Professional Documents
Culture Documents
INTERNATIONAL SEMINAR
ON IMAM AL-GHAZALI’S SUFISM
مجموعة املقاالت
املؤثمر الدولي في ثصوف إلامام الغزالي
PROCEEDING I NTERNATIONAL S EMINAR ON IMAM AL-GHAZALI’S SUFISM
THEME :
THE ROLE AND C ONTRIBUTION OF I MAM AL -GHAZALI ON P EACE AND H ARMONIOUS W ORLD
Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Reviewer:
Pro. Dr. Achmad Mubarok, MA
Dr. Ali M. Abdillah, MA
Editor:
Dr. Zulfan Taufik, MA.Hum
Dewi Anggraini, MA
Cover Design:
Dian Makruf
Lala
ISBN: 978-979-16035-3-9
v
dapat menyelinap ke dalam interaksi sosial politik secara nasional, regional
maupun global yang ujungnya membangun harmoni global.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut serta
dalam mensukseskan seminar ini dan secara khusus kepada kalangan akademisi
yang ikut menyumbangkan kajian aktualnya berupa tulisan yang didiskusikan
dalam seminar ini. Insyaalloh akan memdatangkan berkah dan rahmat Alloh swt
kepada kita semua.
vi
DAFTAR ISI
PEMBICARA UTAMA
Ajaran Tasawuf Imam al-Ghazali sebagai Dasar Muhaqiqīn dalam Bertarekat
Mu’tabarah
M. Luqman Hakim (3 – 10)
Imam al-Ghazali Sang Pendamba Hakikat
Hujjatullah Ibrahimiyan (11 – 22)
SESI PANEL I
Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik
Achmad Mubarok (81 – 94)
UU. Ormas Perspektif Politik Kebangsaan al-Ghazali
Agus Irfan (95 – 114)
vii
Corak Sufistik Imam al-Ghazali Terhadap Sufi Nusantara
Hajam (115 – 133)
Popularitas, Pengaruh, dan Posisi Tasawuf al-Ghazali di Nusantara
Idris Masudi (135 – 144)
SESI PANEL II
Pengendalian Jiwa Manusia Modern: Telaah atas Pemikiran Sufistik Al-Ghazali
Muhammad Iqbal Irham (147 – 164)
Relevansi Psikoterapi Sufistik dalam Minhajul Abidin Ditinjau dari Psikoterapi
Modern Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)
Ricky Firmansyah (163 – 183)
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya
Global
Dalmeri (185 – 207)
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali
Abdul Ghofur (209 – 246)
Reaktualisasi Zuhud al-Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi pada
Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
Yulianto dan Millatuz Zakiyah (239 – 253)
viii
PEMBICARA UTAMA
AJARAN TASAWUF IMAM AL-GHAZALI SEBAGAI DASAR
MUHAQQIQIN DALAM BERTAREKAT MU’TABARAH
M. Luqman Hakim
Pimred Majalah Cahaya Sufi Indonesia
3
M. Luqman Hakim
Syariat dan Gedung Tauhid. Ternyata ada ruang rahasia tersembunyi yang harus
mereka pandang, agar meraih Khasyyah, dan menjadi Ulama Billah yang
Warotsatul Ambiya’. Mereka menemukan cahaya dalam ruang “Al-Munqidz
minadh Dhalal” setelah lama perjalanan kegelapan pengetahuan dan jiwa.
Betapa mereka baru menyadari, bahwa “Cahaya-cahaya Ilahi itu mendahului
semua wacana Ijtihad dan intelektualitasnya”. Sementara mereka berada dalam
“Kegelapan Ilmiah yang sedang mencari cahaya hakiki”.
Bagi filosuf gedung ini akan menjadi wisata intelektual yang membuka
tirai (hijab) melalui metode yang tidak mereka kenal, dengan metode Kasyf dan
Dzauq yang melampaui seluruh perjalanan filosufis dan intelektual mereka. Bila
mereka meraih hidayah, ia akan mengalami katarsis dalam kesadaran Tahafutul
Falasifah. Tetapi bila mereka tertutup jiwanya, mereka akan kembali ke wilayah
apriori Tahafutut Tahafut.
Bagi para psikolog, gedung ini adalah impian-impian dan akhir semua
kegelisahan dan keresahannya. Karena sehebat apa pun yang mereka pelajari
mereka praktekkan dalam konseling, tak lebih dari kulit-kulit tipisnya belaka.
Bahkan yang mereka lakukan hanyalah memasuki ruang-ruang imajiner yang
semu, yang semakin mereka dalami semakin gelap.
Bagi mereka yang selama ini mendalami agama melalui pengetahuan yang
tekstual, hanya memandang agama dari formalitas yang tampak di permukaan,
merasa final dengan dengan apa yang diraihnya, memasuki gedung itu akan
muncul dua pandangan: Bila memasukinya dengan tulus dan ikhlas ia akan raih
pencerahan baru. Jika datang dengan apriori, gedung ini dianggap aneh, penuh
bid’ah, menyesatkan dan harus dirobohkan. Ini gedung hantu, kata mereka.
Gedung Besar ini bisa disebut dengan “Gedung Ihya’ Ulumuddin” yang
dibangun oleh seorang arsitek yang tidak hanya ahli di bidang arsitektur, sipil,
dan bahan-bahan bangunan. Tetapi ia sendiri turun membangun langsung,
mulai mengaduk bahan baku sampai ornament-ornamennya, setelah melakukan
penelitian panjang dari seluruh arsitektural dunia, berbagai aliran klasik hingga
modern, kelemahan dan kelebihannya. Arsitek yang cukup berpangaruh bagi
gedung ini antara lain Abu Thalib Al-Makky, Al-Harits al-Muhasiby, Abul
Qasim al-Qusyairy, Al-Junayd al-Baghdady, Abu Yazid Al-Bisthamy, Imam
Madzahibil Arba’ah, Imam Haramayn Abul Ma’aly al-Juwainy dan tak kalah
penting Abul Hasan al-Asy’ary.
Pintu Gerbangnya dinamakan “Bidayatul Hidayah” kemudian memasuki
gedung itu ada beberapa pintu ruang pertama, “Iljamul Awam ‘an Ilmil Kalam”
lalu deretan “Qawa’dut Tauhid fil ‘Aqa’id; Al-Qisthasul Mustaqim;” dan “ Al-
Iqtishad fil I’tiqad”. Untuk ruang anak-anak dan remaja yang sangat indah ada
Hujjatullah Ibrahimiyan
Universitas Lintas Mazhab Tehran, Iran
dan Mantan Atase Kebudayaan Kedubes Iran di Jakarta
Abstrak
Imam Muhammad al-Ghazali adalah seorang faqih, arif, ulama dan pemikir
Islam asli Iran dan merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam
dunia Islam. Bisa dikatakan sangat sedikit orang yang punya pengaruh seperti
Al-Ghazali. Ia menjalani hidupnya tanpa rasa lelah dan penuh semangat dalam
mencari hakikat. Ia tidak terlena dengan predikat dan maqam relijius yang
disematkan kepadanya saat itu, dimana ia telah berhasil menyandang gelar
Hujjatul Islam. Gelar itu diberikan kepada seorang fakih terbesar di belahan Asia
Timur hingga Asia Tengah dan bahkan hingga jantung Andalusia. Ia juga
melepaskan diri dari kesibukkan di madrasah, Ia menanggalkan semua
kedudukan tersebut supaya tidak menjadi budak dunia yang hina ini dan
mampu menyelami lebih dalam segala hakikat. Mengkaji pribadi mulia Ulama
besar ini bisa menjadi sebuah panutan bagi setiap pencari Ilmu agama (Pelajar
dan Mahasiswa).
Kata kunci: Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Hujatul Islam, Khorasan,
Madzhab Syafi’i.
PENDAHULUAN
Hujjatul Islam Muhammad al-Ghazali Thusi merupakan tokoh besar
yang hidup pada abad ke-5 hijriah, Ia habiskan seluruh umurnya untuk
pengetahuan dan petualangan spiritual. Pada umur 40 tahun Ia mencapai
puncak keilmuannya dalam berbagai bidang ilmu agama Islam dan namanya
dielu-elukan oleh Muslimin dunia. Imam Ghazali dengan karya-karyanya yang
mendalam di berbagai bidang keilmuan memberikan nafas baru bagi dunia
Islam. Ia juga banyak memberika pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran
11
Hujjatullah Ibrahimiyan
Pada tahun 478 Hijriah Abul Ma’ali meninggal dan Imam al-Ghazali
sudah sampai tingkat keilmuan yang membuatnya tidak membutuhkan lagi
pengajar dan ia menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu seperti ilmu tata
bahasa, Fiqih, Ushul, Hadits, Kalam, Jadal, Ilmu perbandingan, dan lain
sebagainya.
Setelah ia meninggalkan Neishabur, dalam kurun waktu tujuh tahun ia
melalui kehidupannya di Iran dan selama itu ia sibuk menyempurnakan tulisan-
tulisan dan karangan-karangannya. (Hamai, Jalaluddin, Hamai Name, hal. 124-
125). Di masa-masa ini pula ia menyelesaikan kitab yang sangat luas
kandungannya yaitu Al-Khilaf, tepatnya di kota Hamadan.
Pada tahun tersebut, Al-Ghazali pergi ke sebuah pangkalan militer Dinasti
Saljuq yang dekat dengan Naisabur dan berkunjung ke teman sekotanya Khojah
Nizam Maliki Thusi (wafat: 485 H). Di hadapannya Ghazali berdebat dengan
para ulama dan fuqaha dan mengalahkan mereka sehingga mereka mengakui
keilmuannya. Khojah Nizamu Al-Muluk dengan sepenuh hati selalu
mendukung Al-Ghazali dan selalu menghormatinya sampai ia memberinya gelar
dengan “Zainuddin” dan “Syarafuddin”.
masyarakat seperti ketika beliau menjadi penengah antara Tarkan Khatun (Istri
dari Raja Saljuqi) dan Kholifah Muqtada Biamrillah dalam menyelesaikan
sebuah persoalan diantara mereka. (Ibn Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, 10/214) Ia
tinggal dan mengajar di Nizamiah Bagdad selama kurang lebih 4 tahun, yaitu
dari bulan Dzulqa’dah 484 sampai bulan yang sama pada tahun 488.
Hal inilah yang membuat gejolak syahwat dalam diri Ghazali muncul, ini
merupakan perjalanan yang paling sulit dalam hidupnya. Ia mengaku bahwa
pada tahap pertama, dalam meninggalkan status dan hartanya, dengan mudah
dapat ia lalui, namun pada tahap selanjutanya, ikatan pengetahuan dan
kesibukan mengajar yang dzohirnya sangat mengikat dan memikat ini dangat
sulit untuk dilepaskan. (Hamai, Ghazali e Name, Hal, 122) setelah melalui
pusaran pergumulan keraguan tersebut akhirnya ia bisa menempuh jalan irfan
dan menjadi seorang yang terbebas dari ikatan-ikatan tersebut.
KEMBALI KE THUS
Masa-masa perjalanan dan petulangan Al-Ghazali berakhir pada tahun
498 H, pada tahun ini setelah melaksanakan haji ia kembali ke Iran. Pada bulan
Dzilqa’dah tahun 499 H, atas keinginan raja Sanjir dan dengan paksaan
KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali adalah seorang ilmuan dan penulis yang kaya akan karya dan
tulisan yang ditulis dengan bahasa Persia dan Arab. Disamping untuk beribadah,
Dalam tema Ushul Fikih ia menulis buku Al-Mankhul min Ta’liqat al-
Ushul yang tak lain adalah kumpulan catatannya saat belajar dari gurunya,
Imam al-Haramain al-Juwaini di Madrasah Nidzamiyah di kota Naisabur. (baca
Gerji, Abu al-Qasim, Ara e Ghazali dar Elm e Oshule Feqh: Negahi be Ketabe al-
Musthafa). Selain itu di bidang ilmu Khilaf, Al-Ghazali telah menulis empat
karya, antara lain Ma’khadzul Khilaf, Al-Babu Al-Nadzr, Tahsin al-Ma’khadz
dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat. (Ghazali, Muhammad, Mi’yar al-Ilm, hal, 60)
Logika dan Filsafat
Selama hidupnya, Al-Ghazali memberikan porsi yang besar banyak untuk
mempelajari filsafat. Selama ia menetap di Baghdad, Al-Ghazali bergelut dengan
karya-karya para filsuf Neoplatonism dan Ibnu Sina. Karya filosofisnya,
Maqashid al-Falsafah, merupakan terjemahan dan adopsi dari buku
Daneshnameh Alaei karya Ibnu Sina yang ditulis dengan menggunakan bahasa
Persia. (Khansari, Mohammad, Maoqef e Ghazali dar Barabar e Falsafeh va
Manteq, hal 14). Ia juga menulis tentang kritikan terhadap filsafat dan para
filsuf dalam buku yang diberi judul Tahafut al-Falasifah. Ia berupaya sebisa
mungkin untuk membantah keyakinan-keyakinan para filsuf dengan
menggunakan kaidah-kaidah dasar pemikiran mereka sendiri yang kemudian
menghasilkan kontradiksi-kontradiksi yang menggugurkan tatanan pemikiran
para filsuf.
Dalam bidang ilmu Logika, Al-Ghazali menulis dua buku, yaitu Mi’yar al-
Ilm dan Muhik al-Nadzr dan satu buah risalah yaitu al-Qisthas al-Mustaqim
yang membahas tentang acuan-acuan logika dalam Al-Qur’an. Buku Mi’yar al-
Ilm dianggap sebagai buku terpenting di bidang logika pada waktu itu. Yang
menjadi ciri khas dan nilai lebih dari Al-Ghazali dalam karya-karya logikanya
adalah kemampuannya dalam menciptakan metode baru dalam penyampaian
serta pemberian contoh yang baru serta penggunaan bahasa yang lebih mudah
dipahami.
Teologi dan Aqidah
Karya utama Al-Ghazali dalam bidang ini adalah buku Al-Iqtishad fi al-
I’tiqad. Buku ini membahas tentang teologi Asy’ariah yang disinyalir ditulis
pada sebelum atau setelah masa belajarnya di Baghdad (Watt, Montgomery, hal
130). Selain itu ia juga menulis buku Faishal at-Tafraqah baina al-Islam wa Az-
Zanadiqah. Ia juga menuangkan kritikannya terhadap mazhab Syiah Ismailiah
dalam bukunya Al-Mustadzhari. Ia juga menulis sebuah risalah yang cukup luas
dan mendalam mengenai kritikan-kritikan terhadap agama Kristen.
Karya terbesar dan terpenting lainnya dalam bidang tasawuf dan irfan
yang ditulis dengan bahasa Persia adalah Kimiya e Saadat. Meskipun karyanya
ini kandungannya berasal dari buku Ihya Ulumuddin, namun banyak hal yang
dijelaskan secara lebih luas yang tak adapat ditemukan di dalam Ihya-nya.
Kimiya e Saadat menjadi contoh karya sastra Persia yang sederhana namun tetap
menarik dan mampu mempengaruhi pembaca dengan ungkapan-ungkapan yang
mudah dipahami dimana kelebihan ini jarang ditemukan di karya-karya
Maulawi Rumi dan Attar Naisaburi. (Zarrinkoub, Farar az Madreseh, hal 137)
Buku lainnya yang tak kalah penting adalah Nasihat al-Muluk yang ditulis
menggunakan bahasa Persia. Buku tersebut disebut-sebut tak lain adalah
nasehat-nasehat yang ditujukan kepada Sultan Sanjar Seljuq. Buku ini memiliki
kandungan-kandungan yang sangat tinggi dari aspek akhlak, irfan dan hikmah
praktis. Buku ini terbagi menjadi dua bagian yang satu sama lainnya sangat
berbeda. Inilah yang membuat sebagian ilmuan dan peneliti meragukan
keabsahan bagian kedua dari buku tersebut. (Pour Javadi, Nasrullah, Ghazali,
hal 415-417) Satu abad setelah itu buku tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Persia yang kemudian diberi judul At-Tabarruk al-Masbuk fi Nasihat al-
Muluk. (Haji Khalifah, Kashf al-Dzunun, 1/337). Kemudian diterjemahkan lagi
ke dalam bahasa Turki oleh Ala’I bin Muhib Shirazi. Karya berbasa Persia
lainnya yang mirip dengan Nasihat al-Muluk adalah risalah Pand Nameh yang
tampaknya karya tersebut juga ditujukan kepada Sultan sanjar Seljuq (Pour
Javadi, Nasrullah, Ghazali, hal 412-449).
Tulisan berupa nasehat lainnya yang sarat akan pesan-pesan irfani adalah
buku Ey Farzandam atau dalam versi Arabnya Ayyuha al-Walad. Buku tersebut
berisi nasehat-nasehat yang ditujukan kepada salah satu muridnya. Selain itu ada
juga buku yang berjudul Fadha’il al-Anam min Rasa’ila Hujaj al-Islam yang tak
lain adalah kumpulan dari 34 suratnya di Khurasan dengan bahasa Persia
kepada para sultan, wazir dan amir pemerintah serta para ulama dan fukaha.
Dalam surat-surat tersebut terkandung banyak permasalahan sejarah, teologi
dan irfani. Salah satu karya lain Al-Ghazali adalah Resaleh dar Bayan e Hemaqat
e Ahl e Ebahat. Dalam risaah ini Al-Ghazali mengungkapkan kritikannya
terhadap sebagian orang yang tidak memperhatikan adab-adab dan kebiasaan-
kebiasaan syariat. Risalah ini digadang-gadang sebagai karya yang paling
berpengaruh dalam mengkritik kelompok Ibahat yang muncul pada abad ke 5
Hijriah. Selain itu karya lainnya dalam bahsa Persia adalah Akherat yang ditulis
untuk masyarakat awam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Muhammad, Mi’yar al-Ilm, tahqiq: Sulaiman Dunya, Mesir, Darul
Maarif, 1961.
Badawi, Abdul Rahman, Muallafat al-Ghazali, Kuwait, Wikalat al-Matbu’at,
1977.
Farisi, Abdul Ghaffar bin Ismail, Al-Muntakhab min as-Siyaq li Tarikh al-
Nisabur, disusun oleh Ibrahim bin Muhammad al-Shuraifini, diteliti oleh
Muhammad Kadzim al-Mahmudi, Teheran, Ketabkhane ye Shora ye
Eslami, 1391 (Kalender Iran).
Haji Khalifah, Kashfu al-Dzunun, Beirut, Daru Ihya’ al-Turats al-Arabi.
Hama’i, Jalal al-Din, Ghazali Nameh: Sharh e Hal va Asar va Aqaed va Afkar e
Adabi va Mazhabi va Falsafi va Erfani ye Emam Abu Hamed Mohammad
ben Mohammad ben Ahmad e Ghazali e Thusi, Teheran, Ketabfurushi e
Foroughi.
Ibn al-Jauzi, Al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, Haidar Abad
Dokan, Dairat al-Maarif al-Utsmaniyah, 1359 H.
Iqbal, Abbas, Makatib e Farsi e Ghazali (Fadha’il al-Anam min Rasa’il Hujaj al-
Islam), Teheran, Ketabkhane Tahuri, 1363 (Kalender Iran).
Khansari, Mohammad, Maoqefe Ghazali dar barabare Falsafe va Manteq,
Majaleh Maarif, bulan Azar-Esfand 1363 (Kalender Iran).
Pour Javadi, Nasrullah, Do Mojaddad: Pajuhesh haei dabrare e Mohammad
Ghazali va Fakhr e Razi, Teheran, Markaz e Nashr e Daneshgahi, 1381
(Kalender Iran).
Pour Javadi, Nasrullah, Ghazali: Daneshnameh e Zaban va Adab e Farsi, jilid 4,
Teheran, Farhanggestan e Zaban va Adab e Farsi, 1384 (Kalender Iran).
Sabuoki, Abdul Wahhab bin Ali, Tabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, Mahmud
Muhammad al-Tanahi.
Watt, Montgomery, Zendegi va Andishe ye Abo Hamid e Ghazali, terjemahan
Prof. Dalir Pour, Majale ye Kalam e Eslami, 1385 (Kalender Iran), nomer
57.
Yafeei, Mir’at al-Jinan wa Ibrat al-Yaqdhan, Dairatul Maarif al-Nidzamiyah
HAidar Abad, 1338 H.
Yaqut Hamawi, Mu’jam al-Buldan, Beirut, Dar Shadir, 1397 H.
Zarrin Koub, Abdol Hossein, Farar az Madreseh: Darbare ye Zendegi va andishe
ye Abo Hamed e Ghazali, Teheran, Amir Kabir, 1378 (Kalender Iran).
ملخص
وٜذ جبحن في خىاب الذِىة ؤن ؤَم ؤظباب الخذاعي لهزا اإلااجمش ما جىاحهه ؤمخىا
ؤلاظالمُت الُىم مً اهحىاه ألاخال ٛوالفشاُ بحن اإلاعلمحن وٌهىس الخىشٗ
ٌ ٌٌ
وؤلاسَابٝ٘ .ذ خشحذ خاسحت ؼارة في آلاوهت ألاخحرة في ٠ثحر مً بالدها اهٙلخذ مً
لىابي الؽشَّت وبخاـت في حاهب ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش ٌو٘ٝه َزٍ
الؽشَّت وآدابها .ومً َىا ٌ
ؤًذ ؤن ؤوحض الخذًث في ال٢الم ًِ ألامش باإلاّشوٗ والىهي
س
ًِ اإلاى٢ش مً ٠خاب ألامشباإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش مً ٠خاب "بحُاء ِلىم الذًً"
جفشٗ وجٝشٍب ل٢الم ؤلامام لُخّشٗ الُٕىس ٘ٝه الاحدعاب وآدابه لُبني ِلُه،مْ ٌ
وٍيسج ِل مىىاله وج ٚ٢ٙ٢جل ٤الخجاوصاث وجٝل جل ٤الجشاءاث .
ٌ
مقدمت
الخمذ هلل الهادي بلى ظىاء العبُل ،وـلى هللا وظلم ِلى ؤٜىم دلُل ،وِلى
آله وصخبه ؼٙاء ١ل ِلُل ،وسواء ١ل ٔلُلٌ.
ٌ ٌٌ
٘ٝذ خشحذ خاسحت ؼارة في آلاوهت ألاخحرة في ٠ثحر مً بالدها اهٙلخذ مً
لىابي الؽشَّت وبخاـت في حاهب ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش و٘ٝه َزٍ
ٌ ٌ
الؽشَّت وآدابها ،ؤذا ٠ثحرون ِلى ؼى ٌي ال ًىا ،ٛوٍإبىن بال الخشوج ِما ٜشسٍ
ٌ
واخخل ألامً ،واهٙشه الّٝذ، الٝٙهاء الخ٢ماء الّذو٘ ٥عاءث لزل ٤ألاحىا، ٥
23
محمذ ًاظش بً محمذ خحر الٝمماوي
جهجمهم ،وبصسائهم ِلى ٠باس الّلماء واظخىحؾ الىاط مً وخُم حشاءاتهم ،وٜبح ٌ
ووحىَهم!ٌ
ٌ ٌ
زم جمادي ألامش بلى ؤن ؤٔشي بّمهم بخُاالث صٌج ٘حها وؤن الخ ٞفى اإلاعإلت
ٌ الٙالهُت ٌ
حّحن في ٠زا ٕ٘ذا الخشوج ًِ سؤيهم ومزَبهم خشوج مً اإلالت ،وَى الٙ٢ش
ٙ٠شوٍ ١ا٘ش ال ؼ ٤في ٙ٠شٍ!ٌالفشاح ،بل اإلاتردد في ٙ٠ش مً ٌٌ
ًشجذ ًِ دًىه؟! ؤلِغ ٌ
حذٍ وٍٝىَ ٥االء :حّالىا ؤخبروها -باهلل ِلُ٢م – ماحضاء مً ٌ
ٌ
ٌ
ؤن ًٌمشب ِىٝه؟! ٘ذِىها هُٝم الخذ! ال ًيبغي حّىُل الؽشَّت ،وَزا ح٢م هللا
الزي ال ًشجط ي ظىاٍ!!ٌ
ٌ ٌ
وو ْٜاإلا٢شوٍ مً بٜامت الخذود َىا وَىاٟ؛ ٘مشبذ ؤِىا ،ٛوٜىّذ
ٌ ٌ وح ٌذِذ ؤهىٌٗ ، ٌوٌ ٠عشث ؤًذي وؤسحلٌ ،
وـلمذ آرانٌ ،وٌبٝشث بىىن ،بل وٜىّذ
ٌ ٌ ٌ
ٌ
جٝؽّش له ألابذان و حؽِب له ؤهاط بسبا بسبا ،واحتٌزث سئوط ؼابذ في ؤلاظالم بما
هىاص ي الىلذانٌ ،
وٍجهذ له البيُان!ٌ
ؤًذ ؤن ؤوحض الخذًث في ال٢الم ًِ ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ ومً َىا ٌ
س
اإلاى٢ش مً ٠خاب ألامشباإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش مً ٠خاب "بحُاء ِلىم الذًً" مْ
جفشٗ وجٝشٍب ل٢الم ؤلامام لُخّشٗ الُٕىس ٘ٝه الاحدعاب وآدابه لُبني ِلُه، ٌ
وٍيسج ِل مىىاله وج ٚ٢ٙ٢جل ٤الخجاوصاث وجٝل جل ٤الجشاءاث ٌ .
وٜا ٥حّالى٠﴿ :ىخم خحر ؤمت ؤخشحذ للىاط جإمشون باإلاّشوٗ وججهىن ًِ
اإلاى٢ش﴾ (آِ ٥مشان ٌ)440 :
ٌ
وَزا ًذِ ٥لى ٘مُلت ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش؛ بر بحن ؤنهم ١اهىا به خحر ؤمت
ؤخشحذ للىاطٌ.
وٜا ٥ابً ِباط سض ي هللا ِىهُٜ :ل ًا سظى ٥هللا؛ ؤتهل ٤الٝشٍت و٘حها
الفالخىن؟ ٜا(( :٥وّم))ُٜ .ل :بم ًا سظى ٥هللا؟ ٜا(( :٥بتهاونهم وظ٣ىتهم ًِ
مّاص ي هللا ِض وحل))ٌ.4
وظئل حزًٙت سض ي هللا ِىه ًِ مُذ ألاحُاءٝ٘ ،ا :٥الزي الًى٢ش اإلاى٢ش بُذٍ ،و ٌال
بلعاهه ،وال بٝلبهٌ2
ٜا ٥حجت ؤلاظالم الٕضالي -سحمه هللا ٘ : -ةن ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ
اإلاى٢ش َى الٝىب ألاٍِم في الذًً ،وَى اإلاهم الزي ابخّث هللا له الىبُحن
ٌ
ؤحمّحن،ولى وىي بعاوه ،وؤَمل ِلمه وِمله لخّىلذ الىبىة ،والمحلذ الذًاهت،
وِمذ الٙخىت ،و٘ؽذ الماللت ،وؼاِذ الجهالت ،واظدؽشي الٙعاد ،واحعْ الخش،ٛ ٌ
وخشبذ البالد ،وَل ٤الّباد ،ولم ٌؽّشوا بالهال ٟبلى ًىم الخىاد ،وٜذ ١ان الزي
خٙىا ؤن ً٣ىن ٘ ،ةها هلل وبها بلُه ساحّىنٌ.
1
.الىبراوي في ال٢بحر ()270/44
2
.البحهٝي في الؽّب ()7484
مذجىج ؛ ٘ىٝى :٥وّمٜ ،ذ ٌعٝي جإزحر ٠المه ِ٘عٝي ٌ ٌومً ٌمٌى ٌْ ٌح ٌعبت الٙاظٞ
وحىب ال٢الم؛ ول ً٢الخعبت الٝهشٍت بن ٜذس ِلحها باُٜت ،و٘حها جخ ُٚٙمً الؽشوسٌ.
والحضبت لها خمط مراجب ٌ:
أوالها :الخّشٌٍٚ
والثانيت :الىَِ بال٢الم اللىٌُٚ
والثالثت :بالخّىُٚ؛ ٝ٠ىله :ؤال جخاٗ مً هللا؟!ٌ
والرابعت :اإلاىْ بالٝهش بىشٍ ٞاإلاباؼشةٌ
والخامضت :الخخىٍ ٚوالتهذًذ بالمشب ،ؤو مباؼشجه ،وَزٍ جحخاج مً آلاحاد الى
ًجش بلى حمْ ؤِىان مً الجاهبحن ٌ
ُ٘جش الى ٘خىت ِامت!ٌ هٍش؛ بر ٜذ ٌ
ٜا ٥حجت ؤلاظالم الٕضالي – بّذ ؤن ؤوسد آلاًاث وألاخباس في وحىب ألامش
باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش : -بن آلاًاث وألاخباس التي ؤوسدهاَا جذِ ٥لى ؤن ١ل مً
ٌ
سؤي مى٢شا ٘ع٢ذ ِلُه ِص ى ،بر ًجب نهُه ؤًىما سآٍ وُٙ٠ما سآٍ ِلى الّمىمٌ.
وٜا ٥بثبىث والًت الخعبت للىلذ ِلى الىالذ ،والّبذ ِلى العُذ ،والضوحت
ٌ
ِلى الضوج ،والخلمُز ِلى ألاظخار ،والشُِت ِلى الىلي ل ً٢بُجهما ٘ش ٛفي الخٙفُلٌ.
٘ -للىلذ الخعبت بالشجبخحن ألاولُحن والباقي ُ٘ه هٍش.
ؤؼذ مً الىالذ ٘لِغ لهم مّه بال الخّشٍٚ -وؤما الشُِت مْ العلىان ٘األمش ُ٘ه ٌ
والىصر ٘ ،إما الشجبت الثالثت ٘ٙحها هٍش مً حُث بن الهجىم ِلى ؤخز ألامىا٥
ٌ
مً خضاهخه وسٌٌدَا بلى اإلاال٣ً ...ٟاد ًٙط ي بلى خشَُ ٛبخه وبظٝاه حؽمخه،
ورل ٤محٍىس وسد الىهي ِىهٌ.3
-وٜلىاٜ :اد ٌسا؛ وال ًخٙى ؤن الّاحض لِغ ِلُه حعبت بال بٝلبه؛ بر ١ل مً ٌ
ؤحب
هللا حّالى ُ٘٢شٍ مّاـُه وٍى٢شَا [ِىذ ابً اإلاباس ٟفي الضَذ ٜ :ا ٥ابً معّىد
3
سوي الخا٠م في اإلاعخذس ،)290/3( ٟوالبحهٝي في العجن ال٢بري ( )464/8مً حذًث ُِاك بً ٔىم سض ي هللا ِىه مش٘ىِا" :مً ١اهذ
ٜبلها ،وبال ١ان ٜذ ٌؤدي الزي ِلُه والزي له".
ٜبلها ٌ
ٌ
ِىذٍ هفُحت لزي ظلىان ٘ال ً٣لمه بها ِالهُت ولُإخز بُذٍ ٘لُخل به٘ .ةن ٌ
ٌ
وللترمزي ( )2224مً حذًث ؤبي ب٢شة الثٙٝي سض ي هللا ِىه مش٘ىِا " :مً ؤَان ظلىان هللا في ألاسك ؤَاهه هللا" ٜاله ؤبى ب٢شة لشحل
ظمّه ًٝى : ٥ؤهٍشوا بلى ؤمحرها ًلبغ زُاب الٙعا.ٛ
سض ي هللا ِىه :حاَذوا اإلاىا٘ٝحن بإًذً٢م ٘ةن لم حعخىُّىا ٘بإلعيخ٢م ٘ ،ةن
ٌ
٘اٙ٠هشوا في وحىَهم.4 ٌ
جٙ٢هشوا في وحىَهم لم حعخىُّىا بال ؤن
قال إلامام الغسالي :واِلم ؤهه ال ً ٚٝظٝىه الىحىب ِلى العجض ٌ
الخس ٌي
بل ًلخح ٞبه ما ًخاٗ ِلُه م٢شوَا ًىاله٘ ،زل ٤في مّنى العجض ،و٠زل ٤برا لم
ٌ
ًخ ٚم٢شوَا ولِ ً٢لم ؤن به٣اسٍ ال ًىٌ.ْٙ
ٌ
وٜا - ٥في حالت ؤهه ال ًُٙذ به٣اسٍ ل٢ىه ال ًخاٗ م٢شوَا -ال ًجب ِلُه الخعبت
لّذم ٘اثذتها ،ول ً٢حعخحب إلٌهاس ؼّاثش ؤلاظالم ،وجز٠حر الىاط بإمش الذًًٌ.
وفي حالت ؤن ٌّلم ؤهه ًفاب بم٢شوٍ ولً ً٢بىل اإلاى٢ش بّٙله٘ ،هزا لِغ
بىاحب ولِغ بحشام ،بل َى معخحب .وٍذِ ٥لُه الخبر الزي ؤوسدهاٍ في ٘مل ١لمت
حِ ٞىذ بمام حاثش ،وال ؼ ٤في ؤن رل ٤مٍىت الخىٌٗ.5
وفي [ٜىث الٝلىب] ٌسوي ًِ ؤبي ظلُمان الذاساوي -سحمه هللا حّالى -ؤهه
ٌ
ٜا : ٥ظمّذ مً بّن الخلٙاء ٠الما ٘ ،إسدث ؤن ؤه٢ش ِلُه وِلمذ ؤوي ؤٜخل ولم
ٌ ًمىّني الٝخل ،ول١ ً٢ان في مئل مً الىاط ٘خؽِذ ؤن ٌّترًني ٌ
التزًً للخل٘ ٞإٜخل ٌ
مً ٔحر بخالؿ في الّٙلٌ.6
وٜا ٥ؤلامام الٕضالي :الًٍ الٕالب في َزٍ ألابىاب في مّنى الّلم ...ومجشد الخجىٍض ال
ٌعٝي الىحىب؛ ٘ةن رل ٤مم ً٢في ١ل حعبت ،وبن ؼُ٘ ٤ه مً ٔحر سجخان ٘هزا
محل الىٍش .وألاصر :الىحىب بح٢م الّمىماثٌ.
-املعصيت لها ثالثت أحىال:
إحداها :ؤن ج٣ىن مخفشمت ٘ ،الّٝىبت ٌ
بالخذ ؤو الخّضٍش بلى الىالة ال بلى آلاحادٌ.
الثانيت :ؤن ج٣ىن ساَىت وـاحبها مباؼش لها٘ .ةبىالها واحب ب٣ل ما ًم ً٢ما لم ًاد
بلى ؤ٘حؾ مجها ؤو مثلها ،وَزا ًثبذ لآلحاد والشُِتٌ.
ٌ
الثالثت :ؤن ً٣ىن مخىّٜا ٘ال ًثبذ لآلحاد بال بىشٍ ٞالىَِ والىصر٘ .إما بالخّىُٚ
والمشب ٘ال ًجىص لآلحاد وال للعلىان بال برا ١اهذ جل ٤اإلاّفُت ِلمذ مىه بالّادة
4
الضَذ البً اإلاباس)4377( ٟ
5
والخذًث ِىذ الخا٠م في اإلاعخذس ًِ )495/3( ٟحابش سض ي هللا ِىه ،ولٍٙه " :ظُذ الؽهذاء حمضة بً ِبذ اإلاىلب وسحل ٜام بلى
بمام حاثش ٘إمشٍ ونهاٍ ٘ٝخله.
6
ٜىث الٝلىب ()437/2
اإلاعخمشة وٜذ ؤٜذم ِلى العبب اإلاٙط ي بلُه ،ولم ًب ٞلخفى ٥اإلاّفُت بال ما لِغ
له ُ٘ه بال الاهخٍاس؛ ورل١ ٤ىٜىٗ ألاحذار ِلى ؤبىاب حماماث اليعاء للىٍش بلحهً
٘ةنهم وبن لم ًمُٝىا الىشٍ ٞلعّخه ٘خجىص الخعبت ِلحهم بةٜامتهم مً اإلاىلْ
ومىّهم مً الىٜىٗ بالخّىُ ٚوالمشبٌ.
همىْ اإلاجىىن مً الضها وبجُان البهُمت وؼشب الخمش ،و٠زا الفبي ال ـُاهت
ٌ ٌ
للبهُمت اإلاإٌجٌُت ؤو الخمش اإلاؽشوب ،بل ـُاهت للمجىىن ًِ ؼشب الخمش ،وججزيها له
مً حُث بهه بوعان محترمٌ.
ٌ
مضألت مهمت :مً ٜذس ِلى ح َٙما ٥ؤخُه مً المُاُ مً ٔحر ؤن ًىاله ح ٌّ ٌب في
بذهه ،ؤو خعشان في ماله ،ؤو هٝفان في حاَه وحب ِلُه رل .٤وَزا ؤٜل دسحاث
حٝى ٛاإلاعلم ،وَزا ؤولى باإلًجاب مً سد العالم؛ ٘ةن ألاري في َزا ؤ٠ثر مً ألاري
في جش ٟسد العالمٌ.
وؤما بن ١ان ِلُه حّب ؤو لشس في ما ٥ؤو حاٍ لم ًلضمه رل٤؛ ألن حٝه ٌ
مشعي
في مىّٙت بذهه وفي ماله وحاَه ٠حٔ ٞحرٍ ٘ال ًلضمه ؤن ًٙذي ٔحرٍ بىٙعه؛ وّم،
ٌ ٌ ٌ ٌ
ؤلاًثاس معخحب ،وج ٌجؽ ٌم اإلافاِب ٌ ٜشٌبتٌ.
ورل ٤حاثض لآلحاد بؽشه الالىشاس والاٜخفاس ِلى ٜذس الخاحت في الذْ٘ ٘ةرا
ٌ
اهذْ٘ اإلاى٢ش ُ٘يبغي ؤن ًٌ. ٚ٢
ٌ
بخاؿ ح ٞهللا وما ًخّل ٞبح ٞآلادمُحنٌ. وال ٘ش ٛبحن ما ًخّلٞ
الدرحت الثامنت :أال يقدر عليه بنفضه ويحتاج فيه إلى أعىان يشهرون الضالح.
٘ٝاٜ ٥اثلىن :ال ٌعخٝل آحاد الشُِت بزل٤؛ ألهه ًادي بلى جحشٍ ٤الٙتن،
وَُجان الٙعاد ،وخشاب البالدٌ.
ٜا ٥ؤلامام :اإلاعإلت محخملت ،وسجر حىاص ّ٘له دون برن ،ألن َزا مً
الىىادس في الخعبت ٘ال ٌٕحر به ٜاهىن الُٝاطٌ.
