل للشٗ ِلل للى مل للىهج الٕضالل للي الل للزي ‪١‬ل للان مذسظل للت م‪٢‬خملل للت حمّل للذ مل للا بل للذا مخىا‪ٜ‬مل للا‪:‬‬
‫الؽللشَّت والخ‪ُٝٝ‬للت‪ ،‬وال‪ٝٙ‬لله والخفللىٗ‪ ،‬وألاـللى‪ ٥‬وال‪ٙ‬لعلل‪ٙ‬ت‪ ،‬والّ‪ٝ‬الهُللت والشوحاهُللت‪،‬‬
‫وه للي بّ للن م للً هخ للاج رخف للُت ِلمُ للت زشٍ للت حع للخح‪ ٞ‬مضٍ للذا م للً الّىاً للت سٔ للم ‪٠‬ث للرة م للا‬
‫‪٠‬خب ِجها‪٠ ،‬ما ان اظخحماس رخفُت الامام الٕضالي وِلمه الُىم‪ ،‬فلي ٘تلرة اهدؽلش ٘حهلا‬
‫الخ‪ٙ٢‬حللر وؤَللله ً‪ٝ‬خلللىن باظللم الاظللالم وٍ‪ٙ‬جللشون باظللم الاظللالم وٍيعللبىن الخفللىٗ ‪١‬للله‬
‫وؤَللله ‪ٜ‬اوب للت بل للى البذِ للت والؽللش‪٠ ،ٟ‬م للا اهدؽللشث م للا ظللماَا الٕضال للي بالخما‪ ٜ‬للاث ل للذي‬
‫بّللن ؤدُِللاء الخفللىٗ‪ ،‬ممللا صاد الهجللىم ِلُلله حللذة‪ ،‬والخ‪ُٝٝ‬للت ؤن الاظللالم بللشيء مللً‬
‫ؤَل الخ‪ٙ٢‬حر ‪٠‬ما ؤن الخفىٗ ٌبشيء مً ؤَل الخم‪ ٞ‬والٕلى الضَٖ والترَاث‪ٌ.‬‬
‫وهشحللى خخامللا ؤن ه‪٣‬للىن ‪ٜ‬للذ و٘‪ٝ‬ىللا فللي سمىللا مللً ٔللشك الذساظللت‪ ،‬وبللاهلل الخىُ٘لل‪ ٞ‬وَللى ولللي‬
‫اإلاامىحن‪ٌ.‬‬

‫‪62‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫انتشار وجأثير جصىف الغسالي في الغرب‬

‫محمد عسيس عابدين الحضيني‬


‫ؤمشٍ‪٣‬ا‬
‫‪azizabdin@aol.com‬‬

‫ٌ‬
‫ُ٘الذًً‪ ،‬وحىَش جفىٗ ؤلامام الٕضالي ‪ٜ‬اثم‬ ‫ٌٌ‬
‫الخل‪ ٞ‬صاد ِلُ‪ٌٌٌ ٤‬‬ ‫مً صاد ِلُ‪ ٤‬في‬
‫ِلى ألاخز الذ‪ ُٜٞ‬بمحاظً ألاخال‪ ٛ‬والبّذ ًِ معاوئها حُث ‪١‬ان الهذٗ ألاو‪ ٥‬مً‬
‫جإلُ‪ٙ‬ه ‪٠‬خابه) بحُاء ِلىم الذًً( ٘‪ٝ‬ذ ‪١‬ان ًشي ؤن العّادة جىا‪ ٥‬بتز‪ُ٠‬ت الى‪ٙ‬غ‬
‫وج‪٢‬مُلها وؤن ج‪٢‬مُلها ً‪٣‬ىن با‪٠‬دعاب ال‪ٙ‬ماثل ‪١‬لها‪ٌ.‬‬
‫وبرا جإملىا بخىحي وؤخىاحي في مفى‪ٙ‬اث الٕضالي اإلاخّل‪ٝ‬ت بهزا اإلاجا‪ ٥‬هجذ ؤهه ‪ٜ‬ذ‬
‫ؤ‪ٜ‬ام ألاخال‪ِ ٛ‬لى البّذ الى‪ٙ‬س ي زم الاحخماعي زم الذًني للعلى‪ ٟ‬ؤلاوعاوي ححن ج‪ٝ‬ىم‬
‫م‪ٙ‬اَُم وؤظغ التربُت الصخُحت بضسُ ‪ُٜ‬م بوعاهُت جشقى باإلوعان بلى مذاسج العمى‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ـالخا ًيؽذ ظّادة الذاسًٍ‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫مىاوىا‬ ‫وججّل مىه‬

‫ل‪ٝ‬ذ وحذ ؤلامام الٕضالي لالخه مً ؤحل جح‪ ُٞٝ‬ما ًفبى بلُه مً ـ‪ٙ‬اء الى‪ٙ‬غ‬
‫وومإهِىت ال‪ٝ‬لب وسحاحت الّ‪ٝ‬ل وال‪ٙ‬هم الصخُح للؽش ٌّت في الخفىٗ الخ‪ُٝٝ‬ي‬
‫ِىذما اؼخٕل بخاـت ه‪ٙ‬عه وِ‪ٝ‬له وصخب الؾ ًخ ال‪ٙ‬مل بً محمذ ال‪ٙ‬اسمزي‬
‫ٌ‬
‫جلمُزا ألبي ال‪ٝ‬اظم ال‪ٝ‬ؽحري و٘‪ ٞ‬ما ؤؼاس بلُه العب‪٣‬ي في وب‪ٝ‬اث‬
‫ٌ‬ ‫الزي ‪١‬ان‬
‫الؽاُّ٘ت ِىذما جشحم ظحرة الٕضالي‪ ،‬زم جش‪ ٟ‬حمُْ مىاـبه وجىحه هحى الؽام حُث‬
‫‪ٜ‬ط ى ٘حها ِؽش ظىىاث ًيخ‪ٝ‬ل بحن دمؽ‪ ٞ‬وبِذ اإلا‪ٝ‬ذط والدجاص‪ ،‬و‪٠‬خب في َزٍ‬
‫الشحلت ‪٠‬خابُه اإلاى‪ٝ‬ز مً المال‪ ٥‬وبحُاء ِلىم الذًً‪ٌ.‬‬

‫‪63‬‬
‫محمذ ِضٍض ِابذًً الخعُني‬

‫و‪ٜ‬ذ ؤؼاس بلى َزٍ الشحلت ومذي حاحخه بلُه ا في ‪٠‬خابه اإلاى‪ٝ‬ز مً المال‪٥‬‬
‫ِىذما ‪ٜ‬ا‪ " :٥‬إلاا ٘شٔذ مً َزٍ الّلىم ؤ‪ٜ‬بلذ بهمتي ِلى وشٍ‪ ٞ‬الفىُ٘ت‪ ،‬وِلمذ‬
‫ؤن وشٍ‪ٝ‬تهم وبًمانهم بّلم وِمل وبإن مىهجهم ً‪ٝ‬ىم ِلى ؤظاط ‪ٜ‬ىْ ِ‪ٝ‬باث الى‪ٙ‬غ‬
‫والخجزٍ ًِ ؤخال‪ٜ‬ها اإلازمىمت حتى ًخىـل بها بلى جخلُت ال‪ٝ‬لب ًِ ٔحر هللا حّالى‪،‬‬
‫وجحلُخه بز‪٠‬ش هللا"‪ ،‬و‪١‬ان سحمه الل ٌ ‪ٜ‬ذ ‪٠‬ؽ‪ ٚ‬العش الزي دِاٍ للعحر في مىهج‬
‫الخفىٗ الخ‪ُٝٝ‬ي ‪ٜ‬ل الف‪ٙ‬حاث ب‪ٝ‬ىله‪ “ ":‬والحٍذ ؤِمالي وؤحعجها الخذسَغ‬
‫والخّلُم‪٘ ،‬ةرا ؤها م‪ٝ‬بل ِلى ِلىم ٔحر مهمت وال هاّ٘ت في وشٍ‪ ٞ‬آلاخشة‪ ،‬زم ج‪٢ٙ‬شث في‬
‫هُتي في الخذسَغ‪٘ ،‬ةرا هي ٔحر خالفت لىحه هللا حّالى‪ ،‬بل باِثها ومحش‪٠‬ها ولب‬
‫الجاٍ واهدؽاس الفِذ ٘خُ‪ٝ‬ىذ ؤهني ِلى ؼ‪ٙ‬ا حشٗ َاس"‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬
‫بّما مً ؤَذاٗ ؤلامام‬ ‫ٌ‬ ‫وَىا وعخىُْ ؤيها ؤلاخىة وألاخىاث ؤن وعخخلق‬
‫الٕضالي مً خال‪ ٥‬ظلى‪٠‬ه مىهج الفىُ٘ت الخ‪ُٝٝ‬ي‪ٌ:‬‬
‫‪ .4‬بخشاج حُل حذًذ مً الّلماء واإلاشبحن الّاملحن الزًً جخىحذ ؤ٘‪٣‬اسَم بذ‪٥‬‬
‫ؤن جدىابز‪ ،‬وجخ‪٣‬امل حهىدَم بذ‪ ٥‬ؤن ث جفاسُ‪ٌٌ ،‬وجخلق ٔاًتهم هلل حّالى‬
‫بما ًخ‪ ٞٙ‬مْ مبادت الؽشُ الخىُ‪ٌ.ٚ‬‬
‫وفي َزا ً‪ٝ‬ى‪ ٥‬في ‪٠‬خابه بحُاء ِلىم الذ ًً‪٘ " :‬الّلماء َم ٌٌٌ‬
‫ؤوباءالذًً ِلحهم ؤن‬
‫ًىلبىا مشض ى الّ‪ٝ‬ى‪ ٥‬والى‪ٙ‬ىط لّالحهم ألنهم وسزت ألاهبُاء‪ ،‬وألاهبُاء ما جش‪١‬ىا‬
‫الً اط ِلى حهلهم بل ‪١‬اهىا ًىادونهم في مجامّهم وٍذوسون ِلى ؤبىاب ٌدوسَم‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫واحذا ٘حرؼذونهم‪٘ ،‬ةن مشض ى ال‪ٝ‬لىب ال ٌّش٘ىن‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫واحذا‬ ‫في الابخذاء وٍىلبىنهم‬
‫مشلهم" ؤلاحُاء\ج‪ٌ,4‬ؿ‪ٌ.05‬‬
‫ٌ‬
‫٘اظذا للخّلُم‪ً ،‬ش‪٠‬ض‬
‫ٌ‬ ‫‪ .2‬ولْ مجهاج حذًذ للتربُت والخّلُم‪ :‬ألهه ‪١‬ان ًشي ٌٌ‬
‫هٍاما‬
‫ٌ‬
‫ِلى جخشي مىٌ‪ٙ‬حن للذولت ال ِلماء ًخذمىن ؤَذا ٌ٘الذًً وٍحملىن سظالت‬
‫ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى‪٢‬ش مً خال‪ ٥‬الشبي بحن ؤـى‪ ٥‬الّلىم الؽشُِت‬
‫وؤـى‪ ٥‬الّلىم الّ‪ٝ‬لُت ٘ال جذس‪ ٟ‬ألاولى دون الثاهُت ألن الّلىم الّ‪ٝ‬لُت‬
‫‪١‬األدوٍت للصخت والّلىم الؽشُِت ‪١‬الٕزاء‪٘ ،‬مً ً‪ٝ‬خفش ِلى الّلىم‬

‫‪64‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫اهدؽاس وجإزحر جفىٗ الٕضالي في الٕشب‬

‫ُ٘الذًً بال ‪ٜ‬ؽىسٍ بل خُاالجه وؤمثلخه دون لبابه‬ ‫الؽشُِت ٘‪ٝ‬ي ٘ال ً‪ٙ‬هم ٌٌٌ‬
‫وح‪ُٝٝ‬خه‪.‬‬
‫ولّل مً اإلا‪ُٙ‬ذ ؤن ؤؼحر َىا بلى اإلاُادًً ألاظاظُت التي ظاس ِلحها ؤلامام‬
‫الٕضالي في مجهاحه التربىي والخّلُمي‪ٌ:‬‬
‫‪ -‬بىاء الّ‪ُٝ‬ذة ؤلاظالمُت‪ :‬ورل‪ ٤‬بهذٗ ج‪٣‬ىًٍ ِ‪ُٝ‬ذة وامخت حُت‬
‫ج‪٣‬ىن بمثابت ألاًذولىحُت التي جحذد معاس العُاظاث اإلاخخل‪ٙ‬ت‬
‫ٌ‬
‫حلُا في سظالت ظماَا الخ‪٢‬مت مً مخلى‪ٜ‬اث الل‬ ‫وجىحهها‪ ،‬وٌهش َزا ٌ‬
‫ٌ ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ِاإلاا بال‪ٙ‬ماء‪،‬‬
‫٘ل‪ُ٢‬ا ٌ‬ ‫ٌٌ‬
‫مخخفا بالدؽشٍح ؤو ٌ‬ ‫ٌ‬
‫وبِبا‬ ‫ٌ ِضوحل هشاٍ ٘حها‬
‫ورل‪ ٤‬مً خال‪ِ ٥‬ىاوًٍ ؤبىاب َزٍ الشظالت مً مثل‪ :‬الخ‪٢ٙ‬حر في خل‪ٞ‬‬
‫العماء وفي َزا الّالم \ في ح‪٢‬مت الؽمغ \ ح‪٢‬مت ال‪ٝ‬مش وا‪٥‬‬
‫‪١‬ىا‪٠‬ب \ حؽشٍح ألاحعام‪ٌ.‬‬
‫‪ -‬مُذان تهزًب الى‪ٙ‬غ وؤلاسادة‪ :‬حُث ًخحشس اإلاخّلم مً الخمىُ‬
‫للؽهىاث وألاَىاء وٍخفشٗ و٘‪ ٞ‬مشاد هللا ًِ ‪ٜ‬ىاِت وسض ى‪ ،‬و‪ٜ‬ذ‬
‫ولْ الٕضالي سحمه َىا وظاثل ومخىلباث جح‪ ٞٝ‬ؤَذاٗ َزا اإلاُذان‬
‫ٌ‬
‫ؤبحازا مىىلت في الخحل ًل الى‪ٙ‬س ي ومشاجب جىىس الى‪ٙ‬غ‬ ‫ٌ‬ ‫بفُأخه‬
‫وؤحىالها واإلاازشاث التي جازش في العلى‪ ٟ‬وال‪٢ٙ‬ش واإلاماسظاث التي ًجب‬
‫ؤن ًمش بها اإلاخّلم‪ٌ.‬‬
‫‪ -‬مُذان دساظت الّلىم ال‪ٝٙ‬هُت‪ :‬وما اؼخملذ ِلُه مً ؤهٍمت ومبادت‬
‫جخىلبها اإلاّامالث الجاسٍت وال‪ٝ‬ماًا الخُاجُت ال‪ٝ‬اثمت واإلاخجذدة‪،‬‬
‫و‪١‬اهذ دساظاث َزا اإلاُذان مخحشسة مً الخ‪ٝ‬لُذ اإلازَبي مخفلت‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫اجفاال مباؼشٌا بال‪ٝ‬شآن ا‪٠ ٥‬شٍم‪ٌ.‬‬ ‫ٌ‬
‫‪ -‬مُذان الخ‪٢‬مت ؤو ؤلاِذاد التربىيٌ‪ :‬و‪ٜ‬ذ ؤدخل الٕضالي َىا حمُْ‬
‫العُاظاث واإلاهً التي ًحخاحها لِغ مجخمّه ٘‪ٝ‬ي وبهما مجخمّىا‬
‫ٌ‬
‫ؤًما بلا٘ت بلى ‪ُُٙ٠‬ت جىصَْ ؤ٘شاد اإلاجخمْ حعب‬ ‫ٌ‬ ‫اإلاّاـش‬
‫اظخّذاداتهم و‪ٜ‬ذساتهم‪ ،‬وإلاح بلى ؤن ِلىم َزا اإلاُذان ال ج‪ٝ‬خفش ِلى‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪65‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ِضٍض ِابذًً الخعُني‬

‫ٌ‬
‫معخ‪ٝ‬بال بعبب‬
‫ٌ‬ ‫ما حّشٗ ِلُه ؤلاوعان وسهما ظُبرص ا‪٠ ٥‬ثحر مجها‬
‫جىىس الخُاة وججذد الاحخُاحاث‪ٌ.‬‬
‫‪ .3‬محاسبت اإلاادًت الجاس٘ت والعلبُت الذًيُت وجصخُح الخفىس العاثذ ًِ‬
‫الذهُا وآلاخشة‪ :‬واظخخذم الٕضالي َىا ألاظلىب الهادت الخحلُلي الزي ًخاوب‬
‫الّ‪ٝ‬ل وَعتهذٗ ؤلا‪ٜ‬ىاُ وججىب لهجت الخىُب الىاَِ الزي ٌؽخٕل‬
‫بٍىاَش ؤِشاك اإلاشك الثاهىٍت ُ٘مُل بلى بزاسة الّىاو‪ ٚ‬ودٔذٔت اإلاؽاِش‪.‬‬
‫بن اإلاادًت ؤو العلبُت الذًيُت ِىذ الٕضالي َما هخاج ٘اظذ الخخال‪ ٥‬الّال‪ٜ‬ت‬
‫ال‪ٝ‬اثمت بحن ؤلاوغ ان والذهُا بعبب ظىء ال‪ٙ‬هم والجهل بالخ‪٢‬مت ؤلالهُت‬
‫مً خل‪ ٞ‬ؤلاوعان والذهُا وآلاخشة مما هخ ِىه ٔمىك واسجبا‪ ٟ‬في م‪ٝ‬اـذ‬
‫الخُاة وؤَذا٘ها ِىذ ؤلاوعان‪ٌ .‬‬
‫٘اإلاىلى حّالى خل‪ ٞ‬ؤلاوعان لُّبذٍ وَّش٘ه وَى في َزٍ الّبادة واإلاّش٘ت ٌّبر‬
‫الذهُا بلى آلاخشة حُث الجضاء واإلاعخ‪ٝ‬ش‪ ،‬وٍخحذد ؼ‪٣‬ل َزا الاظخ‪ٝ‬شاس في هىُ‬
‫الخُاة التي ٌِّؽها ؤلاوعان في الذهُا وهىُ الّال‪ٜ‬ت التي ج‪ٝ‬ىم بُجهما‪ٌ.‬‬
‫‪ .4‬الذِىة للّذالت الاحخماُِت‪ :‬اَخم الٕضالي سحمه هللا بمُذ ان الّذالت‬
‫الاحخماُِت ‪ٜ‬ذس اَخمامه بإمىس الّ‪ُٝ‬ذة وؤلاـالح‪ٝ٘ ،‬ذ ‪١‬ان ًشي ؤن " اإلاا‪٥‬‬
‫آلت ـبها هللا في ؤًذي ِبادٍ لخ‪٣‬ىن آلت لذْ٘ حاحاتهم ووظُلت لُخ‪ٙ‬شٔىا‬
‫لىاِاتهم‪ "...‬ؤلاحُاء \ج‪1‬ؿ‪ 223‬ومابّذَا‪.‬‬
‫و‪ٜ‬ذ ولْ الٕضالي لخح‪َ ُٞٝ‬زٍ الّذالت الاحخماُِت مبادت مخّذدة؛ َا‪٠‬م‬
‫ؤَمها‪ٌ:‬‬
‫ٌ‬
‫ح‪ٝ‬ا ظىي الض‪١‬اة‪ " :‬لزل‪ً ٤‬جب ُ لى ألأىُاء مهما وحذوا‬ ‫‪ -‬بن في اإلاا‪ٌ ٥‬‬
‫ال‪ٝٙ‬شاء في حاحت ؤن ًضٍلىا حاحتهم‪ ،‬ومهما ؤسَ‪ٝ‬ذ ال‪ٝٙ‬حر حاحخه ‪١‬اهذ‬
‫بصالتها ٘شك ‪ٙ٠‬اًت بر الًجىص جمُِْ معلم"‪ ،‬و في اإلا‪ٝ‬ابل ِلى ال‪ٝٙ‬حر ؤن‬
‫ي بز‪ ٥‬حهذٍ للخفى‪ِ ٥‬لى هفِبه مً اإلاا‪ ٥‬مً خال‪ ٥‬الّمل والىظاثل‬
‫الؽشٍ‪ ٚ‬بر " لِغ الّبادة ؤن جف‪ٜ ٚ‬ذمُ‪ ٤‬ؤحر‪ٌّ ٟ‬ى‪ ٥‬ل‪ ،٤‬و‪ً٠ ٥‬‬

‫‪66‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫اهدؽاس وجإزحر جفىٗ الٕضالي في الٕشب‬

‫ابذؤ بشُٔ‪٘ ٤ٙ‬إحشصٍ زم حّبذ‪ ،...‬وٍىم ال‪ُٝ‬امت ًىادي مىاد‪ :‬ؤًً بٕماء‬
‫ٌٌ‬
‫ظاا‪ ٥‬اإلاعاحذ"‪ .‬ؤلاحُاء\ج‪1‬ؿ‪.223‬‬ ‫هللا في ؤسله ُ٘‪ٝ‬ىم‬
‫ٌ‬
‫‪٠‬خبا وسظاثل لمً ‪٠‬خابه بحُاء ِلىم الذًً جىمر الىمي‬ ‫‪ -‬ؤل‪ٌ ٚ‬‬
‫الؽشعي الصخُح للخُاة اإلاجخمُّت بما ًح‪ ٞٝ‬م‪ٝ‬خمُاث الّذالت‬
‫الاحخماُِت‪ :‬مً بُجها ‪٠‬خاب‪ :‬آداب ا‪٠ ٥‬عب واإلاّاػ‪ ،‬لمىه آساءٍ في‬
‫الخث ِلى الّمل وبُان ٘مله بلى ؤس‪١‬ان البُْ وؼشووه وظاثش اإلاّامالث‬
‫الا‪ٜ‬خفادًت والخجاسٍت‪ ،‬و‪٠‬خاب‪ :‬الخال‪ ٥‬والخشام‪ ،‬ؤساد مىه جحذًذ ؤهماه‬
‫الخُاة الاحخماُِت و‪ً ُٚ٠‬فان اإلاجخمْ مً الّاداث اإلاخال‪ٙ‬ت للؽشُ في‬
‫ؤظالُب اإلاِّؽت‪.‬‬
‫‪ -‬محاسبت الاحخ‪٣‬اس وا‪٠ ٥‬جز الخشام‪ :‬ألن "الاحخ‪٣‬اس ٌلم باإلاّاملت‪ ،‬وباجْ‬
‫الىّام اإلاحخ‪٢‬ش الزي ًيخٍش ٔالء ألاظّاس َى ٌلم ِام وـاحبه مزمىم‬
‫في الؽشُ ًبرؤ مىه هللا حّالى" ؤلاحُاء\ج‪2‬ؿ‪.44‬‬
‫‪ -‬مىْ به‪ٙ‬ا‪ ٛ‬اإلاا‪ ٥‬في الً ا٘لت مً الّباداث بّذ ؤداء ال‪ٙ‬شوك ودِا بلى‬
‫به‪ٙ‬ا‪ٜ‬ها ِلى ال‪ٝٙ‬شاء‪ " :‬وسبما ًحشـىن ِلى به‪ٙ‬ا‪ ٛ‬اإلاا‪ ٥‬في الدج‬
‫ٌ‬
‫حُاِا" ؤلاحُاء\ج‪2‬ؿ‪ٌ.141‬‬
‫ٌ‬ ‫ُ٘ذجىن مشة بّذ مشة وسبما جش‪١‬ىا ححرانهم‬

‫ٌٌ‬
‫ؤوىبذ في ا‪ ٥‬حذًث ًِ بحاس الّلم واإلاّش٘ت‬ ‫سبما ٌؽحر بلي البّن ؤهني ‪ٜ‬ذ‬
‫وؤلاـالح التي ؤبحش ٘حها ؤلامام الٕضالي سحمه هللا‪ ،‬ولّل َزا البّن ٌّزسوي بن‬
‫ٌ‬
‫ِاما ج‪ٝ‬شٍبا‪ٌ،‬‬
‫ٌ‬ ‫ِلم ؤهني ؤِِؾ ججشبت الذِىة بلى هللا في ؤمشٍ‪٣‬ا مىز زالزحن‬ ‫ٌٌ‬
‫ٌٌ‬
‫٘شـت‪٠‬ىذ‬ ‫وِىذما ٌولب مني ج‪ٝ‬ذًم َزٍ الىس‪ٜ‬ت في ؤِما‪ ٥‬ماجمشها مىحني رل‪٤‬‬
‫ؤهخٍ شَا للخّم‪ ٞ‬في جشحمت ظحرة ؤلامام الٕضالي‪٘ ،‬ةر بي ؤمام رخفُت ح‪ُُٝٝ‬ت‬
‫ٌ ٌ‬
‫وحذث ه‪ٙ‬س ي ؤمام رخفُت لم ججّل‬ ‫ٌٌ‬ ‫وِمال‪،‬‬
‫ٌ‬ ‫جحمل وسازت ِلم الً بىة ٌ‬
‫‪ٜ‬ىال‬
‫ٌ‬
‫محفىسا بحن حذسان اإلاعاحذ‪ ،‬وبهما حّل اإلاعاحذ مذاسط للذًً‬ ‫ٌ‬ ‫ؤلاظالم‬
‫والذهُا‪ٌ.‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪67‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫محمذ ِضٍض ِابذًً الخعُني‬
‫ٌ‬
‫وزالزت ِ‪ٝ‬ىد مً الضمً ِلى و٘اجه)جىفي ِام‬ ‫ٌٌ‬ ‫ؤلامامالٕضالي وبّذ ؤل‪ ٚ‬ظىت‬
‫‪ 050‬مً الهجشة( ؤحذٍ ٌِّؾ معي في ججشبتي الذِىٍت في بالد هللا الىاظّت‪،‬‬
‫ؤحذٍ معي في ألاظىا‪ ٛ‬ومُادًً الخُاة اإلاخخل‪ٙ‬ت‪ٌ،‬‬
‫ٌ‬
‫ً‪ٝ‬ى‪ ٥‬لي‪ ً٠ :‬خىُب اإلاسجذ ٌ ٌ‬
‫اإلابؽش ال اإلاى‪ٙ‬ش‪ ً٠ ،‬الىاَِ الّالم بؽاون‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫وؤخال‪ُٜ‬ا‪ ً٠ ،‬الىبِب اإلاذاوي ألِشاك‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫واحخماُِا‬ ‫ٌ‬
‫ا‪ٜ‬خفادًا‬ ‫ؤ٘شاد مجخمّ‪٤‬‬
‫ؤمشالهم العلى‪ُ٠‬ت والتربىٍت‪ٌ.‬‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫اَذا ِلى وشٍ‪ٝ‬ت الّاحضًٍ‪،‬‬
‫هاظ‪٣‬ا ص ٌ‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫مخّبذا‬ ‫لم ؤحذ ؤلامام الٕضالي في دِىجه‬
‫ٌ ٌ‬ ‫ٌ‬
‫ِاإلاا بإن الخذًً الفاد‪ ٛ‬الخ‪ُٝٝ‬ي ال ٌعخ‪ٝ‬ش في لمحر‬ ‫ِامال ٌ‬ ‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫داُِا‬ ‫بهما وحذجه‬
‫ٌ‬
‫دّ٘ا بلى ؤلاحعاط الّمُ‪ ٞ‬بإهه ‪ٜ‬ىة ٘اِلت بًجابُت‪ ،‬وؤن‬ ‫ٌ‬ ‫اإلاامً حتى ًذّ٘ه‬
‫جفىساجه للّ‪ُٝ‬ذة مهما ج‪ ً٢‬ظلُمت‪ ،‬وؤن مؽاِشٍ مهما ج‪ ً٢‬هبُلت ال ‪ُٜ‬مت لها‬
‫ج‪ٙ‬شٓ في حش‪٠‬ت معخمشة و‪ٜ‬ذسة داثمت ِلى البىاء والخّمحر وجىمُت الخُاة‬ ‫مالم ٌ ٌٌ‬
‫وججمُل الىحىد [ بهما اإلاامىىن الزًً آمىى ا بالل ٌ وسظىله زم لم ٌ‬
‫ًشجابىا‬
‫وحاَذوا بإمىالهم وؤه‪ٙ‬عهم في ظبُل ا هلل ؤولئ‪َ ٤‬م الفاد‪ٜ‬ى ٌن] الدجشاث\‪ٌ. 10‬‬
‫ٌ‬
‫خخاما ؤن ؤِشك ؤمام حمشاج‪٢‬م همارج مً خبرحي في‬ ‫ٌ‬ ‫واظمحىا لي‬
‫الاظخ‪ٙ‬ادة مً مىهج الخفىٗ الخ‪ُٝٝ‬ي ومً ججاسب بّن الذِاة في ؤمشٍ‪٣‬ا مثل‬
‫ججشبت الذاُِت حمضة ًىظ‪ ٚ‬ؤو الذاُِت صٍذ ؼا‪٠‬ش؛ ‪١‬ان لها ٍُِم ألازش الىُب‬
‫في حُاة اإلاعلمحن ؤحر اإلاعلمحن ألنها مبيُت ِلى همىرج ٌٌٌ‬
‫دِىٍ ي ٘‪ُٝ‬ه باإلا‪ٝ‬فذ‬
‫الّام لؽشَّخىا ؤال وَى حلب اإلاىاْ٘ ودسء اإلا‪ٙ‬اظذ‪ٌ.‬‬
‫اللهم احّلىا َذاة مهذًحن‪ ،‬مبؽشًٍ ظّذاء معّذًً ب‪ٙ‬مل مى‪ً ٤‬اؤسحم‬
‫الشاحمحن‪ٌ.‬‬

‫‪68‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫التصىف عند الامام الغسالي وجأثيره في إندونيضيا‬

‫أحمد إلياش إصماعي‬


‫ٌ‬
‫ب‪٣‬لُت ٌ‬
‫الذساظاث الاظالمُت حامّت الؽاُّ٘ت الاظالمُت حا‪٠‬شجا اهذووعُا‬ ‫ِمُذ‬

‫املخص‬
‫ًفل ؤلامام الٕضالي في الّلم واإلاّش‪ٜ‬ت بلى معخىي ال‪ٝ‬مت وَىاإلا‪٢ٙ‬ش اإلاعلم اإلاّشوٗ‬
‫له م‪٣‬ان باسصٌ ومخمحز في ‪ٜ‬لىب اإلاعلمحن ٌّمل الٕضالي ِلى ِملُت الخىحُذ بحن ال‪ٝٙ‬ه‬
‫والخفىٗ وَّخبر هجاحا ٘حها„ٌوال‪٢‬خاب الشاجْ الزي ال‪ٙ‬ه بحُاء ِلىم الذًً ً‪٣‬ىن خحر‬
‫ؼهُذ ِلى رل‪. ٤‬وٍا‪٠‬ذٍ الّالم ؤلاجذووس ي الباسص هىس خالق مجُذ ؤن الٕضالي ب‪٢‬خابه‬
‫بحُاء ِلىم الذًً مثل ججهحز الٕش٘ت لها م‪ ُٚ٢‬الهىاء التي ًجّل ‪١‬ل داخلها الًشٍذ‬
‫الخشوج مجها مشة ؤخشي‪ٌ .‬‬
‫ٌ‬
‫املقدمت‬
‫ًفل ؤلامام الٕضالي في الّلم واإلاّش‪ٜ‬ت بلى معخىي ال‪ٝ‬مت وَىاإلا‪٢ٙ‬ش اإلاعلم‬ ‫ٌ‬
‫اإلاّشوٗ له م‪٣‬ان باس ٌص ومخمحز في ‪ٜ‬لىب اإلاعلمحن‪ ،.‬مهما ج‪ ً٢‬ألاساء التي ‪ٜ‬بلذ ِىه‬
‫مخخل‪ٙ‬ت ‪٘ ,‬ةن الجمُْ مخ‪ٝٙ‬ىن ِلي ِلى م‪٣‬اهخه في ؼئىن الّلم واإلاّش٘ت وسؼى‬
‫‪ٜ‬ذمه ٘حها وٍف‪ٙ‬ه ؤظخارٍ الجىٍني بإهه ‪١‬اإلاىظىِت الجخمه التي جحخىي ِلي مخخل‪ٚ‬‬
‫الخخففاث‪ ،‬مً ال‪ٝٙ‬ه وؤـى‪ ٥‬ال‪ُٝٙ‬ه وال‪٢‬الم واإلاىى‪ ٞ‬وال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت‪ ,‬و‪١‬اهذ حُاجه‬
‫حا٘لت ٔىُت باالخجاسب وـىسة للخّم‪ ٞ‬في اِىس الامىس‪,‬ول‪ ً٢‬بّذ ان ًمط ي مذة ٔحر‬
‫‪ٜ‬فحرة في الخُاساث والفشِاث ال‪ٙ‬لع‪ُٙ‬ه وال‪٢ٙ‬شٍه ‪١‬ان ؤخش محىت ًخخاسَا هي‬
‫محىت ال‪٢ٙ‬شة الفىُ٘ت والى‪ٙ‬عُه ‪.‬لهزا‪ٌّ ...‬شٗ الٕضالي بإهه سحل ـىفي بذال مً‬
‫٘‪ُٝ‬ه بظالمي و الَىجني (مخ‪٣‬لم)‪ ،‬وُ٘لعىٗ‪ٌ .‬‬

‫‪69‬‬
‫ؤحمذ بلُاط بظماُِل‬

‫اِشب الٕضالي في ظحراجه الزاجُت مً ‪٠‬خاب"اإلاى‪ٝ‬ز مً المال‪ " ٥‬بإن ألادة‬ ‫ٌ‬
‫إلاّش٘ت الخ‪ُٝٝ‬ت هي التي ج‪٢‬ؽ‪ ًِ ٚ‬وشٍ‪ ٞ‬ال‪٢‬ؽ‪ ٚ‬و َىماٌعمى بمىهج التز‪ُ٠‬ت‬
‫الى‪ٙ‬عُت التي ً‪ٝ‬زٗ هللا هىسا في ‪ٜ‬لب ِبذٍ إلاً ٌؽاء مً ِبادٍ مباؼشة‪ ,‬ؤما وشٍ‪ٞ‬‬
‫الخىاط والّ‪ٝ‬ل الزي ًىٍش الحها الٕضالي إلبشاص الخ‪ُٙٝ‬ت ؤحُاها ًخذُ وٍذلغ بمّنى‬
‫لِغ داثما ًشؼذ الىاط بلى ـلب الخ‪ٝ‬اث‪ ٞ‬ؤوالفىاب‪ٌ .‬‬
‫َىا ً‪ٝ‬ىم الٕضالي بخىىٍش ‪٠‬ال اإلاىهجحن مً خال‪ ٥‬ولْ الىٍشٍت اإلاّشُ٘ت‬ ‫ٌ‬
‫(ببعخمىلىجي) الجذًذة وَزٍ ما ٌّشٗ لذي اإلاعلمحن باإلاىهج الّش٘اوي ‪ ,‬ومً الجذًش‬
‫بالز‪٠‬ش ؤًما ؤن معاَمخه فى الخفىٗ لِغ ِلى َزا الخذ ٘حعب ل‪٢‬ىه ً‪ٝ‬ىم‬
‫ٌ‬
‫بالمذ ِلى مجمىِت الشوحاهُحن المالحن التى اؼتهشث بالىاث‪ٙ‬ت الباوىُت‪ ,‬والمذ‬
‫ِلى مجمىِت مً ِلماء اإلاعلمحن اللبرالُحن الزًً جإزشوا باأل٘‪٣‬اس واال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ت‬
‫الُىهاهُت‪ُ٘ ،‬إخز الٕضالي مى‪٢٘ ٜٚ‬شة الىظي للخفذي ِلى جل‪ ٤‬اإلاجمىِت وٍثمش‬
‫رل‪ ٤‬هٍشٍت الخ‪٣‬امل التي ٌّمل ِلى جىحُذ الّ‪ٝ‬ل والى ي مً حهت وجىحُذ الخفىٗ‬
‫والؽشَّت مً حهت ؤخشي‪ٌ .‬‬
‫ٌّمل الٕضالي ِلى ِملُت الخىحُذ بحن ال‪ٝٙ‬ه والخفىٗ وَّخبر هجاحا ٘حها„ٌ‬ ‫ٌ‬
‫وال‪٢‬خاب الشاجْ الزي ال‪ٙ‬ه بحُاء ِلىم الذًً ً‪٣‬ىن خحر ؼهُذ ِلى رل‪ ،٤‬ألن َزا‬
‫ٌ‬ ‫ٌ‬
‫الّمل ال‪٢‬بحر ‪ٜ‬ذ حاص ؼهشة واهدؽاسا ما لم ً‪ٝ‬اسبه ؤي ‪٠‬خاب مً ‪٠‬خب ؤخشي وهىا‪ٜ‬ا‬
‫واظّا فى الّالم ؤلاظالمي ٘إـُح الخفىٗ بهزا ال‪٢‬خاب ِلما ًحل حّلمه ووّلُمه‬
‫بّذ ؤن ‪١‬ان محشما لذي اإلاعلمحن‪ ,‬وٍ‪ٝ‬ى‪ ٥‬جاج الذًً العب‪٣‬ى "ان لم ً‪َ ً٢‬ىا‪٠ ٟ‬خاب‬
‫ؤخش ِلى وحه ألاسك ً‪ٙ٢‬ي بةحُاءِلىم الذًً دلُال" وٍا‪٠‬ذٍ الّالم ؤلاجذووس ي الباسص‬
‫هىس خالق مجُذ ؤن الٕضالي ب‪٢‬خابه بحُاء ِلىم الذًً مثل ججهحز الٕش٘ت لها م‪ُٚ٢‬‬
‫الهىاء التي ًجّل ‪١‬ل داخلها الًشٍذ الخشوج مجها مشة ؤخشي‪ٌ .‬‬
‫فى الخفىٗ ًىا‪ ٥‬الٕضالي إلا‪٣‬اهه ألاِلى وجإزحرٍ ألاوظْ ُ٘ه وظام الل‪ٝ‬ب حجت‬ ‫ٌ‬
‫ؤلاظالم ‪ ،‬وَزا الى‪ٙ‬ىر لِغ م‪ٝ‬فىسا في الذو‪ ٥‬الّشبُه ٘‪ٝ‬ي ل‪٢‬ىه حاوص الي الذو‪٥‬‬
‫ألاظُىٍت الجىىبُت بما في رل‪ ٤‬بهذوهِعُا‪ .‬وَزٍ اإلا‪ٝ‬الت هي اللمحت اًِ ؤ٘‪٣‬اسالٕضالي‬
‫في الخفىٗ وجإزحرٍ فى بهذوهِعُا‪ٌ.‬‬

‫‪70‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫ٌ‬
‫الخفىٗ ِىذ الامام الٕضالي وجإزحرٍ في بهذوهِعُا‬

‫اللمحت عن صيراث حياة الغسالي‬


‫‪٠‬ما ‪١‬ان مّشو٘ا ؤن بظم الٕضالي ال‪٣‬امل ابىحامذ محمذ بً محمذ الٕضالي‬
‫وَىٍىلذ فى وىط بحذي اإلاذن بخشظان ال‪ٙ‬اسط‪ .‬في مىخف‪ ٚ‬ال‪ٝ‬شن الخامغ الهجشي‬
‫(‪4058/ٌ450‬م) ‪ٜ‬ذ ولذ ٘حها اًما الّذًذ مً الّلماءالٍّام مً بُجها ؼاِشوِالم‬
‫ال‪ٙ‬شدوس ي وِمش الخُام وـىفي ‪٠‬بحر ؤبى ًضٍذ البعىامي وحعحن بً مىفىس الخالج‪.‬‬
‫و‪١‬ان والذٍ ‪٠‬ماًز‪٠‬ش البّن ؤهه ِالم ومخ‪ ًٝ‬فى ال‪ٝٙ‬ه ل‪َ ً٢‬زا ال‪٢‬الم ٔحر صخُح‪،‬‬
‫ألن والذٍ ‪١‬ان ٌّمل ‪ٕ٠‬اص‪ ٥‬لللخُىه„ٌوِلى َزا الشؤي ‪١‬ان بظم الٕضالي بهزا اإلاعمى‬
‫ميعىبت بلى حش٘ت والذٍ‪ِ .‬لى الشٔم مً ؤن والذٍ لِغ مً الّلماء ل‪٢‬ىه ٌّخبرمً‬
‫لمً اَل الضَذ والىسُ الزي الًإ‪١‬ل بال مً ‪٠‬عب ًذٍ‪ ،‬ؼذًذ الخب والخمع‪٤‬‬
‫للذًً وحمُْ حّالُمه و‪٠‬ثرة الخىى الى داسالّلماء والخىاحذ مّهم لىلب الىصر‬
‫والّلىم الذًيُت‪ .‬جىفى والذٍ و‪١‬ان َىوؤخُه ؤحمذ ـٕحري العً‪ٌ ،‬و‪ٜ‬بل و٘اجه ب‪ٝ‬لُل‬
‫وص ى بهما بلى الّذًذ مً الّلماء لُذسظا مجهم الّلىم الذًيُتٌ‬
‫ابخذؤ ولبه للّلم في ـباٍ ٘إخز ال‪ٝٙ‬ه في وىط ِلى ًذ الؽُخ ؤحمذ‬
‫الشار‪١‬اوي زم سحل بلى حشحان وولب الّلم ِلى ًذ الؽُخ ؤبى الىفش ؤلاظماُِلي‪ ،‬زم‬
‫ولضم ٘حها بما م الخشمحن الجىٍني و‪١‬ان الجىٍني ًٌٍهش اِتزاصٍ‬ ‫سحل بلى هِعابىس ٌ‬
‫بالٕضالي‪ ،‬حتى ٘خ له ٘شـا ‪٠‬ثحرة في بداسة اإلاىا‪ٜ‬عت والجلعت الّلمُت‪ ،‬و‪١‬ان الجىٍني‬
‫و‪ٜ‬خئز اظخارا وسثِغ الجامّت‪ٌ.‬‬
‫بّذ ان جىفي الجىٍنى ًخىلى الٕضالي مىفب سثِغ ألا‪١‬ادًمُت الىٍامُت بذًال‬
‫مً ؤظخارٍ‪ ،‬مً َزٍ الى‪ٝ‬ىت ؼشُ ؤن ًىّ‪ٝ‬ذ الخىساث واإلاجادلت وخاـت مْ حماِت‬
‫الباوىُحن وال‪ٙ‬الظ‪ٙ‬ت‪ً ،‬ىا‪ ٥‬الٕضالي إلا‪٣‬اهخه فى الّلم بجاهب وسثِغ الجامّت بجاهب‬
‫آخش ؤ‪٠‬ثرؼهشة وؼّبُت لذي اإلاجخمْ ؤلاظالمي‪ ،‬ل‪ِ ً٢‬ىذ ما وـل بلى ال‪ٝ‬مت فى محىخه‬
‫‪٠‬م‪٢ٙ‬ش اـابه بلىشباث ه‪ٙ‬عُت ؼذًذة مثل الدؽ‪ ٤٢‬وَّنى به الخالت اإلاترددة فى‬
‫الى‪ٙ‬غ والعلى‪ ٟ‬بلى ‪١‬ل الخ‪ٝ‬اث‪ ٞ‬التى حعخخذم ألادة الخعُت والّ‪ٝ‬لُت فى ال‪٢‬ؽ‪،ٚ‬‬
‫وَزا ما اِشب الٕضالي ًِ حالت ه‪ٙ‬عه فى ‪٠‬خابه اإلاى‪ٝ‬ز مً المال‪٠ ٥‬عحراجه الزاجُت‪.‬‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪71‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ؤحمذ بلُاط بظماُِل‬

‫مىز رل‪ ٤‬الخحن جخلى الٕضالي مىفب الشثِغ للىٍامُت و‪ٜ‬ام بالشحالث بلى‬
‫الذو‪ ٥‬ؤلاظالمُت الّذًذة مً بُجها ظ‪ٙ‬ش بلى دمؽ‪ ٞ‬وم‪٢‬ث ٘حها ِامحن‪ ،‬زم بلى ٘لعىحن‬
‫وم‪٢‬ت ألداء مىاظ‪ ٤‬الدج‪ ،‬وٍز‪٠‬ش ؤن بحُاء ِلىم الذًً ؤٍِم ِمله فى الخإلُ‪١ ٚ‬ان‬
‫م‪٢‬خىبا فى َزٍ اإلاشحلت‪ .‬ومش الٕضالي في حُاجه باإللىشباث ال‪٢ٙ‬شٍت وحاوصٍ باللجىء بلى‬
‫الخُاة اإلاخىالّت بُّذا ًِ الترٗ ‪٠‬فىفي‪ ،‬واخخاس الٕضالي الخفىٗ ‪٠‬مخىت ألاخحرة‬
‫فى سحاالجه ال‪٢ٙ‬شٍت والشوحاهُت بلى و٘اجه في مهبي سؤظه وىط ًىم ‪ 44‬حمادي ألاخحر‬
‫‪ 49/ٌ505‬دٌعمحر‪4444‬م‪ٌ.‬‬

‫أرآء الغسالي فى التصىف‬


‫ِىذ ما هبحث ًِ الخفىٗ ًيبغى ؤن ٌّشٗ ان الٕضالي لِغ ألاولى فى َزا‬
‫اإلاجا‪ ٥‬و‪ٜ‬ذظب‪ٝ‬ه الّذًذ مً سحا‪ ٥‬الفى٘حن الزًً ٌِّؽىن فى الثالث الهجشي مثل‬
‫حاسط اإلاحاظبي (‪857/ٌ243‬م) وال‪ ٚ‬ال‪٢‬خاب الشِاًت لخ‪ٝ‬ى‪ ٛ‬هللا‪ ،‬وؤبىظُّذ‬
‫ٌ‬
‫وروالىىن اإلافشي ؤل‪ ٚ‬ال‪٢‬خاب‬ ‫(‪ )ٌ227‬ؤل‪ ٚ‬ال‪٢‬ىابحن الىشٍ‪ ٞ‬بلى هللا والفذ‪،ٛ‬‬
‫اإلاجشباث‪ ،‬وحىُذ البٕذادي ؤل‪ ٚ‬سظالت الجىُذ‪ٌ .‬‬
‫فى َزٍ ال‪ٙ‬ترة (ال‪ٝ‬شن الثالث الهجشي) ‪٠‬ما اولْ ِلحها الباحثىن ؤن مهمت‬
‫الخفىٗ جتر‪٠‬ض ِلى ‪ٜ‬مُت التز‪ُ٠‬ت الى‪ٙ‬عُت والّبىدًت وألاوساد و٘خح الىش‪ ٛ‬للىـى‪٥‬‬
‫بلى هللا‪ ،‬مْ ان ألامش في ح‪ُٝٝ‬خه لِغ م‪ٝ‬فىسا ِلى رل‪ ،٤‬و‪ٜ‬ذ ٌهشث في َزٍ ال‪ٙ‬ترة‬
‫ؤًما ٘‪٢‬شة الخىحذ ٌّنى جىحذ ؤلاوعان مْ خال‪ٝ‬ه ‪٠‬مابشصث ٘‪٢‬شة ؤلاجحاد ألبي ًضٍذ‬
‫ٌ‬
‫البعىامي و٘‪٢‬شة الخلى‪ ٥‬ألبي مىفىس الخالج‪ٌ.‬‬
‫‪١‬ان الٕضالي فى م‪ٙ‬هىم الخفىٗ س‪٠‬ض بلى معإلت الّبىدًت والىا‪ٜ‬ىط الذًيُت‬
‫والتز‪ُ٠‬ت الى‪ٙ‬عُت وألاخال‪ ٛ‬واإلاحبت واإلاّش٘ت الّلُا بلى هللا‪ ،‬وس٘ن بلى الخفىٗ‬
‫بااإلا‪ٙ‬هىم ال‪٣‬اثً مً ‪ٜ‬بل ظىاء ِلى ؼ‪٣‬ل ؤلاجحاد ألبي ًضٍذ ؤوالخل ٌى‪ ٥‬للخالج‪ ،‬واِلى‬
‫اإلا‪ٝ‬ام فى الخفىٗ ِىذ الٕضالي الزي ًم‪ ً٢‬الىـى‪ ٥‬بلُه ؤلاوعان م‪ٝ‬ام اإلاحبت‬
‫واإلاّش٘ت‪ٌ .‬‬

‫‪72‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫ٌ‬
‫الخفىٗ ِىذ الامام الٕضالي وجإزحرٍ في بهذوهِعُا‬

‫ومً اإلام‪ ً٢‬ؤن ه‪ٝ‬شؤ ؤ٘مل جإلُ‪ٙ‬ه ًِ الخفىٗ في ‪٠‬خاب بحُاء ِلىم الذًً‬
‫ُّ٘شٗ مىه ؤهه يهخم بالتز‪ُ٠‬ت الى‪ٙ‬عُت وحعً الخل‪ ٞ‬وال‪ٝ‬شبت مً هللا فى بواساِلى‬
‫اإلا‪ٝ‬اماث‪ ،‬اإلاحبت واإلاّش٘ت‪٘ ,‬لم ً‪َ ً٢‬ىا‪ ٟ‬م‪ٝ‬ام الخىحذ ؤوالىحذة‪ ,‬بل البذ ل‪٣‬ل‬
‫اإلا‪ٝ‬اماث التى حّشٗ بالىب‪ٝ‬اث للخىحه بلى الشب ألاِلى مشاحْ مً ال‪ٝ‬شآن والعىت‬
‫‪٠‬مفذس ؤظاس ي فى ؤلاظالم‪ ,‬برا لِغ بمعخٕشب ؤن ً‪ٝ‬ا‪ ٥‬ؤن مىهجه في الخفىٗ َى‬
‫الخفىٗ العني الزي حّل حّالُم ال‪ٝ‬شآن والعىت ظىذا له‪ ,‬وٍ‪ٝ‬ا‪ ٥‬ؤًما بالخفىٗ‬
‫الخل‪ٝ‬ي الّملي ألهه مهخم بال‪ٝ‬ىة ألاخال‪ُٜ‬ت والى‪ٝ‬ىط الذًيُت اإلاادًت بلى ال‪ٝ‬شب مً‬
‫هللا و٘‪َ ٞ‬ذاًخه وسظىله‪ٌ.‬‬
‫ومهم حذا للمالحٍت َىا ؤن الٕضالي في وحه ‪١‬ان ًدى‪ٝ‬ذ بؽذة بلى حماِت الباوىُت‬
‫وَّمل ِلي جى‪ُٝ‬ت م‪ٙ‬اَُم الخفىٗ مً ِىاـش الباوىُت ألنها الـلت لها بال‪ٝ‬شآن‪ ,‬و‬
‫ًٍهشرل‪ ٤‬الى‪ٝ‬ذ فى ‪٠‬خابه ٘ماثح الباوىُت الزي له الهذٗ اهخ‪ٝ‬اد بلى الباوىُحن‪ ،‬و‪١‬ان‬
‫ٌّمل ؤًما ِلى ه‪ٝ‬ذ َاالء ال‪ٝٙ‬هاء الزًً ً‪ٙ‬همىن الذًً باالخ‪٢‬م ِىلى الجاهب‬
‫الٍاَش الؽ‪٢‬لي ٘‪ٝ‬ي دون اللجىء بلى الجاهب الباوني اإلاممىن الزي ‪١‬ان فى ح‪ُٝٝ‬خه‬
‫حىَشالذًً ومهمخه فى وحه آخش‪ .‬وَزا ماًبذوفى ‪٠‬خاب ؤلاحُاء ِلىم الذًً فى ٘فل‬
‫سبْ الّبادة ححن ًبحث ًِ الفالة ٘ةهه الً‪ٝ‬خفش ِلى اس‪١‬ان الفالة وؼشووها ٘‪ٝ‬ي‬
‫‪٠‬ما َى اإلاّلىم فى ‪٠‬خب ٘‪ٝ‬هُت ل‪٢‬خه ؤًما ٌعشح ًِ حىَش الّبادة وؤظشاسٍ مثل‬
‫ؤظشاسالفالة والفىم والدج ؤحرَا‪ٌ .‬‬
‫ِىذ الباحث ‪١‬ان الٕضالي ٌّمل دوسا َاما في حىاهب زالزت وهي‪ :‬ألاولى جى‪ُٝ‬ت‬
‫الخفىٗ مً ِىاـش الباوىُت التى الٌعدىذ بلى حّالُم ؤلاظالم‪ ،‬حتى ؤـبح الخفىٗ‬
‫حالال وم‪ٝ‬بىال ِلى اإلاعلمحن‪ .‬الثاهُت ج‪٣‬ىًٍ وحهت الىظاه اوالخىاصن الجذًذة بحن‬
‫ال‪ٝٙ‬ه(الؽشَّت) والخفىٗ(الخ‪ُٝٝ‬ت) بّذ ؤن ‪١‬اها مخّاسلحن مً ‪ُٜ‬ل‪ .‬الثالثت‬
‫بظخمشاسٍت رل‪ ٤‬الذوس ظب‪ٝ‬ذ ر‪٠‬شاٍ حُث ؤن الٕض الي ‪ٜ‬ادسة ِلى ج‪٢‬شٍث الخفىٗ‬
‫ِلما سوحىُا ومشحبا فى الذو‪ ٥‬ؤلاظالمُت‪ ،‬للٕضالي جإزحر ‪ٜ‬ىي لذي اإلاعلمحن العيُحن ‪،‬‬
‫والذو‪ ٥‬الّشبُه وؤلاظالمُت مً لمجها بهذوهِعا ِلى الخاؿ‪ٌ .‬‬
‫ؤـُح الٕضالي ِاإلاا وم‪٢ٙ‬شا مؽهىسا مً مؽاس‪ ٛ‬ألاسك وم‪ٙ‬اسبها‪ ،‬وٍا‪٠‬ذ ِلى‬
‫رل‪٘ ٤‬ض‪ ٥‬الشحمً فى ‪ٜ‬ىله‪ :‬بن الٕضالي وجإزحرٍ ٘ى‪ ٛ‬ما ًحعبل‪ ،‬ألهه بجاهب هجاحه فى‬
‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪73‬‬
‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ؤحمذ بلُاط بظماُِل‬

‫بِادة بىاء ـىسة ؤلاظالم ال‪٢‬الظ‪٣‬ي بإن ًجّل الخفىٗ مً ؤَم ِىاـشٍ ٘ةهه ‪ٜ‬ذ‬
‫‪ٜ‬ام بّمل ؤلاـالح بلى الخفىٗ بحزٗ مااهخشٗ ُ٘ه وه‪ُُٝ‬ه مما لِغ مً ؤلاظ ٌالم‪،‬‬
‫وبخإزحرٍ ؤـبح الخفىٗ م‪ٝ‬شسا مً الجمهىس‪ ،‬حتي ًىا‪ ٥‬مجهم الثىاء والؽ‪٢‬ش ِلى‬
‫‪ٜ‬ذسِلىم‪٣‬اهه وؼهشجه‪ ،‬ل‪٢‬ىه بزل‪ ٤‬ؤًما َى ًىا‪ ٥‬ه‪ٝ‬ذا وِخابا‪ٌ.‬‬
‫ًثنى له اإلااٍذون بثىاء ٍُِم وَّخبرون ‪٠‬خاب بحُاء ِلىم الذًً مً احعً‬
‫ال‪٢‬خاب ِلى وحه ألاسك‪ ،‬وبالّ‪٢‬غ ًى‪ٝ‬ذ الشا٘مىن له وٍزمىهه بؽذة بما ًممً‬
‫ُ٘ه ال‪٢‬خاب وِلى سؤظهم ببً الخُمُه الزي ‪ٜ‬ا‪ُ٘ ٥‬ه‪ :‬بن ‪٠‬خاب ؤلاحُاء مملىء‬
‫بالخش٘اث والبذُ وألاحادًث المُّ‪ٙ‬لت والخ‪ٝ‬لُذ ِلى ؤ٘‪٣‬اسالفى٘حن ال‪ٝ‬ذماء بذون‬
‫ر‪٠‬ش مشاحّه مثل ؤبىوالب اإلا‪٣‬ي وابىحاسط اإلاحاظبي‪ٌ.‬‬

‫جأثير التصىف للغسالي فى إندونيضيا‬


‫اج‪ ٞٙ‬مٍّم اإلااسخىن ؤن وحه ؤلاظالم فى بهذوهِعُافى ‪ٜ‬ذًم الضمً ًخ‪٣‬ىن‬
‫مً زالزت ؤوحه وهي‪ :‬بظالم َىذي‪ ,‬بظالم ٘اسس ي‪ ,‬وبظالم ِشبي‪.‬دخل اظالم َىذي‬
‫واهدؽش ٘حها بإًذي ججاس حضٍشةغجشاث بالهىذ وؤلاظالم َىا ًبذوِلى همي الفىفي‬
‫(الشو ي)‪ .‬وبظالم ٘اسس ي َى ماحاءبه الّلماء والذِاة مً ال‪ٙ‬اسط و‪١‬ان ؤلاظالم َىا‬
‫ًبذوِلى الىمي الؽُعي‪ ,‬ؤما بظالم ِشبي له حزوسمً حضٍشة الّشب مً الزًً‬
‫ًبذِىن حشب ٘ذسي بعىمىشا الٕشبي ِىذما حاسبىا اَل الّادة‪ .‬وَاالء بهزا الىهج‬
‫ًمثلىن ؤلاظئلم ِلى همي بظالم ظل‪ٙ‬ي‪ٌ.‬‬
‫ِىذما هخحذر ًِ ؤ٘‪٣‬اسالخفىٗ الىاؼئت بةهذوهِعُا ًىحذ َىا هىِحن مجها‪:‬‬
‫اإلاىج ألاو‪ ٥‬في ال‪٢ٙ‬ش الفىفي َىالخفىٗ ال‪ٙ‬لع‪ٙ‬ي الزي ً‪ٝ‬ىم بخىىٍش ووؽش٘‪٢‬شة‬
‫الىحذة والخىحذ مثل ما حاء به َمضة ٘ىفىسي الفىفي وؼمغ الذًً ظمىشاوي‪.‬‬
‫وٍلُه اإلاىج الثاوي ِلى ِ‪٢‬غ اإلاىج ألاو‪َ ٥‬ى الخفىٗ الخل‪ٝ‬ى الّملي ؤوالخفىٗ‬
‫العني ورل‪ ٤‬للى‪ٝ‬ذ الى ما رَب بها اإلاىج ؤالو‪ ٥‬وجصخُحه‪ ,‬وؤحى بهزا الىىُ مً‬
‫الخفىٗ سحا‪ ٥‬و‪ٜ‬ادة الفىُ٘حن مً ؤمثا‪ ٥‬هىسالذًً الشاهحري‪ِ ،‬بذ الشئوٗ‬
‫العى‪٢‬لي‪ِ ،‬بذ الفمذ البلمباوي‪ ،‬ؤولُاء الدعّت‪ ،‬الؽُخ ًىظ‪ ٚ‬اإلا‪٣‬اظاسي ؤحرَا‪.‬‬

‫‪74‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫ٌ‬
‫الخفىٗ ِىذ الامام الٕضالي وجإزحرٍ في بهذوهِعُا‬