ألهه برا حاص لآلحاد ألامش باإلاّشوٗ وؤواثل دسحاجه جذِى بلى زىاهُه وٜذ جيخهي -
ال محالت -بلى الخماسب ،والخماسب ًذِى بلى الخّاون ...ومىتهاٍ ججىُذ الجىىد في
سلا هللا ودْ٘ مّاـُه ،وهحً ٌ
هجىص لآلحاد مً الٕضاة ؤن ًجخمّىا وٍٝاجلىا مً ؤسادوا
ٌ
مً ٌ٘ ٌش ٛالٙ٢اسٜ ،مّا ألَل الٙ٢ش٢٘ ،زلٜ ٤مْ ؤَل الٙعاد حاثضٌ.
آداب الاحتضاب
حمُْ آداب اإلاحدعب ججمل بثالر ـٙاث :الّلم ،والىسُ ،وحعً الخلٌ.ٞ
.4الّلم بمىا ْٜالخعبت وحذودَا لُٝخفش ِلى حذ الؽشُ ٘حها.
ٜبل الىاط مىه بل .2الىسُ الزي ًذجضٍ ًِ الاسجذاُ ِما ًحدعب ُ٘ه ؛ وبال ،ما ٌ
ٌعتهضئون وِلُه ٌ
ًخجشئون.
.3حعً الخل ٞؤظاط هجاح اإلاحدعب ،وبحعً خلٝه ًفبر ِلى ما ًفِبه
﴿واـبر ِلى ما ؤـاب ،٤بن رل ٤مً ِضم ألامىس﴾ (لٝمان . )47 :وبال٘ ،ةرا
ؤـِب ِشله وماله ؤو هٙعه بؽخم ؤو لشب وس ي الخعبت ؤٙل ًِ دًً هللا
واؼخٕل بىٙعه.
٘باحخماُ َزٍ الفٙاث جفحر الخعبت مً الٝشباث ،وبها جىذْ٘ اإلاى٢شاث؛ وبن
ٌ
ؤًما مى٢شة؛ إلاجاوصٌة ٌ
حذ الؽشٌُ. ٘ٝذث لم ًىذْ٘ اإلاى٢ش؛ بل سبما ١اهذ الخعبت
7
معىذ الٙشدوط ()7744
8
ألاوظي ( )6624والفٕحر ()78/2
ٜاّ٠ ٥ب ألاخباس سض ي هللا ِىه ألبي معلم -سحماث هللا ِلُه ُٚ٠ : -
مجزلخ ٤بحن ٜىم٤؟ ٜا : ٥حعىت ٜ .ا : ٥بن الخىساة جٝى : ٥بن الشحل برا ؤمش
باإلاّشوٗ وههى ًِ اإلاى٢ش ،ظاءث مجزلخه ِىذ ٜىمه! ٘ٝا ٥ؤبى معلم :ـذٜذ
الخىساة و٠زب ؤبى معلمٌ.9
خاجمت
َزا وباهلل الخىُ٘ ٞإلاا ُ٘ه بصالت ١ل حّىٍ ،ٞوالاهتهاك للعلى ٟفي ؤٜىم ٌ
وشٍ ، ٞوالخؽش مْ صمشة ؤؼشٗ ٘شٍ ، ٞوالؽشب مً ؤحلى سحُ ، ٞمً ًذ ٜذوجىا
الخ ُٞٝـلى هللا ِلُه وِلى آله و صخبه وظلم ،وآخش دِىاها ؤن الخمذ هلل سب
الّاإلاحن.
9
جاسٍخ دمؽ ٞالبً ِعا٠ش ()203/27
مازن الشريف
جىوغ
ٌacharifmazen@hotmail.fr
مقدمت عامت
ًمث للل الخف للىٗ واح للذا مللً ؤَ للم اإلاىال للُْ الت للي ج للذاولتها الّ ٝللى ٥ج للذبشا وألا ٜللالم
مٙع ل للش إلاّاهُ ل لله ،ومب ل ل ّلحن
٠خاب ل للت مى ل للز وؽ ل للإة اإلاف ل للىلر ف ل للي ال ٝل للشن الث ل للاوي للهج ل للشة ،ب ل للحن ّ
لخُٝٝخ لله ،وباح للث ف للي ؤظل لشاسٍ وظ للابش ألٔ للىاسٍ ،وماـ للل ل لله ،ودخُ للل ِلُ لله وها ٜللذ ل لله
لخهجم مى ٢للش .و ٜللذ ج للإجج ال ٢للالم ال ٝللادح للخف للىٗ م للْ ب للشوص ّجُ للاساث وع للبخه للبذِ للت وم ل ّ
والؽ للش٠ ،ٟم للا حؽ للّبذ مع للاثله م للْ اجف للاله بالٙلع للٙت ؤىـ لله ف للي اإلاّ للاوي ؤلاؼ لشاُٜت
حتى جم ال٢الم ًِ الخلى ٥ووحذة الىحىد ؤحرَا مً اإلاعاثلٌ.
ّ
ول٢للً ِلمللا مللً ؤِللالم الخفللىٗ جمحللز ِللً ظللىاٍ وؤزللش وؤزللشي ،بللل لّللله مللً الٝلللت
الل للزًً ١ل للان لهل للم مح ل لزان دُٜل لل ٞواصن بل للحن الّٝل للل والل للشوح ،والتزُ٠ل للت والل للزو ،ٛوالٍل للاَش
والباوً ،وبحن ؤـلى ٥الُّٝلذة وؤظلشاس الخُٝٝلت٘ ،علىْ بلزل ٤هجمله وبلشص اظلمه حتلى
ظمي حجت ؤلاظالم٘ ،إبى حامذ الٕضالي ١ان رل ٤الشحل الّالم الّاسٌٗ.
وبن ٠خابلله "بحُللاء ِلللىم الللذًً" مللً ؤؼللهش ٠خللب الخفللىٗ بن لللم ً٢للً ؤؼللهشَا،
ول٢ىىللا ظللىحاو ٥ؤن وعللدبحن مىهجلله الفللىفي مللً ٠خللاب ؤٜللل ؼللهشة وبن ١للان مللً ٠خبلله
اإلاهمت ،وَى ٠خاب "مؽ٣اة ألاهىاس" .وظىدبْ في رل ٤اإلاىهج الخاليٌ:
/4الخّشٍ ٚبالخفىٗ ِامت ،والخفىٗ الٙلعٙي خاـتٌ.
/2الخّشٍ ٚبإبي حامذ الٕضاليٌ.
/3الخّشٍ ٚب٢خاب مؽ٣اة ألاهىاسٌ.
35
ماصن الؽشٍٚ
م للً ِش٘ للاث ؤي ًُٙم للىن به للم ،وٍ ٝللا ٥له للم :آ ٥ـ للى٘ان وآ ٥ـ للٙىان و ١للاهىا ًخ للذمىن
ج ّ
وٍخيعلل٣ىن ولّل ّلل الفللىُ٘ت وعللبىا بلللحهم حؽللبحها بهللم فللي اليعلل ٤والخّبللذ ؤو بلللى الّ٢بللت
ج
ؤَل الفٙت ُ٘ٝل :م٣ان الفُٙت الفىُ٘ت بٝلب بحذي الٙاءًً واوا للخخُٙل ٚؤو بللى
الفىٗ الزي َى لباط الّباد وؤَل الفىامْ".
بالفلٙت (بر ؤن الخفللىٗ َللى اجفلاٗ بمحاظللً ألاخللالٛ وسبلي آخللشون اإلافللىلر ّ
والفٙاث ،وجش ٟاإلالزمىم مجهلا ).وبالفل٢٘ ( ٚلإنهم فلي الفل ٚألاو ٥بٝللىبهم ملً حُلث
حمل للىسَم مل للْ هللا؛ وحعل للابٝهم فل للي ظل للاثش الىاِل للاث) ،وبٕحل للر رلل لل ٤ممل للا ؼل للا١ل اللٙل للَ
وحاوع لله ،و ٜللا ٥بّ للن اإلاعدؽ للشٜحن ؤن اإلاف للىلر ساح للْ بل للى ـ للىُ٘ا ؤو الخ٢م للت ل للذي
ؤلأشٍلل ،ٞبر ؤن ؤـللل مفللىل "٘لعللٙت" َللى "ُ٘لللىط ـللىُ٘ا" ؤو حللب الخ٢مللت ،وَىللا
ًلخ ٝل للي الخف ل للىٗ بالٙلع ل للٙت ف ل للي ح ل للب الخ٢م ل للت والخ ل للذبش ف ل للي الىح ل للىد ومّ ل للاوي ؤلاؼ ل لشاٛ
(زُىـىُ٘ا) التي جىحذ ؤًما في اإلافىلر الهىذي للخفىٌٗ .
ول ً٢الٕاللب ؤن الخفلىٗ وللجن حملْ ملً ١لل رلل٘ ،٤هلى باألظلاط ـلٙاءًٝ ،لى٥
الؽاِش الفىفي ؤبى الٙخح البعتي (جىفي َ 400ل 4040 /م):
ج
وٌىه البّن مؽخٝا مً الفىٗ جىاصُ الىاط في الفىفي واخخلٙىا ٌ
ـٙا ٘فىفي حتى ُظمي الفىفيٌ ٔحر جٌ
٘تىٌ ٌ ولعذ ؤمىح َزا الاظم َ
وؤم للا ٌه للىس اإلاف للىلر ٘ه للى ف للي ال ٝللشن الث للاوي للهج للشة ،وٍ للز٠ش ؤب للى هف للش ِب للذ هللا
العشاج الىىس يٌ(جىفي َ 378ل 988 /م)في ٠خابه "اللمْ في الخفلىٗ" اللزي ٌّخبلر ؤَلم
مفللى ٚمىظللىعي فللي جللاسٍخ الخفللىٗ ؤن ؤو ٥مللً جلٝللب بالفللىفي َللى ؤبللى َاؼللم ال٣للىفي
اإلاخللىفي ظللىت 450للهجللشة ،وٍٝللى ٥محمللذ ـللذً ٞالٕمللاسي فللي ٠خابلله "الاهخفللاس لىشٍللٞ
الفللىُ٘ت ألاخُللاس" ،ؿ 47ل ل ل ل ل ":.48وَّمللذ مللا ر٠للشٍ ابللً خلللذون فللي جللاسٍخ ٌهللىس اظللم
الْ ٢ىللذي ل ل ل ل و١للان مللً ؤَللل ال ٝلشن الشابللْ ل ل ل ل فللي ٠خللاب "والة مفللش" فللي الخفللىٗ مللا ر٠للشٍ ِ
ح ل للىادر ظ ل للىت اإلا ل للاثخحن :به ل لله ٌه ل للش باإلظ ل لل٢ىذسٍت واث ٙل للت ٌع ل للم ْىن بالف ل للىُ٘ت ً ل للإمشون
ج
بللاإلاّشوٗ .و٠للزل ٤مللا ر٠للشٍ اإلاعللّىدي فللي "مللشوج الللزَب" حاُ٠للا ِللً ًح للى بللً ؤ٠للثم
ج
٘ٝللا :٥بن اإلاللإمىن ًىمللا لجللالغ ،بر دخللل ِلُلله ِلللي بللً ـللالر الخاحللبٝ٘ ،للاً :٥للا ؤمحللر
اإلال لامىحن! سح للل وا ٜلل ٚبالب للابِ ،لُ لله زُ للاب ب للُن ٔ للالًً ،ىل للب ال للذخى ٥للمى للاٌشة،
ّ٘لمللذ ؤهلله بّللن الفللىُ٘ت٘ .هاجللان الخ٣اًخللان حؽللهذان ل٢للالم ابللً خلللذون فللي جللاسٍخ
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 37
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
ُ
وؽل للإة الخفل للىٗ .ور٠ل للش فل للي "٠ؽل لل ٚالٍىل للىن" ؤن ؤو ٥مل للً ظل للمي بالفل للىفي ؤبل للى َاؼل للم
الفىفي اإلاخىفى ظىت خمعحن ومئت (َ 450ل)"ٌ.
وٜذ ر٠ش الّاس٘ىن بالخفىٗ ِلى مش الٝشون ؼِئا مً مّاهُه ،مً رل ٤آلاحيٌ:
*ؤلامام الجىُذ :الخفىٗ اظخّما١ ٥ل خل ٞظني ،وجش١ ٟل خل ٞدوي
*ؤلام للام ؤب للى الخع للً الؽ للارلي :الخف للىٗ ج للذسٍب ال للىٙغ ِل للى الّبىدً للت ،وسدَ للا
ألح٣ام الشبىبُت.
*ؤلامام ابً عجُبت :الخفىٗ َى ِلم ٌّشٗ بله ُُٙ٠لت العللى ٟبللى حملشة ملل٤
اإلالى ،ٟوجفُٙت البىاوً مً الشراثل ،وجحلُتها بلإهىاُ الٙملاثل ،وؤولله ِللم ،ووظلىه
ِمل ،وآخشٍ مىَبتٌ.
*الؽ للُخ ؤحم للذ صسو :ٛالخف للىٗ ِل للم ٜف للذ إلـ للالح الٝل للىب وب٘شادَ للا هلل حّ للالى
ِمللا ظللىاٍ .والٝٙلله إلـللالح الّمللل وحٙللَ الىٍللام وٌهللىس الخ٢مللت باألح٣للام .وألاـللى٥
"ِل ل للم الخىحُ ل للذ" لخح ُٝل لل ٞاإلا ٝل للذماث ب ل للالبراَحن وجحلُ ل للت ؤلاًم ل للان باإلً ٝل للان ..و ٜل للذ ُح ل للذ
الخفللىٗ وسظللم و٘عللش بىحللىٍ جبلللٖ هحللى ألالٙللحن ،مشحللْ ١لهللا لفللذ ٛالخىحلله بلللى هللا،
وبهما هي وحىٍ ُ٘ه.
*الؽل للُخ ص٠شٍل للا ألاهفل للاسي :الخفل للىٗ ِلل للم حّل للشٗ بل لله ؤحل للىا ٥جضُ٠ل للت الىٙل للىط،
وجفُٙت ألاخال ٛوحّمحر الٍاَش ٌوالباوً لىُل العّادة ألابذًت.
الؽللُخ الؽللّشاويّ :
الفل ّ ّ
لىفي َللى الللزي ًخٝل ّلشب بلللى هللا ،بٙللشوك هللا ،زللم ًضٍللذَا *
الشظىِ ٥لُه الفالة والعالم مً حيغ ما ٘شك هللا وؤن ً٣ىن ِىذٍ ـلٙاء فلي بعىت ّ ّ
ج
اظخٝبا ٥ؤٜمُت الّبادة ُ٘٣ىن ـاُ٘ا هلل ،والفٙا َى ١ىهل ٤جفلاٗ .وهلي ١لهلا جلذوس
في ٘ل ٤الفٙاء والٝشب مً هللا والخىحه بلُه واإلاحبت ُ٘هٌ.
وٍشحْ الخفىٗ ٠على ٟومىهج وؤخال ٛوسٜاث ٞبّذ مىبّله الىبلىي ألاو ٥ومجهلله
اإلاحملذي الىٝللي زللم ملا ١للان مللً مللىهج ؤلاملام ِلللي ومللً مىلاعج الصللخابت سضل ي هللا ِللجهم
آلاخزًً ًِ سظى ٥هللا وجشبِخه وجضُ٠خه بؽ٣ل مباؼش ،بلى ِلملحن ٠بحلرًً َملا الخعلً
البفللشي ،وَللى جلمُللز ؤلامللام ِلللي ،وؤلامللام ِلللي جلمُللز مباؼللش للشظللى ٥ألا٠للشم نهللل مللً
ِلمه وجشبِخهٌ.
والّل للم الث للاوي َ للى ؤوَ للغ الٝشو للي ال للزي ؤوص ل ى الىب للي ِلُلله الف للالة والع للالم ٠ب للاس
الصخابت بن حاءَم ؤن ٌعإلىٍ الذِاء ،و١اهذ له ـلت ٠بحرة باإلمام ِلي ؤًملا ،وَّلذ
م للً ٠ب للاس ؤَ للل الخف للىٗ ِل للى ح ُٝٝللت مّى للاٍ ،و ٠للزل ٤هخب للت م للً ؤَ للل ال للزو ٛوالؽ للىٛ
والضَل للذ والتربُل للت ١الخل للاسر اإلاحاظل للبي وظل للشي العل للٝىي وظل للهل بل للً ِبل للذ هللا الدعل للتري
ؤح للرَم .ول ٢للً ؤَ للل الّل للم ؤسحّ للىا الخف للىٗ ٠ىشٍ ٝللت واـ للىالح ؤظاظ للا بل للى الجىُ للذ
البٕ للذادي (ج للىفي ظ للىت 940 /ٌ 295م) ،حت للى ٜللا ٥ابللً ِاؼ للش ف لي مخى لله الؽ للهحر ل للمً
حّشٍ ٙلله باإلاذسظ للت اإلإاسبُ للت ول للمً حم للْ ب للحن ال ٝٙلله والّ ُٝللذة والخف للىٗ ٠إـ للى ٥ال
اهٙفللا ٥بُجهللا لللمً حللىَش وحُٝٝللت الللذًً ؤلاظللالمي :فللي ِٝللذ ألاؼللّشي و٘ٝلله ماللل..٤
وفي وشٍٝت الجىُذ العال ..٤ولِغ الخفىٗ في الخُٝٝت ح٢شا ِلى ألامت ؤلاظالمُتٌ،
٘ ٝللذ ِش٘ للذ ١للل ألام للم الخف للىٗ ،أله لله ح للا ٥بوع للاوي ،وألن ألادً للان حمُّه للا ١للان
٘حهللا س٠للً ؤظاس ل ي وَللى التزُ٠للت وتهللزًب الللىٙغ٘ ،ىجللذ الخفللىٗ اإلاعللُ ي ،والخفللىٗ
ل للذي ؤجب للاُ البراَم للا وب للىرا (لّله للا دًاه للاث ظ للماوٍت ألاـ للل) ،و ٠للزل ٤ل للذي الٙالظ للٙت
الأشٍ ٞمثل ظٝشاه وؤ٘الوىن وؤسظىى ،و٠زل ٤لذي ٘الظٙت آخشًٍ بّذَمٌ.
ٌول٢للً محللزة الخفللىٗ ؤلاظللالمي الللزي ٌٕلللب فللي جٙعللحر مفللىلخه بِللادة رللل ٤بلللى
الفل للٙاء٘ ،هل للي ؤهل لله س٠ل للً زالل للث للل للذًً ،بل للل َل للى حل للىَشٍ وسوحل لله ،بر الخفل للىٗ ًخّلل للٞ
بالتز ُ٠للت ؤظاظ للا ،والتز ُ٠للت مج للا ٥سق للي ال للزو ،ٛوال للزو ٛب للاب الّش٘ للان ،والّش٘ للان بىاب للت
ؤلاظ للالم ؼللهادة وؤس ١للان ،والّ ُٝللذة ؤلاحعللان ،وؤلاحع للان مّ لشاج الترقللي والخل ٝللي ،بر ؤن ٌ
ججزً لله وبٜل لشاس بالف للٙاث ِل للى م لشاد هللا مجه للا ،وؤلاًم للان جف للذً ٞبالُٕ للب ،والؽ للشَّت م للا
ؼ ل للشُ هللا للى ل للاط وم ل للا ح ٢ل للم ،ول ٢ل للً َ ل للزا الّل ل للم الؽ ل للشعي والّ ٝل للذي ،ورل ل لل ٤ؤلاظ ل للالم
وؤلاًم للان ،ؤب للىاب إلا ٝللام ؤس٘ للْ َ للى م ٝللام ؤلاحع للان ال للزي وسد مّى للاٍ ف للي بحاب للت الخبِ للب
اإلافللىٙى ـ للى هللا ِلُلله وظلللم لعللاا ٥حبرًللل ِلُلله العللالم فللي الخللذًث الؽللهحر" :ؤن
حّبذ هللا ٠إه ٤جشاٍ٘ ،ةن لم ج ً٢جشاٍ ٘هى ًشاٌ."ٟ
٘الخفل للىٗ س٠ل للً زالل للث بّل للذ الُّٝل للذة والؽل للشَّت ،وؤلاحعل للان مٝل للام زالل للث بّل للذ
ؤلاظالم وؤلاًمان ،والتزُ٠ت ؤـلل ِلحهلا ًٝلىم ِللم ال٢خلاب والخ٢ملت ،وفلي رللٜ ٤لا ٥هللا
ُ َ ج َ ْ َ ُْ ْ ََ
ظ للبحاهه وحّ للالى" :ل ٝل ْلذ َم للً الل ل ُله َِل للى اإلا للا ِم ِى َحن ِبر َب َّ للث ِ٘ ل ِلحه ْم َس ُظ للىال ِّم ل ْلً ؤ ُهِ ٙع ل ِله ْم ًَ ْخل للى
والاهٝىللاُ بلللى هللا حّللالى وؤلاِلشاك ِللً صخللشٗ الخُللاة وصٍىتهللا والضَللذ ُ٘مللا ًٝبللل ِلُلله
الجمهللىس مللً لللزة ومللا ٥وحللاٍ والاهٙلشاد ِللً الخللل ٞفللي الخلللىة للّبللادة .و١للان رلللِ ٤امللا
ف للي الص للخابت والع للل ٚوإلا للا وؽ للإ ؤلاٜب للاِ ٥ل للى ال للذهُا ف للي ال ٝللشن الث للاوي وم للا بّ للذٍ وح للىح
الىاط بلى مخالىت الذهُا اخخق اإلاٝبلىن ِلى هللا باظم الفىُ٘ت"ٌ.
َ
٠مل للا ًٝل للى ٥ؤلامل للام الٝؽل للحريٌ" :اِلمل للىا ؤن اإلاعل لللمحن بّل للذ سظل للى ٥هللا لل للم ًَ ٌدعل للم
ؤ٘ال لللهم ف للي ِف للشَم بدع للمُت ِل للم ظ للىي ص للخبت الشظ للى ، ٥بر ال ؤ٘م لللُت ٘ىٜه للا،
ُ٘ٝل لهم الصلخابت ،زلم اخخلل ٚالىلاط وجباًيلذ اإلاشاجلبُٝ٘ ،لل لخلىاؿ الىلاط ل مملً
والّبلاد ،زلم ٌهلشث البذِلت ،وحفلل الخلذاعي بلحن لهلم ؼلذة ِىاًلت بلإمش اللذًً ل ل الضَلاد ُ
ج
الٙش٣٘ ،ٛل ٘شٍ ٞادِىا ؤن ٘حهم صَادا٘ ،لاهٙشد خلىاؿ ؤَلل العلىت اإلاشاِلىن ؤهٙعلهم
مْ هللا ظبحاهه وحّالى ،الخاٍ٘ىن ٜلىبهم ًِ وىاس ٛالٕٙللت باظلم الخفلىٗ ،واؼلتهش
َزا الاظم لهاالء ألا١ابش ٜبل اإلااثخحن مً الهجشة".
وال ًخٙى ؤن لذي ؤدُِاء الخفىٗ والذخالء ِلُه ؤمىسا ٠ثحلرة ال ـللت لهلا بٝٙله
وال بّ ُٝللذة ،ؤو ٜلشآن وظ للىت ،وَ للاالء ح للزس م للً م للىهجهم ؤَ للل الخف للىٗ الخ لل ،ٞال للزًً
حل للذدوا او ل لشا مهمل للت ووامل للخت للخفل للىٗ ،بر َل للى مىـل للى ٥بال٢خل للاب والعل للىت ،مخفل للل
بالٝٙلله والُّٝللذة ،وفللي رللل ٤مللا ر٠للشٍ الفللىفي الّالمللت ؤحمللذ صسو ٛفللي ٠خللاب "ٜىاِللذ
ُ
الخفللىٗ" بر ًٝللى٘ " :٥للال جفللىٗ بال بٝٙلله ،بر ال حّللشٗ ؤح٣للام هللا الٍلاَشة بال مىلله،
وال ٘ ٝلله بال بخف للىٗ ،بر ال ِم للل بال بف للذ ٛوجىح لله ،وال َم للا بال بةًم للان ،بر ال ًص للر
واحللذ مجهمللا بذوهلله٘ ،لللضم الجمُللْ لخالصمهمللا فللي الخ٢للم٠ ،للخالصم ألاسواح لؤلحعللاد ،بر ال
ّ
وحىد لها بال ٘حها٠ ،ما ال ٠ما ٥له بال بها٘ ،ا٘هم"ٌ .
ٌ
ؤلامام ؤبى حامذ الٕضالي"" :ولٝذ ِلمذ ًُٝىا وخخاما هىسد ما ٜاله حجت ؤلاظالم ٌ
خاـت وؤن ظحرتهم ؤحعً ٌ ٌ ىُ٘ت َم العال٣ىن لىشٍ ٞهللا حّالى ٌ ٌؤن ٌ
الف ٌ
العحرة
ٌ
ووشٍٝتهم ؤـىب الىش ٛوؤخالٜهم ؤص١ى ألاخال ...ٛوبالجملت ٘مارا ًٝى ٥الٝاثلىن في
بال٣لُت ِما ظىي هللا حّالى، وشٍٝت وهاستها -وهي ؤو ٥ؼشووها -جىهحر الٝلب ٌ
ٌ ومٙخاحها الجاسي مجها مجشي الخحشٍم مً ٌ
الفالة اظخٕشا ٛالٝلب بال٣لُت بز٠ش هللا،
ٌ
وآخشَا الٙىاء بال٣لُت في هللا"ٌ.
"مؽ لل٣اة ألاه للىاس" لئلم للام الٕضال للي ال للزي ٌّ للذ ؤًم للا م للً ٠ب للاس ؤَ للل الخف للىٗ والٙلع للٙت،
وظىٗ همط ي بلى حّشٍ ٚمىحض بله وب٢خابله ،زلم وٕلىؿ ٜللُال فلي بّلن مّاهُله ،لىٙلىص
بللذسس ِش٘اهُللت بذٌّللت ،ولىخللزو ٛمّللاوي ساُٜللت ،وليؽللهذ مؽلل٣اة الى ل ٌىس وهللشي ُ٠لل٘ ٚعللش
ؤلام للام الٕضال للي آً للت الى للىس وبل للى ؤً للً حملخ لله ؤم للىاج الّش٘ للان وال٢ؽ لل ٚوؤؼ للشِت ال للزوٛ
واإلاّش٘تٌ.
ٌ
التعريف بأبي حامد الغسالي
الٕضاليحاء في مى ْٜوٍُ٢بُذًا لمً الخّشٍ ٚباإلمام الٕضالي" :ؤبى حامذ محمذ ٌ
ِفشٍ وؤحذ ؤؼهش ٌ الىىس ي الىِعابىسي الفىفي الؽا٘عي ألاؼّشي ،ؤحذ ؤِالم
ِلماء اإلاعلمحن في الٝشن الخامغ الهجشيَ 450( ،ل َ 505 -ل 4058 /م 4444 -م).
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
الٝٙه بر لم ًً٢ ٌ ؼا٘عي الىشٍٝت،
ٌ ـىفي ١ان ٘ٝحها وؤـىلُا وُ٘لعى٘ا ،و١ان
ٌ
للؽاُّ٘ت في آخش ِفشٍ مثله ،و١ان ِلى مزَب ألاؼاِشة في الُّٝذة ،وٜذ ٌِشٗ
ألاؼّشٍت في ِلم ال٢الم ،وؤحذ ؤـىلها الثالزت بّذ ؤبي ٠إحذ ماظس ي اإلاذسظت ٌ
ٌٌ الخعً ألاؼّشي( ،و١اهىا الباٜالوي والجىٍني ٌ
والٕضالي) .لٝب الٕضالي بإلٝاب ٠ثحرة في
ٌ ٌ حُاجه ،ؤؼهشَا لٝب ٌ
ومذجت "حجت ؤلاظالم" ،وله ؤًما ؤلٝاب مثل :صًٍ الذًً،
ألامت ،وبش٠ت ألاهام ،وبمام ؤثمت الذًً ،وؼشٗ ألاثمتٌ. الذًً ،والّالم ألاوحذ ،ومٙتي ٌ
١ان له ؤزش ٠بحر وبفلمت واملخت فلي ِ ّلذة ِللىم مثلل الٙلعلٙت ،والٝٙله الؽلا٘عي،
َ
وِل للم ال ٢للالم ،والخف للىٗ ،واإلاىى لل ،ٞوج للش ِ ٟللذدا م للً ال٢خ للب ف للي جل لل ٤اإلاج للاالث .ول للذ
وِ للاػ ف للي و للىط ،ز للم اهخ ٝللل بل للى هِع للابىس ل للُال م ؤب للا اإلاّ للالي الج للىٍني ّ
(اإلال ٝللب بةم للام ص
ّ ج ّ
الخللشمحن)٘ ،إخللز ِىلله مٍّللم الّلللىم ،وإلاللا بلللٖ ِمللشٍ 34ظللىت ،سحللل بلللى بٕللذاد مذسظللا
ف للي اإلاذسظ للت الىٍامُ للت ف للي ِه للذ الذول للت الّباظ للُت بىل للب م للً ال للىصٍش الع لللجىقي هٍ للام
ج ج ج
اإلال لل .٤ف للي جل لل ٤الٙت للرة اؼ ل ُلتهش ؼ للهشة واظ للّت ،وـ للاس مٝف للذا لى للالب الّل للم الؽ للشعي م للً
حمُللْ البلللذان ،حتللى بلللٖ ؤهلله ١للان ًجللغ فللي مجلعلله ؤ٠ثللر مللً 400مللً ؤ٘الللل الىللاط
وِلمائهم ٌعخمّىن له وٍ٢خبىن ِىله الّللم .وبّلذ 4ظلىىاث ملً الخلذسَغ ٜلشس اِتلزا٥
بالف للىُ٘ت و٠خ للبهم٘ ،خ للشج م للً الى للاط والخ ٙللشٓ للّب للادة وجشبُ للت هٙع لله ،مخ للإز جشا ب للزلّ ٤
وحّخبر َلزٍ اإلاشحللت مٙفللُت فلي حُلاة ؤلاملام الٕضاللي اللزي ٜلا :٥ولبىلا الّللم لٕحلر
وِبر ًِ حاله را ٟبٝىله" :هىس ٜز٘ه هللا في ـذسي"ٌ. هللا ٘ما ؤسادٍ هللا بال له"ّ ،
و ٜللذ ١اه للذ لئلم للام الٕضال للي م٣اه للت ِلمُ للت ٠بح للرة وِبٝشٍ للت ٘شٍ للذة ،حت للى ٜللاِ ٥ى لله
الزَبي في ظحر ؤِالم الىبالء ج 9ؿ " : 323الٕضالي الؽُخ ؤلامام البحش حجلت ؤلاظلالم
ؤعجىبللت الضمللان صٍللً الللذًً ؤبللى حامللذ محمللذ بللً محمللذ بللً محمللذ بللً ؤحمللذ الىىسل ي
ج ََ
الؽ للا٘عي الٕضال للي ـ للاحب الخف للاهُ ٚوال للز١اء اإلا ٙللشه ج ٝٙلله ببل للذٍ ؤوال ز للم جح للى ٥بل للى
هِع للابىس ف للي مشا٘ ٝللت حماِ للت م للً الىلب للت ٘ للالصم بم للام الخ للشمحن ٘ب للرُ ف للي ال ٝٙلله ف للي م للذة
ٜشٍبت ومهش في ال٢الم والجذ ٥حتى ـاس ِحن اإلاىاٌشًٌٍ"..
و ٜللذ ١للان جف للىٗ ؤلام للام الٕضال للي جف للىٗ الّ للالم ال للزي ؤج ٝللً الٙلع للٙت والّل للم
ال٢لالم ،و١لان ملً الٝٙهلاء ال٢بلاس ومللً الّلملاء بلالٝشآن والخلذًث ،وبالُّٝلذة والؽللشَّت
ب للل ٌّ للذ م للً ؤس ١للان اإلاّخ ٝللذ ألاؼ للّشي ،ول٢ى لله آز للش الخف للىٗ ؤ للاؿ ُ٘ لله و ٜلشؤ ألٜىاب لله
ودسط ٠خب للا ٠ثح للرة " مث للل ٜ :للىث الٝل للىب ألب للي وال للب اإلا ٣للي ،و٠خ للب الخ للاسر اإلاحاظ للبي،
واإلاخٙشٜللاث اإلاللإزىسة ِللً الجىُللذ وؤبللي ب٢للش الؽللبلي وؤبللي ًضٍللذ البعللىامي٠ .مللا ؤهلله ١للان
ًحم ل للش مج ل للالغ الؽ ل للُخ الٙم ل للل ب ل للً محم ل للذ الٙاسم ل للزي الف ل للىفي ،وال ل للزي ؤخ ل للز ِى ل لله
ج ج
الىشٍٝت٘ ،خإزش بهم جإزشا ٠بحرا ،حتى ّؤدي بله ألاملش لتر٠له للخلذسَغ فلي اإلاذسظلت الىٍامُلت
ف لي بٕللذاد ،واِتزاللله الىللاط وظللٙشٍ إلاللذة 44ظللىت ،جى ٝللل خاللهللا ب للحن دمؽلل ٞوال ٝللذط
والخلُللل وم٢للت واإلاذًىللت اإلاىللىسة٠ ،خللب خاللهللا ٠خابلله اإلاؽللهىس فللي الخفللىٗ بحُللاء ِلللىم
الذًً ،و١اهذ هدُجت سحلخه الىىٍلت جلٌ"٤
وٜللذ حل ّلشب الخلللىة ملشاسا ،ؤللاؿ فللي ِللىالم ال٢ؽلل ٚحتللى ٜللا" :٥واه٢ؽللٙذ لللي فللي
ؤزىاء َزٍ الخلىاث ؤملىس ال ًم٢لً بحفلائَا واظخٝفلائَا ،والٝلذس اللزي ؤر٠لشٍ لُيخٙلْ
ج
بلله ؤوللي ِلمل ُلذ ًُٝىللا ؤن الفللىُ٘ت َللم العللال٣ىن لىشٍلل ٞهللا حّللالى خاـللت وؤن ظللحرتهم
ؤحعً العحر ،ووشٍٝهم ؤـىب الىش ،ٛوؤخالٜهم ؤص١ى ألاخالٌ."ٛ
و٠خابلله "بحُللاء ِل للىم الللذًً" م للً ؤَللم وؤزللشي ٠خ للب الخفللىٗ٘ ،ه للى مللً مشاحّلله
ال٢بري ١الشظالت الٝؽحرًت ،و٠ما ؤن لله ٠خبلا ٠ثحلرة فلي الُّٝلذة وِللم ال٢لالم والٙلعلٙت
واإلاىىلل ،ٞوفللي الٝٙلله وؤـللىله وِلللم الجللذ ،٥وفللي الخفللىٗ ،وفللي ٘ىللىن ؤخللشي ،ول٢ىىللا
ظيبحث في ٠خاب مً ٠خبه لّله لم ًحَ بالّىاًت والؽهشة التي حٍي بهلا ٠خلاب بحُلاء
ِلىم الذًً ،ؤ ٌال وَى ٠خابه "مؽ٣اة ألاهىاس"ٌ.
ٌ
التعريف بكتاب مشكاة ألانىار
٠خللاب ـللٕحر الدجللم ؤلٙلله ؤلامللام الٕضالللي فللي ؤواخللش حُاجلله ،وَللى سظللالت ٠خبهللا سدا
ِل ل ل ل للى ظ ل ل ل للاثل ظ ل ل ل للإله ح ل ل ل للى ٥مّن ل ل ل للى ٜىل ل ل ل لله ظ ل ل ل للبحاهه وحّ ل ل ل للالى "هللا ه ل ل ل للىس الع ل ل ل للمىاث
وألاسك(آلاًل للت)"ٌ،ولل للِغ الخل للاسٍخ اإلاحل للذد للخل للإلُ ٚبثابل للذ ٠مل للا ًل للشي ا محٝل لل ٞالشظل للالت
الذ٠خىس ؤبلى الّلال ُِٙٙلي ) ،(1897 -1966اإلاخلخق فلي الٙلعلٙت والخفلىٗ ؤلاظلالمي":
ج ج
ألاظلخار ماظليُىن فلي ٠خابله ل٢ىا ال وعخىُْ ؤن همْ جاسٍخا محذودا لخإلُٙهلا ٠ملا ّ٘لل ٌ
"مجم للىُ هف للىؿ ٔح للر ميؽ للىسة خاـ للت بخ للاسٍخ الخف للىٗ ف للي ؤلاظ للالم :ب للاسَغ "4929
حُللث ًٝللى ٥بنهللا ؤلٙللذ فللي الٙتللرة مللا بللحن 495ب ،505وهللى الٙتللرة التللى ٜمللاَا الٕضالللى
فللي وللىط وِ٢لل٘ ٚحهللا ِلللى الخللإلُ ٚوالّبللادة .وٍللز٠ش ماظلليُىن مللً مالٙللاث الٕضالللى فللي
َل للزٍ الٙتل للرة ٠خل للاب "مُّل للاس الّلل للم" و٠خل للاب "محل لل ٤الىٍل للش" و٠خل للاب "اإلاٝفل للذ ألاظل للنى"
وسظ للالت "مؽ لل٣اة ألاه للىاس" .ول٢ى للا ه للشي ف للي "مؽ لل٣اة ألاه للىاس" بح للاالث ِل للى َ للزٍ ال٢خ للب
حمُّهللا ممللا ًللذِ ٥لللى ؤن الٕضالللى ؤلٙهللا ٜبللل اإلاؽلل٣اة ،وال هللذسي برا ١للان ؤلٙهللا ١لهللا فللي
هٙغ الٙترة التى ًحذدَا ماظيُىن .وال هًٍ ؤن لؤلظخار ماظيُىن مً العلىذ الخلاسٍ ى
ما ٌّخمذ ِلُه في جحذًذ ظىىاث جإلُ٠ ٚخب الٕضالى ِلى الىحى الزي سظمهٌ.".
زللم ًمللُ" :ٚلللم جللل ٞسظللالت "مؽلل٣اة ألاهللىاس" مللً ِىاًللت البللاحثحن مللا لُٝلله بّللن
٠خب الٕضالى ألاخشي ِلى الشٔم مً ؤَمُتها ومجزلتها الّالُت بحن ٠خب اإلاال ٚالتلى ٠خبهلا
فلي ِفلش هجللجه .والشظلالت حلذًشة بالذساظللت والخحلُلل الّمُلل ٞإلالا جلُٝله مللً للىء ِلللى
بّللن اإلاعللاثل التللى ِالجهللا الٕضالللى فللي ٠خللب ظللابٝت ِلحهللا ،وألنهللا جفللىس اإلاىٜلل ٚالجهللاجى
ال للزي و ٜٙلله م للً َ للزٍ اإلاع للاثل .و ٜللذ ح للشئ ٘حه للا ِل للى م للا ًج للشئ بالخف للشٍح بمثل لله ف للي ؤي
مال لل ٚآخ للش ٝ٘ :للذ ؤؼ للشٗ ٘حه للا ِل للى ال ٝللى ٥بىح للذة الىح للىد ،وخل للق بّ للذ مىاٜؽ للاث
وىٍلل للت بلل للى الٝل للى ٥بإهل لله لل للِغ فل للي الىحل للىد مىحل للىد حُٝٝل للى بال هللا؛ ألن ١ل للل مل للا ظل للىاٍ
معخمذ وحىدٍ مىله؛ وملا ١لان وحلىدٍ ِاسٍلت ٘هلى فلي ح٢لم اإلاّلذوم٘ .الّلالم فلي حُٝٝخله
ال وحللىد للله .وؤٜص ل ى مللا ـللشح بلله فللي ٠خبلله ألاخللشي ٜىللله "بهلله لللِغ فللي الىحللىد بال هللا
وآزاسٍ وال٣ىن ١له مً آزاسٌٍ".
ولّللل العللش فللي ِللذم بٜبللا ٥البللاحثحن ِلللى دساظللت َللزٍ الشظللالت ؤنهللا جللذوس حللى٥
ج ج
مىلىُ خاؿ لُ ٞفي مٍهشٍ وبن ١ان واظّا ِمُٝا في حُٝٝخهٌ.
ج
٘ٝذ ًخىَم الىاٌش ٘حها هٍشة ِلابشة ؤنهلا لِعلذ بال جٙعلحرٌا آلًلت ٜشآهُلت خاـلت هلي
آً للت الى للىس ،وال ً للذس ٟؤن الٕضال للى ٜللذ لخ للق ف للي َ للزا الخٙع للحر ٘لع للٙت بؼ لشاُٜت ١امل للت،
وهٍشٍ للت ف للي ح ُٝٝللت الىح للىد ٠م للا ًخف للىسٍ .وٍخجل للى ف للي الشظ للالت بل للى حاه للب َ للزا اإلا ل ُ
لىهج
الزي التزمه الٕضالى في جإوٍله للٝشآن وجخشٍجه للمّاوى الباوىُت ُ٘ه ،وَلى اإلالىهج اللزي
ال ؼ لل ٤ف للي ؤن اب للً ِشب للى ٜللذ حا ١للاٍ ُ٘ لله ِى للذما اظ للخخلق مزَب لله الٙلع للٙى الف للىفى
َ
١للامال م للً واث ٙللت مح للذودة م للً آلاً للاث الٝشآهُ للت ،وبن ١للان الٕضال للى ٜللذ ٜف للش مىهج لله
الخ للإوٍلى ف للي ألأل للب ِل للى آلاً للاث الت للى ًم للشب ٘حه للا هللا ألامث للا ٥للى للاط ف للي ح للحن ؤن اب للً
ِشبى التزم َزا اإلاىهج في جٙعحرٍ للٝشآن بشمخه"ٌ.
والشظ ل للالت مبح ل للث بؼ ل لشاقي بامخُ ل للاص ،ظ ل للاب ٞللع ل للهشوسديً ،جّ ل للل ؤلام ل للام الٕضال ل للي
اإلااظغ الخُٝٝي لخل ٤اإلاذسظت التي ججاوصث الٙلعٙت اإلاؽاثُت بلى آ٘ا ٛؤسحبٌ.
ٜعم ؤلامام الٕضالي سظالخه بلى زالزت ٘فىٌ:٥
*الٙفل ألاو :٥فلي بُلان ؤن الىلىس الخلَ ٞلى هللا حّلالى وؤن اظلم الىلىس لٕحلرٍ مجلاص
محن ال حُٝٝه لهٌ.
*الٙف للل الث للاوي :ف للي بُ للان مث للا ٥اإلاؽ لل٣اة واإلاف للباح والضحاح للت وال للجشة والضٍ للذ
والىاسٌ.
ج
الٙف للل الثال للث :ف للي مّن للي ٜىل لله ِلُ لله الع للالم" :ؤن هلل ظ للبّحن حجاب للا م للً ه للىس
وٌلمت لى ٠ؽٙها ألحشٜذ ظبحاث وحهه ١ل مً ؤدس٠ه بفشٍ"ٌ.
وظىٗ هحاو ٥ؤن هدبحن اإلاىهج الفىفي الٙلعٙي لئلملام الٕضاللي اللزي وشحله ملً
الُٝمت وألازش الٙشٍذٌ. خالَ ٥زٍ الشظالت ّ
ٌ
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 47
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
ٌ
10
ًِ مٝا :٥العهشوسدي ِالم ؼاب ٜخله الٝٙهاء ٍُٔا مً ِلمه" ،لٙاسط ظّذ [وؽش في ،02/08/2044الّذد،9636 :
ؿ( )44حشٍذة الّشب]
٘للالىىس مخفللل بللالىىس ،بللحن هللىس حسل ي وآخللش مّىللىي ،ول٢للً الىللىس الللزي بلله ًٝللىم
١ل هىسَ ،ى هللا ظبحاهه ،وَىا ٌٕىؿ ؤلاملام الٕضاللي فلي احلىا ٥ؤَلل ال٢ؽل ٚواللزو،ٛ
سٔللم بؼللاسجه الذاثمللت فللي ٠خابلله بلللى ؤهلله ًللىحض بًجللاصا وٍخخفللش اخخفللاسا مشاِللاة إلاعللخىي
بدسا ٟظ للاثله ال للزي خ للي بلُ لله الشظ للالت ُٝ٘ ،للى ٘ ":٥للةرا ِش٘ للذ َ للزا ٘ للاِلم ؤن ؤسب للاب
ج ج
البفاثش ما سؤوا ؼِئا بال سؤوا هللا مّه .وسبما صاد ِلى َزا بّمهم ٘ٝا" ٥ملا سؤًلذ ؼلِئا
بال سؤًذ هللا ٜبله" ألن مجهم ملً ًلشي ألاؼلُاء بله .وملجهم ملً ًلشي ألاؼلُاء ٘حلراٍ باألؼلُاء.
َ ُ َ َ َََ ْ َ ْ
ِ ٚب َشِّب َ ٤ؤه ُه ِلى ّ ِ ١ل شل ْيء ؼ ِلهُذ؛ ؛ وبللى الثلاوى وبلى ألاو ٥ؤلاؼاسة بٝىله حّالى{ :ؤولم ًِ ٢
َ ُ
{ظل للج ِر ِيه ْم َآًا ِج َىل للا ِفل للي آلا٘ل للاٛ؛ ٘ل للاألو ٥ـل للاحب مؽل للاَذةٌ ،والثل للاوى ؤلاؼل للاسة بٝىلل لله حّل للالى:
ـللاحب الاظللخذالِ ٥لُلله :وألاو ٥دسحللت الفللذًٝحن ،والثللاوى دسحللت الّلمللاء الشاسللخحن،
ولِغ بّذَم بال دسحت الٕا٘لحن اإلاذجىبحنٌ.
ب /الىللىس الٍللاَش ،والىللىس ؤلالهلليً :محللز ؤلامللام الٕضالللي بللحن ٘للشِحن مللً الىللىس :هللىس
ٌاَش به ًلشي البفلش ،وهلىس هللا اللزي بله جلشي البفلحرة ،و٠ملا ًملىح الىلىس الٍلاَش للّلحن
والبفللش ٜللذسة ؤلابفللاس٘ ،للةن البفللحرة حعللخمذ مللً الىللىس ؤلالهللي مللا بلله جٍهللش لهللا ألاؼللُاء.
ُ٘ٝللى ٥ؼللاسحا رللل" :٤وبر ٜللذ ِش٘للذ َللزا ٘للاِلم ؤهلله ٠مللا ٌهللش ١للل ش ل ىء للبفللش بللالىىس
الٍاَشٝ٘ ،ذ ٌهش ١ل ش ىء للبفحرة الباوىت باهلل٘ .هى مْ ١ل ش ىء ال ًٙاسٜله زلم ًٍهلش
١للل ش ل ىء٠ ،م للا ؤن الى للىس م للْ ١للل ش ل ىء وب لله ًٍه للش .ول ٢للً ب ٝللى َ للا َى للا ج ٙللاوث :وَ للى ؤن
الىللىس الٍللاَش ًُ َخفللىس ؤن ٌُٕللب بٕللشوب الؽللمغ وٍذجللب حتللى ًٍهللش الٍللل ،وؤمللا الىللىس
ؤلالهى الزي به ًٍهش ١ل ش ىء ،ال ًخفلىس ُٔبخله بلل ٌعلخحُل حٕحلرٍُ٘ .بٝلى ملْ ألاؼلُاء
ج
داثم ل للا ٘ ،ل للاهٝىْ وشٍ ل لل ٞالاظ ل للخذال ٥بالخٙش ٜل للت .ول ل لى جف ل ل ّلىس ُٔبخ ل لله النه ل للذث الع ل للماواث
وألاسك .وألدس ٟبه مً الخٙشٜت ما ًمىش مّه بلى اإلاّش٘ت بما به ٌهلشث ألاؼلُاء .ول٢لً
م للا حع للاوث ألاؼ للُاء ١له للا ِل للى هم للي واح للذ ف للي الؽ للهادة ِل للى وحذاهُ للت خالٝه للا اسج ٙللْ
الخٙشٍ ٞوخٙى الىشٍ :ٞبر الىشٍ ٞالٍاَش مّش٘ت ألاؼُاء باألللذاد؛ ٘ملا ال للذ لله ٌوال
حٕحر له جدؽابه ألاحىا ٥فلي الؽلهادة لله٘ .لال ًبّلذ ؤن ًخٙلى وٍ٣لىن خٙلائٍ لؽلذة حالثله
والٕٙلت ِىه إلؼشا ٛلُاثه٘ .عبحان مً اخخٙلى ِلً الخلل ٞلؽلذة ٌهلىسٍ ،واحخجلب
ِجهم إلؼشا ٛهىسٍ"ٌ.
وؤهللذ جللشي ُ٠لل ٚحّللل إلاللا ؤساد مللً مّنللى الىللىس جىـللُٙا دُٜٝللا واظللخذالال حُ٢مللا
بالؽللمغ والٝمللش ومللا دونهمللا ،وُ٠لل ٚحّللل جالصمللا بللحن مللا ًلشاٍ البفللش ومللا جلشاٍ البفللحرة
بحُ للث برا ص للر ؤن الى للىس ؤٌه للش للبف للش م للا ؤٌه للش٘ ،األ ُ٠للذ ؤن الى للىس الشب للاوي ؤ ٜللذس ِل للى
رل ٤في البفاثش.
ج /بللحن هللىس الّللحن وهللىس الّٝلللٌّ :لللي ؤلامللام الٕضالللي مللً م٣اهللت الّٝللل فللي مؽلل٣اة
ألاهلىاس ،وَّىللي لّللىالم اإلاّنللى ُٜملت ؤٍِللم ملً ِللىالم اإلاللادة٘ ،الشوحاهُللت ِىللذٍ ؤٍِللم
مللً الجعللمُت ،والّٝللل ؤٍِللم مللً الخللىاطًٝ ،للى ٥فللي ـللذد رللل٘ "" :٤للةن ألاحعللام فللي
ؤـلللها ؤخللغ ؤٜعللام اإلاىحللىداث ،وألالللىان وألاؼلل٣ا ٥مللً ؤخللغ ؤِشاللله"٘ .الجعللم فللي
هٍش الٕضالي ؤخغ مىحىداث الّالم ،واللىن والؽ٣ل وما جذس٠له الّلحن ؤخلغ ألاِلشاك
الٍللاَشة ،وَ للى ل للزلً ٤ب للرس ظ للبب جٝذًم لله لىللىس الّ ٝللل ِل للى ه للىس البف للش ،وللّ ٝللل ِل للى
الّ للحن الخع للُت ُٝ٘ ،للى " :٥بِل للم ؤن ه للىس بف للش الّ للحن مىظ للىم ب للإهىاُ الىٝف للان٘ :ةه لله
ًبف للش ٔح للرٍ وال ًبف للش هٙع لله ،وال ًبف للش م للا َب ُّ للذ مى لله ،وال ًبف للش م للا َ للى وساء حج للاب.
وٍبف للش مل للً ألاؼل للُاء ٌاَشَ للا دون باوجهل للا؛ وٍبفل للش م للً اإلاىحل للىداث بّمل للها دون ١لهل للا.
ج
وٍبفللش ؤؼللُاء مخىاَُللت وال ًبفللش مللا ال نهاًللت للله .وَٕلللي ٠ثح لرا فللي ببفللاسٍ٘ :حللري ال٢بحللر
ج ج ج ج
ـللٕحرا والبُّللذ ٜشٍبللا والعللا ً٠مخحش١للا واإلاخحللش ٟظللا٠ىا٘ .هللزٍ ظللبْ هٝللاثق ال جٙللاسٛ
الّللحن الٍللاَشة٘ .للةن ١للان فللي ألاِللحن ِللحن مجزَللت ِللً َللزٍ الىٝللاثق ١لهللا ٘لُللذ ؼللّشي
َل َى ؤولى باظم الىىس ؤم ال؟ٌ
ٌّب للر ِجه للا ج للاسة واِل للم ؤن ف للي ٜل للب ؤلاوع للان ُِى ل جلا َ للزٍ ـ للٙت ٠ماله للا وه للى الت للى ّ
ودُ ِىل لل ٤الّبل للاساث ٘ةنهل للا برا ٠ثل للرث بالّٝل للل وجل للا ة بل للالشوح وجل للا ة بل للالىٙغ ؤلاوعل للاوىْ .
س س
ؤوَ َمذ ِىذ لُّ ٚالبفحرة ٠ثلرة اإلاّلاوى٘ .ىّنلى بله اإلاّنلى اللزي ًخمحلز بله الّاٜلل ِلً َ
ج
الىٙل للل الشلل للُْ وِل للً البهُمل للت وِل للً اإلاجىل للىن .وليعل للمه "ِٝل للال" مخابّل للت للجمهل للىس فل للي
ج
الاـ للىالح ٘ى ٝللى :ٌ٥الّ ٝللل ؤول للى ب للإن ٌع للمى ه للىسا م للً الّ للحن الٍ للاَشة لشّ٘ للت ٜللذسٍ ِ للً
الى ٝللاثق الع للبْ وَ للى ؤن الّ للحن ال جبف للش هٙع للها ،والّ ٝللل ً للذسٔ ٟح للرٍ وٍ للذس ٟـ للٙاث
ج ج
هٙعه :بر ًذس ٟهٙعه ِاإلاا وٜاد ٌسا :وٍذسِ ٟلم هٙعه وٍذسِ ٟلمه بّلم هٙعله وِلمله
بّلم لله بّل للم هٙع لله بل للى ٔح للر نهاً للت .وَ للزٍ خاـ للُت ال جخف للىس إلا للا ً للذس ٟبأل للت ألاحع للام.
ووساءٍ ظ ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للش ًىل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للى ٥ؼل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للشحه.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 51
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
ج ج
والثللاوى ؤن الّللحن ال جبفللش مللا َب ُّللذ مجهللا وال مللا ٜللشب مجهللا ٜشبللا مٙشوللا :والّٝللل ٌع للخىي
ج
ِىللذٍ الٝشٍللب والبُّللذٌّ :للشج فللي جىشٍٙللت بلللى ؤِلللى العللماواث سُٜللا ،وٍجللز ٥فللي لخٍللت بلللى
ج
َىٍللا .بللل برا حٝللذ الخٝللاث٢ً ٞؽلل ٚؤهلله مجللزٍ ِللً ؤن جحللىم بجىبللاث جخللىم ألاسلللحن ِ
ٜذظ لله مّ للاوى ال ٝللشب والبّ للذ ال للزي ً ٙللشك ب للحن ألاحع للام٘ ،ةه لله ؤهم للىرج م للً ه للىس هللا
حّ ل ل للالى ،وال ًخل ل ل للى ألاهم ل ل للىرج ِ ل ل للً محا ١ل ل للاة ،وبن ١ل ل للان ال ًشق ل ل للي بل ل ل للى رسوة اإلاع ل ل للاواة...
الثالللث ؤن الّللحن ال جللذس ٟمللا وساء الدجللب ،والّٝللل ًخفللشٗ فللي الّللشػ وال٢شس ل ى ومللا
وساء حج للب الع للماواث ،وف للي اإلا للؤل ألاِل للى واإلال ٣للىث ألاظ للمى ٠خف للش٘ه ف للي ِاإلا لله الخ للاؿ
وممل٢خه الٝشٍبت ؤِنى بذهه الخاؿ .بل الخٝاث١ ٞلها ال جحخجب ًِ الّٝل"ٌ.
وَللزٍ الجزِللت الّٝالهُللت جبللحن مللذي حّملل ٞالٕضالللي الٙلعللٙي٘ ،هللى لللم ًىجللشٗ بلللى
الخحٝح ل للر م ل للً الّ ٝل للل ؤم ل للام الى ٝل للل ٠م ل للا ً ّٙل للل ٔ ل للالة الٝٙه ل للاء ،وال ٘ف ل للل الّ ٝل للل ِ ل للً
الشوحاهُ للت ٠م للا ّ٘ للل الٙالظ للٙت اإلا للادًىن ف للي مشاح للل الح ٝللت ،وه للي مىاصه للت ه للادسة وسئٍ للت
٘شٍذة بح.ٞ
د /الى للىس الخ ُٝٝللي ،والى للىس اإلاج للاصي ً :للشي ؤلام للام الٕضال للي ؤن ه للىس هللا َ للى الى للىس
ألاو ،٥وؤن هللا َللى الىللىس الخلل ،ٞو١للل مللا ِللذا رللل ٤مللً ؤهللىاس ٘هللى مجللاصي ٔحللر حُٝٝللي،
لزلًٝ ٤ى" :٥بل ؤٜى ٥وال ؤبالى بن اظم الىىس ِلى ٔحر الىىس ألاو ٥مجاص محلن :بر ١لل
ما ظىاٍ برا اِخبر راجه ٘هى في راجه مً حُث راجه ال هىس له :بل هىساهِخه معلخّاسة ملً
ٔح للرٍ وال ٜل ٌىام لىىساهِخ لله اإلاع للخّاسة بىٙع للها ،ب للل بٕحرَ للا .ووع للبت اإلاع للخّاس بل للى اإلاع للخّحر
مجاص محن"ٌ.
وَللزا ًٙللخح ِلللى هٍللشة وحىدًللت ١املللت٘ ،للالٕضالي ًجّللل ١للل شل يء و١للل هللىس محاٜللا
مىللذزشا ومجللشد ـللىسة مجاصٍللت ؤمللام الىللىس ألاو ،٥وَللزا رو ٛـللىفي سُ٘للْ ًلخٝللي ُ٘لله مللْ
العهشوسدي في هٝاه ،ول٢ىه جٙفُله ؤد ٛوؤحلى وبشَاهه ؤٜىي وؤد.٥
ٌ /الىح ل للىد ِى ل للذ ؤلام ل للام الٕضال ل للي :اإلاع ل للإلت الىحىدً ل للت م ل للً اإلاع ل للاثل الهام ل للت ف ل للي
الٙلعللٙت بللل هللي مللً ؤمهللاث الٝمللاًا ،مىللز ظللٝشاه بلللى دً٣للاسث ِمُللذ اإلاللىهج الىحللىدي
الخللذًث ،و٠للزلِ ٤للً الٙالظللٙت اإلاعلللمحن ١ال٢ىللذي وابللً ظللِىا وابللً سؼللذ ،بللحن باحللث
ف للي ح ُٝٝللت ِىف للشٍ ومف للذسٍ ألاو ،٥وب للحن مدع للاثل ِ للً وبُّخ لله ،ومع للخٕش ٛف للي ٘ه للم
مّاهُلله ،ول٢للً للىحللىد لللذي الٕضالللي لللمً هٍللشٍ الفللىفي الٙلعللٙي فللي مؽلل٣اة الاهللىاس
ـللىسة ؤخللشي ججّللله ٔحللر مىحللىد حُٝٝللت ،بللل وحللىدٍ وحللىد مجللاص ووعللبت بلللى مىحللذٍ،
وهللا َى الىحىد الّٙلي ألاوحذ ،وال وحىد بال هلل ولىحهه ،والباقي ال وحىد لله حُٝٝلت،
بل َى مجشد اظخّاسةُٝ٘ ،ى " :٥والىحىد ًىٝعم بلى ملا للصل ىء ملً راجله وبللى مالله ملً
ٔحللرٍ .وماللله الىحللىد مللً ٔحللرٍ ٘ىحللىدٍ معللخّاس ال ٜللىام للله بىٙعلله .بللل ُ
اِخبللر راجلله مللً
حُللث راجلله ٘هللى ِللذم محللن .وبهمللا َللى مىحللىد مللً حُللث وعللبخه بلللى ٔحللرٍ ،ورللل ٤لللِغ
بىح للىد ح ُٝٝللى ٠م للا ِش٘ للذ ف للي مث للا ٥اظ للخّاسة الث للىب وال ِٕ َن للى ٘ .للاإلاىحىد الخ لل َ ٞللى هللا
حّالى٠ ،ما ؤن الىىس الخَ ٞى هللا حّالى"ٌ.
وَللى اظللخٕشا ٛفللي الخللا ٥الفللىفي ؤللش ٛفللي بحللاس الجللال ٥والجمللا .٥ول٢ىلله ؤًمللا
٠الم ًىؼ ٤ؤن ً٣ىن جفشٍحا بىحذة الىحىد بن لم ً ً٢جفشٍحا بزلٌ.٤
وَللى هٍللش ـللىفي ًٝتللرب مللً مّللاوي الٙىللاء فللي هللا ،لُفللل بلللى مّنللى ؤن ١للل ش ل يء
٘للان ومىخلله فللي الخُٝٝللت وال وحللىد بال هلل ، ،وَللى ؤًمللا هللىُ مللً الٝللى ٥بىحللذة الىحللىد
ِلى ؤحذ مّاهحها ،ولجن ؤه٢ش مّنى آخش لزل٠ ٤ما ظيبحن ُ٘ما ًليٌ.
و /ؤلامل للام الٕضالل للي ووحل للذة الىحل للىد :جمثل للل معل للإلت وحل للذة الىحل للىد مل للً الٝمل للاًا
الجذلُ للت ال٢ب للري الت للي س ٠للض ِلحه للا اإلاعدؽ للشٜىن ف للي دساظ للتهم للخف للىٗ ؤلاظ للالمي ،و ٜللذ
ومبحن إلاّاهحها ،وبلحن هاٜلذ ٜلادح ،حتلى ؤنهلا حّخبلر ؤ٘الذ ال٢ثحر مً الخبر بحن مٙعش لها ّ
لذي ٠ثحر مً ؤَل الٝٙه هىِا مً الضهذٜتٌ.
و ٜللذ ج للإزش بٙلع للٙت وح للذة الىح للىد الت للي حّن للي ُ٘م للا حّىُ لله ؤن "هللا َ للى الىح للىد
الخلل ،"ٞوؤهلله ـللىسة َللزا الّللالم اإلاخلللى ،ٛؤمللا مجمللىُ اإلاٍللاَش اإلاادًللت ٘هللي حّلللً ِللً
وح للىد هللا دون ؤن ً ٣للىن له للا وح للىد ٜللاثم بزاج لله" ،و ٜللذ ١للان م للً اإلايع للىبحن بل للى َ للزٍ
الٙلعٙت الخالج وابً ِشبي ،وابً الٙاسك وابً ظبّحن والخلمعاويٌ .
وال ٝللى ٥بىح للذة الىح للىد م للزَب ٘لع للٙي ٜللذًم ًشح للْ بل للى الٙلع للٙت ألا٘الوىهُ للت
اإلاحذز للت و٘لع للٙت ال للشواُٜحن ،و ٠للزل ٤بل للى الٙلع للٙت الهىذوظ للُت ،وله للا وح للىد ف للي ال ٢ٙللش
الحهىدي واإلاعُ ي وفي الٙلعٙت الٙاسظُت بيعلب مخٙاوجلت ،وٜلذ اهدؽلشث فلي ؤوسوبلا ِللى
ً ل للذ الُٙلع ل للىٗ الالَ ل للىحي ؤلاًى ل للالي حىسداه ل للى بشوه ل للى (ال ل للزي اِذمخ ل لله ال٢ىِع ل للت بتهم ل للت
الهشوٝللت) والُٙلعللىٗ الهىلىللذي ال٢بحللر بللاسو ظللبِىىصا وَللى مللً ؤَللم ٘الظللٙت الٝللشن
ٌٌ .47
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 53
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
وف للي ظ للُا ٛوح للذة الىح للىد ً ٝللى ٥م للي ال للذًً ب للً ِشب للي (اإلاخ للىفي ظ للىت َ638ل لل/
لحن 4240م) فللي مىالللْ مخخلٙللت٘" :للةن الّللا ٗ مللً ًللشي الخلل ٞفللي ١للل ش ل يء ،بللل ً لشاٍ ِل َ
س
١ل ش يء".
١ل مّبلىد مجللى للخلٌُّ ٞبلذ ُ٘له ،وللزل ٤ظلمىٍ ١لهلم "والّاسٗ اإلا٢مل مً سؤي ّ
ج
بلها مْ اظمه الخاؿ بذجش ؤو رجش ؤو حُىان ؤو بوعان ؤو ١ى٠ب ؤو ملٌ..."٤
ؽهذ ،وال جذس٠ه ألابفاس ،بلل َلى ًلذس ٟألابفلاس ،للىٙله وظلشٍاهه فلي ؤُِلان "وال ٌُ َ
ألاؼُاء"ٌ
"٘ للةن ِؤلال لله اإلاىل لل ٞال ٌع للّه ش ل يء ،أله لله ِ للحن ألاؼ للُاء وِ للحن هٙع لله ،والص ل يء ال
ًٝاُ٘ ٥هٌ :عْ هٙعه وال الٌعّها٘ ،ا٘هم"ٌ.
وح للحن هٝل لشؤ للٕضال للي ف للي مؽ لل٣اة ألاه للىاس هج للذ ؤه لله ًى ٙللي الىح للىد للىح للىد ،وٍف للله
بمىحذ الىحىد٘ ،هى اإلاىحىد الخُٝٝي وما جبٝلى َالل ٤ؤصال وؤبلذا ،ول٢ىله ًىحلى فلي رلل٤
مى للى خاـللا حللحن ًشبىلله بأًللت مللً الٝلشآن ال٢للشٍم ،وٍيعللب رللل ٤بلللى مللا بلٕلله الّللاس٘ىن
حللحن هٍللشوا فللي مّللاوي ٜىللله ظللبحاهه فللي آلاًللت الثامىللت والثمللاهحن مللً ظللىسة الٝفللق" :
ُ َ
١ل ش ْيء ََ ِالِ ٤بال َو ْح َه ُه "ٌ.
٘خإم للل ٜىل لله" :م للً َى للا جشق للي الّ للاس٘ىن م للً حم للُن اإلاج للاص بل للى ً ٙللاُ الخ ُٝٝللت،
واظللخ٢ملىا مّلشاحهم ٘لشؤوا باإلاؽللاَذة الُّاهُللت ؤن لللِغ فللي الىحللىد بال هللا حّللالىٌ ،وؤن
ج ج ُ َ
{١للل ش ل ْيء ََ ِالللِ ٤بال َو ْح َهل ُله؛ ال ؤهلله ًفللحر َال٣للا فللي وٜللذ مللً ألاوٜللاث؛ بللل َللى َاللل ٤ؤصال
وؤبذا ال ًخفىس بال ٠زل٤؛ ٘ةن ١ل ش ىء ظىاٍ برا ُ ج
اِخ ِبر راجه مً حُلث راجله ٘هلى ِلذم
ج
محللن؛ وبرا اِخبللر مللً الىحلله الللزي ٌعللشي بلُلله الىحللىد مللً ألاو ٥الخلل ٞسئي مىحللىدا
ال فللي راجلله ل٢للً مللً الىحلله الللزي ًلللى مىحللذٍ٣ُ٘ ،للىن اإلاىحللىد وحلله هللا حّللالى ٘ٝللي.
٘ل ٣للل شل ل ىء وحه للان :وح لله بل للى هٙع لله ووح لله بل للى سب لله؛ ٘ه للى باِخب للاس وح لله هٙع لله ِ للذم
وباِخبللاس وحلله هللا حّللالى مىحللىد٘ .للةرن ال مىحللىد بال هللا حّللالى ووحهلله٘ .للةرن ١للل ش ل ىء
ج ج
َال ٤بال وحهه ؤصال وؤبذا"ٌ.
وَللزا الٙهللم الٙلعللٙي للىحللىد والىٍللش بلللى ألالىَُللت ًخخلللِ ٚمللا ؤوسدهللا مللً ٠للالم
ابً ِشبي٘ ،هلى ًلشي ؤن الىحلىد فلي حُٝٝخله مىخل ،ٚوؤن ال مىحلىد حٝلا بال هللا ،بمّنلى
ؤهلله ًجّللل وعللبي الىحللىد واإلاىبثلل ٞمللً الّللذم بٝللذسة اإلاىحللذ ،والعللاثش بلللى الٙىللاء بٝللذسة
الٝللذًش الللزي حّللل ل٣للل اإلاىحللىداث نهاًللت حخمُللت بلاإلاىث وبالُٝامللت ،ؤن ًجّللله فللي حللا٥
الاوّ للذام ،أله لله وح للىد ِشضل ل ي ،ميع للىب بل للى اإلاىح للىد الخ ُٝٝللي وَ للى هللا ،وَ للزا ٜللى٥
ًم ً٢ؤن ًىاٜؾ بىشاث٠ ٞثحرة ،وٍم ً٢هٝفذ ٘لعُٙا وِلمُا وِش٘اهُلا ،ول٢نلي اِخٝلذ
ؤن مىاٜؽللخه الخشُ٘للت و٘لل ٞاإلاللىهج الٝٙهللي دون مّش٘للت ٘لعللُٙت ؤو رو ٛوسئٍللت ِمُٝللت
ٜللذ ً٣للىن مفللحرَا الخ٢للم ِلللى رللل ٤بالضهذٜللت زللم الٝخللل ٠مللا ١للان مللً ؤمللش العللهشوسدي
والخالجٌ.
ص /الٕضال ل للي ومع ل للإلت الخل ل للى ٥والاجح ل للاد :بل ل للا٘ت بل ل للى وح ل للذة الىح ل للىد ٘ ،ل للالخلى٥
والاجح للاد مف للىلخان ح للذلُان ؤًم للا ،وٜم للِخان م للً ٜم للاًا الٙلع للٙت الف للىُ٘ت وم للً
اإلاعاثل التي ؤلبذ ِلى الٝاثلحن بها مً اإلاخفى٘تٌ.
٘إمللا الخلللى٘ ٥للإن ًحللل اإلاىحللذ فللي اإلاىحللىد ،وؤمللا الاجحللاد ٘اجحللاد هللا بمللا خللل،ٞ
بمّنلى ؤن ً٣لىن الىحلىد ٘ٝلذ وسد فلي ال٣لُلاث للٙ٢لىي (ال٢خاب٠:خلاب ال٣لُلاث (معجلم
ف ل للي اإلاف ل للىلخاث وال ٙل للشو ٛاللٕىٍ ل للت) اإلاال ل لل :ٚألً ل للىب ب ل للً مىسل ل ل ى الخع ل للُني الٝشٍم ل للي
ج
" )ٌ40بن الخلىَ ٥لى ؤن ً٣لىن الصل يء حاـلال الٙ٢ىي ،ؤبى البٝاء الخىٙي (اإلاخىفى94 :
4094
ج ج
فللي الصل يء ،ومخخفللا بلله ،بحُللث ج٣للىن ؤلاؼللاسة بلللى ؤحللذَما بؼللاسة بلللى آلاخللش جحُٝٝللا ،ؤو
ج
جٝذًشا".
و ٜللذ ٜع للمىٍ بل للى خ للاؿ وِ للام٘ ،الخ للاؿ حل للى ٥ال للشب ف للي بّم لله خل ٝلله ( ٝ٠للى٥
اليع ل للىىسٍت م ل للً الىفل ل للاسي ف ل للي ٠المه ل للم ِل ل للً الع ل للُذ اإلاع ل للُح بحلل ل للى ٥الالَ ل للىث فل ل للي
الىاظللىث) ،والّللام حلىللله فللي ١للل م٣للان ،وفللي رلللًٝ ٤للى ٥الٝاؼللاوي (محمللذ محعللً بللً
مشجط ل ل ى بل للً محمل للىد اإلاؽل للهىس بلٝل للب الٙل للُن ال٣اؼل للاوي ( َ 4007ل ل َ 4094 -ل لل) بإهل لله:
«ؼللهىد الىحللىد الخلل ٞالىاحللذ اإلاىللل ٞالللزي ال٣للل بلله مىحللىد بللالخُ٘ ،ٞخحللذ بلله ال٣للل
ج ج ج
م للً حُ للث ١للىن ١للل (ش ل يء) مىح للىدا ب لله مّ للذوما بىٙع لله ،ال م للً حُ للث ؤن ل لله وح للىدا
ج
خاـا اجحذ به٘ ،ةهه محا."٥
وِش٘لله العللُذ محمللىد ؤبللى الٙللُن اإلاىللىفي (محمللىد بللً ِلللي بللً ِمللش بللً ببلشاَُم
الؽشٍ ٚالخعُني ،وللذ فلي مىلىٗ فلي مفلش ظلىت )ٌ 4342ل بإهله« :ؼلهىد الخل ٞملً ٔحلر
حللى ٥ؤو مالبعلت ٠مللا ًحلذر ملً ألاحعللام لؤلحعلام".وراث ألاملش فللي الاجحلاد :اجحللاد هللا
بللبّن خلٝلله ،ؤو ب٣للل مللا خلللَ " ٞللى ِللحن وحللىد ال٣اثىللاث" ..و٠ثح لرا مللا ًللخم الخلللي بللحن
وحذة الىحىد والاجحادٌ.
وٜذ اؼتهش بِخان ألبي هىاط ووعبا ؤًما للعهشوسدي في مّنى الخلى ٥والاجحادٌ :
س ٛالضحاج وساٜذ الخمش *** وحؽابها ٘دؽا١ل ألامش
٘٢إهما خمش وال ٜذح *** و٠إهما ٜذح وال خمشٌ
ُ
ؤم للا ألاؼ للهش ف للي َ للزٍ الٝم للُت ٘ه للى الخ للالج ،ال للزي ٜخ للل باتهام لله بالضهذ ٜللت لٝىل لله
بللالخلى ٥والاجحللاد ؤو إلاللا جللم ٘هملله ِلللى ؤهلله ٜللى ٥بللزل ٤فللي مّىللاٍ الخشفللي ،ومللً ؤؼللهش مللا
ٜاٌ :٥
“ؤها مً ؤَىي ومً ؤَىي ؤها
هل للحً سوحان حللىا بذها
٘ ل للةرا ؤبفشجني ؤبفشجه
وبرا ؤبفل ل للشجه ١ان ؤه للا
سوحه سو ي وسو ي سوحه
مً سؤي سوححن حال بذه للا”ٌ
ول٢لً الٕضالللي الُٝٙلله اإلاللخم ً٢والّلالم بالُّٝللذةًٝ ،للى ٥فللي رللٜ ٤للىال ٘فللال حلُللا
ج
وامللخاُٝ٘ ،للى" :٥وسبمللا لللم ًٙهللم ؤًمللا ٠ىلله َللزا ال٢للالم بّللن الٝاـللشًٍ٘ ،للُٙهم مللً
ٜىلىللا "بن هللا مللْ ١للل ش ل ىء ١للالىىس مللْ ألاؼللُاء" ؤهلله فللي ١للل م٣للان؛ حّللالى وجٝللذط ِ للً
اليعبت بلى اإلا٣ان"ٌ .
وال ٔشابل للت ٘هل للى مل للً ؤس١ل للان الُّٝل للذة ألاؼل للشِشٍت اإلاجزَل للت هلل ِل للً وِل للً الجمعل للُت
والخحزًللت والخللذُ٢٘ ،للً ٚحللل فللي اإلا٣للان خللال ٞاإلا٣للان ،وُ٠لل٣ً ٚللىن فللي العللماء ٘للاوش
ومٙ٢للشوَم مللً ججعللُم العللماء ،وَللى مللً الخللبي الللزي وٜللْ ُ٘لله اإلاىللاوثىن للخفللىٗ ّ
وٜى ٥بإن هللا في العماء حّالى هللا ًِ رل ٤ظبحاههٌ.
٠ما ًمط ي ؤلامام الٕضالي الزي حمْ بحن الؽشَّت والخُٝٝت ،وبحن الٝٙه وِلم
ال٢الم والٙلعٙت واإلاىى ،ٞبلى جٙعحر مّاوي ؤٜىا ٥بّن الفىُ٘حن التي وعبذ بلحهم
الضهذٜت وظببذ لهم الٝخلُٝ٘ ،ىِ " :٥اس٘ىن -بّذ الّشوج بلى ظماء الخُٝٝت -
اجٝٙىا ِلى ؤنهم لم ًشوا في الىحىد بال الىاحذ الخ .ٞل ً٢مجهم مً ١ان له َزٍ
واإلاخّ للاسٗ م للً اإلاّ للاوي وألال ٙللاً ،خاـ للت ف للي وٜخى للا الخ للالي ،وَ للى ؤم للش ًى للى ٥ؼ للشحه ف للي
ؼان الخفىٗ وِالٜخه باإلاجخمْ والىاط وما ًثاس حىله مً حذٌ.٥
ح /ؤلامام الٕضالي بلحن الؽلشَّت والخُٝٝلت :الفلشاُ بلحن الٕلالة فلي الالتلزام الخشفلي
بالؽللشَّت ،وبللحن الفللىُ٘حن ـلشاُ ٜللذًم ،بعللببه ٜخللل الخللالج والعللهشوسدي وظللىاَما،
وَللى معللخمش بلللى الُللىم مللْ مللا ًٝللى ٥بلله الٕللالة الخٙ٢حرًللىن مللً ٜخللل لل٢ثحللر مللً مؽللاًخ
الخفىٌٗ.