‫وَىالء مخإزشًٍ ًإ٘‪٣‬اسالٕضالي ألنهم ‪١‬اهىا مً ‪ٜ‬بل ًخل‪ٝ‬ىن الّلم بصاءِلماء الّشب مثل‬
‫بمام ال‪ٝ‬ؽحري ؤحرٍ ؤومً ِلماء ؤلاهذوهِس ي اإلا‪ُٝ‬مبن فى الّشب‪ٌ.‬‬
‫إلاّش٘ت ؤِم‪ ًِ ٞ‬جإزحر الخفىٗ ِىذ الٕضالي فى بهذومِعا ً‪ٝ‬ذم الباحث‬
‫خشٍىت اهدؽاسٍ مً خال‪ٜ ٥‬ىىاث زالزت‪ :‬مً ال خفُت ال‪٢‬باس‪ ,‬مً اإلاّاَذ ؤلاظالمُت‪,‬‬
‫ومً الىشٍ‪ٝ‬ت اإلاّخبرة اإلاماسظت فى اإلاجخمْ ؤلاهذوهِس ي‪ٌ.‬‬
‫وحمىس الخفىٗ ِبر ألارخاؿ ال‪٢‬باس‪،‬مً الّلماء والفىُُ٘حن ‪٠‬ما ظب‪ٝ‬ذ ر‪٠‬شٍ‬
‫فى اإلاىج الثاوي مً ال‪٢ٙ‬ش الفىفي ‪١‬اهىا ؤ‪٠‬ثرَم حبا وسٔبا الى ال‪٢ٙ‬شالفىفي ِىذ‬
‫الٕضالي‪ ،‬ومً بحن َاالء الؽُخ ِبذ الفمذ البلمباوي (ال‪ٝ‬شن ‪ ،)48‬وَى ال خق‬
‫اإلاهم والباسص الزي حّل الخفىٗ للٕضالي مىدؽشافى بهذوهِعُا‪ٜ ،‬ذ ال‪ ٚ‬الّذًذ ًِ‬
‫الٕضالي فى الخفىٗ‪ ،‬وِلى ظبُل اإلاثا‪٠ ٥‬خاب َذاًت العال‪٢‬بن في ظلى‪ ٟ‬معل‪٤‬‬
‫اإلاخ‪ٝ‬حن باللٕت اإلاالوٍت‪ ،‬وَزا ال‪٢‬خاب ِمل جشحمي مً ‪٠‬خاب بذاًت الهذاًت للٕضالي‪،‬‬
‫و‪٠‬خاب ؼشُ العال‪٢‬حن بلى ِبادة سب الّاإلاحن ِمل جشحمي مً ‪٠‬خاب بحُاء ِلىم‬
‫الذًً‪ ,‬باإللا٘تبلى رل‪ ٤‬ؤل‪ ٚ‬البلمباعي ‪٠‬ىابا خاـا بمىلىُ ٘ماثل بحُاء ِلىم‬
‫الذًً للٕضالي‪.‬جحذر ُ٘ه ًِ ٘مل وممحزاث بحُاء ِلىم الذًً‪ٌ.‬‬
‫وؤل‪ ٚ‬الؽُح محمذ دحالن ‪ٜ‬ذًشي‪ ،‬بجاهب البلمباوي‪ ،‬ال‪٢‬خاب ظشاج الىالبحن‬
‫باللٕت الّشٍِىت مجلذًً ؼشحا ل‪٢‬خاب مجهاج الّابذًً الى حىت سب الّاإلاحن لالمام‬
‫الٕضالي‪٠ ،‬ما ؤل‪ ٚ‬الؽُخ الخىاوي البيخاوي ال‪٢‬خاب مشا‪ ٛ‬الّبىدًه مً احذ ‪٠‬ىب‬
‫الؽشح ل‪٢‬خاب بذاًت الهذاًت لئلمام الٕضالي الزي حفل ِلى اَخمام ‪٠‬بحر مً حهت‬
‫الباظىترًىاث ‪ /‬اإلاّاَذ ؤلاظالمُت بةهذوهِعُا‪ً .‬شي الاظخار الضمشدي ؤصسي ؤن البلمباوى‬
‫َى ألا‪٠‬ثر ب ‪٢‬ثحر مً حمُْ الّلماء اإلاالوٍحن بةهذوهِعُا فى جشحمت ال‪٢‬خب ؤلاظالمُت ‪،‬‬
‫وٍمُ‪ ٚ‬ؤصسي ؤن الخفىٗ للٕضالي ًىا‪ ٥‬ؼهشجه ِلى هىا‪ ٛ‬واظْ الًخلى مً زمشة‬
‫ِمله فى جشحمت مال‪ٙ‬اث الٕضالي‪ٌ.‬‬
‫ؤـبح الخفىٗ للٕضالي ميؽىسة ومذسوظت فى اإلاّاَذ ؤلاظالمُت بةهذوهِعُا‬
‫بعبب َاالء الشحا‪ ،٥‬اإلاّاَذ ؤلاظالمُت ‪٠‬ماظعت الخّلُمُت ألاولى هي اإلاش‪٠‬ض لخّلُم‬
‫الخفىٗ للٕضالي ووؽشٍ بةهذوهِعُا‪ ،‬وال ؼ‪ ٤‬ان الّلماء وؤَل اإلاّاَذ مخإزشًٍ‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪75‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ؤحمذ بلُاط بظماُِل‬

‫بالٕضالى‪ ،‬بذلُل ان فى مىى‪ٝ‬ىت حالحب بحذي ال‪ٝ‬شي بجاوي الىظىى مّهذ بظالمي‬
‫ميعىبت بلي اظم مال‪ٙ‬اجه وَىمّهذ بحُاء ِلىم الذًً‪ٌ.‬‬
‫و٘حها جخم ‪ٜ‬شاءة ودساظت مال‪ٙ‬اجه‪ ،‬وٍم‪ ً٢‬ج‪ٝ‬عُم ؤِماله فى الخفىٗ ؤلى‬
‫‪ٜ‬عمحن‪ :‬ألاو‪ ٥‬الىٍشٍت ال‪ٙ‬لع‪ُٙ‬ت التى جبذو فى ‪٠‬خاب مؽ‪٣‬اث ألاهىاس ومف‪ٙ‬اث ألاظشاس‬
‫والشظالت اللذوهُت‪ ،‬الثاوي ألاِما‪ ٥‬الّملُت التى جحث بلى سْ٘ آلُت الى‪ٝ‬ىط الذًيُت‬
‫والخل‪ُٝ‬ت‪،‬ورل‪ ٤‬معىىس فى احُاء ِلىم الذًً ومجهاج الّابذًً‪ً .‬حىى اإلاّاَذ‬
‫ؤلاظالمُت خىىة الثاوي بإن ًجّل َزًً ال‪٢‬ىابحن م‪ٝ‬شساث احباسٍت والصمت للخذسَغ‬
‫فى اإلاّاَذ الاظالمُت‪ٌ.‬‬
‫وٍخم جذسَغ الخفىٗ للٕضالي ووؽشٍ ؤًما مً خال‪ ٥‬الىش‪ ٛ‬بجاهب اإلاّاَذ‪،‬‬
‫الىشٍ‪ٝ‬ت هي بظم للمذاسط او اإلاىٍمت الفىُ٘ت لخىبُ‪ ٞ‬الخفىٗ وبِماله‪ ،‬وٍىحذ‬
‫َىا هىِحن‪ .4 :‬مّخبرة ححن جىا٘‪ ٞ‬ال‪ٝ‬شؤن والعىت‪ٔ .2 .‬حر مّخبرة ححن ٌّترك وٍخخل‪ٚ‬‬
‫مْ حّالُمهما‪ .‬وفى مااجمش لجمُّت نهمت الّلماء الزي ِ‪ٝ‬ذ فى ظِخى بىذو الّام‬
‫‪ٜ 4984‬شس اللجىت ؤن الىشٍ‪ٝ‬ت اإلاّخبرة هي ما ‪١‬ان ِلى ما سآٍ الٕضالي وؤظخارٍ حىُذ‬
‫البٕذادي‪ .‬واججر بهزال‪ٝ‬شاس ؤن الخفىٗ الخل‪ٝ‬ي الّملي َى مىهر الخفىٗ الزي‬
‫ٌعمح له للخذسَغ واليؽشلذي حمُّت نهمت الّلماء‪ٌ .‬‬

‫املراحع‬
‫ابى حامذ محمذ بي محمذ الٕضالي‪ ،‬احُاء ِلىم الذًً‪ ،‬بحروث لبىان‪ ،‬داس ال‪٢ٙ‬ش‪،‬‬
‫بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،-----------‬بذاًت الهذاًت‪ ،‬بحروث لبىان‪ ،‬داس ال‪٢ٙ‬ش‪ ،‬بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،-----------‬تها٘ذ ال‪ٙ‬الظ‪ٙ‬ت‪ ،‬مفش‪ ،‬داس اإلاّاسٗ‪ ،‬بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،-----------‬الشظالت اللذهُت‪ ،‬مفش‪٠ ،‬شدظخان الّلمُت‪ٌ.ٌ 4328 ،‬‬
‫‪٘ ،----------‬ماثخ الباوُيُت‪١ ،‬ىٍذ‪ ،‬ماظعت داس ال‪٢‬ب الث‪ٝ‬اُ٘ت‪ ،‬بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،----------‬مؽ‪٣‬اة الاهىاس و مف‪ٙ‬اة الاظشاس‪ ،‬بحروث لبىان‪ ،‬داس اليؽش‪ٌ ،.4986 ،‬‬

‫‪76‬‬ ‫‪Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018‬‬


‫ٌ‬
‫الخفىٗ ِىذ الامام الٕضالي وجإزحرٍ في بهذوهِعُا‬

‫‪ ،---------‬م‪ٝ‬اـذ ال‪ٙ‬الظ‪ٙ‬ت في اإلاىى‪ ٞ‬والخ‪٢‬مت الالهُت والخ‪٢‬مت الىبُُّت‪ ،‬مفش‪،‬‬


‫مىبّت ٌ‬
‫العّادة‪ ،‬بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،---------‬اإلاى‪ٝ‬ز مً المال‪ ،٥‬بحروث لبىان‪ ،‬م‪٢‬خبت داس الث‪ٝ‬اُ٘ت‪ ،‬بذون الخاسٍح‪ٌ.‬‬
‫‪ ،-----------‬مجهاج الّابذًً الى حلت سب الّاإلاحن‪ ،‬بحروث لبىان‪ ,‬ماظعت الاظالت‪،‬‬
‫‪ٌ.4989‬‬
‫ابى الى٘ا الٕىُمي الخ‪ٙ‬خاصاوي‪ ،‬مذخل الى الخفىٗ الاظالمي‪ٜ ،‬اَشة‪ ،‬داس الث‪ٝ‬ا٘ت لليؽش‬
‫والخىصَْ‪ٌ.4979 ،‬‬
‫جاج الذًً العب‪٣‬ي‪ ،‬وب‪ٝ‬بت الؽاُّ٘ت ال‪٢‬بري‪ ،‬ححزة‪ٌ.4992 ،‬‬
‫ماظِىىن و مفى‪ٙ‬ى ِبذ الشاص‪ ،ٛ‬الفىُ٘ت‪٠ ،‬خب وداثشة اإلاّاسٗ الاظالمُت‪ ،‬داس‬
‫ال‪٢‬خب اللبىاهُت‪ ،‬م‪٢‬خبت اإلاذسظت‪ٌ.4984 ،‬‬
‫مجذي محمذ ابشاَُم‪ ،‬الخفىٗ العني‪ :‬حا‪ ٥‬ال‪ٙ‬ىاء بحن الجىُذ والٕضالي‪ ،‬م‪٢‬خبت‬
‫الث‪ٝ‬ا٘ت الذًيُت‪ٌ.2002 ،‬‬
‫محمذ ِش٘اث ‪٠‬شم ظاجىوي‪ ،‬حجت الاظالم الٕضالي واوىاسٍ ال‪٢ٙ‬شٍت‪ٌ.2043 ،‬‬
‫هُ‪٣‬ىلعىن‪ ،‬الفىُ٘ت في الاظالم‪ٜ ،‬اَشة‪ ،‬الؽش‪٠‬ت الذولُت للىباِت‪ٌ ،2002 ،‬‬
‫ًىظ‪ ٚ‬ال‪ٝ‬شلاوي‪ ،‬الٕضالي ‪ :‬بحن مادًه و ها‪ٜ‬ذًه‪ ،‬بحروث لبىان‪ ،‬ماظعت الشظالت‪،‬‬
‫‪ٌ.4994‬‬
‫ٌ‬

‫ٌ‬

‫‪International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism‬‬ ‫‪77‬‬


‫‪The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World‬‬
‫ؤحمذ بلُاط بظماُِل‬

78 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


SESI PANEL I
POLITIK BERTASAWUF
DARI PSIKOPOLITIK ZIKIR HINGGA NURANI POLITIK

Achmad Mubarok
Guru Besar Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah Jakarta
achmad.mubarok@yahoo.com

Abstrak
Politik sering difahami sebagai perilaku duniawi, yakni sebagai aktualisasi
hubbuddunya warriyasat, cinta dunia dan kepemimpinan, yang oleh karena itu
lebih sering menyimpang dari nilai-nilai akhlaq apalagi dari nilai-nilai tasawuf.
Dinamika politik dalam sejarah Islam menunjukkan bahwa tarik menarik antara
bandul fujur (kejahatan) dan bandul taqwa (kebaikan) selalu terjadi, dan sangat
dinamis. Meski demikian, nilai-nilai akhlak al karimah selalu datang
mengkoreksi perilaku politik yang menyimpang dari nilai-nilai keutamaan.
Lahairnya ilmu tasawuf tak bisa dipungkiri merupakan koreksi terhadap
penyimpangan dari ajaran Islam yang sudah di luar batas syariat. Para penguasa
saaat itu sering menggunakan Islam sebagai alat legimitasi ambisi pribadi. Kini
pada era IT dimana kemungkaran mendominir dunia maya, kembali lagi
semangat sufisme juga muncul dan menyelinap kedalam kehidupan ruhani
masyarakat global.
Kata Kunci: psikopolitik, tasawuf, zikir, nurani politik.

PENDAHULUAN
Tasawuf sering difahami sebagai kekuatan abstrak sementara politik
dipandang sebagai the real power. Mengapa? Karena tasawuf selalu dipersepsi
sebagai ajaran menjauhi dunia, apalagi politik. Tetapi fenomena alam
menunjukkan bahwa gunung berapi yang besar bisa ditembnus oleh bor besi.
Selanjutnya bor besi bisa dilelehkan oleh api, dan api bisa dipadamkan oleh air,
dan air bisa ditiup oleh azngin. Ternyata power yang paling dahsyat justru
sesuatu yang tidak tampak di mata.. Dalam politik, mengalah sering lebih
menguntungkan, dan sentaranya hanya orang kuat yang bisa mengalah.

81
Achmad Mubarok

Demikian juga merendahkazn diri sering lebih efektip dalam transaksi politik,
karena senyatanya hanya orang yang tinggi yang bisa merendahkan diri,. Jadi
sesungguhnya tasawuf bisa digunakan sebagai pendekatan dalam berpolitik.

PSIKOPOLITIK ZIKIR
Dari segi bahasa, zikir mempunyai dua arti; menyebut dan mengingat.
Ada orang yang mulutnya menyebut nama Tuhan tetapi hatinya justeru tidak
mengingat Nya,malah mengingat syaitan dan maksiat, sebaliknya ada orang
yang selalu ingat Tuhan meski tak terdengan sebutan nama Tuhan dari
mulutnya. Pada tradisi tarekat tasawuf dikenal ada zikir jahr dan ada zikir sirr.
Zikir Jahr adalah menyebut nama Tuhan atau kalimah thayyibah (takbir,
tahmid, tasbih dan salawat Nabi) dengan mengeraskan suara. Biasanya zikir jahr
dilakukan bersama=sama, di masjid atau di tempat khusus (zawiyah) dipimpin
seorang mursyid. Sekarang acara zikir jahr marak dilakukan oleh masyarakat,
dipimpin antara lain oleh Arifin Ilham, Ustad Haryono dan lain-lainnya. Ada
lagi yang disebut istighotsah, artinya mohon pertolongan, isinya membaca doa
mohon sesuatu secara ramai-ramai (demontrasi doa) di tempat terbuka. Jika
pada acara tahlilan, zikir lebih merupakan tradisi, pada kelompok tarekat, zikir
merupakan suluk atau metode mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagi pengamal
tarekat, membaca zikir dalam majlis zikir merupakan hiburan dan kenikmatan
spirituil, baik ketika sedang membaca maupun sepulang dari berzikir.
Pembacaan zikir yang dilakukan secara reguler yang disiplin dan tertib (disebut
wirid) akan mengembangkan “rasa” tertentu yang dapat disebut sebagai
religiusitas. Ekpressi ahli zikir itu pada umumnya tenang dalam menghadapi
berbagai persoalan, wajahnya berseri-seri meski kepada musuh sekalipun dan
fleksibel dalam mencari problem solving. Zikirnya penganut tarekat pada
umumnya lebih afektip disbanding kognitip, oleh karena itu mereka pada
umumnya enggan menerangkan bagaimana anatomi kenikmatan zikir, bahkan
ketika zikir dikatakan sebagai bid`ah atau sesat. Mereka cukup mengatakan
cobalah ikut, nanti anda akan dapat merasakan sendiri.
Adapun zikir sirr adalah zikir yang tidak diucapkan dengan mulut tetapi
lebih di dalam hati. Bagi yang sudah mencapai tingkat ini, setiap kali melihat
fenomena alam yang terbayang adalah sang pencipta(Tuhan) bukan bendanya,
seperti orang yang melihat lukisan indah, ia tidak terpaku pada lukisannya tetapi
terkagum-kagum kepada sang pelukis, dan yang dibayangkan adalah jiwa besar
kesenimanan sang pelukis. Jika pengamal zikir jahr mudah dikenali orang karena
agenda kegiatannya, juga penampilannya, orang yang sudah mencapai zikir sirr
pada umumnya tidak mudah dikenali, karena memang tidak pernah

82 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

menunjukkan jati dirinya. Secara lahir ia seperti orang biasa lainnya, tetapi
dibalik kebiasaan penampilan sesungguhnya ada kekuatan religiusitas yang
sangat dalam atau tinggi. Di tengah keramaian hiruk pikuk manusia, ia selalu
berduaan dengan Sang Pencipta, di tengah kesepian alam dia justeru merasa
ramai karena bercanda dengan Tuhannya, ia selalu tersenyum dalam
kesendirian, selalu ramai dalam kesepian.

Zikir Perspektip Politik


Sesungguhnya logika zikir jahr sama dengan logika politik, yaitu
berlindung kepada pihak yang kuat, karena takut hambatan. Sebagai contoh,
jika pada musim kampanye dimana di jalan raya dipenuhi oleh massa kontestan
PDIP sementara anda akan melewati jalan itu dengan mobil anda, maka anda
harus berzikir dengan terus menerus berteriak; Hidup PDIP, Hidup Megawati,
ditambah lagi mobil anda ditempeli gambar bu Mega dan lambing banteng,
insya Alloh anda dapat melewati kerumunan massa itu dengan selamat. Dalam
perjalanan selanjutnya anda ketemu massa kampanye PKB, maka anda harus
ganti teks zikirnya, Hidup Gus Dur, Hidup Muhaimin, hidup PKB, dan
tambahilah baca selawat Badar, Insya Alloh anda juga dapat lewat dengan aman.
Selanjutnya anda ketemu massa kampanye Partai Demokrat, ganti zikirnya ;
hidup Demokrat, hidup SBY,….lancar daah perjalanan anda. Sekali-kali jangan
salah sebut dan jangan salah nempel gambar, bisa runyam.
Nah, dalam perjalanan hidup dari kecil hingga mati, dipelosok manapun
kita berada, penguasa yang sesungguhnya adalah Alloh swt. Jika anda selalu
menyebut Penguasa Yang sebenarnya (Alloh swt) insya Allah anda dalam
perlindungan Nya.
Bagi penganut zikir, jika ia harus pergi padahal ia harus melewati tempat
yang penuh dengan bahaya –binatang buas misalnya- maka ia tetap pergi
dengan berlindung membawa nama besar sang Penguasa, dengan percaya diri ia
berjalan sambil membaca zikir Bismillahi la yadlurru ma`a ismihi syaiun fi al
ardli wala fi as sama`i wahuwassami`u al `alim. Artinya ; Dengan nama Alloh
dimana dengan menyebut nama Nya, maka tidak ada sesuatupun di muka bumi
maupun di langit yang dapat membahayakan, dan Dia Maha Mendengar lagi
maha mengetahui. Binatang buas yang dijumpai akan menyingkir dengan
sendirinya karena ia dilengkapi dengan rekomendasi sang Pencipta.

Takbir Anarkis
Kalimat takbir Allohu Akbar (Alloh Maha Besar) adalah kalimat sacral,
biasanya diucapkna ketika secara psikologi orang sangat senang karena merasa

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 83


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

ditolong Tuhan, atau dalam keadaan takut dimana tidak ada yang dapat
dimintai tolong kecuali Tuhan. Orang yang teraniaya begitu lama, tiba-tiba
dimenangkan oleh pengadilan, maka ia langsung takbir dan bahkan sujud.
Begitupun orang yang berada didepan regu tembak seperti Amrozi nanti, dia
tidak lagi bisa berkata apa-apa selain takbir. Banyak orang ketika demontrasi
untuk urusan yang tidak jelas, pilkada, atau protes BBM atau protes APP, ketika
berhadapan dengan polisi sedikit-sedikit takbir. Nah takbir seperti itu
sebenarnya takbir anarkis, karena menempatkan takbir pada hal yang hanya
bernilai syahwat politik.

IMAM POLITIK
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang
disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imâm, al-khalîfah, dan
amîr al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran
penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut
ini beberapa penjelasan singkat tentang hakikat makna setiap gelar simbolik
tersebut.
Al-Imâm. Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya
mempunya beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan
agama (al-immah), Ibu dan Bendara (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh
kaumnya (imam).
 Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka.
Menurut Thaba’thaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada
seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial,
atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau
keagamaan. Murtadha Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah
pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya
apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Quran disebutkan, “Kami telah
menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang emberi petunjuk dengan
seizin Kami.” (Al-Anbiyâ’: 73). Jadi secara harifiah, imam adalah seorang
pemimpin. Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala,
jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain
itu, imam digunakan juga untuk menyebut Al-Quran, Nabi Muhammad,
khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke
depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah
hasanan, dan kepemimpinan.
84 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

Dalam Al-Quran, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat


(Q/Al-Isra’:71), kitab suci (Q/Hud: 17), pemimpin orang baik (Q/Al-
Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (Q/Al-Qashash dan Q/Al-Tawbah:
12) Dari ayat-ayat Al-Quran di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna
imâm; sebagian besar digunakan dalam Al-Quran membuktikan adanya
indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—bahwa kata imâm juga
menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin
yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm
tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan
berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imâm dalam
ayat-ayat Al-Quran itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-
nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan
kepada orang-orang yang bertakwa.
 Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat
berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi
pengganti kepemimpinan Nabi. Dan, Abu Bakar terpilih untuk
menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan
umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah, yang berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah
umat Islam.
Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah
Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti
dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik
merupakan antitesis dari sistem kekaisaran yang absolut otoriter.
 Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn
Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam
bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian
nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahaan dan itu
diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para
pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari
imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr
Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah.
Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan
sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn sebagai pengganti gelar yang
susah disebut, yaitu: Khalifatu khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti
Rasulullah).

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 85


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

Penggunaan nama Imam, khalifah dan Amir mempunyai filosofi tersendiri.


Imam mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus bias di depan seperti
imam salat, khalifah (artinya yang dibelakang) mengisyaratkan bahwa
seorang pemimpin juga harus bias berada di belakang memberikan
dorongan kepada rakyatnya. Sdagkan amir punya dua makna, sebagai isim
fail artinya yang menyuruh, sebagai isim maf`ul artinya yang disuruh,
maknanya seorang pemimpin suatu saat harus berani menyuruh, dan di
kala yang lain justeru disuruh oleh rasa tangung jawabnya. Secara umum,
ketiga gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya kepemimpinan dalam
Islam. Bagi suatu kaum atau umat, keberadaan seorang pemimpin
merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam
Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah,
dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin
wajib hukumnya menurut ijma’. Alasannya, karena lembaga kepala dan
pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga
agama serta mengurus urusan dunia.
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala
negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: (1) keseimbangan
atau keadilan (al-‘adâlah); (2)punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad;
(3)punya pancaindera lengkap dan sehat; (4)anggota tubuhnya tidak kurang
untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; (5) punya visi pemikiran yang
baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; (6)punya keberanian dan
sifat menjaga rakyat; dan (7) punya nasab dari suku Quraisy. Persyaratan
suku Quraisy dapat dibandingkan dengan UUD 45 yang menyebut
Presiden haruslah orang Indonesia asli.
Adapun Imam Al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin,
khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki
batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung
keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, seorang
pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan—sebagai syarat
pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan Al-Mawardi. Antara
lain; seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi;
menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah
hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas
tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus dan ikhlas.
Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin.
Nabi bersabda, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk
memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau

86 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya.” Dalam hadis


lain Rasulullah berkata, “Siapa jadi pemimpin umat Islam, tetapi tidak
memperhatikan mereka sebagaimana terhadap keluarganya sendiri, berarti
ia telah memperoleh tempat yang mapan di api neraka.”

SENI KEPEMIMPINAN
Seni kepemimpinan telah banyak diajarkan orang dari masa ke masa,
mulai dari rangkaian Mitologi Yunani yang amat terkenal, Tao dan Sun Tzu
dari Cina, Nasihat Bagi Penguasanya Al Ghazali, Sang Penguasanya Niccolo
Machiavelli, Hasta Brata — Raja Kapa-Kapa —Wulangreh—Wedhatama dari
Jawa, sampai ratusan mungkin ribuan buku-buku teks kepemimpinan abad 20
seperti The Art of The Leader-nya William A. Cohen, dan The Charismatic
Leader-nya Jay A. Conger dan sebagainya. Dengan apa kekuasaan dapat
dipertahankan? Al Ghazali mengawali nasihatnya dengan mengemukakan 2 hal,
yaitu jangan pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan dan selalu konsisten
serta tak pernah meralat. Yang terakhir ini, juga merupakan benang merah yang
kuat dalam seni kepemimpinan raja-raja Jawa. Agar berwibawa, maka seorang
raja harus memiliki, Sabda Pandhita Ratu, tan kena wolak-walik, artinya, raja
harus memegang teguh satu kata dan perbuatan. Ucapannya bagaikan ucapan
seorang pendeta sakti nan manjur yang segera menjadi kenyataan. Ludahnya
ludah api yang sekali dilontarkan langsung mewujudkan keinginannya.
Ucapannya konsisten dan tidak mencla-mencle. Tidak pagi tempe, sore mentah
kembali menjadi kedelai. Ini juga sekaligus mengajarkan bahwa seorang
pemimpin tidak boleh berkata atau bertindak ngawur, karena dampaknya sangat
luas bagi rakyat banyak yang tak berdosa.
Pernah, sahabat Abu Dzar Ra, berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa
paduka tidak mengangkatku sebagai pejabat?” Mendengar itu Rasulullah
menepuk punggungnya seraya bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya
engkau orang yang lemah, padahal sesungguhnya jabatan itu adalah amanah,
yang pada hari kiamat nanti akan memunculkan cela dan penyesalan, kecuali
bagi orang yang dapat melaksanakan hak amanat itu dan kewajibannya sebagai
pejabat, sebagaimana seharusnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Petunjuk Rasulullah tadi bukan hanya dikemukakan kepada Abu Dzar
saja, tetapi juga kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman!
Janganlah kamu meminta pangkat kepemimpinan. Apabila kamu sampai diberi,
maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. Lain halnya
kalau kamu diberi tanpa meminta, maka hal itu tidak menjadi masalah bagimu”.
Bahkan kepada Abu Musa dan dua orang keponakannya, Rasulullah kembali

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 87


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

menegaskan, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan tersebut


kepada seorang yang memintanya, apalagi kepada seseorang yang amat loba
kepadanya.” (HR. Muslim)
. Imam Al Ghazali dalam risalahnya “Nasihat Bagi Penguasa” mengulas
sebab-sebab seorang penguasa yang kehilangan kekuasaanya dengan menyatakan
antara lain bahwa penguasa tersebut tertipu oleh kekuasaan, kekuatan dan
kesenangannya akan pendapat dan pengetahuannya. Ia melupakan musyawarah,
dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman,
melupakan petugas senior dan berpengalaman. Ia telah menyia-nyiakan
kesempatan dan peluang yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu,
dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Ia kurang tanggap pada
tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan dan
kesibukan untuk memenuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu yang
tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena
kepentingan perut mereka, menurut Al Ghazali, juga sangat menimbulkan
keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena ulah mereka.
Rasulullah bersabda, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan
bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri
yang jujur, yang bila ia lupa, maka ia (menteri) akan mengingatkannya, dan bila
ia ingat maka menteri pun akan membantunya. Dan apabila Allah berkehendak
selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila
ia (pemimpin) lupa, maka sang menteri tidak mengingatkannya, dan bila ingat
maka sang menteri tidak membantunya”. (HR. Abu Daud)

SUKSESI IBNU KHALDUN


Ibnu Khaldun yang hidup mondar-mandir dari Tunis, Granada dan Mesir
(1332-1406 M) sering disebut sebagai peletak dasar Sosiologi. Meski abad ke
empatbelas disebut sebagai abad Neo-Hambalisme dimana Ibnu Taimiyyah dan
murid-muridnya memastikan kemenangan Neo Hambalisme atas teologi
skolastik dan filsafat serta mulai memudarnys intelektual Islam, tetapi Ibnu
Khaldun - dan juga Mulla Shadra- merupakan pengecualian. Jika Mulla Shadra
sangat berpengaruh di Timur, Ibnu Khaldun justeru sangat besar pengaruhnya
di Barat. Ilmuwan yang pernah dilirik oleh Timur Leng untuk tinggal di
istananya ini bukan hanya kaya dengan gagasan ilmu pengetahuan, tetapi juga
kaya dengan pengalaman jabatan publik (dan hukum). Dua hal itulah yang
menyebabkan teori-teori filsafat sejarah dan sosiologi politiknya tetap
“membumi”. Kekokohan fondasi dari pengetahuan geografis, politis dan kultur
yang dimilikinya menyebabkan ia memahami sunnatullah perubahan

88 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

masyarakat, yang oleh karena itu ia menerima sistem politik monarki sebagai
sesuatu yang alamiah.
Ada teori Ibnu Khaldun yang sangat menarik jika digunakan untuk
menganalisis sejarah Indonesia . Dalam Muqaddimah nya Ibnu Khaldun
menyebut tahap-tahap timbul tenggelamnya suatu negara menjadi lima tahap,
yaitu (1) tahap konsolidasi dimana otoritas negara dengan dasar “demokrasi”
didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah). (2) tahap tirani, (3) tahap penyalah
gunan wewenang otoritas negara untuk kepentingan penguasa, (4) tahap
pengamanan dari munculnya ancaman dimana penguasa selalu memandang
kelompok kritis sebagai lawan, dan (5) tahap keruntuhan. dimana sistem
kekuasaan tidak lagi berfungsi. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun
memunculkan tiga generasi, yaitu (1) Generasi Pembangun, yang dengan segala
kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan
yang didukungnya, (2) Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. (3) Generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja
yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah
sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah
sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung
sekitar satu abad.
Yang menarik pada bangsa Indonesia dalam perspektip teori Ibnu
Khaldun adalah berkumpulnya tiga generasi dalam kurun waktu hanya setengah
abad. Dewasa ini angkatan 45 yang dapat dikategorikan sebagai generasi
pertama masih banyak orang-orangnya, tetapi dalam kurun waktu yang sama
juga sudah muncul generasi kedua dan ketiga. Kasus mega KKN di Pertamina,
kasus Bank Bali dan adanya arsitek kerusuhan sosial di berbagai daerah
merupakaan indikator keberadaan generasi kedua dan ketiga.
Ibn Khaldun sebagaimana juga Rousseau, meyakini bahwa masyarakat
yang pada mulanya baik atau sekurang-kurangnya netral itu dirusak oleh
peradaban. Dalam kondisi nomadik, masyarakat cenderung bersifat jantan, sehat
dan agressif. Peradaban kota yang mapanlahlah yang membuatnya menjadi lesu,
pasif dan lamban, tetapi memancing-mancing invasi yang membuatnya terpuruk
sebagai mangsa. Adalah sangat menarik bahwa dalam satu masa ternyata
masyarakat Indonesia terbagi dalam lima kelompok zaman, (a) ada kelompok
masyarakat yang sudah hidup dalam zaman ultra modern, yakni di kota-kota
besar, (2) masyarakat modern, (3) masyarakat tradisionil di kampung-kampung
pedesaan, (4) masyarakat terbelakang seperti suku-suku terasing, dan (5) masih

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 89


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

ada masyarakat yang hidup pada zaman batu seperti yang masih terdapat di
pedalaman Irian Barat. Dapat dibayangkan bagaimana tingkat rusaknya tatanan
masyarakat Indonesia ketika mereka harus menerima paket peradaban global
yang seragam melalui media elektronik.
Apresiasi orang Indonesia terhadap Ibnu Khaldun antara lain dengan
mengabadikan namanya pada dua universitas, yaitu Universitas Ibnu Chaldun
Jakarta dan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, masing-masing dengan singkatan
UIC dan UIK. Jika bangsa Indonesia setiapkali melakukan suksesi
kepemimpinan nasional mengalami kesulitan dan memakan biaya yang sangat
mahal, maka ada contoh yang sangat baik dari sunnah suksesi kepemimpinan
Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Sejak Rektor dijabat oleh AM Saifuddin,
jabatan kepemipinan di Universitas itu itu tidak lagi “sakral” tetapi benar-benar
fungsional. Pertukaran jabatan dari rektor ke dekan atau ke Pembantu rektor
dan sebaliknya berlangsung secara mekanis tanpa beban psikologis. Rais Ahmad
yang menjadi rektor tanpa beban psikologis sedikitpun pada periode berikutnya
menjabat sebagai Pembantu Rektor. Memang contoh Ibnu Khaldun ini kalah
spektakuler dengan kasus Khalid bin Walid, yang menerima secara kesatria
kebijakan Khalifah Umar bin Khatttab menurunkannya dari jabatan Panglima
ke prajurit biasa.

NURANI POLITIK
Di antara partai politik baru yang akan ikut berlaga pada pemilu 2018
nanti adalah partai HANURA, Partai Hati Nurani Rakyat. Pak Wiranto sebagai
pendiri dan Ketua umum pertamam dulu memasang iklan politik yang
mengusung nurani. Benarkah ada nurani dalam politik?
Nurani berasal dari bahasa Arab Nur, yang artinya cahaya, nuraniyyun,
sesuatu yang bersifat cahaya. cahaya apa? Menurut perspektip Psikologi Islam,
perangkat kejiwaan manusia itu terdiri dari akal, hati,nurani, syahwat dan hawa
nafsu. Akal merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir,
produknya hal-hal yang rasikonil, maka akal akan bingung menghadapi hal-hal
yang tidak rationil. Hati merupakan alat untuk memahami realita, hal-hal yang
tidak rationilpun bisa difahami oleh hati. Tetapi karakter hati itu inkosisten,
sesuai dengan namanya qalb Sedangkan nurani merupakan pandangan mata
batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Dalam tasawuf nurani disebut
sebagai nurun yaqdzifuhulloh fi al qalbi, yakni cahaya yang ditempatkan oleh
Tuhan di dalam hati. Jadi nurani merupakan cahaya ketuhanan, yang oleh
karena itu memiliki karakter konsisten, tidak mau kompromi dengan
kebohongan. Syahwat merupakan penggerak tingkah laku atau motif kepada

90 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

hal-hal yang menyenangkan. Sedangkan n hawa nafsu adalah dorongan kepada


hal-hal yang sefatnya rendah, yang penting enak, sesegera mungkin dicapai, tak
peduli kepada akibat. Hawa nafsu merupakan kekuatan destruktip yang menguji
kemampuan jiwa, atau dapat juga disebut sebagai infrastruktur akses syaitan.
Sebagai system, kelima subsistem tersebut dipimpin oleh hati, oleh karena itu
jika orang hatinya baik maka perilakunya juga baik,jika hatinya busuk maka
perilakunya juga busuk.

Teori Pancaran
Konsep nurani berasal dari teori isyraqy atau teori pancaran yang
menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya (Allohu nur assamawati wa alardh).
Seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya, ia meninggalkan jejak
cahayanya di bumi berupa kehidupan,kehangatan atau panas dan terang. Di
malam hari, panas dan cahaya matahari itu berusaha kembali ke cahaya asal
meninggalkan bumi dalam keadaan gelap dan dingin. Nah Tuhan
memancarkan cahaya Nya, dan diantara jejak cahaya Tuhan adalah manusia,
oleh karena itu didalam diri manusia ada cahaya ketuhanan, disebut bashirah
(pandangan mata batin) atau nurani (sesuatu yang bersifat cahaya). Dan nurani
memiliki kerinduan untuk selalu kembali kepada Tuhan sebagai cahaya asalnya.
Berbeda dengan hati yang wataknya tidak konsisten; suatu waktu benci, dilain
waktu berubah menjadi cinta, terkadang sadar dilain waktu lupa, terkadang
tenang dilain waktu bergejolak, nurani yang merupakan cahaya ketuhanan
bersifat konsisten, tidak mau kompromi dengan kebohongan dan kejahatan.
Betapapun orang menang di pengadilan dengan cara menyuap hakim,nuraninya
tetap jujur mengatakan bahwa ia lah yang bersalah. Nurani tetap konsisten
dengan kejujuran. Hanya saja sebagaimana cahaya terkadang buram dan gelap,
nurani manusia juga terkadang buram,gelap atau bahkan mati, yakni ketika ia
tertutup. Jika nurani mati maka orangnya seperti berada di tempat gelap
(dzulm) sehingga perilakunya juga seperti perilaku orang dalam kegelapan, salah
tempat,salah ambil, salah persepsi, salah naroh dan salah langkah. Dari kata
dzulm itu maka orang yang nuraninya tertutup atau mati disebut orang dzalim,
yakni orang yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Cahaya nurani
tertutup oleh dua hal ; keserakahan/ambisi dan perbuatan dosa. Orang yang
serakah pasti nuraninya tak berfungsi, sudah jabatannya tertinggi,gajinya paling
banyak,jatah orang miskin pun masih disikat juga.. Demikian juga orang yang
ambisius, segala macam cara ditempuh untuk menggapai ambisinya, tak peduli
benar atau salah, tak peduli merugikan Negara dan bangsa.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 91


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

Karakter Politik
Jika politik difahami sebagai kekuasaan,maka watak politik adalah korup.
Korupsi adalah memanipulasi angka dan fakta untuk kepentingan sendiri. Jika
dihubungkan dengan typologi kejiwaan, maka politisi yang lebih dipengaruhi
oleh akalnya cenderung rasionil meski terkadang kering, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hati maka cenderung hati-hati, politisi yang lebih dipengaruhi
oleh syahwat cenderung mudah terdorong ke ambisi, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hawa nafsu cenderung destruktip dan jahat,nah orang
berpolitik karena panggilan nurani cenderung kepada keinginan memberi
dibanding keinginan menerima.

Syahwat Politik
Syahwat adalah kecenderungan kepada apa-apa yang diingini. Syahwat
politik adalah kecenderungan orang untuk menguasai orang lain, fikirannya,
seleranya bahkan kemauannya,sehingga syahwat politik mendorong orang untuk
bisa menjadi orang nomor satu; ketua, direktur, lurah bahkan presiden,agar ia
dapat menguasai dan mengatur orang lain. Sesungguhnya syahwat itu
manusiawi, netral dan tidak mesti jelek. Jika orang menggapai syahwat dengan
mengikuti prosedur dan mematuhi hokum (hokum Tuhan,hokum Negara dan
hokum etika) serta jujur maka aktualisasi syahwat itu sah dan bahkan bisa
bernilai ibadah. Akan tetapi karena politik itu cenderung korup maka syahwat
politik pada umumnya mendorong kepada ambisi, sementara ambisi menutup
nurani . Oleh karena itu mengusung nurani dalam gerakan atau manuver politik
cenderung kepada manipulasi, tidak jujur dalam menilai, tidak jujur dalam
mengkritik, dan lupa introspeksi. Ketika seorang ketua partai oposisi dalam
persaingan politik menyebut Presiden yang sedang berkunjung ke daerah sebagai
tebar pesona, pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat p;olitik. Karena
syahwat maka tak disadari ia lupa kritiknya lalu melakukan hal yang sama, tebar
pesona juga . Bergitupun ketika masa kepresidenan baru setengah jalan tetapi
sudah banyak orang yang mendeklarasikan dirinya untuk menjadi presiden
mendatang,pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat politik, karena
karakter syahwat memang tidak sabaran.

Adakah Pemimpin Yang Bernurani?


Sudah barang tentu ada. Ciri pemimpin yang digerakkan oleh nurani
politik adalah tampil karena panggilan,bukan karena berhitung. Dalam suasana
yang tak berpengharapan, maju kena mundur kena, bangsa berada ditubir
kehancuran, pemimpin konvensional sibuk berhitung posisi berebut kamar

92 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik

padahal “kapal” nyaris tenggelam, nah… dalam keadaan seperti itu biasanya
muncul seorang pemimpin yang terpanggil nuraninya untuk menyelamatkan
keadaan. Ia siap memberikan apapun yang dimiliki tanpa berhitung untung
rugi. Fikiran dan hatinya bersih suci dari kepentingan-kepentingan subyektip. Ia
tampil bukan karena ingin berkuasa tetapi ingin menyumbangkan potensi
dirinya bagi keselamatan bangsa, dan ia bahkan dengan senang hati siap
menyerahkan kepemimpinannya itu kepada orang lain yang dinilai lebih tepat.
Nurani yang diiklankan pasti bukan nurani. Jika benda-benda konsumtip
diiklankan berulang-ulang akan menarik perhatian konsumen meski benda itu
sesungguhnya tidak terlalu bermutu, mengiklankan nurani yang bermutu secara
berulang-ulang dalam waktu lama justeru membuat nurani itu terasa hambar di
telinga konsumen.

PENUTUP
Sesungguhnya berpolitik itu manusiawi karena manusia adalah makhluk
politik, siyasiyyun bi atthob`i. Secara ilmiah, manusia berpeluang untuk
berpolitik secara benar, baik dalam perspektip sosial, etika, agama bahkan
tasawuf. Dalam perspektip ilmu, politik berada dibawah ilmu teologi. Ilmu
politik berbicara tentang kekuasaan, sedangkan teologi atau ilmu Ushuluddin
berbicara tentang Tuhan yang Maha Kuasa. Maka seorang politisi yang
bernurani adalah politisi yang meniru politik Tuhan. Di satu sisi Tuhan Maha
Kuasa, dan kekuasaanya tak terbatas. Tetapi di sisi yang lain Tuhan adalah
Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Menejemen kekuasaan Tuhan
berada pada sifat Adil, dan Tuhan adalah Maha Adil. Jadi seorang politisi yang
bernurani adalah politisi yang memiliki obsessi untuk menduduki kursi
kekuasaan agar dengan kekuasaan itu ia mampu menyebarluaskan kasih sayang
kepada rakyat, seadil-adilnya.
Ekpressi politik adalah bekerjasama dan bersaing. Jika bekerja sama dalam
kebaikan (ta`awanu `ala al birri wattaqwa ) maka pasti obyektip. Tetapi jika
terlibat dalam politik persekongkolan jahat (wala ta`awanu `ala al itsmi wa al
`udwan) maka pasti sangat mudah tergoda melakukan politik yang tidak sportip.
Bemikian juga jika bersaing dalam memperebutkan kebaikan universal
(fastabiqu al khoirot) maka pasti dalam bersaing ia berpegang teguh kepada nilai-
nilai akhlak al karimah, tetapi jika bersaing memperebutkan hal yang sifatnya
rendah (hubbuddunya warriyasat) maka politik akan menjadi ekpressi hawa
nafsu atau politik setan.. Wallohu a`lamu bnissawab.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 93


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Achmad Mubarok

DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad biM Muhammad, al Kimiya assa`adah wa
al munqidz min al dhalal, Beirut, al maktabah al Tsaqafah
_____________, Misykat al Anwar, Cairo, Dar al Qaumiyah, 1964
_____________, Ihya `Ulum al Din, Cairo, Dar al Kutub al `Arabiyyah, tt
_____________, Maqashid al Falasifah, Cairo, Dar al Ma`arif, cet. II, tt
Mubarok, Achmad, Psikologi Islam, Kearifan dan Kecerdasan Hidup, The IIIT
dan Wahana Aksara Prima, Jakarta, 2009
_____________, Akhlak Mulia, Sebagai Konsep Membangun Manusia Indonesia,
WAP, Jakarta, 2008
_____________, Pendakian Menuju Alloh, Bertasauw Dalam Hidup Sehari-hari,
Jakarta, Paramadina, 2002
_____________, Etika dan Moral Kepemimpinan, Jakarta, Bina Rena, 2003
_____________, Sunnatulloh Dalam Jiwa, Sebuah Pendekataqn Psikologi Islam,
Jakarta, The IIIT, 2002
_____________, Jiwa Dalam al Qur`an, Jakarta, Paramadina, 2000
_____________, Membangun Konsep Diri, dari Konsep Diri Pribadi Hingga
Konsep Diri Pemimpin, Jakarta, Center For Indigenous Psychology, 2015.

94 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU ORMAS PERSPEKTIF POLITIK KEBANGSAAN
AL-GHAZALI

Agus Irfan
Unissula Semarang
agusunissula@gmail.com

Abstract
This article eludes “how the Mass Organization Constitution or named by UU
Ormas 2, 2017 can be seen through the political lens of Al-Ghazali?” and
discussed in two problems formulation; 1. What is the political nationality of
Al-Ghazali? 2. How does the political nationality of Al-Ghazali on the Mass
Organization Constitution 2, 2017?. The results show that in order to build a
harmony in religions (amr ad-din) and politics (amr ad-dunya) and preventing
the politicization in religions, Al-Ghazali proposed a legitimation (wujub nasbi
al-imam) on a leader that is a must, as well as the principle of the loyalty to the
leader. This logic stresses out on the values of the welfare. According to Al-
Ghazali, the relationships between a religion and a country are in bond; religion
acts as foundation to build the society, meanwhile the country is the protector.
Al-Ghazali’s perspectives have been contributing and shaping a huge influence
to the Islam Sunni in Indonesia, especially for Nahdlatul Ulama (NU) in
criticizing the national issues. For instance, the latest issue was the establishment
of the Mass Organization Constitution 2, 2017, though looking to the thoughts
of the political nationality of Al-Ghazali, the establishment of its constitution
could be assumed as preventive and protective ways by the government for the
stability of national security, in which all Muslims could do the prayers
peacefully and pursue the rebirth for hereafter.
Keywords: UU Ormas, the Political Nationality, Al- Ghazali, NU

Abstrak
Artikel ini membahas tentang “Bagaimana Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas) Nomor 2 Tahun 2017 dilihat dari kacamata
pemikiran politik al-Ghazali? yang kemudian dijabarkan dalam dua sub

95
Agus Irfan

rumusan masalah, yaitu: 1. Apa bentuk pemikiran politik kebangsaan al-Ghazali


? 2. Dan bagaimana pandangan politik kebangsaan al-Ghazali melihat UU
Ormas Nomor 2 tahun 2017?. Hasil tulisan ini menyatakan bahwa untuk
membangun harmonisasi agama (amr ad-dîn) dan politik (amr ad-dunyā) dan
menghindari politisasi agama, al-Ghazali melakukan ijtihad politik kebangsaan
dengan mengutarakan pandangannya tentang keharusan adanya pemerintah
yang terlegitimasi (wujūb nasbi al-imām) dan prinsip loyalitas terhadapnya.
Logika pemikiran al-Ghazali ini lebih menitikberatkan pada nilai kemaslahatan.
Menurutnya, hubungan agama dengan negara ibarat saudara kembar yang
berarti agama adalah pondasi (untuk membangun masyarakat), sementara
negara berfungsi sebagai pelindungnya, yang tanpa salah satu dari keduanya
akan berakibat pada kelumpuhan. Pemikiran Al-Ghazali ini memiliki kontribusi
dan pengaruh signifikan terhadap dinamika gerakan Islam Sunni di Indonesia
khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dalam merespon isyu –isyu kebangsaan.
Terbaru adalah lahirnya UU Ormas Nomor 2 tahun 2017, dan dengan melihat
gagasan politik kebangsaan al-Ghazali, maka lahirnya UU Ormas tersebut dapat
dinilai sebagai langkah tepat setidaknya sebagai langkah preventif dan protektif
yang dilakukan pemerintah demi terjaganya stabilitas keamanan nasional, yang
dengannya maka setiap orang Islam dapat melaksanakan ibadahnya dengan
tenang dan dapat mencapai kebahagiaan di akhiratnya.
Kata Kunci: UU Ormas, al-Ghazali, Politik kebangsaan, NU.

PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir ini, selain persoalan demokratisasi dan
Hak hak Asasi Manusia (HAM), diskursus yang muncul dalam konteks
khazanah politik baik lokal maupun global adalah mengenai kebangkitan Islam
Politik dengan merebaknya fenomena radikalisme atau neo fundamentalisme
sebagai reaksi sekularisme dan liberalisme. Tidak hanya itu, persoalan
penggerusan nilai-nilai kemanusiaan dan fenomena ketidakadilan di semua sendi
kehidupan, turut serta mempengaruhi kelahiran produk globalisme tersebut.
Terhangat adalah rapat paripurna DPR pada Selasa, 24 Oktober 2017,
mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Keormasan (Perppu Ormas) menjadi undang-undang.
Keputusan ditetapkan melalui voting oleh 10 fraksi yang ada di DPR. Tujuh
fraksi setuju dan tiga fraksi menolak. Fraksi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura,
PKB, PPP, dan Demokrat dengan 314 suara menyatakan setuju (dan juga
berarti mendukung perppu disahkan menjadi udang-udang pengganti UU No

96 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

17 Tahun 2013 tentang ormas). Sedangkan Gerindra, PKS, dan PAN dengan
131 suara menolak. Demokrat bersama PKB dan PPP setuju tapi dengan
catatan. Demokrat menyatakan tidak ingin ada undang-undang yang
mengekang kebebasan berpendapat. Penindakan terhadap ormas yang
melanggar harus tetap mengedepankan supremasi hukum (Suara Merdeka, 26
Oktober 2017:4).
Sejak diumumkan oleh Menkopulhukam Wiranto pada 12 Juli 2017,
Perppu Ormas terus menuai kontroversi. Banyak yang setuju, tetapi tidak
sedikit pula kelompok masyarakat yang menolak. Pihak yang setuju beralasan,
perppu memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah untuk menindak ormas
yang bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan pihak yang kontra menyatakan,
perppu dikeluarkan tanpa dasar hukum yang kuat dan bisa menjadi alat
repsresif. Sehingga kehadiran perppu ini bagi mereka, tidak lebih sebagai upaya
yang menghambat cita-cita reformasi, penghambat proses demokrasi dan
pembelaan terhadap HAM. Sebagaimana diketahui, salah satu aturan perppu
adalah soal pembubaran ormas yang dianggap radikal dan bertentangan dengan
ideologi Pancasila tanpa melalui jalur pengadilan. Salah satu ormas yang
dibubarkan dan dicabut status badan hukumnya berdasarkan perppu ini adalah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena dianggap menganut, mengembangkan,
serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila
sebagaimana diatur pasal 59 ayat 4 poin (c) UU Ormas.
Jauh sebelum Isyu tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Keormasan (Perppu Ormas)
menjadi undang-undang, masyarakat Indonesia juga sempat diramaikan dengan
pernyataan Presiden Joko Widodo di Tapanuli Tengah, Sulawesi Utara tentang
keharusan agama terpisah dari politik yang sering menimbulkan reaksi di
sebagian masyarakat.11 Ini menunjukkan bahwa akan ada selalu perdebatan
mengenai Islam sebagai cara pandang (worldview) terkait isyu-isyu yang
berkembang dan bersinggungan langsung dengan realitas sosial, terlebih
persoalan ideologi politik yang terkadang mengharuskan keterlibatan seorang
muslim untuk mendukung atau bahkan meninggalkannya. Dan UU Ormas
merupakan contoh mutakhir dari sikap demikian.
Indonesia, sebagai negara berpendudukan masyarakat Sunni, tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh pemikiran tokoh-tokohnya seperti al-Ghazali dan al-
Mawardi. Nahdaltul Ulama (NU) misalnya memiliki sikap politik kebangsaan
yang tidak dapat dipisahkan dari ijtihad pemikiran politik al-Ghazali. Berbeda

11
Kompas, 24 Maret 2017, diunduh pada 12 Desember 2017.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 97


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

dengan pilihan sikap organisasi Islam lainnya yang bercorak puritan dan
mengkampanyekan formalisasi syariah, NU memiliki prinsip dan cara pandang
berbeda. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pada tahun 1950-an dan
awal 1960-an, ketika menghadapi dualisme kepemimpinan antara
kepemimpinan Soekarno dan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU
lebih memilih mendukung Soekarno sekaligus menilai DI/TII sebagai
pemberontak (bughat).
Pemikiran politik NU lainnya yang terpengaruh dari pandangan politik
al-Ghazali juga dapat dijumpai dalam penjelasan KH. Ahmad Siddiq (1926-
1991) sebagai berikut:
1. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib
dipelihara dan diperahankan eksistensinya;
2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan
yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah
yang beertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah;
3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya lewat
tata cara yang sebaik-baiknya (Ahmad Siddiq, 1979: 43).
Pemikiran politik NU di atas merupakan katalisator dari pandangan
politik kebangsaan al-Ghazali yang menilai bahwa sebuah negara dapat berfungsi
optimal yakni melindungi segenap warganya dengan ketentuan adanya
pemimpin atau pemerintah terlegitimasi (wujūb nasbi al-imām) disertai
kewajiban mematuhinya. Dengan kerangka maslahat, pandangan politik al-
Ghazali cenderung adaptif dan menghindari konflik di dalam membangun
masyarakat dan negara. Jadi, meskipun negara tidak dibangun di atas hukum
dan ketentuan-ketentuan Islam, selama masyarakatnya masih melaksanakan
ajaran Islam, maka membela negara seperti itu dipandang wajib. Pertanyaan
kemudian, bagaimana pandangan politik al-Ghazali terhadap lahirnya UU
Ormas Nomor 2 Tahun 2017 sebagaimana ramai diberitakan akhir-akhir ini?
Artikel ini akan mengurai persoalan tersebut perspektif sosiologi pengetahuan.

Pendekatan dan Teori Penelitian


Kajian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
sosio historis dengan mengambil obyek material UU Ormas Perspektif
Pemikiran Politik Kebangsaan Al-Ghazali. Oleh karenanya penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research) murni dan bahan-bahan
yang dijadikan sumber data adalah bahan-bahan tertulis.
Sedangkan teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori sosiologi
pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara pemikiran dan

98 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

masyarakat. Sosiologi pengetahuan menaruh perhatian pada kondisi sosial atau


eksistensial pengetahuan. Para sarjana dalam bidang ini tidak terbatas
melakukan analisis sosiologis wilayah kognisi sebagaimana tampak dari
istilahnya, tapi secara praktis juga mengamati produk-produk intelektual, seperti
filsafat, ideologi, doktrin politik, dan pemikiran teologis. Terhadap semua
bidang ini, sosiologi pengetahuan berupaya untuk menghubungkan ide-ide
dengan realitas mayarakat dan mengkaji setting historis di mana ide-ide itu
diproduksi dan diterima (Muhyar Fanani, 2010:31-32).
Adapun teori sosiologi pengetahuan yang dipakai dalam kajian ini adalah
teori sosiologi pengetahuan model Ibn Khaldun yang memandang bahwa semua
ilmu pengetahuan adalah interdependen, artinya ilmu pengetahuan itu
dipengaruhi oleh kondisi sosial (Saleh Faghirzadeh, 1982:17), atau meminjam
istilah Karl Marx bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan
sosialnya (Peter L. Beger dan Thomas Luckman, 1990:5). Sebagaimana Karl
Manheim, tokoh sosiologi pengetahuan lainnya, Ibn Khaldun juga
berpandangan bahwa pemikiran ideologis tidak hanya terbatas pada kelas yang
berkuasa, tapi juga dimiliki oleh semua kelas sosial. Setiap kelas memiliki
eksistensinya sendiri, atau perspektif sosialnya sendiri, dan sejumlah kepetingan.
Jadi, ide-ide yang dihasilkan oleh semua kelas pada dasarnya adalah ideologis.
Pandangan lain Ibn Khaldun adalah bahwa faktor-faktor material sangat dapat
mempengaruhi isi ide-ide, ideologi, dan pengetahuan masyarakatnya ((Saleh
Faghirzadeh, 1982:98). Di sinilah peneliti melihat relevansi teori sosiologi Ibn
Khaldun dengan tema yang diangkat dalam kajian ini.

SOSIO HISTORIS PEMIKIRAN AL-GHAZALI


Latar Sosial Politik Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M, di suatu desa kecil
yang bernama “Gazaleh” dalam wilayah kabupaten Thus, Provinsi Khurasan,
Republik Islam Iran sekarang. Ayahnya seorang yang shaleh yang memenuhi
kebutuhan hidupnya dari hasil bertenun. Dan sebelum meninggal, ayahnya
sempat berwasiat kepada sahabatnya untuk menitipkan al-Ghazali dan
saudaranya Ahmad dengan mengatakan:
“sungguh aku menyesal karena aku tidak belajar menulis, dan aku berharap
untuk mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan melalui kedua putraku ini”
(Abdul Halim Mahmud,, t.t:269).
Tidak berbeda dengan para pemikir politik lainnya baik dalam tradisi
sejarah Barat maupun Islam seperti Palto, Hobbes, Marx, al-Mawardi, Ibn

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 99


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

Taimiyah sampai Ibn Khaldun, pemikiran politik Al-Ghazali juga tidak dapat
dipisahkan dari kondisi politik yang mengitarinya. Aroma politik yang mengitari
kehidupan al-Ghazali dimulai pada tahun 1055 atau tiga tahun sebelum
kelahiran al-Ghazali, di mana terjadi perubahan politik yang besar di Baghdad,
yakni orang-orang Saljuk Turki di bawa pimpinan Tughril Beg (w. 1063 M)
yang beraliran Sunni menyerbu ibu kota untuk menyingkirkan dominasi dinasti
Buwaihiyah yang beraliran Syi’ah.
Setelah Thugril Beg meninggal, tahun 1063 M, keponakannya, Alp Arslan
menggantikannya menjadi Sajuk Agung Pertama. Penguasa baru Saljuk ini
memperluas kekuasaan dengan merebut daerah-daerah teritorial di wilayah Asia
Kecil dari kekuasaan Bizantium (1071 M) dan Aleppo dari pengawasan
kekhalifahan Fathimiyah di Mesir. Kekuasaan orang Saljuk ini mengalami
puncaknya setelah masa Malik Syah (w. 1092 M), putra Arslan, yang
kekuasaannya merentang dari Asia Tengah dan perbatasan India sampai Laut
Tengah, dan dari Kaukasus hingga Teluk Persia (Khudori Soleh, 2009:2-3).
Meski demikian, tidak semua wilayah kekhalifahan Bani Abbas dikuasai
Bani Saljuk. Di wilayah Timur, India dan Afganistan misalnya, ada dinasti
Ghasnawiyah yang sama-sama berasal dari Turki. Dinasti ini didirikan oleh
Mahmud ibn al-Batikin al-Ghasnawi (998-1031 M), seorang Sunni bermadzhab
Syafi’i yang anti Muktazilah dan Syi’ah. Sementara di sebelah selatan, di Mesir,
ada dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi di Tunis tahun
909 M. Berbeda dengan dinasti Ghasnawiyah yang beraliran Sunni dan sama-
sama mengakui kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad, dinasti Fathimiyah yang
berpusat di Mesir, beraliran Syi’ah dan merupakan kekhalifahan sendiri yang
lepas dari Baghdad, sehingga keberadaannya menjadi tantangan serius bagi
pengukuhan supremasi kekuasaan Bani Saljuk.
Selain bersaing dengan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Ghasnawiyah di
Afganistan, Bani Saljuk di wilayah Barat, juga berhadapan dengan kaum Kristen
yang melancarkan perang Salib. Perang ini dipicu dari jatuhnya wilayah Asia
Kecil ke tangan Bani Saljuk dan dihalanginya orang-orang Kristen untuk
menunaikan ibadah haji ke Palestina, sehingga pada tahun 1905 M, Paus Urban
II menyerukan kepada masyarakat Kristen Eropa agar mengadakan perang suci
terhadap Islam. Perang Salib pertama terjadi antara tahun 1096 sampai 1099 M,
dan dalam perang selama tiga tahun tersebut, kaum salib berhasil merebut
sebagian wilayah Syiria dan mendirikan kerajaan Ruha pada 1097 M,
mendirikan kerajaan Antiochia di wilayah yang sama pada 1098, dan berhasil
merebut Yerussalem pada 1099 M (Khudori Soleh, 2009:4-5).

100 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

Dari dalam negeri sendiri, situasi politik dan keamanan Bani Saljuk tidak
stabil karena adanya ancaman dari dalam yang dilancarkan oleh salah satu sekte
Syi’ah yang dikenal dengan gerakan kaum Bathiniyah atau kelompok Asasin
(terambil dari kata hasyîsy). Gerakan pemberontak yang terkenal radikal dan
paling mematikan ini menggunakan dua pendekatan di dalam melakukan
aksinya yakni strategi militer dan doktrin ideologi politik, dan menjadi kuat dan
berbahaya semenjak dipimpin Hasan ibn al-Sabbah (w. 1124 M) sejak tahun
1090 M. Di bawah pimpinan Hasan, mereka membuat benteng di Alamut,
selatan laut Kaspia dan menjadikannya sebagai pusat gerakan untuk
melancarkan serangan-serangan ke Baghdad. Dalam melancarkan gerakannya,
kaum Bathiniyyah tidak segan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap
tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap sebagai penghalang mereka. Di
antara tokoh yang menjadi korbannya adalah Nidzam al-Mulk, perdana menteri
dinasti Saljuk yang juga teman dekat al-Ghazali, dan Sultan Malik Syah,
penguasa Bani Saljuk saat itu yang juga dibunuh pada tahun yang sama, 1092
M (Muddatsir Abdul Rahim, 2001:3-4).
Dengan demikian secara politis, kekuasaan Islam pada masa al-Ghazali
terpecah dalam tiga bagian; Bani Saljuk yang beraliran Sunni di Baghdad, Bani
Ghasnawi di Afghanistan, dan Bani Fatimah yang beraliran Syi’ah di Mesir.
Bani Saljuk sendiri, selain bersaing dengan dua dinasti Islam tersebut, harus juga
menghadapi serangan kaum Kristen dalam perang Salib di Palestina, dan harus
menangani para pemberontak Bathiniyah yang merongrong kekuasaannya dari
dalam. Al-Ghazali yang lahir pada tahun 1058 M dan meninggal taun 1111 M
menyaksikan langsung bahkan terlibat dalam upaya perluasan dan pengokohan
kekuasaan Bani Saljuk tersebut, juga menyaksikan kemunduran tajam dinasti ini
menyusul pembunuhan atas sultan Malik Syah tahun 1092 M.