والخ ُٝٝل لت ؤن ؤلاؼل لل٣ا ٥بل للحن الٕل للالة فل للي الؽل للشُ والٕل للالة فل للي الخفل للىٗ ٠بحل للر ،وؤن
َىال ٤مً ؤ٘عذ الزو ٛالفىفي ٠ما َىال ٤مً ؤ٘عذ الخ٢مت الؽشُِتٌ.
وبم للا ان ؤلام للام الٕضال للي سح للل ٘ ٝلله وؼ للشَّت وِ ُٝللذة ،وِ للاسٗ ـ للىفي و٘لع للٙي،
ومخبح للش ف للي ِل للم ال ٢للالم واإلاىى لل ٘ ،ٞللةن مى ٜٙلله ب للحن الؽ للشَّت والخ ُٝٝللت مى ٜلل ٚمت ل ٌزن
ومخمح للز٘ ،ه للى ال ًٙف للل بُجهم للا ب للل ً للشي ٘حهم للا الخ٣ام للل ،وٍ للشي ؤنهم للا ِشل للخان لل للذخالء
وألادُِاءُٝ٘ ،ىٌ :٥
ج
"٘إه للا ؤحم للْ ب للحن الٍ للاَش والع للش حمُّ للا٘ ،ه للزا َ للى ال٣ام للل :وَ للى اإلاّن ل ّلى ب ٝللىلهم
"ال٣ام للل م للً ال ًى ٙللىء ه للىس مّش٘خ لله ه للىس وسِ لله" .ول للزل ٤ج للشي ال٣ام للل ال حع للمح هٙع لله
ْ
بتر ٟحذ مً حذود الؽشُ مْ ٠ملا ٥البفلحرة .وَلزٍ َمٕلىلت مجهلا وٜلْ بّلن العلال٢حن
ج
بلللى ؤلاباحللت ووللى بعللاه ألاح٣للام ٌللاَشا ،حتللى ؤهلله سبمللا جللش ٟؤحللذَم الفللالة وصِللم ؤهلله
ج
داثم للا ف للي الف للالة بع للشٍ .وَ للزا ظ للىي مٕلى للت الخم ٝللى م للً ؤلاباحُ للت ال للزًً مإخ للزَم
جشَ للاث ٝ٠للى ٥بّم للهم "بن هللا ٔن للى ِ للً ِملى للا" ،و ٜللى ٥بّم للهم بن الب للاوً م للخىن
بالخباث للث ل للِغ ًم ٢للً جضُ٠خ لله ،وال ًىم للْ ف للي اظدئف للا ٥الٕم للب والؽ للهىة؛ لٍى لله ؤه لله
مإمىس باظدئفالهما :وَزٍ حماٜاث"ٌ.
ّ٘لمللاء الٍللاَش لهللم ٘هللم ،وِلمللاء البللاوً لهللم ،وَللى مخ٣امللل مللْ الٍللاَش ،لللزل٤
١للان ؤٜى للاب الخف للىٗ ١للالجُالوي والش٘ للاعي والذظ للىقي ًا ٠للذون ِل للى الالتل لزام بالؽ للشُ
وبالٝشآن والعىت ،وإلاً ر٠شث ٠الم مدؽابه ًٝىلىن ُ٘ه :وشٍٝخىا معلخمذة ملً ال٢خلاب
والع للىت ،و ٠للزل ٤ألام للش م للْ الب للذوي والؽ للارلي وظ للىاَما ،ب للل بن ؤلام للام مال لل ٤ـ للاحب
اإلا للزَب ٜللا١ ٥لم للت ٍُِم للت ٘حه للا مح لزان د ُٜلل ٞب للحن الخف للىٗ وال ٝٙلله" :م للً ج ٝٙلله ول للم
جٙعلل ،ٞومللً جفللىٗ ولللم ًخ ٝٙله ٘ٝللذ جضهللذ ، ،ٛومللً حمللْ بُجهمللا ٘ٝللذ ًخفللىٗ ٘ٝللذ ّ
جح ،"ٞٝوسٔم ؤن َىال ٤مؽ٢٢حن في وعبت َزٍ اإلاٝىلت لئلملام مالل ،٤والتلي ر٠لشث فلي
حاؼ للُت الّالم للت ِل للي الّ للذوي ِل للى ؼ للشح الام للام الضس ٜللاوي ِل للى م للتن الّضٍ لله ف للي ال ٝٙلله
اإلال للال٣ي .وؼل للشح ِل للحن الّلل للم وصٍل للً الخلل للم لالمل للام مل للال ِلل للي ٜل للاسي٘ ،ةنهل للا جفل للِب ِل للحن
الخ ُٝٝللت ،وال ٔشاب للت ؤن ً ٣للىن ٜاثله للا ؤلام للام مال لل ٤وَ للى ِ للالم التز ُ٠للت ٠م للا َ للى الّ للالم
بالٝٙه والخذًث ،ولزل ٤هجلذ الخفلىٗ ؤـلال فلي اإلاذسظلت اإلاالُ٢لت الضٍخىهُلت الخىوعلُت
واإلإاسبُت ٠ما ؤومر الّالمت ِبذ الىاحذ بً ِاؼش في مخىهٌ:
في ِٝذ ألاؼّشي و٘ٝه مال...٤وفي وشٍٝت الجىُذ العالٌ.٤
٘هلي ُِٝللذة ؤؼللّشٍت ججللزٍ هللا حّللالى ،و٘ٝلله مللال٣ي ،وجفللىٗ حىُللذي ،ألن التزُ٠للت
ؤظاط وحىَش.
و /في مّنى الىىس واإلاؽ٣اة واإلافباح والضٍذ والضٍخىهتً :مط ي ؤلامام الٕضاللي فلي
جٙع للحر آً للت الى للىس ب للزو٘ ٛلع للٙي ـ للىفي ٘شٍ للذ وخ للاؿ ،حُ للث ً للاو ٥اإلاّن للى بل للى راجُ للت
ؤلاوعان وسوحاهِخه ،لمً جشجِب محذد مً ؤسواح خمعلت فلي جشاجلب ِملىدي ملً ؤدولى
بلى ؤِلىٌ:
/4ال للشوح الخع للاط :اإلاؽ لل٣اة :ألنه للا حامّ للت ألظ للباب الٍ للاَش.وج٣ىن ف للي الخُ للىان
والىٙل الشلُْ ٠ما ًشيٌ.
/2الشوح الخُالي :الضحاحت :للى ٚوالفٙاءٌ.
/3الشوح الّٝلي :اإلافباح :ألهه هىس الخّٝل وؤلادساٌ.ٟ
/4الل للشوح ال٢ٙل للشي :وٍٝل للى ٥فل للي ؼل للإهه" :وؤمل للا الشابل للْ وَل للى الل للشوح ال٢ٙل للشي ٘مل للً
خاـ للِخه ؤه لله ًبخ للذت م للً ؤـ للل واح للذ ز للم جدؽ للّب مى لله ؼ للّبخان ،ز للم م للً ١للل ؼ للّبت
ؼّبخان وَ٢زا بلى ؤن ج٢ثر الؽّب بالخٝعُماث الّٝلُلت ،زلم ًٙطل ى بلاآلخشة بللى هخلاث
ج ج
هللى زمشاتهللا .زللم جللل ٤الثملشاث حّللىد ٘خفللحر بللزوسا ألمثالهللا :بر ًم٢للً ؤًمللا جلٝللُح بّمللها
ب للالبّن حت للى ًخم للادي بل للى زم لشاث وسائه للا ٠م للا ر٠شه للاٍ ف للي ٠خ للاب الٝع للىاط اإلاع للخُٝم.
لالخش ّي ؤن ً ٣للىن مثال لله م للً َ للزا الّ للالم ال للجشة .وبر ١اه للذ زمشاج لله م للادة لخم للاِٚ ٘ب ل ِ
لالخش ّي ؤال جمث للل ب للجشة الع للٙشحل والخ ٙللاح والشم للان ؤه للىاس اإلاّ للاسٗ وزباته للا وبٝائه للا ٘ب ل ِ
ؤحرَللا ،بللل مللً حملللت ظللاثش ألارللجاس بالضٍخىهللت خاـللت :ألن لللب زمشَللا َللى الضٍللذ الللزي
َل للى مل للادة اإلاف ل للابُح ،وٍخل للخق مل للً ظ ل للاثش ألادَل للان بخاـل للُت صٍ ل للادة ؤلاؼ ل لشا ٛمل للْ ٜل ل للت
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 59
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
الللذخان ....ال ًدىللاهى زمشتهللا بلللى حللذ محللذود ْؤولللى ؤن حعللمى رللجشة مباس٠للت .وبرا ١اهللذ
ؼّب ألا٘٣اس الّٝلُت اإلاحمت خاسحت ِلً ٜبلى ٥ؤلاللا٘ت بللى الجهلاث والٝلشب والبّلذ،
٘بالخش ّي ؤن ج٣ىن ال ؼشُٜت وال ٔشبُت ٌ". ِ
/5ال للشوح الٝذس ل ي الىب للىي :وَ للى ألاٍِ للم وألاَ للم ،وخخ للام العلع لللت" :وبرا ١اه للذ
َ للزٍ ألاه للىاس مترجب للت بّم للها ِل للى بّ للن٘ :الخسل ل ى َ للى ألاو ،٥وَ للى ١الخىوئ للت والخمهُ للذ
ج
للخُللالى ،بر ال ًخفللىس الخُللالى بال مىلللىِا بّللذٍ؛ وال٢ٙللشي والّٝلللى ً٣ىهللان بّللذَما؛
٘بل للالخشي ؤن ج ٣ل للىن الضحاح ل للت ١اإلاح ل للل للمفل للباح واإلاؽ ل لل٣اة ١اإلاح ل للل للضحاح ل للت ٣ُ٘ :ل للىن
ج
اإلافباح في صحاحت ،والضحاحت في مؽ٣اة.وبرا ١اهذ َزٍ ١لها ؤهىاسا بّملها ٘لى ٛبّلن
ج
٘بالخش ّي ؤن ج٣ىن هىسا ِلى هىس"ٌ. ِ
وَللزا مللىهج ٘شٍللذ فللي جٙعللحر َللزٍ آلاًللت ،بشبىهللا بللاهىاُ الللشوح ،ؤو ـللىىٗ الّٝللل
والٙه للم والادسا ،ٟولّ للل الّ ٝللل وال للشوح ًمتزح للان ف للي جٙع للحر الٕضال للي ،وَ للزا ٘ للً ـ للىفي
٘لع للٙي روق لليًُٙ ،ه للم ف للي بو للاسٍ ،وٍى للى ٥هٝاؼ لله برا ؤسده للا هٝاؼ للا ،ول للِغ سدٍ بالخٙع للحر
الخشف للي بىشٍ لل ٞص للخُح ف للي هٍ للشي ،ب للل َ للى بز لشاء للمّن للى وجاوٍ للل وشٍ لل ،ٚل للمً ؤو للشٍ
وحللذودٍ ،وٜللذ لللشب ؤمثلللت ِلللى مللا ّبِىلله ال هللشي ٘اثللذة فللي الاظخٙالللت فللي ؼللشحهاٝ٘ ،للذ
بلٕىللا الٝفللذ بمللا بِىللا مللً مالمللح اإلاللىهج الفللىفي الٙلعللٙي ِىللذ الامللام الٕضالللي ،وسمىللا
ؤمهللاث الٝمللاًا ،ولللجن ١اهللذ الشظللالت زشٍللت ،وؤ٘٣اسَللا ٠ثحللرة وحللذًشة بالىٝللاػ والبحللث
والىٝذٌ.
ه /فل للي الخجلل للي والدجل للاب :خخامل للا هبعل للي بّمل للا ممل للا ر٠ل للشٍ الامل للام الٕضالل للي فل للي
الٙفللل الثالللث وألاخحللر مللً ٠خابلله ،وَللى ِللً الخجلللي ؤلالهللي ،وحجللب الىللىس والٍلمللاث،
لللمً حّلُ ٝلله ؤو جٙعللحرٍ ِ للً ح للذًث العللبحاث والدج للب اإلاللإزىس ِ للً سظ للى ٥هللا" :بن
ج
هلل ظللبّحن حجاب للا م للً ه للىس وٌلمللت ل للى ٠ؽ للٙها ألحش ٜللذ ظللبحاث وحه لله ١للل م للً ؤدس ٠لله
َ َ َ
بفلشٍ" ،وٜلذ سوي ؤًملا بلٙلَ آخلشَ " :حلذز َىا َِ ْم ُلشو ْب ُلً َِ ِل ّليَ ،و ُم َحم ُلذ ْب ُلً ًَ ْح َ لى ٜلاال :زىلا
لاَ َٜ :٥
لام انْ َِ ًْ َِ ،مشو ْبً ُمش َةَ ًْ َِ ،ؤبي ُِ َب ُْ َذ َةَ ًْ َِ ،ؤبلي ُمى َسل ىَ َٜ ، َؤ ُبى َِاـمُ ًْ َِ ،ظ َْ َُ ٙ
ِ ِ ِ ِ ِ
لام َوَال ًَ ْي َبغ للي َل ل ُله َؤ ْن ًَ َى للامَ
هللا َِ َل ُْ لله َو َظ للل َم ب ل َلإ ْسَبْ« :بن الل ل َله َال ًَ َى ل ُ
ـ لللى ُ ٘ َُى للا َس ُظ للى ُ ٥الل لله َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ْ ْ
ن ال ِْ ٝعللي و ٍَ ْش٘ ُّللهْ ًُ ،ش٘ل ُلْ ِبل ُْل ِله ِ َمل ُلل الل ُْل ِلل ْ ٜبل َلل الج َهل ِلاس ,وِ َمل ُلل الج َهل ِلاس ْ ٜبل َلل الل ُْل ِلل، ًَخ ِ ٙل ُ
ف ُش ٍُ"ٌ.اث َو ْحهه ُ١ل َش ْيء َؤ ْد َس َُ ٠ه َب ْ ح َج ُاب ُه الى ُاسَ ،ل ْى ََ ٠ؽ ََ ٙها َ َأل ْح َش َْ ٜذ ُظ ُب َح ُ
ِِ ِ
60 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
الخفىٗ الٙلعٙي لئلمام الٕضالي مً خال٠ ٥خاب مؽ٣اة ألاهىاس
ً ٝل للى ٥ؤلام ل للام الٕضال ل للي" :بن هللا حّ ل للالى مخج ل للل ف ل للي راج ل لله لزاج ل لله ،وٍ ٣ل للىن الدج ل للاب
باإلل للا٘ت بل للى مذج للىب ال محال للت؛ وبن اإلاذج للىبحن م للً الخل لل ٞزالز للت ؤٜع للام :م للجهم م للً
حجب بمجشد الٍلمت؛ ومجهم مً حجب بالىىس اإلاحن؛ ومجهم مً حجلب بىلىس مٝلشون
بٍلمت"ٌ.
وٍٝعم ألاٜعام الثالزت بلى ٘شوٌُ:
٘الٝع ل للم ألاو" :٥وَ ل للم اإلاذجىب ل للىن بمح ل للن الٍلمل ل لت ،وَ ل للم اإلالخ ل للذة ال ل للزًً ال
ًامى للىن ب للاهلل والُ للىم آلاخ للش .وَ للم ال للزًً اظ للخحبىا الخُ للاة ال للذهُا ِل للى آلاخ للشة ألنه للم ال
ج
ًامىىن باآلخشة ؤـال"ٌ.
والٝعللم الثللاوي" :واثٙللت حجبللىا بىللىس مٝللشون بٍلمللت وَللم زالزللت ؤـللىاٗ :ـللىٚ
ميؽللإ ٌلمللتهم مللً الخللغ ،وـللى ٚميؽللإ ٌلمللتهم مللً الخُللا ،٥وـللى ٚميؽللإ ٌلمللتهم
مً مٝاٌعاث ِٝلُت ٘اظذة"ٌ.
الٝعللم الثالللث" :اإلاذجىبللىن بمحللن ألاهللىاس وَللم ؤـللىاٗ وال ًم٢للً بحفللائَم:
٘إؼحر بلى زالزت ؤـىاٗ مجهم"ٌ
ومخت ل ل للز ٥ال ٝل ل للى ٥ؤن الٕضال ل ل للي ًٍه ل ل للش مّش٘ ل ل للت باألدً ل ل للان واإلال ل ل للل وال ٙل ل للش ،ٛول ٢ل ل للً
اإلاع للخخلق الٙلع للٙي الف للىفي م للً َ للزا الٙف للل ٘ه للى الٙه للم للخجل للي ؤلاله للي ِب للر ججل للي
الللزاث ِلللى الللزاث ،واهذجللاب الللزاث ِللً ظللىاَا ،و١للىن الىللىس ًم٢للً ؤن ً٣للىن حجابللا
ؤًم للا ،ؤو ؤن ً ٣للىن م للْ الٍلم للت ف للي حج للاب ،او ؤن ً ٣للىن الدج للاب ٌلم للت محم للت ،وَ للى
٘هم ٘شٍذ ؤًما ومخّم٢ً ،ٞؽ ًِ ٚوى ٥جذبش الشحل وج٢ٙشٍ وِم ٞجإمالجهٌ.
٘ /5اث ل للذة مىهجُ ل للت :اإلاع ل للخٙاد م ل للً مؽ ل لل٣اة ألاه ل للىاس ٠ثح ل لرٙ٘ ،حه ل للا سئٍ ل للت ٘لع ل للُٙت
بؼ لشاُٜت ـللىُ٘ت مخ٣املللت وِمُٝللت ،ظللبٝذ العللهشوسدي ولللجن اؼللتهش الاؼ لشا ٛباظللمه،
و٘اٜذ ابً ِشبلي فلي حىاهلب ،و١اهلذ هٍلشة حامّلت بلحن مّلاسٗ ٠ثحلرة :ملً ٘ٝله وُِٝلذة
ومىىلل ٞوِلللم ٠للالم و٘لعللٙت ،وِلللم باإلالللل والىحللل ،وججلللى ٘حهللا ُ٘ٝلله مخبحللش ،وـللىفي
حللشب الخلللىاث ؤللاؿ ف لي الخٝللاث ٞواإلا٣اؼللٙاث ،وَللزا بحللذ راجلله همللىرج ممحللز ،بللل ال
ه٣اد هٍٙش بؽبُه للٕضالي في حّذدٍ اإلاّشفي و٘شادجه الّش٘اهُتٌ.
٠ما ؤن مىهجه ١ان دُٜٝا ـاسما ،و١ان الخمص ي َادثلا مخإهُلا ،ملً الىلىس ومّىلاٍ،
بل للى مشاجب لله ٘ ،للالىحىد وحُٝٝخ لله ،وؤن هللا َ للى الىح للىد الخ لل ٞوالى للىس ألاو ،٥ز للم مّ للاوي
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 61
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ماصن الؽشٍٚ
اإلاؽ٣اة واإلافباح وما في آلاًت ،بخٙعحر مخٙشد وشٍ ،ٚوجإوٍل حمُل ٌشٍل ،ٚزلم مّلاوي
الخجلللي والدجللاب ومللا فللي رللل ٤مللً ؤٜعللام ِامللت وؤخللشي ٘شُِللت ،وفللي الشظللالت ممللامحن
٠ثحرة حعخحّ٘ ٞال الذساظت والبحث والخّم ٞواإلاٝاسهت والىٝذٌ.
ٌ
خاجمت
حاولىل للا فل للي َل للزٍ الذساظل للت ؤن هبل للحن مّن ل لى الخفل للىٗ ؤوال ،وحُٝٝخل لله ،واسجباول لله
بالؽللشَّت والُّٝللذة ،واجفللاله بهمللا ،زللم بالخفللىٗ الٙلعللٙي ومّاهُلله ومباهُلله وخاـللت
الٙلعللٙت الاؼ لشاُٜت ،زللم ِش٘ىللا بةًجللاص بذجللت الاظللالم ؤبللي حامللذ الٕضالللي ،الللزي ًمثللل
٘ لشادة وِبٝشٍ للت ٜللل هٍحرَ للا ف للي الخ للاسٍخ الاظ للالمي والاوع للاوي ِام للت .ز للم دخلى للا ف للي بح للاس
٠خابلله "مؽ لل٣اة الاهللىاس" وه للي سظللالت ف للي جٙعللحر آً للت الىللىس ،وظ للُّىا بلللى اظ للخخالؿ ؤَ للم
اإلاّللاوي الٙلعللُٙت الفللىُ٘ت ٘حهللا ،ومللا جىىللىي ِلُلله ،وال هللذعي ؤهىللا ؤحىىللا ب٣للل مللا فللي
الشظللالت ،ألن ١للل ٘ٝللشة ٘حهللا حللذًشة ببحللث مىٙفللل ،ول٢جهللا محاولللت ومٝاسبللت ؤسدهللا بهللا
الخّل للشٗ ِلل للى مل للىهج الٕضالل للي الل للزي ١ل للان مذسظل للت م٢خملل للت حمّل للذ مل للا بل للذا مخىاٜمل للا:
الؽللشَّت والخُٝٝللت ،والٝٙلله والخفللىٗ ،وألاـللى ٥والٙلعللٙت ،والّٝالهُللت والشوحاهُللت،
وه للي بّ للن م للً هخ للاج رخف للُت ِلمُ للت زشٍ للت حع للخح ٞمضٍ للذا م للً الّىاً للت سٔ للم ٠ث للرة م للا
٠خب ِجها٠ ،ما ان اظخحماس رخفُت الامام الٕضالي وِلمه الُىم ،فلي ٘تلرة اهدؽلش ٘حهلا
الخٙ٢حللر وؤَللله ًٝخلللىن باظللم الاظللالم وٍٙجللشون باظللم الاظللالم وٍيعللبىن الخفللىٗ ١للله
وؤَللله ٜاوب للت بل للى البذِ للت والؽللش٠ ،ٟم للا اهدؽللشث م للا ظللماَا الٕضال للي بالخما ٜللاث ل للذي
بّللن ؤدُِللاء الخفللىٗ ،ممللا صاد الهجللىم ِلُلله حللذة ،والخُٝٝللت ؤن الاظللالم بللشيء مللً
ؤَل الخٙ٢حر ٠ما ؤن الخفىٗ ٌبشيء مً ؤَل الخم ٞوالٕلى الضَٖ والترَاثٌ.
وهشحللى خخامللا ؤن ه٣للىن ٜللذ و٘ٝىللا فللي سمىللا مللً ٔللشك الذساظللت ،وبللاهلل الخىُ٘لل ٞوَللى ولللي
اإلاامىحنٌ.
ٌ
ُ٘الذًً ،وحىَش جفىٗ ؤلامام الٕضالي ٜاثم ٌٌ
الخل ٞصاد ِلٌٌٌُ ٤ مً صاد ِلُ ٤في
ِلى ألاخز الذ ُٜٞبمحاظً ألاخال ٛوالبّذ ًِ معاوئها حُث ١ان الهذٗ ألاو ٥مً
جإلُٙه ٠خابه) بحُاء ِلىم الذًً( ٘ٝذ ١ان ًشي ؤن العّادة جىا ٥بتزُ٠ت الىٙغ
وج٢مُلها وؤن ج٢مُلها ً٣ىن با٠دعاب الٙماثل ١لهاٌ.
وبرا جإملىا بخىحي وؤخىاحي في مفىٙاث الٕضالي اإلاخّلٝت بهزا اإلاجا ٥هجذ ؤهه ٜذ
ؤٜام ألاخالِ ٛلى البّذ الىٙس ي زم الاحخماعي زم الذًني للعلى ٟؤلاوعاوي ححن جٝىم
مٙاَُم وؤظغ التربُت الصخُحت بضسُ ُٜم بوعاهُت جشقى باإلوعان بلى مذاسج العمى
ٌ ٌ
ـالخا ًيؽذ ظّادة الذاسًٌٍ.
ٌ ٌ
مىاوىا وججّل مىه
لٝذ وحذ ؤلامام الٕضالي لالخه مً ؤحل جح ُٞٝما ًفبى بلُه مً ـٙاء الىٙغ
وومإهِىت الٝلب وسحاحت الّٝل والٙهم الصخُح للؽش ٌّت في الخفىٗ الخُٝٝي
ِىذما اؼخٕل بخاـت هٙعه وِٝله وصخب الؾ ًخ الٙمل بً محمذ الٙاسمزي
ٌ
جلمُزا ألبي الٝاظم الٝؽحري و٘ ٞما ؤؼاس بلُه العب٣ي في وبٝاث
ٌ الزي ١ان
الؽاُّ٘ت ِىذما جشحم ظحرة الٕضالي ،زم جش ٟحمُْ مىاـبه وجىحه هحى الؽام حُث
ٜط ى ٘حها ِؽش ظىىاث ًيخٝل بحن دمؽ ٞوبِذ اإلاٝذط والدجاص ،و٠خب في َزٍ
الشحلت ٠خابُه اإلاىٝز مً المال ٥وبحُاء ِلىم الذًًٌ.
63
محمذ ِضٍض ِابذًً الخعُني
وٜذ ؤؼاس بلى َزٍ الشحلت ومذي حاحخه بلُه ا في ٠خابه اإلاىٝز مً المال٥
ِىذما ٜا " :٥إلاا ٘شٔذ مً َزٍ الّلىم ؤٜبلذ بهمتي ِلى وشٍ ٞالفىُ٘ت ،وِلمذ
ؤن وشٍٝتهم وبًمانهم بّلم وِمل وبإن مىهجهم ًٝىم ِلى ؤظاط ٜىْ ِٝباث الىٙغ
والخجزٍ ًِ ؤخالٜها اإلازمىمت حتى ًخىـل بها بلى جخلُت الٝلب ًِ ٔحر هللا حّالى،
وجحلُخه بز٠ش هللا" ،و١ان سحمه الل ٌ ٜذ ٠ؽ ٚالعش الزي دِاٍ للعحر في مىهج
الخفىٗ الخُٝٝي ٜل الفٙحاث بٝىله “ ":والحٍذ ؤِمالي وؤحعجها الخذسَغ
والخّلُم٘ ،ةرا ؤها مٝبل ِلى ِلىم ٔحر مهمت وال هاّ٘ت في وشٍ ٞآلاخشة ،زم ج٢ٙشث في
هُتي في الخذسَغ٘ ،ةرا هي ٔحر خالفت لىحه هللا حّالى ،بل باِثها ومحش٠ها ولب
الجاٍ واهدؽاس الفِذ ٘خُٝىذ ؤهني ِلى ؼٙا حشٗ َاس"ٌ.
ٌ
بّما مً ؤَذاٗ ؤلامام ٌ وَىا وعخىُْ ؤيها ؤلاخىة وألاخىاث ؤن وعخخلق
الٕضالي مً خال ٥ظلى٠ه مىهج الفىُ٘ت الخُٝٝيٌ:
.4بخشاج حُل حذًذ مً الّلماء واإلاشبحن الّاملحن الزًً جخىحذ ؤ٘٣اسَم بذ٥
ؤن جدىابز ،وجخ٣امل حهىدَم بذ ٥ؤن ث جفاسٌٌُ ،وجخلق ٔاًتهم هلل حّالى
بما ًخ ٞٙمْ مبادت الؽشُ الخىٌُ.ٚ
وفي َزا ًٝى ٥في ٠خابه بحُاء ِلىم الذ ًً٘ " :الّلماء َم ٌٌٌ
ؤوباءالذًً ِلحهم ؤن
ًىلبىا مشض ى الّٝى ٥والىٙىط لّالحهم ألنهم وسزت ألاهبُاء ،وألاهبُاء ما جش١ىا
الً اط ِلى حهلهم بل ١اهىا ًىادونهم في مجامّهم وٍذوسون ِلى ؤبىاب ٌدوسَم
ٌ ٌ
واحذا ٘حرؼذونهم٘ ،ةن مشض ى الٝلىب ال ٌّش٘ىن ٌ ٌ
واحذا في الابخذاء وٍىلبىنهم
مشلهم" ؤلاحُاء\جٌ,4ؿٌ.05
ٌ
٘اظذا للخّلُمً ،ش٠ض
ٌ .2ولْ مجهاج حذًذ للتربُت والخّلُم :ألهه ١ان ًشي ٌٌ
هٍاما
ٌ
ِلى جخشي مىٌٙحن للذولت ال ِلماء ًخذمىن ؤَذا ٌ٘الذًً وٍحملىن سظالت
ألامش باإلاّشوٗ والىهي ًِ اإلاى٢ش مً خال ٥الشبي بحن ؤـى ٥الّلىم الؽشُِت
وؤـى ٥الّلىم الّٝلُت ٘ال جذس ٟألاولى دون الثاهُت ألن الّلىم الّٝلُت
١األدوٍت للصخت والّلىم الؽشُِت ١الٕزاء٘ ،مً ًٝخفش ِلى الّلىم
ُ٘الذًً بال ٜؽىسٍ بل خُاالجه وؤمثلخه دون لبابه الؽشُِت ٘ٝي ٘ال ًٙهم ٌٌٌ
وحُٝٝخه.
ولّل مً اإلاُٙذ ؤن ؤؼحر َىا بلى اإلاُادًً ألاظاظُت التي ظاس ِلحها ؤلامام
الٕضالي في مجهاحه التربىي والخّلُميٌ:
-بىاء الُّٝذة ؤلاظالمُت :ورل ٤بهذٗ ج٣ىًٍ ُِٝذة وامخت حُت
ج٣ىن بمثابت ألاًذولىحُت التي جحذد معاس العُاظاث اإلاخخلٙت
ٌ
حلُا في سظالت ظماَا الخ٢مت مً مخلىٜاث الل وجىحهها ،وٌهش َزا ٌ
ٌ ٌ ٌ
ِاإلاا بالٙماء،
٘لُ٢ا ٌ ٌٌ
مخخفا بالدؽشٍح ؤو ٌ ٌ
وبِبا ٌ ِضوحل هشاٍ ٘حها
ورل ٤مً خالِ ٥ىاوًٍ ؤبىاب َزٍ الشظالت مً مثل :الخ٢ٙحر في خلٞ
العماء وفي َزا الّالم \ في ح٢مت الؽمغ \ ح٢مت الٝمش وا٥
١ىا٠ب \ حؽشٍح ألاحعامٌ.
-مُذان تهزًب الىٙغ وؤلاسادة :حُث ًخحشس اإلاخّلم مً الخمىُ
للؽهىاث وألاَىاء وٍخفشٗ و٘ ٞمشاد هللا ًِ ٜىاِت وسض ى ،وٜذ
ولْ الٕضالي سحمه َىا وظاثل ومخىلباث جح ٞٝؤَذاٗ َزا اإلاُذان
ٌ
ؤبحازا مىىلت في الخحل ًل الىٙس ي ومشاجب جىىس الىٙغ ٌ بفُأخه
وؤحىالها واإلاازشاث التي جازش في العلى ٟوال٢ٙش واإلاماسظاث التي ًجب
ؤن ًمش بها اإلاخّلمٌ.
-مُذان دساظت الّلىم الٝٙهُت :وما اؼخملذ ِلُه مً ؤهٍمت ومبادت
جخىلبها اإلاّامالث الجاسٍت والٝماًا الخُاجُت الٝاثمت واإلاخجذدة،
و١اهذ دساظاث َزا اإلاُذان مخحشسة مً الخٝلُذ اإلازَبي مخفلت
ٌ ٌ
اجفاال مباؼشٌا بالٝشآن ا٠ ٥شٍمٌ. ٌ
-مُذان الخ٢مت ؤو ؤلاِذاد التربىيٌ :وٜذ ؤدخل الٕضالي َىا حمُْ
العُاظاث واإلاهً التي ًحخاحها لِغ مجخمّه ٘ٝي وبهما مجخمّىا
ٌ
ؤًما بلا٘ت بلى ُُٙ٠ت جىصَْ ؤ٘شاد اإلاجخمْ حعب ٌ اإلاّاـش
اظخّذاداتهم وٜذساتهم ،وإلاح بلى ؤن ِلىم َزا اإلاُذان ال جٝخفش ِلى
ٌ
معخٝبال بعبب
ٌ ما حّشٗ ِلُه ؤلاوعان وسهما ظُبرص ا٠ ٥ثحر مجها
جىىس الخُاة وججذد الاحخُاحاثٌ.
.3محاسبت اإلاادًت الجاس٘ت والعلبُت الذًيُت وجصخُح الخفىس العاثذ ًِ
الذهُا وآلاخشة :واظخخذم الٕضالي َىا ألاظلىب الهادت الخحلُلي الزي ًخاوب
الّٝل وَعتهذٗ ؤلاٜىاُ وججىب لهجت الخىُب الىاَِ الزي ٌؽخٕل
بٍىاَش ؤِشاك اإلاشك الثاهىٍت ُ٘مُل بلى بزاسة الّىاو ٚودٔذٔت اإلاؽاِش.
بن اإلاادًت ؤو العلبُت الذًيُت ِىذ الٕضالي َما هخاج ٘اظذ الخخال ٥الّالٜت
الٝاثمت بحن ؤلاوغ ان والذهُا بعبب ظىء الٙهم والجهل بالخ٢مت ؤلالهُت
مً خل ٞؤلاوعان والذهُا وآلاخشة مما هخ ِىه ٔمىك واسجبا ٟفي مٝاـذ
الخُاة وؤَذا٘ها ِىذ ؤلاوعانٌ .
٘اإلاىلى حّالى خل ٞؤلاوعان لُّبذٍ وَّش٘ه وَى في َزٍ الّبادة واإلاّش٘ت ٌّبر
الذهُا بلى آلاخشة حُث الجضاء واإلاعخٝش ،وٍخحذد ؼ٣ل َزا الاظخٝشاس في هىُ
الخُاة التي ٌِّؽها ؤلاوعان في الذهُا وهىُ الّالٜت التي جٝىم بُجهماٌ.
.4الذِىة للّذالت الاحخماُِت :اَخم الٕضالي سحمه هللا بمُذ ان الّذالت
الاحخماُِت ٜذس اَخمامه بإمىس الُّٝذة وؤلاـالحٝ٘ ،ذ ١ان ًشي ؤن " اإلاا٥
آلت ـبها هللا في ؤًذي ِبادٍ لخ٣ىن آلت لذْ٘ حاحاتهم ووظُلت لُخٙشٔىا
لىاِاتهم "...ؤلاحُاء \ج1ؿ 223ومابّذَا.
وٜذ ولْ الٕضالي لخحَ ُٞٝزٍ الّذالت الاحخماُِت مبادت مخّذدة؛ َا٠م
ؤَمهاٌ:
ٌ
حٝا ظىي الض١اة " :لزلً ٤جب ُ لى ألأىُاء مهما وحذوا -بن في اإلااٌ ٥
الٝٙشاء في حاحت ؤن ًضٍلىا حاحتهم ،ومهما ؤسَٝذ الٝٙحر حاحخه ١اهذ
بصالتها ٘شك ٙ٠اًت بر الًجىص جمُِْ معلم" ،و في اإلاٝابل ِلى الٝٙحر ؤن
ي بز ٥حهذٍ للخفىِ ٥لى هفِبه مً اإلاا ٥مً خال ٥الّمل والىظاثل
الؽشٍ ٚبر " لِغ الّبادة ؤن جفٜ ٚذمُ ٤ؤحرٌّ ٟى ٥ل ،٤وً٠ ٥
ابذؤ بشُٔ٘ ٤ٙإحشصٍ زم حّبذ ،...وٍىم الُٝامت ًىادي مىاد :ؤًً بٕماء
ٌٌ
ظاا ٥اإلاعاحذ" .ؤلاحُاء\ج1ؿ.223 هللا في ؤسله ُ٘ٝىم
ٌ
٠خبا وسظاثل لمً ٠خابه بحُاء ِلىم الذًً جىمر الىمي -ؤلٌ ٚ
الؽشعي الصخُح للخُاة اإلاجخمُّت بما ًح ٞٝمٝخمُاث الّذالت
الاحخماُِت :مً بُجها ٠خاب :آداب ا٠ ٥عب واإلاّاػ ،لمىه آساءٍ في
الخث ِلى الّمل وبُان ٘مله بلى ؤس١ان البُْ وؼشووه وظاثش اإلاّامالث
الاٜخفادًت والخجاسٍت ،و٠خاب :الخال ٥والخشام ،ؤساد مىه جحذًذ ؤهماه
الخُاة الاحخماُِت وً ُٚ٠فان اإلاجخمْ مً الّاداث اإلاخالٙت للؽشُ في
ؤظالُب اإلاِّؽت.
-محاسبت الاحخ٣اس وا٠ ٥جز الخشام :ألن "الاحخ٣اس ٌلم باإلاّاملت ،وباجْ
الىّام اإلاحخ٢ش الزي ًيخٍش ٔالء ألاظّاس َى ٌلم ِام وـاحبه مزمىم
في الؽشُ ًبرؤ مىه هللا حّالى" ؤلاحُاء\ج2ؿ.44
-مىْ بهٙا ٛاإلاا ٥في الً ا٘لت مً الّباداث بّذ ؤداء الٙشوك ودِا بلى
بهٙاٜها ِلى الٝٙشاء " :وسبما ًحشـىن ِلى بهٙا ٛاإلاا ٥في الدج
ٌ
حُاِا" ؤلاحُاء\ج2ؿٌ.141
ٌ ُ٘ذجىن مشة بّذ مشة وسبما جش١ىا ححرانهم
ٌٌ
ؤوىبذ في ا ٥حذًث ًِ بحاس الّلم واإلاّش٘ت سبما ٌؽحر بلي البّن ؤهني ٜذ
وؤلاـالح التي ؤبحش ٘حها ؤلامام الٕضالي سحمه هللا ،ولّل َزا البّن ٌّزسوي بن
ٌ
ِاما جٝشٍباٌ،
ٌ ِلم ؤهني ؤِِؾ ججشبت الذِىة بلى هللا في ؤمشٍ٣ا مىز زالزحن ٌٌ
ٌٌ
٘شـت٠ىذ وِىذما ٌولب مني جٝذًم َزٍ الىسٜت في ؤِما ٥ماجمشها مىحني رل٤
ؤهخٍ شَا للخّم ٞفي جشحمت ظحرة ؤلامام الٕضالي٘ ،ةر بي ؤمام رخفُت حُُٝٝت
ٌ ٌ
وحذث هٙس ي ؤمام رخفُت لم ججّل ٌٌ وِمال،
ٌ جحمل وسازت ِلم الً بىة ٌ
ٜىال
ٌ
محفىسا بحن حذسان اإلاعاحذ ،وبهما حّل اإلاعاحذ مذاسط للذًً ٌ ؤلاظالم
والذهُاٌ.