Pemikiran Politik Kebangsaan Al-Ghazali


Al-Ghazali yang digelari sebagai hujjat al-Islam, lebih dikenal khalayak
umum sebagai filsuf, sufi dan ahli fikih (Tājuddîn as-Subkî, 1996:191), kendati
sebenarnya al-Ghazali juga seorang pemikir politik ulung. Orisinalitas pemikiran
politik al-Ghazali setidaknya terekam di beberapa karyanya seperti al-Iqtishād fil
I’tiqād, Mîzān al-‘Amal, Nashîhat al-Mulūk dan Ihyā ‘Ulum al-Dîn. Meski dalam
kitab-kitab tersebut, pembahasan teologi, filsafat, etika dan hukum memiliki
porsi lebih banyak, namun pembahasan tentang politik juga tidak luput dari
pemikiran al-Ghazali. Beberapa produk pemikiran politik kebangsaan al-Ghazali
sebagai berikut:

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 101


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

a. Keharusan adanya Legitimasi Pemerintah


Menurut al-Ghazali, persoalan pengangkatan pemimpin atau Imam
merupakan perintah syariat dan menjadi konsesnsus masyarakat. Rasionalaisasi
kebutuhan ini didasarka kepada premis-premis sebagai berikut:
1). Bahwa keberaturan persoalan agama menjadi tujuan Rasulullah
2). Dan keberaturan agama tersebut tidak akan tercapai tanpa pemimpin yang
ditaati atau diikuti. Premis kedua ini dapat dipahami dengan bangunan premis-
premis sebagai berikut:
a). Peraturan agama tidak akan terealisasi tanpa peraturan dunia
b). Peraturan dunia juga tidak akan teralisasi tanpa pemimpin yang diikuti.
c). Oleh karenanya peraturan agama tidak akan teralisasi tanpa adanya
pemimpin yang ditaati atau diikuti (Al-Ghazali, 2003:169).
Oleh karenanya hubungan persoalan agama dengan persoalan dunia
adalah simbiosis dan integral. Artinya memposisikan keduanya sebagai dua hal
yang kontras dengan alasan karakter keduanya yang berbeda tidak dapat
dibenarkan. Meskipun kata “dunia” pada dasarnya ditujukan kepada segala
sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia sebelum mati, namun bukan berarti
menafikan makna dan peran “agama”. Dan yang tidak boleh dinafikan lagi
adalah bahwa baik kemaslahatan dunia maupun agama juga tidak akan
terealisasi tanpa adanya pemimpin yang diikuti. Untuk menguatkan adagium
ini, al-Ghazli melanjutkan bangunan premisnya sebagai berikut:
1). Bahwa aturan agama –yang diwujudkan dengan ilmu dan ibadah- tidak
akan dapat terealisasi tanpa kondisi fisik yang sehat dan situasi yang aman.
2). Bahwa kondisi fisik yang sehat dan situasi yang aman (termasuk di
dalamnya kebutuhan harta dan keberlanjutan hidup) tidak akan terwujud
tanpa adanya pemimpin yang ditaati.
3). Oleh karenanya keteraturan persoalan agama tidak akan terealisasi tanpa
kehadiran pemimpin yang ditaati.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa
ketertiban/keteraturan dunia menjadi prasyarat terealisasinya ketertiban dalam
urusan agama. Seorang penguasa atau pemimpin menjadi mutlak dibutuhkan
demi terealisasinya ketertiban persoalan dunia, sementara ketertiban dalam
urusan agama juga mutlak terealisasi demi tercapainya kebahagiaan di akhirat.
Di sinilah urgensi dan relevansi kehadiran para Nabi. Oleh karenanya
mengangkat seorang pemimpin menjadi mutlak dan diwajibkan oleh syariat
serta tidak ada alasan untuk menegasinya (Al-Ghazali, 2003:170). Gagasan
tentang pentingnya legitimasi pemerintah bagi al-Ghazali, tidak lepas dari
pengalamannya menyaksikan sejarah politik Islam kelam (musyāhadatu awqāt al-

102 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

fitan) yang dimulai dari masuknya bani Saljuk sampai munculnya fitnah-fitnah
yang tidak berkesudahan. Oleh karenanya legitmasi pemerintah mutlak
dibutuhkan, yang dengan otoritasnya dapat melindungi dan menjaga jiwa-jiwa
orang beserta aset-asetnya.
Dengan demikian fungsi politis (siyāsah) pemimpin beserta pembantu-
pembantunya mutlak diperlukan, tidak hanya mengantisipasi konflik horisontal
dan mengawal perundang-undangan, tetapi lebih dari itu juga dapat mendorong
masyarakat untuk semakin tumbuh dan berkembang. Sebegitu urgennya peran
politik dalam kehidupan, dalam konteks hirarkhi pilihan profesi manusia yang
terdiri atas kategori industri pokok (ushūl), pendukung (mahîat) dan pelengkap
(mutammimat), al-Ghazali menyebut bahwa yang paling utama adalah profesi
yang berhubungan dengan industri pokok (wa asyrafu hādzihi as sinā’ati
ushūluhā) seperti pertanian, tekstil, bangunan dan politik. Dan dari sekian
pilihan profesi di atas, politik adalah yang terbaik karena berhubungan dengan
keberlangsungan hidup orang banyak dan tanpanya tidak akan ada
keberlangsungan (wa asyrafu ushūlihā al-siyāsat bi al-ta’lif wa l istishlāh), (Al-
Ghazāli, 2013:27).
b. Prinsip Loyalitas dan atau Oposisi Loyal
Selain tentang pentingnya melegitimasi pemerintah demi tercapainya
kemaslahatan agama, pandangan lain al-Ghazali kaitannya dengan politik
kebangsaan adalah gagasannya tentang doktrin dan prinsip loyalitas terhadap
pemerintah. Gagasan ini menegaskan bahwa dalam ijtihad politiknya, al-Ghazali
tidak memiliki rumus untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
yang sah atau mengambil istilah Ibnu Anshari melakukan gerakan oposisionisme
(Ibnu Anshari, 2012).
Gagasannya mengenai prinsip loyalitas dimulai dari sebuah pertanyaan
bagaimana jika ada seorang pemimpin yang tidak memenuhi syarat atau kriteria
yang ditentukan namun pada faktanya mampu menjalankan roda pemerintahan
seperti tersedianya pangan (pertumbuhan ekonomi) dan jaminan (stabilitas)
keamanan, dekat dengan ulama dan kaum cendekia sementara dia sendiri tidak
memiliki kepakaran dalam bidang apapun. Terhadap persoalan demikian, al-
Ghazali memberikan dua alternatif. Pertama, wajib dicopot dan menggantinya
dengan calon pemimpin yang memenuhi kriteria selama dijamin tidak akan ada
kegaduhan politik terlebih konflik horisontal sebagai imbasnya. Kedua, wajib
mentaati dan menerima kepemimpinannya (al-Ghazali, 2003:170-171).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika seorang pemimpin tidak
memenuhi kriteria dalam aspek keadilan, sebagai syarat utama kepemimpinan,
apakah dapat diterima kepemimpinannya? Al-Ghazali mengutarakan

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 103


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

pandangannya bahwa kepemimpinannya wajib diterima demi berlangsungnya


hajat hidup orang banyak dan meminimalisir angka pengangguran. Argumen
yang dipakai al-Ghazali adalah kaidah “adh dharūrāt tubîhu al mahdzūrāt” (al-
Ghazali, 2003:171).
Gagasan mengenai loyalitas terhadap pemerintah tidak hanya berkutat
pada pemenuhan aspek kriteria seorang pemimpin, bahkan tingkat loyalitas ini
juga berlaku kepada para pemimpin yamg dianggap telah dzalim. Menurut al-
Ghazali, setidaknya hanya ada tiga kemungkinan seseorang yang berhadapan
dengan pemerintah dzalim. Pertama, berkoalisi dan bergabung dengan mereka,
dan ini seburuk-buruk kondisi. Kedua, mereka (pemerintah) akan datang
kepadamu. Dan ketiga, hendaknya menjauh dari mereka, dan ini dianggap
kondisi yang paling selamat (al-Ghazali, 2013:175).
Khusus pada kondisi pertama sebagai satu kondisi yang dilarang untuk
dimasuki, al-Ghazali memberi dua ruang pengecualian kebolehan untuk
dimasuki. 1). Ada perintah wajib dari mereka yang jika ditolak akan ada
distabilitas politik, sehingga mendatanginya menjadi wajib demi kemaslahatan
rakyat. 2). Melakukan tabayyun kepada mereka dan melakukan advokasi
terhadap kemaslahatan umat Islam (al-Ghazali, 2013:179). Dengan demikian
sikap yang ditawarkan al-Ghazali kendati terhadap pemerintah yang telah
dzalim sekalipun lebih kepada upaya menahan diri (defence) ketimbang reaksi
berlebihan.
Sekilas, baik pandangan al-Ghazali tentang pentingnya legitimasi
pemerintah maupun tentang prinsip loyalitas terkesan sangat fatalistik dan jauh
dari reaksi kritis. Namun jika ditelisik lebih jauh, kerangka operasional
pemikiran al-Ghazali lebih menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan
masyarakat yang tidak jarang menjadi inspirasi dinamika politik Sunni. Dalam
konteks Indonesia, pengaruh pemikiran al-Ghazali terlihat dari dinamika
gerakan Islam Indonesia khususnya dalam merespon UU Ormas nomer 2 tahun
2017.

UU ORMAS DAN GERAKAN ISLAM ANTI MAINSTREAM


Dalam sejarah Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan agama dan
negara. Pertama, agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Kedua,
agama dan negara berbeda dan harus dipisahkan satu sama lain (sekuler). Ketiga,
agama dan negara berbeda tetapi saling membutuhkan secara simbiotik
(Munawir Sadzali, 1993:21-28).
Pada kelompok pertama, Agama, sebagaimana dinyatakan banyak
kalangan, dapat dipandang sebagai instrument ilahiah untuk memahami dunia

104 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

(Robert N. Bellah, 1991:146). Islam, dibandingkan agama-agama lain,


merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis ini. Pandangan
ini telah mendorong pemeluknya untuk meyakini bahwa Islam mencakup segala
hal (al Islam huwa al hal) atau cara hidup yang total.
Dalam konteksnya yang sekarang, tidak mengagetkan jika djumpai
sebagian kaum muslim yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupannya
pada ajaran Islam yang eksklusif dan rigid tanpa menyadari efek-efek yang
muncul sebagai akibatnya. Ekspresi-ekspresi demikian dapat ditemukan dalam
istilah-istilah simbolik yang belakangan lebih dikenal dengan istilah revivalisme
Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan fundamentalisme Islam
(Ferdinand and Mozaffari, 1988:70-71).
Kedua, kelompok yang menolak keterlibatan Islam dalam urusan politik
atau meminjam istilah Abdullah Saeed sebagai The seculer muslims, yang
beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matters).
Beberapa tokoh yang aktif mengkampanyekan adagium ini dapat disebut seperti
Ali Abdur Razik dan Thaha Husein. Pada umumnya kelompok ini mendasarkan
argumennya pada sebuah hadits yang mneyatakan bahwa “kamu sekalian lebih
paham tentang urusan duniamu”.
Sementara kelompok ketiga, adalah kelompok yang memahami Islam dan
politik bukan sebagai fenomena tunggal, namun harus didekati dengan banyak
perspektif yang memungkin lahirnya ragam penafsiran dan selalu mendialogkan
dengan berpegang pada nilai kemaslahatan. Kelompok ini menekankan
pentingnya nilai-nilai dan tujuan diberlakukannya syari’at yang dalam konteks
politik, lazim dikenal dengan Maqashid Siyasah tanpa terjebak dengan istilah-
istilah debatable seperti imamah, khilafah al’udzma dan sebagainya.
Dalam konteks Indonesia, keputusan Pancasila sebagai dasar ideologi
negara yang bersifat final juga tidak luput dari area perdebatan panas yang
berujung pada pembubaran Majelis Konstituante oleh Presiden Sukarno pada
bulan Juli 1959 dalam usahanya menciptakan suatu tatanan politik baru yang
dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
Adalah Mohammad Natsir, salah seorang pemimpin puncak Masyumi
yang memiliki pandangan tegas mengenai hubungan Islam dan negara di
Indonesia yang ditulis dalam bukunya dan dipertegas dalam pidatonya di depan
Majelis Konstituante pada tahun 1957. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai
Dasar Negara, sebagaimana dikutip Syafii Maarif, Natsir berdalih bahwa untuk
dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (lā-
dîniyah), atau paham agama (dîni). Dan Pancasila menurut pendapatnya
bercorak lā dîniyah, karena itu dia sekuler, tidak mau mengakui wahyu sebagai

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 105


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat (Syafii Maarif,


2006:129).
Natsir juga berargumen bahwa hubungan masyarakat dengan negara
seperti hubungan antara benda dengan bentuknya yang saling bergantung satu
sama lain. Oleh karenanya negara harus mempunyai akar yang langsung
tertanam dalam masyarakat. Dengan fakta bahwa Islam sebagai agama panutan
mayoritas rakyat Indonesia cukup punya akar dalam masyarakat, dan karena itu
punya alasan kuat untuk dijadikan dasar negara. Alasan lain mengapa partai-
partai Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir, ialah
karena ajaran Islam punya sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara dan
masyarakat serta dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan
dalam negara dengan penuh toleransi. Implikasinya, tidak ada alasan kelompok
agama minoritas untuk takut kepada Islam sebagai dasar negara (Syafii Maarif,
2006:130).
Kendati gagasan yang ditawarkan Mohammad Natsir tidak mudah
diterima khususnya oleh golongan di luar partai-partai Islam karena tidak ada
role model negara Islam representatif, kampanye Islam sebagai dasar negara
Indonesia selalu mengemuka dan menuai perdebatan sebagaimana yang
dilakukan kelompok gerakan fundamentalisme Islam. Dalam beberapa hal,
kelompok ini memiliki semangat radikal terutama dalam menolak penyematan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia. Karena karakternya yang
dianggap radikal dan masif inilah, salah satu gerakan Islam HTI menjadi korban
pertama lahirnya UU Ormas.
Untuk memahami karakter “radikal” yang disematkan kepada beberapa
gerakan Islam yang cenderung menolak kehadiran ideologi Pancasila, klasifikasi
5 tingkat yang dibuat Arskal Salim cukup relevan dijadikan petunjuk. Kelima
tingkat tersebut adalah: (1). Penerapan hukum Islam dalam lingkup keluarga
seperti perkawinan, perceraian dan pembagian harta waris. (2). Penanganan
masalah dalam lingkup lembaga keuangan seperti zakat, waqf dan perbankan
Islam. (3). Penerapan hukum ta’zir untuk pelanggaran moral seperti
mengkonsumsi alkohol, judi dan sebagainya. (4). Penerapan hukum hudud
untuk kasus perzinahan dan pencurian dan hukum qisas untuk kasus pem
bunuhan. (5). Tuntutan menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara dan
sistem pemerintahan (Arskal Salim, 2008:46; Iqbal Ahnaf, 2016:127-140).12

12
Mengikuti klasifikasi hirarki tuntutan politik Islam yang dibuat Arksal Salim,
akomodasi kepentingan politik Islam sejauh ini masih mencakup dua tingkat pertama yang
paling ringan, yakni penerapan hukum Islam dalam masalah keluarga dan penerapan hukum
Islam dalam masalah keuangan (perbankan Islam) dan zakat. Namun demikian untuk sebagian

106 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

Pemaknaan dan pemahaman istilah radikal di atas hampir-hampir tidak berbeda


dengan pengertian sebagian pemikir dengan istilah fundamentalisme, khususnya
lagi fundamentalisme Islam13 (Nurhaidi Hasan, 2008:ix; As’ad Said Ali,
2012:70).
Istilah fundamentalisme Islam di sini merujuk kepada paradigma “hitam-
putih atau “salah-benar” dan karakter totalitarianisme yang menganggap Islam
sebagai satu-satunya sistem yang layak untuk mengatur dunia secara universal
dalam berbagai aspek; moral, spiritual, hukum, sosial, politik, budaya, dan
ekonomi (Abegebriel, et.al., 2004:693). Karakter demikian dapat dijumpai pada
beberapa organisasi muslim di Indonesia seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebagaimana tercermin dalam
keinginan mereka untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia atau khilafah
Islamiyah untuk menggantikan sistem sekuler.
Dalam konteks Indonesia, MMI menggambarkan kondisi umat Islam
sebagai mayoritas dzimmi karena hak mereka untuk melaksanakan hukum Islam
dihalang-halangi oleh minoritas non-muslim. Ba’asyir, sebagaimana dikutip
Abegebriel, menyatakan bahwa penolakan untuk memasukkan piagam Jakarta
ke dalam UUD ’45, yang mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan hukum
Islam, tak lebih dari upaya pemurtadan kolektif (Abegebriel, et.al., 2004:69).

kelompok Islam (meminjam istilah Janos Kis, sebagaimana dikutip Iqbal Ahnaf sebagai “pejuang
politik Islam refolusioner”) merasa akomodasi demikian tidak cukup dan menuntut penerapan
hukum Islam yang lebih luas atau menuntut tiga level terakhir yakni penerapan ta’zir, hudud
qisas dan menjadikan Islam sebagai ideologi atau sumber konstitusi negara melalui proses dan
dalam sistem politik yang ada.
13
Fundamentalisme Islam juga dikenal sebagai kelompok neo-revivalis karena
mengagendakan kebangkitan hegemonis dunia Islam. Dalam setting kontemporernya, akar
fundamentalisme juga dapat disebut sebagai reaksi terhadap hegemoni Barat yang telah lama
memusuhi Islam. Penolakan terhadap sekularisasi, westernalisasi dan bahkan modernisasi
merupaka rangkaian aksi yang semakin membenarkan tesis Huntington yang meramalkan
terjadinya benturan peradaban (class of civilization). Huntington menganggap Islam sebagai
peradaban yang identik dengan kekerasan dan memiliki garis demarkasi dengan Barat yang
toleran, egaliter dan demokratis. Lahir dan berkembangnya fundamentalisme Islam ini adalah
seiring dengan berkembangnya paham-paham keagamaan terutama yang dipasok oleh
Wahabisme atau dengan kata lain tidak bisa dipisahkan dari kampanye global Saudi Arabia yang
berambisi melancarkan Wahabisasi umat. Di bawah panji gerakan dakwah salafi, kampanye itu
berhasil menebarkan pesan Wahabi ke seluruh dunia. Dan dalam konteks Indonesia, dampaknya
terasa sejak 1980-an ketika ruang publik Indonesia menyaksikan kemunculan pemuda-pemuda
berjenggot dengan jubbah serban dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal). Mereka biasanya
memperkenalkan diri sebagai “salafi” sebagai sebuah varian Islam yang fokus pada upaya
pemurnian tauhid dan praktek keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai jalan untuk mengikuti
jejak keteladanan Salaf al-Shalih, generasi awal Islam.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 107


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

Oleh karenanya tujuan utama didirikannya MMI adalah untuk menerapkan


syari’ah Islam di Indonesia. Sementara Hizbut Tahrir yang mengusung ide Pan-
Islamisme memiliki agenda mengembalikan supremasi Islam pada abad
Pertengahan dalam bentuk mendirikan pemerintahan Islam (Khilafah
Islamiyah) dan penegakan syariat Islam secara internasional di seluruh dunia.
Bagi Hizbut Tahrir, ketiadaan khalifah adalah kondisi yang mewajibkan
muslim untuk menyatakan perang terhadap pemerintahan sekuler. Sedangkan
penegakan Khilafah Islamiyah adalah transformasi dari situsasi Dar al-Kufr
(negara kufur) menuju Dar al-Islam (negara Islam). Tegaknya Daulah Islamiyah
merupakan isyu vital bagi umat Islam karena tanpa kepemimpinan yang terpadu
di kalangan umat Islam seluruh dunia telah mengakibatkan keterpurukan umat
Islam dalam bentuk terpecah-belah menjadi negara-negara yang terpisah dan
dipimpin atau dikendalikan oleh negara-negara kafir (Hizbut Tahrir, 1999:11-
14).
Negara menurut Hizbut Tahrir sebagaimana dikutip Haedar Nashir,
dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu Dārul Islām dan Dārul Kufur. Dārul Islām
adalah negara yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh
aspek kehidupan termasuk dalam urusan peemerintahan, serta keamanannya
berada di tangan kaum muslim sekalipun mayoritas penduduknya bukan
muslim. Sedangkan Dārul Kufur adalah negara yang di dalamnya diterapkan
hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan dan keamanannya berada di
tangan kaum nukan muslim meskipun penduduknya mayoritas muslim. Oleh
karenanya, masih menurut Hizbut Tahrir, menjadi kewajiban bagi seluruh umat
Islam untuk merubah setiap negara yang berstatus Dārul Kufur menjadi Dārul
Islām dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah yang berbentuk khilafah, di
mana semua negara akan dipersatukan di bawah panji kekhalifahan yang besar
tanpa tersekat-sekat segara bangsa (nation state). Selanjutnya negeri-negeri
muslim tersebut berkewajiban untuk mengemban risalah Islam ke seluruh
penjuru dunia melalui gerakan dakwah dan jihad (Haedar Nashir, 2013:410).
Baik MMI maupun HTI, kendati sama-sama memiliki visi ambisius
dalam penerapan hukum Islam, namun keduanya memiliki pandangan berbeda
di dalam metode perjuangannya. Sekedar contoh misalnya, meski MMI
mengecam sistem sekuler, mereka masih percaya bahwa hukum Islam bisa
diterapkan di Indonesia dengan mengakomodir bentuk negara Republik
Indoneisa. Ini dibuktikan MMI dengan usahanya mengirimkan draft usulan
Amandemen UUD ’45 dan Usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik
Indonesia yang disesuaikan dengan syariat Islam, kepada pemerintah, DPR dan
MPR. Meski MMI menganggap demokrasi sebagai sistem kufur, akomodasi

108 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

secara terbatas terhadap demokrasi juga nampak dari draft alternatif UUD ’45
dengan mengakomodir beberapa lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR,
Presiden, dan lain-lain (Abegebriel, et.al., 2004:699). Dan ini artinya MMI
tidak menentang perjuangan gradual atau reformis.
Berbeda dengan MMI, sementara HTI meyakini bahwa pelaksanaan
hukum Islam hanya bisa dilakukan melalui penegakkan khilafah Islamiyah.
Hukum Islam, terutama yang berhubungan dengan urusan publik seperti
hudūd, jināyah, dan ta’zir, menurut HTI hanya bisa diemban oleh khalifah,
bukan individual, kelompok, presiden atau perdana menteri. Doktrin Khilafah
islamiyah diakui oleh para aktivis HTI sebagai antitesis ideologis yang siap
menggantikan konsep negara bangsa khususnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang dianggap sudah final. Cukup beralasan jika kemudian
HTI dianggap sebagai organisasi Islam transnasional (Masdar Hilmy, 2011:1). 14
dengan membawa nuansa ideologis yang mengancam eksistensi NKRI.
Atas dasar inilah, boleh jadi, yang menjadi pertimbangan pemerintah
membubarkan ormas hanya HTI dan tidak sampai kepada pembubaran MMI
ataupun ormas-ormas lainnya yang juga dianggap radikal atau bagian dari
fundamentaslime Islam. Yang demikian oleh karena HTI dianggap sebagai
organisasi makar yang hidup dengan mendompleng demokrasi. Keberadannya
secara nyata membuat gerah organisasi keagamaan lainnya sebagai genre
keislaman yang lahir dengan khas keindonesiaannya, di samping tentu
“menantang” pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan benteng kokoh
pengawal NKRI yang berideologi Pancasila.

14
Menurut Masdar Hilmy, sebagai sebuah gerakan yang bukan asli Indonesia, HTI
sendiri sebenarnya merupakan representasi dari “Islam transnasional” par exellence, mengingat
keberadaan organisasi politik ini tidak lahir dari pergumulan identitas keindonesiaan yang
otentik, melainkan dipindahkan, di bawa atau diimpor dari negara lain yang cenderung tidak
mau “mengindonesia”. Pada awalnya, ide Islam transnasinal tidak dimaksudkan untuk merujuk
secara spesifik kepada kelompok HTI. Hal ini disebabkan secara generik “transnasional” itu
sendiri mencakup pemaknaan yang luas, bukan saja HTI tetapi juga Islam sendiri pada
dasarnyabrsifat transnasional. Namun demikian, paham Khilafah Islamiyah yang diusungnya
menjadikan organisasi ini menjadi satu-satunya representasi “Islam transnasional” yang paling
autentik, tanpa bermaksud mengecualikan organisasi-organisasi lain yang barangkali memiliki
visi teologis-ideologis yang (hampir) sama. Sebagai akibatnya, jadilah “Islam transnasional”
sebagai seauh nomenklatur baru yang secara spesifik dan eksplisit dikonotasikan dan
diatribusikan pada HTI. Artinya, istilah ini sudah terlanjur menjadi branding yang melekat pada
HTI, dan bukan pada kelompok lainnya.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 109


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

ANTARA NU, UU ORMAS DAN KONTIBUSI POLITIK KEBANGSAAN


AL-GHAZALI
Sebagaimana disinggung di atas bahwa meskipun pandangan politik
kebangsaan al-Ghazali terkesan fatalistik, namun jika ditelisik lebih jauh,
kerangka operasional pemikiran al-Ghazali lebih menitikberatkan pada nilai-
nilai kemaslahatan masyarakat luas. Logika menjadikan kemaslahatan sebagai
esensi bernegara bagi orang Islam, menurut al-Ghazali, oleh karena hubungan
persoalan agama dengan negara adalah simbiosis dan integral. Dengan kata lain
hubungan agama dengan negara ibarat saudara kembar (al dîn wa al sulthān
tawamān) yang berarti agama adalah pondasi (untuk membangun masyarakat),
sementara negara berfungsi sebagai pelindung rakyatnya, yang tanpa salah satu
dari keduanya akan berakibat pada kebangkrutan dan kelumpuhan.
Dengan menitikberatkan pada nilai-nilai kemaslahatan pula, al-Ghazali
sama sekali tidak mempersoalkan jenis ideologi sebuah negara, apakah itu
khilafah, imamah atau bahkan imamah al-‘Udzma. Apapun ideologi atau dasar
negara tersebut, selama dapat memberikan perlindungan kepada masyarakatnya
di situlah esensi bernegara dibutuhkan dan wajib adanya.
Dalam konteks Indonesia, berbeda dengan gerakan Islam anti maenstream
seperti MMI dan HTI yang mengkampanyekan formalisasi syariah dengan
menjadikan Islam sebagai ideologi negara, gerakan Islam lainnya seperti NU dan
Muhammadiyah tidak pernah mempersoalkan hubungan Islam dan Pancasila
terlebih setelah menjadi konsensus bersama. Yang demikian oleh karena kedua
ormas tersebut di samping memiliki gen Islam khas yang lahir di Indonesia,
kedua ormas tersebut juga menjadi bagian dari gerakan politik sunni meskipun
dengan nuansa karakter politik berbeda. Dalam konteks politik,
Muhammadiyah lebih menggunakan nalar ijtihadnya sementara NU lebih
mengacu kepada nalar ijma’. Di sinilah alasan mengapa NU lebih tepat disebut
sebagai pewaris tahta al-Ghazali sesungguhnya, dengan kiprah politiknya yang
bercorak sufistik.
Perspektif NU tentang paham kebangsaan yang digali dari pemikiran
politik Sunni terutama pandangan politik al-Ghazali, oleh karena dianggap
moderat dan lebih sesuai dengan watak orang Jawa yang sudah menyatu dengan
adat istiadanyat (Agus Irfan, 2017: 108) dan memiliki filosofi mementingkan
keselarasan hubungan antar manusia. Tradisi Sunni bisa mengakui keabsahan
seorang raja bila pemerintahannya membawa ketertiban dan menjauhkan dari
kekacauan (fitnah). Basis doktrinal dan antropologis ini melandasi seluruh
penyikapan NU terhadap isu-isu kebangsaan penting seperti menyebut wilayah
Nusantara sebagai Dārul Islām pada tahun 1936, mengeluarkan Resolusi Jihad

110 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

membela tanah air pada tahun 1945, menyematkan gelar waliyy al-amri al-
dharuri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno pada tahun 1954. Puncaknya
pada tahun 1984, ketika NU, pada muktamar ke-27 di Situbondo, menetapkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dan
NU berhasil meletakkan dasar-dasar sintesis hubungan Islam dan negara, yang
ditandai dengan penerimannya terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila (Ali
Masykur Musa, 2011:viii-ix).
Bagi NU, mengubah sikap politik dalam suasana seperti itu memang
bukanlah sesuatu yang dianggap sulit dan tabu. Sebab dalam berpolitik,
sebagaimana respon terhadap persoalan-persoalan sosial lain, NU berpegang
pada prinsip-prinsip fiqhiyyah yang bersifat sangat dinamis dan fleksibel.
Mengambil istilah Ali Haidar, NU memandang fiqihisme sebagai ideologi sosial
dan politik secara tidak kaku (Ali Haedar, 1999).
Di samping corak fiqh minded, dalam dimensi pemikiran dan sikap
politik, NU juga sangat dipengaruhi oleh paham Aswaja dan sikap dasar
kebangsaan. Jika dalam Aswaja yang berisikan doktrin sikap tasamuh (toleransi),
tawassuth (akomodatif), i’tidal (moderat), dan melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar, sementara sikap dasar kebangsaan NU dirumuskan melalui
keseimbangan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim),
ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sebangsa) yang dilaksanakan secara akomodatif atas dasar
komitmen bersama (al-Muslimūn bisyurūthihim).
Dalam konteks kekinian, pemikiran al-Ghazali juga masih sangat relevan
di dalam melihat persoalan kebangsaan. Terhangat adalah persoalan UU Ormas
yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan menjadikan
maslahat sebagai latar epistemnya, al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada
persoalan jenis ideologi negara tertentu. Baginya selama dapat memberikan
perlindungan kepada masyarakatnya, di situlah esensi bernegara dibutuhkan.

Dengan melihat nilai universal yang ditawarkan al-Ghazali di atas maka


lahirnya UU Ormas no 2 tahun 2017 dapat dinilai sebagai langkah tepat yang
dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya dengan UU Ormas ini, ada langkah
protektif yang dilakukan pemerintah selaku pemangku negara untuk melindungi
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pancasila sebagai ideologi
negara Indonesia.
UU Ormas ini juga sekaligus berfungsi sebagai langkah preventif dari
paham-paham yang mengancam pancasila, yakni setiap paham atau bahkan
ajaran yang dianut dan disebarkan oleh ormas yang bertentangan dengan

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 111


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

pancasila baik paham atau ajaran itu lahir dari gerakan keagamaan maupun
gerakan sosial lainnya, sebagaimana diatur pada pasal 59 ayat 4 poin (c).
Pengingkaran terhadap Pancasila sebagai asas dan falsafah negara dalam UU
Ormas ini juga dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela dalam
pandangan moralitas bangsa. Oleh karenanya pemberian sanksi administratif
dan bahkan sampai pada sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Ormas
tersebut khususnya pasal 60-61 (tentu dengan beberapa catatan), dinilai tepat
demi terjaganya stabilitas keamanan nasional. Dan dengan adanya jaminan
stabilitas keamanan ini, maka setiap orang Islam dapat melaksanakan ibadahnya
dengan tenang dan sangat berpotensi untuk mencapai kebahagiaan di
akhiratnya.

PENUTUP
Menyimak pemaparan pandangan politik kebangsaan al-Ghazali
hubungannya dengan UU Ormas no 2 tahun 2017, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa sebagai seorang sufi, pandangan-pandangan sufistiknya tidak
saja berkaitan dengan akhlak dan fiqh, namun juga terekam dalam pemikiran
politiknya. Dalam konteks kebangsaan, al-Ghazali menawarkan pentingnya
legitimasi pemerintah dan pentingnya menjaga prinsip-prinsip loyalitas terhadap
pemimpinnya. Ini dimaksudkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan
terjaminnya stabilitas keamanan sebuah negara. Dengan terealisasinya dua
kepentingan sebuah negara tersebut, maka dengan sendirinya kepentingan
agama akan terjamin. Umat Islam dengan sangat leluasa dapat menjalankan
perintah agamanya. Hubungan agama dengan negara ibarat saudara kembar (al
dîn wa al sulthān tawamān) yang berarti agama adalah pondasi (untuk
membangun masyarakat), sementara negara berfungsi sebagai pelindung
rakyatnya, yang tanpa salah satu dari keduanya akan berakibat pada
kebangkrutan dan kelumpuhan.
Di dalam melihat setiap persoalan politik, al-Ghazali selalu mendasarkan
pandangannya kepada nilai-nilai kemaslahatan, oleh karenanya corak pemikiran
politik al-Ghazali lebih sufistik. Dan dalam perkembangannya, Politik sufistik
al-Ghazali memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap politik kebangsaan NU
sebagai repsresentasi kelompok politik Sunni di Indonesia sekaligus sebagai
antitesa gerakan Islam ideologis yang menginginkan formalisasi syariat Islam.
Terbaru adalah lahirnya UU Ormas no. 2 tahun 2017, di mana NU sedari awal
telah berkomitmen menerima pancasila sebagai asas ideologi negara. Dalam
perspektif politik al-Ghazali, lahirnya UU Ormas ini dinilai tepat setidaknya

112 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


UU Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali

sebagai langkah preventif dan protektif yang dilakukan pemerintah untuk


menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai ideologi negara.

DAFTAR PUSTAKA
Ahnaf, Muhammad Iqbal. Tiga Jalan Islam Politik di Indonesia: Reformasi,
Refolusi dan Revolusi, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya
1, 2 Juli, 2016.
Abegebriel, A. Maftuh, et.al., Negara Tuhan: The Thematic Enclyclopedia, Cet. 1,
Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Iqtishād fi aI’tiqād, Damsyik: Dār al-Kutub, 2003.
-----------------------------. Ihyā ‘Ulūm ad-Dîn, Vol. 1, Beirut: Dār al-Kutub,
2013.
Ali, As’ad Said. Ideologi Gearakan Pasca Reformasi, Jakarta: LP3ES, 2012.
Anshari, Ibnu. Oposisi dalam Praksis Politik Islam Perspektif Sosiologi Sejarah,
Ciputat: GP Press, 2012.
As-Subkî, Tājuddîn. Tabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Vol. 6, Kairo: Dār al-kitāb
al-‘Arabî, 1996.
Beger, Peter L. dan Thomas Luckman. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. 1990
Bellah, Robert N. Beyond Believe: Essays on Religion in a Post Tradition World,
Los Angeles: University of California Press, 1991.
Faghirzadeh, Saleh. Sociology of Sociology, Tehran: The Soroush Press, 1982.
Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ferdinand, Klaus and Mehdi Mozaffari (ed.), Islam: State and Society, London:
Curzon Press, 1988.
Haedar, Ali. NU dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hasan, Nurhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di
Indonesia Pasca-Orde Baru, terj. Hairus Salim, Jakarta: LP3ES, 2008,
Hilmy, Masdar. Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Irfan, Agus. Local Wisdom dalam Pemikiran Kiai Sholeh Darat, Ulul Albab,
Vol. 1, No. 1, Oktober 2017.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Jakarta: LP3ES,
2006.
Mahmud, Abdul Halim. Qadhiyyat at-Tasawwuf Al-Munqidh min adh Dhalal,
Kairo: Dar al-Maarif, t.t.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 113


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Agus Irfan

Musa, Ali Masykur. Nasionalisme di Persimpangan: Pergumulan NU dan Paham


Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.
Nashir, Haedar. Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia,
Bandung: Penerbit Mizan, 2013.
Rahim, Muddatsir Abdul. Al-Ghazali’s Political Thought: Its Nature and
Contemporary Relevance, dalam International Conference on al-Ghazali’s
Legacy: Its Contemporary Relevance, ISTAC: 24-27 Oktober 2001.
Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Cet. Ke-5, Jakarta: UIP, 1993.
Salim, Arskal. Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern
Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008.
Siddiq, Ahmad. Khittah Nahdliyah, Surabaya: Balai Buku, 1979.
Soleh, Khudori. Skeptisme Al-Ghazali, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Tahrir, Hizbut. The Methodology of Hizbut Tahrir for Change, London: Al-
Khilafah Publications, 1999.

Sumber Media:
Kompas, 24 Maret 2017, diunduh pada 12 Desember 2017.
Suara Merdeka, Kamis 26 Oktober 2017.
Suara Merdeka, Rabu 25 Oktober 2017.

114 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


CORAK SUFISTIK IMAM AL-GHAZALI TERHADAP SUFI
NUSANTARA

Hajam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
hajam_1967@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Imam al-Ghazali nama lengkapanya Abu Hamid ibn Muhammad al-
Ghazali, lahir di Thus, Khurasan (Iran) pada 450 H/1058 M dan wafat pada
505 H/1111 M). Imam al-Ghazali seorang ulama plus yang kaya pengetahuan
dan tegas dalam mengkritik filosuf yang cenderung kontraproduktif dengan nas,
khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam pandangan
Nurchalish Madjid (1939-2005) Imam al-Ghazali diakui sebagai salah seorang
pemikir paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam
sejarah intelektual manusia, al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern Muslim
maupun bukan Muslim, adalah orang terpenting sesudah Nabi Muhammad
Saw, ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya menata dan mengukuhkan
ajaran-ajaran keagamaan.
Imam Al-Ghazali dalam pergulatan pengetahuanya telah mengalami
dinamika epistemologis bermula dalam kajian syariat kemudian filsafat Yunani
sampai kehilangan keseimbangan dalam pengembaraan spiritualnya. Imam al-
Ghazali pada akhirmya menekuni dan singgah di pengetahuan tasawuf sampai
merasakan kondisi batin yang bisa bertranscendental pada Tuhan.. Imam al-
Ghazali baru merasakan stabilitas batin setelah singgah di ladang spiritual yang
sebelumnya mengalami keraguan (syak). Imam al-Ghazali telah berdialog rutin
dengan hati nuraninya yang peka akan rasa Ketuhanan dapat mewujudkan
pengetahuan integrasi antara syariat dan haqiqat. Imam al-Ghazali hadir di
zaman kekuasaan Bani Abbasyiah di mana ditandai adanya kebinguan spiritual
di samping gejolak politik. Tiga tahun sebelum Imam al-Ghazali lahir, Ibu Kota

115
Hajam

Abbasyiah Bagdad jatuh ke tangan kekuasaan Turki Saljuq setelah lebih satu
abad diperintah oleh amir-amir Buwaihiyyah yang Syiah itu.1
Kedalaman Intelektual-spiritual Imam al-Ghazali selama hidupnya telah
mengalami perdebatan yang sengit dan serius antara filosuf dan para teolog
dalam menafsirkan dan memahami ajaran-ajaran agama. Keilmuan Imam
Ghazali tidak hanya dalam fiqig, teologi, tasawuf tapi jiga menguasai ilmu-ilmu
sains seperti astronomi fisika dan kimia. Dalam lieratur Barat seperti pandangan
oreintalis H.A.R Gibb menempatkan Imam al-Ghazali sejajar dengan Filosuf St.
Agustinus (354-430 M), filosuf Kristen yang mengarang buku The City God.
Bedanya kalau Agustinus tetap lengket dengan filsafat, smentara Imam al-
Ghazali tetap menempuh jalan sufi sebagai pencarian kebenaran. Oreintalis
H.A.R Gibb menempatkan Imam al-Ghazali setaraf dengan Martin Luther,
pembaru agama Kristen di Eropa pada permulaan abad ke-16. 2
Bahkan lebih jauh Oreintalis H.A.R Gibb memberi apresiasi terhadap
Imam al-Ghazli seperti dikuip Syafi’I Ma’arif sebagai berikut:
Cerita tentang perjalanan relegiusnya Imam al-Ghazali sungguh sesuatu
yang merawankan hati dan bernilai – bagaimana ia menemukan dirinya sendiri
berada dalam pembrontakan melawan kepintaran palsu para teolog yang telah
berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh system keagamaan dan filsafat
muslim pada masanya, dan bagaimana akhirnya setelah bergumul lama baik
fisik, mental dan intelektual, ia terjembab pada agnostisisme filosofis semata
pada pengalaman pribadi tentang Tuhan dan (di ujung pengembaraan) ia
menemukanya pada jalan sufi 3
Imam al-Ghazali dengan menempuh jalan tasawuf sebagai jalan dan pola
hidupnya pada analisis terakhirnya Imam al-Ghazali adalah ulama yang bercorak
moderasi dengan menempuh pendekatan keilmuan dan amaliyahnya dengan
metode jalan tengah dalam bahasa Nahdatul Ulama wasthiyah. Pengaruh
pemikiran sufistik Imam al-Ghazali diakui dunia Islam. Banyak sarjana Muslim
di dunia memandang Imam al-Ghazali sebagai figure yang paling berpengaruh
dalam sejarah intelektul Islam.4 Bahkan kitab monumentalnya Imam al-Ghazali

1
Philip K. Hitti, Maker Of Arab History, New York, Harper dan Row, 1971, hlm. 146
dalam Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Inteletualisme islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 55
2
Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Inteletualisme islam di Indonesia, hlm. 56
3
H.A.R Gibb, Influence (of al-Ghazali) dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim
philosophy, jilid I Wiesbaden, Otto Harrasswits, 1963, hlm. 638.
4
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, Albany, State University of New York
Press, 2981, hlm. 71

116 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

seperti kitab Ihya Ulumuddin dipandang sebagai al-Qur’an yang ke dua.


Julukkan Hujjatul Islam yang diberikan Imam al-Ghazali barangkali telah
mewakili pandangan mereka yang mengaguminya.5
Pemikiran dan kitab-kitab Imam al-Ghazali punya andil dan pengaruh
besar terhadap perkembangan Islam dan tasawuf Nusantara. Dalam makalah ini
akan dijelaskan bagaimana geneologi kontribusi Imam al-Ghazali terhadap
tasawuf Nusantara sebagai indikatornya banyak ulama Nusantara dulu dan
sekarang sarat diwarnai pemikiran Imam al-Ghazali. Kitab-kitab karya Imam al-
Ghazali hingga kini ditelah sebagai bacaan dan referensi pokok di berbagai
lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan perguruan Tinggi.

SEKILAS MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA


Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai
pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah
ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan
berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.6 Wilayah barat Nusantara dan sekitar
malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,
terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan
menjadi daerah lintasan penting antara cina dan india. Sementara itu, pala dan
cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk
kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang
asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera; Sunda Kelapa
dan Gresik di Jawa.7
Menurut J.C. Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat
diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab menyinggahi di barat
laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur. Pada awal-Nya pedagang
Arab muslim menyinggahi barus hanya untuk bisnis akan tetapi ketika bisnis itu
berjalan baik dan sementara untuk kembali berlayar ( pulang ) harus menunggu
musim yang baik untuk berlayar maka para pedagang arab muslim tersebut
untuk beberapa waktu tinggal di Barus. Dalam perkembangan-Nya hal ini
dimanfaatkan untuk berdakwah yang pada menjelang abad ke-13 M, masyarakat
pribumi Borus sampai palembang banyak menganut Islam. Hal itu terjadi
5
Ibid, hlm. 640
6
Marwati dan Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Balai Pustaka. Jakarta. Hal
2
7
Taufik Abdullah. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Majelis Ulama Indonesia.
Jakarata. Hal 34

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 117


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

sangat pesat serta pada masa itu Islam sudah dianut di Samudra Pasai dan Perak.
Di Jawa, beberapa bukti sejarah yakni makam Fatimah binti Maemun di Leran
(Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082), dan makam-makam orang Islam
di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 yang merupakan perkembangan dari
Islam sampai di pusat kekuaaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Sampai
berdiri-Nya kerajaan Islam, perkembangan Agama Islam di Nusantara dapat
dibagi menjadi tiga tahap yakni:8 pertama, singgah-Nya pedagang-pedagang
Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Kedua, Ada-Nya komunitas Islam di
beberapa daerah kepulauan Nusantara. Ketiga, berdiri-Nya kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara.
Tradisi Islam yang masuk di Nusantara tidak begitu saja diterima, tetapi
disaring dan dipilah mana yang cocok dan bisa diterapkan di Nusantara akan
dipakai, tetapi yang tidak cocok akan ditinggalkan dan diambil isi dan subatansi
ajarannya untuk digunakan mengisi tradisi dan budaya yang sudah tumbuh di
bumi Nusantara, seperti tercermin dalam seni wayang dan berbagai tradisi
keagamaan yang khas Nusantara, nydran, tahlilan, selametan dan sebagainya.
Dengan cara ini maka Islam bisa diterima dengan lapang dada dan penuh suka
cita.9
Kedatangan Islam dan penyebaranya kepada golongan bangsawan dan
rakyat pada umum-Nya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu
kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan
dikalangan keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan
bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Ada-Nya suatu
hubungan dengan pedagang-pedagang muslim yang memiliki ekonomi kuat
tentu-Nya dijadikan penyokong pihak-pihak terkait dalam kepentingan politik
yang dilakukan oleh para bangsawan dan pihak-pihak yang menghendaki
kekuasaan. Mula-mula diberikan-Nya sebuah surat berisikan ajakan untuk
masuk Islam kepada raja yang non Islam. Dari hal tersebut ketika satu atau
beberapa kerajaan berada di tampuk Islam maka cukup kuat untuk melakukan
Islamisasi di berbagai daerah yang belum menganut Islam. Sebagai konsekuensi-
Nya apabila kerajaan yang non Islam tidak mau menganut Islam harus

8
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague: Van Hoeve, 1955), hlm. 111
9
Ngatawi Al-Zastrouw, Aktualisaasi Pancasila dan Spirit Nasionalisme Di Era Globalisasi,
pengantar diskusi dalam seminar Distingsi Keilmuan Fakultas Ushulidin, Adab dan Dakwah
Dalam Niali Kebangsaan, IAIN Syech Nurjati, Cirebon, 23 Oktober 2017

118 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

berperang dengan kerajaan Islam. Hal ini bukan persoalan agama lagi melaikan
ideologi atas dorongan politis untuk mengusai kerajaan-kerajaan disekitar-Nya.10
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang
berkembang di Nusantara ada enam, yaitu: Saluran perdagangan adalah tarhap
awal proses Islamisasi di Nusantara termasuk Indonesia. Lalu lintas perdagangan
abad ke-7 hingga abab ke-16 M yang melibatkan banyak pedagang muslim dari
berbagai Negara yang sangat menguntungkan. Saluran Perkawinan Dari sudut
ekonomi, para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik dari pada
kebanyakan masyarakat pribumi Indonesia (Nusantara). Hal ini menjadikan
para puteri-puteri bangsawan pribumi atau bangsawan itu sendiri tertari untuk
menjadi istri saudagar-saudagar muslim. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka semakin luas. Jalur perkawinan ini, menguntungkan Islam
karena apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan, anak
raja, atau adipati. Karena ada-Nya hal tersebut turut mempercepat proses
Islamisasi. Hal yang demikian terjadi antara Raden Rahmat ( sunan ampel )
dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten,
Brawijaya dengan puteri Campa, dan lain-lain.11
Saluran Tasawuf Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan
teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Mereka mahir soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan
menyembuhkan. Diantara mereka ada juga mengawini puteri-puteri bangsawan
setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk
pribumi mempunyai persamaan dengan pikiran mereka yang sebelum-Nya
menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan
diterima. Saluran Pendidikan Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik
pesantren maupun pondok yang diselenggatakan oleh guru-guru agama, kyai-
kyai dan ulama-ulama. Dipesantren atau pondok itu calon ulsms, guru agama
dan kyai yang mendapat pendidikan Agama Islam. Setelah mereka keluar dari
pesantren dan pulang ke kampung masing-masing mereka berdakwah ke tempat
tertentu mengajarkan Islam. Misal-Nya pesantren yan didirikan oleh Raden
Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri banyak diundang ke Maluku
untuk mengajarkan Islam.12

10
Azyurmardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,
1989) Hal 31
11
Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan dan Penyebaran Islam” dalam Taufik Abdullah (ed.),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.9-26
12
Ibid, hlm. 9-26

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 119


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

Saluran Islamisasi melalui kesenian yang terkenal adalah wayang.


Dikatakan, Sunan Kali Jaga adalah tokoh yang paling mahir dalam
mementaskankan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi
ia meminta para penonton untuk mengikuti-Nya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan
Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan
Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastera (
hikayat, babad dan sebagai-Nya ), seni bangunan, dan seni ukir. Saluran Politik
kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam. Pengaruh
politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di Nusantara. Di samping itu,
baik Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian Timur, demi kepentingan
politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam.
Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan
bukan Islam masuk Islam.13

CORAK SUFISTIK IMAM AL-GHAZALI TERHADAP SUFI


NUSANTARA
Sejarah masuknya tasawuf tak lepas dari proses Islamisasi di kawasan
Nusantara. Sebab tidaklah berlebihan kalau dikatakan, bahwa tersebar luasnya
Islam di Nusantara sebagian besar adalah karena jasa para sufi14 yang
dipengaruhi oleh dua sufi besar yaitu Ibnu Arabi dan Imam al-Ghazali. Dua sufi
bisa dipastikan yang telah mewarnai para sufi Nusantara, baik ajaran maupu pun
karya-karyanya. Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk
mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang
tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non
formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-
Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam
menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf
terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren,
terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila
seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah
berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab
yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki
tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila
ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi

13
Ibid, hlm. 9-26
14
H.A. Rivay Siregar. 2000. Tasawuf Nusantara. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal
215

120 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku
keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri
tersebut.
Yaman salah negara Islam yang banyak berperan dalam melahirkan sufi
Nusantara. Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan
bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah
di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria,
Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas
orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam
akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para
para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah
satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-
Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-
Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-
orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran
Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al
Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali
songo di tanah Nusantara.
Di antara Sufi Nusantara yang diwarnai pemikiran dan ajaran tasawuf
Imam al-Ghazali sebagai berikut:
SYAIKH ‘ABD ASH-SHAMAD AL-JAWI AL-PALIMBANI (TASAWUF
MODERASI ANTARA IBN ARABIAN DAN GHAZALIAN)
Sufi dari Palembang Sumatera yang diwarnai tasawuf Imam al-Ghazali
yaitu Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir
abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman
al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah. Ulama sufi
ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu.
Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-
Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di
wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid
tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa
Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 121


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat


mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan.
Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani salah satu Ulama Sufi
Nusantara yang banyak menghasilkan karya tulis, menurut Drewes menyebut
karyanya ada tujuh buah, sementara Cuzwain menyebut satu buah, semuanya
delapan buah. Adapaun karya-karyanya Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-
Muttaqin, ditulis pada 1778 M. terjemahan Bidayat al-Hidayat al-Ghazali. Siyar
al-Salikin ila Ibadah Rabb al-’Alamin, ditulis pada 1779 M. terjemahan melayu
Ihya Ulumuddin al-Ghazali dan memasukkan sumbernya dari Ibn ‘Arabi, al-Jilli
dan Syamsuddin al-Sumatrani. Kitab ini mengkompromikan antara tasawuf
Ghazalian dan Ibn ‘Arabian. Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-
Mu’minin. Ditulis pada 1774 M, kitab ini bertujuan agar orang mu’min tidak
tersesat dan tidak salah paham. Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin
fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah, kitab ini
untuk anjuran jihad untuk mengusir penjajah. Zuhrat al-Murid fi Bayan
Kalimat al-Tawhid, berisi kalimat-kalimat Tawhid diselesaikan di Makkah pada
1764 M. Al-Urwat al-Wusqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa, tentang wirid-wirid. Ratib
Abdus Samad Zadd al-Muttaqin fi Tawhid Rabb al-Muttaqin. Ringkasan ajaran
tauhid yang diajarkan oleh Syeikh Muhammad al-Saman.15
Latar belakang pahamnya adanya kontroversi tasawuf Ibn ‘Arabi tentang
Wahdat al-Wujud. Abdus Samad al-Palimbangi telah berhasil melakukan
pembaharuan tasawuf,16 yaitu dengan mengkompromikan antara tasawuf
Ghazalian dan Ibn ‘Arabian. Pembaharuan tafsir Wujudiyah: Menghindari
Wujud Mulhidah (ateis) seperti kaum Hubbiyah, awliyaiyah, samarkhiyah,
khaliyyah, waqifiyah, hululiyah, mujasimah, ilahiyah hururiyah, mutajahiliyah,
dan wujudiyah.17
Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani Memberlakukan Wujud
Muwahidah. Wujud Allah yang Esa dapat dikenal dengan konsep Martabat
Tujuh dengan beberapa modifikasi. Yaitu dengan memadukan antara al-ghazali
dan Ibn ‘Arabi. Martabat Pertama Martabat al-Ahadiyah dinamakan La ta’ayun

15
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII –
XVIII., hlm. 313. Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran
Tasawuf, hlm. 93-94.
16
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII –
XVIII., hlm.302.
17
Al-Palimbani, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, ML 719), hlm. 14-16, dalam Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi,
Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm. 98-99.

122 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

dan martabat al-ithlaq, yaitu ibarat dari semata-mata Essensi-Nya, yakni


memandang dengan hatinya akan wujud Allah dengan tiada ikhtibat sifat, af’al
dan asma-Nya. Martabat kedua Martabat al-Wahidiyah disebut ta’ayun al-awwal
dan haqiqat al-Muhammadiyyah, yaitu ilmu Tuhan mengenai esensi dan sifat-
Nya serta alam semesta ini secara global. Martabat ketiga Martabat al-Wahidiyah
dinamakan juga haqiqat al-Insaniyah, yakni ilmu Tuhan atas dirinya dan alam
semesta secara terperinci. Ketiga martabat itu qadim dan azali, karena belum ada
yang maujud kecuali zat Allah.sementara alam semesta sudah ada dalam ilmu
Allah, tetapi belum zahir di dalam wujud luar.18
Selanjutnya Syaikh Abdus Samad al-Palimbani menjelaskan Martabat
Tujuh dengan menggunakan doktin tasawuf al-Ghazali bermula dari tiga
tingkatan manusia dalam menuju Ma’rifat kepada Allah, yaitu martabat pertama
disebut nafs al-Ammarah, Martabat kedua nafs al-Lawamah, Martabat ketiga
nafs al-Mutmainnah. Al-Palimbani tidak puas dengan penjelasan al-Ghazali,
kemudian beliau menyempurnakan tingkatan manusia menjadi tujuh. Beliau
ingin memadukan konsep martabat tujuh dalam mencapi martabat insan kamil
ke dalam mazhab Ghazalian. Menurutnya: jiwa manusia memiliki tujuh
peringkat, yaitu: Nafs al-Ammarah, Nafs al-lawamah, Nafs al-Mulhamah, Nafs
al-Mutmainnah, Nafs al-Radhiyah, Nafs al-Mardhiyah dan Nafs al-Kamilah.19
Syaikh Abdus Samad menjelaskan Martabat tujuh dengan Upaya Taraqqi:
pertama perjalanan menundukkan nafs al-Ammarah seperti kecenderungan
kepada kejahatan, bersifat jahil, loba, kikir, marah, banyak makan dan pelupa.
Perjalanan ini identik dengan alam ajsam dan ditempuh melalui syariat. Kedua
perjalanan menaklukkan nafs al-Lawwamah seperti bangga diri, ria, dan suka
membantah. Perjalanan ini identik dengan alam mitsal dan ditempuh dengan
jalan thariqat. Ketiga perjalanan menempuh Nafs al-Mulhamah, seperti memiliki
sifat pemurah, kanaah, berilmu, tawaddu, sabar, dan bermal saleh, perjalanan ini
identik dengan alam arwah yang dilalui dengan ma’rifat. Keempat, mesti ber-nafs
al-mutmainnah seperti sifat murah hati, tawakal.20
Salah satu kitab karya Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang
menonjol yang bercorak tasawuf Imam al-Ghazali adalah kitab Siyar al-Sâlikin

18
Al-Palimbani, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadah Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)),
Jilid IV, hlm. 103-104, dalam Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan
Pemikiran Tasawuf, hlm. 100.
19
Al-Palimbani, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadah Rabb al-‘Alamin, hlm. 9-12, dalam Miftah
Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm. 101.
20
Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm.
101.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 123


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn Karya Imam
al-Ghazali dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa
tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah
dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf
Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan
akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali
adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.
Bahkan menurut Nurchalish Madjid sesungguhnya berkat pikiran-pikiran
al-Ghazali itulah Asy`arisme mendapatkan kemenangannya yang terakhir, yang
kemudian menjadi ciri utama paham Sunni. Juga karena karya-karya al-Ghazali
maka kesenjangan antara sufisme dan bidang-bidang agama lainnya, khususnya
akidah dan syari`ah, menjadi semakin menciut. Bahkan al-Ghazali telah berhasil
memberi tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam dalam keseluruhan
paham keagamaan yang dianggap sah atau ortodoks. Penyelesaian yang
ditawarkan al-Ghazali begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual
Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Menurut lukisan
seorang sarjana, al-Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian
masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah
bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang
walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan
kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.21

WALI SONGO (AJARAN TASAWUF FAMILIER TERHADAP BUDAYA


DAN TRADISI)
Corak kesufian Imam al-Ghazali mewarnai gerakan dan ajaran Wali
Songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga,
dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah
penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di
sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di
wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu.
Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari
Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari
Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah
“gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis

21
Budhi Munawar Rachman dkk, Ensiklpedia Nurchalish Madjid, (Paramadina, 2011),
hlm. 144

124 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di
wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga
Rasulullah.
Tasawuf Wali Songo dalam jalur syariat tetap berpegang dalam aliran
Imam Syafi’I atau mazahab Imam Syafi’I dan tasawufnya berpegang dalam
mazhab Imam al-Ghazali sebagai indikatornya Kitab Ihya Ulumuddin menjadi
sumber inspirasi dalam melakukan dakwahnya, di samping kitab-kitab andalan
Ahlus Sunnah Wal Jamaah lainya, seperti kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib
al-Makki, kitab Al-Washaya, karya al-Muhasibi, Bidayahtul Hidayah dan
Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali.22 Adanya pengaruh Imam al-Ghazali
yang berakar kuat dalam pemikiran tasawuf Wali Songo, terutama disebabkan
karena pencetus Thariqat al-Alawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Imam
abdullah ibn al-Imam Ahmad al-Muhajir sebagai leluhur Wali Songo. Seperti
halnya Imam al-Ghazali dan Abdullah ibn Ahmad al-Muhajir membangun
pemikiran-pemikiran tasawufnya berdasarkan doktrin-doktrin Abu Thalib al-
Makki, bahkan para wali Songo bertemu di makkah pada saat menuanaikan
ibadah haji 377 H.23 faktor lain yang ikut menentukan pengaruh Imam al-
Ghazali terhadap tasawuf Wali Songo adalah karena salah seorang pemimpin
tareqat al-‘Alawiyah yaitu Imam Muhmmad ibn ‘Ali dengan gelar al-faqih al-
Muqaddam (pemimpin ahli fiqih) yang memiliki kesamaan dengan Imam al-
Ghazali.
Salah satu Wali Songo yang dipengaruhi ajaran tasawuf imam al-Ghazali
adalah Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati yang menjadi
penerus Pangeran Cakrabuana bergelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah
Shallollahu Alaihi Wassalam”. Ajaran tasawuf Syekh Syarif Hidayaullah terkenal
dengan ajaran Petatah Petitih yang berisi nilai ketakwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, serta kesopanan dan tatakarma. 24Pepatah
petitih ini nampaknya telah diakomodasi sedemikian rupa oleh kerabat keraton
dengan bahasa Jawa Cirebon sekarang. Pepatah petitih ini tidak jelas sumber
rujukannya, tetapi oleh kerabat keraton berdasarkan keyakinannya secara turun

22
Abdullah ibn Nuh, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Masa Kerajaan kesultanan
Banten, Bogor, hlm. 61 dalam Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar
tasawuf di Indonesia, (Cinere Depok: Pustaka IMaN, 2009), hlm. 30
23
Ibid, hlm.30
24
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah, Pengaruh dan Jejak-
Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 244. Hasan Efendi. Petatah Petitih Sunan Gunung Djati:
Dari Aspek Nilai dan Pendidikan. Indra Prahasta, 1994), hlm. 14-34.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 125


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

temurun dianggap bahwa pepatah petitih itu berasal dari pepatah-petitih yang
disampaikan oleh Sunan Gunung Djati.25
Berikut ini di antara petatah-petitih yang berkaitan dengan ketakwaan dan
keyakinan adalah:26
1. Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku “Sunan Gunung Djati” titip tajug
dan fakir miskin).
2. Yen sembahyang kungsi pucuke panah (jika salat harus khusu dan tawadhu
seperti anak panah yang menancap kuat).
3. yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali
panah).
4. Ibadah kang tetep (ibadah harus terus menerus).
5. Wedia ing Allah (takutlah kepada Allah).
6. Manah den Syukur ing Allah (hati harus bersyukur kepada Allah).
7. Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).
Kedisiplinan:
1. aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji).
2. Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong).
3. Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang
tidak benar atau disalahgunakan).

Kearifan dan kebijakan:


1. Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik).
2. Duweha sifat kang wanti (miliki sifat yang baik).
3. Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
4. Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
5. Aja ilok ngamad kang during yakin (jangan suka mencela sesuatu yang
belum terbukti kebenarannya).
6. Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
7. Ing panemu aja gawe tingkah (bila pandai jangan sombong).
8. Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
9. Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar).
10. Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
11. Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).

25
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah, Pengaruh dan Jejak-
Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 245.
26
Hasan Efendi. Petatah Petitih Sunan Gunung Djati: Dari Aspek Nilai dan
Pendidikan.14-34, dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah,
Pengaruh dan Jejak-Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 245-247.

126 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

12. Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).


13. Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang lain).
14. Den bisa megeng ing nafsu (harus bisa menahan hawa nafsu).
15. Angasana diri (harus bisa mawas diri).
16. Tepo saliro den adol (tampilkan prilaku yang baik)
17. Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal).
18. Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharapkan pamrih).
19. Den suka wenan lan suka mamberih gelis lipur (jika bersedih jangan
diperlihatkan agar cepat hilang).
20. Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji).
21. Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
22. Ake lara ati ing wong, naming saking duriat (jika sering disakiti orang,
hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
23. Aja ilok gawe kaniaya ing makhluk (jangan membuat aniaya kepada
makhluk lain).
24. Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
25. Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
26. Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).
Kesopanan dan tatakrama:
1. Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
2. Den hormat ing leluhur (harus hormat kepada leluhur).
3. Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan
pusaka).
4. Den welas asih ing sapapada (hendaknya menyayangi sesama manusia).
5. Mulyaken ing tetamu (hormati tamu).
Petatah-petitih yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa Sunan
Gunung Djati merupakan tokoh tasawuf yang bercorak tasawuf akhlaqi yang
hampr sama dengan ajaran-ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali
Tasawuf akhlaqi menekankan kepada tiga aspek amalan, yaitu ubudiyah, sunni,
dan amali. Maksud tiga aspek tersebut bahwa tasawuf akhlaqi Tasawuf Akhlaqi
adalah cara pendakian atau suluk seorang sufi (Salik) menuju Tuhan dengan
memusatkan perhatianya dengan melakukan penghidupan amalan sunnah Nabi
saw, peribadatan, amal-amal soleh, dan akhlaqul karimah. Atau dengan kata lain
tasawuf akhlaqi adalah manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan
eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang
bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlaq
mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal dengan Takhalli ( pengosongan diri dari
sifat-sifat tercela ), Tahalli (menguasai diri dengan difat-sifat terpuji), dan Tajalli

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 127


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan).27
Wali Songo dengan mengikuti ajaran tasawuf Imam al-Ghazali telah
berhasil membumikan Islam Nusantara yang sarat tradisi dan budaya.
Keberhasilan Walisongo menurut Ngatawi Al-Zastrouw bersumber dari dua hal,
pertama karena kemampuan mereka dalam menyerap, memahami secara
mendalam berbagai ragam tradisi, nilai-nilai lokal dan konstruksi social
masyarakat Nusantara. Mereka menjadikan semua itu sebagai sumber inspirasi
yang ddikembangkan secara kreatif dengan memadukan unsure-unsur terbaik
dari tradisi luar. Para Walingi songo tidak menerima begitu saja nilai-nilai dan
kebudayaan dari luar, tetapi mensiskapi kebudayaan dari luar secara kritis dan
selektif dan menjadikannya sebagai referensi untuk mengembangkan nilai-nilaia
tradisi dan kebudayaan lokal.28
Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan
bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah
di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria,
Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas
orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam
akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para
para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah
satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-
Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-
Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-
orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran
Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al
Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali
songo di tanah Nusantara.

27
Bacaan tentang pokok-pokok ajaran tasawuf akhlaqi bisa dilihat dalam Al-Ghazali, Abu
Hamid Muhammad, Ihya al-Ulumu ad- Din. Ihya al Katabah al Arabiyah Indonesia, tt)
Madhkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiquha. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
Anshari,Subkhan, Tasawuf Islam Telaah Historisnya dan Perkembanganya. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
28
Ngatawi Al-Zastrouw, Aktualisaasi Pancasila dan Spirit Nasionalisme Di Era Globalisasi,
pengantar diskusi dalam seminar Distingsi Keilmuan Fakultas Ushulidin, Adab dan Dakwah
Dalam Niali Kebangsaan, IAIN Syech Nurjati, Cirebon, 23 Oktober 2017

128 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

SYEKH NAWAWI AL-BANTANI (AJARAN TASAWUF


KESEIMBANGAN)
Sufi Jawa yang dipengaruhi tasawuf Imam al-Ghazali adalah Syaikh
Nawawi al-Bantani lahir tahun 1230 H/1813 M di Desa Tanara, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten. Beliau wafat pada tanggal 25 Syawal tahun
1314 H/1897 M dalam usia 84 tahun dikuburkan di pemakaman Ma’la di
samping kuburan ahli fiqih terkenal Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H). Beliau
adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan
Gunung Djati atau Syekh Syarif Hidayatullah Cirebon. Dengan demikian dari
silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah.
Corak pemikiran tasawuf Syekh Nawawi Al-Bnatani berorientasi kepada
tasawuf Al-Ghazali. Syekh Imam Nawawi Al-Bantani melanjutkan pemikiran
Al-Ghazali dalam menjaga keseimbangan antara, syariat, tarekat dan hakikat,
serta memadukan antara tiga ilmu Islam tersebut. Syaikh Imam Nawawi Al-
Bantani sangat menitik beratkan keseimbangan anatara syari’at, tarekat dan
hakikat. Syekh Imam Nawawi Al-Bantani mneganologikan bahwa syariat
merupakan ibarat seperti kapal yang berlayar, tarekat diibaratkan seperti lautan
dan hakikat ibarat seperti mutiara., maksud dari anologinya Nawawi Al-Bantani
yaitu jika seseorang yang hendak ingin mencari mutiara, pertama ia harus
mengendarai sebuah perahu, kemudian ia harus menyelam di laut untuk
mencari mutiara, kemudian pada khirnya ia mendapatkan mutiara tersebut.
Pemikiran Nawawi sama dengan pemikiran AL-Ghazali, menurut Al-Ghazali,
jalan menuju makrifat adalah dengan perbaduan anatara ilmu dan amal, dan
buahnya adalah moralitas. Keseimbangan tiga ilmu tersebut pokok dalam
keilmuan Islam juga dijaga oleh Syekh Imam Nawawi, ilmu pokok tersebut,
yaitu ilmu tasawuf, fiqih dan ilmu kalam.29
Corak pemikiran tasawuf Syekh Nawawi Al-Banatani berorientasi kepada
tasawuf Al-Ghozali. Nawawi Al-Bantani melanjutkan pemikiran Al-Ghazali
dalam menjaga keseimbangan antara, syariat, tarekat dan hakikat, serta
memadukan antara tiga ilmu islam tersebut. Tarekat dan hakikat dalam konsep
Nawawi Al-Bantani diturunkan ke dalam sembilan wasiatnya untuk menempuh
jalan wali. Hal ini terlihat dari karya-karya beliau yang berjumlah 115 seperti
Tafsir Munir, Kitab Nashoihul Ibad, Muraqi Al-‘Ubudiyyah, Al-Hidayah Al-
Bidayah, Al-‘Aqd As-Samin, ‘ala Manzhumah As-Sittin, Fath Al-Majid, Durar

29
Samsul Munir Amin. Sayyid Ulama Hijaz. (Pustaka Pesantren: Yogjakarta, 2009)

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 129


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

Al-Farid fi At-Tauhid., Fath Ash-Shamad, ‘ala Maulid An-Nabawi., Nihayah


Az-Zain, ‘ala Qurrah Al-‘Ain, dan lain-lain.
Perjalanan ilmiah Syekh Imam Nawawi sebagaimana yang disebutkan
Zainul Milal Bizawie yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang
ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para
ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih
senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari
Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama
Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-
Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.30
Berkat didikan Syaikh Imam Nawawi al-Bantani banyak melahirkan
ulama-ulama yang berpengaruh dalam sejarah intelektual muslim sangat populer
di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya”
bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi
perjuangan kemerdekaan RI dan mendirikan Organisasi Islam terbesar seperti
Nahdatul Ulama (NU). Di antara ulama hasil didikan Syekh Imm Nawawi al-
Bantani adalah; KH. Kholil Bangkalan Madura (w.1345 H), KH. Hasyim
Asy’ari (w.1366 H), pencetus gerakan sosial NU, KH. Asnawi (Caringin
Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun
(Tangerang), KH. Asnawi Kudus Jawa Tengah (w,1379 H), K.H. Tubagus
Akhmad Bakri Banten (w. 1975 M) dan tokoh-tokoh lainnya.
Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah dari aspek
teologi dan fiqih begitu ajaran Ghazaliyah dari aspek tasawuf di Indonesia
menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara
praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat
itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf
pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh
berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang
tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan
pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-
ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah)
dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam
lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.

30
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri
(1830-1945, Ciputat Tangerang: Compas, 2016.

130 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

PENUTUP
Pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali punya andil besar dalam
perkembangan tasawuf Nusantara dan para sufi Nusantara sangat menerima
dengan leluasa ajaran tasawuf Imam al-ghazali karena Imam al-Ghazali
dipandang Ulama tasawuf yang cocok dengan karakter budaya muslim
Nusantara yang sarat pluralistik. Imam al-Ghazali dipandang seorang sufi yang
memiliki corak psikomoral yang ajaran tasawufnya lebih mengedepankan
pendidikan moral dan bercorak moderasi jauh dari ajaran ekstrim dan radikal,
karena para sufi Nusantara lebih memilih doktrin ajaran tasawufnya lebih
banyak condongnya ke imam al-Ghazali dibanding sufi-sufi yang bercorak
falsafi. Tasawuf yang bercorak falsafi hanya sedikit seperti Sufi Hamzah Fansuri
yang beraliran Ibn Arabi dengan konsep Wahdat al-Wujudnya sehingga
mengundang kontroversi dan Syekh Siti Jenar dengan nama aslinya Syekh
Abdul Jalil populer dengan sebutan Syekh Lemah Abang penganut ajaran
Tasawufnya al-Hallaj dengan doktrin hululnya oleh Syekh Siti Jenar dikemas
dengan ajaran Manunggaling Kawula Gusti yang berakhir dengan hukuman
mati, walaupun ke dua sufi Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar kalau ditelaah
secara mendalam epistemologinya sebenarnya akan mengalami titik temu.
Kultur dan budaya Nusantara dalam doktrin agama sejak lama
nampaknya menghendaki doktrin ajaran agama yang moderat dengan hadirnya
doktrin tasawuf produk Imam al-Ghazali sangat cocok. Tipologi ajaran tasawuf
Imam al-Ghazali mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat,
keseimbangan akal dan hati serta keseimbangan jasmani dn rohani, maka dari
sini Imam al-Ghazali ditempatkan sebagai Ulama Tasawuf yang banyak
mewarnai Sufi Nusantara. Imam al-Ghazali menyirami Sufi-sufi Nusantara
dalam mengembangkan dakwah agama dengan pendekatan hikmah dan
bermoral. Dengan pendekatan ini para Sufi atau para Wali Nusantara lebih
ditrima oleh masyarakat Nusantara yang majemuk. Para Sufi atau wali
Nusantara telah berhasil merumuskan strategi kebudayaan yang tepat sehingga
mampu melakukan transformasi social secara tepat dan cepat dengan tanpa ada
ekses negative dan konflik social yang berarti. Para Sufi Nusantara telah mampu
membentuk kekuatan budaya yang mampu merajut berbagai kemajemukan dan
keragaman ummat yang ada di bumi Nusantara.
Menghadapi arus globalisasi dengan tensi kompetisi yang ketat dan
beresiko tinggi ini, di mana dalam era globalisasi dituntt terjadinya perubahan
tata nilai, sosial dan budaya masyarakat dunia. Kompetisi lintas yang terjadi
secara cepat dan radikal. Tata nilai, budaya dan struktur sosial masyarakat di
berbagai belahan dunia dipaksa untuk berubah dan agar bisa menyesuaikan diri

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 131


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

dengan tuntutan keadaan, maka dalam setuasi ini perlu kreatifitas dan strategi
canggih dengan merujuk kepada keteladanan para Sufi Nusantara dalam
beragama dan bersosial agar masyarakat global ini menjadi rukun dan damai.
Dalam konteks kekinian, strategi para Sufi Nusantara ini perlu diterapkan
dengan baik oleh para komponen bangsa dalam berkiprah di berbagai sector,
terutama para tokoh agama.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid (2006), Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi¸Jakarta, Wahid Institut
Agus Sunyoto (2011), Atlas Wali Songo, Tangerang, Transpustaka.
Afifi. A.E, The Mystical Philosophy of Muhyi-Din Ibn al-‘Arabi. Cambridge:
University Press. 1994.
_______Muhadarah fi al-Tas}awuf al-Islami. Kairo: Matbu’ah Ma’had ad-
Dirasah al-Islamiyah, 1994.
Anshari, Muhammad Abd al-Haq, Sufism and Shari’ah: a Study of Shaykh
Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism. London: The Islamic
Foundation, 1986, edisi Indonesia Antara Sufisme dan Syariah, terj.
Achmad Nasir Budiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, cet. II.
Anshari, Subkhan, Tasawuf Islam Telaah Historisnya dan Perkembanganya.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII – XVIII. Bandung: Mizan, 2005.
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-
Santri (1830-1945, Ciputat Tangerang: Compas, 2016.
Dahlan,Abdul Aziz, Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis,
Journal Ulumul Qur’an 3 vol. VI, 1991.
Effendi, Khasan, Petata-Petitih Sunan Gunung Djati, Bandung: CV Indra
Prahasta, 1994.
Chittick,William C. Ibn ‘Arabi Heir To The Prophets. England: One World
Oxford, 2005.
Corbin, Henry, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabı re-issued as
Alone with the Alone. Princeton: University Press, 1969.
Dahlan,Abdul Aziz, Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis,
Journal Ulumul Qur’an 3 vol. VI, 1991.
Drajat, Amroeni, Suhrawardi Kritik Falsafat Peripatetik. Yogjakarta: LKiS, 2005.
Fateh, Kholil Fatah, Membersihkan Nama Ibnu al-‘Arabi, Kajian Komprehensif
Tasawuf Rasullah. Banten: Fattah Arbah, 2010.

132 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara

Hadi W.M, Abdul, Tasawuf Tertindas: Mengkaji Hermeneutika Karya-Karya


Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.
Hilal, Ibrahim, al-Tasawwuf al-Islami baina al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar
an-Nahdah, 1979.
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta:
Kencana, 2006.
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague: Van Hoeve, 1955)
Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar tasawuf di
Indonesia, Cinere Depok: Pustaka IMaN, 2009
Samsul Munir Amin. Sayyid Ulama Hijaz. Yogyakarta.Pustaka Pesantren, 2009.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 133


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Hajam

134 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


POPULARITAS, PENGARUH DAN POSISI TASAWUF AL-
GHAZALI DI NUSANTARA

Idris Masudi
Pascasarjana Unusia Jakarta

PENDAHULUAN
Hampir tidak ada sarjana muslim selain Imam al-Ghazali yang karya-
karyanya memiliki pengaruh sangat luas baik di dunia Islam maupun Barat.
Annemarie Schimmel (1986:99) menyatakan bahwa tidak ada pemikir Islam
abad pertengahan yang bisa menarik perhatian para cendekiawan Barat melebihi
Al-Ghazali. Cukup wajar bila Abdurrahman Badawi menyejajarkan al-Ghazali
dengan Aristoteles baik dari sisi ketenaran maupun pengaruhnya dalam bidang
ilmu pengetahuan di masanya maupun masa setelahnya (Abdurrahman Badawi,
1977:3). Pujian-pujian terhadapnya mengalir deras mulai dari gurunya, Imam
al-Haramain, teman belajarnya, Abul Hasan Abd Ghafir Al-Farisi, murid-
muridnya, hingga orang-orang yang hanya mengenalnya melalui karya-karyanya.
Pengaruh pemikiran al-Ghazali dalam dunia Islam yang demikian besar
ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, salah satu organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama, secara tegas dalam bidang tasawuf, selain Imam
Junaid al-Baghdadi, mengikuti Imam al-Ghazali. Di sisi lain, Lembaga
pendidikan pesantren di Indonesia hampir secara mayoritas menggunakan
karya-karya Imam al-Ghazali sebagai kitab tasawuf yang dijadikan bahan ajar
atau pengajiannya.
Martin van Bruinessen (185-186), mengatakan bahwa karya-karya Imam
al-Ghazali dalam bidang tasawuf adalah karya yang paling banyak diajarkan di
pesantren-pesantren di Indonesia. Bahkan ada beberapa pesantren yang
mengkhususkan diri mengajarkan kitab Ihya’ Ulum ad-Din. Di sisi lain, karya-
karya tasawuf Imam al-Ghazali juga menjadi pilihan bagi para ulama Indonesia
dalam upayanya melakukan penerjemahan, saduran, maupun memberikan
komentar-komentar terhadapnya. Tercatat, terdapat beberapa kitab karya al-
Ghazali yang kemudian diadaptasi oleh sejumlah ulama Indonesia seperti Abdus
Samad al-Falimbani berjudul Sayr Salikin dan Hidayah as-Salikin. Begitu pula

135
Idris Masudi

dengan Syekh Ihsan Jampes Kediri yang memberikan komentar Panjang atas
karya lain al-Ghazali berjudul Minhaj al-Abidin yang diberi judul Siraj at-
Thalibin dalam dua jilid tebal.
Meski sedemikian hebatnya pengaruh (karya) al-Ghazali dalam bidang
tasawuf di Nusantara dan pemilihan madzhab al-Ghazali -selain Junaid al-
Baghdadi- sebagai madzhab tasawuf sebagaimana dianut oleh organisasi Islam
seperti Nahdlatul Ulama menyisakan sebuah pertanyaan. Mengapa madzhab al-
Ghazali? Bukankah dalam bidang fikih dan akidah, madzhab yang dianut oleh
Nahdlatul Ulama adalah para pendiri madzhabnya? Sementara dalam bidang
tasawuf justru mengikuti al-Ghazali yang oleh Kautsar Azhari Noer (1999:162-
185) disebut bukan sebagai seorang sufi yang orisinal alias terpengaruh oleh sufi-
sufi sebelumnya seperti al-Harits al-Muhasibi dan sufi-sufi lainnya?
Tulisan ini akan fokus untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut: Mengapa al-Ghazali menjadi madzhab yang diikuti oleh masyarakat
muslim Nusantara? Mengapa dalam tataran praksis amali di dunia tarekat dan
ritus-ritus keagamaan lainnya nama al-Ghazali jarang disebut?
Studi ini secara akademis bertujuan untuk [1] alasan akademik dipilihnya
al-Ghazali sebagai ikon madzhab tasawuf bukan yang lain.
Tulisan tentang pengaruh tasawuf al-Ghazali di kehidupan umat Islam
Indonesia terutama pesantren sangat melimpah ruah. Namun, setelah dilakukan
penelitian kepustakaan, tidak banyak karya peneliti yang disusun untuk
mengungkap alasan terpilihnya al-Ghazali sebagai sosok yang diikuti dalam
bidang tasawuf yang dimana ia sejajar dengan para pendiri madzhab dalam
bidang fikih dan akidah.
Penulisan ini menggunakan studi kepustakaan dengan menggunakan
metode deskriptif dan komparatif dengan menggunakan pendekatan historis.
Metode deskriptif digunakan untuk mengumpulkan informasi-informasi terkait
dengan tujuan untuk menggambarkan sifat keadaan apa adanya. Sedangkan
metode komparatif adalah dengan melakukan perbandingan hasil temuan para
peneliti terdahulu tentang al-Ghazali.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan tasawuf Al-Ghazali
sebagai madzhab tasawuf yang diikuti oleh masyarakat muslim Nusantara
disebabkan beberapa hal. Pertama, Al-Ghazali adalah tokoh pertama yang
menjelaskan tasawuf akhlaki secara rinci dan komprehensif. Kedua, Tasawuf Al-
Ghazali sebagaimana tergambar dan terpaparkan dalam karya-karyanya seperti
Ihya' Ulumuddin adalah pegangan dan sumber utama ilmu syariat dan hakikat
dimana dalam setiap ada perselisihan dalam ilmu tasawuf, termasuk di dalamnya

136 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Popularitas, Pengaruh dan Posisi Tasawuf al-Gazali di Nusantara

persoalan tarekat, orang akan mencari penyelesaiannya ke dalam ajaran-ajaran


tasawuf yang dituangkan oleh Al-Ghazali.

SKETSA PEMIKIRAN SUFISME AL-GHAZALI


Imam Al-Ghazali adalah sufi besar abad ke 11 H yang pemikiran
tasawufnya dipelajari dan dikaji bukan hanya oleh sarjana-sarjana muslim
melainkan juga menjadi minat bagi para sarjana-sarjana Barat. Penelitian
tentang Al-Ghazali baik dalam bentuk tesis maupun disertasi sangat melimpah
ruah. Tak kurang dari delapan puluh lima penelitian (belum termasuk di
Indonesia) telah ditulis oleh para sarjana dalam bahasa Arab, Inggris maupun
Jerman.45
Sebelum mengarungi dunia sufisme, Al-Ghazali dikenal sebagai seorang
ahli fikih bermadzhab Syafii dan secara teologis menjadi pendukung madzhab
Asy’ari. Pengembaraan intelektual-spiritualnya mengarahkan jalan Al-Ghazali
untuk menempuh disiplin ilmu tasawuf. Ira M. Lapidus (2000:307)
menyatakan bahwa sufisme telah membawa Al-Ghazali kepada tingkatan
pengetahuan tertentu mengenai Tuhan dan pengetahuan tersebut membawanya
kembali kepada keyakinan-keyakinan Islam, peribadatan, dan pengajaran,
kepada jalan hidup yang terkandung dalam al-Quran dan hadis.
Konsep sufisme Al-Ghazali terekam jelas dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin
dimana ia menekankan hubungan antara syariat dan hakikat. Baginya, keduanya
memiliki hubungan yang berkait kelindan. Artinya bahwa seseorang yang ingin
mempelajari dan mengamalkan tasawuf terlebih dahulu harus memperdalam
ilmu syariat. Bahkan, seorang pengamal tasawuf harus konsekuen untuk
menjalankan syariat secara tekun dan sempurna (Simuh, 1996:168).
Sebuah hati, bagi Al-Ghazali ibarat sebuah cermin diri (mir’ah). Apabila
cermin diri atau hati seseorang bersih, maka ia akan mampu untuk menangkap
cahaya (kebenaran) Tuhannya. Hal ini sebagaimana diungkapkannya dalam
kalimat; barangsiapa mengenali hatinya, maka akan mengenal dirinya. Dan bagi
siapa yang mengenali dirinya maka akan mengenal Tuhannya (Ihya, III:1).
Dari sini dapat dipahami bahwa kebersihan hati seseorang adalah syarat
mutlak untuk dapat mengetahui dan mengenali Tuhannya. Oleh karenanya
dalam kitab ihya’-nya Al-Ghazali membagi dua bagiannya khusus untuk

45
Sulaiman Abu Dunya menulis Al-Haqiqah fi Nazr al-Gazali, Margaret Smith menulis
“Al-Ghazal the Mystic”, Frank Griffel menulis disertasi dengan judul “Apostasie und Toleranz im
Islam. Die Entwicklung zu al-Gazalis Urteil gegen die Philosophie und die Reaktionen der
Philosophen,, selengkapnya lihat dalam https://www.ghazali.org/2015/09/dister/

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 137


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Idris Masudi

mengupas secara khusus sifat-sifat tercela yang harus dihindari dan juga sifat-
sifat terpuji yang harus dilakukan oleh manusia.

PENGARUH AL-HARITS AL-MUHASIBI TERHADAP AL-GHAZALI


Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum lahirnya Imam Al-Ghazali
telah banyak bermunculuan sufi-sufi kenamaan yang memiliki sumbangsih
dalam dunia sufisme sebagaimana juga dilakukan oleh Al-Ghazali. Nama-nama
sufi besar seperti Al-Harits al-Muhasibi, Abu Thalib al-Makki, Al-Hujwiri, Al-
Qusyairi, dan lain sebagainya telah ikut ambil bagian dalam dunia tasawuf.
Kautsar menyebutkan setidaknya dua sufi besar yang konon sangat
memengaruhi pemikiran sufisme Al-Ghazali. Yakni Al-Harits al-Muhasibi dan
Abu Thalib al-Makki.
Al-Harits al-Muhasibi adalah seorang sufi kenamaan yang namanya mulai
mencuat kembali setelah beberapa sarjana kontemporer meneliti
keterpengaruhan al-Ghazali atas karya-karya al-Muhasibi. Ia lahir pada
pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Sumber otoritatif sepakat bahwa Ia wafat pada
tahun 243 H. Nama lengkapnya adalah Al-Harits bin asad al- Muhasibi. Ia lahir
di Bashrah (salah satu kota di Irak) dan tinggal di sana selama beberapa tahun.
Kemudian ia pindah ke Baghdad pada usianya yang masih sangat muda.
Sejumlah sarjana seperti A.J. Arberry sebagaimana diulas oleh Kausar
Azhari Noer, menilai bahwa pengantar al-Muhasibi dalam karyanya Kitab al-
Washaya bersifat otobiografis, dan mungkin dengan baik sekali telah terkandung
dalam benak al-Ghazali ketika menulis karya al-Munqidz min al-Dhalal
otobiografinya.
Dalam pengantar Kitab al-Washaya, ia menjelaskan pencarian spiritualnya
yang dihinggapi oleh banyak keraguan dimana banyak sekte saling mengklaim
kebenaran. Hal ini mengingatkan pada kitab al-Munqidz min ad-Dhalal karya
al-Ghazali. Berikut kutipannya:
Pada zaman kita ini telah terjadi perpecahan umat menjadi tujuh puluh golongan,
atau lebih; di antara golongan itu, hanya satu pada jalan keselamatan, dan
selebihnya, hanya Allah yang paling mengetahuinya. Hingga kini, aku tak pernah
berhenti, meski hanya sesaat dalam hidupku, memikirkan dengan baik perbedaan-
perbedaan yang meruntuhkan umat ini, dan mencari cara yang jelas dan jalan yang
benar, dengan tujuan untuk mencari teori dan praktik, dan mengharapkan
bimbingan pada jalan menuju dunia yang akan datang di bawah pengarahan para
teolog. Lebih dari itu, aku telah mempelajari banyak doktrin tentang Tuhan Yang
Maha Agung, dengan interpretasi ahli fikih, dan merenungkan berbagai keadaan
umat ini, dan memikirkan doktrin-doktrin dan ucapan mereka yang berbeda-beda.
Di antara semua ini aku memahami yang mesti kupahami: dan saya melihat bahwa

138 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Popularitas, Pengaruh dan Posisi Tasawuf al-Gazali di Nusantara

perbedaan mereka bagaikan samudera yang begitu dalam, di dalamnya banyak


orang tenggelam, dan hanya sekelompok kecil yang berhasil melepaskan diri dari
sana; dan aku melihat setiap golongan menyatakan dengan tegas bahwa keselamatan
dapat ditemukan jika mengikuti mereka, dan binasalah siapa yang menentang
mereka.
Keterpengaruhan al-Ghazali Imam terhadap al-Harits al-Muhasibi juga
diamini oleh Syaikh Zahid al-Kautsari sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh
Abdul Halim Mahmud (21-22), bahwa Ihya Ulumuddin karya monumental
Imam al-Ghazali terpengaruh karya Imam al-Harits al-Muhasibi lainnya, yakni
kitab ar-Ri’ayah lihuquqillah Azza wa Jalla.
Analisis al-Harits al-Muhasibi yang cermat atas persoalan riya’,
kemunafikan, dan seluruh pendekatan metodologisnya menjadi dasar dan sangat
diperlukan bagi para sufi awal. Al-Ghazali, tokoh mistik abad pertengahan yang
moderat, hampir sepenuhnya bersandar kepadanya (Annemarie Schimmel,1986:
56)
Keterpengaruhan pemikiran bukanlah sebuah perbuatan yang tercela.
Bahkan ia justru menggambarkan keberhasilan seseorang dalam membuka
cakrawala pemikiran dan sifat inklusif. Tidak ada satu disiplin ilmu pengetahuan
apapun yang tidak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya
(Muhammad 'Abasah, 2010: 17). Meski demikian, bukan berarti bahwa Al-
Ghazali hanya memindai (scanning) pemikiran para sufi-sufi sebelumnya seperti
al-Harits al-Muhasibi ataupun yang lainnya. Sebab, sebagaimana terekam jelas
dalam al-Munqidz, jejak spritiualnya salah satu yang mendorongnya menjadi
seorang sufi yang tentu memengaruhi konsep dan cara berfikirnya.

AL-GHAZALI PELETAK SUFISME SUNNI?


Penulis belum mengetahui secara pasti siapa yang pertama kali membuat
klasifikasi tasawuf menjadi tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Sejauh pemahaman
penulis, Abu al-Wafa at-Taftazani mungkin sarjana muslim pertama yang
mencoba memetakan tasawuf menjadi dua klasifikasi tersebut. Tasawuf sunni
adalah tasawuf yang menjadikan al-Quran dan hadis sebagai sumber dan
ajarannya berkisar di seputar ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang berisi tentang syatahat dan mengajarkan tentang fana',
ittihad dan hulul.(163)
Meski demikian, ditemukan sejumlah sarjana yang memberikan catatan
kritis terhadap pemetaan sunni-falsafi tersebut. Kautsar (165) menilai bahwa
klasifikasi tersebut pada gilirannya menghakimi tasawuf non-sunni yakni falsafi

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 139


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Idris Masudi

sebagai tasawuf yang menyimpang dari ajaran al-Quran dan hadis dan
membawa bid’ah dan ajaran yang sesat yang karena itu harus ditolak.
Terlepas dari perdebatan mengenai klasifikasi sunni-falsafi di atas, di sini
perlu penulis tegaskan bahwa tasawuf sunni yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah tasawuf yang secara umum diterima oleh masyarakat luas. Lebih khusus
lagi bahwa tasawuf sunni di sini adalah tasawuf yang menggabungkan antara
tasawuf dan syariat46 sebagaimana telah dilakukan oleh Al-Ghazali.
Telah banyak tulisan yang mencoba mengungkapkan peran al-Ghazali
dalam mendamaikan antara syariat dan hakikat (fikih dan tasawuf). Tak pelak,
hasil penelitian atas hal itu terjadi silang pendapat di antara mereka. Ibrahim
Madkhur misalnya, ia mengatakan bahwa al-Ghazali adalah peletak prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah tasawuf sunni sebagaimana tergambar secara jelas
dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin. Ia adalah mahaguru para sufi yang datang
setelahnya (Ibrahim Madkhur, 1946: 66). Senada dengan Ibrahim Madkhur,
Fazlurrahman juga menyatakan kesepekatannya bahwa di tangan al-Ghazali lah
tasawuf menjadi sebuah disiplin ilmu yang dapat diterima secara luas.
Di pihak lain, Kautsar Azhari Noer (1999:172) mengungkapkan bahwa
penilaian dan pujian bahwa Al-Ghazali merupakan sufi yang berjasa besar dalam
upayanya mendamaikan antara syariat dan tasawuf adalah penilaian yang
berlebihan. Sebab, menurutnya, sufi-sufi moderat sebelum Al-Ghazali seperti al-
Muhasibi, As-Saraj, Al-Makki, Al-Kalabadzi, As-Sulami, al-Qusyairi, maupun
Al-Hujwiri sudah memiliki peranan penting dalam upayanya mendamaikan
tasawuf dan Syariah serta mempertahankan ortodoksi Ahlussunnah wal Jamaah.
Bahkan Kautsar menilai lebih jauh lagi bahwa kontroversi atau perdebatan
mengenai tasawuf dan syariat yang coba disulam oleh Al-Ghazali tidak mereda
pasca wafatnya Al-Ghazali. Perdebatan itu terus berlangsung bahkan terkadang
lebih keras daripada yang telah terjadi sebelumnya. Pada titik ini, ia menilai
bahwa pengaruh besar Al-Ghazali dalam mendamaikan tasawuf dan syariat
sebagaimana dinilai oleh banyak sarjana harus dikaji ulang. Sebab, faktanya,
menurutnya, masih bermunculan sufi-sufi kontroversial yang datang sepeninggal
Al-Ghazali seperti Ibn Arabi, Suhrawardi al-Maqtul, dan lain sebagainya.
Walaupun para sufi-sufi sebelum Al-Ghazali telah berupaya dan memiliki
konsentrasi dalam menyelaraskan dan mendamaikan polemik hubungan antara
pengamalan tasawuf dan ajaran syariat, akan tetapi di tangan Al-Ghazali lah
bangunan hubungan antar keduanya dirumuskan secara kongkret. Konsepsi Al-

46
Yang dimaksud syariat di sini dalam pengertian ibadah dari sisi-sisi lahir yang berkaitan
dengan keabsahan dan ketidakabsahan. Sedangkan hakikat adalah dari sisi batin yang
berhubungan dengan sisi kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT.

140 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Popularitas, Pengaruh dan Posisi Tasawuf al-Gazali di Nusantara

Ghazali yang mengompromikan secara keta tantara pengalaman sufisme dan


syariat dapat dilihat dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumuddin.
Mc. Donald, sebagaimana dikutip oleh Abubakar Atjeh (1993: 51),
mengatakan, “sebenarnya hidup kesufian dalam Islam sudah ada sebelum imam
Ghazali. Tetapi acapkali orang menganggap bahwa kesufian itu menyalahi syara',
dan mengecam orang-orang yang mengikut serta menyertainya. Tetapi Ghazali,
sesudah lahir dalam perjuangan hidup, mulailah ia mengangkat ajaran sufi itu
dalam kupasan-kupasannya, memasukkan ilmu syariat ke dalam tasawuf dan
memasukkan ilmu tasawuf ke dalam syariat, sehingga agama Islam itu seolah
terpilih menjadi satu antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, antara ibadah lahir dan
keyakinan batin”
Dari sini dapat dipahami bahwa Al-Ghazali memang bukan tokoh sufi
pertama yang melakukan upaya mendamaikan tasawuf dan syariat. Ia adalah
pelanjut sufi-sufi sebelumnya seperti al-Harits al-Muhasibi, As-Saraj, dan sufi-
sufi lainnya. Hanya saja, upaya al-Ghazali dinilai oleh banyak kalangan lebih
berhasil yang secara faktual, kitab-kitabnya melebihi popularitas karya-karya sufi
sebelum atau sesudahnya. Fakta ini menjadi tak terbantahkan untuk menjadi
tolok ukur keberhasilah Al-Ghazali dalam “membangun ulang” jembatan antara
sufisme dan syariat.
Hal demikian pada gilirannya menempatkan Al-Ghazali secara kokoh di
posisi puncak dalam dunia tasawuf. Pada titik ini, Al-Ghazali dalam bidang
tasawuf setara dengan para mujtahid mutlak dalam bidang fikih seperti As-
Syafii, Ahmad ibn Hanbal, Abu Hanifah, dan Malik ibn Anas, maupun Imam
Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang akidah.

PENGARUH DAN KONTRIBUSI SUFISME AL-GHAZALI DI DUNIA


Pengaruh sufisme Al-Ghazali melampaui sufi-sufi sebelum dan sesudahnya
melalui magnum opus-nya Ihya’ Ulum ad-Din dimana ia menjelaskan jalan para
sufi, tata cara pengajaran, serta menjadikan tasawuf sebagai sebuah jalan spiritual
yang tidak sesuai dengan akidah. Berkat kontribusi pentingnya ini, al-Ghazali
menempati posisi tinggi tiada bandingannya di antara kelompok sunni bahkan
oleh hampir seluruh aliran dalam Islam. (Husain Amin, 1963:93)
Sebagai seorang sufi yang hidup di abad ke 5 Hijriyah, sudah dapat
dipastikan bahwa Al-Ghazali memiliki keterpengaruhan dari para sufi-sufi
sebelumnya seperti al-Harits al-Muhasibi, As-Syibli, bahkan al-Junaid al-
Baghdadi. Meski demikian, Al-Ghazali tidak seperti para sufi-sufi sebelumnya
yang meskipun memiliki pengaruh kepada masyarakat, pengaruh tasawufnya
jauh lebih besar dari para pendahulunya tersebut.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 141


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Idris Masudi

Pengaruh karya-karya Al-Ghazali terutama Ihya' Ulumuddin di dunia


Islam sangat luas sekali. Abdul Halim Mahmud (1971:72) menyatakan bahwa
kitab ini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa. Komentar (syarah) maupun
ringkasan (ikhtishar) atas kitab ini ditulis oleh banyak sarjana. Bahkan telah
diterbitkan ke dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan ke
dalam bahasa-bahasa lain baik di Timur maupun Barat. Manuskrip kitab ini
juga tak terhitung jumlahnya.
Dalam menggambarkan kemasyhuran dan pengaruh pemikiran al-Ghazali
di dunia Islam, Hasan al-Fatih (1978: 67-68), mengungkapkan bahwa salah satu
yang membuat dirinya takjub atas apresiasi masyarakat muslim terhadap karya-
karya Al-Ghazali adalah adanya orang-orang yang hafal karya Al-Ghazali di luar
kepala, menamakan anak-anaknya dengan nama kitabnya, menjadi tolok ukur
kealiman seseorang, dijadikan bahan membuat syair-syair, bahkan ada yang
membaginya menjadi tiga puluh juz sebagaimana al-Quran dan menjadi bacaan
"pengganti" al-Quran di bulan Ramadan.

PENGARUH AL-GHAZALI DI NUSANTARA


Pengaruh atas pemikiran dan karya Al-Ghazali tidak hanya terjadi di
dunia Arab, bahkan meluas hingga ke Afrika dan semenanjung melayu dan
Nusantara. Umar Ahmad Said mengulas secara khusus pengaruh Imam Al-
Ghazali di Afrika Barat dalam tulisannya bertajuk, At-Tawajjyuh as-Shufi li al-
Imam al-Ghazali wa atsaruhu 'Ala Qadah al-Ishlah fi Gharb Ifriqa; Abdullah ibn
Fuadi Numudzan. Sedangkan pengaruh pemikiran dan karya Al-Ghazali di
semenanjung melayu dan Nusantara dapat dibaca dalam karya-karya penelitian
yang telah dilakukan oleh sejumlah sarjana seperti Martin van Bruinessen,
misalnya, menyatakan bahwa karya-karya Imam al-Ghazali dalam bidang
tasawuf adalah karya yang paling banyak diajarkan di pesantren-pesantren di
Indonesia. Bahkan ada beberapa pesantren yang mengkhususkan diri
mengajarkan kitab Ihya’ Ulum ad-Din.
Di sisi lain, karya-karya Al-Ghazali juga telah banyak disadur oleh
sejumlah ulama Nusantara seperti Syekh Abdussamad Al-Falimbani dalam Sayr
as-Salikin dan Hidayah as-Salikin. Begitu pula dengan Syekh Ihsan Jampes
Kediri yang memberikan komentar Panjang atas karya lain al-Ghazali berjudul
Minhaj al-Abidin yang diberi judul Siraj at-Thalibin dalam dua jilid tebal
Tidak sedikit pesantren-pesantren di Nusantara yang sampai sekarang
masih menjadikan karya-karya imam Al-Ghazali sebagai mata pelajaran di kelas

142 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Popularitas, Pengaruh dan Posisi Tasawuf al-Gazali di Nusantara

madrasah maupun dalam pengajian-pengajian kilatan47 ataupun rutinan yang


diadakan di luar jam pelajaran di madrasah atau di majelis taklim-majelis taklim.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh atas karya-karya al-Ghazali di Nusantara
begitu dominan, terutama dalam bidang sufisme.

KESIMPULAN
Kehebatan dan pengaruh pemikiran Al-Ghazali khususnya dalam bidang
tasawuf menempati posisi yang sangat tinggi. Sufi besar yang hidup di abad
pertengahan ini disejajarkan dengan para peletak madzhab fikih (empat imam
madzhab) dan dua imam tauhid seperti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi. Al-Ghazali menjadi “pelengkap” imam-imam Ahlussunnah wal
Jamaah yang diikuti oleh jutaan kalangan sunni. Namanya tercatat sebagai
dalam trilogi ontologi ahlussunnah wal Jamaah; fikih, akidah, dan tasawuf.
Bahkan karya-karyanya melampaui karya-karya sufi sebelumnya dalam hal
banyaknya diberikan catatan, komentar, ringkasan, saduran dan terjemahan ke
dalam berbagai bahasa dunia.
Di sisi lain, terpilihnya Al-Ghazali sebagai imam dalam madzhab tasawuf
sunni sebagaimana diulas dalam tulisan ini sebab karya-karyanya dalam bidang
tasawuf menjelaskan teori-teori sufisme secara detail dan komprehensif. Hal ini
yang membedakan Al-Ghazali dengan sufi-sufi sebelumnya seperti Al-Harits Al-
Muhasibi, Abu Thalib al-Makki, maupun yang lainnya.
Posisi Al-Ghazali yang demikian tinggi ini pada gilirannya mengangkat
nama sekaligus karyanya di dunia Islam tak terkecuali di bumi Nusantara.
Namanya harum. Karya-karyanya menjadi rujukan utama dan materi-materi
pelajaran tasawuf baik secara formal menjadi mata pelajaran di madrasah-
madrasah pesantren maupun yang hanya dibacakan secara rutin di majelis
taklim dan kilatan di bulan-bulan tertentu.
Sedangkan ihwal keterpengaruhan al-Ghazali dari sufi-sufi besar
sebelumnya adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pemikiran. Meski
demikian, hal itu tidak lantas kemudian menganggap bahwa Al-Ghazali hanya
melakukan “copy-paste” atau “scanning” atas karya-karya sarjana sebelumnya.

47
Istilah pengajian kilatan adalah pengajian yang dibacakan oleh seorang Kiai pondok
pesantren di bulan-bulan tertentu dan dibacakan secara “kilat”. Salah satu pesantren yang rutin
menggelar pengajian kilatan kitab ihya’ ulumudin adalah pesantren Fathul Ulum Kwagean Pare
Kediri dengan Kiai Abdul Hannan sebagai pengasuhnya. Sedangkan di Pesantren Hidayatul
Mubtadiin Kediri menggunakan ikhtishar ihya berjudul Maw’izah al-Mu’minin karya Jamaludin
al-Qasimi sebagai mata pelajaran. Namun untuk kitab Ihya’ Ulumuddin hanya dibacakan oleh
salah satu pengasuh secara rutin di rumahnya di luar jam sekolah.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 143


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Idris Masudi

Sebab, ihwal pengaruh dan keterpengaruhan dalam hal ilmu pengetahuan adalah
sebuah kewajaran.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, Tt
Ihya’ Ulumuddin,
Abu al-Wafa at-Taftazani, Al-Madkhal ila Tashawwuf al-Islami, Kaior: Dar al-
Tsaqafah li an-Nasyr wa at-Tawzi', tt
Abdul Halim Mahmud, al-Munqidz min ad-Dhalal li Hujjat al-Islam al-Ghazali
ma’a Abhats fi at-Tasawwuf wa ad-Dirasat ‘an al-Imam al-Ghazali, Kairo:
Dar al-Kutub al-Haditsah, tt
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, pent: Sapardi Djoko
Damono, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, cet. I
Hasan al-Fatih, Dawr al-Ghazali fi al-Fikr, Kairo: Mathba'ah al-Amanah, 1978.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, pent: Ghufrom A. Mas’adi, Jakarta:
Rajawali Press, 2000, cet. II
Ibrahim Madkhur, fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhajuhu wa Tathbiquhu,
Kairo: Dar al-Ma’arif bi Mishr, 1976, cet. I
Salih Ahmad As-Syami, Al-Imam al-Ghazali Hujjat al-Islam wa Mujaddid al-
Mi’ah al-Khamisah, Dimasq: Dar al-Qalam, 2002, cet. II
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press,
1996, cet. I

Jurnal dan Majalah


Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, vol. I nomor 2 tahun 1999, Kautsar Azhari
Noer, Mengkaji Ulang Posisi Al-Ghazali dalam Sejarah Tasawuf, 162-185
Muhammad 'Abasah, At-Tashawwuf al-Islami bayna at-at-Ta'atsur wa at-Ta'tsir,
Majalah Hawliyat at-Turats, vol.10, 2010
Umar Ahmad Sa’id, At-Tawajjyuh as-Shufi li al-Imam al-Ghazali wa atsaruhu
'Ala Qadah al-Ishlah fi Gharb Ifriqa; Abdullah ibn Fuadi Numudzan,
Jami’ah al-Ifriqa al-Alamiyyah, 2011

144 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


SESI PANEL II
PENGENDALIAN JIWA MANUSIA MODERN
TELAAH ATAS PEMIKIRAN SUFISTIK AL-GHAZALI

Muhammad Iqbal Irham


Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
Muhammadiqbal1192@yahoo.com

Abstrak

M
anusia modern diidentifikasi sebagai masyarakat yang telah mencapai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Idealnya, dengan
iptek manusia modern akan berfikir logis dan mampu menggunakan
teknologi untuk peningkatan kualitas hidup, serta menjadi lebih bijak dan arif.
Kenyataannya, banyak yang memiliki kualitas kemanusiaan yang lebih rendah
dibanding kemajuan berfikir dan teknologi yang telah diraihnya. Manusia
kehilangan nilai-nilai spiritual sehingga hidup tanpa pegangan moral dan
makna. Akibatnya terjadi keterasingan jiwa dan gangguan kejiwaan berupa
kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatik
(nafsajasadiyah). Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri di
tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, kekerasan, dan pembunuhan. Solusi
yang ditawarkan dalam mengatasi persoalan tersebut adalah pengendalian diri
(jiwa), sebuah metode berbasis tasawuf, untuk menemukan kembali nilai-nilai
spiritualitas. Metode yang ditawarkan oleh al-Ghazali ini berupaya untuk
menenangkan jiwa sebagai sumber kekerasan dan kejahatan dalam diri.
Kata kunci: tasawuf, riyadhah, nafs, qana’ah dan modern

PENDAHULUAN
Modernisme yang dikembangkan di dunia Barat, ditengarai telah berhasil
mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengagumkan.
Prestasi yang diraih ini, ditambah dengan keuntungan dan kemudahan hidup
yang ditawarkan, telah mendorong dunia Timur (negara-negara
berkembang/terbelakang dalam bidang ilmu dan teknologi, termasuk negara-
negara Islam) berpaling dan berkiblat ke Barat. Jika saja yang mereka ambil dari
Barat adalah kemajuan teknologinya, tentu efek negatifnya berupa sikap,
prilaku, adat istiadat dan kebudayaan Barat yang menyimpang, tidak akan

147
Muhammad Iqbal Irham

merambah kemana-mana.
Modernisme Barat telah membawa dampak negatif berupa berbagai krisis
dunia; seperti ancaman perang, kerusakan lingkungan hidup, kelangkaan
sumberdaya alam, dan kehampaan spiritual, berupa kehilangan orientasi hidup
yang bermakna, merasakan kesedihan dan kegelisahan, dekadensi moral, angka
kriminalitas dan rasa ketakutan meningkat, bahkan sampai mengidap gangguan
kejiwaan.
Kritik terhadap modernisme Barat ini selanjutnya diikuti dengan berbagai
tawaran alternatif seperti tasawuf yang merupakan salah satu bentuk berpikir
naratif (narrative thinking), yang mencakup deskripsi konkrit manusia dan
hubungan interpersonal, serta diproses pada belahan otak kanan, sementara cara
berpikir yang lain adalah berpikir proposition (propositional thinking) yang
bersifat logis ilmiah dan abstrak dengan pemrosesan utama pada belahan otak
kiri.1
Tasawuf ditawarkan sebagai alternatif karena masyarakat modern yang
telah mencapai tingkat kemakmuran material sedemikian rupa dengan
perangkat yang serba mekanis dan otomatis, mereka bukannya semakin
mendekati ketenangan dan kebahagiaan hidup, namun justru kian dihinggapi
rasa cemas dan gelisah di tengah kemewahan dan kemajuan yang mereka raih.
Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari
integritas kemanusiaan telah terreduksi, kemudian terperangkap dalam jaringan
sistem teknologi dan industri yang tidak manusiawi. Semua krisis tersebut,
disebabkan karena masyarakat modern telah melakukan beberapa kesalahan
yang sangat fatal dan mendasar dalam membangun modernisme. Mereka
membuang dunia metafisika (Tuhan) dari kehidupan, salah merumuskan
tentang konsep manusia, menganggap manusia sebagai penguasa tunggal dunia,
serta terlalu mendewakan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mengakui ilmu
pengetahuan sebagai satu-satunya kebenaran, padahal ilmu pengetahuan itu
sendiri memiliki beberapa kelemahan.2
Tasawuf merupakan jalan keluar yang paling tepat untuk mengatasi
masalah kejiwaan dan spiritual masyarakat modern. Dengan ajaran ruhaninya,
tasawuf dapat mengobati berbagai krisis modernisme dengan menghilangkan

s
Lihat Lynn Wilcox, Psichosufi: Terapi Psikologi Sufistik Pemberdayaan Diri, terj. Soffa
Ihsan (Jakarta: Pustaka Cendekiamuda, 2007), 184.
2
Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman,
1975), 56-57; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge-
Masssachusetts: Harvard University Press, 1968), 32. Juga Ahmad Miftah Saefuddin,
Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991), 26.

148 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

sumber penyakitnya. Ia mengajak manusia modern untuk menemukan kembali


bahkan berdamai dengan dunia Tuhan. Tasawuf mengajak manusia modern
untuk memahami siapa manusia sebenarnya dan menempatkan kembali
manusia pada kedudukan yang sebenarnya, sebagai makhluk ciptaan, hamba
dan khalifah Tuhan di bumi ini. Ia dapat memberikan pengaruh pada
masyarakat modern dalam hal mempraktekkan tasawuf secara aktif khususnya
dalam mengendalikan nafs (jiwa, diri) untuk mencapai kesempurnaan pribadi
yakni derajat spiritual yang tinggi.

AL-GHAZALI DAN TASAWUF


Al-Ghazali adalah salah satu tokoh yang unik dalam sejarah Islam. Pada
sebagian besar paparan umum maupun ilmiah, al-Ghazali seringkali
ditempatkan sebagai salah satu tokohnya. Konsekuensinya, eksisitensi tokoh ini
dikenal sangat luas sehingga ia disebut sebagai hujjat al-Islam, bahkan beberapa
ilmuan memandangnya sebagai muslim terbesar setelah Rasulullah Muhammad
SAW.3 Al-Ghazali adalah sosok ulama dan tokoh yang mampu merefleksikan
situasi dan kondisi zamannya dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang bernas.
Dengan pemikiran-pemikirannya ini, ia turut memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan Islam, sekaligus mampu menyuguhkan alternatif yang baik bagi
umat untuk keluar dari problematika kehidupan terutama yang berkenaan
dengan masalah-masalah aqidah serta muamalah, baik pada masanya maupun
pada masa-masa sesudahnya.4
Pandangan dan pendapatnya dalam bidang tasawuf merupakan bagian
akhir dari perjalanan intelektualnya. Menurut al-Ghazali, jalan sufi yakni
tasawuf merupakan media untuk menemukan kebenaran hakiki yang dapat
memberikan ketenteraman batin pada diri seseorang.5 Hal ini tentu saja berbeda
dengan pengetahuan yang bernuansa formal dan rasionalistik yang
memperlihatkan nilai kebenaran yang beragam sesuai dengan acuan masing-

3
Muhammad Rasyid Salim, Muqaranah Saina al-Ghazali wa Ibnu Taymiyyah (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1970), 9. Lihat juga dalam Montgomeri Watt, The of Practice of al Ghazali
(George and Unwin, 1953), 14.
4
Al-Ghazali hidup pada saat Daulah Bani Abbaiyah tunduk dibawah kekuasaan Bani
Saljuq. Pada saat yang sama kekuatan dinasti ini juga tengah diganggu gerakan batiniyah. Situasi
sosio-religius masa itu terbagi-bagi menjadi aliran-aliran yang banyak. Lihat Ahmad al-Syarbani,
Al-Ghazali wa al Tasawuf al Islam (Mesir: Dar al-Hilal, tt.), 35.
5
Al-Ghazali, Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, dalam Syekh Abdul Halim
Mahmud, Qadhiyyah al-Tashawwuf: Al-Munqizh min al-Dhalal (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1985),
26

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 149


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

masing. Padahal menurut al-Ghazali, pada dasarnya sumber kebenaran itu hanya
satu.
Kesucian dan kejernihan hati (qalb),6 secara sempurna dari segala sesuatu
selain Allah, menurut al-Ghazali, merupakan syarat utama menelusuri jalan sufi.
Oleh karena itu bagi para pengamal tasawuf, terlebih dahulu harus berupaya
menghapus (takhalli) sifat-sifat buruk (akhlaq al-mazmumah) yang ada pada
dirinya. Sifat-sifat buruk itu terdiri atas tiga kelompok, yaitu sifat buas
(sabu’iyah), sifat binatang (bahimiyah), dan sifat setan (syaithaniyah).7 Sifat buas
meliputi marah, ceroboh, takabur (merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari yang
lain), ‘ujub (heran dengan kelebihan yang ada pada diri sendiri) dan zhalim
(perilaku atau tindakan yang merugikan diri atau orang lain). Sifat binatang
ialah rakus, tamak, ria, dengki, bakhil (menahan diri untuk memberikan
sesuatu) dan lahw wa la’b (senda gurau dan main-main). Sedangkan sifat-sifat
setan adalah berbohong, tipu muslihat, merusak dan berkata kotor. Seluruh sifat
buruk ini dapat dihilangkan dengan melakukan langkah-langkah yang
dinamakan dengan riyadhah.8

TASAWUF DAN PENGENDALIAN DIRI


Jalan yang ditempuh para sufi, menurut al-Ghazali, merupakan jalan
menuju kepada Allah dengan mengikuti contoh yang dilakukan oleh Rasulullah.
Para sufi adalah orang-orang yang menempuh perjalanan menuju kepada Allah.
Perilaku mereka adalah perilaku terbaik, jalan yang mereka tempuh adalah jalan
yang paling benar, sedangkan akhlak mereka merupakan akhlak yang paling
suci. Semua gerak gerik para sufi, baik lahir maupun batin, mengambil inspirasi
dari cahaya kenabian, dan tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada
umat manusia selain cahaya kenabian.9
Jalan kaum sufi yakni tasawuf adalah jalan yang ditempuh dengan ilmu
dan amal. Jalan ini merupakan jalan yang pernah dilakukan oleh para sufi
6
Qalb secara etimologis berarti membalik, karena sesuatu yang dirujuk oleh kata ini
memiliki karakteristik tidak konsisten, bolak-balik. Ungkapan yang cukup populer tentang qalb
adalah, “summīy qalb qalban li taqallubih”. Ia disebut qalb karena sifatnya yang tidak konsisten.
Lihat dalam Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Jilid V, 687. Ibn al-‘Arabi, ketika berkomentar
tentang agama cinta dalam syairnya, menjelaskan tentang sifat tak berbatas dan nomena (tak
menjelma) dari hati manusia penerima tajalli Tuhan, yaitu hati yang berkekalan mengalami
teofani dan manifestasi zat Ilahiah. Seperti juga dijelaskan Chittick, “Rumi and Maulawiyah –
Between Rumi and Ibn ‘Arabī”, dalam S.H. Nasr, Islamic Spirituality: Manifestations, 158-159.
7
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-din, Jilid III (Mesir: Isa al-Halabi, 1968), 59.
8
Al-Ghazali, Mi’yar al-‘ilm , pentahqiq Sulaiman Dunia (Mesir: Dar al-Ma’rif, tt.), 18.
9
Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, 377-8.

150 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

lainnya dan telah nyata hasilnya. Inti dari perjalanan sufi adalah mensucikan
jiwa dari sifat-sifat tercela seraya mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Ilmu yang
dimaksud adalah pengetahuan tentang keadaan hati atau tahapan-tahapan
ruhani yang ditempuh dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, setelah
mempelajari ilmu keimanan dan hukum-hukum agama. Bagi al-Ghazali, jalan
yang ditempuh para sufi melalui ilmu dan amal, intinya adalah mengendalikan
nafs (jiwa) dan membersihkannya serta meneranginya dengan zikir kepada
Allah.10
Kaum sufi, menurut al-Ghazali adalah orang-orang yang merasakan secara
langsung, bukannya orang-orang yang hanya pintar berbicara. Apa yang
diperoleh dengan jalan ilmu sudah diperolehnya, dan tidak ada yang diperlukan
lagi kecuali sesuatu yang tidak dapat diperoleh dengan jalan mendengarkan atau
dengan belajar, melainkan dengan amal yakni merasakan dan menempuh jalan,
secara langsung,11 yakni mengendalikan jiwa (nafs).
Nafs memiliki karakter cenderung kepada kesenangan dan kemaksiatan.
Karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam berjuang
mengendalikan nafs dalam menolak atau melawan kesenangan dan kemaksiatan
yang lahir dari diri sendiri. Mengendalikan nafs sebagaimana dikatakan Nabi
adalah jihad al-akbar (perjuangan yang berat) sedangkan melawan pasukan
musuh ketika perang Badar digolongkan sebagai jihad al-ashghar (perjuangan
yang paling ringan). Hadits ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan
godaan yang muncul dari dalam diri sendiri adalah lebih berat daripada
perjuangan menghadapi musuh di medan perang. Musuh yang nyata dapat
dilihat wujudnya sedangkan nafs (jiwa) merupakan musuh yang tidak tampak
wujudnya.
Menurut al-Ghazali, ibadah merupakan rangkaian perjalanan hidup yang
penuh dengan kesulitan, banyak pendakiannya dan banyak bahayanya. 12 Segala
kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan ibadah merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan keinginan nafs. Oleh karena itu hakikat ibadah dalam
Islam ialah mengendalikan nafs.
Jiwa adalah sumber akhlak tercela, karena pada diri tidak hanya ada jiwa
insani (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah), tetapi juga jiwa nabati dan
hewani, sehingga nafs menjadi tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela.

10
Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, 372.
11
Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, 374.
12
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988),
7.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 151


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

Menurut Suhrawardi,13 ada sembilan sifat buruk dalam jiwa; pertama, hawa
(hasrat, keinginan) yang senang mengumbar berbagai hasrat dan kemauannya.
Ia menempatkannya di dalam dada, dan memperturutkan segenap
keinginannya, bahkan tanpa batas. Kedua, nifaq (kemunafikan). Dalam sebagian
besar keadaan lahiriahnya, kondisi nafs tidak sesuai dengan keadaan batiniahnya.
Kehadiran dan ketidakhadiran manusia tidak sama di hadapannya. Dihadapan
manusia, nafs memuji dan menunjukkan ketulusannya. Namun dalam
ketidakhadiran seseorang, yang terjadi justru sebaliknya. Ketiga, riya’ dan
bersikap sombong seperti membanggakan kelimpahan harta, kedudukan dan
pangkat, memperlihatkan kehebatan, dan merasa tidak bergantung kepada
siapapun. Dalam istilah psikiatri inilah yang disebut ‘waham kebesaran’. Nafs
buruk ini ibarat wanita tua dengan penampilan menor, dan berwarna-warni.
Bagi anak-anak ia tampak indah, namun bagi orang dewasa, ia justru terlihat
sangat memuakkan. Keempat, mengklaim posisi ketuhanan (berkuasa), bersikap
keras kepala dan mau menang sendiri. Ia menginginkan agar orang lain
memujinya, mematuhi seluruh ajakan dan perintahnya, mencintainya di atas
segala segala sesuatu, menunjukkan ketakutan kepadanya dan mengharap belas
kasihnya. Kelima, serakah. Keinginan akan kemewahan dan mengumpulkan
segala hal, muncul karena keserakahan atau ketakutan akan kemiskinan di masa
mendatang. Sifat ini menimbulkan sifat cemburu, iri hati, kikir dan dengki pada
apa yang dimiliki orang lain. Keena, tamak dan meminta lebih banyak. Nafs
selalu dipenuhi dengan keinginan dan tidak mampu membatasi dirinya sendiri.
Ia tidak akan pernah merasa cukup dengan kebutuhan perutnya. Ini seperti
rayap yang merasa tidak cukup puas dengan cahaya lampu. Dengan tanpa
memahami bahaya panasnya, ia tidak memperhatikan peringatan dan
menceburkan dirinya ke dalam api sehingga terbakar. Ketujuh, sembrono dan
tergesa-gesa. Nafs tidak pernah diam dari segala keinginan. Ketika pikiran
tentang hasrat dan hawa nafsu menggelora, ia menjadi tidak sabaran dan segera
bertindak dan bergerak. Akibatnya muncullah kesembronoan dan ketergesa-
gesaan. Orang-orang bijak mengibaratkannya dengan sebuah bola yang di taruh
di sebuah padang yang datar dan rata. Bola tersebut pasti senantiasa bergerak.
Kedelapan, cepat bosan dan jenuh. Nafs seringkali merasa cepat jenuh dan bosan
pada segala sesuatu, sehingga apa yang diperolehnya, tidak membuat ia bahagia
kecuali hanya kesenangan sesaat. Setelah itu, ia kembali pada keadaan semula,
terombang-ambing dalam kegelisahan. Apabila ia meraih keberhasilan, maka ini

13
Syaikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, A Dervish Texbook from the ‘Awarif al-Ma’arif,
133-136.

152 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

juga akan mendatangkan kebencian dirinya pada orang lain. Dan kesembilan,
lalai (ghaflah). Jika nafs bergegas untuk memenuhi hasrat dan keinginannya,
maka ia pun akan bermalas-malasan dalam menunaikan ibadah dan beramal
kebajikan.
Mengendalikan nafs, merupakan langkah penting yang harus ditempuh
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Nafs yang harus dikendalikan itu ialah
nafs (jiwa) rendah yang mengajak manusia bermaksiat kepada Allah. Dalam Al-
Qur an disebutkan tiga macam nafs. Pertama, nafs ammarah, jiwa yang
mengajak manusia berbuat maksiat. Kedua, nafs lawwamah, jiwa yang bersifat
mencela atau memberontak kepada perbuatan tercela namun belum dapat
menjaga diri atau meninggalkan perbuatan tercela serta belum sepenuhnya
muncul kesadaran untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Ketiga, nafs
muthmainnah, jiwa yang tenang, yang senantiasa ingin berbuat baik dan tidak
pernah tergoda untuk berbuat jahat. Nafs muthmainnah ialah jiwa yang rela
kepada Allah dan Allah rela kepadanya. Ia adalah jiwa yang menyukai apa yang
disukai oleh Allah dan sebaliknya. Jiwa inilah yang mendapat jaminan Allah
langsung masuk ke dalam syurga dan selalu berhubungan dengan ruh yang
bersifat ketuhanan dan menjadi sumber kebaikan.14

PENGENDALIAN SYAHWAT DAN KESERAKAHAN


Al-Ghazali menyebut godaan nafs dengan penyakit hati (amradh al-
qulub). Terapi pengobatan untuk menyembuhkan penyakit tersebut adalah
dengan pengendalian jiwa. Pada bagian keempat dari kitab Ihya Ulum al-Din,
al-Ghazali menjelaskan beberapa perbuatan yang harus dilakukan dalam
mengendalikan jiwa (riyadhah al-nafs). Dalam tulisan ini, penulis hanya
memfokuskan pada tiga hal saja yakni pengendalian syahwat, 15 yakni syahwat
perut dan syahwat biologis, serta pengendalian jiwa dari keserakahan.
1. Pengendalian Syahwat Perut
Meski perut merupakan tempat pengolahan makanan yang kemudian

14
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid III, 4.
15
Syahwat (al-syahwah) berarti selera, kesukaan, kegemaran, godaan, dan keinginan (al-
rughbah) sedangkan al-hawa berarti kecintaan (al-hubb), keinginan, kecenderungan, kesukaan,
dan kesenangan (al-mail). Syahwat ini bersifat seksual (al-ghulmah), nafsu hewani (al-bahimah)
libido (al-jinsiyat al-ghariziyah). Secara terminologi, al-syahwah adalah gerakan nafs untuk
mendapatkan perkara keji sementara al-hawa berarti kecenderungan nafs kepada syahwat yang
menyenangkan tanpa ada seruan syara‘. Lihat, Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani, Kitab al-
Ta‘rifat (Beirut: Dar al-Kitb al-‘Arabi, 1996), 170 dan 320.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 153


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

berubah menjadi energi sehingga bermanfaat bagi tubuh, namun dalam


pelaksanaannya perut harus diisi secara proporsional dan tidak berlebihan.
Orang yang mampu memenuhi kebutuhan perutnya sebatas keperluan hidup,
maka mereka tergolong orang yang terpuji. Sedangkan mereka yang
mengkonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan sehingga terlalu
kenyang, merupakan kelompok yang tercela.16
Mengkonsumsi makanan dan minuman secara berlebihan, menurut al-
Ghazali, akan memberikan dampak negatif seperti mengerasnya hati dalam
menerima kebenaran. Mengeras atau membekunya hati akan menyebabkan
seseorang cenderung lupa daratan, selalu ingin melihat hal-hal yang diharamkan
serta sesuatu yang tidak membawa manfaat. Konsumsi makanan berlebihan juga
akan menyebabkan akal, pikiran dan pengetahuan menjadi sempit atau picik.
Mereka yang kekenyangan akan cenderung malas untuk beribadah karena badan
akan terasa semakin berat, mata akan mudah mengantuk dan seluruh anggota
badan akan menjadi lesu dan sulit digerakkan. Lebih dari itu, ia akan
menghilangkan kenikmatan beribadah. Kekenyangan dalam mengkonsumsi
makanan juga akan menyita waktu dan tenaga, menimbulkan kebiasaan yang
kurang baik seperti sering buang air sehingga menghalangi menjaga kesucian diri
dengan wudhu’ (dawam al-thaharah), serta sulit untuk berpuasa.17 Selain itu,
secara tegas al-Ghazali menyebut enam dampak negatif dari perut yang
kekenyangan yaitu, menghilangkan rasa takut kepada Allah, menghilangkan rasa
kasih sayang terhadap sesama sebab ia mengira bahwa mereka juga kenyang
sebagaimana dirinya, menciptakan rasa malas beribadah, hati menjadi keras
menerima kebenaran, menyampaikan kebenaran kepada orang lain tidak
satupun membekas dalam hati pendengarnya, serta mengundang berbagai
penyakit.18 Ia juga mengingatkan bahwa sesungguhnya kekenyangan dari
makanan halal merupakan permulaan dari setiap kejahatan (mabda` kull syarr),
apalagi bila kekenyangan dari makanan yang haram.19
Seorang mukmin dituntut tidak makan berlebihan. Nabi mengajarkan
bahwa ukuran makan atau minum terpuji adalah, sepertiga perut untuk
makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk udara. Selain itu,
makan dan minum menjadi terpuji dan berpahala apabila dilakukan dengan
mengikuti etika yang diajarkan Nabi. Etika makan yaitu dengan mencuci tangan

16
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), 108.
17
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 81-84.
18
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid III, 47.
19
Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, pent. Abdullah Zakiy
al-Kaaf (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 28.

154 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

sebelum dan sesudahnya, membaca basmalah, dengan tangan kanan, suapan-


suapan kecil, menghaluskan kunyahan, meminimalisir melihat kepada orang
lain, tidak berdiri, makanan atau minuman tidak mendidih, tidak terlalu
kenyang, minta maaf kepada tamu atau ahli hajat apabila tidak makan karena
sedang kenyang, memakan dari pinggir makanan (piring), membersihkan jari-
jari setelah makan, tidak mengingat mati agar orang lain dapat makan dengan
sempurna, dan mengucap hamdalah setelah makan. Adapun etika minum adalah
melihat ke dalam gelas sebelum minum, basmalah sebelum dan hamdalah setelah
minum, menghirup seteguk-teguk dan tidak sekaligus, bernafas tiga kali selama
minum diikuti dengan hamdalah, mengulangi basmalah, tidak berdiri, memberi
orang yang berada di sebelah kanan apabila minum bersama orang lain.20
Perut,selain harus diisi secara proporsional dan tidak berlebihan, juga
harus terhindar dari makanan yang haram dan syubhat (samar, meragukan).
Kedua jenis makanan ini (haram dan syubhat), menurut al-Ghazali, menjadi
penyebab datangnya kemurkaan Tuhan dan memberikan pengaruh negatif
terhadap ibadah dan ketaatan yang dilakukan. Petunjuk (taufiq) Allah dalam
beribadah tidak akan turun bagi mereka yang mengkonsumsi jenis makanan ini,
sebab ia tidak pantas berkhidmat dan terhalang berbuat kebajikan. Seandainya
pun secara kebetulan ia dapat melakukannya maka amal tersebut akan tertolak.
Al-Ghazali memberikan perbandingan dengan orang yang sedang junub.
Jika orang yang sedang junub dilarang untuk memasuki masjid, mengerjakan
shalat dan membaca al-Qur’an, padahal kondisi ini adalah mubah, maka tentu
orang yang bergelimang dengan barang atau makanan haram dan syubhat, lebih
terlarang melakukan ketiga aktifitas tersebut. Lebih dari itu, mustahil Tuhan
akan menerima perbuatan baik dan ibadahnya.21
Diantara bentuk konsumsi haram yang sangat penting untuk dijauhi dan
dihindarkan adalah makanan dan minuman yang memabukkan. Hal ini karena
konsumsi yang memabukkan merupakan sarana (al-alat) setan yang paling
efektif untuk menghilangkan kesadaran akal sebagai salah satu tentara Tuhan.22
Dalam konteks ini, segala jenis minuman keras dan narkoba merupakan
konsumsi yang harus dihindari dan dijauhkan.
Perintah untuk mengkonsumsi yang halal, menghindari yang haram dan
syubhat tentu memiliki korelasi yang kuat dengan upaya pembentukan sifat
terpuji (mahmudah), sebab makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap
karakter dan perilaku. Makanan halal dan baik membuat seseorang cenderung

20
Al-Ghazali, Kitab Adab fi al-Din (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyah, tt), 173-174.
21
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 82.
22
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 110.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 155


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

menjadi sabar dan makanan haram atau syubhat membuat seseorang cenderung
tidak sabar. Bagi al-Ghazali perbuatan dan ucapan seseorang sangat bergantung
kepada makanan dan minumannya. Jika yang dikonsumsi adalah makanan
haram maka yang akan keluar juga sesuatu yang haram. Begitu pula jika yang
dikonsumsi adalah sesuatu yang berlebihan maka yang keluar juga demikian.
Makanan dan minuman itu ibarat benih, sedangkan perbuatan merupakan
tumbuhan yang tumbuh dari benih tersebut.23
Konsumsi makanan halal ini dapat menjaga keseimbangan jiwa. Ia
mampu menumbuhkan sikap juang yang tinggi dalam menegakkan ajaran
kebenaran (al-haq). Selain itu, ia juga menjadi jalan untuk membersihkan hati
dan menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak diperlukan. Makanan halal yang
dikonsumsi akan tumbuh dan berkembang menjadi daging bersamaan dengan
meningkatnya kualitas keshalehan lahir dan batin. Lebih dari itu, makanan halal
dapat menumbuhkan keyakinan diri bahwa Allah dekat dengan kita yang selalu
mendengarkan permintaan doa kita.24

2. Pengendalian Syahwat Biologis


Adapun jenis syahwat kedua (setelah syahwat perut) yang harus
dikendalikan adalah syahwat seksual (biologis). Syahwat jenis ini sebenarnya
merupakan bagian dari upaya keberlangsungan hidup anak manusia. Jika
syahwat ini terputus, maka akan habislah kehidupan manusia di permukaan
bumi. Sebaliknya, jika syahwat ini tidak dapat dikendalikan dengan tepat dan
benar, maka ia akan menyebabkan munculnya berbagai mudarat yang sangat
membahayakan kehiduan manusia itu sendiri. Karena itu diperlukan usaha
untuk pengendalian syahwat jenis ini agar manusia memperoleh kebaikan dan
kebahagiaan.
Salah satu upaya pengendalian syahwat biologis ini, seperti halnya
pengendalian syahwat perut, adalah mengkonsumsi makanan dan minuman
yang halal dan thayib, secara proporsional dan tidak berlebihan, baik dari segi
jenis maupun dari segi banyaknya. Karena itu, al-Ghazali mengingatkan agar
menghindari daging dan makanan-makanan yang dapat membangkitkan
gairah.25 Menurutnya, memperbanyak makan daging ayam menyebabkan organ-
organ tubuh menjadi panas. Daging domba atau kambing bakar (kambing

23
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 83.
24
Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani (Jakarta: PT. al-Mawardi Prima, 2003), 83-86.
25
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 104.

156 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

guling, sate) sebenarnya baik, namun jangan berlebihan.26


Syahwat biologis juga dapat dikendalikan dengan menahan pandangan
(ghadh al-bashar), pendengaran dari dan sentuhan dari melihat aurat,
mendengarkan suara erotis serta menyentuh sesuatu yang memicu syahwat, baik
secara langsung maupun melalui gambar atau audio visual. Pandangan mata,
suara dan sentuhan, akan menggerakkan pikiran dan hati (perasaan), sedangkan
perasaan akan membangkitkan gairah. Selain itu, syahwat biologis juga menjadi
kuat karena imajinasi (khayal) terhadap hal-hal yang negatif. Upaya yang
dilakukan untuk menjaga pandangan adalah melakukan kontemplasi (al-‘uzlah)
dan menghindarkan diri secara total dari hal-hal yang dapat membangkitkan
gairah. Menjaga pikiran adalah dengan konsentrasi mengingat Tuhan sehingga
tidak ada kesempatan untuk berpikir negatif. Bagi Al-Ghazali seseorang tidak
akan anda berhasil menjaga kemaluan (al-farj) melainkan setelah ia terlebih
dahulu mampu menjaga mata dari memandang hal-hal yang menyebabkan
naiknya syahwat, menjaga hati dari memikirkan hal-hal yang merangsang, dan
menjaga perut dari makan dan minum yang haram dan syubhat. Sesungguhnya
hal-hal demikian mudah merangsang (menimbulkan) syahwat dan membuat al-
farj mengikuti kemauannya.27
Syahwat biologis merupakan fitrah yang dibawa sejak lahir, sehingga
secara normal ia tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Pengebirian terhadap
fungsi biologis ini adalah hal yang terlarang karena dapat merusak kefitrahan itu
sendiri. Sebaliknya, tanpa rem yang pakem, syahwat biologis ini juga merusak
kehidupan seseorang, di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, diperlukan
penyaluran yang mubah, mudah dan halal untuk kebutuhan tersebut, sebagai
sesuatu yang wajar dan tentu sesuai petunjuk syariat yakni pernikahan. Mereka
yang mampu secara fisik, mental dan ekonomi, diperintahkan untuk mengikuti
cara ini. Pengendalian syahwat biologis dengan pernikahan, yakni dengan cara
yang alami, menurut al-Ghazali, dapat menghilangkan dampak negatif yang
ditimbulkannya. Pernikahan merupakan obat yang paling mujarab bagi manusia
secara umum. Mengendalikan makan dan minum memang melemahkan banyak
aktivitas, tetapi bagi mayoritas laki-laki hal ini tidak melemahkan keinginan
biologisnya.28
Pernikahan merupakan cara untuk mengendalikan dorongan syahwat
biologis. Penyalurkan kebutuhan biologis sesuai tabiatnya akan memberikan

26
Abu Hamid al-Ghazâlî, Menyingkap Rahasia Dua Alam, pent. Kamran As’ad Irsyadi
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 142.
27
Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, 100.
28
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 104.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 157


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

kepuasan jasmani dan ruhani, dan pada akhirnya mendatangkan kebahagiaan.


Apabila tuntutan biologis telah tersalurkan maka dorongannya akan melemah,
sehingga keinginan untuk melihat hal-hal negatif lainnya akan berkurang.
Dengan demikian hasrat untuk melakukan penyimpangan atau mencari jalan
pemuasan yang menyimpang pun akan menjadi lemah.
Pada sisi yang lain, syahwat biologis ini juga akan teredam dengan
sendirinya jika seseorang melakukan puasa (shaum). Puasa dapat meredam
gejolak gairah seksual dalam diri. Dalam kondisi lapar, syahwat biologis akan
melemah, pikiran menjadi lebih konsentrasi, dan hati cenderung ingat kepada
Tuhan. Karena itu, Nabi mengajarkan kepada para pemuda yang telah mampu,
lahir maupun batin untuk menikah, dan jika belum belum mampu agar
berpuasa.29 Selain itu, berpuasa juga akan mempersempit ruang gerak setan
dalam tubuh manusia, sehingga peluangnya untuk menggoda menjadi lebih
kecil.30
Menurut al-Ghazali, puasa yang menyebabkan rasa lapar, memiliki tujuh
keutamaan. pertama,menjernihkan hati dan menuntun kearifan, sedangkan
kenyang mendatangkan kemalasan dan membutakan mata hati. Kedua,
melembutkan hati sehingga dapat merasakan kelezatan munajat,31 merasakan
pengaruh zikir dan ibadah. Ketiga, menghinakan nafs, menghilangkan
kesombongan dan kezaliman. Tidak ada yang menghancurkan nafs kecuali rasa
lapar. Kezaliman mendorong seseorang lalai mengingat Tuhan dan merupakan
pintu kesengsaraan. Ketika tertutup pintu kesengsaraan maka terbuka pintu

29
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu menikah maka
menikahlah. Karena menikah merupakan jalan terbaik untuk menjaga pandangan dan menjaga
kemaluan. Barangsiapa belum mampu (menikah) maka berpuasalah, sebab puasa dapat menahan
pandangan dan menjaga kemaluan (HR. Bukhari).
30
Nabi bersabda: “Sesungguhnya setan bergerak dalam diri manusia mengikuti aliran
darah,maka persempitlah jalan-jalan setan dengan lapar dan haus”. Dikutip dari al-Ghazali, Kitab
al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79.
31
Munajat adalah tradisi dalam Islam yang merupakan sebuah bentuk doa pribadi dan
permohonan. Inilah percakapan penghambaan antara sang pencinta dan Allah sebagai Kekasih.
Munajat adalah saat yang terdekat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Dalam munajat,
seorang hamba berbicara dan berdialog dengan Tuhan dalam ibadahnya, karena ia berada di
hadapanNya tanpa penghalang dan perantara siapapun. Munajat lebih merupakan percakapan
rahasia yang terkadang diungkapkan dengan tradisi puitis. Ia merupakan salah satu diantara
empat aktifitas ibadah ritual dalam spiritualitas Islam, selain shalat, doa dan dzikr. Rabi’ah al-
Adawiyah adalah seorang sufi yang terkenal dengan munajatnya. Lihat, Michael A. Sells, (ed.),
Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic, and Theological Writings, terj. Alfatri,
Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal (Bandung: Mizan Pustaka,
Maret 2004), 33, 110 dan 282.

158 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

kebahagiaan. Keempat, menahan lapar dapat membuat seseorang semakin taat,


sebab dengan merasakan pedihnya perut disaat lapar seseorang menjadi takut
terhadap azab Tuhan yang lebih berat. Kelima, mengalahkan dorongan maksiat,
melemahkan nafs yang negatif, menghancurkan segala keinginan nafs yang
mengajak kepada kemaksiatan. Keenam, meringankan badan dan
menghilangkan kantuk sehingga ibadah menjadi ringan. Ketujuh, membentuk
jiwa yang qana‘ah dan bersimpati kepada penderitaan orang lain.32 Orang yang
telah mendapatkan keutamaan-keutamaan dari lapar dengan sendirinya akan
menjadi dekat kepada Tuhan. Sebab, secara jasmani ia ringan beribadah dan
mudah berbuat baik karena keburukan-keburukan seperti malas, mengantuk,
sombong dan sebagainya telah hilang. Sedangkan dari sisi ruhani, ia memiliki
sugesti ibadah yang tinggi disebabkan keinginan untuk selamat dari pedihnya
siksaan Tuhan.

3. Pengendalian Jiwa Dari Keserakahan.


Serakah (al-hirsh, avarice and never ending demand) merupakan penyakit
hati yang timbul sebagai akibat dari ketidakpuasan jiwa (nafs) terhadap nikmat
dan anugerah yang diterima dari Tuhan. Orang yang serakah meski dari
tampilan luarnya tampak sejahtera dan bahagia, sesungguhnya batinnya selalu
gelisah dan tidak tenteram.karena merasa kekurangan. Hati, pikiran dan
tenaganya selalu terkonsentrasi dan terkuras untuk mencari harta kekayaan. Sifat
buruk ini dapat memalingkan seseorang dari ketaatan kepada Tuhan. Kesibukan
mencari harta kekayaan dunia akan menghalangi dirinya dari melakukan ibadah
dengan tenang serta melupakan akhirat sebagai tempat kembali. Menurut al-
Ghazali, dunia dan akhirat ibarat dua wanita yang dimadu; yang satu puas maka
yang lain akan kecewa. Dalam perumpamaan lain ia mengatakan bahwa dunia
dan akhirat ibarat arah timur dan arah barat, apabila kita mendekat dengan yang
satu maka yang lain akan menjauh.33
Jalan keluar dari jeratan atau lilitan kecintaan terhadap perhiasan dunia
adalah merasa puas (al-qana‘ah) dengan rezeki yang diberikan Tuhan. Orang
yang merasa puas tidak akan gelisah, karena ia menyadari bahwa nikmat dan
anugerah Tuhan di muka bumi ini sangat banyak. Ia justru, karena kekurangan,
kelemahan dan keterbatasan kemampuan serta pendeknya usia, tidak dapat
menjangkau semua nikmat dan anugerah tersebut. Karena itu ia mengambil
posisi hidup dalam kesederhanaan sebab hal ini merupakan cara mudah untuk

32
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79-81.
33
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 28.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 159


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

mencapai kedudukan (maqam) qana’ah.


Qanaah itu mengandung lima hal penting, yakni menerima dengan rela
apa yang ada, memohon kepada Tuhan tambahan yang pantas dan terus
berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada
Tuhan, serta tidak tertarik oleh tipu-daya dunia.34 Itulah kekayaan yang
sebenarnya seperti ungkapan Rasulullah, “Bukanlah kekayaan itu lantaran
banyak harta, kekayaan itu adalah kekayaan jiwa”.
Qana’ah tidak berarti hidup dalam bermalas-malasan atau tidak mau
berusaha sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Orang
yang qana’ah itu justru adalah orang yang selalu giat bekerja dan berusaha,
namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela
hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah. Sikap yang
demikian itu akan mendatangkan rasa tenteram dalam hidup.
Orang yang merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya, tidak akan
tergoda dengan keindahan dan gemerlapnya perhiasan dunia. Ia mengambil
sesuatu sesuai dengan keperluan dan kebutuhan hidup. Mahabbah dan ma’rifah
kepada Tuhan, lebih menjadi prioritas hidupnya dibanding kehidupan dunia. Ia
menyadari bahwa cinta, seperti yang diungkapkan oleh al-Ghazali, tidak diraih
kecuali dengan zikir berkelanjutan dan ma’rifat tidak diperoleh kecuali dengan
mencari dan berpikir terus menerus. Tidak ada kesempatan untuk memperoleh
keduanya kecuali orang yang sibuk menolak kesibukan dunia. Makrifat dan
cinta tidak akan bersemayam dalam hati selama hati tidak dibebaskan dari cinta
kepada selain Allah.35 Disebabkan mengharap cinta dan ma’rifat kepada Tuhan,
orang yang qana‘ah tidak akan mengejar harta yang tidak diperlukan dalam
hidupnya. Kesederhanaan menyebabkannya tidak mengerahkan segala tenaga,
pikiran dan waktunya sekedar untuk mencari harta yang tidak bermanfaat. Ia
juga akan menghindari cara-cara yang bertentangan dengan ajaran agama dan
tidak akan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya.
Orang yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah ada di
tangannya, yang jiwanya dipenuhi dengan keserakahan terhadap kekayaan
dunia, akan selalu memikirkan dan mendambakan segala sesuatu yang belum
dimiliki. Ia terus berkhayal dalam lamunan tanpa henti, sehingga energinya
tersita untuk memikirkan dan mendapatkan kemewahan dunia. Sebaliknya,
mereka yang qana’ah, akan selalu tenang dan bahagia, merasa puas dengan apa
yang telah ada dalam genggamannya. Ia juga yakin bahwa setiap makhluk telah

34
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Citra Serumpun, 1990), 245.
35
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 111.

160 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik al-Ghazali

ditentukan rezekinya masing-masing. Dalam hal ini al-Ghazali mengingatkan


bahwa berusaha keras bukan sebab yang mendatangkan rezeki, melainkan
meyakini kebenaran janji Tuhan yang menjamin setiap makhluk yang ada di
muka bumi ini. Rezeki juga akan diperoleh dengan mencarinya melalui cara-
cara yang baik. Rezeki yang diberikan Tuhan kepada hamba dengan cara yang
tidak disangka-sangka jumlahnya jauh lebih banyak.36
Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qana’ah ketika melakukan
aktifitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk
ia nikmati sendiri, namun didasarkan pada ibadah. Mereka mencari harta dan
dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Kekayaan
dunia yang ia cari, bukan dijadikan sarana memyombongkan diri, namun
dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak jatuh pada jurang
kefakiran. Hartanya ia gunakan untuk menyantuni orang lain dan agar tidak
membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya.
Mereka yang qana’ah mencari harta didasarkan pada keharusannya menguasai
ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia
sepanjang ia menggunakannya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Ia
yakin, hanya dengan memiliki ilmu ia dan keluarganya akan merasa tentram
dalam beribadah dan bermuamalah.
Dalam dunia modern yang terus mengalami kemajuan, sikap qana’ah
merupakan hal yang sangat penting. Mereka yang mampu bersikap qana’ah akan
meletakkan harta dan dunia di tangan, bukan di hati. Ia akan berprinsip bahwa
kekayaannya semata titipan Allah. Jika suatu saat diambil, ia takkan merasa rugi.
Semua yang dimiliki adalah titipan sementara. Prinsip inilah yang mampu
membuat jiwa tentram dan nyaman meski berbagai persoalan datang menerpa.
Mereka selalu bersandar kepada Allah dalam berbagai segi kehidupan khususnya
rezeki, sehingga selalu merasakan kabahagiaan di mana saja dn kapan saja.
Wallahu a’lam.
DARTAR PUSTAKA
Ahmad al-Syarbani, Al-Ghazali wa al Tasawuf al Islam. Mesir: Dar al-Hilal, tt.
Ahmad Miftah Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi.
Bandung: Mizan, 1991.
Al-Ghazali, Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, dalam Syekh Abdul Halim
Mahmud, Qadhiyyah al-Tashawwuf: Al-Munqizh min al-Dhalal. Mesir:
Dar al-Ma’arif, 1985.

36
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid III, 341-342.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 161


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Muhammad Iqbal Irham

Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, pent. Abdullah
Zakiy al-Kaaf. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-din, Jilid III-IV. Mesir: Isa al-Halabi, 1968.
Al-Ghazali, Kitab Adab fi al-Din. Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyah, tt.
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79.
Al-Ghazâlî, Menyingkap Rahasia Dua Alam, pent. Kamran As’ad Irsyadi.
Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Al-Ghazali, Mi’yar al-‘ilm , pentahqiq Sulaiman Dunia. Mesir: Dar al-Ma’rif, tt.
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1988.
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.
Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat. Beirut: Dar al-Kitb al-
‘Arabi, 1996.
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Citra Serumpun, 1990.
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Jilid V.
Lynn Wilcox, Psichosufi: Terapi Psikologi Sufistik Pemberdayaan Diri. Terj. Soffa
Ihsan. Jakarta: Pustaka Cendekiamuda. 2007.
Michael A. Sells, (ed.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic, and
Theological Writings, terj. Alfatri, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif
Spiritualitas Islam Awal (Bandung: Mizan Pustaka, Maret 2004.
Montgomeri Watt, The of Practice of al Ghazali. George and Unwin, 1953.
Muhammad Rasyid Salim, Muqaranah Saina al-Ghazali wa Ibnu Taymiyyah.
Kuwait: Dar al-Qalam, 1970.
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man. London: Longman,
1975.
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Manifestations.
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam. Cambridge-
Masssachusetts: Harvard University Press, 1968.
Syaikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, A Dervish Texbook from the ‘Awarif al-
Ma’arif.
Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani. Jakarta: PT. al-Mawardi Prima, 2003.

162 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


RELEVANSI PSIKOTERAPI SUFISTIK DALAM MINHAJUL
ABIDIN DITINJAU DARI PSIKOTERAPI MODERN
RASIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)

Ricky Firmansyah
Program Studi Islam dan Psikologi, Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia
firmansyah.ricky@gmail.com

Abstract
The literature of sufistic-based psychotherapy studies has not been widely
studied in psychology, nor is its use as structured and systematic as modern
psychotherapy. Al-Ghazali's Sufi background makes a lot of works of kalasik
psychology among them is the book Minhajul 'Abidin which contains stages of
purifying worship and overcoming the problem. This study aims to explain the
relevance of Minhajul 'Abidin as a Sufic Psychotherapy in terms of Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT). Using the literature study method with
primary data source is the book Minhajul 'Abidin. Analysis method using
content analysis and comparative analysis. This study shows that there is
relevance of Minhajul 'Abidin model as psychotherapy.
Keywords: Minhajul ‘Abidin, Sufi psychotherpy, Rasional Emotive Behavior
Therapy (REBT).

Abstrak
Literatur kajian psikoterapi berbasis sufistik belum banyak dikaji dalam
psikologi, begitu juga penggunaannya masih belum terstruktur dan sistematis
seperti psikterapi modern. Al-Ghazali yang berlatar belakang sufi banyak sekali
mebuat karya psikologi kalasik diantaranya adalah kitab Minhajul ‘Abidin yang
memuat tahapan-tahapan memurnikan ibadah dan mengatasi permasalahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Relevansi Minhajul ‘Abidin Sebagai
Sebuah Psikoterapi Sufistik Ditinjau dari Rasional Emotive Behavior Therapy
(REBT). Menggunakan metode penelitan studi pustaka dengan sumber data
primer adalah kitab Minhajul ‘Abidin. Metode analisa menggunakan analisis isi

163
Ricky Firmansyah

dan analisis komparasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada relevansi amodel
Minhajul ‘Abidin sebagai psikoterapi.

Kata Kunci: Minhajul ‘Abidin, Psikoterapi sufistik, Rasional Emotive Behavior


Therapy (REBT).

PENDAHULUAN
Menurut Victor Frankl, esistensi manusia ditandai oleh kerohanian
(spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility), beliau
menyadari bahwa adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara
universal ada pada setiap orang terlepas itu dari ras, agama, dan keyakinan yang
dianut. Kemudia memahami bahwa sumber-sumber dan potensi tersebut sering
ditekan, terhambat, dan diabaikan, bahkan terlupakan. Sehingga perlu
memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan
untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan orang merasa
menemukan arti hidupnya, keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai
kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan serta cinta kasih.
Banyak orang yang merasa menemukan arti hidupnya dari agama yang
diyakininya bahkan menghidupkan kembali ritual-ritual keagamaan dapat
menghantarkan seseorang kepada penemuan makna hidup. Kegagalan seseorang
dalam menemukan makna, biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa
makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa
hidupnya tak berarti, bosan dan apatis. Kegagalan ini juga bisa menjelma dalam
bentuk kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will of
power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will of pleasure), termasuk
kenikmatan seksual (the will of sex), bekerja keras (the will to hard work) dan
mengumpulkan uang (the will of money).
Keterlibatan religius dalam kehidupan kembali ramai dibicarakan, survei
menunjukkan bahwa proporsi populasi dunia yang signifikan memiliki
keyakinan dan praktik keagamaan yang penting bagi kehidupan sehari-hari.
Misalnya, World Gallup Poll mensurvei populasi perwakilan dari 143 negara
(n= 140, 000), dan menemukan bahwa 92 persen orang di 32 negara
berkembang mengindikasikan bahwa agama merupakan bagian penting dalam
kehidupan sehari-hari. Selanjutnya peninjauan yang dilakukan lebih dari 3.300
studi yang meneliti hubungan masalah spiritual-relijgius dengan kesehatan

164 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

mental dan fisik, perilaku dan hasil kesehatan. Koenig (2012) mempresentasikan
model teoritis yang menggambarkan beberapa jalur dimana spiritual-religius
dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Penelitian yang dilakukan Rosmarin dkk. (2013) mengenai relevansi
spiritualitas terhadap hasil pengobatan psikiatri dengan peserta 159 pasien yang
menerima perawatan di rumah sakit jiwa dan berpartisipasi dalam program
perawatan cognitive behavior therapy (CBT). Hasil menunjukkan bahwa
kepercayaan pada Tuhan secara signifikan terkait dengan penurunan tingkat
depresi dan peningkatan kesejahteraan psikologis, tingkat harapan klien yang
lebih tinggi dan persepsi tentang kredibilitas pengobatan, dan peningkatan hasil
perawatan psikiatri.
Gejala depresi dan praktik religius - spiritual tersebar luas di seluruh dunia,
namun mereka hanya mendapat sedikit perhatian dari para profesional
kesehatan mental. Penelitian kuantitatif yang meneliti hubungan antara
keterlibatan religius - spiritual dan gejala atau gangguan depresi selama 50 tahun
terakhir (1962 sampai 2011). Setidaknya 444 studi sekarang telah secara
kuantitatif memeriksa hubungan ini. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60%
melaporkan lebih sedikit depresi dan pulih lebih cepat dari depresi pada orang
yang mengalami religius – spiritual atau penurunan tingkat keparahan depresi
sebagai respons terhadap intervensi riligius - spiritual. sedangkan 28 penelitian
(6%) menemukan hal yang sebaliknya.
Keyakinan dan praktik agama dapat membantu orang mengatasi keadaan
hidup yang penuh tekanan, memberi makna dan harapan, dan mengelilingi
orang-orang yang depresi dengan komunitas yang mendukung. Weisman de
Mamani, Weintraub, Gurak dan Maura (2014) melaporkan sebuah penelitian
tentang efektivitas Culturally Informed Therapy for Schizophrenia (CIT-S)
dalam mengurangi tingkat keparahan gejala pada pasien. Modul penanganan
spiritual mencakup diskusi tentang keyakinan akan keberadaan, makna dan
tujuan tertinggi, dan penggunaan praktik spiritual oleh pasien seperti meditasi
dan doa. Kelompok pembanding diberi modul psiko-pendidikan. Hasil
mendukung hipotesis bahwa intervensi CIT-S akan mengurangi gejala kejiwaan
dibandingkan dengan kelompok control.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas Pengintegrasian dimensi religius -
spiritual dalam psikoterapi baik sebagai bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan individu, maupun sebagai bentuk terapeutik saat ini
telahkembali kepada sebagaimana mestinya, dimana dimensi religius - spiritual
menjadi bagian dalam perkembangan individu. Pelibatan religius - spiritualitas
dalam psikoterapi ketika dimanfaatkan dengan tepat dapat menjadi pendekatan

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 165


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

yang efektif dalam rangka memfasilitasi perubahan, harapan, dan pencerahan


dalam diri klien.
Permasalahnnya adalah belum adanya psikoterapi modern berbasis islam
yang sistematis dan terstruktur, bahkan tidak terbangun dari landasan teori
keislaman yang kokoh dan konsep dasar yang utuh menyeluruh. Umunya
adalah lebelisasi dari psikoterapi barat dengan keislaman. Padahal kajian-kajian
tentang jiwa dan hati banyak dipraktekan oleh ulama-ulama sufi, seperti
bagaimana mengelola nafsu, membersihkan hati dan memerangi setan. Tidak
ada yang menyelami dimensi ruhani keislaman secara lengkap dan mendalam
selain ilmu tasawuf.
Tokoh sufi termasyur dan menghasilkan karya-karya gemilang dalam
bidang tasawuf salah satunya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Ta‟ us Ahmad al-Tusi al-Shafi, lahir pada tahun 450H atau 1058M,
disebuah desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, bagian kota Tus, wilayah
Khurasan. Beliau juga terkenal dengan julukan Hujjatul Islam. Karya beliau
yang termasyhur adalah Ihya ‘Ulumuddin dan Minhajul ‘Abidin. Pada kitab
Ihya ‘Ulumuddin tersusun landasan teori dan konsep dasar yang kokoh
mengenai hati, jiwa dan pemurniannya. Sedangkan dalam kitab Minhajul
‘Abidin terkandung metode psikoterapi sufistik yang terstruktur dan efektif
dalam menjawab permasalahan manusia sepanjang masa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
penulis ungkap untuk mempermudah proses penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep psikoterapi sufistik yang dilakukan Al-Ghazali dalam
kitab minhajul ‘abidin?
2. Bagaimana relevansinya konsep psikoterapi sufistik al-Ghazali dalam kitab
minhajul ‘abidin terhadap Psikoterapi modern Rational Emotive Behavior
Therapy?
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui konsep psikoterapi sufistik yang dilakukan Al-Ghazali dalam
kitab minhajul ‘abidin
2. Mengetahui relevansi proses sistematisasi terapa Al-Ghazali dalam
psikoterapi modern.
3. Menghadirkan praktek sufistik pada psikoterapi modern.
Manfaat hasil penelitian ini adalah:
1. Memberi kontribusi konsep psikoterapi al-Ghazali yang berbasis sufistik
kepada psikoterapi modern.
2. Menghadirkan kembali dimensi religius yang tidak bisa terpisahkan dalam
perkembangan kesehatan mental.

166 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

3. Memurnikan kembali konsep ibadah kepada masyarakat terutama yang


mengalami problematika hidup.

KONSEP KESEHATAN MENTAL DAN PSIKOTERAPI


Kesehatan mental diambil dari konsep mental hygiene. Kata “mental” itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya sama dengan “psyche” dalam
bahasa Latin yang berarti psikis, jiwa atau kejiwaan.
Karl Menninger seorang psikiater memberikan rumusan kesehatan mental
adalah sebagai penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan
keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum, ia bukan hanya berupamefisiensi,
atau hanya perasaan puas, atau keluwesan dalam mematuhi berbagai aturan
permainan dengan riang hati. Kesehatan mental mencakup itu semua, meliputi
kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan
menenggang perasaan orang lain, dan sikap hidup yang bahagia. (A.
Supratiknya, 1995:9-10). Ciri Orang yang Sehat – Normal adalah:
1. Sikap terhadap diri sendiri. Ciri perilaku menunjukkan penerimaan diri,
memiliki jati diri yang memadai (positif), memiliki penilaian yang realistik
terhadap berbagai kelebihan dan kekurangan.
2. Persepsi terhadap realitas. Memiliki pandangan yang realistik terhadap diri
dan dunia, orang maupun benda di sekelilingnya
3. Integrasi. Berkepribadian utuh, bebas dari konflik-konflik batin yang
melumpuhkan, memiliki toleransi yang baik terhadap stress.
4. Kompetensi. Memiliki kompetensi-kompetensi fisik, intelektual, emosional,
dan sosial yang memadai untuk mengatasi berbagai problem hidup
5. Otonomi. Memiliki kemandirian, tanggung jawab dan penentuan diri (self-
determination, self-direction) yang memadai disertai kemampuan cukup
untuk membebaskan diri dari aneka pengaruh sosial.
6. Pertumbuhan aktualisasi diri. Menunjukkan kecenderungan kearah menjadi
semakin matang, semakin berkembang kemampuan-kemampuannya dan
mencapai pemenuhan diri sebagai pribadi.

KRITERIA ABNORMALITAS
Menurut Coleman, ada beberapa kriteria yang, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dapat dipakai untuk menentukan atau mengukur
abnormalitas. Beberapa kriteria yang dimaksud adalah penyimpangan dari
norma statistik, penyimpangan dari norma-norma sosial, gejalah “salah sesuai”
(maladjustment), tekanan batin, dan ketidak matangan. Tampaklah, tidak

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 167


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

mudah menentukan batas tegas antara yang normal dan tidak normal. Kriteria
tersebut adalah:
1. Penyimpangan dari norma-norma statistik, menurut patokan ini yang
disebut abnormal adalah setiap hal yang luar biasa, tidak lazim, atau secara
harfiah, yang menyimpang dari norma.
2. Penyimpangan dari norma-norma sosial. Abnormal diartikan sebagai
nonkonformitas, yaitu sifat tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma
sosial. Ini yang disebut relativisme budaya: apa yang umum atau lazim
adalah normal, walaupun kita tidak selalu sepakat, namun patokan ini
sering berlaku dalam masyarakat
3. Gejalah “salah sesuai” (Maladjusment). Disini abnormalitas dipandang
sebagai ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi atau
melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya
maupun yang bersumber dari berbagai kebutuhannya sendiri.
4. Tekanan batin. Abnormalitas dipandang berwujud perasaan-perasaan
cemas, depresi atau sedih, atau rasa bersalah yang mendalam.
5. Ketidak matangan. Disini seseorang disebut abnormal bila perilakunya tidak
sesuai dengan tingkat usianya, tidak selaras dengan situasinya.
Coleman, Buctcher dan Carson dengan tetap menyadari kekurangannya,
akhirnya menggunakan dua kriteria, yaitu abnormalitas sebagai penyimpangan
dari norma-norma masyarakat dan abnormalitas dalam arti apa saja yang bersifat
maladaftif. Kriteria kedua berarti apa saja yang tidak menunjang kesejahteraan
sang individu, sehingga pada akhirnya juga tidak menunjang kemaslahatan
masyarakat. Yang diamaksud kesejahteraan atau kemaslahatan meliputi baik
kebahagiaan muapun perkembangan pencapaian pemenuhan diri atau
aktualisasi dari berbagai kemampuan yang dimiliki. Diantara kedua patokan ini
mereka cenderung menekankan yang kedua. “ kriteria terbaik untuk
menentukan normalitas perilaku bukanlah bahwa masyarakat menerima atau
menolaknya, melainkan apakah perilaku meningkatkan kesejahteraan individu
dan akhirnya juga kemaslahatan masyarakat. (A. Supratiknya, 1995: 14)

PSIKOTERAPI
Psikoterapi merupakan sebuah interaksi sistematis antara pasien dan
terapis yang menggunakan prinsip-prinsip psikologis untuk membantu
menghasilkan perubahan dalam tingkah laku, pikiran, dan perasaan pasien
untuk membantu pasien mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan
masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai seorang individu. Ciri-
ciri psikoterapi adalah sebagai berikut ( Yustinus Semiun, 2006: 336-337):

168 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

1. Interaksi sistematis. Psikoterapi adalah suatu proses yang menggunakan


suatu interaksi antara pasien dan terapis. Kata sistematis disini berarti terapis
menyusun interaksi-interaksi dengan suatu rencana dan tujuan khusus yang
menggambarkan segi pandangan teoritis terapis.
2. Prinsip psikologis. Psikoterapis menggunakan prinsip-prinsip, penelitian,
dan teori-teori psikologis serta menyusun interaksi terapeutik.
3. Tingkah laku, pikiran, dan perasaan. Psikoterapi memusatkan perhatian
untuk membantu pasien mengadakan perubahan-perubahan behavioral,
kognitif, dan emosional serta membantunya supaya menjalani kehidupan
yang lebih penuh dan memuaskan. Psikoterapi mungkin diarah salah satu
atau semua ciri dari fungsi psikologis ini.
4. Tingkah laku abnormal, memecahkan masalah, dan pertumbuhan pribadi,
merupakan tiga kelompok pasien yang dibantu oleh psikoterapi. Kelompok
pertama adalah orang yang mengalami masalah-masalah tingkah laku
abnormal, seperti gangguan penyesuain diri, gangguan kecemasan.
Psikoterapi membantu pasien belajar tentang dirinya sendiri dan
memperoleh keterampilan-keterampilan yang akan memudahkannya
menanggulangi tantangan hidup yang lebih baik. Kelompok kedua adalah
orang-orang yang meminta bantuan untuk menangani hubungan-hubungan
yang bermasalah atau menangani masalah-masalah pribadi yang tidak cukup
berat untuk dianggap abnormal, seperti perasaan malu atau bingung
mengenai pilihan karir. Kelompok ketiga orang yang mencari psikoterapi
karena dianggap sebagai sarana untuk memperoleh pertumbuhan pribadi.

RASIONAL EMOTIVR BEHAVIOR THERAPY (REBT), TEORI DAN


KONSEP DASAR
Terapi Perilaku Emotive Rasional (Rational Emotive Behavior Therapy,
selanjutnya disingkat REBT) adalah sistem psikoterapi yang mengajari individu
bagaimana sistem keyakinannya menentukan yang dirasakan dan dilakukannya
pada berbagai peristiwa dalam kehidupan (Stephen Palmer, 2011: 499).
Psikologi kognitif meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk
melalui rangkaian stimulus – kognisi – respon (SKR), yang saling berkaitan dan
membentuk jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan
menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa,
dan bertindak. Contoh kasus adalah seseorang terjebak dalam antrian panjang di
swlayan (kejadian), merasa kasir bekerja dengan lamban (kepercayaan), orang
tersebut gusar dan memaki-maki kasir (konsekuensi). kenapa orang ini
berperilaku gusar dan marah-marah sedangkan pengantri yang lain tetap

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 169


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

bersabar? Karena ada yang berbeda pada kognisinya, dalam hal ini kepercayaan
orang tersebut. Kejadian tetaplah netral, karena kepercayaan yang diyakininya
berbeda maka konsekuensinya pun menjadi berbeda pada setiap orang.
Alber Ellis memformulasi REBT pada tahun 1950 dan memberikan
argumentasi bahwa manusia cenderung berbicara pada diri sendiri dan defensif.
Mulai bermasalah dalam emosi dan tingkah laku ketika mereka tertarik untuk
memiliki kebutuhan tertentu (kebutuhan akan cinta, pengakuan atau
keberhasilan) dan membuat kesalahan dengan menganggap kebutuhan tersebut
adalah sebagai mutlak dipenuhi. Kata-kata ‘harus’, ‘mesti’, ‘berhak’, ‘menuntut’,
‘perintah’, dan sejenisnya akan meningkatkan keinginan seseorang untuk
menjadi irasional. Pola pikir yang tidak rasional akan menimbulkan gangguan
perasaan dan selanjutnya menghasilkan gangguan tingkah laku (A. Kasandra,
2016:161)
Tiga wawasan utama REBT:
1. Gangguan emosional sebagian besar ditentukan oleh keyakinan irasional
(penaklukan diri). Kita merasa sesuai dengan apa yang kita pikirkan.
2. Kita merasa terganggu saat ini karena terus-menerus mencuci otak kita
sendiri dengan keyakinan-keyakinan seperti, menerima keyakinan tertentu
tanpa bersikap kritis.
3. Satu-satunya cara untuk menanggulangi gangguan kita adalah dengan
bekerja keras, gigih, kadang-kadang seumur hidup, dan dengan berlatih
untuk berfikir, berperasaan, dan bertindak dengan kuat melawan
keyakinan-keyakinan irasional.
REBT menawarkan model yang relatif sederhana untuk memahami
bagaimana aspek pemikiran seseorang bisa menciptakan perasaan terganggu, dan
untuk mengatasi pikiran-pikiran yang mengganggu seperti itu, maka
menggunakan model ABCDE:
A: Activating event, peristiwa yang memicu
B: Belief, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang persitiwa
tersebut.
C: Conscequence. Konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh
kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut.
D: Disputing, mendebatkan keyakinan yang menyebabkan gangguan.
E: Effective, pandangan rasional efektif baru yang diikuti perubahan emosional
dan perilaku.
REBT menunjukkan bahwa reaksi-reaksi emosional terhadap kejadian-
kejadian hidup yang tidak menyenangkan dapat dibagi menjadi emosi-emosi
negative yang tidak sehat dan sehat sebagai berikut.

170 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

Emosi-emosi negative tidak sehat Emosi-emosi negative sehat


Cemas Prihatin
Depresi Sedih
Rasa bersalah Menyesal
Terluka Jengkel
Amarah disertai makian Kecewa
Cemburu Amarah tanpa makian
Iri dan dengki Khawatir mengenai hubungan
Keinginan tanpa dengki untuk
memiliki keuntungan

Teknik-teknik Terapi REBT


1. Cognitive technique (Teknik kognitif)
Rasional Analysis: analisis dari peristiwa yang spesifik untuk mengajarkan
klien bagaimana cara membuka dan memperdebatkan keyakinan yang tidak
rasional yang biasa digunakan pada sesi pertama dan setelah klien
mendapatkan idenya maka klien akan membawanya sebagai pekerjaan
rumah (PR).
2. Paradoxial Behavior (Perilaku berkebalikan)
Ketika klien berharap untuk merubah kecenderungan disfungsi, hal ini
mendorong klien secara bebas untuk bertindak dengan suatu cara
kontradiksi terhadap kecenderungan tersebut. Latihan untuk perilaku baru
walaupun tidak dengan cara spontan maka berangsur-angsur terinternalisasi
menjadi kebiasaan baru.
3. Home Work ( Pekerjaan rumah)
Pekerjaan rumah merupakan strategi yang paling efektif. Kegiatan yang
termasuk didalamnya adalah aktivitas membaca, latihan menolong diri
sendiri dan pengalaman aktivitas. Sesi-sesi dalam terapi adalah latihan,
dimana klien mencoba dan menggunakan apa yang telah dipelajari.
4. Imagery Technique (Teknik Imajeri)
Klien membayangkan kejadian yang tidak menyenangkan, kemudian
dilepas keluar seluruhnya sehingga klien merasa terhibur karena itu.
Tahapan dan sesi dalam terapi REBT
Pada saat implementasi, pelaksanaan terapi terdiri dari 5 sesi
Tahap 1: bina hubungan dan saling percaya.
Tahap 2: memahami perasaan
Tahap 3: fakta lawan opini

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 171


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

Tahap 4: belajar model kognitif ABCs (rational self analysis)


Tahap 5: latihan model kognitif
Tahap 6: terminasi, mengantisipasi terjadinya kemunduran setelah terapi
berkahir dan memastikan klien sudah mengetahu cara yang dapat dilakukan
ketika gejala-gejala tersebut terulang.

KITAB MINHAJUL ‘ABIDIN


Minhajul ‘Abidin merupakan kitab tasawuf pamungkas dan paripurna
dari al-Ghazali sebelum beliau wafat dan merupakan kitab pelengkap karya
sebelumnya yang menjadi magnum opus “Ihya ‘Ulumuddin”. Minhajul ‘Abidin
memiliki makna panduan dasar bagi ahli ibadah, tidak banyak santrinya yang
menyimak secara langsung kitab ini, kecuali para sahabat istimewa. Karya ini
mengajak seseorang untuk merenungi kembali hakikat ibadah dan berbagai
tahapan untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Urutan dan tahapan mengenai
jalan ibadah beliau tulis berdasarkan ilham dari Allah, tahapan tersebut adalah:
tahap ilmu, tahap taubat, tahap menghadapi godaan ibadah (‘awaiq), tahap
menghadapi rintangan ibadah (‘awaridh), tahap pendorong ibadah (bawa’its),
tahap perusak ibadah (qawadih), Tahap pujian dan syukur (al-hamd wasyukr).
Tahap 1: Ilmu
Mengamati dan mencari bukti adalah tahapan pertama dalam melakukan
ibadah, yaitu berupa tahapan ilmu dan ma’rifat, agar seorang hamba
mempunyai wawasan atas segala yang dikerjakannya. Seorang hamba harus
segera berusaha melakukan penelitian yang baik dalam mencari bukti,
mematangkan pikiran, mempelajari dan mempertanyakan kepada para ulama
akhirat atau sufi. (Ghazali, 2016: 20)
Pada tahap ini Ghazali menekankan “ilmu keyakinan” (al-ilm al –yaqin),
mengajak pengakuan dalam diri bahwa seseorang memiliki Tuhan Yang Maha
Esa, tiada sekutu bagi-Nya, yang telah menciptakan dan memberi berbagai
kenikmatan. Tuhan yang telah mewajibkan bersyukur dan memerintahkan
untuk tunduk dan patuh, baik secara lahir maupun batin, mencegah berlaku
kufur dan melakukan kemaksiatan, yang menjanjikan pahala abadi bagi mereka
yang menaati-Nya, dan memberi siksa bagi mereka yang durhaka dan berpaling
dari-Nya.
Tiga ilmu yang harus dimiliki seseorang. Pertama, ilmu Tauhid, untuk
mengenal siapa hamba dan siapa Tuhannya. Kedua, ilmu syariat, bertujuan
untuk bagaimana cara menyembah dan apa yang mesti dilakukan baik lahir

172 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

maupun batin. Ketiga, ilmu sir atau ilmu hati (tasawuf), yakni ilmu yang
berhubungan dengan hati dan amalan-amalanya.
Tahap 2: Taubat
Menurut al-Ghazali kemalangan dan kesengsaraan orang yang beribadah
yang kemudian hilangnya pahala karena seseorang tidak mempelajari ilmu, dia
tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kepayahan dan kesusahan yang tidak
berguna. Setelah seseorang menyadarinya maka orang tersebut akan bertaubat.
Kemalangan dan kesialan merupakan hasil dari perbuatan dosa dan
perbuatan dosa menghambat seseorang untuk berupaya mematuhi dan
mengabdi kepada Allah, karena tumpukan dosa memberatkan langkah menuju
kebaikan dan menjadikan seseorang malas untuk mentaati-Nya. Dua alasan
kenapa seseorang perlu bertaubat. Pertama, agar seseorang mendapatkan
pertolongan Allah guna mencapai ketaatan. Kedua, agar semua amal ibadah
diterima oleh Allah. Seseorang wajib melakukan taubat, karena perbuatan dosa
yang terus menerus dilakukan dapat membuat kalbu menjadi hitam, sehingga
yang didapatkan hanyalah kegelapan, kekerasan, tiada keihlasan, kenikmatan
dan kesucian. Jika Allah tidak memberinya anugerah dan rahmat-Nya, dosa-
dosanya itu akan menghantarkannya menuju kekufuran dan kesengsaraan
(Ghazali, 2016:46).
Tahap 3: Tahap menghadapi godaan ibadah (‘awaiq)
Setelah seseorang melewati tahapan taubat, selanjutnya, dia akan sadar,
dan memahami bahwa disekelilingnya masih ada berbagai godaan yang kerap
menghampirinya. Setiap godaan itu dalam bentuk tertentu akan menghalangi
dirinya untuk maksud dan tujuan ibadah (Ghazali: 2016: 21-22).
Dalam proses menjalani kehidupan, manusia akan menghadapi godaan
hidup (awaiq), menurut Ghazali godaan ini ada empat macam, dua di
lingkungan ekternal, diluar diri yaitu: dunia dan manusia, sedangkan yang dua
lagi berada di lingkungan internal, di dalam diri, yaitu: nafsu dan setan. Nafsu
dan setan bekerja pada diri kita dalam bentuk khatir yaitu lintasan hati atau
pikiran.
Untuk fokus pada tujuan ibadah tahapan yang harus dilewati ada empat
cara. Pertama, tajarud ‘aniddunya, yaitu membulatkan tekad sehingga
kesenangan dunia tidak menggoyahkan dan melalaikannya. Kedua, menjaga diri
dan selalu waspada agar tidak tersesat oleh godaan orang lain. Ketiga,
memerangi setan dengan segala tipu dayanya. keempat, mampu mengendalikan
hawa nafsu. Keterampilan yang keempatlah dalam hal ini mengendalikan hawa
nafsu yang paling sulit dilakukan, sebab seseorang tidak mungkin mematikan

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 173


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

hawa nafsunya sendiri. Karena seseorang tidak mampu mengendalikannya secara


keseluruhan, dan demikian pula tidak dapat untuk mengekangnya.
Berbagai pikiran merupakan bisikan-bisikan hati seseorang, yang
dapat mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Hal itu dinamakan bisikan-
bisikan (khawatir), karena ia selalu bergerak, menyerupai hembusan angin,
dan lain sebagainya. Pada hakikatnya semua bisikan yang berada di hati
seseorang berasal dari Allah. Bisikan terbagi menjadi empat macam (Ghazali,
2016:100):
1. Isikan yang dijadikan Allah sebagai permulaan dalam hati. Ini
dinamakan suara hati atau khatir. Suara hati awalnya datang dari Allah
terkadang berupa kebaikan, sebab bertujuan memuliakan dan
menetapkan hujjah (bukti otentik), dan terkadang berupa keburukan
sebagai bentuk ujian dan tekanan dari cobaan.
2. Bisikan yang di jadikan Allah sesuai dengan tabiat atau perangai manusia.
Ini dinamakan hawa nafsu karena dinisbatkan pada nafsu. Hawa nafsu
terkadang mengajak kepada kebaikan, namun maksud dibalik kebaikan
itu adalah keburukan.
3. Bisikan yang dijadikan Allah beriringan dengan ajakan malaikat, yang
kemudian dinisbatkan kepadanya. Bisikan ini dinamakan ilham. Bisikan ini
hanya berupa kebaikan, sebab malaikat selalu menginginkan dan mengajak
pada kebaikan dan hanya diutus untuk kebaikan.
4. Bisikan yang dijadikan Allah seiring dengan ajakan dan rayuan setan,
dinamakan waswasah. Bisikan ini hanya berupa keburukan belaka, dan
bertujuan menyesatkan pelakunya, serta menjadikannya hina dina.
Namun terkadang bisikan setan itu berupa kebaikan, sebagai tipu daya
dan upaya secara berangsur-angsur untuk menjerumuskan manusia
kelembah kehancuran.
Tahap 4: Tahap menghadapi rintangan ibadah (‘awaridh)
Setelah mampu mengelola pikirannya dan dorongan-dorongan.
Seseorang berniat kembali untuk melakukan ibadah, namun ternyata di
sekelilingnya masih ada berbagai penghalang yang merintangi dan melalaikan
dalam pelaksanaan ibadah, serta mencegahnya dari pikiran untuk mencapai
maksud yang diinginkan. Bentuk rintangan tersebut adalah (Ghazali, 2016: 25):
1. Rezeki, yang merupakan sesuatu yang selalu dituntut oleh seseorang.
2. Kecemasan, baik yang ditakuti dan diharapkan maupun diinginkan dan
dibenci, padahal seseorang tidak mengerti dampak positif dan negatif, serta
faktor penyebab yang munculpun masih amat samar, dan belum jelas,

174 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

sampai seseorang menyibukkan hatinya tenggelam didalamnya. Akibatnya


ada kemungkinan seseorang terjerumus dalam keterpurukan dan kerusakan.
3. Kesusahan dan musibah yang dialami dari segala penjuru. Apalagi, dia telah
bersiap-siap menentang godaan manusia, melawan keinginan setan, dan
mengekang hawa nafsu. Betapa besar kepahitan yang dialaminya, berapa
banyak kesusahan dan musibah yang dilewatinya, betapa sulit kesedihan dan
kegelisahan yang dicegahnya, dan betapa besar mala petaka yang
ditemuinya.
4. Takdir atau ketetapan Allah, baik yang manis maupun yang pahit, dan yang
cepat atau yang lambat pasti akan menghampirinya. Sering kali hawa nafsu
mendorong kemarahan dan menebar fitnah.
Untuk melewati keempat rintangan ibadah tersebut, seseorang
memerlukan empat cara pula:
1. Bertawakal kepada Allah dalam urusan rezeki.
2. Berserah diri kepada-Nya atas apa yang telah direncanakannya.
3. Bersabar saat tertimpa banyak kesusahan.
4. Ridha atas takdir atau ketetapan-Nya, kemudian seseorang segera berupaya
untuk melewatinya, atas izin Allah dan pertolongannya.
Tahap 5: Tahap pendorong ibadah (bawa’its)
Setelah melewati tahap empat seseorang menyadari bahwa dirinya sangat
lamban dalam melakukan ibadah, lemah, berat, dan malas, serta terdorong
untuk melakukan kebaikan sebagaimana semula, kemudian hawa nafsu
mengantarkannya menjadi pelupa, senang kelezatan, malas, bahkan pemberani
terhadap kejelekan, mara bahaya, berlebih-lebihan, serta kebodohan.
Dengan demikian, seseorang membutuhkan:
1. “Pengemudi”, yang diharapkan mampu mendorongnya untuk berbuat
kebaikan dan ketaatan, serta menstimulasikan dirinya untuk lebih intensif
dalam ibadah.
2. “Pencegah”, yang dimungkinkan dapat menghalanginya dari berbuat
kejelekan dan kemaksiatan, bahkan mencegahnya sama sekali.
“Pengemudi” dan “pencegah” yang dimaksud adalah harapan (ar-raja’) dan
rasa takut (al-khauf). Harapan merupakan pengemudi pahala yang besar dari
Allah, dan berbagai kemuliaan yang dijanjikan. Dengan mengingat kebesaran
pahala akan mendorong seseorang dalam ketaatan, serta menggerakkannya dan
memberikan stimulus pada aktivitas tersebut. Sedangkan rasa takut merupakan
pencegah dari kepedihan siksa Allah, serta kesulitan, dan penghinaan. Tepatnya
kedua hal tersebut merupakan pencegah yang mampu menekan dan

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 175


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

menahannya dalam berbuat maksiat, serta menjauhkannya dari perbuatan dosa


(Ghazali, 2016: 24).
Setelah seseorang berhasil melewati tahap ini, dia kembali melakukan
ibadah, dan tidak lagi melihat sesuatu yang menggangu dan menyibukkannya.
Dia menemukan motivasi sehingga menjadi orang yang rajin mengerjakan
ibadah, dan menunaikannya dengan sebenar-benarnya kerinduan, kecintaan,
serta konsisten untuk melaksanakannya.
Tahap 6: Tahap perusak ibadah (qawadih)
Terkadang seseorang memperlihatkan ketaatannya dalam beribadah
kepada manusia, sehingga sikap ini merusak ketaatan itu sendiri. Kadang pula
seseorang mencegah riya, namun justru yang muncul adalah sikap berbangga
diri atau ujub, sehingga sikap tersebut menghapus pahala ibadahnya secara
keseluruhan, merusaknya, bahkan menghancurkannya. Oleh karena itu sikap
pamer (riya) dan berbangga diri (ujub) merupakan tahapan perusak ibadah
seseorang.
Untuk melewati tahap ini seseorang memerlukan keikhlasan, mengingat
pemberian-Nya, agar Allah menerima amal kebaikan yang dilakukannya. Atas
izin Allah seseorang akan melewati tahap ini dengan sungguh-sungguh, hati-hati
dan waspada atas kebaikan pengawasan Dzat Yang Maha Memaksa (Ghazali,
2016: 26).
Tahap 7: Tahapan pujian dan syukur (al-hamd wasyukr)
Setelah melewati berbagai rintangan, kini timbul masalah baru, yakni
tenggelam dalam kenikmatan yang diberikan oleh Allah, kenikmatan,
kemuliaan, kehormatan membuatnya lupa diri dan kufur. Seseorang menjadi
lalai dan tidak mensyukuri nikmat Allah, karenanya Allah akan melenyapkan
nikmat-nikmatnya yang telah diberikan kepadanya.
Untuk melewatinya seseorang harus melewati tahapan memuji (al-hamd)
dan bersyukur (asy-syukr). Seseorang mulai menghadapi dengan banyak pujian
dan rasa syukur akan segala nikmat-Nya. Jika seseorang selesai melewati tahap
ini maka maksud dan tujuannya akan tercapai. Setelah itu seseorang akan
menemukan kemudahan-Nya, padang pasir kerinduan, dan hamparan cinta-
Nya (Ghazali, 2016: 26).