املخص
ًفل ؤلامام الٕضالي في الّلم واإلاّشٜت بلى معخىي الٝمت وَىاإلا٢ٙش اإلاعلم اإلاّشوٗ
له م٣ان باسصٌ ومخمحز في ٜلىب اإلاعلمحن ٌّمل الٕضالي ِلى ِملُت الخىحُذ بحن الٝٙه
والخفىٗ وَّخبر هجاحا ٘حها„ٌوال٢خاب الشاجْ الزي الٙه بحُاء ِلىم الذًً ً٣ىن خحر
ؼهُذ ِلى رل. ٤وٍا٠ذٍ الّالم ؤلاجذووس ي الباسص هىس خالق مجُذ ؤن الٕضالي ب٢خابه
بحُاء ِلىم الذًً مثل ججهحز الٕش٘ت لها م ُٚ٢الهىاء التي ًجّل ١ل داخلها الًشٍذ
الخشوج مجها مشة ؤخشيٌ .
ٌ
املقدمت
ًفل ؤلامام الٕضالي في الّلم واإلاّشٜت بلى معخىي الٝمت وَىاإلا٢ٙش اإلاعلم ٌ
اإلاّشوٗ له م٣ان باس ٌص ومخمحز في ٜلىب اإلاعلمحن ،.مهما ج ً٢ألاساء التي ٜبلذ ِىه
مخخلٙت ٘ ,ةن الجمُْ مخٝٙىن ِلي ِلى م٣اهخه في ؼئىن الّلم واإلاّش٘ت وسؼى
ٜذمه ٘حها وٍفٙه ؤظخارٍ الجىٍني بإهه ١اإلاىظىِت الجخمه التي جحخىي ِلي مخخلٚ
الخخففاث ،مً الٝٙه وؤـى ٥الُٝٙه وال٢الم واإلاىى ٞوالٙلعٙت ,و١اهذ حُاجه
حا٘لت ٔىُت باالخجاسب وـىسة للخّم ٞفي اِىس الامىس,ول ً٢بّذ ان ًمط ي مذة ٔحر
ٜفحرة في الخُاساث والفشِاث الٙلعُٙه وال٢ٙشٍه ١ان ؤخش محىت ًخخاسَا هي
محىت ال٢ٙشة الفىُ٘ت والىٙعُه .لهزاٌّ ...شٗ الٕضالي بإهه سحل ـىفي بذال مً
ُ٘ٝه بظالمي و الَىجني (مخ٣لم) ،وُ٘لعىٌٗ .
69
ؤحمذ بلُاط بظماُِل
اِشب الٕضالي في ظحراجه الزاجُت مً ٠خاب"اإلاىٝز مً المال " ٥بإن ألادة ٌ
إلاّش٘ت الخُٝٝت هي التي ج٢ؽ ًِ ٚوشٍ ٞال٢ؽ ٚو َىماٌعمى بمىهج التزُ٠ت
الىٙعُت التي ًٝزٗ هللا هىسا في ٜلب ِبذٍ إلاً ٌؽاء مً ِبادٍ مباؼشة ,ؤما وشٍٞ
الخىاط والّٝل الزي ًىٍش الحها الٕضالي إلبشاص الخُٙٝت ؤحُاها ًخذُ وٍذلغ بمّنى
لِغ داثما ًشؼذ الىاط بلى ـلب الخٝاث ٞؤوالفىابٌ .
َىا ًٝىم الٕضالي بخىىٍش ٠ال اإلاىهجحن مً خال ٥ولْ الىٍشٍت اإلاّشُ٘ت ٌ
(ببعخمىلىجي) الجذًذة وَزٍ ما ٌّشٗ لذي اإلاعلمحن باإلاىهج الّش٘اوي ,ومً الجذًش
بالز٠ش ؤًما ؤن معاَمخه فى الخفىٗ لِغ ِلى َزا الخذ ٘حعب ل٢ىه ًٝىم
ٌ
بالمذ ِلى مجمىِت الشوحاهُحن المالحن التى اؼتهشث بالىاثٙت الباوىُت ,والمذ
ِلى مجمىِت مً ِلماء اإلاعلمحن اللبرالُحن الزًً جإزشوا باأل٘٣اس واالٙلعٙت
الُىهاهُتُ٘ ،إخز الٕضالي مى٢٘ ٜٚشة الىظي للخفذي ِلى جل ٤اإلاجمىِت وٍثمش
رل ٤هٍشٍت الخ٣امل التي ٌّمل ِلى جىحُذ الّٝل والى ي مً حهت وجىحُذ الخفىٗ
والؽشَّت مً حهت ؤخشيٌ .
ٌّمل الٕضالي ِلى ِملُت الخىحُذ بحن الٝٙه والخفىٗ وَّخبر هجاحا ٘حها„ٌ ٌ
وال٢خاب الشاجْ الزي الٙه بحُاء ِلىم الذًً ً٣ىن خحر ؼهُذ ِلى رل ،٤ألن َزا
ٌ ٌ
الّمل ال٢بحر ٜذ حاص ؼهشة واهدؽاسا ما لم ًٝاسبه ؤي ٠خاب مً ٠خب ؤخشي وهىاٜا
واظّا فى الّالم ؤلاظالمي ٘إـُح الخفىٗ بهزا ال٢خاب ِلما ًحل حّلمه ووّلُمه
بّذ ؤن ١ان محشما لذي اإلاعلمحن ,وٍٝى ٥جاج الذًً العب٣ى "ان لم ًَ ً٢ىا٠ ٟخاب
ؤخش ِلى وحه ألاسك ًٙ٢ي بةحُاءِلىم الذًً دلُال" وٍا٠ذٍ الّالم ؤلاجذووس ي الباسص
هىس خالق مجُذ ؤن الٕضالي ب٢خابه بحُاء ِلىم الذًً مثل ججهحز الٕش٘ت لها مُٚ٢
الهىاء التي ًجّل ١ل داخلها الًشٍذ الخشوج مجها مشة ؤخشيٌ .
فى الخفىٗ ًىا ٥الٕضالي إلا٣اهه ألاِلى وجإزحرٍ ألاوظْ ُ٘ه وظام اللٝب حجت ٌ
ؤلاظالم ،وَزا الىٙىر لِغ مٝفىسا في الذو ٥الّشبُه ٘ٝي ل٢ىه حاوص الي الذو٥
ألاظُىٍت الجىىبُت بما في رل ٤بهذوهِعُا .وَزٍ اإلاٝالت هي اللمحت اًِ ؤ٘٣اسالٕضالي
في الخفىٗ وجإزحرٍ فى بهذوهِعُاٌ.
مىز رل ٤الخحن جخلى الٕضالي مىفب الشثِغ للىٍامُت وٜام بالشحالث بلى
الذو ٥ؤلاظالمُت الّذًذة مً بُجها ظٙش بلى دمؽ ٞوم٢ث ٘حها ِامحن ،زم بلى ٘لعىحن
وم٢ت ألداء مىاظ ٤الدج ،وٍز٠ش ؤن بحُاء ِلىم الذًً ؤٍِم ِمله فى الخإلُ١ ٚان
م٢خىبا فى َزٍ اإلاشحلت .ومش الٕضالي في حُاجه باإللىشباث ال٢ٙشٍت وحاوصٍ باللجىء بلى
الخُاة اإلاخىالّت بُّذا ًِ الترٗ ٠فىفي ،واخخاس الٕضالي الخفىٗ ٠مخىت ألاخحرة
فى سحاالجه ال٢ٙشٍت والشوحاهُت بلى و٘اجه في مهبي سؤظه وىط ًىم 44حمادي ألاخحر
49/ٌ505دٌعمحر4444مٌ.
ومً اإلام ً٢ؤن هٝشؤ ؤ٘مل جإلُٙه ًِ الخفىٗ في ٠خاب بحُاء ِلىم الذًً
ُّ٘شٗ مىه ؤهه يهخم بالتزُ٠ت الىٙعُت وحعً الخل ٞوالٝشبت مً هللا فى بواساِلى
اإلاٝاماث ،اإلاحبت واإلاّش٘ت٘ ,لم ًَ ً٢ىا ٟمٝام الخىحذ ؤوالىحذة ,بل البذ ل٣ل
اإلاٝاماث التى حّشٗ بالىبٝاث للخىحه بلى الشب ألاِلى مشاحْ مً الٝشآن والعىت
٠مفذس ؤظاس ي فى ؤلاظالم ,برا لِغ بمعخٕشب ؤن ًٝا ٥ؤن مىهجه في الخفىٗ َى
الخفىٗ العني الزي حّل حّالُم الٝشآن والعىت ظىذا له ,وٍٝا ٥ؤًما بالخفىٗ
الخلٝي الّملي ألهه مهخم بالٝىة ألاخالُٜت والىٝىط الذًيُت اإلاادًت بلى الٝشب مً
هللا وَ٘ ٞذاًخه وسظىلهٌ.
ومهم حذا للمالحٍت َىا ؤن الٕضالي في وحه ١ان ًدىٝذ بؽذة بلى حماِت الباوىُت
وَّمل ِلي جىُٝت مٙاَُم الخفىٗ مً ِىاـش الباوىُت ألنها الـلت لها بالٝشآن ,و
ًٍهشرل ٤الىٝذ فى ٠خابه ٘ماثح الباوىُت الزي له الهذٗ اهخٝاد بلى الباوىُحن ،و١ان
ٌّمل ؤًما ِلى هٝذ َاالء الٝٙهاء الزًً ًٙهمىن الذًً باالخ٢م ِىلى الجاهب
الٍاَش الؽ٢لي ٘ٝي دون اللجىء بلى الجاهب الباوني اإلاممىن الزي ١ان فى حُٝٝخه
حىَشالذًً ومهمخه فى وحه آخش .وَزا ماًبذوفى ٠خاب ؤلاحُاء ِلىم الذًً فى ٘فل
سبْ الّبادة ححن ًبحث ًِ الفالة ٘ةهه الًٝخفش ِلى اس١ان الفالة وؼشووها ٘ٝي
٠ما َى اإلاّلىم فى ٠خب ٘ٝهُت ل٢خه ؤًما ٌعشح ًِ حىَش الّبادة وؤظشاسٍ مثل
ؤظشاسالفالة والفىم والدج ؤحرَاٌ .
ِىذ الباحث ١ان الٕضالي ٌّمل دوسا َاما في حىاهب زالزت وهي :ألاولى جىُٝت
الخفىٗ مً ِىاـش الباوىُت التى الٌعدىذ بلى حّالُم ؤلاظالم ،حتى ؤـبح الخفىٗ
حالال ومٝبىال ِلى اإلاعلمحن .الثاهُت ج٣ىًٍ وحهت الىظاه اوالخىاصن الجذًذة بحن
الٝٙه(الؽشَّت) والخفىٗ(الخُٝٝت) بّذ ؤن ١اها مخّاسلحن مً ُٜل .الثالثت
بظخمشاسٍت رل ٤الذوس ظبٝذ ر٠شاٍ حُث ؤن الٕض الي ٜادسة ِلى ج٢شٍث الخفىٗ
ِلما سوحىُا ومشحبا فى الذو ٥ؤلاظالمُت ،للٕضالي جإزحر ٜىي لذي اإلاعلمحن العيُحن ،
والذو ٥الّشبُه وؤلاظالمُت مً لمجها بهذوهِعا ِلى الخاؿٌ .
ؤـُح الٕضالي ِاإلاا وم٢ٙشا مؽهىسا مً مؽاس ٛألاسك ومٙاسبها ،وٍا٠ذ ِلى
رل٘ ٤ض ٥الشحمً فى ٜىله :بن الٕضالي وجإزحرٍ ٘ى ٛما ًحعبل ،ألهه بجاهب هجاحه فى
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 73
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
ؤحمذ بلُاط بظماُِل
بِادة بىاء ـىسة ؤلاظالم ال٢الظ٣ي بإن ًجّل الخفىٗ مً ؤَم ِىاـشٍ ٘ةهه ٜذ
ٜام بّمل ؤلاـالح بلى الخفىٗ بحزٗ مااهخشٗ ُ٘ه وهُُٝه مما لِغ مً ؤلاظ ٌالم،
وبخإزحرٍ ؤـبح الخفىٗ مٝشسا مً الجمهىس ،حتي ًىا ٥مجهم الثىاء والؽ٢ش ِلى
ٜذسِلىم٣اهه وؼهشجه ،ل٢ىه بزل ٤ؤًما َى ًىا ٥هٝذا وِخاباٌ.
ًثنى له اإلااٍذون بثىاء ٍُِم وَّخبرون ٠خاب بحُاء ِلىم الذًً مً احعً
ال٢خاب ِلى وحه ألاسك ،وبالّ٢غ ًىٝذ الشا٘مىن له وٍزمىهه بؽذة بما ًممً
ُ٘ه ال٢خاب وِلى سؤظهم ببً الخُمُه الزي ٜاُ٘ ٥ه :بن ٠خاب ؤلاحُاء مملىء
بالخش٘اث والبذُ وألاحادًث المُّٙلت والخٝلُذ ِلى ؤ٘٣اسالفى٘حن الٝذماء بذون
ر٠ش مشاحّه مثل ؤبىوالب اإلا٣ي وابىحاسط اإلاحاظبيٌ.
وَىالء مخإزشًٍ ًإ٘٣اسالٕضالي ألنهم ١اهىا مً ٜبل ًخلٝىن الّلم بصاءِلماء الّشب مثل
بمام الٝؽحري ؤحرٍ ؤومً ِلماء ؤلاهذوهِس ي اإلاُٝمبن فى الّشبٌ.
إلاّش٘ت ؤِم ًِ ٞجإزحر الخفىٗ ِىذ الٕضالي فى بهذومِعا ًٝذم الباحث
خشٍىت اهدؽاسٍ مً خالٜ ٥ىىاث زالزت :مً ال خفُت ال٢باس ,مً اإلاّاَذ ؤلاظالمُت,
ومً الىشٍٝت اإلاّخبرة اإلاماسظت فى اإلاجخمْ ؤلاهذوهِس يٌ.
وحمىس الخفىٗ ِبر ألارخاؿ ال٢باس،مً الّلماء والفىُُ٘حن ٠ما ظبٝذ ر٠شٍ
فى اإلاىج الثاوي مً ال٢ٙش الفىفي ١اهىا ؤ٠ثرَم حبا وسٔبا الى ال٢ٙشالفىفي ِىذ
الٕضالي ،ومً بحن َاالء الؽُخ ِبذ الفمذ البلمباوي (الٝشن ،)48وَى ال خق
اإلاهم والباسص الزي حّل الخفىٗ للٕضالي مىدؽشافى بهذوهِعُاٜ ،ذ ال ٚالّذًذ ًِ
الٕضالي فى الخفىٗ ،وِلى ظبُل اإلاثا٠ ٥خاب َذاًت العال٢بن في ظلى ٟمعل٤
اإلاخٝحن باللٕت اإلاالوٍت ،وَزا ال٢خاب ِمل جشحمي مً ٠خاب بذاًت الهذاًت للٕضالي،
و٠خاب ؼشُ العال٢حن بلى ِبادة سب الّاإلاحن ِمل جشحمي مً ٠خاب بحُاء ِلىم
الذًً ,باإللا٘تبلى رل ٤ؤل ٚالبلمباعي ٠ىابا خاـا بمىلىُ ٘ماثل بحُاء ِلىم
الذًً للٕضالي.جحذر ُ٘ه ًِ ٘مل وممحزاث بحُاء ِلىم الذًًٌ.
وؤل ٚالؽُح محمذ دحالن ٜذًشي ،بجاهب البلمباوي ،ال٢خاب ظشاج الىالبحن
باللٕت الّشٍِىت مجلذًً ؼشحا ل٢خاب مجهاج الّابذًً الى حىت سب الّاإلاحن لالمام
الٕضالي٠ ،ما ؤل ٚالؽُخ الخىاوي البيخاوي ال٢خاب مشا ٛالّبىدًه مً احذ ٠ىب
الؽشح ل٢خاب بذاًت الهذاًت لئلمام الٕضالي الزي حفل ِلى اَخمام ٠بحر مً حهت
الباظىترًىاث /اإلاّاَذ ؤلاظالمُت بةهذوهِعُاً .شي الاظخار الضمشدي ؤصسي ؤن البلمباوى
َى ألا٠ثر ب ٢ثحر مً حمُْ الّلماء اإلاالوٍحن بةهذوهِعُا فى جشحمت ال٢خب ؤلاظالمُت ،
وٍمُ ٚؤصسي ؤن الخفىٗ للٕضالي ًىا ٥ؼهشجه ِلى هىا ٛواظْ الًخلى مً زمشة
ِمله فى جشحمت مالٙاث الٕضاليٌ.
ؤـبح الخفىٗ للٕضالي ميؽىسة ومذسوظت فى اإلاّاَذ ؤلاظالمُت بةهذوهِعُا
بعبب َاالء الشحا ،٥اإلاّاَذ ؤلاظالمُت ٠ماظعت الخّلُمُت ألاولى هي اإلاش٠ض لخّلُم
الخفىٗ للٕضالي ووؽشٍ بةهذوهِعُا ،وال ؼ ٤ان الّلماء وؤَل اإلاّاَذ مخإزشًٍ
بالٕضالى ،بذلُل ان فى مىىٝىت حالحب بحذي الٝشي بجاوي الىظىى مّهذ بظالمي
ميعىبت بلي اظم مالٙاجه وَىمّهذ بحُاء ِلىم الذًًٌ.
و٘حها جخم ٜشاءة ودساظت مالٙاجه ،وٍم ً٢جٝعُم ؤِماله فى الخفىٗ ؤلى
ٜعمحن :ألاو ٥الىٍشٍت الٙلعُٙت التى جبذو فى ٠خاب مؽ٣اث ألاهىاس ومفٙاث ألاظشاس
والشظالت اللذوهُت ،الثاوي ألاِما ٥الّملُت التى جحث بلى سْ٘ آلُت الىٝىط الذًيُت
والخلُٝت،ورل ٤معىىس فى احُاء ِلىم الذًً ومجهاج الّابذًًً .حىى اإلاّاَذ
ؤلاظالمُت خىىة الثاوي بإن ًجّل َزًً ال٢ىابحن مٝشساث احباسٍت والصمت للخذسَغ
فى اإلاّاَذ الاظالمُتٌ.
وٍخم جذسَغ الخفىٗ للٕضالي ووؽشٍ ؤًما مً خال ٥الىش ٛبجاهب اإلاّاَذ،
الىشٍٝت هي بظم للمذاسط او اإلاىٍمت الفىُ٘ت لخىبُ ٞالخفىٗ وبِماله ،وٍىحذ
َىا هىِحن .4 :مّخبرة ححن جىا٘ ٞالٝشؤن والعىتٔ .2 .حر مّخبرة ححن ٌّترك وٍخخلٚ
مْ حّالُمهما .وفى مااجمش لجمُّت نهمت الّلماء الزي ِٝذ فى ظِخى بىذو الّام
ٜ 4984شس اللجىت ؤن الىشٍٝت اإلاّخبرة هي ما ١ان ِلى ما سآٍ الٕضالي وؤظخارٍ حىُذ
البٕذادي .واججر بهزالٝشاس ؤن الخفىٗ الخلٝي الّملي َى مىهر الخفىٗ الزي
ٌعمح له للخذسَغ واليؽشلذي حمُّت نهمت الّلماءٌ .
املراحع
ابى حامذ محمذ بي محمذ الٕضالي ،احُاء ِلىم الذًً ،بحروث لبىان ،داس ال٢ٙش،
بذون الخاسٍحٌ.
،-----------بذاًت الهذاًت ،بحروث لبىان ،داس ال٢ٙش ،بذون الخاسٍحٌ.
،-----------تها٘ذ الٙالظٙت ،مفش ،داس اإلاّاسٗ ،بذون الخاسٍحٌ.
،-----------الشظالت اللذهُت ،مفش٠ ،شدظخان الّلمُتٌ.ٌ 4328 ،
٘ ،----------ماثخ الباوُيُت١ ،ىٍذ ،ماظعت داس ال٢ب الثٝاُ٘ت ،بذون الخاسٍحٌ.
،----------مؽ٣اة الاهىاس و مفٙاة الاظشاس ،بحروث لبىان ،داس اليؽشٌ ،.4986 ،
ٌ
Achmad Mubarok
Guru Besar Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah Jakarta
achmad.mubarok@yahoo.com
Abstrak
Politik sering difahami sebagai perilaku duniawi, yakni sebagai aktualisasi
hubbuddunya warriyasat, cinta dunia dan kepemimpinan, yang oleh karena itu
lebih sering menyimpang dari nilai-nilai akhlaq apalagi dari nilai-nilai tasawuf.
Dinamika politik dalam sejarah Islam menunjukkan bahwa tarik menarik antara
bandul fujur (kejahatan) dan bandul taqwa (kebaikan) selalu terjadi, dan sangat
dinamis. Meski demikian, nilai-nilai akhlak al karimah selalu datang
mengkoreksi perilaku politik yang menyimpang dari nilai-nilai keutamaan.
Lahairnya ilmu tasawuf tak bisa dipungkiri merupakan koreksi terhadap
penyimpangan dari ajaran Islam yang sudah di luar batas syariat. Para penguasa
saaat itu sering menggunakan Islam sebagai alat legimitasi ambisi pribadi. Kini
pada era IT dimana kemungkaran mendominir dunia maya, kembali lagi
semangat sufisme juga muncul dan menyelinap kedalam kehidupan ruhani
masyarakat global.
Kata Kunci: psikopolitik, tasawuf, zikir, nurani politik.
PENDAHULUAN
Tasawuf sering difahami sebagai kekuatan abstrak sementara politik
dipandang sebagai the real power. Mengapa? Karena tasawuf selalu dipersepsi
sebagai ajaran menjauhi dunia, apalagi politik. Tetapi fenomena alam
menunjukkan bahwa gunung berapi yang besar bisa ditembnus oleh bor besi.
Selanjutnya bor besi bisa dilelehkan oleh api, dan api bisa dipadamkan oleh air,
dan air bisa ditiup oleh azngin. Ternyata power yang paling dahsyat justru
sesuatu yang tidak tampak di mata.. Dalam politik, mengalah sering lebih
menguntungkan, dan sentaranya hanya orang kuat yang bisa mengalah.
81
Achmad Mubarok
Demikian juga merendahkazn diri sering lebih efektip dalam transaksi politik,
karena senyatanya hanya orang yang tinggi yang bisa merendahkan diri,. Jadi
sesungguhnya tasawuf bisa digunakan sebagai pendekatan dalam berpolitik.
PSIKOPOLITIK ZIKIR
Dari segi bahasa, zikir mempunyai dua arti; menyebut dan mengingat.
Ada orang yang mulutnya menyebut nama Tuhan tetapi hatinya justeru tidak
mengingat Nya,malah mengingat syaitan dan maksiat, sebaliknya ada orang
yang selalu ingat Tuhan meski tak terdengan sebutan nama Tuhan dari
mulutnya. Pada tradisi tarekat tasawuf dikenal ada zikir jahr dan ada zikir sirr.
Zikir Jahr adalah menyebut nama Tuhan atau kalimah thayyibah (takbir,
tahmid, tasbih dan salawat Nabi) dengan mengeraskan suara. Biasanya zikir jahr
dilakukan bersama=sama, di masjid atau di tempat khusus (zawiyah) dipimpin
seorang mursyid. Sekarang acara zikir jahr marak dilakukan oleh masyarakat,
dipimpin antara lain oleh Arifin Ilham, Ustad Haryono dan lain-lainnya. Ada
lagi yang disebut istighotsah, artinya mohon pertolongan, isinya membaca doa
mohon sesuatu secara ramai-ramai (demontrasi doa) di tempat terbuka. Jika
pada acara tahlilan, zikir lebih merupakan tradisi, pada kelompok tarekat, zikir
merupakan suluk atau metode mendekatkan diri kepada Tuhan. Bagi pengamal
tarekat, membaca zikir dalam majlis zikir merupakan hiburan dan kenikmatan
spirituil, baik ketika sedang membaca maupun sepulang dari berzikir.
Pembacaan zikir yang dilakukan secara reguler yang disiplin dan tertib (disebut
wirid) akan mengembangkan “rasa” tertentu yang dapat disebut sebagai
religiusitas. Ekpressi ahli zikir itu pada umumnya tenang dalam menghadapi
berbagai persoalan, wajahnya berseri-seri meski kepada musuh sekalipun dan
fleksibel dalam mencari problem solving. Zikirnya penganut tarekat pada
umumnya lebih afektip disbanding kognitip, oleh karena itu mereka pada
umumnya enggan menerangkan bagaimana anatomi kenikmatan zikir, bahkan
ketika zikir dikatakan sebagai bid`ah atau sesat. Mereka cukup mengatakan
cobalah ikut, nanti anda akan dapat merasakan sendiri.
Adapun zikir sirr adalah zikir yang tidak diucapkan dengan mulut tetapi
lebih di dalam hati. Bagi yang sudah mencapai tingkat ini, setiap kali melihat
fenomena alam yang terbayang adalah sang pencipta(Tuhan) bukan bendanya,
seperti orang yang melihat lukisan indah, ia tidak terpaku pada lukisannya tetapi
terkagum-kagum kepada sang pelukis, dan yang dibayangkan adalah jiwa besar
kesenimanan sang pelukis. Jika pengamal zikir jahr mudah dikenali orang karena
agenda kegiatannya, juga penampilannya, orang yang sudah mencapai zikir sirr
pada umumnya tidak mudah dikenali, karena memang tidak pernah
menunjukkan jati dirinya. Secara lahir ia seperti orang biasa lainnya, tetapi
dibalik kebiasaan penampilan sesungguhnya ada kekuatan religiusitas yang
sangat dalam atau tinggi. Di tengah keramaian hiruk pikuk manusia, ia selalu
berduaan dengan Sang Pencipta, di tengah kesepian alam dia justeru merasa
ramai karena bercanda dengan Tuhannya, ia selalu tersenyum dalam
kesendirian, selalu ramai dalam kesepian.
Takbir Anarkis
Kalimat takbir Allohu Akbar (Alloh Maha Besar) adalah kalimat sacral,
biasanya diucapkna ketika secara psikologi orang sangat senang karena merasa
ditolong Tuhan, atau dalam keadaan takut dimana tidak ada yang dapat
dimintai tolong kecuali Tuhan. Orang yang teraniaya begitu lama, tiba-tiba
dimenangkan oleh pengadilan, maka ia langsung takbir dan bahkan sujud.
Begitupun orang yang berada didepan regu tembak seperti Amrozi nanti, dia
tidak lagi bisa berkata apa-apa selain takbir. Banyak orang ketika demontrasi
untuk urusan yang tidak jelas, pilkada, atau protes BBM atau protes APP, ketika
berhadapan dengan polisi sedikit-sedikit takbir. Nah takbir seperti itu
sebenarnya takbir anarkis, karena menempatkan takbir pada hal yang hanya
bernilai syahwat politik.
IMAM POLITIK
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang
disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas
kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imâm, al-khalîfah, dan
amîr al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran
penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut
ini beberapa penjelasan singkat tentang hakikat makna setiap gelar simbolik
tersebut.
Al-Imâm. Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya
mempunya beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan
agama (al-immah), Ibu dan Bendara (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh
kaumnya (imam).
Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka.
Menurut Thaba’thaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada
seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial,
atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau
keagamaan. Murtadha Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah
pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya
apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Quran disebutkan, “Kami telah
menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang emberi petunjuk dengan
seizin Kami.” (Al-Anbiyâ’: 73). Jadi secara harifiah, imam adalah seorang
pemimpin. Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala,
jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain
itu, imam digunakan juga untuk menyebut Al-Quran, Nabi Muhammad,
khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah
bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke
depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah
hasanan, dan kepemimpinan.
84 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Politik Bertasawuf: Dari Psikopolitik Zikir hingga Nurani Politik
SENI KEPEMIMPINAN
Seni kepemimpinan telah banyak diajarkan orang dari masa ke masa,
mulai dari rangkaian Mitologi Yunani yang amat terkenal, Tao dan Sun Tzu
dari Cina, Nasihat Bagi Penguasanya Al Ghazali, Sang Penguasanya Niccolo
Machiavelli, Hasta Brata — Raja Kapa-Kapa —Wulangreh—Wedhatama dari
Jawa, sampai ratusan mungkin ribuan buku-buku teks kepemimpinan abad 20
seperti The Art of The Leader-nya William A. Cohen, dan The Charismatic
Leader-nya Jay A. Conger dan sebagainya. Dengan apa kekuasaan dapat
dipertahankan? Al Ghazali mengawali nasihatnya dengan mengemukakan 2 hal,
yaitu jangan pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan dan selalu konsisten
serta tak pernah meralat. Yang terakhir ini, juga merupakan benang merah yang
kuat dalam seni kepemimpinan raja-raja Jawa. Agar berwibawa, maka seorang
raja harus memiliki, Sabda Pandhita Ratu, tan kena wolak-walik, artinya, raja
harus memegang teguh satu kata dan perbuatan. Ucapannya bagaikan ucapan
seorang pendeta sakti nan manjur yang segera menjadi kenyataan. Ludahnya
ludah api yang sekali dilontarkan langsung mewujudkan keinginannya.
Ucapannya konsisten dan tidak mencla-mencle. Tidak pagi tempe, sore mentah
kembali menjadi kedelai. Ini juga sekaligus mengajarkan bahwa seorang
pemimpin tidak boleh berkata atau bertindak ngawur, karena dampaknya sangat
luas bagi rakyat banyak yang tak berdosa.
Pernah, sahabat Abu Dzar Ra, berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa
paduka tidak mengangkatku sebagai pejabat?” Mendengar itu Rasulullah
menepuk punggungnya seraya bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya
engkau orang yang lemah, padahal sesungguhnya jabatan itu adalah amanah,
yang pada hari kiamat nanti akan memunculkan cela dan penyesalan, kecuali
bagi orang yang dapat melaksanakan hak amanat itu dan kewajibannya sebagai
pejabat, sebagaimana seharusnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Petunjuk Rasulullah tadi bukan hanya dikemukakan kepada Abu Dzar
saja, tetapi juga kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman!
Janganlah kamu meminta pangkat kepemimpinan. Apabila kamu sampai diberi,
maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. Lain halnya
kalau kamu diberi tanpa meminta, maka hal itu tidak menjadi masalah bagimu”.
Bahkan kepada Abu Musa dan dua orang keponakannya, Rasulullah kembali
masyarakat, yang oleh karena itu ia menerima sistem politik monarki sebagai
sesuatu yang alamiah.
Ada teori Ibnu Khaldun yang sangat menarik jika digunakan untuk
menganalisis sejarah Indonesia . Dalam Muqaddimah nya Ibnu Khaldun
menyebut tahap-tahap timbul tenggelamnya suatu negara menjadi lima tahap,
yaitu (1) tahap konsolidasi dimana otoritas negara dengan dasar “demokrasi”
didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah). (2) tahap tirani, (3) tahap penyalah
gunan wewenang otoritas negara untuk kepentingan penguasa, (4) tahap
pengamanan dari munculnya ancaman dimana penguasa selalu memandang
kelompok kritis sebagai lawan, dan (5) tahap keruntuhan. dimana sistem
kekuasaan tidak lagi berfungsi. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun
memunculkan tiga generasi, yaitu (1) Generasi Pembangun, yang dengan segala
kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan
yang didukungnya, (2) Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. (3) Generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja
yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah
sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah
sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung
sekitar satu abad.
Yang menarik pada bangsa Indonesia dalam perspektip teori Ibnu
Khaldun adalah berkumpulnya tiga generasi dalam kurun waktu hanya setengah
abad. Dewasa ini angkatan 45 yang dapat dikategorikan sebagai generasi
pertama masih banyak orang-orangnya, tetapi dalam kurun waktu yang sama
juga sudah muncul generasi kedua dan ketiga. Kasus mega KKN di Pertamina,
kasus Bank Bali dan adanya arsitek kerusuhan sosial di berbagai daerah
merupakaan indikator keberadaan generasi kedua dan ketiga.
Ibn Khaldun sebagaimana juga Rousseau, meyakini bahwa masyarakat
yang pada mulanya baik atau sekurang-kurangnya netral itu dirusak oleh
peradaban. Dalam kondisi nomadik, masyarakat cenderung bersifat jantan, sehat
dan agressif. Peradaban kota yang mapanlahlah yang membuatnya menjadi lesu,
pasif dan lamban, tetapi memancing-mancing invasi yang membuatnya terpuruk
sebagai mangsa. Adalah sangat menarik bahwa dalam satu masa ternyata
masyarakat Indonesia terbagi dalam lima kelompok zaman, (a) ada kelompok
masyarakat yang sudah hidup dalam zaman ultra modern, yakni di kota-kota
besar, (2) masyarakat modern, (3) masyarakat tradisionil di kampung-kampung
pedesaan, (4) masyarakat terbelakang seperti suku-suku terasing, dan (5) masih
ada masyarakat yang hidup pada zaman batu seperti yang masih terdapat di
pedalaman Irian Barat. Dapat dibayangkan bagaimana tingkat rusaknya tatanan
masyarakat Indonesia ketika mereka harus menerima paket peradaban global
yang seragam melalui media elektronik.
Apresiasi orang Indonesia terhadap Ibnu Khaldun antara lain dengan
mengabadikan namanya pada dua universitas, yaitu Universitas Ibnu Chaldun
Jakarta dan Universitas Ibnu Khaldun Bogor, masing-masing dengan singkatan
UIC dan UIK. Jika bangsa Indonesia setiapkali melakukan suksesi
kepemimpinan nasional mengalami kesulitan dan memakan biaya yang sangat
mahal, maka ada contoh yang sangat baik dari sunnah suksesi kepemimpinan
Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Sejak Rektor dijabat oleh AM Saifuddin,
jabatan kepemipinan di Universitas itu itu tidak lagi “sakral” tetapi benar-benar
fungsional. Pertukaran jabatan dari rektor ke dekan atau ke Pembantu rektor
dan sebaliknya berlangsung secara mekanis tanpa beban psikologis. Rais Ahmad
yang menjadi rektor tanpa beban psikologis sedikitpun pada periode berikutnya
menjabat sebagai Pembantu Rektor. Memang contoh Ibnu Khaldun ini kalah
spektakuler dengan kasus Khalid bin Walid, yang menerima secara kesatria
kebijakan Khalifah Umar bin Khatttab menurunkannya dari jabatan Panglima
ke prajurit biasa.
NURANI POLITIK
Di antara partai politik baru yang akan ikut berlaga pada pemilu 2018
nanti adalah partai HANURA, Partai Hati Nurani Rakyat. Pak Wiranto sebagai
pendiri dan Ketua umum pertamam dulu memasang iklan politik yang
mengusung nurani. Benarkah ada nurani dalam politik?
Nurani berasal dari bahasa Arab Nur, yang artinya cahaya, nuraniyyun,
sesuatu yang bersifat cahaya. cahaya apa? Menurut perspektip Psikologi Islam,
perangkat kejiwaan manusia itu terdiri dari akal, hati,nurani, syahwat dan hawa
nafsu. Akal merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir,
produknya hal-hal yang rasikonil, maka akal akan bingung menghadapi hal-hal
yang tidak rationil. Hati merupakan alat untuk memahami realita, hal-hal yang
tidak rationilpun bisa difahami oleh hati. Tetapi karakter hati itu inkosisten,
sesuai dengan namanya qalb Sedangkan nurani merupakan pandangan mata
batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Dalam tasawuf nurani disebut
sebagai nurun yaqdzifuhulloh fi al qalbi, yakni cahaya yang ditempatkan oleh
Tuhan di dalam hati. Jadi nurani merupakan cahaya ketuhanan, yang oleh
karena itu memiliki karakter konsisten, tidak mau kompromi dengan
kebohongan. Syahwat merupakan penggerak tingkah laku atau motif kepada
Teori Pancaran
Konsep nurani berasal dari teori isyraqy atau teori pancaran yang
menyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya (Allohu nur assamawati wa alardh).
Seperti matahari yang selalu memancarkan cahayanya, ia meninggalkan jejak
cahayanya di bumi berupa kehidupan,kehangatan atau panas dan terang. Di
malam hari, panas dan cahaya matahari itu berusaha kembali ke cahaya asal
meninggalkan bumi dalam keadaan gelap dan dingin. Nah Tuhan
memancarkan cahaya Nya, dan diantara jejak cahaya Tuhan adalah manusia,
oleh karena itu didalam diri manusia ada cahaya ketuhanan, disebut bashirah
(pandangan mata batin) atau nurani (sesuatu yang bersifat cahaya). Dan nurani
memiliki kerinduan untuk selalu kembali kepada Tuhan sebagai cahaya asalnya.
Berbeda dengan hati yang wataknya tidak konsisten; suatu waktu benci, dilain
waktu berubah menjadi cinta, terkadang sadar dilain waktu lupa, terkadang
tenang dilain waktu bergejolak, nurani yang merupakan cahaya ketuhanan
bersifat konsisten, tidak mau kompromi dengan kebohongan dan kejahatan.
Betapapun orang menang di pengadilan dengan cara menyuap hakim,nuraninya
tetap jujur mengatakan bahwa ia lah yang bersalah. Nurani tetap konsisten
dengan kejujuran. Hanya saja sebagaimana cahaya terkadang buram dan gelap,
nurani manusia juga terkadang buram,gelap atau bahkan mati, yakni ketika ia
tertutup. Jika nurani mati maka orangnya seperti berada di tempat gelap
(dzulm) sehingga perilakunya juga seperti perilaku orang dalam kegelapan, salah
tempat,salah ambil, salah persepsi, salah naroh dan salah langkah. Dari kata
dzulm itu maka orang yang nuraninya tertutup atau mati disebut orang dzalim,
yakni orang yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Cahaya nurani
tertutup oleh dua hal ; keserakahan/ambisi dan perbuatan dosa. Orang yang
serakah pasti nuraninya tak berfungsi, sudah jabatannya tertinggi,gajinya paling
banyak,jatah orang miskin pun masih disikat juga.. Demikian juga orang yang
ambisius, segala macam cara ditempuh untuk menggapai ambisinya, tak peduli
benar atau salah, tak peduli merugikan Negara dan bangsa.
Karakter Politik
Jika politik difahami sebagai kekuasaan,maka watak politik adalah korup.
Korupsi adalah memanipulasi angka dan fakta untuk kepentingan sendiri. Jika
dihubungkan dengan typologi kejiwaan, maka politisi yang lebih dipengaruhi
oleh akalnya cenderung rasionil meski terkadang kering, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hati maka cenderung hati-hati, politisi yang lebih dipengaruhi
oleh syahwat cenderung mudah terdorong ke ambisi, politisi yang lebih
dipengaruhi oleh hawa nafsu cenderung destruktip dan jahat,nah orang
berpolitik karena panggilan nurani cenderung kepada keinginan memberi
dibanding keinginan menerima.
Syahwat Politik
Syahwat adalah kecenderungan kepada apa-apa yang diingini. Syahwat
politik adalah kecenderungan orang untuk menguasai orang lain, fikirannya,
seleranya bahkan kemauannya,sehingga syahwat politik mendorong orang untuk
bisa menjadi orang nomor satu; ketua, direktur, lurah bahkan presiden,agar ia
dapat menguasai dan mengatur orang lain. Sesungguhnya syahwat itu
manusiawi, netral dan tidak mesti jelek. Jika orang menggapai syahwat dengan
mengikuti prosedur dan mematuhi hokum (hokum Tuhan,hokum Negara dan
hokum etika) serta jujur maka aktualisasi syahwat itu sah dan bahkan bisa
bernilai ibadah. Akan tetapi karena politik itu cenderung korup maka syahwat
politik pada umumnya mendorong kepada ambisi, sementara ambisi menutup
nurani . Oleh karena itu mengusung nurani dalam gerakan atau manuver politik
cenderung kepada manipulasi, tidak jujur dalam menilai, tidak jujur dalam
mengkritik, dan lupa introspeksi. Ketika seorang ketua partai oposisi dalam
persaingan politik menyebut Presiden yang sedang berkunjung ke daerah sebagai
tebar pesona, pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat p;olitik. Karena
syahwat maka tak disadari ia lupa kritiknya lalu melakukan hal yang sama, tebar
pesona juga . Bergitupun ketika masa kepresidenan baru setengah jalan tetapi
sudah banyak orang yang mendeklarasikan dirinya untuk menjadi presiden
mendatang,pasti itu bukan suara hati nurani, tetapi syahwat politik, karena
karakter syahwat memang tidak sabaran.
padahal “kapal” nyaris tenggelam, nah… dalam keadaan seperti itu biasanya
muncul seorang pemimpin yang terpanggil nuraninya untuk menyelamatkan
keadaan. Ia siap memberikan apapun yang dimiliki tanpa berhitung untung
rugi. Fikiran dan hatinya bersih suci dari kepentingan-kepentingan subyektip. Ia
tampil bukan karena ingin berkuasa tetapi ingin menyumbangkan potensi
dirinya bagi keselamatan bangsa, dan ia bahkan dengan senang hati siap
menyerahkan kepemimpinannya itu kepada orang lain yang dinilai lebih tepat.
Nurani yang diiklankan pasti bukan nurani. Jika benda-benda konsumtip
diiklankan berulang-ulang akan menarik perhatian konsumen meski benda itu
sesungguhnya tidak terlalu bermutu, mengiklankan nurani yang bermutu secara
berulang-ulang dalam waktu lama justeru membuat nurani itu terasa hambar di
telinga konsumen.
PENUTUP
Sesungguhnya berpolitik itu manusiawi karena manusia adalah makhluk
politik, siyasiyyun bi atthob`i. Secara ilmiah, manusia berpeluang untuk
berpolitik secara benar, baik dalam perspektip sosial, etika, agama bahkan
tasawuf. Dalam perspektip ilmu, politik berada dibawah ilmu teologi. Ilmu
politik berbicara tentang kekuasaan, sedangkan teologi atau ilmu Ushuluddin
berbicara tentang Tuhan yang Maha Kuasa. Maka seorang politisi yang
bernurani adalah politisi yang meniru politik Tuhan. Di satu sisi Tuhan Maha
Kuasa, dan kekuasaanya tak terbatas. Tetapi di sisi yang lain Tuhan adalah
Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Menejemen kekuasaan Tuhan
berada pada sifat Adil, dan Tuhan adalah Maha Adil. Jadi seorang politisi yang
bernurani adalah politisi yang memiliki obsessi untuk menduduki kursi
kekuasaan agar dengan kekuasaan itu ia mampu menyebarluaskan kasih sayang
kepada rakyat, seadil-adilnya.
Ekpressi politik adalah bekerjasama dan bersaing. Jika bekerja sama dalam
kebaikan (ta`awanu `ala al birri wattaqwa ) maka pasti obyektip. Tetapi jika
terlibat dalam politik persekongkolan jahat (wala ta`awanu `ala al itsmi wa al
`udwan) maka pasti sangat mudah tergoda melakukan politik yang tidak sportip.
Bemikian juga jika bersaing dalam memperebutkan kebaikan universal
(fastabiqu al khoirot) maka pasti dalam bersaing ia berpegang teguh kepada nilai-
nilai akhlak al karimah, tetapi jika bersaing memperebutkan hal yang sifatnya
rendah (hubbuddunya warriyasat) maka politik akan menjadi ekpressi hawa
nafsu atau politik setan.. Wallohu a`lamu bnissawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Abu Hamid Muhammad biM Muhammad, al Kimiya assa`adah wa
al munqidz min al dhalal, Beirut, al maktabah al Tsaqafah
_____________, Misykat al Anwar, Cairo, Dar al Qaumiyah, 1964
_____________, Ihya `Ulum al Din, Cairo, Dar al Kutub al `Arabiyyah, tt
_____________, Maqashid al Falasifah, Cairo, Dar al Ma`arif, cet. II, tt
Mubarok, Achmad, Psikologi Islam, Kearifan dan Kecerdasan Hidup, The IIIT
dan Wahana Aksara Prima, Jakarta, 2009
_____________, Akhlak Mulia, Sebagai Konsep Membangun Manusia Indonesia,
WAP, Jakarta, 2008
_____________, Pendakian Menuju Alloh, Bertasauw Dalam Hidup Sehari-hari,
Jakarta, Paramadina, 2002
_____________, Etika dan Moral Kepemimpinan, Jakarta, Bina Rena, 2003
_____________, Sunnatulloh Dalam Jiwa, Sebuah Pendekataqn Psikologi Islam,
Jakarta, The IIIT, 2002
_____________, Jiwa Dalam al Qur`an, Jakarta, Paramadina, 2000
_____________, Membangun Konsep Diri, dari Konsep Diri Pribadi Hingga
Konsep Diri Pemimpin, Jakarta, Center For Indigenous Psychology, 2015.
Agus Irfan
Unissula Semarang
agusunissula@gmail.com
Abstract
This article eludes “how the Mass Organization Constitution or named by UU
Ormas 2, 2017 can be seen through the political lens of Al-Ghazali?” and
discussed in two problems formulation; 1. What is the political nationality of
Al-Ghazali? 2. How does the political nationality of Al-Ghazali on the Mass
Organization Constitution 2, 2017?. The results show that in order to build a
harmony in religions (amr ad-din) and politics (amr ad-dunya) and preventing
the politicization in religions, Al-Ghazali proposed a legitimation (wujub nasbi
al-imam) on a leader that is a must, as well as the principle of the loyalty to the
leader. This logic stresses out on the values of the welfare. According to Al-
Ghazali, the relationships between a religion and a country are in bond; religion
acts as foundation to build the society, meanwhile the country is the protector.
Al-Ghazali’s perspectives have been contributing and shaping a huge influence
to the Islam Sunni in Indonesia, especially for Nahdlatul Ulama (NU) in
criticizing the national issues. For instance, the latest issue was the establishment
of the Mass Organization Constitution 2, 2017, though looking to the thoughts
of the political nationality of Al-Ghazali, the establishment of its constitution
could be assumed as preventive and protective ways by the government for the
stability of national security, in which all Muslims could do the prayers
peacefully and pursue the rebirth for hereafter.
Keywords: UU Ormas, the Political Nationality, Al- Ghazali, NU
Abstrak
Artikel ini membahas tentang “Bagaimana Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan (UU Ormas) Nomor 2 Tahun 2017 dilihat dari kacamata
pemikiran politik al-Ghazali? yang kemudian dijabarkan dalam dua sub
95
Agus Irfan
PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir ini, selain persoalan demokratisasi dan
Hak hak Asasi Manusia (HAM), diskursus yang muncul dalam konteks
khazanah politik baik lokal maupun global adalah mengenai kebangkitan Islam
Politik dengan merebaknya fenomena radikalisme atau neo fundamentalisme
sebagai reaksi sekularisme dan liberalisme. Tidak hanya itu, persoalan
penggerusan nilai-nilai kemanusiaan dan fenomena ketidakadilan di semua sendi
kehidupan, turut serta mempengaruhi kelahiran produk globalisme tersebut.
Terhangat adalah rapat paripurna DPR pada Selasa, 24 Oktober 2017,
mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2017 tentang Keormasan (Perppu Ormas) menjadi undang-undang.
Keputusan ditetapkan melalui voting oleh 10 fraksi yang ada di DPR. Tujuh
fraksi setuju dan tiga fraksi menolak. Fraksi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura,
PKB, PPP, dan Demokrat dengan 314 suara menyatakan setuju (dan juga
berarti mendukung perppu disahkan menjadi udang-udang pengganti UU No
17 Tahun 2013 tentang ormas). Sedangkan Gerindra, PKS, dan PAN dengan
131 suara menolak. Demokrat bersama PKB dan PPP setuju tapi dengan
catatan. Demokrat menyatakan tidak ingin ada undang-undang yang
mengekang kebebasan berpendapat. Penindakan terhadap ormas yang
melanggar harus tetap mengedepankan supremasi hukum (Suara Merdeka, 26
Oktober 2017:4).
Sejak diumumkan oleh Menkopulhukam Wiranto pada 12 Juli 2017,
Perppu Ormas terus menuai kontroversi. Banyak yang setuju, tetapi tidak
sedikit pula kelompok masyarakat yang menolak. Pihak yang setuju beralasan,
perppu memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah untuk menindak ormas
yang bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan pihak yang kontra menyatakan,
perppu dikeluarkan tanpa dasar hukum yang kuat dan bisa menjadi alat
repsresif. Sehingga kehadiran perppu ini bagi mereka, tidak lebih sebagai upaya
yang menghambat cita-cita reformasi, penghambat proses demokrasi dan
pembelaan terhadap HAM. Sebagaimana diketahui, salah satu aturan perppu
adalah soal pembubaran ormas yang dianggap radikal dan bertentangan dengan
ideologi Pancasila tanpa melalui jalur pengadilan. Salah satu ormas yang
dibubarkan dan dicabut status badan hukumnya berdasarkan perppu ini adalah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena dianggap menganut, mengembangkan,
serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila
sebagaimana diatur pasal 59 ayat 4 poin (c) UU Ormas.
Jauh sebelum Isyu tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Keormasan (Perppu Ormas)
menjadi undang-undang, masyarakat Indonesia juga sempat diramaikan dengan
pernyataan Presiden Joko Widodo di Tapanuli Tengah, Sulawesi Utara tentang
keharusan agama terpisah dari politik yang sering menimbulkan reaksi di
sebagian masyarakat.11 Ini menunjukkan bahwa akan ada selalu perdebatan
mengenai Islam sebagai cara pandang (worldview) terkait isyu-isyu yang
berkembang dan bersinggungan langsung dengan realitas sosial, terlebih
persoalan ideologi politik yang terkadang mengharuskan keterlibatan seorang
muslim untuk mendukung atau bahkan meninggalkannya. Dan UU Ormas
merupakan contoh mutakhir dari sikap demikian.
Indonesia, sebagai negara berpendudukan masyarakat Sunni, tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh pemikiran tokoh-tokohnya seperti al-Ghazali dan al-
Mawardi. Nahdaltul Ulama (NU) misalnya memiliki sikap politik kebangsaan
yang tidak dapat dipisahkan dari ijtihad pemikiran politik al-Ghazali. Berbeda
11
Kompas, 24 Maret 2017, diunduh pada 12 Desember 2017.
dengan pilihan sikap organisasi Islam lainnya yang bercorak puritan dan
mengkampanyekan formalisasi syariah, NU memiliki prinsip dan cara pandang
berbeda. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pada tahun 1950-an dan
awal 1960-an, ketika menghadapi dualisme kepemimpinan antara
kepemimpinan Soekarno dan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (DI/TII), NU
lebih memilih mendukung Soekarno sekaligus menilai DI/TII sebagai
pemberontak (bughat).
Pemikiran politik NU lainnya yang terpengaruh dari pandangan politik
al-Ghazali juga dapat dijumpai dalam penjelasan KH. Ahmad Siddiq (1926-
1991) sebagai berikut:
1. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib
dipelihara dan diperahankan eksistensinya;
2. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan
yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah
yang beertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah;
3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya lewat
tata cara yang sebaik-baiknya (Ahmad Siddiq, 1979: 43).
Pemikiran politik NU di atas merupakan katalisator dari pandangan
politik kebangsaan al-Ghazali yang menilai bahwa sebuah negara dapat berfungsi
optimal yakni melindungi segenap warganya dengan ketentuan adanya
pemimpin atau pemerintah terlegitimasi (wujūb nasbi al-imām) disertai
kewajiban mematuhinya. Dengan kerangka maslahat, pandangan politik al-
Ghazali cenderung adaptif dan menghindari konflik di dalam membangun
masyarakat dan negara. Jadi, meskipun negara tidak dibangun di atas hukum
dan ketentuan-ketentuan Islam, selama masyarakatnya masih melaksanakan
ajaran Islam, maka membela negara seperti itu dipandang wajib. Pertanyaan
kemudian, bagaimana pandangan politik al-Ghazali terhadap lahirnya UU
Ormas Nomor 2 Tahun 2017 sebagaimana ramai diberitakan akhir-akhir ini?
Artikel ini akan mengurai persoalan tersebut perspektif sosiologi pengetahuan.
Taimiyah sampai Ibn Khaldun, pemikiran politik Al-Ghazali juga tidak dapat
dipisahkan dari kondisi politik yang mengitarinya. Aroma politik yang mengitari
kehidupan al-Ghazali dimulai pada tahun 1055 atau tiga tahun sebelum
kelahiran al-Ghazali, di mana terjadi perubahan politik yang besar di Baghdad,
yakni orang-orang Saljuk Turki di bawa pimpinan Tughril Beg (w. 1063 M)
yang beraliran Sunni menyerbu ibu kota untuk menyingkirkan dominasi dinasti
Buwaihiyah yang beraliran Syi’ah.
Setelah Thugril Beg meninggal, tahun 1063 M, keponakannya, Alp Arslan
menggantikannya menjadi Sajuk Agung Pertama. Penguasa baru Saljuk ini
memperluas kekuasaan dengan merebut daerah-daerah teritorial di wilayah Asia
Kecil dari kekuasaan Bizantium (1071 M) dan Aleppo dari pengawasan
kekhalifahan Fathimiyah di Mesir. Kekuasaan orang Saljuk ini mengalami
puncaknya setelah masa Malik Syah (w. 1092 M), putra Arslan, yang
kekuasaannya merentang dari Asia Tengah dan perbatasan India sampai Laut
Tengah, dan dari Kaukasus hingga Teluk Persia (Khudori Soleh, 2009:2-3).
Meski demikian, tidak semua wilayah kekhalifahan Bani Abbas dikuasai
Bani Saljuk. Di wilayah Timur, India dan Afganistan misalnya, ada dinasti
Ghasnawiyah yang sama-sama berasal dari Turki. Dinasti ini didirikan oleh
Mahmud ibn al-Batikin al-Ghasnawi (998-1031 M), seorang Sunni bermadzhab
Syafi’i yang anti Muktazilah dan Syi’ah. Sementara di sebelah selatan, di Mesir,
ada dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi di Tunis tahun
909 M. Berbeda dengan dinasti Ghasnawiyah yang beraliran Sunni dan sama-
sama mengakui kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad, dinasti Fathimiyah yang
berpusat di Mesir, beraliran Syi’ah dan merupakan kekhalifahan sendiri yang
lepas dari Baghdad, sehingga keberadaannya menjadi tantangan serius bagi
pengukuhan supremasi kekuasaan Bani Saljuk.
Selain bersaing dengan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Ghasnawiyah di
Afganistan, Bani Saljuk di wilayah Barat, juga berhadapan dengan kaum Kristen
yang melancarkan perang Salib. Perang ini dipicu dari jatuhnya wilayah Asia
Kecil ke tangan Bani Saljuk dan dihalanginya orang-orang Kristen untuk
menunaikan ibadah haji ke Palestina, sehingga pada tahun 1905 M, Paus Urban
II menyerukan kepada masyarakat Kristen Eropa agar mengadakan perang suci
terhadap Islam. Perang Salib pertama terjadi antara tahun 1096 sampai 1099 M,
dan dalam perang selama tiga tahun tersebut, kaum salib berhasil merebut
sebagian wilayah Syiria dan mendirikan kerajaan Ruha pada 1097 M,
mendirikan kerajaan Antiochia di wilayah yang sama pada 1098, dan berhasil
merebut Yerussalem pada 1099 M (Khudori Soleh, 2009:4-5).
Dari dalam negeri sendiri, situasi politik dan keamanan Bani Saljuk tidak
stabil karena adanya ancaman dari dalam yang dilancarkan oleh salah satu sekte
Syi’ah yang dikenal dengan gerakan kaum Bathiniyah atau kelompok Asasin
(terambil dari kata hasyîsy). Gerakan pemberontak yang terkenal radikal dan
paling mematikan ini menggunakan dua pendekatan di dalam melakukan
aksinya yakni strategi militer dan doktrin ideologi politik, dan menjadi kuat dan
berbahaya semenjak dipimpin Hasan ibn al-Sabbah (w. 1124 M) sejak tahun
1090 M. Di bawah pimpinan Hasan, mereka membuat benteng di Alamut,
selatan laut Kaspia dan menjadikannya sebagai pusat gerakan untuk
melancarkan serangan-serangan ke Baghdad. Dalam melancarkan gerakannya,
kaum Bathiniyyah tidak segan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap
tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap sebagai penghalang mereka. Di
antara tokoh yang menjadi korbannya adalah Nidzam al-Mulk, perdana menteri
dinasti Saljuk yang juga teman dekat al-Ghazali, dan Sultan Malik Syah,
penguasa Bani Saljuk saat itu yang juga dibunuh pada tahun yang sama, 1092
M (Muddatsir Abdul Rahim, 2001:3-4).
Dengan demikian secara politis, kekuasaan Islam pada masa al-Ghazali
terpecah dalam tiga bagian; Bani Saljuk yang beraliran Sunni di Baghdad, Bani
Ghasnawi di Afghanistan, dan Bani Fatimah yang beraliran Syi’ah di Mesir.
Bani Saljuk sendiri, selain bersaing dengan dua dinasti Islam tersebut, harus juga
menghadapi serangan kaum Kristen dalam perang Salib di Palestina, dan harus
menangani para pemberontak Bathiniyah yang merongrong kekuasaannya dari
dalam. Al-Ghazali yang lahir pada tahun 1058 M dan meninggal taun 1111 M
menyaksikan langsung bahkan terlibat dalam upaya perluasan dan pengokohan
kekuasaan Bani Saljuk tersebut, juga menyaksikan kemunduran tajam dinasti ini
menyusul pembunuhan atas sultan Malik Syah tahun 1092 M.
fitan) yang dimulai dari masuknya bani Saljuk sampai munculnya fitnah-fitnah
yang tidak berkesudahan. Oleh karenanya legitmasi pemerintah mutlak
dibutuhkan, yang dengan otoritasnya dapat melindungi dan menjaga jiwa-jiwa
orang beserta aset-asetnya.
Dengan demikian fungsi politis (siyāsah) pemimpin beserta pembantu-
pembantunya mutlak diperlukan, tidak hanya mengantisipasi konflik horisontal
dan mengawal perundang-undangan, tetapi lebih dari itu juga dapat mendorong
masyarakat untuk semakin tumbuh dan berkembang. Sebegitu urgennya peran
politik dalam kehidupan, dalam konteks hirarkhi pilihan profesi manusia yang
terdiri atas kategori industri pokok (ushūl), pendukung (mahîat) dan pelengkap
(mutammimat), al-Ghazali menyebut bahwa yang paling utama adalah profesi
yang berhubungan dengan industri pokok (wa asyrafu hādzihi as sinā’ati
ushūluhā) seperti pertanian, tekstil, bangunan dan politik. Dan dari sekian
pilihan profesi di atas, politik adalah yang terbaik karena berhubungan dengan
keberlangsungan hidup orang banyak dan tanpanya tidak akan ada
keberlangsungan (wa asyrafu ushūlihā al-siyāsat bi al-ta’lif wa l istishlāh), (Al-
Ghazāli, 2013:27).
b. Prinsip Loyalitas dan atau Oposisi Loyal
Selain tentang pentingnya melegitimasi pemerintah demi tercapainya
kemaslahatan agama, pandangan lain al-Ghazali kaitannya dengan politik
kebangsaan adalah gagasannya tentang doktrin dan prinsip loyalitas terhadap
pemerintah. Gagasan ini menegaskan bahwa dalam ijtihad politiknya, al-Ghazali
tidak memiliki rumus untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
yang sah atau mengambil istilah Ibnu Anshari melakukan gerakan oposisionisme
(Ibnu Anshari, 2012).
Gagasannya mengenai prinsip loyalitas dimulai dari sebuah pertanyaan
bagaimana jika ada seorang pemimpin yang tidak memenuhi syarat atau kriteria
yang ditentukan namun pada faktanya mampu menjalankan roda pemerintahan
seperti tersedianya pangan (pertumbuhan ekonomi) dan jaminan (stabilitas)
keamanan, dekat dengan ulama dan kaum cendekia sementara dia sendiri tidak
memiliki kepakaran dalam bidang apapun. Terhadap persoalan demikian, al-
Ghazali memberikan dua alternatif. Pertama, wajib dicopot dan menggantinya
dengan calon pemimpin yang memenuhi kriteria selama dijamin tidak akan ada
kegaduhan politik terlebih konflik horisontal sebagai imbasnya. Kedua, wajib
mentaati dan menerima kepemimpinannya (al-Ghazali, 2003:170-171).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika seorang pemimpin tidak
memenuhi kriteria dalam aspek keadilan, sebagai syarat utama kepemimpinan,
apakah dapat diterima kepemimpinannya? Al-Ghazali mengutarakan
12
Mengikuti klasifikasi hirarki tuntutan politik Islam yang dibuat Arksal Salim,
akomodasi kepentingan politik Islam sejauh ini masih mencakup dua tingkat pertama yang
paling ringan, yakni penerapan hukum Islam dalam masalah keluarga dan penerapan hukum
Islam dalam masalah keuangan (perbankan Islam) dan zakat. Namun demikian untuk sebagian
kelompok Islam (meminjam istilah Janos Kis, sebagaimana dikutip Iqbal Ahnaf sebagai “pejuang
politik Islam refolusioner”) merasa akomodasi demikian tidak cukup dan menuntut penerapan
hukum Islam yang lebih luas atau menuntut tiga level terakhir yakni penerapan ta’zir, hudud
qisas dan menjadikan Islam sebagai ideologi atau sumber konstitusi negara melalui proses dan
dalam sistem politik yang ada.
13
Fundamentalisme Islam juga dikenal sebagai kelompok neo-revivalis karena
mengagendakan kebangkitan hegemonis dunia Islam. Dalam setting kontemporernya, akar
fundamentalisme juga dapat disebut sebagai reaksi terhadap hegemoni Barat yang telah lama
memusuhi Islam. Penolakan terhadap sekularisasi, westernalisasi dan bahkan modernisasi
merupaka rangkaian aksi yang semakin membenarkan tesis Huntington yang meramalkan
terjadinya benturan peradaban (class of civilization). Huntington menganggap Islam sebagai
peradaban yang identik dengan kekerasan dan memiliki garis demarkasi dengan Barat yang
toleran, egaliter dan demokratis. Lahir dan berkembangnya fundamentalisme Islam ini adalah
seiring dengan berkembangnya paham-paham keagamaan terutama yang dipasok oleh
Wahabisme atau dengan kata lain tidak bisa dipisahkan dari kampanye global Saudi Arabia yang
berambisi melancarkan Wahabisasi umat. Di bawah panji gerakan dakwah salafi, kampanye itu
berhasil menebarkan pesan Wahabi ke seluruh dunia. Dan dalam konteks Indonesia, dampaknya
terasa sejak 1980-an ketika ruang publik Indonesia menyaksikan kemunculan pemuda-pemuda
berjenggot dengan jubbah serban dan celana tanggung di atas mata kaki (isbal). Mereka biasanya
memperkenalkan diri sebagai “salafi” sebagai sebuah varian Islam yang fokus pada upaya
pemurnian tauhid dan praktek keagamaan eksklusif yang diklaim sebagai jalan untuk mengikuti
jejak keteladanan Salaf al-Shalih, generasi awal Islam.
secara terbatas terhadap demokrasi juga nampak dari draft alternatif UUD ’45
dengan mengakomodir beberapa lembaga tinggi negara seperti MPR, DPR,
Presiden, dan lain-lain (Abegebriel, et.al., 2004:699). Dan ini artinya MMI
tidak menentang perjuangan gradual atau reformis.
Berbeda dengan MMI, sementara HTI meyakini bahwa pelaksanaan
hukum Islam hanya bisa dilakukan melalui penegakkan khilafah Islamiyah.
Hukum Islam, terutama yang berhubungan dengan urusan publik seperti
hudūd, jināyah, dan ta’zir, menurut HTI hanya bisa diemban oleh khalifah,
bukan individual, kelompok, presiden atau perdana menteri. Doktrin Khilafah
islamiyah diakui oleh para aktivis HTI sebagai antitesis ideologis yang siap
menggantikan konsep negara bangsa khususnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang dianggap sudah final. Cukup beralasan jika kemudian
HTI dianggap sebagai organisasi Islam transnasional (Masdar Hilmy, 2011:1). 14
dengan membawa nuansa ideologis yang mengancam eksistensi NKRI.
Atas dasar inilah, boleh jadi, yang menjadi pertimbangan pemerintah
membubarkan ormas hanya HTI dan tidak sampai kepada pembubaran MMI
ataupun ormas-ormas lainnya yang juga dianggap radikal atau bagian dari
fundamentaslime Islam. Yang demikian oleh karena HTI dianggap sebagai
organisasi makar yang hidup dengan mendompleng demokrasi. Keberadannya
secara nyata membuat gerah organisasi keagamaan lainnya sebagai genre
keislaman yang lahir dengan khas keindonesiaannya, di samping tentu
“menantang” pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan benteng kokoh
pengawal NKRI yang berideologi Pancasila.
14
Menurut Masdar Hilmy, sebagai sebuah gerakan yang bukan asli Indonesia, HTI
sendiri sebenarnya merupakan representasi dari “Islam transnasional” par exellence, mengingat
keberadaan organisasi politik ini tidak lahir dari pergumulan identitas keindonesiaan yang
otentik, melainkan dipindahkan, di bawa atau diimpor dari negara lain yang cenderung tidak
mau “mengindonesia”. Pada awalnya, ide Islam transnasinal tidak dimaksudkan untuk merujuk
secara spesifik kepada kelompok HTI. Hal ini disebabkan secara generik “transnasional” itu
sendiri mencakup pemaknaan yang luas, bukan saja HTI tetapi juga Islam sendiri pada
dasarnyabrsifat transnasional. Namun demikian, paham Khilafah Islamiyah yang diusungnya
menjadikan organisasi ini menjadi satu-satunya representasi “Islam transnasional” yang paling
autentik, tanpa bermaksud mengecualikan organisasi-organisasi lain yang barangkali memiliki
visi teologis-ideologis yang (hampir) sama. Sebagai akibatnya, jadilah “Islam transnasional”
sebagai seauh nomenklatur baru yang secara spesifik dan eksplisit dikonotasikan dan
diatribusikan pada HTI. Artinya, istilah ini sudah terlanjur menjadi branding yang melekat pada
HTI, dan bukan pada kelompok lainnya.
membela tanah air pada tahun 1945, menyematkan gelar waliyy al-amri al-
dharuri bi al-syaukah kepada Presiden Soekarno pada tahun 1954. Puncaknya
pada tahun 1984, ketika NU, pada muktamar ke-27 di Situbondo, menetapkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dan
NU berhasil meletakkan dasar-dasar sintesis hubungan Islam dan negara, yang
ditandai dengan penerimannya terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila (Ali
Masykur Musa, 2011:viii-ix).
Bagi NU, mengubah sikap politik dalam suasana seperti itu memang
bukanlah sesuatu yang dianggap sulit dan tabu. Sebab dalam berpolitik,
sebagaimana respon terhadap persoalan-persoalan sosial lain, NU berpegang
pada prinsip-prinsip fiqhiyyah yang bersifat sangat dinamis dan fleksibel.
Mengambil istilah Ali Haidar, NU memandang fiqihisme sebagai ideologi sosial
dan politik secara tidak kaku (Ali Haedar, 1999).
Di samping corak fiqh minded, dalam dimensi pemikiran dan sikap
politik, NU juga sangat dipengaruhi oleh paham Aswaja dan sikap dasar
kebangsaan. Jika dalam Aswaja yang berisikan doktrin sikap tasamuh (toleransi),
tawassuth (akomodatif), i’tidal (moderat), dan melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar, sementara sikap dasar kebangsaan NU dirumuskan melalui
keseimbangan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim),
ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sebangsa) yang dilaksanakan secara akomodatif atas dasar
komitmen bersama (al-Muslimūn bisyurūthihim).
Dalam konteks kekinian, pemikiran al-Ghazali juga masih sangat relevan
di dalam melihat persoalan kebangsaan. Terhangat adalah persoalan UU Ormas
yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan menjadikan
maslahat sebagai latar epistemnya, al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada
persoalan jenis ideologi negara tertentu. Baginya selama dapat memberikan
perlindungan kepada masyarakatnya, di situlah esensi bernegara dibutuhkan.
pancasila baik paham atau ajaran itu lahir dari gerakan keagamaan maupun
gerakan sosial lainnya, sebagaimana diatur pada pasal 59 ayat 4 poin (c).
Pengingkaran terhadap Pancasila sebagai asas dan falsafah negara dalam UU
Ormas ini juga dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela dalam
pandangan moralitas bangsa. Oleh karenanya pemberian sanksi administratif
dan bahkan sampai pada sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Ormas
tersebut khususnya pasal 60-61 (tentu dengan beberapa catatan), dinilai tepat
demi terjaganya stabilitas keamanan nasional. Dan dengan adanya jaminan
stabilitas keamanan ini, maka setiap orang Islam dapat melaksanakan ibadahnya
dengan tenang dan sangat berpotensi untuk mencapai kebahagiaan di
akhiratnya.
PENUTUP
Menyimak pemaparan pandangan politik kebangsaan al-Ghazali
hubungannya dengan UU Ormas no 2 tahun 2017, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa sebagai seorang sufi, pandangan-pandangan sufistiknya tidak
saja berkaitan dengan akhlak dan fiqh, namun juga terekam dalam pemikiran
politiknya. Dalam konteks kebangsaan, al-Ghazali menawarkan pentingnya
legitimasi pemerintah dan pentingnya menjaga prinsip-prinsip loyalitas terhadap
pemimpinnya. Ini dimaksudkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan
terjaminnya stabilitas keamanan sebuah negara. Dengan terealisasinya dua
kepentingan sebuah negara tersebut, maka dengan sendirinya kepentingan
agama akan terjamin. Umat Islam dengan sangat leluasa dapat menjalankan
perintah agamanya. Hubungan agama dengan negara ibarat saudara kembar (al
dîn wa al sulthān tawamān) yang berarti agama adalah pondasi (untuk
membangun masyarakat), sementara negara berfungsi sebagai pelindung
rakyatnya, yang tanpa salah satu dari keduanya akan berakibat pada
kebangkrutan dan kelumpuhan.
Di dalam melihat setiap persoalan politik, al-Ghazali selalu mendasarkan
pandangannya kepada nilai-nilai kemaslahatan, oleh karenanya corak pemikiran
politik al-Ghazali lebih sufistik. Dan dalam perkembangannya, Politik sufistik
al-Ghazali memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap politik kebangsaan NU
sebagai repsresentasi kelompok politik Sunni di Indonesia sekaligus sebagai
antitesa gerakan Islam ideologis yang menginginkan formalisasi syariat Islam.
Terbaru adalah lahirnya UU Ormas no. 2 tahun 2017, di mana NU sedari awal
telah berkomitmen menerima pancasila sebagai asas ideologi negara. Dalam
perspektif politik al-Ghazali, lahirnya UU Ormas ini dinilai tepat setidaknya
DAFTAR PUSTAKA
Ahnaf, Muhammad Iqbal. Tiga Jalan Islam Politik di Indonesia: Reformasi,
Refolusi dan Revolusi, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya
1, 2 Juli, 2016.
Abegebriel, A. Maftuh, et.al., Negara Tuhan: The Thematic Enclyclopedia, Cet. 1,
Jakarta: SR-Ins Publishing, 2004.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Iqtishād fi aI’tiqād, Damsyik: Dār al-Kutub, 2003.
-----------------------------. Ihyā ‘Ulūm ad-Dîn, Vol. 1, Beirut: Dār al-Kutub,
2013.
Ali, As’ad Said. Ideologi Gearakan Pasca Reformasi, Jakarta: LP3ES, 2012.
Anshari, Ibnu. Oposisi dalam Praksis Politik Islam Perspektif Sosiologi Sejarah,
Ciputat: GP Press, 2012.
As-Subkî, Tājuddîn. Tabaqāt al-Syāfi’iyyah al-Kubrā, Vol. 6, Kairo: Dār al-kitāb
al-‘Arabî, 1996.
Beger, Peter L. dan Thomas Luckman. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, terj. Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. 1990
Bellah, Robert N. Beyond Believe: Essays on Religion in a Post Tradition World,
Los Angeles: University of California Press, 1991.
Faghirzadeh, Saleh. Sociology of Sociology, Tehran: The Soroush Press, 1982.
Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara
Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ferdinand, Klaus and Mehdi Mozaffari (ed.), Islam: State and Society, London:
Curzon Press, 1988.
Haedar, Ali. NU dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Hasan, Nurhaidi. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di
Indonesia Pasca-Orde Baru, terj. Hairus Salim, Jakarta: LP3ES, 2008,
Hilmy, Masdar. Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), ISLAMICA, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Irfan, Agus. Local Wisdom dalam Pemikiran Kiai Sholeh Darat, Ulul Albab,
Vol. 1, No. 1, Oktober 2017.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Jakarta: LP3ES,
2006.
Mahmud, Abdul Halim. Qadhiyyat at-Tasawwuf Al-Munqidh min adh Dhalal,
Kairo: Dar al-Maarif, t.t.
Sumber Media:
Kompas, 24 Maret 2017, diunduh pada 12 Desember 2017.
Suara Merdeka, Kamis 26 Oktober 2017.
Suara Merdeka, Rabu 25 Oktober 2017.
Hajam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
hajam_1967@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Imam al-Ghazali nama lengkapanya Abu Hamid ibn Muhammad al-
Ghazali, lahir di Thus, Khurasan (Iran) pada 450 H/1058 M dan wafat pada
505 H/1111 M). Imam al-Ghazali seorang ulama plus yang kaya pengetahuan
dan tegas dalam mengkritik filosuf yang cenderung kontraproduktif dengan nas,
khususnya Neoplatonisme al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam pandangan
Nurchalish Madjid (1939-2005) Imam al-Ghazali diakui sebagai salah seorang
pemikir paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam
sejarah intelektual manusia, al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern Muslim
maupun bukan Muslim, adalah orang terpenting sesudah Nabi Muhammad
Saw, ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya menata dan mengukuhkan
ajaran-ajaran keagamaan.
Imam Al-Ghazali dalam pergulatan pengetahuanya telah mengalami
dinamika epistemologis bermula dalam kajian syariat kemudian filsafat Yunani
sampai kehilangan keseimbangan dalam pengembaraan spiritualnya. Imam al-
Ghazali pada akhirmya menekuni dan singgah di pengetahuan tasawuf sampai
merasakan kondisi batin yang bisa bertranscendental pada Tuhan.. Imam al-
Ghazali baru merasakan stabilitas batin setelah singgah di ladang spiritual yang
sebelumnya mengalami keraguan (syak). Imam al-Ghazali telah berdialog rutin
dengan hati nuraninya yang peka akan rasa Ketuhanan dapat mewujudkan
pengetahuan integrasi antara syariat dan haqiqat. Imam al-Ghazali hadir di
zaman kekuasaan Bani Abbasyiah di mana ditandai adanya kebinguan spiritual
di samping gejolak politik. Tiga tahun sebelum Imam al-Ghazali lahir, Ibu Kota
115
Hajam
Abbasyiah Bagdad jatuh ke tangan kekuasaan Turki Saljuq setelah lebih satu
abad diperintah oleh amir-amir Buwaihiyyah yang Syiah itu.1
Kedalaman Intelektual-spiritual Imam al-Ghazali selama hidupnya telah
mengalami perdebatan yang sengit dan serius antara filosuf dan para teolog
dalam menafsirkan dan memahami ajaran-ajaran agama. Keilmuan Imam
Ghazali tidak hanya dalam fiqig, teologi, tasawuf tapi jiga menguasai ilmu-ilmu
sains seperti astronomi fisika dan kimia. Dalam lieratur Barat seperti pandangan
oreintalis H.A.R Gibb menempatkan Imam al-Ghazali sejajar dengan Filosuf St.
Agustinus (354-430 M), filosuf Kristen yang mengarang buku The City God.