KONSEP AL-GHAZALI DALAM PSIKOTERAPI


1. Konsep kesehatan mental
Menurut al- Ghazali dalam ihya ‘ulumuddin, kelurusan Akhlak adalah
sehatnya jiwa, dan cenderung miring dari kelurusan itu adalah bencana dan
penyakit jiwa. Jiwa yang sakit adalah jiwa yang melakukan perbuatan keji

176 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

dan akhlak rendah dari jiwa. Dan jiwa yang sehat adalah jiwa yang menarik
keutamaan dan akhlak yang baik pada jiwa.
2. Konsep psikoterapi
Dalam ihya ‘ulumuddin, Penyakit hati tidak mungkin dapat diobati kecuali
dengan obat-obatan yang diambil dari syariat agama, seperti tugas-tugas
ibadah dan amalan-amalan yang disusun oleh nabi-nabi untuk perbaikan
hati. Dan penyakit hati tidak cukup diobati dengan ilmu akal saja.
3. Konsep Tahapan terapi al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin
Al-Ghazali juga menyusun tahapan terapi dengan cara sistematis dan
terstruktur dalam Minhajul ‘Abidin, yaitu:
Tahap 1: ilmu
Tahap 2: taubat
Tahap 3: menghadapi godaan ibadah (‘awaiq)
Tahap 4: menghadapi rintangan ibadah (‘awaridh)
Tahap 5: pendorong ibadah (bawa’its)
Tahap 6: perusak ibadah (qawadih)
Tahap 7: pujian dan syukur (al-hamd wasyukr)
4. Teknik terapi al-Ghazali
a. Teknik imajeri
Al-Ghazali mengobati penyakit hati diantaranya adalah mengajak
seseorang untuk membayangkan dalam pikirannya perilaku yang buruk
dan mengubahnya dengan perilaku yang baik. Misalnya prilaku sombong,
Ghazali meminta orang tersebut mengimajinasikan dirinya menjadi orang
yang tawadhu’.
b. Teknik perilaku berkebalikan
Obat penyakit hati adalah kebalikannya, al-Ghazali meberikan perlakuan
kepada pemilik penyakit hati dengan merubah perilaku kebiasaan
buruknya dengan perilaku baru yang lebih adaptif, seperti apabila
seseorang itu pelit maka terapinya adalah bersedekah, apabila pemarah
terapinya adalah sabar, rakus maka terapinya adalah qona’ah.
c. Teknik pekerjaan rumah
Untuk menguatkan perilaku positif dan membersihkan hati al-Ghazali
memberikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan sehari-hari, seperti zikir
pagi-sore, zikir harian, puasa, sholat sunnah, doa-doa dan membaca
quran.
d. Teknik kognitif

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 177


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

Memperhatikan perjalanan khatir, apakah itu khatir baik ataupun khatir


buruk, beliau membuat dengan sistematis cara membedakan kedua khatir
tersebut (Ghazali, 2016:101):.
Membedakan khatir baik dan buruk:
a) Menyesuaikan bisikan hati itu dengan hukum syariat, jika ternyata
cocok berarti itu tergolong bisikan baik, sebaliknya jika itu tidak
cocok maka termasuk bisikan buruk.
b) Membandingkan dengan amalan shalihin, jika cocok berarti katagori
baik, begitu juga sebaliknya.
c) Membandingkan dengan hawa nafsu, jika hawa nafsu menolak
dengan tolakan menurut tabiatnya dan bukan karena takut kepada
Allah, berarti khatir baik. Sebaliknya, jika nafsu menyukainya
menurut tabiatnya dan bukan mengharap ridho Allah, berarti khatir
buruk. Sebab hawa nafsu selalu mengajak pada keburukan bukan
kebaikan.
Membedakan khatir dari setan (waswasah) dan khatir keburukan hawa
nafsu. Jika kita ingin mengetahui perbedaan bisikan atau khatir buruk
yang datang dari setan atau dari hawa nafsu, dengan bisikan pertama
sebagai ujian, maka perhatikan tiga hal berikut (Ghazali, 2016:101):
a) Apabila keadaanya kuat dan tidak berubah-ubah, hal itu ada kalanya
datang dari Allah atau dari hawa nafsu. Dan jika maju mundur tidak
menentu atau keraguan dan kebimbangan, berarti dari setan.
Sebagian shalihin menerangkan bahwa nafsu itu ibarat macan. Bila
menerjang, ia pantang mundur, kecuali dengan tolakan hebat, ia
akan kalah, atau ibarat khariji yang berperang membela agama,
pantang menyerah hingga syahid dalam medan laga. Sedangkan
setan ibarat serigala, jika diusir dari satu arah, ia akan datang dari
arah yang lain.
b) Jika bisikan buruk datang setelah seseorang melakukan perbuatan
dosa, berarti datang dari Allah sebagai siksaan atas perbuatannya.
Apabila bisikan itu datangnya tiba-tiba, yakni sebelum seseorang
melakukan perbuatan dosa, berarti bisikan itu datang dari setan.
Demikianlah pada umumnya. Karena, setanlah yang pertama-tama
membujuk, kemudian menyesatkan manusia.
c) Apabila bisikan tidak berkurang dan tidak menjadi lemah dengan
dzikrullah, dan tidak bisa hilang, berarti bisikan itu datang dari hawa
nafsu. Tetapi, jika berkurang, atau dengan dzikrullah menjadi
lemah, berarti bisikan itu dari setan.

178 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

Membedakan khatir dari Allah dan khatir dari malaikat atau ilham
(Ghazali, 2016:101):
Apabila kita ingin mengetahui, mana kebaikan dari Allah dan mana yang
dari malaikat, tinjaulah tiga segi:
a) Jika bisikan itu memantapkan hati dan memberikan kebijaksanaan,
berarti datang dari Allah. Dan apabila berubah-ubah, berarti datang
dari malaikat. Sebab malaikat hanya sebagai penasihat. Ia menyertai
manusia pada tiap-tiap kebaikan dan memberikan petunjuk kepada
manusia dengan harapan agar suka melaksanakan kebaikan.
b) Bila bisikan baik mengiringi kesungguhan seseorang dalam taat
beribadah, berarti datang dari Allah.
Apabila bisikan tersebut mengenai hal pokok (I’tiqad) dan amalan batin,
berarti itu dari Allah. Jika mengenai furu’ (cabang) dari ilmu lahir, pada
umumnya dari malaikat. Sebab, malaikat tidak dapat mengetahui secara
mendalam mengenai batin hamba Allah.

METODE PENELITIAN/METODE KAJIAN


1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan Riset kepustakaan (Library Research) atau
sering juga disebut studi pustaka, yang merupakan serangkaian kegiatan
yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian (Mestika. Zed, 2004:3).
2. Sumber Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam. Pertama, sumber data
primer, dalam penelitian pustaka ini sumber primernya adalah karya Al
Ghazali, yaitu kitab Minhajul Abidin. Kedua, sumber data sekunder.
Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini, Merupakan data-data
yang digunakan sebagai pendukung dari data primer, berupa buku-buku,
jurnal dan karya ilmiah lainnya.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode dokumentasi. Metode Dokumentasi adalah mencari
data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan lain sebagainya.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi dan komparasi. Analisis isi adalah metode yang digunakan untuk
menganalisis teks, sifatnya terus terang dan mengandung makna yang

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 179


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

tersurat. Sedangkan analisis komparasi membandingkan objek penelitian


dengan konsep pembanding. Dalam penelitian ini akan menghasilkan dua
kemungkinan. Kesimpulan menyatakan bahwa konsep yang diteliti sama
dengan konsep pembandingnya atau kesimpulan yang diteliti menyatakan
ketidak samaan penelitian (Mestika. Zed, 2004:3).

HASIL DAN PEMBAHASAN (FINDING RESEARCH)


Minhajul ‘Abidin Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), keduanya
memiliki kesamaan prinsip dasar tetapi berbeda dalam basis keilmuan, REBT
berbasis pada rasional, sedangkan Minhajul ‘Abidin berbasis rasional religius.
Kesesuaian tersebut bisa kita lihat dalam beberapa hal.
1. Minhajul ‘Abidin memenuhi kriteri pada psikoterapi modern, dikarenakan
kesuaiannya dengan kriteria tersebut. Pertama, interkasi sistematis. Al-
Ghazali menyusun Minhajul ‘Abidin sangat sistematis dan terstruktur, ini
dapat dibuktikan dengan adanya tahapan-tahapan yang harus dilakukan
secara berurutan dalam tujuh tahapan, yaitu: tahap ilmu, tahap taubat,
tahap menghadapi godaan ibadah (‘awaiq), tahap menghadapi rintangan
ibadah (‘awaridh), tahap pendorong ibadah (bawa’its), tahap perusak ibadah
(qawadih), Tahap pujian dan syukur (al-hamd wasyukr).
Kedua. Prinsip psikologis. Dalam hal ini al-Ghazali menggunakan istilah
hati, dan keajaiban-keajaibanya, serta apa yang membuat hati menjadi sehat
dan apa saja yang dapat membuat hati menjadi sakit.
Ketiga, tingkah laku, pikiran dan perasaan. Al-Ghazali juga memusatkan
perhatian untuk membantu seseorang untuk mengadakan perubahan-
perubahan ahlak (perilaku), ilmu (kognitif), dan hati dan lintasannya
(emosi). Keempat, tingkah laku abnormal, memecahkan masalah dan
pertumbuhan pribadi adalah permasalah yang diabantu diatasi. Dalam
Minhajul ‘Abidin, abnormal adalah cacatnya hati, sedangkan memecahkan
masalah adalah bagaimana cara seseorang melewati rintangan ibadah
(‘awaridh) seperti; kesulitan rezeki, kecemasan, kesusahan dan takdir baik
maupun buruk. Untuk pertumbuhan pribadi, menjaga pentingnya kualitas
ibadah dengan mengenal pendorong ibadah (bawa’its), dan perusak ibadah
(qawadih).
2. Gangguan disebabkan oleh pikiran irasional. Irasional adalah sesuatu yang
bertentangan dengan akal sehat, akal yang sehat menurut ghazali adalah
adanya kesesuaian dengan nilai-nilai syariat. Seperti bisikan-bisikan hati
(khawatir),menjadi tidak rasional bila seseorang menuruti bisikan nafsu dan
bisikan setan.

180 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

3. Reaksi emosi terhadap kejadian-kejadian hidup dan tidak menyenangkan


dapat menjadi emosi-emosi yang tidak sehat dan sehat. Kejadian-kejadian
tidak menyenangkan dikatagorikan dalam rintangan ibadah, dan berikut
emosi yang muncul.

Rintangan Ibadah Emosi-emosi negatif Emosi-emosi positif


(‘awaridh)

Kekurangan rezeki Putus asa Tawakal


Terhadap rencana Cemas Berserah diri (tafwidh)
Musibah Tertekan Sabar
Takdir buruk Marah Ridha

4. Kesamaan teknik terapi yang digunakan REBT dan Al-Ghazali, baik itu
teknik imajeri, teknik perilaku berkebalikan, teknik pekerjaan rumah dan
teknik kognitif.
5. Mengatasi pikiran-pikiran yang mengganggu dengan Model ABCDE, dan
Minhajul ‘Abidin mengatasi pikiran atau khatir bisa disesuaikan dengan
model ABCDE.
A: Activating event, dua cobaan ibadah yaitu dunia dan manusia. Serta
empat rintangan ibadah.
B: Belief, keyakinan irasional yang bersumber dari hawa nafsu dan setan.
C: Conscenquence, mengakibatkan kesusahan dan kepayahan.
D: Disputing, mendebatkan dengan syariat, perilaku salafus soleh, dan
fokus tujuan ibadah.
E: Efeftive, efektif meraih pertolongan Allah.
6. REBT dan Minhajul ‘Abidin sama-sama memahami bahwa salah satu cara
untuk menanggulai gangguan adalah dengan bekerja keras, gigih, kadang-
kadang seumur hidup, dan dengan berlatih untuk berfikir, dan al-Ghazali
menambahkan dengan senantiasa menuntut ilmu dan tetap menjalankan
kewajiban syariat untuk selalu mendapatkan pertolongan Allah.

PENUTUP
Kesimpulan
Konsep dalam Minhajul ‘Abidin sangat relevan untuk dijadikan
psikoterapi modern, setelah meninjau kesesuaian terhadap psikoterapi modern

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 181


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

dalam hal ini Emotive Behavior Therapy (REBT), model dan konsep ini bisa
diaplikasikan dalam psikoterapi dengan keunggulan memiliki pendekatan yang
sangat kental dengan wawasan sufistik, oleh karenanya Minhajul ‘Abidin relevan
untuk disebut psikoterapi sufistik.

Saran
1. Model Minhajul ‘Abidin direkomendasikan untuk klien yang sangat religius
yang membutuhkan psikoterapi.
2. Terapis bisa menyisipan dan mengkolaborasikan sebagian teknik-teknik al-
Ghazali dengan teknik-teknik psikoterapi lainnya.
3. Penelitian ini merupakan kajian awal yang berupa studi pustaka diharapkan
penelitian selanjutnya menggunakan penelitan eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam. Ihya ‘ulumuddin Jilid III-IV, diterjemahkan olehTengku
Haji Ismail Yaqub, Medan: Imballo, 1964.
Al-Ghazali, Imam. Minhajul ‘Abidin, diterjemahkan oleh M. Rofiq,Yogyakarta:
Diva Press, 2016.
Bastaman, H.D. Logoterapi Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan
Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
Hidayat, Eyet. Pengaruh Cognitive behavior Therapy (CBT) dan rational
Emotive Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku Kekerasan dan Harga
Diri Rendah Di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok:
Universitas Indonesia, 2011.
Koenig, H. G. Religion, spirituality, and health: The research and clinical
implications. ISRN Psychiatry. 2012.
http://www.hindawi.com/journals/isrn/2012/278730/abs/
Palmer, Stephen (ed). Konseling dan Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Putranto, A. Kasandra. Aplikasi Cognitive Behavior dan Behavior Activation
Dalam Intervensi Klinis, Jakarta: Grafindo Books Media, 2016.
Rosmarin, D. H., Bigda-Peyton, J. S., Kertz, S. J., Smith, N., Rauch, S. L., &
Björgvinsson, T. A Test Of Faith In God And Treatment: The
Relationship Of Belief In God To Psychiatric Treatment Outcomes.
Journal of Affective Disorders, 146, 441-446. 2013.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jad.2012.08.030
S. Crabtree and B. Pelham, World Gallup Poll: Religion Provides
Emotional Boost to World's Poor, The Gallup Poll, 2009,

182 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Relevansi Psikoterapi Sufistik Dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi Modern
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

http://www.gallup.com/poll/116449/Religion-Provides-Emotional-
Boost-World-Poor.aspx.
Semiun, Yustinus. OFM. Kesehatan Mental 3, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Supratiknya. A. Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Weisman de Mamani, A., Weintraub, M. J., Gurak, K., & Maura, J. A
randomized clinical trial to test the efficacy of a family-focused, culturally
informed therapy for schizophrenia. Journal of Family Psychology, 28,
800-810. 2014. Advance online publication.
http://dx.doi.org/f10.1037/fam0000021
Zed, mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Jakarta,
2008.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 183


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Ricky Firmansyah

184 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


SUFISME AL-GHAZALI DI TENGAH TANTANGAN
HEGEMONI MODERNISME BUDAYA GLOBAL

Dalmeri
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
dalmeri300@gmail.com

Abstract
Progress in science and technology developments, science but to the point where
the problems were becoming increasingly complex. Narrative of the lives of men
directed to flow from one form of desire to form the release of the release of
desire from one form of satisfaction to the satisfaction from one image to image
next without break. In the perspective of the other, the terms of political
discourse, economy, social culture, and the media in the global community
having a tendency lost his role as that of moral values. There are symptoms of
and vigor of deconstruction, that produces antagonism moral. This fact
demanding modern man to do spiritual enlightenment to more keep harmony
life, good to nature as well as with a fellow human being.Related to this graph,
the role of sufism who presents values affection, peace, and equlity. Through
sufism, humans can control a machine of her desire revved up driven at high
speed by global capitalism. Sufism al-ghazali dialogue with Various religions,
variety of spirituality and all of which actually unreligion today in dealing with
problems of grew up together dehumanity. That is why sufism al-ghazali can
play role as a door modern man to enter at universal harmony, something that
fails to offered by that emphasize exoteric formalism. The significance to sufism
today not only on formal piety but they even especially on ethics in the middle
of the hegemony of global culture as. This study attempted to analyze
historically with the approach philosophical about khazanah sufism al-ghazali in
responding to the challenge the hegemony of global culture.
Keywords: Sufism, tharekat, spirituality, diversity, harmonization

185
Dalmeri

Abstrak
Kemajuan ilmu pengetahuan dan sains teknologi yang pesat, namun
memunculkan problem yang makin rumit. Narasi kehidupan manusia
diarahkan untuk mengalir dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentuk pelepasan
hasrat dari satu bentuk kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra
berikutnya, tanpa henti. Pada segi yang lain, wacana politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan media dalam masyarakat global memiliki kecenderungan
kehilangan perannya sebagai pengemban nilai-nilai moral. Ada gejala dan
semangat dekonstruksi, yang menghasilkan antagonisme moral. Kenyataan ini
menuntut manusia modern untuk melakukan pencerahan spiritual guna lebih
menjaga harmoni kehidupan, baik dengan alam maupun dengan sesama
manusia. Terkait dengan gejala ini, peran sufisme yang menyajikan nilai-nilai
kasih sayang, perdamaian, dan kesahajaan. Melalui sufisme, manusia dapat
mengendalikan mesin hasratnya yang dipacu kencang oleh kapitalisme global.
Sufisme Al-Ghazali membuka kemungkinan dialog dengan berbagai ragam
spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya
dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitua ncaman kemanusiaan.
Karena itu, sufisme Al-Ghazali dapat berperan sebagai pintu manusia modern
untuk masuk pada universal harmony, sesuatu yang gagal ditawarkan oleh
keberagamaan yang hanya menekankan formalisme-eksoterik. Signifikansi
sufisme dan tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru
terutama pada etika di tengah hegemoni budaya global. Penelitian ini berupaya
untuk menganalisi secara historis dengan pendekatan filosofis tentang khazanah
sufisme Al-Ghazali dalam merespon tantangan hegemoni budaya global.
Kata kunci: sufisme, tarekat, spiritualitas, keberagaman, harmoisasi

PENDAHULUAN
Dinamika sejarah Umat Islam memuat pro kontra atau kritik yang cukup
tajam terhadap sufisme, lebih khusus tarekat. Para pemikir Islam yang
cenderung literalis dan legalis menentang praktek-praktek sufi karena dianggap
menyediakan sarana bagi keyakinan-keyakinan non-Islam (Belhaj 2013: 83).
Opisisi terkuat terhadap tarekat datang dari gerakan Wahabiyah yang
mengkritik keras tarekat karena dinilai memperkukuh kepercayaan takhayul
yang berakar kuat dalam masyarakat awam (Dahlan et al. 2013: 69).
Tidak sedikit para peneliti Barat yang mempunyai pandangan bahwa
tarekat adalah gerakan yang dipastikan akan merosot, karena negara-negara
muslim telah mengikuti model-model pembangunan Barat, dan kaum elit
186 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

terpelajar telah meninggalkan bentuk-bentuk organisasi religius tradisional.


Penilaian dan kritik tajam dari Arthur John Arberry merupakan representasi dari
pandangan tersebut. Dia dengan keras mencela kebobrokan tarekat di Mesir dan
menyebut shaykh-shaykhnya sebagai kekuatan jahat yang melakukan konspirasi
untuk menipu rakyat (Arberry 2002: 152). Clifford Geertz, mengungkapkan
pandangan serupa bahwa tarekat-tarekat hanyalah perkumpulan mistik yang
cenderung rahasia yang diliputi oleh ilmu kekebalan, uji kekuatan, dan puasa
berkepanjangan, di mana eksistensinya telah merosot sejak bangkitnya
modernisme Islam (Geertz 1976: 328-329).
Barangkali hal yang patut dipersoalkan, apakah penilaian minor semacam
itu masih cukup bisa dipercaya untuk konteks awal abad ke-21 atau era
Millenium sekarang ini? Tampaknya penilaian semacam itu tidak bisa lagi
dipertahankan. Sekarang ini fenomena sufisme dan tarekat telah berkembang
makin luas, beragam aliran, tersebar di seluruh benua (Bruinessen and Howell
2013: 6). Para sarjana yang mengadakan kajian lebih belakangan menyatakan
penilaiannya yang simpatik. John O. Voll misalnya, mengemukan bahwa tarekat
justru semakin kuat secara menakjubkan di sebagian besar dunia Islam dan
dalam komunitas muslim tempat mereka menjadi minoritas. Perubahan yang
terjadi pada akhir abad ke-20, tradisi-tradisi tarekat sufi memiliki kekuatan
khusus dalam situasi yang mengandung derajat pluralitas keagamaan yang
demikian tinggi (Esposito 1999: 236). Sementara itu, Martin van Bruinessen
berpandangan bahwa meskipun tarekat merupakan gejala keagamaan yang
hidup subur di kawasan pedesaan, ia tetap bertahan, lalu menyebar ke kota-kota
dan diminati oleh sejumlah birokrat dan kalangan terdidik. Bagi sebagian orang,
terakat mempu memberikan kehangatan perlindungan yang tidak didapatkan di
tempat lain. Memudarnya masyarakat tradisional tidak menyebabkan
kemunduran tarekat, tetapi memberikan kepadanya fungsi-fungsi sosial baru
serta kalangan pengikut baru (Bruinessen 2013: 206).
Dari gambaran di atas jelas bahwa kubu pertama, outsider perspective,
menyerang sufisme dan tarekat serta memandangnya sebagai tidak punya masa
depan. Sedangkan mereka yang masuk kelompok kedua, memberikan apresiasi
positif atas fungsi tasawuf dan peran nyata sufisme yang dikembangkan dari
tasawuf Al-Ghazali berkembang pesat ditengah pusaran modernisasi dan
hegemoni budaya budaya global. Penelitian ini beruoaya untuk memperkuat
pandangan pihak yang pro, insider perspective, dengan menampilkan khazanah
sufisme Al-Ghazali dengan metode penelitian analisis historis yang mengunakan
pendekatan filosofis.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 187


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

RIWAYAT HIDUP DAN PERJALANAN INTELEKTUAL AL-GHAZALI


Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn Muhammad at-Tusi Al-Ghazali. Ia lahir dan dibesarkan di
Tus, kini dekat Masyhad, sebuah kota kecil di Khurasan (Janssens 2011: 115),
sekarang Iran pada tahun 450/451 H / 1058/1059 M. Karena itulah dia adalah
termasuk orang Persia asli (Treiger 2011: 698).
Al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana, bahkan ada peneliti
yang mengemukakan kalau kehidupan Al-Ghazali malah miskin. Ayahnya
bernama Muhammad adalah seorang pengrajin yang bekerja memintal wol dan
menjualnya melalui tokonya sendiri. Keadaannya itu menjadikannya gemar
menjalani kehidupan sufistik. Meski demikian, ayahnya adalah seoarang pecinta
ilmu yang mempunyai cita-cita besar bagi pendidikan anaknya (Janssens 2011b:
615). Ayahnya berharap anaknya kelak menjadi orang besar yang memiliki
pengetahuan yang luas dan banyak, tidak seperti dirinya.
Sadar akan kedua hal yang berbeda itu, maka menjelang ajal
menjemputnya, anaknya itu, Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad dititipkan
kepada sehabat dekatnya, seorang sufi (tidak ada nama jelas mengenainya) untuk
didik. Pelajaran awal yang diterima Al-Ghazali bersaudara antara lain meliputi
Al-Qur’an, Al-Hadis, serta mendengar kisah tentang ahli hikmah dan menghafal
puisi cinta mistis (Baldwin 2014: 167).
Pendidikan awal bersama tokoh sufi ini ditempuhnya sampai bekal dari
orang tuanya habis. Kemudian mereka dikirim ke sebuah madrasah setempat
untuk belajar Fiqh Syafi’i dan Teologi Asy’ariyah dari seorang guru bernama
Ahmad ibn Muhammad al-Radzkani al-Tusi (Levering 2011: 56). Pada masa
inilah awal Al-Ghazali bergumul secara intens dengan dunia ilmu yang
dijalaninya sampai akhir hayatnya. Dengan demikian, mulai dari situlah dia
memperlihatkan semangatnya yang menggelora untuk mencari dan mendalami
ilmu. Karena itu, dimulailah perjalanan, pencarian dan pendalaman segala ilmu
yang berkembang pada masanya.
Setelah menempuh pendidikan awal dan dasar di tempat kelahirannya, ia
tidak berhenti. Pada saat usianya yang kurang dari 20 tahun ia melanjutkan
studinya ke Jurjan di Mazardaran, tenggara Laut Kaspia untuk mendalami Fiqh
(kembali) di bawah bimbingan Abu Nasr al-Isma’ili (Munir 2014: 145).
Menurut satu sumber, di tempat tersebut, ia juga sempat mendalami bahasa
Arab dan Persia (Mohamed 2011: 634). Saat berusia 17 tahun, sebelum
melanjutkan studinya ke Naisapur, dari Jurjan ia kembali (dulu) ke Tus.
Sekembalinya tersebut ia mengkaji ulang pelajaran-pelajaran yang diterimanya

188 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

di Jurjan (Syofrianisda and Abduh 2017: 71). Selama itu pula dia sempat
mempelajari Tasawuf dari Yusuf Nassaj (W. 487 H).
Setelah kurang lebih tiga tahun berada di tempat kelahirannya, Al-Ghazali
dalam usianya yang ke 20 pergi ke Naisapur, masih wilayah Khurasan salah satu
daerah terpenting sebagai pusat pemikiran pada dunia Islam ketika itu untuk
berguru pada Maha Guru di tempat tersebut, Al-Juwaini (419-478 H / 1028-
1085 M) yang bergelar Imam al-Haramain (Corbin, Sherrard, and Sherrard
2014: 272). Di sini pula Al-Ghazali diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu
yang berkembang ketika itu, seperti Teologi, Logika, Filsafat, Metode berdiskusi
dan lain-lain (Garden 2011: 582). Di antara murid-murid al-Juwaini, Al-
Ghazali adalah yang paling menonjol, sehingga dalam usianya yang masih muda
sudah mampu mengarang buku dalam bidang metodologi dan teori hukum
(Ushul Fiqh), al-Mankhul fi ‘Ilmil Ushul (Habibi 2016: 76).
Penting untuk dicatat, mulai dari sini bahwa dasar pengetahuan awal Al-
Ghazali adalah Fiqh Syafi’i, Tasawuf dan Teologi Al-Asy’ari. Dalam sejarahnya,
Syafi’i adalah seorang Faqih (dan Muhaddis juga) yang berusaha mengambil
jalan tengan antara Fiqh yang berwatak rasional, Hanafi dan tradisional, Maliki.
Syafi’i mencoba mensintesakan antara dua titik ekstrim tersebut. Hasil dari
sintesa itulah yang kemudian menjadi corak mazhab Syafi’i. Begitupun dengan
Asy’ariyah. Mainstream awal yang bercorak demikian itu yang kelak
mempengaruhi karir intelektual Al-Ghazali (AS 2016: 3). Selain itu juga perlu
dikemukakan bahwa falsafah yang diterima Al-Ghazali dari guru yang sangat
berpengaruh tersebut adalah falsafah yang ‘dibaca’ dengan ‘kacamata’ kalam.
Sebenarnya hal ini karena Al-Juwaini bukan seorang Filosof. Meskipun
demikian Al-Juwaini berusaha memadukan kedua ilmu tersebut yang ketika itu
saling berkompetisi (Hodgson and Rogers D. Spotswood Collection. 1974:
179).
Al-Ghazali tinggal di Naisapur sampai gurunya wafat pada tahun 478 H /
1085 M. Berawal dari situ, dia pindah ke Mu’askar dan kemudian ke Baghdad
bergabung di perguruan Nizamiyyah (Hitti 2002: 412). Barangkali karena
kecerdasannya yang luar biasa, ia diangkat menjadi guru besar dalam bidang
Fiqh dan Teologi ketika usianya masih relatif muda, 33 tahun. Dia mengajar
dan menjadi direktur perguruan tersebut selama empat tahun sebelum akhirnya
meninggalkan Baghdad (Michot 2013: 132).
Ada beberapa hipotesis mengapa Al-Ghazali meninggalkan Baghdad.
Pertama; adalah faktor psikologis semata. Al-Ghazali sudah merasa tidak tenang
tinggal di suatu tempat di mana kehidupan kedunawian sangat mencolok.
Kepergian Al-Ghazali adalah sebagai bentuk protes pada keadaan tersebut.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 189
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

Kemudian dalam pengakuannya kemudian, ia mengaku mempunyai


perkembangan spiritual yang unik. Kedua; karena faktor politik. Al-Ghazali
meninggalkan Baghdad karena sudah tidak disenangi lagi oleh penguasa Saljuq
yang baru, Barkiyaruk. Ketiga; berdasarkan pertimbangan agama. Sikap tersebut
diambil untuk menghindari penilaian orang dan masyarakat lebih jauh
mengenai kedudukan dalam perguruan, yaitu suatu anggapan bahwa kedudukan
tersebut adalah yang paling tinggi. Kempat; karena pertentangan mazhab
(Garden 2014: 64). Al-Ghazali khawatir, sebab ketika itu ia telah menyerang
salah satu mazhab Batiniah. Ketika itu telah terjadi serentetan pembunuhan
terhadap para tokoh dan ulama. Dari beberapa hipotesis tersebut, sebagaimana
pengakuan Al-Ghazali sendiri, yang paling mengena adalah karena alasan agama
(Arberry 2011: 86).
Maka dimulailah petualangan Al-Ghazali, dengan sangat hati-hati agar
tidak meninggalkan jejak yang mencurigakan dari semua pihak, baik para
pembesar maupun rakyat Al-Ghazali keluar dari Baghdad pada tahun 1095
dengan sebelumnya melepas karirnya sebagai ahli hukum, teolog dan dosen
universitas serta membagi-bagi kekayaan yang selama ini dimilikinya, kecuali
sedikit untuk keluarganya.
Arah pertama yang dituju adalah Damaskus, Syria. Mengapa ke tempat
ini, tidak ada keterangan yang jelas. Di kota ini Al-Ghazali tinggal selama
kurang lebih dua tahun. Ia hidup sebagai orang miskin. Hari-harinya dipenuhi
dengan berkhalwat, melatih batin dan berjuang melawan hawa nafsu. Tidak
puas berkhalwat di Damaskus, maka pada tahun 490 H/1098 M, Al-Ghazali
pergi ke Yerusalem. Ia berharap di ‘negeri’ para nabi tersebut mendapat
kebebasan dari kebingungan. Mulai dari situ, Al-Ghazali sudah mulai
menampakkan keseimbangannya kembali. Namun karena adanya serangan
perang Salib, Al-Ghazali meninggalkan kota tersebut menuju Mesir, kota pusat
kedua bagi peradaban Muslim setelah Baghdad. Dari Mesir Al-Ghazali
meneruskan perjalanan ke Iskandariah dan akan ke Maroko atas undangan
Muhammad ibn Tumarts -salah seorang muridnya yang telah berhasil merebut
kekuasaan dari Murabitun. Niat ke Maroko, tanpa alasan yang jelas diurungkan
dan perjalanan di arahkan ke Makkah dan Madinah. Al-Ghazali berharap
dengan tinggal dan melakukan ibadah pada dua tempat tersebut dapat
menenteramkan hatinya, menghilangkan segala kebimbangan dan kembali
mempunyai pegangan hidup (Syofrianisda and Abduh 2017: 70).
Petualangannya berakhir pada tahun 499/1105 setelah
mendapatkan’pegangan’ dan jalan kebenaran yang dianggapnya paling selamat.
Petualangannya itu berjalan kira-kira selama 10 tahun. Ketika ia pulang sudah
190 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

terjadi pergantian kepemimpinan dalam dinasti Saljuk. Kepulangannya tidak


langsung mengajar kembali. Dan atas ajakan dari putra Nizam al-Mulk serta
kolega-koleganya, Al-Ghazali diminta kembali untuk mengajar di perguruan
Nizamiyah. Selama kira-kira tiga tahun ia memangku kembali jabatan yang
pernah ditinggalkannya itu, sampai karena alasan yang tidak jelas juga, ia
kembali ke tempat kelahirannya, Tus (Chittick 2014: 229). Di tempat asalnya
tersebut Al-Ghazali mendirikan madrasah Fiqh dan kelompok sufi sekaligus
bertindak sebagai pengajarnya. Al-Ghazali meninggal pada 19 Desember 1111.
Dari gambaran perjalanan Al-Ghazali tersebut, tampak bahwa dia telah
menjalani suatu kehidupan dengan pengalaman yang unik, dari seorang yang
giat mencari dan mendalami segala ilmu dan mendapatkan kedudukan tinggi
dan terhormat dengan fasilitas yang memadai dengan ilmunya tersebut,
kemudian menjalani kehidupan yang berlawanan dari semuanya itu. Ia bukan
hanya seorang pencari ilmu an sich tapi juga adalah pencari kebenaran
(epistemologis) yang hakiki. Ilmu-ilmu yang didapatkan bukan hanya
dikuasainya secara paripurna, tapi juga sekaligus mempertanyakan kembali
kebenaran-kebenaran yang dicapai oleh ilmu tersebut dan kegunaannya untuk
mendekat pada Allah.

SITUASI POLITIK PADA MASA AL-GHAZALI


Al-Ghazali lahir tiga tahun sebelum berahirnya kekuasaan Dinasti
Buwaihiyah yang Syi’ah atas kekhilafahan Sunni di Baghdad. Daerah tempat di
mana Al-Ghazali lahir adalah salah satu dari propinsi pemerintahan Abbasiyah
yang ber-ibukota di Baghdad (Hitti 2002: 330). Perjalanan sejarahnya, daerah
tempat kelahiran Al-Ghazali, sebelum ditaklukkan oleh Islam adalah tempat di
mana masyarakatnya menganut agama yang beragam, terutama adalah
Zoroaster, disamping Yahudi, Kristen bahkan Budha dan pusat gerakan
Isma’iliyyah (Bullet 1999: 15).
Masa Al-Ghazali lahir adalah kurun di mana pemerintahan pusat sedang
mengalami dis-integrasi. Banyak bermunculan negara-negara kecil yang ingin
memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Bahkan salah satu negara bagiannya,
Buwaihi yang ada di Iran pernah menguasai ibu kota negara (Baghdad) dan
mengganti ‘idiologi’ negera dari Sunni ke Syi’i. Dinasti Buwaihi ini adalah salah
satu bagian dari Dinasti Abbasiyah yang paling kuat dan luas wilayahnya
dibanding dengan dinasti-dinasti lain (Bosworth 1996: 104). Pendiri dinasti ini
berasal dari Daylam. Sebagaimana orang Daylam pada umumnya, dinasti ini
menganut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan dalam teologi menganut Mu’tazilah
(Akasoy 2012: 36). Dinasti Buwaihiyah berakhir ketika dikalahkan oleh orang-
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 191
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

orang Saljuq di bawah pimpian Tughril Beg (w 455 /1063) pada 18 Desember
1037. Tughril Beg sendiri adalah seorang cucu dari Saljuq (Lane-Poole 1986:
150).
Pada masa kekuasaanya, Tughril berusaha menguasai beberapa propinsi
yang ada di sebelah timur imperium Abbasiyah. Bahkan Baghdad akhirnya
berada di bawah kendali politik dan militer Tughril. Setelah menguasai ibu kota
negara pusat, Baghdad, Tughril segera mengganti ‘idiologi’ negara dari Syi’ah ke
Sunni (kembali). Meski demikian dalam teologi masih menganut Mu’tazilah,
terutama ketika Perdana Menterinya Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur al-
Kunduri (416-456), seorang Mu’tazili sehingga tokoh-tokoh Asy’ariyah ketika
itu menjadi sasaran penangkapan (Hodgson and Rogers D. Spotswood
Collection. 1974: 176). Al-Juwaini adalah salah seorang dari mereka yang masuk
‘daftar hitam’ pencarian pemerintah tersebut. Hal ini memaksanya hidup dalam
pengasingan di Makkah dan Madinah. Karena itu ia dijuluki Imam al-Haramain
(Imam of the Holy Cities). Al-Juwaini menghabiskan waktunya untuk mengajar
di dua tempat tersebut selama empat tahun.
Pengejaran terhadap orang-orang Asy’ariyah berhenti ketika Tughril Beg
meninggal dan digantikan oleh keponakannya, Alp Arselan dengan Perdana
Menteri Nidzam al-Mulk (1063-1072 M). Nidzam al-Mulk adalah seorang
Asy’ariyah tulen. Karena itu ketika ia menjadi Perdana Menteri, al-Juwaini
dipanggil kembali ke Naisapur untuk mengajar kembali. Nidzam al-Mulk
adalah seorang Birokrat-Intelek. Pada masa kepemimpinannya, disamping
menghidupkan kembali aliran Asy’ariyah juga mendirikan beberapa madrasah.
Metode pengajarannya, madrasah atau perguruan tersebut lebih mengutamakan
bidang Fiqh Syafi’i dan Teologi Asy’ariyah.
Alp Arselan terus meluaskan pengaruhnya. Ia berhasil mengalahkan
Khatlan, Herat dan Sighanyan serta Byzantium dalam pertempuran di
Manzikart pada tahun 1071. Pada saat itulah ia menerapkan sistem
pemerintahan Islam (Dar al Islam, abode of Islam) bagi dinastinya dan Darul
Harb bagi ‘negara’ non Muslim (Grunebaum 1996: 154). Setelah Alp Arselan
meninggal pada tahun 1072, kepemimpinan Saljuq dipegang oleh anaknya
Malikshah (1072-1092) dengan Perdana Menteri yang sama. Pada masa
kepemimpinannya penyerangan terhadap kaum Kristen di Barat dilanjutkan.
Pada masa kedua pemimpin itulah Saljuq mencapai puncak kejayaannya.
Kekuasaannya merentang dari Asia Tengah dan perbatasan India hingga Laut
Tengah dan dari Kaukasus dan laut Aral hingga teluk Persia. Setelah itu, Saljuq
berangsur-angsur mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan
kekuasaan atau tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang
192 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

dilancarkan oleh golongan Batiniah, sampai kemudian runtuh. Dinasti ini


berkuasa kira-kira 90 tahun.
Pada saat yang bersamaan, yaitu ketika Saljuq sedang menanjak
kekuasaannya, dibelahan lain sedang berkuasa Bani Fatimiyyah sebagai pusat
aliran Syi’ah. Tidak kalah besarnya, hingga Dinasti inipun sangat berpengaruh
secara luas, termasuk di Saljuq sendiri. Sebagaimana disebutkan bahwa diantara
pengaruh yang tidak bisa dijinakkan pada masa Saljuq adalah aliran Syi’ah dan
Batiniah. Salah satu hal penting yang perlu dicatat pada dinasti Saljuq adalah
mulai terjadinya perang Salib. Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya
perang ini adalah karena adanya invasi Saljuq ke wilayah atau dunia Kristen.
Dari uraian tersebut tampak bahwa Al-Ghazali lahir, hidup, tumbuh dan
dibesarkan hingga wafatnya dalam suasana carut marut pertentangan internal
dan suasana politik yang kacau. Dikalangan umat Islam sendiri pertentangan
antar aliran sangat tajam, bahkan ada tragedi saling membunuh. Pemerintahan
pusat, Baghdad sudah mulai kehilangan supremasinya yang kemudian
melahirkan disintegrasi negara adidaya tersebut dengan munculnya dinasti-
dinasti kecil yang independen.
Al-Ghazali juga sempat menyaksikan masa ke-emasan dan kemunduran
Dinasti Saljuq. Kemudian, secara eksternal Al-Ghazali juga menyaksikan
bagaimana tumbuh dan mulai berkuasanya dunia Kristen dan melakukan
penjajahan terhadap dunia Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali
hidup dalam masyarakat yang plural, baik agama maupun pemahaman
keagamaannya. Barangkali dalam lapangan ke-ilmuan disebutkan bahwa pada
waktu itu Filsafat Yunani yang diadopsi oleh umat Islam sudah berkembang
sedemikian rupa, sehingga dalam batas-batas tertentu ‘menggoyahkan’
bangunan ke-imanan umat Islam. Suasana religio-politik seperti itulah karya-
karya Al-Ghazali lahir. Sehingga wajar kalau semuanya itu memberi andil besar
dalam melahirkan karya-karyanya. Walaupun tentu tidak semuanya.
Sebagaimana akan terlihat (nanti) dalam karya-karyanya, bahwa hampir semua
karyanya tersebut merupakan cermin dari bentuk respon dan kepedulian Al-
Ghazali pada masyarakat zamannya.

KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Hampir semua cabang ke-ilmuan yang berkembang pada masanya,
semuanya dipelajari oleh Al-Ghazali. Ini terlihat dari beragamnya karya tulis
yang dihasilkannya. Al-Ghazali adalah salah satu dari pemikir Muslim abad
pertengahan yang paling produktif dalam menuangkan pemikirannya dalam
bentuk tertulis, sehingga dalam usianya yang relatif pendek, hanya setengah
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 193
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

abad lebih (ada yang menyebutnya 55, disamping 53), ia telah meninggalkan
karya yang melimpah. Dia sangat produktip dalam menulis bukan hanya ketika
di Baghdad dalam masa kecermerlangan dan kemakmurannya (sebelum krisis
spritual), tapi juga dalam masa pengembaraannya mencari ketenangan (masa
dan setelah krisis). Tidak ada kesepakan mengenai berapa jumlah keseluruhan
karya Al-Ghazali (Bouyges and Allard 1959: 6). Kemudian diantara karya-
karyanya ada yang berhasil ditemukan dan ada yang hilang, karena habis dibakar
atau dibuang ketika Baghdad direbut oleh bangsa Mongol.
Diantara karya Al-Ghazali yang hilang adalah: Yaqutut Ta’wil fi Tafsirit
Tanzil sebanyak 40 jilid, Sirrul ‘Alamin, suatu buku politik dan al-Madnun bihi
‘ala Ghairi Ahlihi. Karya-karya Al-Ghazali telah banyak mendapat perhatian
para ahli. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Barat, selain
Inggris terutama adalah Perancis. Lebih dari itu bahkan banyak penulis Barat
yang mengadopsi pemikirannya. Misalnya Dante dalam karyanya; Devino
Commidia dan M Asin Palacios dalam karyanya; Algazel: Dogmatic, Moral,
Ascetica dan J. Oberman dalam kayanya; Der Philosophice and Religioese
Subjectivismus Ghazalis. Mereka memetakan karya-karya tersebut dalam berbagai
bidang ke-ilmuan, diantaranya bidang hukum, logika, filsafat, etika, sufime dan
lain-lain.
Sebagaimana disebutkan bahwa Al-Ghazali mulai menulis ketika masih
dalam usia yang relatif muda. Di sini akan dikemukakan karya-karya Al-Ghazali
bukan menurut bidangnya, tapi berdasarkan tempat dan zaman di mana karya
itu dihasilkan. Karya-karya Al-Ghazali sewaktu berada di Baghdad adalah:
Maqasidul Falasifah, Tahafutut Tahafut, Mi’yarul ‘Ilm, Mizanul ‘Amal dan
Minhakun Nazar fil Mantiq. Ketika berada di Damaskus (489): al-Iqtisad fil
I’tiqad, Qawa’idul Qawa’id dan ar-Risalatul Qudsiyah. Ketika berada di
Palestina, Mesir, Makkah-madinah dan Tus (490-495): Ihya’’Ulumiddin dan ar-
Radd al-Jamil. Kemudian antara tahun 495-sampai tahun 498, tiga tahun
berada di Nizamiyah kemabli adalah: Bidayatul Hidayah, Jawahirul Qur’an,
Kitabul Arba’in, Kitabus Sa’adah, ad-Durratul Fakhirah, al-Qistasul Mustaqim,
faishalut Tafriqah bainal Islam wazzanadiqah. Kemudian sekembalinya dari
Baghdad, di tempat asalnya ia menulis Ayyuhal Walad, al-Munkiz Minaddalal,
Misykatul Anwar, al-Mustasfa min Ushulil Fiqh, Iljamul ‘Awam min ‘Ilmil Kalam
dan Mi’rajus Salikin. Dengan sekilas mengamati karya-karya yang berada pada
masing-masing periodenya, akan jelas bagaimana memahami dinamika
pemikiran Al-Ghazali. Dan tampak jelas pula corak dari masing-masingnya.

194 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

SUFISME DAN PROBLEMATIKA BUDAYA GLOBAL


Tak bisa dipungkiri, salah satu trend ekspresif zaman sekarang adalah
adanya dinamika sosial yang cepat akibat kecanggihan teknologi post industri era
ini. Fenomena modernitas telah mengubah kehidupan sebegitu jauh melangkah
dan melesat melampaui zaman sebelumnya. Namun, dinamika modernitas
selalu membawa ambivalensi.
Di sisi lain, makin mengguritanya kehidupan kapitalistik dewasa ini,
kepercayaan orang pada dunia materi kian memuncak. Realitas ini, menurut
wacana posmodernisme, terjadi lantaran makin terbukanya hasrat-hasrat secara
bebas. Ia menemukan kanal-kanal pelepasannya: lewat kanal ekonomi, yang
menciptakan ‘ekonomi libido’; lewat kanal politik, yang menciptakan ‘politik
hasrat’; lewat kanal komunikasi yang menciptakan ‘ekstasi komunikasi’; lewat
kanal media, yang menciptakan ‘ketelanjangan media’.
Adapun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, setidaknya ada dua hal
yang mendominasi, dan itu beroperasi secara signifikan dalam masyarakat
postmodern (Bin Ramli 2010: 1299). Pertama, hasrat ‘menjadi’ (to be), yaitu
hasrat menjadi obyek cinta --kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan--
dari orang lain (the others), misalnya penonton, fans, rakyat, dan masyarakat.
Kedua, ‘hasrat memiliki’ (to have), yaitu hasrat memiliki sesuatu (materi, orang,
kekuasaan) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Hasrat memiliki
merupakan fondasi masyarakat postmodern, yang dilembagakan lewat sistem
kapitalisme global (Kersten 2015: 475). Gejala ini menunjukkan bahwa setiap
orang dikonstruksi secara sosial untuk menginginkan berbagai macam benda
dan kebutuhan, yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini
kapitalisme global merubah keinginan (want) menjadi kebutuhan (need).
Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi
dorongan hasrat dibaliknya untuk keberlanjutan produksinya. Inilah wacana
libidonomics (Jafari and Süerdem 2012: 63).
Pada ruang masyarakat postmodern, narasi kehidupan manusia diarahkan
untuk mengalir dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentuk pelepasan hasrat
berikutnya, dari satu bentuk kegairahan ke kegairahan berikutnya, dari satu
bentuk kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra berikutnya,
tanpa henti (Abenante and Vicini 2017: 58). Kecenderungan mengalirnya hasrat
tanpa interupsi ini pada gilirannya telah menceburkan masyarakat postmodern
ke dalam deteritorialization, yaitu medan kehidupan sosial yang di dalamnya
seseorang tak pernah berhenti pada suatu kedudukan (Gharib 2017: 369).
Pencarian dan eksplorasi tanpa batas tak pernah behenti dilakukan, hingga pada
tingkat yang mengkhawatirkan. Ancaman lubang ozon adalah sebuah contoh
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 195
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

dari sebuah pertumbuhan (ekonomi, industri, dan teknologi) yang melampaui


titik yang seharusnya tidak dilalui.
Krisis peradaban modern yang merupakan produk dari Barat, ternyata
Barat sendiri yang paling merasakan khususnya berkaitan dalam bentuk krisis
lingkungan hidup, yang hingga kini belum terpecahkan. Bahkan, usul-usul yang
diajukan untuk memecahkan krisis ini menjadi faktor tambahan yang membawa
pada krisis lebih lanjut. Adapun solusi dalam kerangka pemecahan krisis itu,
orang dihimbau untuk mengendalikan hawa nafsu, menjadi humanis-rasional,
tetapi sedikit sekali diantara mereka yang menyadari bahwa seruan itu mustahil
dijalankan selama tidak ada kekuatan ruhaniyah untuk menguasai
kecenderungan-kecenderungan merusak atau melampaui batas itu (Vicini 2017:
114). Barangkali problem paling akut yang dihadapi manusia sekarang tidaklah
myncul dari situasi under development, tetapi justru dari over development.
Munculnya kesadaran terhadap krisis semacam ini mendorong terjadinya
pergeseran pandangan dari unlimited possibility for development, dalam
pengertian fisik dan material, menjadi limits to growth. Karenanya Nasr
mengkritik, manusia modern memperlakukan alam seperti pelacur; mengambil
manfaat dan kepuasan darinya tanpa rasa tanggungjawab yang memadai
(Esposito 1999: 96).
Pada segi yang lain, wacana politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media
dalam masyarakat global memiliki kecenderungan yang mirip: ia kehilangan
perannya sebagai pembawa nilai-nilai moral. Ada hal yang justru dibawa, sengaja
ataupun tidak, adalah semangat dekonstruksi moral, yang menghasilkan
antagonisme moral dan kerancuan moral. Televisi misalnya, membiarkan
kontradiksi moral beroperasi di dalam dirinya sendiri mengajarkan ibadah
khusyu’ di pagi hari, lalu menyuguhkan tampilan mengumbar nafsu di siang
hari; menanamkan rasa kasih sayang di siang hari, lalu menyajikan kebrutalan di
malam hari. Dengan demikian, Televisi mengkonstruksi secara sosial figur
skizofrenia dalam tubuh dalam urat-urat kejiwaan masyarakat, figur-figur tanpa
identitas, tanpa konsistensi (Burrell 2010: 671).
Jadi, masyarakat dalam budaya global berada dalam situasi paradoks. Di
satu pihak, budaya global telah membuka cakrawala dunia yang serba plural
yang kaya nuansa dan citra, akan tetapi di pihak lain ia menjelma menjadi
sebuah dunia yang seakan berkembang tanpa kendali, yang berjalan menurut
logika hasratnya sendiri. Ia menjadi sebuah dunia, yang di dalamnya manusia
kehilangan arah tujuan. Dalam kondisi demikian, sufisme berpeluang untuk
ambil bagian dalam usaha mengembalikan dinamika manusia kepada arahnya
yang wajar (Hefner 2014: 133).
196 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

Secara doktriner, kaum sufi dengan tegas menganggap bahwa hakekat


realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang
berwujud spiritual (Hill 2016: 269). Artinya, realitas merupakan perwujudan
‘hasrat lebih tinggi’, yang diarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya,
realitas yang terbentuk sebagai perwujudan ‘hasrat-hasrat rendah’ (nafs, dalam
tingkatan terendah, al-ammarah bi al-su’) dianggap sebagai ‘ilusi’ atau realitas
‘palsu’.
Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya
pemuasan diri sendiri, meskipun kepuasan tersebut tak akan pernah terpenuhi
(Hujwiri 1996: 14). Salah satu alasan mengapa hasrat tak pernah terpuaskan dan
selalu mencari pelepasan-pelepasan baru adalah disebabkan ia ingin selalu
dipuja. Hasrat selalu menggiring manusia ke dalam apa yang dikatakan dalam
terminologi psikoanalisis sebagai the culture of narcissism, manusia yang selalu
mencari ketenaran, popularitas, dan publisitas dirinya sendiri. Kaum sufi,
sebaliknya, tidak mencari-cari ketenaran tersebut. Mereka “menyembunyikan
diri dalam jubah kerendah-hatian untuk mencapai kemuliaan. Mereka tidak
ingin dikenal atau dimuliakan” (Suhrawardi , Kashani, and Clarke 1970: 12).
Doktrin sufisme menegaskan, nafs merupakan sumber dari segala tindakan
jahat dan tercela; sumber dari pelanggaran etika (Dalmeri 2016: 138). Nafs
tanpa henti-hentinya mendorong pemuasan nafsunya melebihi batas yang
diperbolehkan. Akan tetapi, karena tidak pernah terpuaskan dan cepat merasa
bosan, ia selalu berpindah dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya tanpa akhir.
Ia menjadi sebuah mesin hasrat (desiring machine) yang secara terus menerus
mencari obyek kepuasan baru (Habibi 2016: 82).
Meskipun cenderung mambawa sifat-sifat rendah, bagi sufisme, hasrat
rendah nafs tersebut bukan untuk dilenyapkan. Menurut Al-Ghazali nafs hanya
perlu dijinakkan, dikendalikan, atau dimurnikan dari sifat rendah materi,
sehingga mampu mencapai kedudukan yang lebih tinggi menuju nafs al-
muthmainnah, jiwa yang tenang di sisi Tuhan (Griffel 2012: 24). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa inti ajaran-ajaran sufisme adalah pengendalian
mesin-mesin hasrat yang memproduksi berbagai bentuk hasrat tak terbatas pada
diri setiap orang yang dikuasainya.
Karena itu, solusi yang hendak ditawarkan sufisme akan sulit diterima
khalayak jika bersifat anti materi. Memalingkan masyarakat dari segala bentuk
materi, di tengah dunia yang justru sangat tergantung pada materi (teknologi,
industri, komunikasi, pendidikan, kesehatan) adalah sesuatu yang amat sulit dan
terasa mustahil. Maka tugas sufisme di era global adalah meminimalisir berbagai
paradoks masyarakat postmodern itu sendiri, melalui penyucian berbagai
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 197
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

wacanya dari sifat-sifat dualistik, ketidakpastian, kekaburan, dan ekstrimitas


(Dahlan et al. 2013: 75). Tampaknya banyak orang setuju, meskipun berat
dipraktekkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah kehancuran umat
manusia yang diakibatkan oleh hasratnya yang tak terbatas, adalah dengan
mengendalikan pertumbuhan hasrat itu sendiri.
Pada era ini, manusia dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari
krisis diri, alienasi, depresi, rengganya institusi keluarga, dan retaknya
komunikasi sosial. Ada jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah
situasi krisis, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada
semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi
krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, penculikan, sampai pembunuhan yang
menghiasi keseharian hidup manusia.
Sementara di kawasan Barat, situasi krisis serupa, justru diiringi
meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust
of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John
Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality
Yes, Organized Religion No. Ada penolakan terhadap agama formal yang
memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok
ke arah spiritualitas baru, New Ages. Secara literal, New Age Movement adalah
gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai
"zaman kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual
yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman,
Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect,
New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The
Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang
merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.
Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan
sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap
masa depan, maka New Ages menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. New
Agers ini begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion
(Muhammadin 2016: 11).
Akan tetapi yang terjadi dunia Islam tidaklah seperti itu, malah Organized
Religion Yes, Spirituality Yes. Itulah fenomena yang kita lihat, terutama di
Indonesia dan dunia Islam yang lebih luas. Spiritualitas itu tidak bisa tumbuh
subur, dalam dunia Islam, kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion,
dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat, macam-macam spiritualitas yang
umum, seperti meditasi, yoga, akan tetapi itu di dunia Islam kurang
berkembang subur.
198 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

Apapun nama dan bentuknya, pencarian spiritual dan mistikal


sesungguhnya bersifat perennial. Ini merupakan kewajaran dan kebutuhan yang
natural dalam kehidupan manusia secara kolektif. Ketika masyarakat atau suatu
kolektifitas manusia berhentimengakui kebutuhan yang nyata ini, dan ketika
semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada saat itupula
msyarakat tersebut akan goyang, atau bahkan ambruk ditimpa beban berat
strukturnya. Ini akan terjadi sebagai akibat masyarakat menolak memberikan
kepada anggotanya makanan yang dapat mengenyangkan ruhani yang lapar
(Nasr 1999: 27).
Pada hakekatnya dalam pesrspektif sufisme, hakekat (realities) dunia ini
terdiri dari dua aspek: al-zhahir (lahir, outward) dan al-bathin (batin, inward).
Ini sesuai dengan dengan Tuhan yang di dalam Al-Qur’an Allah menyebut
dirinya sebagai Al-Zahir dan Al-Bathin (Bruinessen and Howell 2013: 236).
Tentunya dalam kerangka ini maka bentuk lahiriyah benda-benda bukanlah
ilusi belaka; mereka mempunyai hakekat level mereka sendiri. Tetapi ini secara
tidak langsung menyatakan adanya gerakan ke arah pemisahan dan
pengunduran dari Principle yang ada di “pusat”, yang dapat diidentifikasi
sebagai “yang batin”. Hidup pada tataran “lahir” an sich berarti sekedar
mensyukuri eksistensi. Merasa puas semata-mata dengan “yang lahir” berarti
mengkhianati watak manusia itu sendiri, yang mana ia tercipta dari roh suci
yang tidak akan pernah mati. Tujuan eksistensi manusia menurut Al-Ghazali
adalah perjalanan dari outward ke inward, dari pinggiran (periferi) lingkaran
eksistensi ke pusat transenden (Syaiful and Bahar 2017: 122). Demikianlah
kurang lebih inti dari pemikiran sufisme menyangkut eksistensi manusia dan
arah perjalanannya.
Berdasarkan paradigma itu para pemikir sufisme mengelaborasi dangan
sudut pandang masing-masing guna menjelaskan peran yang dapat dimainkan
tasawuf. Kaum sufi klasik, sejak dari Al-Muhasibi hingga Al-Ghazali, banyak
menyajikan tasawuf sebagai ilmu pembentukan pribadi luhur (akhlaq al-
karimah), melalui konsep maqamat (Syofrianisda and Abduh 2017: 73). Para
pemimpin tarekat, sejak dari Shaykh Abdul Qadir al-Jilani hingga Syekh Khatib
Sambas, lebih banyak mengedepankan fungsi tasawuf sebagai metode praktis
mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan dzikir, untuk mencapai derajat kedekatan
pada Allah. Para pembaru muslim biasanya mengurai peran tasawuf untuk
manusia dari perspektif filosofis dengan penekanan yang berbeda-beda. Iqbal
memiliki cara pandang yang berbeda dengan Imam Khomeini, demikian juga
Murtadha Mutahhari memiliki kacamata yang tidak sama Seyyed Hossein Nasr.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 199


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

Apapun yang dikonsepsikan tokoh tentang signifikansi tasawuf, di era


kontemporer ini kita membutuhkan perspektif tasawuf yang terbuka kepada
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia untuk pertumbuhan, keseimbangan dan
harmoni. Dengan tasawuf positif ini, terbuka juga kemungkinan dialog dengan
berbagai ragam spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya
sebenarnya dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitu ancaman
kemanusiaan (Dalmeri and Ratono 2016: 12).
Berbagai tradisi sufisme dan mistisisme telah berkembang mengatasi krisis
global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf,
walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk berbagai
krisis kemanusiaan. Apa
yang disebut Hans Kung dengan ''kebutuhan akan Etika global'' tampaknya bisa
dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif
terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri the heart of religion, yaitu
hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama (Vicini
2017: 113). Jika diamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika
global itu, perkembangan ''tasawuf antar-agama'' memang telah melandasi
usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan
modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis
dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama yang
bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat
dunia ini secara baru.
Tasawuf menjanjikan penyelamatan, apalagi di tengah berbagai krisis
kehidupan yang serba hedonis yang menyeret manusia pada arus deras
desakralisasi dan dehumanisasi (Griffel 2012: 24). Mewujudkan cita-cita ini,
bukanlah hal yang berlebihan, apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang
menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan inter-disipliner. Beberapa
contoh bisa disebut di sini, seperti pertemuan tasawuf dengan fisika, dan sains
modern yang holistik, yang membawa kepada kesadaran arti kehadiran manusia
dan tugas-tugas utamanya di muka Bumi, segi yang kini disebut The Anthropic
Principle; pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai
pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayatinya,
didasarkan pada paham kesucian alam; pertemuan tasawuf dengan
penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan
bukan hanya bersifat fisikal, tetapi lebih-lebih ruhani: tasawuf memberikan visi
keruhanian untuk kedokteran, pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang
menekankan segi transpersonal; dan lain-lain pertemuan interdisipliner yang
intinya sama: semua menyumbang kesadaran bahwa arti tasawuf dewasa ini
200 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global (AS
2016: 6).
Pada aspek inilah, sufisme Al-Ghazali berperan sebagai pintu manusia
modern untuk masuk pada universal harmony, sesuatu yang gagal ditawarkan
oleh keberagamaan yang hanya menekankan formalisme-eksoterik. Dengan
demikian, sumbangan nyata yang dapat diberikan sufisme terletak pada
kemampuannya menyeimbangkan ‘tata kosmos’ individu yang sering tidak
stabil, menuju insan beriman yang tetap dapat bergumul dalam modernitas.
Dalam hubungan ini, satu pengakuan penting ditulis oleh H. J. Witteveen, yang
juga peminat spiritualitas dan pengagum Hazrat Inayat Khan itu dalam bukunya
Sufism in Action (2003), dia mengatakan;
Kita telah melihat bahwa keseimbangan antara aktifitas dan ketenangan
yang dapat diberikan oleh praktek spiritual sangatlah penting bagi kesehatan dan
daya tahan kita. Dampaknya, keseimbangan ini membantu kita untuk
mempertahankan ritme yang tepat. Ritme adalah keseimbangan dalam waktu.
Kesehatan kita sangat tergantung pada keteraturan denyut jantung kita dan
sirkulasi darah kita. Dan hasil dari pekerjaan kita tergantung juga pada ritme
yang tepat dari pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita seharusnya tidak berjalan
terlalu cepat dari satu ide ke ide lain atau stagnan dalam kekakuan. Dan suasana
hati kita seharusnya tidak berubah terlalu cepat. Kita memerlukan ritme yang
kreatif. Bekerja dalam ritme tersebut akan membuahkan hasil terindah
(Witteveen 2003: 154).
Dengan demikian, jika dieksplorasi sisi-sisi lain yang dapat diperankan
sufisme untuk membangun kegiatan perekomian yang menyeimbangan
keselarasan keuntungan materi dan keuntunan moral. Tentunya keseimbangan
adalah konsep yang penting dalam ekonomi, tetapi keseimbangan yang yang
terbaik tidak semata-mata dihasilkan dari kepentingan diri yang sempit dari
semua partisipan ekonomi. Cita-cita spiritual akan membantu para pekerja di
dunia agar tidak terperangkap semata dalam kekuasaan atau keuntungan.
Bahkan, dengan tegas dapat dikatakan bahwa tasawuf akan membawa
perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem-pasar kapitalis, dan ekonomi
akan berfungsi dalam pola yang lebih spiritual.