Bedanya kalau Agustinus tetap lengket dengan filsafat, smentara Imam al-
Ghazali tetap menempuh jalan sufi sebagai pencarian kebenaran. Oreintalis
H.A.R Gibb menempatkan Imam al-Ghazali setaraf dengan Martin Luther,
pembaru agama Kristen di Eropa pada permulaan abad ke-16. 2
Bahkan lebih jauh Oreintalis H.A.R Gibb memberi apresiasi terhadap
Imam al-Ghazli seperti dikuip Syafi’I Ma’arif sebagai berikut:
Cerita tentang perjalanan relegiusnya Imam al-Ghazali sungguh sesuatu
yang merawankan hati dan bernilai – bagaimana ia menemukan dirinya sendiri
berada dalam pembrontakan melawan kepintaran palsu para teolog yang telah
berusaha mencari realitas tertinggi lewat seluruh system keagamaan dan filsafat
muslim pada masanya, dan bagaimana akhirnya setelah bergumul lama baik
fisik, mental dan intelektual, ia terjembab pada agnostisisme filosofis semata
pada pengalaman pribadi tentang Tuhan dan (di ujung pengembaraan) ia
menemukanya pada jalan sufi 3
Imam al-Ghazali dengan menempuh jalan tasawuf sebagai jalan dan pola
hidupnya pada analisis terakhirnya Imam al-Ghazali adalah ulama yang bercorak
moderasi dengan menempuh pendekatan keilmuan dan amaliyahnya dengan
metode jalan tengah dalam bahasa Nahdatul Ulama wasthiyah. Pengaruh
pemikiran sufistik Imam al-Ghazali diakui dunia Islam. Banyak sarjana Muslim
di dunia memandang Imam al-Ghazali sebagai figure yang paling berpengaruh
dalam sejarah intelektul Islam.4 Bahkan kitab monumentalnya Imam al-Ghazali
1
Philip K. Hitti, Maker Of Arab History, New York, Harper dan Row, 1971, hlm. 146
dalam Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Inteletualisme islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 55
2
Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Inteletualisme islam di Indonesia, hlm. 56
3
H.A.R Gibb, Influence (of al-Ghazali) dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim
philosophy, jilid I Wiesbaden, Otto Harrasswits, 1963, hlm. 638.
4
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought, Albany, State University of New York
Press, 2981, hlm. 71
sangat pesat serta pada masa itu Islam sudah dianut di Samudra Pasai dan Perak.
Di Jawa, beberapa bukti sejarah yakni makam Fatimah binti Maemun di Leran
(Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082), dan makam-makam orang Islam
di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 yang merupakan perkembangan dari
Islam sampai di pusat kekuaaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Sampai
berdiri-Nya kerajaan Islam, perkembangan Agama Islam di Nusantara dapat
dibagi menjadi tiga tahap yakni:8 pertama, singgah-Nya pedagang-pedagang
Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Kedua, Ada-Nya komunitas Islam di
beberapa daerah kepulauan Nusantara. Ketiga, berdiri-Nya kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara.
Tradisi Islam yang masuk di Nusantara tidak begitu saja diterima, tetapi
disaring dan dipilah mana yang cocok dan bisa diterapkan di Nusantara akan
dipakai, tetapi yang tidak cocok akan ditinggalkan dan diambil isi dan subatansi
ajarannya untuk digunakan mengisi tradisi dan budaya yang sudah tumbuh di
bumi Nusantara, seperti tercermin dalam seni wayang dan berbagai tradisi
keagamaan yang khas Nusantara, nydran, tahlilan, selametan dan sebagainya.
Dengan cara ini maka Islam bisa diterima dengan lapang dada dan penuh suka
cita.9
Kedatangan Islam dan penyebaranya kepada golongan bangsawan dan
rakyat pada umum-Nya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik suatu
kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan
dikalangan keluarga istana, maka Islam dijadikan alat politik bagi golongan
bangsawan atau pihak-pihak yang menghendaki kekuasaan itu. Ada-Nya suatu
hubungan dengan pedagang-pedagang muslim yang memiliki ekonomi kuat
tentu-Nya dijadikan penyokong pihak-pihak terkait dalam kepentingan politik
yang dilakukan oleh para bangsawan dan pihak-pihak yang menghendaki
kekuasaan. Mula-mula diberikan-Nya sebuah surat berisikan ajakan untuk
masuk Islam kepada raja yang non Islam. Dari hal tersebut ketika satu atau
beberapa kerajaan berada di tampuk Islam maka cukup kuat untuk melakukan
Islamisasi di berbagai daerah yang belum menganut Islam. Sebagai konsekuensi-
Nya apabila kerajaan yang non Islam tidak mau menganut Islam harus
8
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, (The Hague: Van Hoeve, 1955), hlm. 111
9
Ngatawi Al-Zastrouw, Aktualisaasi Pancasila dan Spirit Nasionalisme Di Era Globalisasi,
pengantar diskusi dalam seminar Distingsi Keilmuan Fakultas Ushulidin, Adab dan Dakwah
Dalam Niali Kebangsaan, IAIN Syech Nurjati, Cirebon, 23 Oktober 2017
berperang dengan kerajaan Islam. Hal ini bukan persoalan agama lagi melaikan
ideologi atas dorongan politis untuk mengusai kerajaan-kerajaan disekitar-Nya.10
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran Islamisasi yang
berkembang di Nusantara ada enam, yaitu: Saluran perdagangan adalah tarhap
awal proses Islamisasi di Nusantara termasuk Indonesia. Lalu lintas perdagangan
abad ke-7 hingga abab ke-16 M yang melibatkan banyak pedagang muslim dari
berbagai Negara yang sangat menguntungkan. Saluran Perkawinan Dari sudut
ekonomi, para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik dari pada
kebanyakan masyarakat pribumi Indonesia (Nusantara). Hal ini menjadikan
para puteri-puteri bangsawan pribumi atau bangsawan itu sendiri tertari untuk
menjadi istri saudagar-saudagar muslim. Setelah mereka mempunyai keturunan,
lingkungan mereka semakin luas. Jalur perkawinan ini, menguntungkan Islam
karena apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan, anak
raja, atau adipati. Karena ada-Nya hal tersebut turut mempercepat proses
Islamisasi. Hal yang demikian terjadi antara Raden Rahmat ( sunan ampel )
dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten,
Brawijaya dengan puteri Campa, dan lain-lain.11
Saluran Tasawuf Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan
teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Mereka mahir soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan
menyembuhkan. Diantara mereka ada juga mengawini puteri-puteri bangsawan
setempat. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk
pribumi mempunyai persamaan dengan pikiran mereka yang sebelum-Nya
menganut agama Hindu, sehingga agama baru itu mudah dimengerti dan
diterima. Saluran Pendidikan Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik
pesantren maupun pondok yang diselenggatakan oleh guru-guru agama, kyai-
kyai dan ulama-ulama. Dipesantren atau pondok itu calon ulsms, guru agama
dan kyai yang mendapat pendidikan Agama Islam. Setelah mereka keluar dari
pesantren dan pulang ke kampung masing-masing mereka berdakwah ke tempat
tertentu mengajarkan Islam. Misal-Nya pesantren yan didirikan oleh Raden
Rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri banyak diundang ke Maluku
untuk mengajarkan Islam.12
10
Azyurmardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara. (Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,
1989) Hal 31
11
Uka Tjandrasasmita, “Kedatangan dan Penyebaran Islam” dalam Taufik Abdullah (ed.),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.9-26
12
Ibid, hlm. 9-26
13
Ibid, hlm. 9-26
14
H.A. Rivay Siregar. 2000. Tasawuf Nusantara. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal
215
kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku
keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri
tersebut.
Yaman salah negara Islam yang banyak berperan dalam melahirkan sufi
Nusantara. Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan
bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah
di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria,
Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas
orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam
akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para
para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah
satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-
Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-
Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-
orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran
Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al
Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali
songo di tanah Nusantara.
Di antara Sufi Nusantara yang diwarnai pemikiran dan ajaran tasawuf
Imam al-Ghazali sebagai berikut:
SYAIKH ‘ABD ASH-SHAMAD AL-JAWI AL-PALIMBANI (TASAWUF
MODERASI ANTARA IBN ARABIAN DAN GHAZALIAN)
Sufi dari Palembang Sumatera yang diwarnai tasawuf Imam al-Ghazali
yaitu Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir
abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman
al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah. Ulama sufi
ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu.
Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-
Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di
wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid
tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa
Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di
15
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII –
XVIII., hlm. 313. Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran
Tasawuf, hlm. 93-94.
16
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII –
XVIII., hlm.302.
17
Al-Palimbani, Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mu’minin, (Jakarta:
Perpustakaan Nasional, ML 719), hlm. 14-16, dalam Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi,
Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm. 98-99.
18
Al-Palimbani, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadah Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)),
Jilid IV, hlm. 103-104, dalam Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan
Pemikiran Tasawuf, hlm. 100.
19
Al-Palimbani, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadah Rabb al-‘Alamin, hlm. 9-12, dalam Miftah
Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm. 101.
20
Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual, dan Pemikiran Tasawuf, hlm.
101.
sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn Karya Imam
al-Ghazali dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa
tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah
dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf
Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan
akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali
adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.
Bahkan menurut Nurchalish Madjid sesungguhnya berkat pikiran-pikiran
al-Ghazali itulah Asy`arisme mendapatkan kemenangannya yang terakhir, yang
kemudian menjadi ciri utama paham Sunni. Juga karena karya-karya al-Ghazali
maka kesenjangan antara sufisme dan bidang-bidang agama lainnya, khususnya
akidah dan syari`ah, menjadi semakin menciut. Bahkan al-Ghazali telah berhasil
memberi tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam dalam keseluruhan
paham keagamaan yang dianggap sah atau ortodoks. Penyelesaian yang
ditawarkan al-Ghazali begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual
Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Menurut lukisan
seorang sarjana, al-Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian
masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah
bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang
walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan
kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.21
21
Budhi Munawar Rachman dkk, Ensiklpedia Nurchalish Madjid, (Paramadina, 2011),
hlm. 144
keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di
wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga
Rasulullah.
Tasawuf Wali Songo dalam jalur syariat tetap berpegang dalam aliran
Imam Syafi’I atau mazahab Imam Syafi’I dan tasawufnya berpegang dalam
mazhab Imam al-Ghazali sebagai indikatornya Kitab Ihya Ulumuddin menjadi
sumber inspirasi dalam melakukan dakwahnya, di samping kitab-kitab andalan
Ahlus Sunnah Wal Jamaah lainya, seperti kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib
al-Makki, kitab Al-Washaya, karya al-Muhasibi, Bidayahtul Hidayah dan
Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali.22 Adanya pengaruh Imam al-Ghazali
yang berakar kuat dalam pemikiran tasawuf Wali Songo, terutama disebabkan
karena pencetus Thariqat al-Alawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Imam
abdullah ibn al-Imam Ahmad al-Muhajir sebagai leluhur Wali Songo. Seperti
halnya Imam al-Ghazali dan Abdullah ibn Ahmad al-Muhajir membangun
pemikiran-pemikiran tasawufnya berdasarkan doktrin-doktrin Abu Thalib al-
Makki, bahkan para wali Songo bertemu di makkah pada saat menuanaikan
ibadah haji 377 H.23 faktor lain yang ikut menentukan pengaruh Imam al-
Ghazali terhadap tasawuf Wali Songo adalah karena salah seorang pemimpin
tareqat al-‘Alawiyah yaitu Imam Muhmmad ibn ‘Ali dengan gelar al-faqih al-
Muqaddam (pemimpin ahli fiqih) yang memiliki kesamaan dengan Imam al-
Ghazali.
Salah satu Wali Songo yang dipengaruhi ajaran tasawuf imam al-Ghazali
adalah Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati yang menjadi
penerus Pangeran Cakrabuana bergelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah
Shallollahu Alaihi Wassalam”. Ajaran tasawuf Syekh Syarif Hidayaullah terkenal
dengan ajaran Petatah Petitih yang berisi nilai ketakwaan dan keyakinan,
kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, serta kesopanan dan tatakarma. 24Pepatah
petitih ini nampaknya telah diakomodasi sedemikian rupa oleh kerabat keraton
dengan bahasa Jawa Cirebon sekarang. Pepatah petitih ini tidak jelas sumber
rujukannya, tetapi oleh kerabat keraton berdasarkan keyakinannya secara turun
22
Abdullah ibn Nuh, Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Masa Kerajaan kesultanan
Banten, Bogor, hlm. 61 dalam Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar
tasawuf di Indonesia, (Cinere Depok: Pustaka IMaN, 2009), hlm. 30
23
Ibid, hlm.30
24
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah, Pengaruh dan Jejak-
Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 244. Hasan Efendi. Petatah Petitih Sunan Gunung Djati:
Dari Aspek Nilai dan Pendidikan. Indra Prahasta, 1994), hlm. 14-34.
temurun dianggap bahwa pepatah petitih itu berasal dari pepatah-petitih yang
disampaikan oleh Sunan Gunung Djati.25
Berikut ini di antara petatah-petitih yang berkaitan dengan ketakwaan dan
keyakinan adalah:26
1. Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku “Sunan Gunung Djati” titip tajug
dan fakir miskin).
2. Yen sembahyang kungsi pucuke panah (jika salat harus khusu dan tawadhu
seperti anak panah yang menancap kuat).
3. yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali
panah).
4. Ibadah kang tetep (ibadah harus terus menerus).
5. Wedia ing Allah (takutlah kepada Allah).
6. Manah den Syukur ing Allah (hati harus bersyukur kepada Allah).
7. Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).
Kedisiplinan:
1. aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji).
2. Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong).
3. Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang
tidak benar atau disalahgunakan).
25
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah, Pengaruh dan Jejak-
Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 245.
26
Hasan Efendi. Petatah Petitih Sunan Gunung Djati: Dari Aspek Nilai dan
Pendidikan.14-34, dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Petuah,
Pengaruh dan Jejak-Jejak Sang Wali di Tanah Jawa, hlm. 245-247.
(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu
menangkap cahaya ketuhanan).27
Wali Songo dengan mengikuti ajaran tasawuf Imam al-Ghazali telah
berhasil membumikan Islam Nusantara yang sarat tradisi dan budaya.
Keberhasilan Walisongo menurut Ngatawi Al-Zastrouw bersumber dari dua hal,
pertama karena kemampuan mereka dalam menyerap, memahami secara
mendalam berbagai ragam tradisi, nilai-nilai lokal dan konstruksi social
masyarakat Nusantara. Mereka menjadikan semua itu sebagai sumber inspirasi
yang ddikembangkan secara kreatif dengan memadukan unsure-unsur terbaik
dari tradisi luar. Para Walingi songo tidak menerima begitu saja nilai-nilai dan
kebudayaan dari luar, tetapi mensiskapi kebudayaan dari luar secara kritis dan
selektif dan menjadikannya sebagai referensi untuk mengembangkan nilai-nilaia
tradisi dan kebudayaan lokal.28
Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan
bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah
di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria,
Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap
memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas
orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam
akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para
para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah
satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-
Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-
Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-
orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran
Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al
Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah
Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali
songo di tanah Nusantara.
27
Bacaan tentang pokok-pokok ajaran tasawuf akhlaqi bisa dilihat dalam Al-Ghazali, Abu
Hamid Muhammad, Ihya al-Ulumu ad- Din. Ihya al Katabah al Arabiyah Indonesia, tt)
Madhkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiquha. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
Anshari,Subkhan, Tasawuf Islam Telaah Historisnya dan Perkembanganya. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2008.
28
Ngatawi Al-Zastrouw, Aktualisaasi Pancasila dan Spirit Nasionalisme Di Era Globalisasi,
pengantar diskusi dalam seminar Distingsi Keilmuan Fakultas Ushulidin, Adab dan Dakwah
Dalam Niali Kebangsaan, IAIN Syech Nurjati, Cirebon, 23 Oktober 2017
29
Samsul Munir Amin. Sayyid Ulama Hijaz. (Pustaka Pesantren: Yogjakarta, 2009)
30
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri
(1830-1945, Ciputat Tangerang: Compas, 2016.
PENUTUP
Pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali punya andil besar dalam
perkembangan tasawuf Nusantara dan para sufi Nusantara sangat menerima
dengan leluasa ajaran tasawuf Imam al-ghazali karena Imam al-Ghazali
dipandang Ulama tasawuf yang cocok dengan karakter budaya muslim
Nusantara yang sarat pluralistik. Imam al-Ghazali dipandang seorang sufi yang
memiliki corak psikomoral yang ajaran tasawufnya lebih mengedepankan
pendidikan moral dan bercorak moderasi jauh dari ajaran ekstrim dan radikal,
karena para sufi Nusantara lebih memilih doktrin ajaran tasawufnya lebih
banyak condongnya ke imam al-Ghazali dibanding sufi-sufi yang bercorak
falsafi. Tasawuf yang bercorak falsafi hanya sedikit seperti Sufi Hamzah Fansuri
yang beraliran Ibn Arabi dengan konsep Wahdat al-Wujudnya sehingga
mengundang kontroversi dan Syekh Siti Jenar dengan nama aslinya Syekh
Abdul Jalil populer dengan sebutan Syekh Lemah Abang penganut ajaran
Tasawufnya al-Hallaj dengan doktrin hululnya oleh Syekh Siti Jenar dikemas
dengan ajaran Manunggaling Kawula Gusti yang berakhir dengan hukuman
mati, walaupun ke dua sufi Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar kalau ditelaah
secara mendalam epistemologinya sebenarnya akan mengalami titik temu.
Kultur dan budaya Nusantara dalam doktrin agama sejak lama
nampaknya menghendaki doktrin ajaran agama yang moderat dengan hadirnya
doktrin tasawuf produk Imam al-Ghazali sangat cocok. Tipologi ajaran tasawuf
Imam al-Ghazali mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat,
keseimbangan akal dan hati serta keseimbangan jasmani dn rohani, maka dari
sini Imam al-Ghazali ditempatkan sebagai Ulama Tasawuf yang banyak
mewarnai Sufi Nusantara. Imam al-Ghazali menyirami Sufi-sufi Nusantara
dalam mengembangkan dakwah agama dengan pendekatan hikmah dan
bermoral. Dengan pendekatan ini para Sufi atau para Wali Nusantara lebih
ditrima oleh masyarakat Nusantara yang majemuk. Para Sufi atau wali
Nusantara telah berhasil merumuskan strategi kebudayaan yang tepat sehingga
mampu melakukan transformasi social secara tepat dan cepat dengan tanpa ada
ekses negative dan konflik social yang berarti. Para Sufi Nusantara telah mampu
membentuk kekuatan budaya yang mampu merajut berbagai kemajemukan dan
keragaman ummat yang ada di bumi Nusantara.
Menghadapi arus globalisasi dengan tensi kompetisi yang ketat dan
beresiko tinggi ini, di mana dalam era globalisasi dituntt terjadinya perubahan
tata nilai, sosial dan budaya masyarakat dunia. Kompetisi lintas yang terjadi
secara cepat dan radikal. Tata nilai, budaya dan struktur sosial masyarakat di
berbagai belahan dunia dipaksa untuk berubah dan agar bisa menyesuaikan diri
dengan tuntutan keadaan, maka dalam setuasi ini perlu kreatifitas dan strategi
canggih dengan merujuk kepada keteladanan para Sufi Nusantara dalam
beragama dan bersosial agar masyarakat global ini menjadi rukun dan damai.
Dalam konteks kekinian, strategi para Sufi Nusantara ini perlu diterapkan
dengan baik oleh para komponen bangsa dalam berkiprah di berbagai sector,
terutama para tokoh agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid (2006), Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi¸Jakarta, Wahid Institut
Agus Sunyoto (2011), Atlas Wali Songo, Tangerang, Transpustaka.
Afifi. A.E, The Mystical Philosophy of Muhyi-Din Ibn al-‘Arabi. Cambridge:
University Press. 1994.
_______Muhadarah fi al-Tas}awuf al-Islami. Kairo: Matbu’ah Ma’had ad-
Dirasah al-Islamiyah, 1994.
Anshari, Muhammad Abd al-Haq, Sufism and Shari’ah: a Study of Shaykh
Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism. London: The Islamic
Foundation, 1986, edisi Indonesia Antara Sufisme dan Syariah, terj.
Achmad Nasir Budiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, cet. II.
Anshari, Subkhan, Tasawuf Islam Telaah Historisnya dan Perkembanganya.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII – XVIII. Bandung: Mizan, 2005.
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-
Santri (1830-1945, Ciputat Tangerang: Compas, 2016.
Dahlan,Abdul Aziz, Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis,
Journal Ulumul Qur’an 3 vol. VI, 1991.
Effendi, Khasan, Petata-Petitih Sunan Gunung Djati, Bandung: CV Indra
Prahasta, 1994.
Chittick,William C. Ibn ‘Arabi Heir To The Prophets. England: One World
Oxford, 2005.
Corbin, Henry, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabı re-issued as
Alone with the Alone. Princeton: University Press, 1969.
Dahlan,Abdul Aziz, Tasawuf Sunni Dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis,
Journal Ulumul Qur’an 3 vol. VI, 1991.
Drajat, Amroeni, Suhrawardi Kritik Falsafat Peripatetik. Yogjakarta: LKiS, 2005.
Fateh, Kholil Fatah, Membersihkan Nama Ibnu al-‘Arabi, Kajian Komprehensif
Tasawuf Rasullah. Banten: Fattah Arbah, 2010.
Idris Masudi
Pascasarjana Unusia Jakarta
PENDAHULUAN
Hampir tidak ada sarjana muslim selain Imam al-Ghazali yang karya-
karyanya memiliki pengaruh sangat luas baik di dunia Islam maupun Barat.
Annemarie Schimmel (1986:99) menyatakan bahwa tidak ada pemikir Islam
abad pertengahan yang bisa menarik perhatian para cendekiawan Barat melebihi
Al-Ghazali. Cukup wajar bila Abdurrahman Badawi menyejajarkan al-Ghazali
dengan Aristoteles baik dari sisi ketenaran maupun pengaruhnya dalam bidang
ilmu pengetahuan di masanya maupun masa setelahnya (Abdurrahman Badawi,
1977:3). Pujian-pujian terhadapnya mengalir deras mulai dari gurunya, Imam
al-Haramain, teman belajarnya, Abul Hasan Abd Ghafir Al-Farisi, murid-
muridnya, hingga orang-orang yang hanya mengenalnya melalui karya-karyanya.
Pengaruh pemikiran al-Ghazali dalam dunia Islam yang demikian besar
ini juga terjadi di Indonesia. Bahkan, salah satu organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama, secara tegas dalam bidang tasawuf, selain Imam
Junaid al-Baghdadi, mengikuti Imam al-Ghazali. Di sisi lain, Lembaga
pendidikan pesantren di Indonesia hampir secara mayoritas menggunakan
karya-karya Imam al-Ghazali sebagai kitab tasawuf yang dijadikan bahan ajar
atau pengajiannya.
Martin van Bruinessen (185-186), mengatakan bahwa karya-karya Imam
al-Ghazali dalam bidang tasawuf adalah karya yang paling banyak diajarkan di
pesantren-pesantren di Indonesia. Bahkan ada beberapa pesantren yang
mengkhususkan diri mengajarkan kitab Ihya’ Ulum ad-Din. Di sisi lain, karya-
karya tasawuf Imam al-Ghazali juga menjadi pilihan bagi para ulama Indonesia
dalam upayanya melakukan penerjemahan, saduran, maupun memberikan
komentar-komentar terhadapnya. Tercatat, terdapat beberapa kitab karya al-
Ghazali yang kemudian diadaptasi oleh sejumlah ulama Indonesia seperti Abdus
Samad al-Falimbani berjudul Sayr Salikin dan Hidayah as-Salikin. Begitu pula
135
Idris Masudi
dengan Syekh Ihsan Jampes Kediri yang memberikan komentar Panjang atas
karya lain al-Ghazali berjudul Minhaj al-Abidin yang diberi judul Siraj at-
Thalibin dalam dua jilid tebal.
Meski sedemikian hebatnya pengaruh (karya) al-Ghazali dalam bidang
tasawuf di Nusantara dan pemilihan madzhab al-Ghazali -selain Junaid al-
Baghdadi- sebagai madzhab tasawuf sebagaimana dianut oleh organisasi Islam
seperti Nahdlatul Ulama menyisakan sebuah pertanyaan. Mengapa madzhab al-
Ghazali? Bukankah dalam bidang fikih dan akidah, madzhab yang dianut oleh
Nahdlatul Ulama adalah para pendiri madzhabnya? Sementara dalam bidang
tasawuf justru mengikuti al-Ghazali yang oleh Kautsar Azhari Noer (1999:162-
185) disebut bukan sebagai seorang sufi yang orisinal alias terpengaruh oleh sufi-
sufi sebelumnya seperti al-Harits al-Muhasibi dan sufi-sufi lainnya?
Tulisan ini akan fokus untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut: Mengapa al-Ghazali menjadi madzhab yang diikuti oleh masyarakat
muslim Nusantara? Mengapa dalam tataran praksis amali di dunia tarekat dan
ritus-ritus keagamaan lainnya nama al-Ghazali jarang disebut?
Studi ini secara akademis bertujuan untuk [1] alasan akademik dipilihnya
al-Ghazali sebagai ikon madzhab tasawuf bukan yang lain.
Tulisan tentang pengaruh tasawuf al-Ghazali di kehidupan umat Islam
Indonesia terutama pesantren sangat melimpah ruah. Namun, setelah dilakukan
penelitian kepustakaan, tidak banyak karya peneliti yang disusun untuk
mengungkap alasan terpilihnya al-Ghazali sebagai sosok yang diikuti dalam
bidang tasawuf yang dimana ia sejajar dengan para pendiri madzhab dalam
bidang fikih dan akidah.
Penulisan ini menggunakan studi kepustakaan dengan menggunakan
metode deskriptif dan komparatif dengan menggunakan pendekatan historis.
Metode deskriptif digunakan untuk mengumpulkan informasi-informasi terkait
dengan tujuan untuk menggambarkan sifat keadaan apa adanya. Sedangkan
metode komparatif adalah dengan melakukan perbandingan hasil temuan para
peneliti terdahulu tentang al-Ghazali.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan tasawuf Al-Ghazali
sebagai madzhab tasawuf yang diikuti oleh masyarakat muslim Nusantara
disebabkan beberapa hal. Pertama, Al-Ghazali adalah tokoh pertama yang
menjelaskan tasawuf akhlaki secara rinci dan komprehensif. Kedua, Tasawuf Al-
Ghazali sebagaimana tergambar dan terpaparkan dalam karya-karyanya seperti
Ihya' Ulumuddin adalah pegangan dan sumber utama ilmu syariat dan hakikat
dimana dalam setiap ada perselisihan dalam ilmu tasawuf, termasuk di dalamnya
45
Sulaiman Abu Dunya menulis Al-Haqiqah fi Nazr al-Gazali, Margaret Smith menulis
“Al-Ghazal the Mystic”, Frank Griffel menulis disertasi dengan judul “Apostasie und Toleranz im
Islam. Die Entwicklung zu al-Gazalis Urteil gegen die Philosophie und die Reaktionen der
Philosophen,, selengkapnya lihat dalam https://www.ghazali.org/2015/09/dister/
mengupas secara khusus sifat-sifat tercela yang harus dihindari dan juga sifat-
sifat terpuji yang harus dilakukan oleh manusia.
sebagai tasawuf yang menyimpang dari ajaran al-Quran dan hadis dan
membawa bid’ah dan ajaran yang sesat yang karena itu harus ditolak.
Terlepas dari perdebatan mengenai klasifikasi sunni-falsafi di atas, di sini
perlu penulis tegaskan bahwa tasawuf sunni yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah tasawuf yang secara umum diterima oleh masyarakat luas. Lebih khusus
lagi bahwa tasawuf sunni di sini adalah tasawuf yang menggabungkan antara
tasawuf dan syariat46 sebagaimana telah dilakukan oleh Al-Ghazali.
Telah banyak tulisan yang mencoba mengungkapkan peran al-Ghazali
dalam mendamaikan antara syariat dan hakikat (fikih dan tasawuf). Tak pelak,
hasil penelitian atas hal itu terjadi silang pendapat di antara mereka. Ibrahim
Madkhur misalnya, ia mengatakan bahwa al-Ghazali adalah peletak prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah tasawuf sunni sebagaimana tergambar secara jelas
dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin. Ia adalah mahaguru para sufi yang datang
setelahnya (Ibrahim Madkhur, 1946: 66). Senada dengan Ibrahim Madkhur,
Fazlurrahman juga menyatakan kesepekatannya bahwa di tangan al-Ghazali lah
tasawuf menjadi sebuah disiplin ilmu yang dapat diterima secara luas.
Di pihak lain, Kautsar Azhari Noer (1999:172) mengungkapkan bahwa
penilaian dan pujian bahwa Al-Ghazali merupakan sufi yang berjasa besar dalam
upayanya mendamaikan antara syariat dan tasawuf adalah penilaian yang
berlebihan. Sebab, menurutnya, sufi-sufi moderat sebelum Al-Ghazali seperti al-
Muhasibi, As-Saraj, Al-Makki, Al-Kalabadzi, As-Sulami, al-Qusyairi, maupun
Al-Hujwiri sudah memiliki peranan penting dalam upayanya mendamaikan
tasawuf dan Syariah serta mempertahankan ortodoksi Ahlussunnah wal Jamaah.
Bahkan Kautsar menilai lebih jauh lagi bahwa kontroversi atau perdebatan
mengenai tasawuf dan syariat yang coba disulam oleh Al-Ghazali tidak mereda
pasca wafatnya Al-Ghazali. Perdebatan itu terus berlangsung bahkan terkadang
lebih keras daripada yang telah terjadi sebelumnya. Pada titik ini, ia menilai
bahwa pengaruh besar Al-Ghazali dalam mendamaikan tasawuf dan syariat
sebagaimana dinilai oleh banyak sarjana harus dikaji ulang. Sebab, faktanya,
menurutnya, masih bermunculan sufi-sufi kontroversial yang datang sepeninggal
Al-Ghazali seperti Ibn Arabi, Suhrawardi al-Maqtul, dan lain sebagainya.
Walaupun para sufi-sufi sebelum Al-Ghazali telah berupaya dan memiliki
konsentrasi dalam menyelaraskan dan mendamaikan polemik hubungan antara
pengamalan tasawuf dan ajaran syariat, akan tetapi di tangan Al-Ghazali lah
bangunan hubungan antar keduanya dirumuskan secara kongkret. Konsepsi Al-
46
Yang dimaksud syariat di sini dalam pengertian ibadah dari sisi-sisi lahir yang berkaitan
dengan keabsahan dan ketidakabsahan. Sedangkan hakikat adalah dari sisi batin yang
berhubungan dengan sisi kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT.
KESIMPULAN
Kehebatan dan pengaruh pemikiran Al-Ghazali khususnya dalam bidang
tasawuf menempati posisi yang sangat tinggi. Sufi besar yang hidup di abad
pertengahan ini disejajarkan dengan para peletak madzhab fikih (empat imam
madzhab) dan dua imam tauhid seperti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi. Al-Ghazali menjadi “pelengkap” imam-imam Ahlussunnah wal
Jamaah yang diikuti oleh jutaan kalangan sunni. Namanya tercatat sebagai
dalam trilogi ontologi ahlussunnah wal Jamaah; fikih, akidah, dan tasawuf.
Bahkan karya-karyanya melampaui karya-karya sufi sebelumnya dalam hal
banyaknya diberikan catatan, komentar, ringkasan, saduran dan terjemahan ke
dalam berbagai bahasa dunia.
Di sisi lain, terpilihnya Al-Ghazali sebagai imam dalam madzhab tasawuf
sunni sebagaimana diulas dalam tulisan ini sebab karya-karyanya dalam bidang
tasawuf menjelaskan teori-teori sufisme secara detail dan komprehensif. Hal ini
yang membedakan Al-Ghazali dengan sufi-sufi sebelumnya seperti Al-Harits Al-
Muhasibi, Abu Thalib al-Makki, maupun yang lainnya.
Posisi Al-Ghazali yang demikian tinggi ini pada gilirannya mengangkat
nama sekaligus karyanya di dunia Islam tak terkecuali di bumi Nusantara.
Namanya harum. Karya-karyanya menjadi rujukan utama dan materi-materi
pelajaran tasawuf baik secara formal menjadi mata pelajaran di madrasah-
madrasah pesantren maupun yang hanya dibacakan secara rutin di majelis
taklim dan kilatan di bulan-bulan tertentu.
Sedangkan ihwal keterpengaruhan al-Ghazali dari sufi-sufi besar
sebelumnya adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah pemikiran. Meski
demikian, hal itu tidak lantas kemudian menganggap bahwa Al-Ghazali hanya
melakukan “copy-paste” atau “scanning” atas karya-karya sarjana sebelumnya.
47
Istilah pengajian kilatan adalah pengajian yang dibacakan oleh seorang Kiai pondok
pesantren di bulan-bulan tertentu dan dibacakan secara “kilat”. Salah satu pesantren yang rutin
menggelar pengajian kilatan kitab ihya’ ulumudin adalah pesantren Fathul Ulum Kwagean Pare
Kediri dengan Kiai Abdul Hannan sebagai pengasuhnya. Sedangkan di Pesantren Hidayatul
Mubtadiin Kediri menggunakan ikhtishar ihya berjudul Maw’izah al-Mu’minin karya Jamaludin
al-Qasimi sebagai mata pelajaran. Namun untuk kitab Ihya’ Ulumuddin hanya dibacakan oleh
salah satu pengasuh secara rutin di rumahnya di luar jam sekolah.
Sebab, ihwal pengaruh dan keterpengaruhan dalam hal ilmu pengetahuan adalah
sebuah kewajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, Tt
Ihya’ Ulumuddin,
Abu al-Wafa at-Taftazani, Al-Madkhal ila Tashawwuf al-Islami, Kaior: Dar al-
Tsaqafah li an-Nasyr wa at-Tawzi', tt
Abdul Halim Mahmud, al-Munqidz min ad-Dhalal li Hujjat al-Islam al-Ghazali
ma’a Abhats fi at-Tasawwuf wa ad-Dirasat ‘an al-Imam al-Ghazali, Kairo:
Dar al-Kutub al-Haditsah, tt
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, pent: Sapardi Djoko
Damono, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, cet. I
Hasan al-Fatih, Dawr al-Ghazali fi al-Fikr, Kairo: Mathba'ah al-Amanah, 1978.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, pent: Ghufrom A. Mas’adi, Jakarta:
Rajawali Press, 2000, cet. II
Ibrahim Madkhur, fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhajuhu wa Tathbiquhu,
Kairo: Dar al-Ma’arif bi Mishr, 1976, cet. I
Salih Ahmad As-Syami, Al-Imam al-Ghazali Hujjat al-Islam wa Mujaddid al-
Mi’ah al-Khamisah, Dimasq: Dar al-Qalam, 2002, cet. II
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press,
1996, cet. I
Abstrak
M
anusia modern diidentifikasi sebagai masyarakat yang telah mencapai
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Idealnya, dengan
iptek manusia modern akan berfikir logis dan mampu menggunakan
teknologi untuk peningkatan kualitas hidup, serta menjadi lebih bijak dan arif.
Kenyataannya, banyak yang memiliki kualitas kemanusiaan yang lebih rendah
dibanding kemajuan berfikir dan teknologi yang telah diraihnya. Manusia
kehilangan nilai-nilai spiritual sehingga hidup tanpa pegangan moral dan
makna. Akibatnya terjadi keterasingan jiwa dan gangguan kejiwaan berupa
kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang dan psikosomatik
(nafsajasadiyah). Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri di
tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, kekerasan, dan pembunuhan. Solusi
yang ditawarkan dalam mengatasi persoalan tersebut adalah pengendalian diri
(jiwa), sebuah metode berbasis tasawuf, untuk menemukan kembali nilai-nilai
spiritualitas. Metode yang ditawarkan oleh al-Ghazali ini berupaya untuk
menenangkan jiwa sebagai sumber kekerasan dan kejahatan dalam diri.
Kata kunci: tasawuf, riyadhah, nafs, qana’ah dan modern
PENDAHULUAN
Modernisme yang dikembangkan di dunia Barat, ditengarai telah berhasil
mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengagumkan.
Prestasi yang diraih ini, ditambah dengan keuntungan dan kemudahan hidup
yang ditawarkan, telah mendorong dunia Timur (negara-negara
berkembang/terbelakang dalam bidang ilmu dan teknologi, termasuk negara-
negara Islam) berpaling dan berkiblat ke Barat. Jika saja yang mereka ambil dari
Barat adalah kemajuan teknologinya, tentu efek negatifnya berupa sikap,
prilaku, adat istiadat dan kebudayaan Barat yang menyimpang, tidak akan
147
Muhammad Iqbal Irham
merambah kemana-mana.
Modernisme Barat telah membawa dampak negatif berupa berbagai krisis
dunia; seperti ancaman perang, kerusakan lingkungan hidup, kelangkaan
sumberdaya alam, dan kehampaan spiritual, berupa kehilangan orientasi hidup
yang bermakna, merasakan kesedihan dan kegelisahan, dekadensi moral, angka
kriminalitas dan rasa ketakutan meningkat, bahkan sampai mengidap gangguan
kejiwaan.
Kritik terhadap modernisme Barat ini selanjutnya diikuti dengan berbagai
tawaran alternatif seperti tasawuf yang merupakan salah satu bentuk berpikir
naratif (narrative thinking), yang mencakup deskripsi konkrit manusia dan
hubungan interpersonal, serta diproses pada belahan otak kanan, sementara cara
berpikir yang lain adalah berpikir proposition (propositional thinking) yang
bersifat logis ilmiah dan abstrak dengan pemrosesan utama pada belahan otak
kiri.1
Tasawuf ditawarkan sebagai alternatif karena masyarakat modern yang
telah mencapai tingkat kemakmuran material sedemikian rupa dengan
perangkat yang serba mekanis dan otomatis, mereka bukannya semakin
mendekati ketenangan dan kebahagiaan hidup, namun justru kian dihinggapi
rasa cemas dan gelisah di tengah kemewahan dan kemajuan yang mereka raih.
Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari
integritas kemanusiaan telah terreduksi, kemudian terperangkap dalam jaringan
sistem teknologi dan industri yang tidak manusiawi. Semua krisis tersebut,
disebabkan karena masyarakat modern telah melakukan beberapa kesalahan
yang sangat fatal dan mendasar dalam membangun modernisme. Mereka
membuang dunia metafisika (Tuhan) dari kehidupan, salah merumuskan
tentang konsep manusia, menganggap manusia sebagai penguasa tunggal dunia,
serta terlalu mendewakan ilmu pengetahuan. Mereka hanya mengakui ilmu
pengetahuan sebagai satu-satunya kebenaran, padahal ilmu pengetahuan itu
sendiri memiliki beberapa kelemahan.2
Tasawuf merupakan jalan keluar yang paling tepat untuk mengatasi
masalah kejiwaan dan spiritual masyarakat modern. Dengan ajaran ruhaninya,
tasawuf dapat mengobati berbagai krisis modernisme dengan menghilangkan
s
Lihat Lynn Wilcox, Psichosufi: Terapi Psikologi Sufistik Pemberdayaan Diri, terj. Soffa
Ihsan (Jakarta: Pustaka Cendekiamuda, 2007), 184.
2
Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman,
1975), 56-57; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge-
Masssachusetts: Harvard University Press, 1968), 32. Juga Ahmad Miftah Saefuddin,
Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991), 26.