KEKUATAN SUFISME DI TENGAH HEGEMONI BUDAYA GLOBAL


Salah satu misi penting yang dibawa Rasulullah dan dilanjutkan oleh
guru-guru sufi di kemudian waktu sampai hari ini adalah misi cinta dalam
pengertian luas-mendalam. Cinta adalah naluri ilahi dari jiwa yang kemudian
mendorongnya untuk menjadi sifat dan tujuan. Konsep hubb ilahi pertama kali
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 201
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

dimunculkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yang kemudian dimatangkan oleh sufi-


sufi setelahnya (Azdajic 2016: 103).
Tasawuf mengajarkan agar antar umat manusia saling bekerja sama.
Kedamaian dan kasih sayang yang diamalkan para pengikut tasawuf adalah buah
dari cintanya kapada Tuhan. Tasawuf laksana “tenda besar” yang memayungi
para musafir yang dating dari berbagai penjuru dunia dan berbagai latar
belakang. Karenanya, pengamal tasawuf bisa berdampingan dengan siapapun.
Sisi spiritual Islam ini sering disebut sebagai bunganya Islam. Lembut,
introspektif, dan sangat spiritual, itulah sufisme, tradisi mistik Islam yang
mengajarkan cinta-kasih, perdamaian dan toleransi yang bersifat universal.
Sheikha Fariha, seorang guru Sufi terkemuka di kota New York, mengatakan
bahwa sufisme adalah jantung Islam. Inilah intisari berlian Islam. Tanpa Sufi,
Islam tidak lengkap. Islam akan kering. Dia juga mengatakan Sufisme
memenuhi kebutuhan spiritual orang-orang Amerika sebagai berikut:
Kami melihat Sufisme mulai berakar kuat dan terbuka di Amerika. Negeri
ini menganut kebebasan beragama. Amerika merupakan tempat tumbuh yang
alami bagi Sufisme karena Amerika adalah negara yang rakyatnya memiliki
kepercayaan-kepercayaan mistik.” (Dickson 2016: 26).
Terkait dengan masalah ini Yvonne Haddad mengatakan banyak anak
muda Amerika yang kehidupan spiritualnya terombang-ambing pada tahun 60-
an dulu, masuk Islam, terutama Islam-Sufi. Ada beberapa gejala di Amerika juga
terdapat kelompok-kelompok Sufi yang berasal dari Muslim imigran dari Asia
dan Afrika. Di antara beberapa pusat Sufi di Amerika, menurutnya yang paling
besar adalah Bawwa Muhayyiddin Fellowship yang berpusat di Philadelphia.
Tarekat ini mempunyai lebih dari 2.000 muallaf, terutama berasal dari kelas
menengah dan menengah-atas yang sangat terdidik (Haddad and Lummis 1987:
18).
Perkembangan di Eropa, menunjukkan adanya kecenderungan sejumlah
orang untuk masuk Islam juga disebabkan oleh ketertarikannya pada ajaran
sufisme dan ketokohan pemimpin tarekat. Menurut sebuah penelitian, zawiyah
Naqshabandi di Cyprus hampir tiap hari tiga sampai lima orang menyatakan
masuk Islam (Malik and Hinnells 2006: 29). Mereka ini tertarik oleh buku-
buku sufisme yang mulai beredar luas, di samping didorong oleh keinginan
untuk mendapatkan bimbingan spiritual dari sang shaykh. Fakta ini
menunjukkan bahwa di tengah budaya masyarakat yang kian sekuler di Barat,
eksistensi sufisme bak oase yang menawarkan kesejukan, yang sekaligus
menandakan kekuatannya untuk mendekap kelompok manusia manapun yang
rindu pada belaiannya.
202 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

Fenomena yang sama juga terjadi di Eropa Timur terutama di Albania,


Kosovo, dan Bulgaria, tarekat Bektasyiah dapat bertahan karena karakter
“eklektisisme”-nya, seperti melakukan perayaan keagamaan bersama dengan
pihak non-muslim. Dengan eklektisismenya, tarekat ini mempunyai peran besar
dalam menumbuhkan toleransi, akomodasi, dan saling pengertian dengan
masyarakat Kristen Ortodoks setempat. Dalam masa kejayaan rezim-rezim
komunis yang berusaha memberantas pengaruh agama, tarekat ini sebagian tetap
bertahan. Pusat tasawuf dan tarekat seperti di sarajevo (Bosnia), Ruscuk,
Razgrad, dan Sumen (semuanya di Bulgaria) tetap aktif dalam kegiatan-kegiatan
sufistik untuk kemudian mengalami kebangkitan setelah kebangkrutan
komunisme (Idri si 2013: 56).
Tentang ciri eklektisisme tarekat ini perlu diberi catatan khusus, yaitu
bahwa ia bukanlah prasyarat utama dapat bertahannya tarekat, akan tetapi lebih
pada upaya menyiasati keadaan agar sufisme dan tarekat dapat diterima pihak
lain ketika ia dalam posisi minoritas. Pada sisi lain kecenderungan ke arah
eklektisisme dapat menimbulkan kekhawatiran terjadinya erosi besar-besaran
dalam tradisi sufisme sehingga ia akan banyak kehilangan nilai dasarnya. Karena
itu para ulama telah melakukan proteksi lewat kritik sebagai mekanisme kontrol
agar tarekat tetap berkembang tanpa kehilangan pijakannya yang asli. Pada
konteks inilah seharusnya dapat dibaca fenomena pembedaan antara tarekat
mu’tabarah dan ghayr mu’tabarah yang dicetuskan pada pertengahan abad ke-20
di tanah air (Syofrianisda and Abduh 2017: 72).
Dengan berbagai perubahan kemajuan modernism pada era global
setidaknya menggambarkan adanya revitalisasi dari dalam, dan menunjukkan
kepada publik bahwa sufisme dan tarekat tetap diminati oleh masa sekarang ini.
Barangkali ada di antara sekian banyak kalangan kelas menengah kota yang ada
di negeri ini, hanyalah sebagian kecil saja yang secara sadar menjatuhkan pilihan
untuk melakukan kegiatan sufisme serta bergabung dengan tarekat. Bahkan
tidak sedikit yang menuding buruknya perilaku ekonomi-politik mereka ini,
sehingga eksistensinya menjadi eksklusif dan tidak bisa memperkuat jaringan
masyarakat sipil. Untuk kalangan demikian, biasanya jika mendekat ke arus
spiritualitas, mereka lebih memilih pada bentuk-bentuk yang lebih populer dan
bersifat instan.

PENUTUP
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, pada akhirnya dapat
disimpulakan bahwa dinamika sufisme sebagaimana yang diajarkan oleh Al-
Ghazali masih mempunyai posisi penting bagi kalangan modernism dengan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 203
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

budaya yang berkembangan sangat pesat di era global. Fenomena ini tidak dapat
dipandang remeh mengingat ia telah memiliki modal sosial yang cukup
memadai untuk bisa berkembang. Meskipun banyak tantangan yang muncul,
semisal dampak modernitas yang kian tak terkendali, paradigma posmo yang
mendua, dan masalah-masalah sosial-politik antar negara yang cenderung
mengeras.
Sedemikian besar tantangan era global ini sebenarnya makin menegaskan
keniscayaan mistisisme agama-agama, terlebih sufisme. Nilai-nilai perdamaian
antar kelompok, kesejukan dalam menghadapai setiap problem, semangat
bersama pencarian solusi, merupakan watak dasar spiritual yang tetap akan
mendapat tempat di tengah derasnya persaingan dan konflik antar umat
manusia yang cenderung mengeras.

DAFTAR PUSTAKA
Abenante, Paola, and Fabio Vicini. 2017. “Interiority Unbound: Sufi and
Modern Articulations of the Self.” Culture and Religion 18 (2): 57–71.
doi:10.1080/14755610.2017.1326689.
Akasoy, Anna. 2012. “Al-Ghazālī, Ramon Llull and Religionswissenschaft.” The
Muslim World 102 (1): 33–59. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01364.x.
Arberry, A. J. (Arthur John). 2002. Sufism: An Account of the Mystics of Islam.
Dover Publications.
———. 2011. An Introduction to the History of Sufism. Islamic Book Trust.
AS, Asmaran. 2016. “Menuju Ma’rifatullah: Menyelami Samudera Sufisme
Imam Al-Ghazali.” Jurnal Studia Insania 4 (1): 1–18.
doi:10.18592/jsi.v4i1.1110.
Azdajic, Dejan. 2016. “Longing for the Transcendent: The Role of Love in
Islamic Mysticism with Special Reference to Al-Ghazālī and Ibn Al-
ʿ Arabī.” Transformation: An International Journal of Holistic Mission
Studies 33 (2): 99–109. doi:10.1177/0265378815595237.
Baldwin, Erik. 2014. “Al-Ghazali, Averroës, and the Interpretation of the
Qur’an: Common Sense and Philosophy in Islam.” Religious Studies
Review 40 (3): 167–167. doi:10.1111/rsr.12156_5.
Belhaj, Abdessamad. 2013. “Legal Knowledge by Application: Sufism as Islamic
Legal Hermeneutics in the 10th/12th Centuries.” Studia Islamica 108 (1):
82–107. doi:10.1163/19585705-12341276.
Bin Ramli, Harith. 2010. “The Rise of Early Sufism: A Survey of Recent
Scholarship on Its Social Dimensions.” History Compass 8 (11): 1299–
204 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

1315. doi:10.1111/j.1478-0542.2010.00718.x.
Bosworth, Clifford Edmund. 1996. The New Islamic Dynasties: A Chronological
and Genealogical Manual. Columbia University Press.
Bouyges, Maurice, and Michel Allard. 1959. Essai de Chronologie Des Oeuvres de
Al-Ghazali (Algazel).
Bruinessen, Martin van. 2013. Contemporary Developments in Indonesian Islam:
Explaining the "Conservative Turn"
Bruinessen, Martin van., and Julia Day Howell. 2013. Sufism and the “Modern”
in Islam. I.B. Tauris.
Bullet, Richard W. 1999. What Life Was like in the Lands of the Prophet: Islamic
World, AD 570-1405. Time-life Books.
Burrell, David. 2010. “Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on
Existence, Intellect, and Intuition - By Ibrahim Kalin.” Modern Theology
26 (4): 669–72. doi:10.1111/j.1468-0025.2010.01640.x.
Chittick, William. 2014. “Love in Islamic Thought.” Religion Compass 8 (7):
229–38. doi:10.1111/rec3.12112.
Corbin, Henry, Liadain Sherrard, and Philip Sherrard. 2014. History of Islamic
Philosophy.
Dahlan, A. Zaini, Siti Chamamah Soeratno, Sangidu Sangidu, and Ahmad
Mursyidi. 2013. “Konsep Makrifat Menurut Al-Ghazali Dan Ibnu ‘Arabi:
Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi.” Jurnal
Kawistara 3 (1). Universitas Gadjah Mada: 68–78.
https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3962/3237.
Dalmeri, Dalmeri. 2016. “Menggugat Persatuan Roh Manusia Dengan Tuhan:
Dekonstruksi Terhadap Paham Ittihad Dalam Filsafat Abu Yazid Al-
Bustami.” Madania: Jurnal Kajian Keislaman 20 (2): 137–50.
doi:10.29300/MADANIA.V20I2.163.
Dickson, William Rory. 2016. Living Sufism in North America: Between
Tradition and Transformation.
Esposito, John L. 1999. The Oxford History of Islam. Oxford University Press.
Garden, Kenneth. 2011. “Coming Down from the Mountaintop: Al-Ghazālī’s
Autobiographical Writings in Context.” The Muslim World 101 (4): 581–
96. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01366.x.
———. 2014. “Duncan Macdonald’s Pioneering Study of Al-Ghazālī: Paths
Not Taken.” The Muslim World 104 (1–2): 62–70.
doi:10.1111/muwo.12038.
Geertz, Clifford. 2013. The Religion of Java. University of Chicago Press.
Gharib, Remah Y. 2017. “Preservation of Built Heritage: An Islamic
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 205
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

Perspective.” Journal of Cultural Heritage Management and Sustainable


Development 7 (4): 366–80. doi:10.1108/JCHMSD-04-2016-0026.
Griffel, Frank. 2012. “Al-Ghazālī’s Use of ‘Original Human Disposition’ (Fiṭra)
and Its Background in the Teachings of Al-Fārābī and Avicenna.” The
Muslim World 102 (1): 1–32. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01376.x.
Grunebaum, Gustave E. von (Gustave Edmund). 1996. Classical Islam: A
History, 600-1258. Barnes & Noble.
Habibi. 2016. “Ilmu Dan Eksistensi Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali.”
Dirosat: Journal of Islamic Studies 1 (1): 75–86.
http://ejournal.idia.ac.id/index.php/dirosat/article/view/4/7.
Haddad, Yvonne Yazbeck, and Adair T. Lummis. 1987. Islamic Values in the
United States: A Comparative Study. Oxford University Press.
Hefner, Robert W. 2014. “Modern Muslims and the Challenge of Plurality.”
Society 51 (2): 131–39. doi:10.1007/s12115-014-9752-7.
Hill, Joseph. 2016. “‘Baay Is the Spiritual Leader of the Rappers’: Performing
Islamic Reasoning in Senegalese Sufi Hip-Hop.” Contemporary Islam 10
(2): 267–87. doi:10.1007/s11562-016-0359-1.
Hitti, Philip K. (Philip Khuri). 2002. History of the Arabs: From the Earliest
Times to the Present. Palgrave Macmillan.
Hodgson, Marshall G. S., and Rogers D. Spotswood Collection. 1974. The
Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization. University
of Chicago Press.
Hujwiri, Ali ibu Usman. 1996. The Kashf Al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise
of Sufism, Translated from the Text of the Lahore Edition Compared with
Mss in the India Office and British Museum. Sang-e-Meel.
Idri si , ʻ Azi z al-Kubayti . 2013. Islamic Sufism in the West.
Jafari, Aliakbar, and Ahmet Süerdem. 2012. “An Analysis of Material
Consumption Culture in the Muslim World.” Marketing Theory 12 (1):
61–79. doi:10.1177/1470593111424184.
Janssens, Jules. 2011a. “Al-Ghazālī’s Philosophical Theology - By Frank
Griffel.” The Muslim World 101 (1): 115–19. doi:10.1111/j.1478-
1913.2010.01346.x.
———. 2011b. “Al-Ghazālī between Philosophy (Falsafa) and Sufism
(Taṣawwuf): His Complex Attitude in the Marvels of the Heart (’Ajā’ib
Al-Qalb) of the Iḥyā’ ’Ulūm Al-Dīn.” The Muslim World 101 (4): 614–
32. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01375.x.
Kersten, Carool. 2015. “Islamic Post-Traditionalism: Postcolonial and
Postmodern Religious Discourse in Indonesia.” Sophia 54 (4): 473–89.
206 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global

doi:10.1007/s11841-014-0434-0.
Lane-Poole, Stanley. 1986. The Mohammedan Dynasties. Oriental University
Press.
Levering, Matthew. 2011. “Providence and Predestination in Al-Ghazali.” New
Blackfriars 92 (1037): 55–70. doi:10.1111/j.1741-2005.2009.01341.x.
Malik, Jamal., and John R. Hinnells. 2006. Sufism in the West. Routledge.
Michot, Yahya M. 2013. “An Important Reader of Al-Ghazālī: Ibn Taymiyya.”
The Muslim World 103 (1): 131–60. doi:10.1111/j.1478-
1913.2012.01421.x.
Mohamed, Yasien. 2011. “The Ethics of Education: Al-Iṣfahānī’s Al-Dharī‘a as a
Source of Inspiration for Al-Ghazālī’s Mīzān Al-’Amal.” The Muslim
World 101 (4): 633–57. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01369.x.
Muhammadin, Fajri Matahati. 2016. “Refuting Da’esh Properly: A Critical
Review of the ‘Open Letter to Baghdadi.’” Journal of International
Humanitarian Action 1 (1): 11. doi:10.1186/s41018-016-0012-x.
Munir, Ghazali. 2014. “Kritik Al-Ghazālī Terhadap Para Filosof.” Jurnal
THEOLOGIA 25 (1): 143–58. doi:10.21580/TEO.2014.25.1.341.
Nasr, Seyyed Hossein. 1999. Sufi Essays. KAZI Publications.
Ratono, Dalmeri &. 2016. “Islamic Spirituality Movement and Its Implications
on Social and Political Ethics in Indonesia.” International Journal of
Islamic Thought 9: 10–17. www.ukm.my/ijit.
Suhrawardi , ʻ Umar ibn Muhammad, Mahmud ibn ’Ali Kashani, and H.
Wilberforce (Henry Wilberforce) Clarke. 1970. The “Awarifu Al-Ma”arif:
Written in the Thirteenth Century. S. Weiser.
Syaiful, Irfan Aulia, and Ririn Nur Abdiah Bahar. 2017. “Peran Spiritualitas
Dan Kepuasan Hidup Terhadap Kualitas Hidup Pada Wirausahawan
Muda.” Humanitas 13 (2): 122. doi:10.26555/humanitas.v13i2.6068.
Syofrianisda, Syofrianisda, and M Arrafie Abduh. 2017. “Corak Dan Pengaruh
Tasawuf Al-Ghazali Dalam Islam.” Jurnal Ushuluddin 25 (1): 69–82.
doi:10.24014/jush.v25i1.2559.
Treiger, Alexander. 2011. “Al-Ghazālī’s ‘Mirror Christology’ and Its Possible
East-Syriac Sources.” The Muslim World 101 (4): 698–713.
doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01370.x.
Vicini, Fabio. 2017. “Thinking through the Heart: Islam, Reflection and the
Search for Transcendence.” Culture and Religion 18 (2): 110–28.
doi:10.1080/14755610.2017.1326958.
Witteveen, H. J. (Hendrikus Johannes). 2003. Sufism in Action: Spiritualising
the Economy. Vega.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 207
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri

208 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


PSIKOLOGI PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI

Abdul Ghofur
UNISMA Bekasi
alingghofur6@gmail.com

Abstract
Al-Ghazali as a philosopher, thinker and his life ended ascetic is one of a row of
name having service exceptional in science, chiefly Moslem. Psychology as a
branch of science has correlation in the knowledge referred to Al-Ghazali
through his book which until now were interested in it by the search continues
in the intellectual are able to present, his presence colored the Islamic world
thought mainly through the work of his magnum opus “Ihya Ulumuddin”.
Psychology is one of the field of science focus in investigating human behavior.
Psychology is important for the continuation of human life as studies in
psychology is about human behavior. Education has the big role to increase the
human life that’s way the psychology get big role to perfect the results.
Keywords: psychology, Ihya Ulumuddin, ascetic and psychotherapy

Abstrak
Al-Ghazali sebagai seorang filosof, pemikir dan kehidupan nya yang berakhir
asketik adalah salah satu sederet nama yang memiliki jasa yang luar biasa di
dalam ilmu pengetahuan, terutama Islam. Psikologi sebagai cabang ilmu
pengetahuan memiliki korelasi dengan ilmu-ilmu yang dimaksud. Al-Ghazali
melalui karya-karyanya mampu menghadirkan khazanah intelektual, kehadiran
nya mewarnai dunia pemikiran Islam terutama melalui karya Magnum Opus
nya Ihya Ulumuddin. Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang fokus dalam
meneliti tingkah laku manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa dengan
mempelajari perilaku manusia sama saja mempelajari hal yang sangat mendasar
dalam diri manusia. Manusia tumbuh dan berkembang, eksis, membangun diri
dan berkarya adalah tidak terlepas dari perilaku manusia itu sendiri. Pendidikan

209
Abdul Ghofur

memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan manusia sehingga


dibutuhkan psikologi untuk mendapatkan kesempurnaan dalam prosesnya.
Kata Kunci: psikologi, Ihya Ulumuddin, asketik, dan psikoterapi.

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah sebuah kebutuhan dasar manusia yang keberadaan nya
bersifat primer. Pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang Tuhan amanahkan
kepada umat manusia sejak azali. Allah SWT menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baik bentuk dan ciptaan diantara makhluq-makhluq lain nya
adalah sebagai bentuk penghormatan Tuhan kepada manusia agar manusia
semakin bersyukur atas anugerah terbesar Sang pencipta kepada manusia.
Manusia adalah makhluq yang paling menarik untuk di pelajari dan di kaji,
karena setiap pertanyaan yang diajukan tentang hakikat manusia selalu menarik,
muncul hal-hal baru dalam diri manusia tersebut sehingga hal-ihwal dari
kemisterian hingga kini belum sempura untuk di kaji dan di gali.
Kesulitan yang di alami oleh para pemikir maupun para ilmuwan untuk
mengetahui hakikat manusia adalah tentang sisi ruhaninya. Pengetahuan
manusia tentang makhluq hidup terutama manusia dalam rangka mengetahui
jati diri terus dilakukan hingga kini, namun ternyata manusia hanya mampu
menguak beberapa sisi saja dari manusia. Ini membuktikan bahwa manusia
adalah makhluq dinamis, terus bergerak maju menuju kesempurnaan. Selalu
baru dan berusaha ingin memperbaiki diri dalam mewujudkan eksistensi diri.
Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang fokus dalam meneliti tingkah
laku manusia. Psikologi juga bisa dikatakan sebagai sebuah cabang ilmu yang
meneliti tentang perubahan inter dan intra individual pada diri manusia
(Elizabeth, 1980). Sebagai disiplin ilmu, psikologi sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan manusia mengingat kajian dalam psikologi adalah
tentang perilaku manusia. Bisa dikatakan bahwa dengan mempelajari perilaku
manusia sama saja mempelajari hal yang sangat mendasar dalam diri manusia.
Manusia tumbuh dan berkembang, eksis, membangun diri dan berkarya adalah
tidak terlepas dari perilaku manusia itu sendiri. Begitupun sebaliknya, bodoh
dan terbelakang juga disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri, sehingga
menjadi sangat penting bahwa manusia harus terus mengembangkan diri dalam
rangka untuk menyempurnakan hakikat dirinya.
Kajian-kajian tentang perilaku manusia merupakan sebuah upaya untuk
mengungkapkan hakikat dari eksistensi keberadaan manusia. Hal tersebut
berkaitan dengan latar belakang kehidupan, motivasi, harapan dan tujuan
210 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

manusia baik secara individu maupun kelompok. Bahkan kajian-kajian tentang


manusia juga dipengaruhi oleh aspek ontologis dari orang yang melakukan
pengkajian tersebut, perbedaan sudut pandang inilah yang menjadikan
perbedaan pandangan yang melahirkan iterprestasi yang berbeda antara satu
dengan yang lainya. Tidak mustahil antara pendapat satu dan pendapat lainya
berselisih bahkan bertentangan dalam interpretasi nya.
Sejarah perkembangan psikologi mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Muncul aliran-aliran dalam psikologi seperti yang di ikuti kaum Freudian.
Mereka mengatakan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh libido
yang kita pahami sebagai dorongan seksual dan energy bawaan dari lahir. Libido
ini memotivasi manusia untuk berperilaku tertentu dalam rangka
pempertahankan eksistensinya. Sementara kaum Behaviouran mengatakan
bahwa manusia ditentukan oleh kualitas lingkungan dimana dia tinggal dan
bermasyarakat. Mereka menganggap bahwa manusia adalah makhluq tak
berdaya yang mampu dikuasai oleh pengaruh lingkungan nya, sehingga manusia
diumpamakan sebagai makhluq pasrah yang dapat di bentuk dan dijadikan apa
saja oleh lingkungan. Sementara itu, pandangan psikologi humanis sedikit lebih
moderat yang kurang lebih antara Freudian dan Behaviourian.
Psikologi humanistik berkembang pada tahun 60an, ini membawa
pencerahan dan angina segar untuk mengungkap sisi-sisi misteri manusia yang
sedikit lebih manusiawi. Itu disebabkan karena psikologi-psikologi sebelumnya
hanya berkutat pada dorongan biologis semata. Psikologi humanistik sedikit
mengalihkan konsentrasi yang bbukan hanya terbatas kepada kajian biologis
namun kepada konsep aktualisasi diri yang mengarahkan manusia kepada
derajat kemanusiaan yang tertinggi melalui bantuan potensi hakiki yang di
miliki oleh manusia serta bukan bergantung kepada keadaan lngkungan semata
(Abraham, 1993).
Yang menarik dari Abraham H. Maslow sebagai tokoh dalam psikologi
humanistik ini adalah dia menambahkan aliran psikologinya dengan danya
sebuah kebutuhan nilai-nilai spiritual. Satu pertanyaan penting adalah mengapa
bisa demikian, karena menurutnya pemenuhan kebutuhan spiritual melebihi
pengaktualisasian diri yang puncaknya adalah tujuan akhir dalam perjalanan
hidup manusia. Teori ini dikenal dengan istilah psikologi Transpersonal (Frank,
1991).
Perhatian psikologi transpersonal adalah yang berkaitan dengan kesadaran
transendensi manusia baik dengan dirinya sendiri maupun kepada sesuatu yang
ada diluar dirinya. Hanya saja psikologi transpersonal dalam melakukan
pendekatan belum pada tingkat menyentuh nilai ketuhanan yang bersifat
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 211
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

religius. Psikologi ini hanya pada tingkat sisi hayal dan mistis sehingga dalam
mengungkap nilai-nilai sisi kemanusiaan perlu disempurnakan. Dan hadirnya
Al-Ghazali adalah sebagai salah satu jawaban kekurangan tersebut.
Al-Ghazali atau nama lengkapnya Imam Abu Hamid Ibn Muhammad Al-
Ghazali al-Thusi adalah salah satu tokoh dalam kanca pemikiran Islam yang
mampu mewarnai dinamika perkembangan dunia Islam. Baik dari sisi filsafat,
ilmu kalam maupun tasawuf. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Ghazali
menganut teologi Asy’ariyah yang berpolemik dengan kalangan Muktazilah
namun kemudian dia meninggalkan semua pertikaian pemmikiran dan
berpindah menjadi seorang sufi yang sederhana (Ghazali, 2011). Al-Ghazali
berpandangan bahwa manusia secara utuh tidak bisa di lihat dari dimensi fisikal
dan emosional saja namun harus dilihat dari semua aspek yang termasuk di
dalam nya adalah aspek Rabbani, karena fitrah manusia adalah selalu ingin
menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Hal inilah yang menjadikan Al-Ghazali
ingin menggali lebih dalam hakikat manusia.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali tentang konsep manusia dan struktur
kepribadian manusia sangat bersentuhan dengan aliran-aliran yang lain terutama
behaviouristik dan humanistic. Hanya saja kalau di kaji secara mendalam, Al-
Ghazali tampak lebih tajam dan detail ketika membahas tentang perilaku
manusia. Ini terbukti dari banyaknya para pemerhati yang mengikuti jejak Al-
Ghazali dalam menjadikan pijakan saat berbicara tentang perilaku manusia yang
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu adalah kebutuhan mendasar manusia yang tidak dapat dipisahkan.
Ini menjadi sangat penting keberadaan nya karena nilai-nilai perilaku manusia
sangat dipengaruhi oleh doktrin ketuhanan yang nantinya akan bermuara kpada
nilai agama.
Secara umum penelitian-penelitian pada area pemikiran Islam, khususnya
pada kajian tasawuf dan filsafat adalah kualitatif. Penelitian ini berusaha untuk
mendiskusikan tentang hakikat manusia yang memfokuskan kepada
pembahasan konsep psikologi menurut Al-Ghazali.
Penelitian ini juga bisa digolongkan sebagai penelitian kajian pustaka.
Oleh karenanya, dalam melaksanakan penelitian ini, pertama kali peneliti akan
berusaha untuk mengumpulkan beberapa data penelitian dengan cara memilih
beberapa buku, jurnal, artikel dan karya-karya ilmiah lainnya yang relevan
dengan materi kajian. Untuk selanjutnya, semua data yang terkumpul akan
dibagi menjadi dua bagian, yakni; data primer dan data sekunder.

212 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

PSIKOLOGI
Psikologi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani Psychology yang
merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa
dan logos berarti ilmu. Secara harfiah psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa.
Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek
yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam beberapa dasawarsa ini istilah jiwa sudah jarang dipakai
dan diganti dengan istilah psikis. Psikologi dapat dipahami dengan arti ilmu
yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan yang dalam perkembangan nya
diartikan sebagai lmu tentang tingkah laku manusia (Singgih, 1996).
Ketika ada sebuah ungkapan pertanyaan, apa itu jiwa? Maka sejatinya
tidak seorangpun yang tahu dengan pasti jawaban nya. Karena kekaburan arti
tersebut maka tidak jarang muncul berbagai macam pendapat mengenai arti
jiwa. Dari hal yang berbeda ini maka secara otomatis muncul pula perbedaan
arti psikologi. Banyak sarjana memberi definisi tentang psikologi menurut aliran
dan versi mereka masing-masing sehingga tidak heran muncul definisi yang
berfariasi sebagaimana yang mereka pahami dari makna psikologi tersebut.
Setiap definisi sejatinya tidak memiliki hak untuk mengklaim kebenaran atas
definisi yang dimiliki karena definisi yang dia buat pasti akan bersifat subyektif
karena begitu sulit mendefiniskan makna psikologi secara obyektif dan tepat
sehingga dpat diterima oleh semua kalangan.
Pada zaman Renaisans, seorang tokoh bernama Rene Descartes (1596 –
1650) yang berasal dari Perancis pernah encetuskan sebuah definisi tentang
psikologi. Menurutnya bahwa yang dimaksud dengan “psikologi adalah ilmu
tentang kesadaran” (Sarlito, 1976). Sedangkan menurut George Berkeley,
(1685-1753) filosof dari Inggris mengatakan bahwa “psikologi adalah ilmu
tentang penginderaan”
Seiring dengan perkembangan disiplin ilmu psikologi, maka dengan
sendirinya lambat laun bermunculan definisi-definisi tentang psikologi. Salah
satu definisi yang bermunculan tersebut yang penulis temukan adalah ungkapan
dari Dogde Fernald dan Peter S Fernald, mereka mengatakan bahwa psikologi
adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang bertujuan untuk
mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut dalam
berbagai jalan yang bervariasi, baik melalui laboratorium, kelas-kelas mapun
dalam kehidupan sehari-hari (Dogde & Peter, 1996). Hal itu berbeda dengan
definisi yang dilontarkan oleh Ernest R. Hilgard dalam Introduction to psychology
yang mengatakan bahwa “psychology may be defined as the science that studies the
behavior of man and other animals”(Ernest, 1962). Terjemahan bebas dari apa
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 213
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

yang dikemukakan oleh Ernest kurang lebih demikian ”bahwa psikologi


mungkin dapat didefinisikan dengan ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang perilaku manusia dan binatang lainya”.
Dari beberapa definisi yang telah banyak di kemukakan oleh pakar diatas
maka dapat diambil kata kunci dari definisi-definisi diatas yaitu behavior atau
tingkah laku manusia. Jadi objek dari pembahasan psikologi jiwa manusia itu
sendiri. Ernest sebagaimana yang telah disebutkan telah memiliki batasan saat
mengemukakan makna psikologi. Yaitu perilaku atau tingkah laku inilah yang
membedakan psikologi dari ilmu-ilmu yang lainya. Dia mengatakan “the
difference between psychology and others scientific is the choice of subject matter, the
psychology are primarily interested in observing and understanding behavior”
(David , 1968).
Salah satu tujuan munculnya ilmu psikologi ini adalah untuk membuka
tabir dari sisi kemisterian manusia melalui perilaku-perilakunya. Disamping
untuk membuka tabir kemisterian dari sisi perilaku manusia tersebut, tujuan
lain nya adalah untuk mendapatkan sebuah dalil yang dapat mengkorelasikan
dengan perilaku dengan cara memperhatikan situasi, kondisi serta perilaku
lainya. Dalam hal ini David C. Edward menambahkan bahwa salah satu tujuan
psikologi adalah “to understand, to predict the phenomena and control as do as all
disciplines which use scientific methods” (Dogde Fernald & Peter, 1996). Arti
bebasnya kurang lebih demikian “untuk memahami, memprediksi gejala-gejala
yang timbul serta usaha untuk mengontrol sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh disiplin-disiplin ilmu lainnya dengan cara menggunakan metode ilmiah”.
Jadi jelas bahwa psikologi mengkaji tentang jiwa manusia melalui perilaku dan
hubunganya dengan lingkungan sehingga akan didapatkan sebuah kesimpulan
untuk lebih memahami karakter manusia.
Manusia adalah makhluq paradoksal semua sisi, keberadaan nya menjadi
utama dan unik untuk dikaji dan diteliti. Awal penciptaan nya menjadi buah
bibir seluruh penduduk langit, bahkan diantara mereka protes kepada sang
Pencipta atas ciptaan yang baru ini dengan dalih bahwa manusia adalah
makhluq yang membuat kerusakan, membuat onar dan menumpahkan darah
satu dengan yang lain nya namun Allah dengan segala kemahakuasaannya
menjawab dan bahkan membela manusia di hadapan seluruh penduduk langit
bahwa Dia lebih mngetahui dari apa yang mereka tidak ketahui.
Dalam banyak kata Al-Qur’an menyebut kata manusia dengan segala
penafsiran dan tujuan nya. Diantaranya kata tersebut yakni al-Insaan, al-Naas,
al-Basyar dan Bani Adam. Ketika Allah menyebut manusia dengan kata al-Insan
maka indikasi tersebut mengacu kepada sifat manusia yang pelupa sehingga
214 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata al-Naas (terambil dari kata
an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari
kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok
manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-Basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan dan manusia disebut sebagai Bani Adam
karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as
sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia
berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Penggunaan istilah
Bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan
kepada Adam dalam al-Qur'an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!).
Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam,
Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum)
sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Manusia dalam pandangan al- Qur'an bukanlah makhluk
anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan
menjadi manusia. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk
theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu
manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai
baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai
manusia takwa.
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan
mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang
menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan
melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari
surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah
pembawa dosa turunan.
Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang
sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi
di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban
dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia
diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan
baik (positif, haniif). Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia
adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki
kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa
kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-
dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 215
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat
seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas
sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi
manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Berkaitan dengan proses penciptaan nya, manusia telah diberikan sebuah
isyarat asal muasal kejadian nya sebagaimana Allah telah sampaikan di dalam
surat al-Mukminuun ayat 12-14 yang berbunyi:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (al-
Mu’minuun: 12-14)
Dalam pembagian manusia, al-Ghazali membagi manusia menjadi empat
bagian, yaitu al-Ruh, al-Nafs, al-Qalb dan al-Aql.
1. Al-Ruh
Ruh mempunya dua pengertian, yaitu bersifat jasmani dan Ruhani.
Menurut pengertian jasmani, Ruh adalah bagian dari tubuh manusia, yaitu zat
yang amat halus bersumber dari dalam rongga hati (jantung) menjadi pusat dari
semua urat (pembuluh darah) yang terserak ke seluruh tubuh manusia. Senada
dengan pendefinisian jiwa secara umum, sebagaimana menurut Abu Nashr al-
Farabi yang dikutip oleh Kholid Al-Walid dalam buku nya yang berjudul
Perjalanan Jiwa menuju Akhirat, Ia mengatakan bahwa jiwa merupakan
gambaran dari substansi yang secara zat nya non materi, tetapi terikat dengan
materi dalam aktivitas nya. (Kholid, 2012: 76)
Sehingga karenanya manusia dapat hidup dan bergerak, dapat merasakan
berbagai rasa, baik pahit maupun manis, dan mengalami banyak perasaan,
seperti senang, susah, haus, atau lapar. Dengan mata dapat melihat, dengan
telingan dapat mendengar, dengan hidung dapat mencium, dengan otak dapat
berfikir, dengan tangan dapat menggenggam, mengangkat atau menggapai, dan
dengan kaki dapat melangkah. Saking rahasianya keberadaan sebuah ruh hingga
Allah berfirman “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh
itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (
Q.S. Al. Isra: 85 ). Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya, ia
juga penggerak bagi keberadaan jasad manusia, sifatnya ghaib. Ruh ini dapat

216 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakekat) struktur manusia.
Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi
tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spriritual nafsani manusia.
Menurut al-Ghazali bahwa, manusia memiliki tingkatan-tingkatan ruh
rahaniah tertentu, antara lain:
1. Ruh inderawi, yaitu ruh yang menerima sesuatu yang dikirim oleh panca
indera. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua
makhluk hidup menjadi hidup. Ruh ini sudah ada walaupun pada bayi
yang masih menyusu.
2. Ruh Khayali (Imajinatif) yaitu yang merekam keterangan dan
menyimpannya untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli
(intelegensi) pada saat dibutuhkan.
3. Ruh Aqli (Akal, intlegensi), yaitu yang mampu menyerap makna-makna di
luar indera dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang khusus,
tidak terdapat pada bayi ataupun hewan.
4. Ruh Pemikir, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni. Kemudian
disatukan dalam bentuk ta’lifat (rangkaian) dan izdiwijat (duplikasi), lalu di
deduksi menjadi pengetahuan-pengetahun yang berharga lalu
dikembangkan.
5. Ruh suci kenabian (kudus), yaitu ruh yang tersingkap selubung-selubung
lauh-lauh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta pengetahuan tentang
kerajaan langit dan bumi, bahkan pengetahuan-
pengetahuan rabbani (ketuhanan).
Dalam artian metafisik keempat unsur diatas adalah semakna dan tak
dibedakan satu dari lainnya, semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali
dan memahami sesuatu, diciptakan Allah dengan sifat kekal, serta merupakan
inti kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama antara lain al-
Lathifah al-Ruhaniyah atau al-Lathifah al-Rabbaniyyah. Nama-nama itu
berubah-ubah disebabkan oleh perubahan ruh manusia yang bermacam-macam.
Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan ruh, maka dinamakanlah ia sebagai
hawa nafsu. Jika ruh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut akal, jika
penyebabnya adalah rasa keimanan, dinamakanlah ia hati, dan bila ia mengenal
Allah dengan sebenar-benarnya dan melakukan pengabdian yang tulus lkhlas,
maka disebut ia ruh.
Allah SWT ketika berbicara tentang Ruh sangat tidak fulgar, mengingat
keberadaan Ruh sangat rahasia dan manusia sangat tidak mampu untuk
menguak secra detail dan sempurna. Sebagaiman di dalam surat Al-isra’ ayat 85
diatas maka maka al-Ghazali melarang orang-orang untuk menyelidiki dan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 217
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

memikirkan hakikat Ruh. Sebab hal itu tidak dapat diselidiki oleh manusia
untuk selamanya-lamanya. Tetapi, apabila bersikeras dilakukan, hanya akan
membawa kesesatan dan perdebatan saja.
2. Al-Nafs
Dalam beberapa literature, Al-Nafs memiliki beberapa makna seperti jiwa,
sukma, diri, nafsu dan seterusnya. Namun dalam pembahasan kita saat ini
adalah dua makna, pertama yang menghimpun dua kekuatan antara syahwat
dan emosi dalam diri manusia. Pengertian nafs yang pertama adalah yang
menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. Istilah nafs
yang pertama ini menurut ahli tasawuf adalah nafsu, yang merupakan pokok
yang menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia, sehingga mereka mengatakan
bahwa kita harus melawan nafsu (hawa nafsu) dan memecahkannya (Ghazali,
1992: 584)
Sebenarnya dua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik karena
mereka bertanggungjawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi orang dan
seharusnya memadamkan api di dalam hati. Sebaliknya, kejahatan atau bagian
yang merusak dari amarah dan nafsu harus ditertibkan dan dibatasi tindakannya
di bawah penilaian mutlak dari kecerdasan didalam hati. Hal itu dapat dilatih
melalui mujahadah dan riyadhah (Ali, 1981).
3. Al-Qalb
Pengertian pertama adalah daging yang berbentuk buah shanaubar,
letaknya pada pinggir dada sebelah kiri yaitu daging khusus, yang di dalamnya
ada lubang yang berisi darah hitam, itulah sumber nyawa. Rasul Muhammad
SAW bersabda, “Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah)
yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging
itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (Qalb).’’
(HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir). Ungkapan Rasul Saw
tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia yang
dihubungkan dengan hati (Qalb), sering di asumsikan secara kurang tepat dalam
memaknai hati (Qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati
(mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu,
ditafsirkan akan berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak
tersebut.
Dalam kajian tasawuf makna al-Qalbu (hati) lebih menunjuk kepada
aspek Ruhani, substansi halus dan bukan materi yang berfungsi mengenal segala
sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan
sebuah gambar. Kemampuan Qalb dalam merefleksikan suatu hakikat
tergantung pada sifat Qalb, sesuai pengaRuh inderawi, syahwat, kemaksiatan,

218 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat
menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di Qalb
ma’rifat terjadi. Menurut At-Tirmidzi, Qalb (hati) adalah pusat dari semua
perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan,
pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke Qalb (hati) dan dari Qalb (hati)
dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat
menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu
aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan
pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang
memerintah istana adalah raja yang baik (Ruh), maka akan baiklah semua
perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat
(nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
Al-Ghazali mengungkapkan makna Qalb dengan gambaran metaforik
sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari
sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan
penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali
lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada
habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu
pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau saluran irigasi, mengisi Qalb
dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi
sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat
pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati,
meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup
saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali Qalb lebih dalam lewat uzlah,
khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang
menyelubungi, sehingga memancar dari dalam Qalb ilmu pengetahuan yang
lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an) itu
merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu
(Q.S.Al-Ankabut:49).
Jika hati ang dimaksud adalah daging yang berbentuk buah shanaubar
pengertian ini mempunyai pemaknaan umum yang terdapat juga pada hewan
dan orang mati. Pengertian kedua adalah yang halus (Lathifah Rabbaniyah
Ruhaniyyah) yang halus itu ialah hakekat manusia. Dialah yang merasa,
mengetahui dan mengenal dari manusia. Dia pula yang ditunjukkan dengan
pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari (Ghazali, 1994:898).
Kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya
ketuhanan) dan al-bashirah al-bathiniah (mata batin) yang memancarkan
keimanan dan keyakinan. Kalbu Ruhani ini merupakan bagian esensi dari nafs
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 219
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

(jiwa) manusia, yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali


struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal maka
kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrahnya, begitu pula
sebaliknya. Baik buruknya tingkah laku seseorang sangat tergantung pada
pilihan manusia itu sendiri. Dari sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi-
kondisi tertentu:
a. Baik, yaitu kalbu yang hidup (hayy), selamat (salim) dan mendapat
kebahagiaan (al-sa’adah).
b. Buruk, kalbu yang mati (al-mayt) dan mendapat kesengsaraan (al-saqawah),
antara baik dan buruk yaitu kalbu yang hidup tetapi berpenyakit (mardh)
(Amin, 2003).
4. Al-Aql
Kata ini memiliki beberapa pengertian, pertama: Kadang-kadang
ditujukan dan dimaksudkan pada pengetahuan tentang hakekat segala keadaan.
Maka akal itu ibarat dari sifat-sifat ilmu yang bertempat di hati. Pengertian
kedua ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah hati, yakni yang
halus itu (lathifah). Kadang-kadang akal itu juga ditujukan dan dimaksudkan:
sifat orang yang berilmu, dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan:
tempat pengetahuan, yakni yang mengetahui (Al-Ghazali, 1994).
Secara etimologi akal memiliki arti menahan (Al-Imsak), ikatan (Al-
Ribath), menahan (Al-Hajr), melarang (Al-Nahy), dan mencegah (Al-Man’u).
Berdasar makna bahasa maka yang disebut Orang berakal adalah orang yang
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal yang diartikan sebagai
energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan.
Sedang secara psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi
adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengalaman kognisi,
seperti: mengamati, melihat, memperhatikan, berpendapat, berimajinasi,
berpikir, memprediksi, mempertimbangkan, menduga dan menilai (Mujib,
2003)
Pandangan al-Ghazali tentang penciptaan manusia yang dijelaskan di
dalam salah satu risalah nya yaitu, al-Awjibat al-Ghazaliyat fi masail al-
ukhrawiyah, al-madnun al-Saghir. Al-Ghazali mengatakan bahwa Allah SWT
berfirman yang berbunyi “dan ketika Aku sempurnakan kejadian (manusia), Aku
meniupkan Ruh Ku kedalam dirinya” adalah penyempurnaan kejadian atau
pembentukan yang mana proses tersebut timbul di dalam materi yang
membuatnya cocok untuk menerima Ruh dari Allah SWT. Materi ini merupaka
sari pati tanah liat Nabi Adam As, yang merupakan cikal bakal bagi keturunan
nya. Cikal bakal atau sel benih ini mulanya adalah tanah liat, setelah melalui
220 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

proses berubahlah menjadi makanan melalui tanaman dan hewan, kemudian


menjadi darah, dari darah menjadi sperma dan seterusnya. Ketika sudah
menjadi, maka ditiuplah setiap dari manusia ini berupa Ruh yang langsung dari
Allah SWT. Ketika pertemuan antara badan dan Ruh inilah baru disebut
manusia.
Ketika Ruh di tiupkan kedalam badan menurut al-Ghazali membutuhkan
dua syarat yang harus dipenuhi, pertama karena kemurahan Allah dalam
melimpahkan segala sesuatu yang mula nya tidak ada menjadi ada dan yang
kedua adalah suatu Rasam atau bentuk. Sebuah keadaan tubuh tertentu sebagai
penerima atas kemurahan ini sehingga menjadi pribadi tertentu. Karena pribadi
manusia terbentuk atas dua unsur yaitu Ruh dan badan yang memiliki dunia
yang berbeda, yaitu Amr dan Khalq (Ghazali, 1994)
Dengan demikian, dalam penciptaan manusia mula-mula mempunyai
fikiran yang aktif dan bentuk tertentu didalam cahaya Allah kemudian
mempunyai bentuk secara jasadi sebagai penerima Ruh dan kemudian manusia
siap untuk menjadi ada ketika janin siap diberi nyawa oleh Ruh. Sesuatu yang
menjadi beda antara manusia dengan makhluq lainya adalah sifat dari Ruh nya
yang disamakan dengan inti dari manusia tersebut, karakteristik dari tubuh nya
dan segala sesuatu nya adalah berasal dari pribadinya sebagai hasil dari
pertemuan antara Ruh dan tubuh yang semuanya bertujuan untuk berbakti
kepada Allah dalam usaha untuk mencapai keyakinan yang maksimal.
Dorongan-dorongan untuk mencapai keyakinan itu bersandar pada sifat
Ruh itu sendiri dan merupakan suatu pernyataan yang wajar dari sifat Ruh
tersebut. Salah satu yang menjadi alasan utama atas penciptaan Ruh adalah agar
ketika manusia berada di dunia mampu mendapatkan pengetahuan dan
menggunakan pikiran badaniah nya untuk mengetahui ciptaan Allah dan
semakin mengenal hakikat Allah itu sendiri. Ruh semakin merasakan kedamaian
dan ketentraman saat dia erpengetahuan dan semakin dekat dengan Allah, ibarat
seorang bayi yang selalu merasa tenang dn nyaman saat berada di sisi ibu nya.
Dan sebaliknya, Ruh akan merasa galau, tidak tenang bahkan merasa terancam
saat dia bodoh dan jauh dari Tuhan nya. Karena Ruh merasa dirinya sudah
terikat kontrak dengan tuhan nya saat masih berada di dalam kandungan.
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Ya Benar”
Pertanyaan penting untuk kita cermati, mengapa Ruh ini memulai karir
kehidupan nya saat berada di dunia yang sifatnya fana dan sebentar ini? Karena
dengan hidup di dunia ini adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman tentang berbagai tatanan kehidupan dari semua ciptaan Allah yang
pada akhirnya akan sampai kepada Allah SWT. Kepentingan manusia untuk
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 221
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

mencari kebenaran adalah bukan semata-mata atas dorongan untuk memperoleh


kepuasan intelektual tatapi juga karena berupa petunjuk dari rasa ingin tahu
tersebut, yakni berupa pengetahuan dan pengalaman tentang pekerjaan Allah.
Di satu sisi Ruh ingin kembali kepada Tuhan dengan tenang dan damai tetapi di
sisi yang lain dia harus menjalani tugas untuk tinggal di dalam badan dalam
rangka belajar untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah. Dari konsep ini
maka muncul lah istilah fitrah menurut al-Ghazali, yaitu manusia dilahirkan
dalam rangka mengenal Allah SWT. Usaha mencari kebenaran merupakan
usaha yang dapat memuaskan Ruh, usaha tersebut adalah dalam rangka untuk
menjadikan Ruh damai yang mana ketika Ruh mengetahui seluruh tingkatan
pengetahuan yang ada.
Ketika manusia diciptakan di dunia, maka manusia memiliki pribadi yang
kompleks multi dimensional. Manusia menyenangi kebendaan, kehidupan,
kepandaian dan semua unsur kesenangan inderawi lain nya tetapi manusia juga
mencintai kecenderungan untuk memuaskan Ruh yang suci. Sesuatu yang
bertentangan yang sehingga menutup dirinya terhadap satu diantara
kecenderungan-kecenderungan tersebut. Masing-masing dari sifat manusia
tersebut merupakan bagian dari seluruh pribadi manusia. Terkadang
menyenangi dengan hal-hal ganjil seperti marah, berkelahi, dendam,
menyenangi obyek yang cantik dan sebagainya (Ghazali, 1994). Diantara sifat-
sifat manusia tersebut, maka Ruh menganggap bahwa kesenangan yang hakiki
adalah saat diajak kepada perbuatan yang benar.
Al-Ghazali mengingatkan bahwa pengembangan keutuhan diri
membutuhkan banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang sifat-
sifat manusia, oleh karena itu sangatlah utama bagi seseorang yang
menginginkan kebebasan sehingga mampu meneliti rahasia diri atau jiwa.
Untuk itu, ia perlu untuk memahami kualitas karakteristik dan sifat-sifat yang
terdapat pada kepribadian tersebut agar mengetahui tempat kemungkinan
adanya kerusakan dan kehancuran pada kepribadiannya, ia harus tahu tentang
gairah dan nafsu dengan akibat-akibatnya, serta dapat menguasainya, juga
tentang motif-motif apa yang dapat mempengaRuhi tujuannya dan bagaimana
gairah, nafsu, dan keinginan tersebut dapat berfungsi secara baik untuk
mencapai tujuan pemenuhan kebahagiaan Ruh yang merupakan manifestasi dari
kehadiran nya di dunia.
Konsep Latifah menurut al-Ghazali menunjukkan adanya kecenderungan
kepada empat istilah diatas yaitu, al-Qalb, al-Ruh, al-Nafs dan al-Aql. Latifah
adalah isi lembut yang dimiliki manusia yang selalu merindukan kehadiran
cahaya-cahaya Tuhan dan sangat mmbenci kepada hal-hal yang menjadikan
222 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

dirinya jauh kepada Tuhan. Al-Qalb berada didalam diri manusia dan berkenaan
dengan Latifah, sementara Ruh menunjukan kelembutan Ilahi. Ibarat sebuah
lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya maka cahayanya menyinari
seluruh ruangan yang ada disekitarnya. Begitupun dengan al-Qalb yang
menyinari tubuh dengan kebaikan nya. Sementara al-Nafs juga merujuk kepada
makna Latifah yang bertugas menggabungkan antara amarah dan nafsu di dalam
diri manusia. Ini berfungsi untuk mengontrol amarah agar tidak melebihi dari
batas nya. Tindakan tersebut mutlak dibawah penilaian kecerdasan hati.
Sebagimana al-Qur’an menyatakan tentang pembagian nya yaitu Muthmainnah,
Lawwamah dan al-Amarah bi al-Su’. Muthmainnah adalah adalah kondisi
dimana nafsu telah mengalami kesempurnaan dan tidak mengalami gangguan-
gangguan keburukan sehingga secara khusus telah mengenal Allah sebagai
tujuan hidupnya, sementara Lawwamah adalah dimana keadaan nafsu tersebut
masih dalam proses berjuang untuk melawan segala bentuk amarah, gairah dan
lain sebagainya dan belum mndapatkan sebuah kedamaian dan Amarah bi al-Su’
adalah dimana kondisi diri dalam cengkeraman yang selalu mengajak pada
kejahatan. Al-Nafs terakhir ini sejatinya dalam keadaan sakit yang
membutuhkan pertolongan agar cahaya-cahaya Tuhan mampu menembus
kedalam dirinya. Tentu ini membutuhkan perjuangan besar untuk
mengobatinya sehingga pada akhirnya menjadi Muthmainnah.
Bagian terakhir adalah al-Aql, bagian yang paling relevan menurut al-
Ghazali adalah yang berkaitan dengan bagian yang merasakan pengetahuan
untuk menopang Ruh dalam rangka mendapatkan pengetahuan tentang Allah
SWT. Sehingga dapat dikatakan bahwa al-Aql juga bagian dari Latifah. Esensi
pengetahuan yang betul-betul dimiliki oleh individu dan merupakan pernyataan
tentanng mutu pengetahuan yang berada di dalam hati yang sifatnya sangat
ditentukan oleh keadaan al-Nafs tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa jiwa manusia sesungguhnya berupa Latifah,
Latifah tersebut adalah gabungan dari al-Qalb, al-Ruh, al-Nafs dan al-Aql yang
semuanya terintegrasi dan saling melengkapi satu sama lain sehingga
membentuk manusia. Mudah nya dalam memahami pembahasan ini, manusia
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan esensi berupa al-Qalb, al-
Ruh, al-Nafs dan al-Aql yang mengerucut pada Latifah atau lebih mudahnya kita
sebut sebagai jiwa. Ke empat hal tersebut juga belum sempurna untuk dikatakan
sebagai manusia, sebab ia membutuhkan perangkat lain untuk
mengaktualisasikan fungsi ke empat unsur tersebut. Ibarat sebuah kerajaan maka
disamping masyarakat didalamnya, kerajaan juga membutuhkan alat-alat,
undang-undang dan segala bentuk perangkat sebagai kesempurnaan nya.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 223
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

PSIKOLOGI DALAM PENDIDIKAN


Psikologi pendidikan adalah ilmu yang menerangkan tentang aktivitas
individu dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses pendidikan
(Mustaqim, 2001). Psikologi pendidikan menjelaskan tentang perilaku manusia,
system dan semua yang terkait dengan proses pendidikan. Dua hal dalam diri
manusia yang tidak dapat dipisahkan adalah ada nya jasad yang mengalami
kehancuran dan yang kedua adalah jiwa, sesuatu yang esensial yang bertugas
menerangi, menggerakkan dan menyempurnakan dari keberadaan jasad.
Menurut al-Ghazali, jiwa yang dimaksud adalah esensi yang sempurna dan
tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghafal, berfikir,
membedakan dan mempertimbangkan (Ghazali, 1994). Esensi tersebut adalah
ruh dan kekuatan jiwa berfikir yang memiliki nama-nama tertentu dan berbeda-
beda bagi beberapa kalangan.
Ketika kita berbicara tentang ilmu, maka tidak dapat dipisahkan dengan
pendidikan. Pendidikan bagi al-Ghazali adalah sesuatu yang sangat
fundamental, karena dengan memahami hakikat pendidikan yang tepat maka
manusia akan memaksimalkan potensi jiwa nya di dalam mengetahui. Begitu
sebaliknya, jika manusia tanpa di barengi dengan pendidikan maka akan sama
dengan mematikan jiwa yang dimilikinya. Ketika jiwa manusia telah mati, lantas
apa bedanya dengan hewan. Menurutnya pendidikan bagi jiwa ibarat sebuah
badan dan penyakitnya, sebagaimana seseorang yang sedang sakit jika tidak di
beri makan, minum dan juga obat akan mengalami kematian. Sejatinya ini
berlaku juga dengan hati manusia, ia akan mati jika tidak diberi hikmah dan
ilmu selama tiga hari, karena santapan atau nutrisi hati adalah ilmu dan hikmah
(Ghazali, 1990).
Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu
keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses pendidikan
dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang harus
dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik
akhlaknya. Dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu
pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi
contoh dan teladan bagi muridnya. Pembelajaran yang baik adalah sebuah
proses transfer ilmu dua arah, antara donatur ilmu dan siswa sebagai penerima
informasi. Kedua pihak harus kerja sama. Apabila kerjasama tidak berjalan
mulus, maka proses belajar yang dijalankan gagal. Pola kerja sama yang harus di
ketahui oleh guru adalah proses pembelajaran yang bersifat dua arah. Pertama
guru mengajar atau memberikan presentasi dan kedua siswa belajar atau
beraktifitas (Munif, 2009:135).
224 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus
cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para
muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya. Selain sifat-sifat umum di
atas pendidik kendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas
tertentu diantaranya: Sifat kasih sayang, mengajar dengan ikhlas dan tidak
mengharapkan upah dari muridnya, menggunakan bahasa yang halus ketika
mengajar, mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat,
dan kemampuan siswa, menghargai pendapat dan kemampuan orang lain dan
mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid.
Keutamaan ilmu bagi manusia adalah mampu mengantarkan seseorang
kepada Tuhan, karena dengan ilmu juga akan tampak dimana posisi seseorang
di hadapan Tuhan. Karena kedudukan inilah sehingga dalam psikologi
pendidikan sangat perlu untuk di kaji terlebih dalam pandangan al-Ghazali.
Allah beserta Rasul nya telah berulang kali menegaskan bahwa orang yang
memiliki ilmu memiliki derajat lebih tinggi dibanding dengan orang ahli ibadah
terlebih bukan keduanya. Sebagaimana firman Allah:
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ٌ‫اث ٌ ٌوالل ٌه ٌب ٌما ح ٌّ ٌملىن خٌب ٌحر‬ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ
ٌ ‫ ٌم ٌوال ٌزًً ؤوجىا ال ٌّل ٌم دٌس ٌح‬٢‫ًٌ ٌشٌ٘ ٌْ الله ال ٌزًً ٌآمىىا ٌمى‬
“Allah akan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang menuntut
ilmu dengan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan”
Mengutip dari salah satu hadits Nabi tentang keutamaan ilmu yang di
riwayatkan oleh Turmudzi:
ٌٌْ ‫هللا ٌح ٌتى ًٌ ٌشٌح‬ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ٌ ‫مً خ ٌشج ٌفى ول ٌب ال ٌّل ٌم ٌ٘هى ٌفى ظٌبٌُ ٌل‬
”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah
hingga ia pulang”. (HR. Turmudzi).
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ٌ‫ً ؤٌس ٌاد ٌَ ٌما ٘ ٌّلٌُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم‬
ٌ ‫ وم‬,‫ ومً ؤساد ألاٌخشة ّ٘لُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم‬,‫مً ؤساد الذهُا ّ٘لُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم‬
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah
ia memiliki ilmunya dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di
akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula dan barangsiapa yang menginginkan
kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR. Bukhari dan
Muslim)
Banyak para ahli berpendapat tentang ilmu, sebagian mengatakan bahwa
ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 225
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir
lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah
produk dari epistemologi (Van, 2008).
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan
manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita
harus mengerti apakah hakekat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata pribahasa
“mengerti berarti memaafkan segalanya”. Tujuan utama kegiatan keilmuan
adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum,
kaidah, asas dan sebagainya (Jujun, 2003).
Betapa mulia nya orang yang berilmu sehingga Allah dengan
kebijaksanaan nya menempatkan manusa sesuai dengan derajat keilmuan nya,
karena sesungguhnya tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang
tidak mengetahui.
Salah satu tujuan pendidikan sebagaimana pendapat para ahli, diantaranya
menurut Ki Hajar Dewantoro sebagai tokoh penting pendidikan di Indonesia
memberikan gambaran mengenai apa itu tujuan pendidikan. Menurutnya,
tujuan pendidikan yaitu mengajarkan berbagai ilmu kepada anak didik dengan
harapan agar anak bisa menjadi pribadi yang baik dan sempurna hidupnya yang
selaras dengan masyarakat dan alamnya. Berbeda dengan apa yang dikemukakan
J.J. Rousseau, seorang tokoh aliran naturalisme mengemukakan pendapatnya
mengenai tujuan pendidikan yaitu mempertahankan sifat baik yang ada di
dalam diri manusia untuk diajarkan ke anak didik sehingga menciptakan anak
didik yang dapat tumbuh secara alami layaknya manusia dengan kebaikan yang
mereka miliki.
Tujuan pendidikan secara umum bisa dibagi ke dalam beberapa fungsi
dalam tubuh pendidikan itu sendiri. Yang pertama, tujuan pendidikan sebagai
arah pendidikan. Dengan begitu, tujuan pendidikan ini menjadi rambu-rambu
jalan mana yang harus di lalui dari lokasi awal ke tempat tujuan. Sehingga
penekannya terletak pada jalan manakah yang tepat untuk dilalui pada kondisi
seperti ini. Sebagai contoh, jika guru ingin mengajarkan anak didiknya menjadi
pribadi yang kritis, maka guru berusaha untuk menciptakan proses belajar
mengajar yang memancing dan mengembangkan sikap kritis ini. Guru bisa
memancing siswa dengan sebuah pertanyaan atau sebuah cerita. Dari pertanyaan
atau cerita itu, siswa akan terpancing untuk bertanya ataupun menyanggah.
Inilah yang akhirnya menumbuhkan sikap kritis pada diri anak didik.
Kedua, tujuan pendidikan sebagai titik akhir. Berbeda dengan fungsi
tujuan pertama yang jangkauannya untuk saat ini, fungsi dari tujuan pendidikan
226 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

kedua ini lebih menekankan ke masa yang akan datang. Hasilnya tentu tidak
dapat kita lihat saat ini, tapi perlu waktu beberapa tahun lagi. Misalnya, guru
ingin membentuk anak didiknya dapat berdaya saing. Saat ini hasil dari
pendidikan yang mengarah ke siswa yang berdaya saing, belum akan terlihat
dengan jelas. Tujuan pendidikan ini akan terlihat ketika mereka sudah
berkecimpung di dunia kerja. Dengan kemampuan yang dimiliki, serta rasa
percaya diri yang sudah terpupuk sejak usia sekolah membuat mereka memiliki
kemampuan untuk bersaing dengan pekerja lainnya.
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan dalam
kehidupan manusia. Manusia terlahir tidak dalam keadaan langsung pintar. Tak
ada manusia yang keluar dari perut ibunya dengan berilmu. Manusia tidak
mengerti segala hal dengan begitu saja. Untuk menjadi manusia berpengetahuan
dan berperadaban, manusia perlu di didik dan diarahkan. Pendidikan bukanlah
hal baru dalam sejarah peradaban manusia, karena usia pendidikan adalah setua
usia manusia hadir di bumi ini. Sebagai manusia pertama, Adam mendapatkan
pendidikan dan pengajaran langsung dari Penciptanya, yakni Allah SWT Tuhan
semesta raya.
Filosofi dan agama sama-sama menganggap perlu dan penting keberadaan
pendidikan. Keduanya menjadikan pendidikan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Ayat yang pertama diturunkan
dalam al-Qur'an juga menyinggung masalah pendidikan. Begitu pula para
utusan Allah, mereka diberi tugas mendidik dan mengajarkan kepada umat
manusia apa yang akan menjadi jalan kebahagiaan mereka di dunia hingga
akhirat. Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan adalah
untuk meningkatkan intelektual, dan keseimbangan jiwa individu peserta didik
yang lebih baik, bukan saja sebagai warga negara, akan tetapi menjadi manusia
bagi dirinya sendiri. Idealnya pendidikan memberikan andil besar dalam
memberi solusi terhadap krisis kemanusiaan yang kini melanda kehidupan.
Mulai pendidikan, kita ingin menghasilkan manusia yang jujur, bersemangat,
pekerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta kebersihan, toleran dan
sebaginya.
Namun pada kenyataanya, akhir-akhir ini pendidikan terasa mandul
dalam mencetak manusia seutuhnya sebagaimana tujuan pendidikan pada
awalnya. Orientasi pendidikan hanya berkutat pada pencapaian kesuksesan
kehidupan bermasyarakat dan ekonomi saja. Di sisi lain, kerusakan moral
semakin meningkat. Mulai dari merebaknya pergaulan bebas dan perzinahan,
narkoba, tawuran antar pelajar sampai pada taraf pembunuhan. Berita tentang
kenakalan peserta didik setiap hari menjejali mata dan telinga kita. Dampak
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 227
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

modernisasi dan paradigma dikotomis dalam dunia pendidikan membuat


manusia mengedepankan aspek kognitif dari pada aspek afektif dan
psikomotorik. Pendidikan yang terlampau mengutamakan kecerdasan
intelektual, ketrampilan dan pancaindra, dan kurang memperhatikan kecerdasan
emosional, spiritual, sosial dan berbagai kecerdasan lainnya menyebabkan out
put dan out come pendidikan parsial.
Pendidikan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar
parasiswa menjadi semata-mata meraih nilai tinggi. Hal ini cenderung
mendorong peserta didik untuk mengejar nilai dengan tidak jujur, seperti
mencontek, menjiplak dan sebagainya. Sistem pendidikan seperti ini membuat
manusia berpikir secara parsial dan dikotomis. Padahal, pada hakikatnya
pendidikan dualisme ini tidak dikenal dalam dunia pendidikan Islam. Hal ini
terbukti dengan kehadiran para ulama’ dahulu sekaligus menjadi ilmuwan
semisal Al-Kindi merupakan seorang filsuf sekaligus agamawan. Ibn Sina, selain
ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang
ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika. Ibn Rusyd, seorang
faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat al-Mujtahid,
yang mampu mensinergikan filsafat dan ilmu fiqh, Ibn Khaldun dikenal sebagai
ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya Al-
Muqaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari
dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.
Kegiatan pendidikan harus memiliki visi yang jelas agar bisa mencapai
target dan tujuan yang jelas pula. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berorientasi moral dan ukhrawi (Bersifat Akhirat). Pendidikan diselenggarakan
agar manusia berusaha mencari pengetahuan yang pada akhirnya dapat
membuat manusia bersyukur kepada Tuhan-nya. Bersyukur kepada Allah harus
diwujudkan dalam tindakan nyata dan benar. Menurut para ulama, bersyukur
adalah mempergunakan nikmat yang diberikan Allah SWT untuk beribadah.
Bersyukur dilakukan baik dengan hati, lisan maupun perbuatan.
Mengenai tujuan pendidikan, al-Ghazali sedikit lebih detail dalam
menyampaikan nya. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah:
1. Tujuan ketika seseorang mempelajari ilmu adalah semata-mata untuk
mengetahui ilmu pengetahuan. Menurutnya bahwa ketika seorang ilmuan
sedang mengkaji, meneliti bahkan melakukan penalaran-penalaran maka
dia akan mendapatkan kelezatan saat melakukan nya sehingga tujuan
mempelajari ilmu pengetahuan dikarenakan imu pengetahuan sendiri.
Betapa banyak seorang filosof, pemikir dan penemu menghabiskan
waktunya di tempat penelitian nya karena mereka merasakan kenikmatan
228 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

saat melakukan itu semuanya. Sebagimana yang disampaikan oleh Ammir


D Indrakusuma, dia mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
mendidik anak agar dapat berfikir kritis, logis, kreatif dan berfikir secara
reflektif (Amir, 1978).
2. Tujuan utama pendidikan adalah sebagai pembentukan akhlaq al-Karimah.
Akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut
harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan
perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan
berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam
diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi
pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai
keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan
terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak. Dalam hal ini, al-Ghazali
mengatakan bahwa tujuan seorang siswa dalam mempelajari segala ilmu
pada masa sekarang adalah untuk kesempurnaan dan keutamaan jiwa nya
(Ghazali, 1967). Allah SWT berfirman:
ٌٌ ٌ ٌ
ٌ‫ ٌِ ٌٍ ٌُم‬ٌٞ ‫ ل ٌّل ٌى خل‬٤ٌ ‫ٌوٌبٌه‬
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang
agung (Al-Qalam, 4). Senada dengan apa yang disampaikan oleh M.
Athiyah bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlaq adalah jiwa pendidikan
islam, mencapai suatu akhlaq yang sempurna adalah tujuan yang
sebenarnya dengan tujuan pendidikan (Ghazali, 1967).
3. Salah satu point penting tujuan pendidikan adalah menggapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akherat. Tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia
adalah bahagia atau sengsara, pendidikan adalah sebagai salah satu cara
untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut. Karena pendidikan terutama
pendidikan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dapat menunjukkan sebuah
cara atau strategi di dalam meraih sebuah kebahagiaan, sebagaimana al-
Ghazali mengatakan bahwa “Sungguh engkau mengetahui bahwa hasil dari
ilmu pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disamping
akan dimuliakan di dunia”. Dalam hal ini, Allah berfirman di dalam Surat
Al-Mujadilah ayat 11:
ٌ ٌٜ ‫ ٌم ٌوب ٌرا‬٢ٌ ‫الل ٌه ٌل‬
ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ
‫ُل‬ ٌ ‫سٌر‬ًٙ ‫غ ٘ا٘سخىا‬ ٌ ‫ ٌس ٌخىا ٌٌفي اإلا ٌج ٌال‬ٌٙ ‫ ٌم ج‬٢‫ُل ل‬ ٌٜ ‫ًا ؤيها ال ٌزًً آمىىا ٌبرا‬
ٌ‫ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ن‬
‫اث والله ٌبما حّملى‬ ٌ ‫م وال ٌزًً ؤوجىا ال ٌّلم دسح‬٢‫اوؽضوا ٘اوؽضواًٌشٌْ٘ الله ال ٌزًً آمىىا ٌمى‬
ٌ
.‫خٌب ٌحر‬

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 229


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

Artinya: Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian


“ Luaskanlah tempat duduk “ di dalam Majelis-majelis maka luaskanlah
(untuk orang lain), Maka Allah SWT akan meluaskan Untuk kalian, dan
apabila dikatakan “berdirilah kalian” maka berdirilah, Allah mengangkat
derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa
derajat, Allah maha mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.
Dalam dunia pendidikan, menguasai ilmu psikologi adalah sebuah
keniscayaan. Secara umum dalam proses pembelajaran, siswa dengan segenap
potensi yang ada padanya seperti kenakalan siswa sering dijadikan alasan guru
jika merasa frustasi atas ketidaknyamanan terhadap perilaku siswa. Guru juga
sering menjadikan alasan seperti lingkungan masyarakat maupun keluarga yang
buruk, IQ dibawah rata-rata, kurangnya perhatian dan bimbingan dari orang
tua. Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa guru hanya
menyuruh dan merayu siswa untuk berperilaku baik dan menghukumnya jika
berperlaku buruk. Sikap guru yang seperti itu mencerminkan guru yang
melepaskan tanggung jawabnya sebagai guru. Dalam hal ini guru berfungsi
sebagai motivator siswa supaya berperilaku benar dan melatih bertanggung
jawab, Padahal setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, Oleh
karena itu, seorang guru harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang
psikologi perkembangan anak dan hal ini dapat membantu para guru untuk
mendekati anak-anak didiknya. Pemahaman terhadap psikologi perkembangan
memiliki kekuatan yang menentukan keberhasilan dalam proses belajar seorang
anak. Setiap perubahan akan disikapi dengan mudah apabila seorang guru
memiliki pemahaman yang benar dan mendalam terhadap psikologi
perkembangan anak.
Meskipun ada benarnya bahwa perilaku siswa dipengaruhi oleh faktor
kontrol dari luar sekolah akan tetapi situasi belajar disekolah dan efektifitas guru
disekolah juga berpengaruh besar pada bagaimana siswa bersikap dan belajar
sehingga mempengaruhi diri mereka sendiri. Kebanyakan program disiplin
menekankan strategi dan teknik secara tidak tepat. Beberapa siswa mungkin
berkelakuan baik tetapi sebagian siswa yang lain tidak memberi respon yang
baik. Guru yang kompeten perlu mengetahui alasan dari perilaku menyimpang
untuk merumuskan strategi yang kemungkinan akan berhasil. Seorang anak
akan melewati fase yang berbeda seiring dengan pertumbuhannya. Begitu pula
dengan pendidikan. Pendidikan harus sesuai dengan perkembangan anak dalam
arti, pembelajaran terhadap siswa harus dilakukan pada tingkat yang tidak
terlalu sulit dan menegangkan serta tidak terlalu mudah dan menjemukan.
Pendidikan bagi anak TK harus berbeda dengan pendidikan anak SD. Dan

230 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

begitu pula anak SD, pendidikan yang diterima harus berbeda dengan
pendidikan yang diterima anak tingkatan SMP, SMA dan kuliah.
Pola perkembangan psikologi anak merupakan pola yang kompleks hasil
dari beberapa proses yakni, proses biologis, kognitif dan sosio-emosional.
1. Proses biologis merupakan perubahan dalam tubuh anak. Warisan genetik
memainkan peran penting dalam hal ini. Proses biologis berperan dalam
perkembangan otak, berat dan tinggi badan, perubahan kemampuan
bergerak dan perubahan harmonal di masa puber. Dan sangat dipengaruhi
oleh nilai gizi pada makanan.
2. Proses kognitif ialah perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan bahasa
anak. Proses perkembangan kognitif menjadikan seorang anak mampu
mengingat puisi, membayangkan bagaimana cara memecahkan persoalan
matematika, menyusun strategi kreatif serta menghubungkan kalimat
menjadi pembicaraan yang bermakna. Mampu merangkai sebuah kalimat
menjadi pidato atau orasi yang sangat bermanfaat dalam melatih kecerdasan
intelektualnya.
3. Proses sosio-emosional adalah perubahan dalam hubungan anak dengan
orang lain, perubahan emosi dan perubahan kepribadian. Cara pengasuhan
anak merupakan faktor penting dalam hal ini. Perkelahian anak, ketegasan
seorang anak perempuan dan perasaan gembira ketika mendapatkan nilai-
nialai baik merupakan cerminan proses perkembangan sosio-emosional.
Adapun manfaat mengetahui psikologi anak diantaranya adalah:
1. Dengan memahami perkembangan anak didik, seorang guru akan dapat
memberikan harapan yang realistis terhadap anak dan remaja.
2. Pemahaman tentang perkembangan anak dapat membantu seorang guru
dalam memberikan respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang
anak.
3. Pengetahuan tentang perkembangan peserta didik dapat membantu guru
mengenali kapan perkembangan normal dari anak tersebut sesungguhnya
dimulai.
4. Dengan mengetahui pola normal perkembangan, memungkinkan para guru
untuk mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi pada
tubuh, perhatian dan perilakunya.
5. Pengetahuan tentang perkembangan memungkinkan para guru untuk
memberikan bimbingan belajar yang tepat kepada anak.
6. Studi perkembangan dapat membantu para guru untuk dapat lebih
memahami diri sendiri. Melalui psikologi perkembangan, kita akan
mendapatkan wawasan dan pemahaman perjalanan hidup kita sendiri.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 231
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

Adapun hal yang berkaitan dengan psikologi guru, al-Ghazali banyak


menyinggung hubungan antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Pergaulan
guru diantara murid harus dibatasi untuk menjaga wibawa dan kehormatan
guru, sekalipun mereka sangat dekat. Disinilah dibutuhkan sebuah
profesionalitas agar mengetahui batasan-batasan dalam melakukan pergaulan.
Guru dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing, pendidik dan pelatih
bagi para peserta didiknya, tentunya dituntut memahami tentang berbagai aspek
perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya,
terutama perilaku peserta didik dengan segala aspeknya, sehingga dapat
menjalankan tugas dan perannya secara efektif, yang pada gilirannya dapat
memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Di
sinilah arti penting Psikologi Pendidikan bagi guru.
Al-Ghazali ketika berbicara tentang bab pendidikan, mencakup kajian
psikologi pendidikan itu sendiri. Sebab al-Ghazali banyak menyinggung
perilaku yang harus dilakukan atau ditinggalkan, karena hal tersebut berkaitan
erat dengan hasil tujuan belajar tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pemikiran al-Ghazali sejalan dengan pemikiran para ahli pendidikan dan
psikologi pendidikan modern.
Dalam proses transformasi ilmu pengetahuan, seorang guru tidak cukup
hanya dengan memiliki kemampuan didaktik metodik tetapi yang jauh lebih
penting adalah faktor kejiwaan dirinya dan mengetahui kejiwaan para murid
nya. Seorang guru yang memiliki jiwa yang bersih akan memancarkan kebiwaan
dari dalam dirinya, sehingga dengan karisma yang dimiliki menjadikan murid
merasa segan dan tidak berbuat semena-mena. Hal ini dianggap penting
mengingat guru adalah seorang publik figur yang akandi ikuti dan di tiru oleh
siswa didiknya. Dalam pandangan al-Ghazali, profesi menjadi guru adalah
profesi yang sangat mulia sekalipun sangat berat untuk dilaksanakan. Al-Ghazali
mengatakan:
“Wujud yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti
termulia dari manusia adalah hati nya. Guru bertugas menyempurnakan,
menghias, mensucikan, dan menggiringnya dalam rangka mendekat kepada Allah.
Oleh karena itu, maka mengajar adalah bentuk lain dari pada pengabdian
manusia kepada Allah serta menjunjung titahNya. Allah telah mengisi hati orang
Alim dengan ilmu yang merupakan sifat-sifat yang paling khusus….. kiranya tidak
ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai perantara antara Tuhan dan
MakhluqNya dalam mendekatkan diri kepada Allah dan mengajaknya kepada
surga tempat tinggal yang abadi” (Ghazali, 1994).

232 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

Ketika al-Ghazali berbicara tentang psikologi guru, maka menurutnya


guru harus memiliki jiwa:
1. Memiliki rasa kasih sayang dalam memperlakukan anak didik sebagai anak,
bahkan harus memposisikan dirinya sebagai bapak yang mampu
mengayomi, melindungi dan memperhatikan sepenuh jiwa nya. Ada sebuah
pepatah “Bapak kandung adalah bapak yang membesarkan jasadnya
sementara guru adalah Bapak yang membimbing dan mengarahkan ruh
nya”
2. Mengikuti teladan Rasulullah, yaitu tidak meminta upah. Salah satu hal
yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah tidak memasang tarif
dirinya, karena bagi guru tugas mulia tersebut adalah mengenalkan siswa
didik kepada Allah dan jangan sampai cita-cita yang suci ini ternodai
dengan kepentingan-kepentingan duniawi.
3. Tidak meninggalkan nasehat-nasehat yang baik. Nasehat ini adalah sebuah
kebutuhan bagi siswa, ibarat sebuah nutrisi hati yang mampu menjadi
penyemangat bgi siswa dalam rangka terus belajar untuk menghilangkan
kebodohan.
4. Menganjurkan untuk menghindari dari perbuatan yang tercela. Ini bisa
dilakukan dengan cara yang baik, tidak terlalu fulgar dan menyinggung
perasaan murid. Karena apapun yang terjadi padadiri murid adalah
tanggung awab seorang guru.

PENUTUP
Psikologi adalah ilmu yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu
jiwa. Sementara makna jiwa sendiri masih sulit didefinisikan karena disamping
para pengkaji terus berusaha meneliti hakikat jiwa tersebut juga jiwa merupakan
objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Psikologi dalam perkembangan nya mengalami
pemekaran makna sehingga muncul berbagai aliran psikologi. Diantaranya
psikologi kepribadian yang ditandai dengan teori-teori yang muncul diantaranya
teori psikoanalisa baik klasik, kontemporer maupun yang lain, kedua adalah
psikologi fenomenologi yang menekankan kepada pentingnya mempersepsi dan
mengalami dirinya dan dunia sekitar. Dan yang ketiga adalah psikologi
behavioristik yang pokok ajaran nya adalah aspek kepribadian yang bersifat
relative atau menetap dengan hadirnya berbagai macam teori contohnya teori
psikologi konstitusi Sheldon, teori perkuatan Operan Skinner dan lain-lain.
Islam hadir dengan nilai-nilai kesempurnaan nya telah membahas
psikologi dalam bentuk yang berbeda, diantara tokoh-tokoh Islam yang
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 233
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

berusaha menyajikan konsep ini adalah al-Kindi, Ibn Sina, Nasr al-Din al-
Thusi, dan bahkan al-Ghazali yang mana beliau menjadi objek kajian pada
penelitian ini.
Dalam memberikan terapi atas gangguan psikologi manusia, al-Ghazali
menerapkan penanaman nilai-nilai Ilahi kedalam jiwa manusia dengan cra
mengendalikan hati seperti mengikis sifat sombong, riya, dengki dan lain-lain
dengan memenuhi nilai-nilai kebaikan seperti membersihkan hati, Muraqabah,
Muhasabah dan lain-lain.
Berkaitan dengan potensi atau bakat, al-Ghazali berpendapat bhwa
manusia dilahirkan dalam keadaan netral, tidak jahat dan bahkan manusia
membawa potensi kebaikan dalam dirinya. Dan potensi-potensi ini adalah fitrah
atau Latifah Ilahiyyah. Keluarga, lingkungan memiliki peran penting dalam
pembentukan manusia kepada derajat yang tinggi. Ketinggian derajat manusia
bukan ditentukan dari strata sosial nya namun lebih kepada nilai-nilai kejiwaan
manusia dan untuk mendapatkan nya dibutuhkan ilmu yang mampu
mendekatkan diri kepada Allah. Untuk menjaga keseimbangan sebuah tahapan
dalam rangka mengaktualisasikan diri, menurut al-Ghazali manusia
membutuhkan sebuah metode terapi sufistik melalui Mujahadah, Muraqabah
dan Murabathah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1 (terj. Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH,
dari judul: Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet. IV
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 2 (terj. Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH,
dari judul: Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet.
IV.
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid 4 (terj. Drs. H.M.Zuhri,et.al., judul asli:
Ihya Ulum Al-Din, CV. Assy-syifa, Semarang, 1992.
Al-Ghazali, Al-Ajwibaat al-Ghazaliyah fi al-Masail al-ukhrowiyah, Cairo.
Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, 1994.
Al-Ghazali, Minhajul Abidin (Jalan para Ahli Ibadah),
Khatulistiwa pers, Jakarta. 2011
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, terjemahkan oleh M. Ali Chasan Umar, CV. Toha
Putra, Semarang, 1982.
Al-Ghazali, al-Qawaid al-Asyr, dalam Majmu’at Rasail al Ghazali, Cairo. 1994

234 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

Calvin S. Hall & Gardner Linzday, Theories of Personality, diterjemahkan oleh


A. Pratiknya dengan judul “teori-teori sifat dan Behaviouristik”, Kanisius,
Jakarta, 1993.
Calvin S. Hall & Gardner Linzday, Teori-teori psikodinamik yang diterjemahkan
oleh A. Supratiknya, Kanisius, Jakarta, 1993.
Calvin S. Hall & Gardner Linzday, Teori-teori sifat dan behavioristic yang
diterjemahkan oleh A. Supratiknya, Kanisius, Jakarta. 1993
Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, Alih Bahasa Anas Mahyuddin,
Pustaka, Bandung, 1981.
Ali Isa Othman, The concept of man in Islam in the writing of Al-Ghazali,
Terjemahan Johan Smit, “Manusia menurut Al-Ghazali” pustaka Salman
ITB, Bandung, 1981.
Gunarsa, Singgih, Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga. Gunung Mulia.
Jakarta. 1995.
Gunarsa, Singgih, Pengantar Psikologi, MutiaraSumber Widya, Jakarta, 1996.
Betty, Kirkpatrick, the Oxford paperback thesaurus. Oxford University press,
London. 1994
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan (suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan), Erlangga, Jakarta. 1980
Rismiyanti E. Kusuma “Konsep manusia menurut Psikologi Behaviouristik; Kritik
dan Kesejalanan dengan konsep Islam”, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2000
Nigel C. Benson & Simon Grove, Psikologi for Beginner, Mizan, Bandung 2000.
Said Hawwa, Al-Mustakhlash fi Tazkiyat Al-Nafz, diterjemahkan oleh
Aunurrofiq dengan judul “konsep penyucian jiwa , Rabbani Press, Jakarta.
Yahya Jaya, Konsep Tazkiyat al-Nafs, adalah Disertasi mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. 1995
Muhammad Zakki Mubarok, Al-Akhlaq Inda Al-Ghazali. Dar al Kutub al-
Islamiyyah, Cairo.
Badawi Abdurrahman, Muallafat al-Ghazali, Dar al-Ma’arif, 1986
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta.
1976.
Dogde Fernald & Peter S. Fernald, Overview of General Psychology, Houghton
Mufflin Company, Inc. Boston 1996
Ernest R. hilgard, Introduction to Psychology, 3rd edition, Harouft Barance &
World. New York 1962.
David C. Edward, General Psychology, The Mac Millan Company, London,
1968

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 235


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

Francis mac Donald, The Republic of Plato, Oxford University Press, London,
1963
Frederick Copleston SJ, A History of Philosophy, Image Books, New York, 1960
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Kindi, Makalah dalam Filosof Muslim, Editor: MM,
Syarif MA, Mizan, Bandung, 1998
Hanna al-Fahri, Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Muassasah li
Thibaat wa al-Nasyr, Beirut, 1963
Ibrahim Madkour, Fi Falsafah al-Islamiyyah wa al manhaj wa Tadbiquh, Dar al-
Ma’arif, Cairo. 1968
Bakhtiar Hussein Siddiqi, Nasr al Din al-Thusi, makalah dalam filosof muslim,
Mizan, Bandung. 1999
Sigmund Freud, On Creativitty and Unconscious, Harper, New York
John B. Watson, Behaviourisme, university of Chicago press, USA, 1930
Frank G. goble, the Third Force, the Pshychology of Abraham Maslow.
Diterjemahkan oleh A. Supratiknya, Washington, New York
Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yat al qubra, Dar al-Fikr, Mesir
Muhammad Ibrahim al-Fayyumi, al-imam al-Ghazali wa alaqat al-Yaqin bi al-
aql, Dar al-Fikr, Cairo
M. Sholihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Pustaka Setia, Bandung, 2003
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Mizan, Bandung,
2002.
Al-Zubaidi, Ittihaf al-Sadaat al-Muttaqin bi Sarh Ihya Ulumuddin, Dar Kutub,
Beirut. 1989
Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat (Filsafat Eskatologi Mulla
Sadra), Sadra International Institute, 2012.
M. Aamin al-Kurdi, Menyucikan hati dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal
Noer, judul asli: Tanwir Al-Qulub Li Mu’amalati ‘allam Al-Ghuyub),
Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, Cet.I
Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`ân, 20 Kairo: Dar al-Kutub al-
Mishriyyah, 1964.
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur`ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-
Turats al-‘Arabi, 1420 H).
Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf,
Bandung: Penerbit Mizan, Cet. 1, 1996.

236 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali

Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya Offset, Cet. 1, 2001.
Amru Muhammad kholid, Sabar dan Santun, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Supiiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam, Bandung: Rosda 2003.
Javad Nurbakhsh, Tasawuf dan Psikoanalisa, Konsep Iradah dan Transferensi
dalam Psikologi sufi, 1991
Allen E. Birgin, Psychoterapy and religious Values, diterjemahkan oleh M.
Darmin Ahmad dan Afifah Inayati, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur’an, 1994
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, Kaifa, 2009
C.A. Van Peursen: Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya. Dikutip dari buku Arief
Sidharta. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Bandung: Pustaka Sutra,
2008.
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan dan karangan
Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Amir D. Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, FIP, IKIP Malang, 1978
Athiyah al-Abrasy, al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falsafatuha, Isa al-Babi al-Hibli
wa Syirkah, Cairo 1969.
Murtadha Mutahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam (diterjemahkan Ibrahim
Husain Al-Habsyi dkk), Pustaka Zahra, 2003.
Oemar Malik, Proses belajar mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 2001
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004
Crow Lester & Crow Alice, Child Development and Adjusment, (A Study of
Child Psychology), The Mac Millan Company, New York, 1962.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 237


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur

238 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


REAKTUALISASI ZUHUD AL GHAZALI
SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN DASAR

Yulianto
Universitas Islam Raden Rahmat Malang
ahmadyulianto955@gmail.com

Millatuz Zakiyah
Pusat Mata Kuliah Pendidikan Karakter Universitas Brawijaya
millatuzzakiyah@ub.ac.id

Abstract
Al Ghazali’s Zuhud is one of the thoughts of Al Ghazali that can be
implemented as an anticorruption education in early childhood and elementary
school. In this study discussed (1) how the concept of zuhud perspective Al
Ghazali and (2) how the implementation of zuhud as anti-corruption education.
Zuhud reactualization can be applied in the four basic needs of human life
include zuhud behavior in food ownership [al-maṭ'amu], dressed [al-malbasu],
and furniture [aṡāṡuu al-bayti]. On anticorruption education in preshool
education and elementary education, zuhud in Al Ghazali's perspective can be
actualized through two strategies, learning program and habituating.
Keywords: zuhud, anticorruption education, Al Ghazali

Abstrak
Zuhud perspektif Al Ghazali merupakan salah satu pemikiran Al Ghazali yang
dapat diimplementasikan dalam pencegahan tindak pidana korupsi melalui
pendidikan antikorupsi pada anak usia dini dan sekolah dasar. Dalam penelitian
ini dibahas (1) bagaimana konsep zuhud perspektif Al Ghazali dan (2)
bagaimana implementasi zuhud sebagai pendidikan antikorupsi. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa reaktualisasi perilaku konsep zuhud dapat diterapkan
dalam empat dasar kebutuhan hidup manusia meliputi perilaku zuhud dalam

239
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

kepemilikan makanan [al-maṭˋ amu], berpakaian [al-malbasu], dan perabotan


rumah [aṡāṡu al-bayti]. Dalam rangka pendidikan antikorupsi pada anak usia
dini dan pendidikan dasar, pemikiran zuhud perspektif Al Ghazali dapat
diaktualisasikan melalui dua strategi, yakni program pembelajaran dan program
pembiasaan (habituasi).
Kata Kunci: zuhud, pendidikan antikorupsi, Al Ghazali, pendidikan anak usia
dini

PENDAHULUAN
Pengaruh dan kedudukan al-Ghazali dalam perkembangan pemikiran
umat manusia adalah selevel Aristoteles (al-Badawi: 9, 1977) sehingga tidak
aneh jika pemikiran al-Ghazali dikaji oleh banyak pemikir dunia timur dan
dunia barat. Mulai dari proyek menterjemah, menyadur, mensyarah,
menduplikat, dan seterusnya. Bahkan di antara para pemikir yang terpengaruh
oleh gaya berpikir al-Ghazali tersebut terdapat nama-nama besar seperti
Mcdonald, Goldziher, Willim Henry Temple Gairdner, Luis Massignon,
Pallacios, dan lain sebagainya. Lebih dari itu bahkan ada yang berusaha
mengomparasikan antara pemikiran al-Ghazali dengan pemikir barat semisal
perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan Dekrates dalam permasalah
keraguan, perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan Kant dalam konteks kritik
akal teoritis dan aplikatif, dan seterusnya (Qoribulloh: 8, 1978).
Di dunia timur khususnya Indonesia, pengaruh pemikiran al-Ghazali
terlihat sangat terang benderang. Mulai pemikiran tasawufnya yang dijadikan
pijakan resmi bertasawuf salah satu ormas keagamaan terbesar Indonesia
bernama Nahdlotul Ulama (Asyari: 9, 1418 H ) sampai berbagai pemikiran
pendidikannya yang di bedah dalam berbagai dimensinya: filsafat pendidikan,
konsep ilmu, tahap pendidikan, etika guru dan murid, motivasi belajar, dan lain
sebagainya (Iqbal: v dan vii, 2013). Bahkan dalam narasi Nurcholis Madjid,
salah satu tokoh cendikiawan muslin Indonesia, al-Ghazali adalah “salah seorang
pemikir paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam
sejarah intelektual manusia”. masih menurut Nurcholis Madjid, al-Ghazali
adalah “orang terpenting sesudah Nabi Muhammad saw., ditinjau dari pengaruh
dan peranannya menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan” (Madjid:
33, 1994).
Berdasarkan uraian tersebut, Hujjatul Islam Al Ghazali daat dikatakan
sebagai ulama multiera yang memungkinkan pemikirannya dapat
diaktualisasikan pada masa ini. Salah satu pemikira monumentalnya adalah
240 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
zuhud. Zuhud merupakan perilaku meninggalkan duniawi menuju ridlo ilahi.
Meskipun berdimensi spiritual, pemikiran zuhud ini ternyata dapat menjangkau
lebih dari sekadar dimensi manusia dan tuhan.
Di sisi lain, sebagai salah satu masalah genting yang dimiliki negara ini,
korupsi merupakan tindak pidana yang berdampak langsung terhadap stabilitas
negara. Berdasarkan laporan laman resmi KPK, per 30 Juni 2017, di tahun 2017
KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian:
penyelidikan 48 perkara, penyidikan 51 perkara, penuntutan 41 perkara,
inkracht 40 perkara, dan eksekusi 40 perkara. Total penanganan perkara tindak
pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara,
penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan
eksekusi 454 perkara. Menurut survei ICW (2017) kerugian negara yang
disebabkan oleh tindak pidana korupsi sepanjang 2016 mencapai 3,085 triliun.
Gambar 1 Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi

(sumberhttps://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi)

Di sisi lain, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebagaimana dilansir


oleh Transparansi Internasional (TI) masih rendah. Pada tahun 2016, indek
persepsi korupsi (IPK) Indonesia adalah 37 dengan peringkat 90 dari 176 negara
di dunia (Transparansi Internasional, 2017). Skor ini meningkat 1 poin
dibanding tahun 2015. Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan
kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia dalam penanganan korupsi, tetapi
masih lambat.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 241


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

Sejauh ini, tindakan yang dilakukan dalam penanganan kasus korupsi


masih berada pada tindak penanggulangan korupsi, seperti pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, penanggulangan korupsi
memiliki banyak kekurangan, semisal ketidakadilan peradilan tindak pidana
korupsi, denda dan pengembalian uang kas negara yang tidak sebanding dengan
jumlah kerugian negara, dan ketiadaan integritas bangsa dalam melawan
korupsi. Lebih lanjut, usaha kriminalisasi KPK dan pemasungan kewenangan
KPK sebagai ujung tombak penanganan korupsi menjadi kendala serius
penanggulangan korupsi. Oleh karena itu, usaha terbaik yang dapat dilakukan
untuk menangani tindak pidana korupsi adalah mencegah tindak pidana
korupsi.
Menurut Wijoyanto (2010 dalam Sofia, 2011), perlawanan terhadap
korupsi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan
pengacara, pendekatan bisnis, pendekatan pasar/ ekonomi, dan pendekatan
budaya. Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang membutuhkan
biaya minimalis, berdampak jangka panjang, dan merupakan langkah preventif
adalah pendekatan budaya.
Sebagai laboratorium budaya, sekolah dan pendidikan merupakan bagian
kebudayaan yang mampu menjadi sarana pencegahan terhadap tindak pidana
korupsi. Melalui pendidikan antikorupsi, budaya pencegahan korupsi dapat
dilaksanakan. Langkah pencegahan ini dapat meminimalisasi kerugian negara
dan perbaikan integritas bangsa jangka panjang.
Finlandia, negara dengan pendidikan terbaik dunia dan negara terbersih
dari korupsi melakukan revolusi pendidikan anak usia dini dan pendidikan
dasar. Dengan menggunakan pendidikan antikorupsi pada pendidikan anak usia
dini dan usia dasar, Finladia berhasil menjadikan negaranya sebagai 3 besar
negara dengan Indeks Persepsi Korupsi di dunia dengan skor 89 pada tahun
2016 (Tranparansi Internasional, 2016).
Di sisi lain, menurut pendekatan Montessori, pada usia 3—6 tahun, anak
berada dalam periode sensitif atau masa peka. Artinya, jika terdapat fungsi yang
perlu dirangsang, maka masa ini adalah masa yang tepat untuk
mengembangkannya (Hurlock, 1978). Maria Montessori juga menyatakan
bahwa masa sensitif anak pada usia ini mencakup sensitif terhadap keteraturan
lingkungan, mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, sensitif untuk
berjalan, sensitif terhadap obyek-obyek kecil dan detail, serta terhadap aspek-
aspek sosial kehidupan. Oleh karena itu, rangsangan terhadap sikap dan gaya
hidup merupakan hal yang mungkin diajarkan pada usia ini.

242 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
Lebih lanjut, pendidikan antikorupsi di Indonesia sejauh ini masih sebatas
wacana. Model pendidikan antikorupsi di Indonesia yang telah terbit adalah
model pendidikan antikorupsi untuk pendidikan tinggi (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011) dan belum ada model pendidikan
antikorupsi untuk pendidikan anak usia dini. Padahal, pada usia dini,
rangsangan terhadap sikap sosial dapat dengan mudah ditumbuhkan. Oleh
karena itu, dibutuhkan model yang aplikatif sebagai srategi teknis pelaksanaan
pendidikan antikorupsi.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, zuhud merupakan paham yang
mensyaratkan hidup dalam kesederhanaan, kejujuran, dan rela berkorban untuk
orang lain (Ebta Setiawan, 2010). Di sisi lain, terdapat sembilan nilai dasar yang
perlu diperkuat dalam pendidikan antikorupsi di sekolah, yaitu kejujuran, adil,
berani, hidup sederhana, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, hemat, dan
mandiri (Montessori, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sebagian nilai dalam pendidikan antikorupsi termuat dalam konsep
zuhud perspektif Al Ghazali, seperti hidup sederhana, hemat, dan jujur.
Di sisi lain, maraknya pengguna media sosial dan semakin mudahnya
akses internet, semakin mudahlah perusahaan-perusahaan memasang iklan dan
membentuk opini masyarakat. Misalnya, seorang artis memasang gambar di
akun media sosialnya saat tengah berpose dengan tas Hermes yang harganya
ratusan juta. Akhirnya, terbentuklah opini bahwa berkelas adalah memiliki tas
Hermes, meskipun sebenarnya fungsi tas Hermes sama saja dengan tas lain, atau
bahkan banyak tas lain yang lebih fungsional dari tas Hermes. Efek dominonya,
masyarakat meniru perilaku ini. Konsumen tidak lagi memikirkan fungsi,
namun lebih kepada imaje atas benda-benda yang dimiliki. Konsumen membeli
banyak produk yang samasekali tidak kita butuhkan hanya untuk sekedar
merasa cantik atau kaya. Gaya hidup seperti inilah yang membuat semakin
banyaknya tindak korupsi.
Oleh karena itu, dalam artikel ini dibahas “Reaktualisasi Zuhud Al
Ghazali sebagai Model Pendidikan Antikorupsi pada Pendidikan Dasar” sebagai
kontekstualisasi pemikiran Al Ghazali dalam ranah kekinian yang aplikatif.
Rumusan masalah dalam artikel ini adalah (1) bagaimana konsep zuhud
perspektif Al Ghazali dan (2) bagaimana implementasi zuhud sebagai model
pendidikan antikorupsi pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian literature review. Penelitian ini
menggunakan konsep zuhud persepektif Al Ghazali yang diperoleh dari al-
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 243
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

Arbaˋ Īna Fī Uṣūliddīna dan Ihyā’ Ulūmiddīna. Konsep zuhud ini kemudian
disarikan sesuai kebutuhan pengembangan model pendidikan antikorupsi pada
pendidikan usia dini dan pendidikan dasar.

KONSEP ZUHUD PERSPEKTIF AL GHAZALI


Dalam kajian etimologi terma az-zuhdu bermakna meninggalkan, tidak
suka, menganggap hina dan remeh, serta tidak memperhatikan (al-Fattah, dkk,
1999:301). Sedangkan dalam terminologi sufistik al-Ghazali [W. 1111 M],
terma az-zuhdu bermakna “berpalingnya hati dengan penuh kesabaran dari
gemerlapnya dunia dalam kondisi mampu seluas-luasnya memanfaatkan fasilitas
duniawi sebab mengikuti perintah syariat” (al-Ghazali, 2003: 204). Berdasarkan
definisi tersebut -masih menurut al-Ghazali- setiap perilaku zuhud memerlukan
ridlo dalam menerima kadar kualitas dan kuantitas rizki serta sabar dalam
perilaku hidup serba sederhana (al-Ghazali, 2003: 210). Zuhud, disebut juga
asketis, merupakan sebuah paham yang menjunjung tinggi perilaku hidup
penuh kesederhanaan, kejujuran, dan rela berkorban untuk orang lain (Ebta
Setiawan: 2010)
Keutamaan perilaku zuhud dapat kita lihat dari penempatan al-Ghazali
seputar perilaku hidup zuhud itu sendiri dalam Ihyā’ Ulūmiddīna: magnum
oppus al-Ghazali dalam disiplin ilmu tasawuf, tepatnya dalam kitab keempat
dari bagian seperempat perilaku positif dan konstruktif [rubˋ u al-munjiyāt] (al-
Ghazali, 2011, Vol. 8: 10). Sebagaimana penuturan al-Ghazali sendiri,
penulisan keseluruhan bagian kitab tersebut ditulis dalam empat format:
seperempat bagian pertama untuk pembahasan ibadah [rubˋ u al-ibādāt],
seperempat bagian kedua untuk kebiasan-kebiasaan [rubˋ u al-ādāt], seperempat
bagian ketiga untuk menerangkan perilaku negatif dan destruktif [rubˋ u al-
muhlikāt], dan seperempat bagian terakhir untuk menyajikan perilaku positif
dan konstruktif [rubˋ u al-munjiyāt] (al-Ghazali, 2011, Vol, 8: 9). Dalam bagian
tersebut, al-Ghazali menyatakan bahwa secara otomatis perilaku hidup zuhud
akan membuat roda kehidupan seseorang penuh kebahagian, keberuntungan,
dan keselamatan (as-saˋ ādāt wa al-fawzu wa an-najāt] (al-Ghazali, 2011, Vol. 8:
10).
Menurut al-Ghazali, setiap derajat spiritual [maqōmātu as-sālikīna] pasti
terdiri dari tiga komponen. Komponen pertama melahirkan komponen kedua
sebagaimana komponen ketiga juga terlahir dari komponen kedua. komponen
pertama bernama ilmu pengetahuan[al-ˋ ilmu], komponen kedua disebut
psikologi spiritual [al-hāl], sedangkan komponen ketiga disebut dengan

244 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
perbutan [al-ˋ amalu]. Artinya, sebuah pengetahuan akan melahirkan kesadaran
spiritual, sedangkan kesadaran spiritual akan melahirkan sebuah perbuatan (al-
Ghazali, 2011, Vol. 8: 98).
Dalam konteks perilaku zuhud, minimal pengetahuan yang harus dimiliki
oleh seseorang yang ingin berperilaku zuhud harus mengetahui bahwa
kehidupan yang bersifat non materi [ukhrowi] lebih utama dari kehidupan yang
hanya bersifat materi[duniawi] sehingga terlahirlah kesadaran spiritual dan
perilaku spiritual berupa lebih memilih hidup sebagai seorang zuhud dari hidup
secara materialistik dan hedonistik (al-Ghazali, 197: 2004).
Pemaparan al-Ghazali seputar ketiga komponen perilaku zuhud sangat
eksotis sebab dalam pemaparan tersebut al-Ghazali menyatakan bahwa pilihan
hidup zuhud adalah ibarat transaksi jual beli. Layaknya jual beli, pasti ada
penjual, ada alat tukar dan ada komoditas yang dijual. Dalam konteks hidup
zuhud, alat tukar adalah kehidupan non materi yang penuh kebahagian dan
keselamatan, barang yang dijual adalah kehidupan profan penuh materi,
sedangkan penjualnya adalah seorang zuhud(al-Ghazali, 197: 2004).
Bahkan dalam Ihyā’ Ulūmiddīnadengan sangat gamblang al-Ghazali
menyebutkan metode jual beli sebagai metode berperilaku zuhud sebagaimana
berikut. Pertama, perihal psikologi spiritual [al-hāl], al-Ghazali menyatakan:
dalam perilaku zuhud, yang disebut sebagai psikologi spiritual adalah perilaku
zuhud itu, yaitu sebuah ibaroh dari berpalingnya rasa suka sesuatu pada sesuatu
yang lain yang lebih baik. Artinya, siapapun yang memilih sesuatu dengan tidak
memilih yang lain, baik dengan sistem barter, jual beli, atau lainnya maka dia
telah melakukan konsep zuhud sebab telah meninggalkan sesuatu yang
disukainya untuk memilih sesuatu yang lebih baik darinya. Oleh sebab itu,
syarat sesuatu yang ditinggalkannya [al-marghūb ˋ anhu] harus sesuatu yang
bernilai, disukai, dan dimiliki. Sedangkan syarat dari sesuatu yang dipilih [al-
marghūb fīhi] harus bernilai lebih dan lebih disukai dari sesuatu yang
ditinggalkan. Maka orang yang berpaling dari debu, batu, dan sesamanya tidak
bisa disebut sebagai seorang zuhud. Sebagaimana seorang pembeli tidak akan
melakukan transaksi jual beli kecuali dia melihat barang yang dibeli lebih baik
dari barang yang dimilikinya (al-Ghazali, 2011, Vol. 8: 99).
Dalam konteks psikologi spiritual ini, al-Ghazali membuat garis tegas
antara perilaku taubat, zuhud, dan fakir. Tobat adalah meninggalkan berbagai
perkara yang dilarang, zuhud adalah meninggalkan perkara yang mubah,
sedangkan fakir adalah ditinggalkan dunia. Sebagaimana proses tobat bisa
dilakukan secara bertahap dari satu dosa kedosa yang lain, maka begitu juga
perilaku zuhud bisa dipraktekkan dengan bertahap dalam meninggalkan perkara
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 245
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

mubah. Walaupun proses tebang pilih meningalkan perkara haram dalam


konteks tobat belum dinyatakan sebagai totalitas tobat, maka tebang pilih dalam
berperilaku zuhud juga belum disebut sebagai totalitas dalam berzuhud. Namun
menurut al-Ghazali kedua perilaku tersebut tetap dinyatakan sebagai tobat dan
zuhud yang sah (al-Ghazali, 2011, Vol. 8: 100).
Kedua, perihal amal perbuatan yang terlahir dari kesadaran psikologi
spiritual, al-Ghazali menyebutnya sebagai perilaku melepas dan mengambil
sebab tiada lain perilaku zuhud hakikatnya adalah proses transaksi jual beli.
Melepas barang dagangan yang disukai dan mengambil ganti yang lebih bernilai
dan disukai (al-Ghazali, 2011, Vol. 8: 103).
Menurut al-Ghazali dalam al-Arbaˋ Īna Fī Uṣūliddīna, reaktualisasi
perilaku konsep zuhud dapat diterapkan dalam empat dasar kebutuhan hidup
manusia meliputi perilaku zuhud dalam kepemilikan makanan [al-maṭˋ amu],
berpakaian [al-malbasu], kepemilikan rumah [al-maskanu], dan perabotan
rumah [aṡāṡu al-bayti] (al-Ghazali, 204: 2003) sedangkan dalam Ihyā’
Ulūmiddīnaal-Ghazali menambahkan dua dasar lagi, yaitu zuhud dalam
pernikahan [al-mankahu]serta kepimilikan harta dan jabatan [al-māl wa al-jāhu]
(al-Ghazali, 2011, Vol. 8: 173 & 176). Namun di bawah ini hanya akan
diketengahkan reaktualisasi zuhud pertama sampai kelima. Sebab bagian keenam
menurut al-Ghazali hanya bersifat media perantara suksesi kelima bagian yang
awal.
Pertama, konsep berzuhud dalam kepemilikan makanan [al-maṭˋ amu]
memiliki beberapa sudut pandang. Mulai dari cara pandang batas jumlah
makanan, jenis makanan, dan jenis lauk pauk. Dari perspektif batas jumlah
makanan, maka batas minimalis seorang zuhud boleh menyimpan bahan
makanan adalah satu kali makan. Selanjutnya batas pertengahan, yaitu batas
diperbolehkannya seorang zuhud menyimpan bahan makanan sampai empat
puluh hari. terakhir batas maksimalis, yaitu bukuran waktu dalam kurun
setahun penuh seorang zuhud boleh menyimpan makanan pokoknya. Adapun
berdasarkan lensa jenis makanan, maka kadar minimalis jenis makanan seorang
zuhud adalah makanan pokok. Sedangkan jenis lauk pauk seorang zuhud dalam
tarap minimalis adalah cukak, garam, dan sayur mayur, tarap pertengahan
adalah gorengan, sedangkan kadar maksimalis adalah daging-dagingan. Namun
perlu di garis bawahi bahwa syarat penggunaan daging sebagai lauk pauk
maksimal hanya dua kali dalam seminggu (al-Ghazali, 204: 2005).
Kedua, konsep berzuhud dalam konteks pakaian [al-malbasu]. Dalam
konteks ini, batas minimal seorang tetap bisa dikatan sebagai seorang zuhud
adalah ketika dia hanya memiliki pakaian yang hanya cukup untuk menutupi
246 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
aurotnya serta menjaganya dari terik matahari dan dinginnya cuaca. Sedangkan
batas maksimalisnya adalah ketika seorang zuhud hanya memiliki satu jenis
gamis, celana, dan sapu tangan dari bahan yang sangat sederhana. Menurut al-
Ghazali menyadur perkataan khalifiah Ali bin Abi Tholib ra, tujuan utama Allah
SWT memerintahkan semua tokoh agama untuk berprilaku zuhud dalam
konteks berpakaian adalah agar bisa dijadikan uswah oleh para jutawan sekaligus
memberi semangat orang-orang miskin agar tidak berkecil hati dan susah atas
kemiskinannya(al-Ghazali, 205: 2005).
Ketiga, konsep berzuhud dalam konteks kepemilikan rumah [al-maskanu].
Dalam konteks ini batasan paling minimalis kepemilikan rumah bagi seorang
sufi adalah sebuah kamar untuk beribadah baik di tempat umum atau khusus
seperti zawiyah sufi atau kamar pesantren sebagaimana dicontohkan oleh murid-
murid Rasulillah saw yang terkenal dengan julukan Ahlus Suffah. Sedangkan
batas maksimalis kepemilikan rumah agar seseorang tetap dalam koredor zuhud
adalah rumah pribadi sesuai kebutuhan dan kelayakan hidup dengan tetap tidak
membangunnya terlalu tinggi menjulang ke angkasa. Perihal batas maksimal
tersebut Rasulillah saw bersabda: “setiap bangunan akan menjadi bencana bagi
pemiliknya, kecuali bangunan yang dibuat berteduh dari panas dan dingin” (al-
Ghazali, 206: 2005).
Keempat, konsep berzuhud dalam konteksperabotan rumah [aṡāṡu al-
bayti]. Perihal prilaku zuhud dalam konteks perabotan rumah, maka batas
minimalisnya adalah seperti prilaku Nabi Isa as, yang hanya memiliki satu sisir
dan satu wadah minum. Adapun batas moderatnya adalah dengan memiliki satu
jenis perabotan yang multi fungsi. Sedangkan batas maksimalnya adalah dengan
memiliki satu jenis peralatan rumah untuk setiap satu keperluan (al-Ghazali,
207: 2005).
Kelima, konsep berzuhud dalam konteks pernikahan [al-mankahu].
Perihal perilaku zuhud dalam konteks pernikahan, menyadur perkataan Abu
Sulaiman ad-Daroni, al-Ghazali menyatakan: “perilaku zuhud dalam memilih
calon mempelai putri adalah dengan memilih perempuan dari kelas sosial
rendah, yatim, dan tidak berparas cantik, serta mencukupkan hanya dengan satu
istri (al-Ghazali, 2011, Vol. 8: 175).

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 247


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

IMPLEMENTASI ZUHUD SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN


ANTIKORUPSI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN
PENDIDIKAN DASAR
Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi
(Modern Didactics Centre, 2006). National Anti Corruption Program (NACP)
Lithuania (2004) mengartikan korupsi sebagai segala tindakan yang dilakukan
pejabat sipil atau seseorang dengan jabatan serupa yang tidak sesuai dengan
standar etik, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi sehingga
mengakibatkan abainya kepentingan publik atau masyarakat.
Tindak korupsi acapkali melibatkan keputusan peradilan yang memiliki
imbas besar pada masyarakat (Van Duyne, 2001). Sebagai gantinya, ada reward
(balas budi) yang diberikan. Reward tersebut dapat berupa tindak suap,
mismanajemen atau penggelembungan dana masyarakat, jual beli informasi
rahasia negara, penyelewengan dana pemilihan umum,dan sebagainya (Grosse,
2000).
Hal yang melatarbelakangi korupsi pada mulanya adalah egoisme
manusia. Egoisme ini mendorong manusia untuk menguntungkan diri dan
golongannya. Egoisme ini juga mendorong pada sikap serakah dan keinginan
untuk diakui. Dua hal ini kemudian memicu tumbuhnya gaya hidup hedonisme
dan berujung pada tindak pidana korupsi. Level korupsi sangat dipengaruhi oleh
budaya, mentalitas, dan tradisi masyarakat tertentu (Olken dan Pande, 2012).
Langkah yang paling murah dan berdampak jangka panjang, sebagaimana
telah disampaikan, untuk menanggulangi korupsi adalah mencegah budaya
korupsi. Budaya korupsi dapat dicegah di antaranya melalui perubahan gaya
hidup. Sebagaimana telah disinggung di muka, perubahan gaya hidup tidak
dapat dilakukan dalam waktu singkat. Gaya hidup dapat dibentuk melalui
pembiasaan atau habituasi.
Implementasi zuhud dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan sebagai
langkah pencegahan korupsi sejak dini. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya,
bahwa pencegahan korupsi melalui budaya dapat dilakukan di antaranya dalam
pendidikan antikorupsi. Dalam hal ini, zuhud dapat menjadi salah satu model
pembelajaran korupsi pada anak usia dini.
Dalam kepentingan pembelajaran, zuhud diadaptasi sedemikian hingga
agar mudah diimplementasikan pada anak usia dini. Dalam rangka
pembelajaran, zuhud diartikan sebagai mengambil harta (kepemilikan) terbatas
pada yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Dalam ranah ini, dari empat
dasar kebutuhan hidup manusia menurut Al Ghazali, dapat dipilih perilaku

248 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
zuhud dalam hal kepemilikan makanan [al-maṭˋ amu], berpakaian [al-malbasu],
dan perabotan rumah [aṡāṡu al-bayti] (al-Ghazali, 204: 2003)
Zuhud sebagai model pembelajaran dapat diekspresikan melalui dua cara,
yakni pada program pembelajaran dan program pembiasaan. Program
pembiasaan melalui pemodelan dan program pembiasaan melalui habituasi
zuhud. Usia dini dan usia pendidikan dasar dipilih karena pada usia penanaman
karakter dapat berhasil maksimal dibanding pada periode lain.
Lebih lanjut, Dee Fink (2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran
secara aktif dilakukan dengan melibatkan pengalaman dan dialog. Hal ini
sekaligus menguatkan alasan dipilihnya dua model tersebut sebagai model dalam
pendidikan antikorupsi pada usia dini dan pendidikan dasar.
Bagan Model Pendidikan Antikorupsi Berdasarkan Zuhud Al Ghazali

Zuhud sebagai Model


Pendidikan Antikorupsi

Program
Program
Pembiasaan
Pembelajaran
(Habituasi)

Pemodelan praktik
Jumat Beramal
jual-beli

Pemodelan praktik jual-beli merupakan praktik jual beli langsung di


pasar atau toko. Prinsip dalam pemodelan jual beli adalah penanaman konsep
“kebutuhan” dan “keinginan”. Barang yang masuk kategori kebutuhan boleh
dibeli. Sementara itu, barang yang masuk kategori “keinginan” tidak
diperkenankan untuk dibeli.
Pemodelan dilakukan melalui praktik jual beli di pasar atau toko. Pada
mulanya, anak diajak pergi ke pasar atau ke toko. Kemudian mereka diberi uang
sekina rupiah untuk membeli apa yang mereka inginkan. Setelah itu, anak
dikumpulkan dan diberikan konsep kebutuhan dan keinginan. Selanjutnya,
anak diminta untuk membelanjakan uangnya pada kebutuhannya saja. Praktik
ini dapat dievaluasi dan diulang beberapa kali dalam jual beli di toko atau
tempat yang berbeda, semisal di taman bermain anak, tempat rekreasi, dan
tempat lain. Model ini dapat diintegrasikan pada keterampilan hidup lain atau
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 249
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

dalam pembelajaran tematik pada anak usia SD. Untuk lebih jelasnya dapat
dirinci dalam tabel berikut.
Tabel 1 Kegiatan Pemodelan Jual Beli

No Kegiatan
Kegiatan 1
1. Guru dan siswa pergi ke pasar/ toko swalayan
2. Siswa diberi sejumlah uang untuk dibelanjakan
3. Siswa berbelanja selama 10 menit
4. Guru memberikan konsep “kebutuhan” dan “keinginan”

5. Siswa mengidentifikasi barang belanjaannya


6. Siswa mengklasifikasi barang belanjaan yang termasuk kategori
“kebutuhan” dan “keinginan”
Kegiatan 2
1. Siswa dan guru pergi ke tempat bermain/ tempat rekreasi
(yang terdapat pedagang)
2. Siswa diminta diberi sejumlah uang dan diminta berbelanja
kebutuhannya, semisal makanan dan minuman.
3. Siswa berbelanja selama 10 menit
4. Guru meminta siswa untuk menyebutkan barang belanjaannya
dan mengidentifikasi sifat barang tersebut (kebutuhan atau
keinginan).
5. Siswa mengembalikan/ mendermakan barang yang bukan
kebutuhannya.
Habituasi zuhud dapat dilakukan melalui Jumat Beramal. Tiap hari Jumat
(dapat juga dipilih hari lain), guru dapat menyediakan kotak amal yang akan
diisi oleh barang-barang milik siswa yang dianggap bukan masuk kategori
“kebutuhan”. Siswa dapat memilih pakaian, buku, peralatan sekolah, dan barang
lain untuk disumbangkan setiap minggunya. Dengan habituasi Jumat Beramal
ini, diharapkan anak dapat mempraktikkan zuhud dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam rangka memudahkan pemahaman siswa, siswa cukup dikenalkan konsep
“hidup sederhana” sebagai padanan dari kata “zuhud”.

250 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018


Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
Tabel 2 Kegiatan Jumat Beramal

No. Kegiatan Jumat Beramal


1. Guru menjelaskan tentang konsep hidup sederhana, kebutuhan,
dan keinginan.
2. Guru menjelaskan tentang konsep berbagi dan Jumat Beramal
3. Siswa diminta mendermakan barang miliknya yang tidak
dibutuhkan.
4. Siswa mendermakan barangnya yang tidak dibutuhkan.
5. Perwakilan siswa bercerita tentang alasan mendermakan barang
tersebut.
6. Guru mengapresiasi kegiatan siswa dan memberikan penguatan
konsep Jumat Beramal

PENUTUP

Zuhud menurut Al Ghazali adalah berpalingnya hati dengan penuh


kesabaran dari gemerlapnya dunia dalam kondisi mampu seluas-luasnya
memanfaatkan fasilitas duniawi sebab mengikuti perintah syariat. Reaktualisasi
perilaku konsep zuhud dapat diterapkan dalam empat dasar kebutuhan hidup
manusia meliputi perilaku zuhud dalam kepemilikan makanan [al-maṭˋ amu],
berpakaian [al-malbasu], kepemilikan rumah [al-maskanu], perabotan rumah
[aṡāṡu al-bayti], dalam pernikahan [al-mankahu], dan kepemilikan harta dan
jabatan [al-māl wa al-jāhu]. Dalam rangka kekinian, pemikiran Al Ghazali
dalam hal zuhud dapat diaktualisasikan dalam pendidikan anikorupsi pada anak
usia dini melalui dua strategi, habituasi dan pemodelan. Habituasi dapat
dilakukan dengan melalui Jumat Beramal dan pemodelan dapat dilakukan
dengan praktik jual beli secara langsung.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 251


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fattah, Munawir dan Bisri, Adib, Qōmus al-Bisrī, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999.

al-Ghazali, Abu Hamid, al-Arbaˋ Īna Fī Uṣūliddīna, Cet. I, Dimsyiq: Darul


Qolam, 2003.

Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mursyidu al-Amīn, Cet. I, Jakarta: Darul Kutub al-
Islamiyah, 2004.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyā’ Ulūmiddīna, Saudai Arobiya: Darul Minhaj,


2011.

Asyari, Hasyim, Risālatu Ahlu as-Sunnati Wa al-Jamāˋ ati, Tebuireng: Maktabah


at-Turos al-Islami, 1418 H.

Badawi, Abdurrohman, Mu’allafātu al-Ghazālī, Kuwait: Wakkalatul Matbuah,


1977.

Dee Fink, L. Active Learning. Kertas Kerja Tidak Diterbitkan. 2002.

Grosse, T.G, Dialaniaanty-korupcinje w panswatch czlonskowskich OECD.


Florencija. 2000.
Hurlock, Elizabeth, B.Child Development, Sixth Edition. New York: Mc. Graw
Hill, Inc. s1978.

Iqbal, Abu Muhammad, Kosep Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan,


Madiun: Jaya Star Nine, 2013.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Antikorupsi untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemdikbud. 2011.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Statistik Tindak Pidana Korupsi. (Online)


(https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi) diakses
tanggal 20 Oktober 2017.

Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.


Montessori, Maria. Pendidikan Antikorupsi sebagai Pendidikan Karakter di
Sekolah. Jurnal Demokrasi 11(1). 2012 (http://ejournal.unp.ac.id)
diakses tanggal 7 oktober 2017
Olken,B.A. & Pande, R. Corruption in Developing Countries . Annu. Rev.Econ.,
4(1), 479-509. 2012.
252 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
Qoribulloh, Hasan al-Fatih, Dawru al-Ghazālī, Mesir: Matbaah al-Amanah,
1978.
Setiawan, Ebta, KBBI Offline, Versi 1.1, 2003.

Sofia, A.I. Model Pembelajaran Mata Kuliah Anti-Korupsi. Dalam Pendidikan


Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemdikbud. 2011.

Transparansi Internasional. Corruption Perceptions Index .(Online)


(https://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_ind
ex_20 16). 2016.diakses pada tanggal 20 Oktober 2017

Van Duyne,P. Will Caligula go transparent? Forum on Crime and Society.


Volume 1, Number 1. 2001.

International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 253


The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World

You might also like