3
Muhammad Rasyid Salim, Muqaranah Saina al-Ghazali wa Ibnu Taymiyyah (Kuwait:
Dar al-Qalam, 1970), 9. Lihat juga dalam Montgomeri Watt, The of Practice of al Ghazali
(George and Unwin, 1953), 14.
4
Al-Ghazali hidup pada saat Daulah Bani Abbaiyah tunduk dibawah kekuasaan Bani
Saljuq. Pada saat yang sama kekuatan dinasti ini juga tengah diganggu gerakan batiniyah. Situasi
sosio-religius masa itu terbagi-bagi menjadi aliran-aliran yang banyak. Lihat Ahmad al-Syarbani,
Al-Ghazali wa al Tasawuf al Islam (Mesir: Dar al-Hilal, tt.), 35.
5
Al-Ghazali, Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, dalam Syekh Abdul Halim
Mahmud, Qadhiyyah al-Tashawwuf: Al-Munqizh min al-Dhalal (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1985),
26
masing. Padahal menurut al-Ghazali, pada dasarnya sumber kebenaran itu hanya
satu.
Kesucian dan kejernihan hati (qalb),6 secara sempurna dari segala sesuatu
selain Allah, menurut al-Ghazali, merupakan syarat utama menelusuri jalan sufi.
Oleh karena itu bagi para pengamal tasawuf, terlebih dahulu harus berupaya
menghapus (takhalli) sifat-sifat buruk (akhlaq al-mazmumah) yang ada pada
dirinya. Sifat-sifat buruk itu terdiri atas tiga kelompok, yaitu sifat buas
(sabu’iyah), sifat binatang (bahimiyah), dan sifat setan (syaithaniyah).7 Sifat buas
meliputi marah, ceroboh, takabur (merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari yang
lain), ‘ujub (heran dengan kelebihan yang ada pada diri sendiri) dan zhalim
(perilaku atau tindakan yang merugikan diri atau orang lain). Sifat binatang
ialah rakus, tamak, ria, dengki, bakhil (menahan diri untuk memberikan
sesuatu) dan lahw wa la’b (senda gurau dan main-main). Sedangkan sifat-sifat
setan adalah berbohong, tipu muslihat, merusak dan berkata kotor. Seluruh sifat
buruk ini dapat dihilangkan dengan melakukan langkah-langkah yang
dinamakan dengan riyadhah.8
lainnya dan telah nyata hasilnya. Inti dari perjalanan sufi adalah mensucikan
jiwa dari sifat-sifat tercela seraya mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Ilmu yang
dimaksud adalah pengetahuan tentang keadaan hati atau tahapan-tahapan
ruhani yang ditempuh dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, setelah
mempelajari ilmu keimanan dan hukum-hukum agama. Bagi al-Ghazali, jalan
yang ditempuh para sufi melalui ilmu dan amal, intinya adalah mengendalikan
nafs (jiwa) dan membersihkannya serta meneranginya dengan zikir kepada
Allah.10
Kaum sufi, menurut al-Ghazali adalah orang-orang yang merasakan secara
langsung, bukannya orang-orang yang hanya pintar berbicara. Apa yang
diperoleh dengan jalan ilmu sudah diperolehnya, dan tidak ada yang diperlukan
lagi kecuali sesuatu yang tidak dapat diperoleh dengan jalan mendengarkan atau
dengan belajar, melainkan dengan amal yakni merasakan dan menempuh jalan,
secara langsung,11 yakni mengendalikan jiwa (nafs).
Nafs memiliki karakter cenderung kepada kesenangan dan kemaksiatan.
Karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam berjuang
mengendalikan nafs dalam menolak atau melawan kesenangan dan kemaksiatan
yang lahir dari diri sendiri. Mengendalikan nafs sebagaimana dikatakan Nabi
adalah jihad al-akbar (perjuangan yang berat) sedangkan melawan pasukan
musuh ketika perang Badar digolongkan sebagai jihad al-ashghar (perjuangan
yang paling ringan). Hadits ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan
godaan yang muncul dari dalam diri sendiri adalah lebih berat daripada
perjuangan menghadapi musuh di medan perang. Musuh yang nyata dapat
dilihat wujudnya sedangkan nafs (jiwa) merupakan musuh yang tidak tampak
wujudnya.
Menurut al-Ghazali, ibadah merupakan rangkaian perjalanan hidup yang
penuh dengan kesulitan, banyak pendakiannya dan banyak bahayanya. 12 Segala
kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan ibadah merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan keinginan nafs. Oleh karena itu hakikat ibadah dalam
Islam ialah mengendalikan nafs.
Jiwa adalah sumber akhlak tercela, karena pada diri tidak hanya ada jiwa
insani (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah), tetapi juga jiwa nabati dan
hewani, sehingga nafs menjadi tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela.
10
Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, 372.
11
Al-Ghazali, al-Munqizh min al-Dhalal, 374.
12
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988),
7.
Menurut Suhrawardi,13 ada sembilan sifat buruk dalam jiwa; pertama, hawa
(hasrat, keinginan) yang senang mengumbar berbagai hasrat dan kemauannya.
Ia menempatkannya di dalam dada, dan memperturutkan segenap
keinginannya, bahkan tanpa batas. Kedua, nifaq (kemunafikan). Dalam sebagian
besar keadaan lahiriahnya, kondisi nafs tidak sesuai dengan keadaan batiniahnya.
Kehadiran dan ketidakhadiran manusia tidak sama di hadapannya. Dihadapan
manusia, nafs memuji dan menunjukkan ketulusannya. Namun dalam
ketidakhadiran seseorang, yang terjadi justru sebaliknya. Ketiga, riya’ dan
bersikap sombong seperti membanggakan kelimpahan harta, kedudukan dan
pangkat, memperlihatkan kehebatan, dan merasa tidak bergantung kepada
siapapun. Dalam istilah psikiatri inilah yang disebut ‘waham kebesaran’. Nafs
buruk ini ibarat wanita tua dengan penampilan menor, dan berwarna-warni.
Bagi anak-anak ia tampak indah, namun bagi orang dewasa, ia justru terlihat
sangat memuakkan. Keempat, mengklaim posisi ketuhanan (berkuasa), bersikap
keras kepala dan mau menang sendiri. Ia menginginkan agar orang lain
memujinya, mematuhi seluruh ajakan dan perintahnya, mencintainya di atas
segala segala sesuatu, menunjukkan ketakutan kepadanya dan mengharap belas
kasihnya. Kelima, serakah. Keinginan akan kemewahan dan mengumpulkan
segala hal, muncul karena keserakahan atau ketakutan akan kemiskinan di masa
mendatang. Sifat ini menimbulkan sifat cemburu, iri hati, kikir dan dengki pada
apa yang dimiliki orang lain. Keena, tamak dan meminta lebih banyak. Nafs
selalu dipenuhi dengan keinginan dan tidak mampu membatasi dirinya sendiri.
Ia tidak akan pernah merasa cukup dengan kebutuhan perutnya. Ini seperti
rayap yang merasa tidak cukup puas dengan cahaya lampu. Dengan tanpa
memahami bahaya panasnya, ia tidak memperhatikan peringatan dan
menceburkan dirinya ke dalam api sehingga terbakar. Ketujuh, sembrono dan
tergesa-gesa. Nafs tidak pernah diam dari segala keinginan. Ketika pikiran
tentang hasrat dan hawa nafsu menggelora, ia menjadi tidak sabaran dan segera
bertindak dan bergerak. Akibatnya muncullah kesembronoan dan ketergesa-
gesaan. Orang-orang bijak mengibaratkannya dengan sebuah bola yang di taruh
di sebuah padang yang datar dan rata. Bola tersebut pasti senantiasa bergerak.
Kedelapan, cepat bosan dan jenuh. Nafs seringkali merasa cepat jenuh dan bosan
pada segala sesuatu, sehingga apa yang diperolehnya, tidak membuat ia bahagia
kecuali hanya kesenangan sesaat. Setelah itu, ia kembali pada keadaan semula,
terombang-ambing dalam kegelisahan. Apabila ia meraih keberhasilan, maka ini
13
Syaikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, A Dervish Texbook from the ‘Awarif al-Ma’arif,
133-136.
juga akan mendatangkan kebencian dirinya pada orang lain. Dan kesembilan,
lalai (ghaflah). Jika nafs bergegas untuk memenuhi hasrat dan keinginannya,
maka ia pun akan bermalas-malasan dalam menunaikan ibadah dan beramal
kebajikan.
Mengendalikan nafs, merupakan langkah penting yang harus ditempuh
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Nafs yang harus dikendalikan itu ialah
nafs (jiwa) rendah yang mengajak manusia bermaksiat kepada Allah. Dalam Al-
Qur an disebutkan tiga macam nafs. Pertama, nafs ammarah, jiwa yang
mengajak manusia berbuat maksiat. Kedua, nafs lawwamah, jiwa yang bersifat
mencela atau memberontak kepada perbuatan tercela namun belum dapat
menjaga diri atau meninggalkan perbuatan tercela serta belum sepenuhnya
muncul kesadaran untuk melakukan perbuatan yang terpuji. Ketiga, nafs
muthmainnah, jiwa yang tenang, yang senantiasa ingin berbuat baik dan tidak
pernah tergoda untuk berbuat jahat. Nafs muthmainnah ialah jiwa yang rela
kepada Allah dan Allah rela kepadanya. Ia adalah jiwa yang menyukai apa yang
disukai oleh Allah dan sebaliknya. Jiwa inilah yang mendapat jaminan Allah
langsung masuk ke dalam syurga dan selalu berhubungan dengan ruh yang
bersifat ketuhanan dan menjadi sumber kebaikan.14
14
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid III, 4.
15
Syahwat (al-syahwah) berarti selera, kesukaan, kegemaran, godaan, dan keinginan (al-
rughbah) sedangkan al-hawa berarti kecintaan (al-hubb), keinginan, kecenderungan, kesukaan,
dan kesenangan (al-mail). Syahwat ini bersifat seksual (al-ghulmah), nafsu hewani (al-bahimah)
libido (al-jinsiyat al-ghariziyah). Secara terminologi, al-syahwah adalah gerakan nafs untuk
mendapatkan perkara keji sementara al-hawa berarti kecenderungan nafs kepada syahwat yang
menyenangkan tanpa ada seruan syara‘. Lihat, Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani, Kitab al-
Ta‘rifat (Beirut: Dar al-Kitb al-‘Arabi, 1996), 170 dan 320.
16
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), 108.
17
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 81-84.
18
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, jilid III, 47.
19
Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, pent. Abdullah Zakiy
al-Kaaf (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 28.
20
Al-Ghazali, Kitab Adab fi al-Din (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyah, tt), 173-174.
21
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 82.
22
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, 110.
menjadi sabar dan makanan haram atau syubhat membuat seseorang cenderung
tidak sabar. Bagi al-Ghazali perbuatan dan ucapan seseorang sangat bergantung
kepada makanan dan minumannya. Jika yang dikonsumsi adalah makanan
haram maka yang akan keluar juga sesuatu yang haram. Begitu pula jika yang
dikonsumsi adalah sesuatu yang berlebihan maka yang keluar juga demikian.
Makanan dan minuman itu ibarat benih, sedangkan perbuatan merupakan
tumbuhan yang tumbuh dari benih tersebut.23
Konsumsi makanan halal ini dapat menjaga keseimbangan jiwa. Ia
mampu menumbuhkan sikap juang yang tinggi dalam menegakkan ajaran
kebenaran (al-haq). Selain itu, ia juga menjadi jalan untuk membersihkan hati
dan menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak diperlukan. Makanan halal yang
dikonsumsi akan tumbuh dan berkembang menjadi daging bersamaan dengan
meningkatnya kualitas keshalehan lahir dan batin. Lebih dari itu, makanan halal
dapat menumbuhkan keyakinan diri bahwa Allah dekat dengan kita yang selalu
mendengarkan permintaan doa kita.24
23
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah, 83.
24
Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani (Jakarta: PT. al-Mawardi Prima, 2003), 83-86.
25
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 104.
26
Abu Hamid al-Ghazâlî, Menyingkap Rahasia Dua Alam, pent. Kamran As’ad Irsyadi
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 142.
27
Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, 100.
28
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 104.
29
“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu menikah maka
menikahlah. Karena menikah merupakan jalan terbaik untuk menjaga pandangan dan menjaga
kemaluan. Barangsiapa belum mampu (menikah) maka berpuasalah, sebab puasa dapat menahan
pandangan dan menjaga kemaluan (HR. Bukhari).
30
Nabi bersabda: “Sesungguhnya setan bergerak dalam diri manusia mengikuti aliran
darah,maka persempitlah jalan-jalan setan dengan lapar dan haus”. Dikutip dari al-Ghazali, Kitab
al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79.
31
Munajat adalah tradisi dalam Islam yang merupakan sebuah bentuk doa pribadi dan
permohonan. Inilah percakapan penghambaan antara sang pencinta dan Allah sebagai Kekasih.
Munajat adalah saat yang terdekat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Dalam munajat,
seorang hamba berbicara dan berdialog dengan Tuhan dalam ibadahnya, karena ia berada di
hadapanNya tanpa penghalang dan perantara siapapun. Munajat lebih merupakan percakapan
rahasia yang terkadang diungkapkan dengan tradisi puitis. Ia merupakan salah satu diantara
empat aktifitas ibadah ritual dalam spiritualitas Islam, selain shalat, doa dan dzikr. Rabi’ah al-
Adawiyah adalah seorang sufi yang terkenal dengan munajatnya. Lihat, Michael A. Sells, (ed.),
Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic, and Theological Writings, terj. Alfatri,
Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal (Bandung: Mizan Pustaka,
Maret 2004), 33, 110 dan 282.
32
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79-81.
33
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid IV, 28.
34
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Citra Serumpun, 1990), 245.
35
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 111.
36
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, jilid III, 341-342.
Al-Ghazali, Etika Islami: Bimbingan Awal Menuju Hidayah Ilahi, pent. Abdullah
Zakiy al-Kaaf. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-din, Jilid III-IV. Mesir: Isa al-Halabi, 1968.
Al-Ghazali, Kitab Adab fi al-Din. Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyah, tt.
Al-Ghazali, Kitab al-Arba‘un fi Ushul al-Din, 79.
Al-Ghazâlî, Menyingkap Rahasia Dua Alam, pent. Kamran As’ad Irsyadi.
Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Al-Ghazali, Mi’yar al-‘ilm , pentahqiq Sulaiman Dunia. Mesir: Dar al-Ma’rif, tt.
Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin ila al-Jannah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1988.
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.
Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat. Beirut: Dar al-Kitb al-
‘Arabi, 1996.
Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta: Citra Serumpun, 1990.
Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Jilid V.
Lynn Wilcox, Psichosufi: Terapi Psikologi Sufistik Pemberdayaan Diri. Terj. Soffa
Ihsan. Jakarta: Pustaka Cendekiamuda. 2007.
Michael A. Sells, (ed.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic, and
Theological Writings, terj. Alfatri, Terbakar Cinta Tuhan: Kajian Eksklusif
Spiritualitas Islam Awal (Bandung: Mizan Pustaka, Maret 2004.
Montgomeri Watt, The of Practice of al Ghazali. George and Unwin, 1953.
Muhammad Rasyid Salim, Muqaranah Saina al-Ghazali wa Ibnu Taymiyyah.
Kuwait: Dar al-Qalam, 1970.
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man. London: Longman,
1975.
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Manifestations.
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam. Cambridge-
Masssachusetts: Harvard University Press, 1968.
Syaikh Syihabuddin ‘Umar Suhrawardi, A Dervish Texbook from the ‘Awarif al-
Ma’arif.
Thobieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan
Kesucian Rohani. Jakarta: PT. al-Mawardi Prima, 2003.
Ricky Firmansyah
Program Studi Islam dan Psikologi, Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia
firmansyah.ricky@gmail.com
Abstract
The literature of sufistic-based psychotherapy studies has not been widely
studied in psychology, nor is its use as structured and systematic as modern
psychotherapy. Al-Ghazali's Sufi background makes a lot of works of kalasik
psychology among them is the book Minhajul 'Abidin which contains stages of
purifying worship and overcoming the problem. This study aims to explain the
relevance of Minhajul 'Abidin as a Sufic Psychotherapy in terms of Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT). Using the literature study method with
primary data source is the book Minhajul 'Abidin. Analysis method using
content analysis and comparative analysis. This study shows that there is
relevance of Minhajul 'Abidin model as psychotherapy.
Keywords: Minhajul ‘Abidin, Sufi psychotherpy, Rasional Emotive Behavior
Therapy (REBT).
Abstrak
Literatur kajian psikoterapi berbasis sufistik belum banyak dikaji dalam
psikologi, begitu juga penggunaannya masih belum terstruktur dan sistematis
seperti psikterapi modern. Al-Ghazali yang berlatar belakang sufi banyak sekali
mebuat karya psikologi kalasik diantaranya adalah kitab Minhajul ‘Abidin yang
memuat tahapan-tahapan memurnikan ibadah dan mengatasi permasalahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Relevansi Minhajul ‘Abidin Sebagai
Sebuah Psikoterapi Sufistik Ditinjau dari Rasional Emotive Behavior Therapy
(REBT). Menggunakan metode penelitan studi pustaka dengan sumber data
primer adalah kitab Minhajul ‘Abidin. Metode analisa menggunakan analisis isi
163
Ricky Firmansyah
dan analisis komparasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada relevansi amodel
Minhajul ‘Abidin sebagai psikoterapi.
PENDAHULUAN
Menurut Victor Frankl, esistensi manusia ditandai oleh kerohanian
(spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility), beliau
menyadari bahwa adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara
universal ada pada setiap orang terlepas itu dari ras, agama, dan keyakinan yang
dianut. Kemudia memahami bahwa sumber-sumber dan potensi tersebut sering
ditekan, terhambat, dan diabaikan, bahkan terlupakan. Sehingga perlu
memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan
untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan orang merasa
menemukan arti hidupnya, keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai
kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan serta cinta kasih.
Banyak orang yang merasa menemukan arti hidupnya dari agama yang
diyakininya bahkan menghidupkan kembali ritual-ritual keagamaan dapat
menghantarkan seseorang kepada penemuan makna hidup. Kegagalan seseorang
dalam menemukan makna, biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa
makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa
hidupnya tak berarti, bosan dan apatis. Kegagalan ini juga bisa menjelma dalam
bentuk kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will of
power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will of pleasure), termasuk
kenikmatan seksual (the will of sex), bekerja keras (the will to hard work) dan
mengumpulkan uang (the will of money).
Keterlibatan religius dalam kehidupan kembali ramai dibicarakan, survei
menunjukkan bahwa proporsi populasi dunia yang signifikan memiliki
keyakinan dan praktik keagamaan yang penting bagi kehidupan sehari-hari.
Misalnya, World Gallup Poll mensurvei populasi perwakilan dari 143 negara
(n= 140, 000), dan menemukan bahwa 92 persen orang di 32 negara
berkembang mengindikasikan bahwa agama merupakan bagian penting dalam
kehidupan sehari-hari. Selanjutnya peninjauan yang dilakukan lebih dari 3.300
studi yang meneliti hubungan masalah spiritual-relijgius dengan kesehatan
mental dan fisik, perilaku dan hasil kesehatan. Koenig (2012) mempresentasikan
model teoritis yang menggambarkan beberapa jalur dimana spiritual-religius
dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Penelitian yang dilakukan Rosmarin dkk. (2013) mengenai relevansi
spiritualitas terhadap hasil pengobatan psikiatri dengan peserta 159 pasien yang
menerima perawatan di rumah sakit jiwa dan berpartisipasi dalam program
perawatan cognitive behavior therapy (CBT). Hasil menunjukkan bahwa
kepercayaan pada Tuhan secara signifikan terkait dengan penurunan tingkat
depresi dan peningkatan kesejahteraan psikologis, tingkat harapan klien yang
lebih tinggi dan persepsi tentang kredibilitas pengobatan, dan peningkatan hasil
perawatan psikiatri.
Gejala depresi dan praktik religius - spiritual tersebar luas di seluruh dunia,
namun mereka hanya mendapat sedikit perhatian dari para profesional
kesehatan mental. Penelitian kuantitatif yang meneliti hubungan antara
keterlibatan religius - spiritual dan gejala atau gangguan depresi selama 50 tahun
terakhir (1962 sampai 2011). Setidaknya 444 studi sekarang telah secara
kuantitatif memeriksa hubungan ini. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60%
melaporkan lebih sedikit depresi dan pulih lebih cepat dari depresi pada orang
yang mengalami religius – spiritual atau penurunan tingkat keparahan depresi
sebagai respons terhadap intervensi riligius - spiritual. sedangkan 28 penelitian
(6%) menemukan hal yang sebaliknya.
Keyakinan dan praktik agama dapat membantu orang mengatasi keadaan
hidup yang penuh tekanan, memberi makna dan harapan, dan mengelilingi
orang-orang yang depresi dengan komunitas yang mendukung. Weisman de
Mamani, Weintraub, Gurak dan Maura (2014) melaporkan sebuah penelitian
tentang efektivitas Culturally Informed Therapy for Schizophrenia (CIT-S)
dalam mengurangi tingkat keparahan gejala pada pasien. Modul penanganan
spiritual mencakup diskusi tentang keyakinan akan keberadaan, makna dan
tujuan tertinggi, dan penggunaan praktik spiritual oleh pasien seperti meditasi
dan doa. Kelompok pembanding diberi modul psiko-pendidikan. Hasil
mendukung hipotesis bahwa intervensi CIT-S akan mengurangi gejala kejiwaan
dibandingkan dengan kelompok control.
Berdasarkan penelitian-penelitian diatas Pengintegrasian dimensi religius -
spiritual dalam psikoterapi baik sebagai bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan individu, maupun sebagai bentuk terapeutik saat ini
telahkembali kepada sebagaimana mestinya, dimana dimensi religius - spiritual
menjadi bagian dalam perkembangan individu. Pelibatan religius - spiritualitas
dalam psikoterapi ketika dimanfaatkan dengan tepat dapat menjadi pendekatan
KRITERIA ABNORMALITAS
Menurut Coleman, ada beberapa kriteria yang, baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dapat dipakai untuk menentukan atau mengukur
abnormalitas. Beberapa kriteria yang dimaksud adalah penyimpangan dari
norma statistik, penyimpangan dari norma-norma sosial, gejalah “salah sesuai”
(maladjustment), tekanan batin, dan ketidak matangan. Tampaklah, tidak
mudah menentukan batas tegas antara yang normal dan tidak normal. Kriteria
tersebut adalah:
1. Penyimpangan dari norma-norma statistik, menurut patokan ini yang
disebut abnormal adalah setiap hal yang luar biasa, tidak lazim, atau secara
harfiah, yang menyimpang dari norma.
2. Penyimpangan dari norma-norma sosial. Abnormal diartikan sebagai
nonkonformitas, yaitu sifat tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma
sosial. Ini yang disebut relativisme budaya: apa yang umum atau lazim
adalah normal, walaupun kita tidak selalu sepakat, namun patokan ini
sering berlaku dalam masyarakat
3. Gejalah “salah sesuai” (Maladjusment). Disini abnormalitas dipandang
sebagai ketidakefektifan individu dalam menghadapi, menanggapi atau
melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan fisik dan sosialnya
maupun yang bersumber dari berbagai kebutuhannya sendiri.
4. Tekanan batin. Abnormalitas dipandang berwujud perasaan-perasaan
cemas, depresi atau sedih, atau rasa bersalah yang mendalam.
5. Ketidak matangan. Disini seseorang disebut abnormal bila perilakunya tidak
sesuai dengan tingkat usianya, tidak selaras dengan situasinya.
Coleman, Buctcher dan Carson dengan tetap menyadari kekurangannya,
akhirnya menggunakan dua kriteria, yaitu abnormalitas sebagai penyimpangan
dari norma-norma masyarakat dan abnormalitas dalam arti apa saja yang bersifat
maladaftif. Kriteria kedua berarti apa saja yang tidak menunjang kesejahteraan
sang individu, sehingga pada akhirnya juga tidak menunjang kemaslahatan
masyarakat. Yang diamaksud kesejahteraan atau kemaslahatan meliputi baik
kebahagiaan muapun perkembangan pencapaian pemenuhan diri atau
aktualisasi dari berbagai kemampuan yang dimiliki. Diantara kedua patokan ini
mereka cenderung menekankan yang kedua. “ kriteria terbaik untuk
menentukan normalitas perilaku bukanlah bahwa masyarakat menerima atau
menolaknya, melainkan apakah perilaku meningkatkan kesejahteraan individu
dan akhirnya juga kemaslahatan masyarakat. (A. Supratiknya, 1995: 14)
PSIKOTERAPI
Psikoterapi merupakan sebuah interaksi sistematis antara pasien dan
terapis yang menggunakan prinsip-prinsip psikologis untuk membantu
menghasilkan perubahan dalam tingkah laku, pikiran, dan perasaan pasien
untuk membantu pasien mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan
masalah-masalah dalam hidup atau berkembang sebagai seorang individu. Ciri-
ciri psikoterapi adalah sebagai berikut ( Yustinus Semiun, 2006: 336-337):
bersabar? Karena ada yang berbeda pada kognisinya, dalam hal ini kepercayaan
orang tersebut. Kejadian tetaplah netral, karena kepercayaan yang diyakininya
berbeda maka konsekuensinya pun menjadi berbeda pada setiap orang.
Alber Ellis memformulasi REBT pada tahun 1950 dan memberikan
argumentasi bahwa manusia cenderung berbicara pada diri sendiri dan defensif.
Mulai bermasalah dalam emosi dan tingkah laku ketika mereka tertarik untuk
memiliki kebutuhan tertentu (kebutuhan akan cinta, pengakuan atau
keberhasilan) dan membuat kesalahan dengan menganggap kebutuhan tersebut
adalah sebagai mutlak dipenuhi. Kata-kata ‘harus’, ‘mesti’, ‘berhak’, ‘menuntut’,
‘perintah’, dan sejenisnya akan meningkatkan keinginan seseorang untuk
menjadi irasional. Pola pikir yang tidak rasional akan menimbulkan gangguan
perasaan dan selanjutnya menghasilkan gangguan tingkah laku (A. Kasandra,
2016:161)
Tiga wawasan utama REBT:
1. Gangguan emosional sebagian besar ditentukan oleh keyakinan irasional
(penaklukan diri). Kita merasa sesuai dengan apa yang kita pikirkan.
2. Kita merasa terganggu saat ini karena terus-menerus mencuci otak kita
sendiri dengan keyakinan-keyakinan seperti, menerima keyakinan tertentu
tanpa bersikap kritis.
3. Satu-satunya cara untuk menanggulangi gangguan kita adalah dengan
bekerja keras, gigih, kadang-kadang seumur hidup, dan dengan berlatih
untuk berfikir, berperasaan, dan bertindak dengan kuat melawan
keyakinan-keyakinan irasional.
REBT menawarkan model yang relatif sederhana untuk memahami
bagaimana aspek pemikiran seseorang bisa menciptakan perasaan terganggu, dan
untuk mengatasi pikiran-pikiran yang mengganggu seperti itu, maka
menggunakan model ABCDE:
A: Activating event, peristiwa yang memicu
B: Belief, keyakinan yang mendasari pandangan seseorang tentang persitiwa
tersebut.
C: Conscequence. Konsekuensi perilaku dan emosi terutama ditentukan oleh
kepercayaan seseorang tentang peristiwa tersebut.
D: Disputing, mendebatkan keyakinan yang menyebabkan gangguan.
E: Effective, pandangan rasional efektif baru yang diikuti perubahan emosional
dan perilaku.
REBT menunjukkan bahwa reaksi-reaksi emosional terhadap kejadian-
kejadian hidup yang tidak menyenangkan dapat dibagi menjadi emosi-emosi
negative yang tidak sehat dan sehat sebagai berikut.
maupun batin. Ketiga, ilmu sir atau ilmu hati (tasawuf), yakni ilmu yang
berhubungan dengan hati dan amalan-amalanya.
Tahap 2: Taubat
Menurut al-Ghazali kemalangan dan kesengsaraan orang yang beribadah
yang kemudian hilangnya pahala karena seseorang tidak mempelajari ilmu, dia
tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kepayahan dan kesusahan yang tidak
berguna. Setelah seseorang menyadarinya maka orang tersebut akan bertaubat.
Kemalangan dan kesialan merupakan hasil dari perbuatan dosa dan
perbuatan dosa menghambat seseorang untuk berupaya mematuhi dan
mengabdi kepada Allah, karena tumpukan dosa memberatkan langkah menuju
kebaikan dan menjadikan seseorang malas untuk mentaati-Nya. Dua alasan
kenapa seseorang perlu bertaubat. Pertama, agar seseorang mendapatkan
pertolongan Allah guna mencapai ketaatan. Kedua, agar semua amal ibadah
diterima oleh Allah. Seseorang wajib melakukan taubat, karena perbuatan dosa
yang terus menerus dilakukan dapat membuat kalbu menjadi hitam, sehingga
yang didapatkan hanyalah kegelapan, kekerasan, tiada keihlasan, kenikmatan
dan kesucian. Jika Allah tidak memberinya anugerah dan rahmat-Nya, dosa-
dosanya itu akan menghantarkannya menuju kekufuran dan kesengsaraan
(Ghazali, 2016:46).
Tahap 3: Tahap menghadapi godaan ibadah (‘awaiq)
Setelah seseorang melewati tahapan taubat, selanjutnya, dia akan sadar,
dan memahami bahwa disekelilingnya masih ada berbagai godaan yang kerap
menghampirinya. Setiap godaan itu dalam bentuk tertentu akan menghalangi
dirinya untuk maksud dan tujuan ibadah (Ghazali: 2016: 21-22).
Dalam proses menjalani kehidupan, manusia akan menghadapi godaan
hidup (awaiq), menurut Ghazali godaan ini ada empat macam, dua di
lingkungan ekternal, diluar diri yaitu: dunia dan manusia, sedangkan yang dua
lagi berada di lingkungan internal, di dalam diri, yaitu: nafsu dan setan. Nafsu
dan setan bekerja pada diri kita dalam bentuk khatir yaitu lintasan hati atau
pikiran.
Untuk fokus pada tujuan ibadah tahapan yang harus dilewati ada empat
cara. Pertama, tajarud ‘aniddunya, yaitu membulatkan tekad sehingga
kesenangan dunia tidak menggoyahkan dan melalaikannya. Kedua, menjaga diri
dan selalu waspada agar tidak tersesat oleh godaan orang lain. Ketiga,
memerangi setan dengan segala tipu dayanya. keempat, mampu mengendalikan
hawa nafsu. Keterampilan yang keempatlah dalam hal ini mengendalikan hawa
nafsu yang paling sulit dilakukan, sebab seseorang tidak mungkin mematikan
dan akhlak rendah dari jiwa. Dan jiwa yang sehat adalah jiwa yang menarik
keutamaan dan akhlak yang baik pada jiwa.
2. Konsep psikoterapi
Dalam ihya ‘ulumuddin, Penyakit hati tidak mungkin dapat diobati kecuali
dengan obat-obatan yang diambil dari syariat agama, seperti tugas-tugas
ibadah dan amalan-amalan yang disusun oleh nabi-nabi untuk perbaikan
hati. Dan penyakit hati tidak cukup diobati dengan ilmu akal saja.
3. Konsep Tahapan terapi al-Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin
Al-Ghazali juga menyusun tahapan terapi dengan cara sistematis dan
terstruktur dalam Minhajul ‘Abidin, yaitu:
Tahap 1: ilmu
Tahap 2: taubat
Tahap 3: menghadapi godaan ibadah (‘awaiq)
Tahap 4: menghadapi rintangan ibadah (‘awaridh)
Tahap 5: pendorong ibadah (bawa’its)
Tahap 6: perusak ibadah (qawadih)
Tahap 7: pujian dan syukur (al-hamd wasyukr)
4. Teknik terapi al-Ghazali
a. Teknik imajeri
Al-Ghazali mengobati penyakit hati diantaranya adalah mengajak
seseorang untuk membayangkan dalam pikirannya perilaku yang buruk
dan mengubahnya dengan perilaku yang baik. Misalnya prilaku sombong,
Ghazali meminta orang tersebut mengimajinasikan dirinya menjadi orang
yang tawadhu’.
b. Teknik perilaku berkebalikan
Obat penyakit hati adalah kebalikannya, al-Ghazali meberikan perlakuan
kepada pemilik penyakit hati dengan merubah perilaku kebiasaan
buruknya dengan perilaku baru yang lebih adaptif, seperti apabila
seseorang itu pelit maka terapinya adalah bersedekah, apabila pemarah
terapinya adalah sabar, rakus maka terapinya adalah qona’ah.
c. Teknik pekerjaan rumah
Untuk menguatkan perilaku positif dan membersihkan hati al-Ghazali
memberikan tugas-tugas yang harus dilaksanakan sehari-hari, seperti zikir
pagi-sore, zikir harian, puasa, sholat sunnah, doa-doa dan membaca
quran.
d. Teknik kognitif
Membedakan khatir dari Allah dan khatir dari malaikat atau ilham
(Ghazali, 2016:101):
Apabila kita ingin mengetahui, mana kebaikan dari Allah dan mana yang
dari malaikat, tinjaulah tiga segi:
a) Jika bisikan itu memantapkan hati dan memberikan kebijaksanaan,
berarti datang dari Allah. Dan apabila berubah-ubah, berarti datang
dari malaikat. Sebab malaikat hanya sebagai penasihat. Ia menyertai
manusia pada tiap-tiap kebaikan dan memberikan petunjuk kepada
manusia dengan harapan agar suka melaksanakan kebaikan.
b) Bila bisikan baik mengiringi kesungguhan seseorang dalam taat
beribadah, berarti datang dari Allah.
Apabila bisikan tersebut mengenai hal pokok (I’tiqad) dan amalan batin,
berarti itu dari Allah. Jika mengenai furu’ (cabang) dari ilmu lahir, pada
umumnya dari malaikat. Sebab, malaikat tidak dapat mengetahui secara
mendalam mengenai batin hamba Allah.
4. Kesamaan teknik terapi yang digunakan REBT dan Al-Ghazali, baik itu
teknik imajeri, teknik perilaku berkebalikan, teknik pekerjaan rumah dan
teknik kognitif.
5. Mengatasi pikiran-pikiran yang mengganggu dengan Model ABCDE, dan
Minhajul ‘Abidin mengatasi pikiran atau khatir bisa disesuaikan dengan
model ABCDE.
A: Activating event, dua cobaan ibadah yaitu dunia dan manusia. Serta
empat rintangan ibadah.
B: Belief, keyakinan irasional yang bersumber dari hawa nafsu dan setan.
C: Conscenquence, mengakibatkan kesusahan dan kepayahan.
D: Disputing, mendebatkan dengan syariat, perilaku salafus soleh, dan
fokus tujuan ibadah.
E: Efeftive, efektif meraih pertolongan Allah.
6. REBT dan Minhajul ‘Abidin sama-sama memahami bahwa salah satu cara
untuk menanggulai gangguan adalah dengan bekerja keras, gigih, kadang-
kadang seumur hidup, dan dengan berlatih untuk berfikir, dan al-Ghazali
menambahkan dengan senantiasa menuntut ilmu dan tetap menjalankan
kewajiban syariat untuk selalu mendapatkan pertolongan Allah.
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep dalam Minhajul ‘Abidin sangat relevan untuk dijadikan
psikoterapi modern, setelah meninjau kesesuaian terhadap psikoterapi modern
dalam hal ini Emotive Behavior Therapy (REBT), model dan konsep ini bisa
diaplikasikan dalam psikoterapi dengan keunggulan memiliki pendekatan yang
sangat kental dengan wawasan sufistik, oleh karenanya Minhajul ‘Abidin relevan
untuk disebut psikoterapi sufistik.
Saran
1. Model Minhajul ‘Abidin direkomendasikan untuk klien yang sangat religius
yang membutuhkan psikoterapi.
2. Terapis bisa menyisipan dan mengkolaborasikan sebagian teknik-teknik al-
Ghazali dengan teknik-teknik psikoterapi lainnya.
3. Penelitian ini merupakan kajian awal yang berupa studi pustaka diharapkan
penelitian selanjutnya menggunakan penelitan eksperimen.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam. Ihya ‘ulumuddin Jilid III-IV, diterjemahkan olehTengku
Haji Ismail Yaqub, Medan: Imballo, 1964.
Al-Ghazali, Imam. Minhajul ‘Abidin, diterjemahkan oleh M. Rofiq,Yogyakarta:
Diva Press, 2016.
Bastaman, H.D. Logoterapi Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan
Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
Hidayat, Eyet. Pengaruh Cognitive behavior Therapy (CBT) dan rational
Emotive Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku Kekerasan dan Harga
Diri Rendah Di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Depok:
Universitas Indonesia, 2011.
Koenig, H. G. Religion, spirituality, and health: The research and clinical
implications. ISRN Psychiatry. 2012.
http://www.hindawi.com/journals/isrn/2012/278730/abs/
Palmer, Stephen (ed). Konseling dan Psikoterapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Putranto, A. Kasandra. Aplikasi Cognitive Behavior dan Behavior Activation
Dalam Intervensi Klinis, Jakarta: Grafindo Books Media, 2016.
Rosmarin, D. H., Bigda-Peyton, J. S., Kertz, S. J., Smith, N., Rauch, S. L., &
Björgvinsson, T. A Test Of Faith In God And Treatment: The
Relationship Of Belief In God To Psychiatric Treatment Outcomes.
Journal of Affective Disorders, 146, 441-446. 2013.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jad.2012.08.030
S. Crabtree and B. Pelham, World Gallup Poll: Religion Provides
Emotional Boost to World's Poor, The Gallup Poll, 2009,
http://www.gallup.com/poll/116449/Religion-Provides-Emotional-
Boost-World-Poor.aspx.
Semiun, Yustinus. OFM. Kesehatan Mental 3, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Supratiknya. A. Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Weisman de Mamani, A., Weintraub, M. J., Gurak, K., & Maura, J. A
randomized clinical trial to test the efficacy of a family-focused, culturally
informed therapy for schizophrenia. Journal of Family Psychology, 28,
800-810. 2014. Advance online publication.
http://dx.doi.org/f10.1037/fam0000021
Zed, mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Jakarta,
2008.
Dalmeri
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
dalmeri300@gmail.com
Abstract
Progress in science and technology developments, science but to the point where
the problems were becoming increasingly complex. Narrative of the lives of men
directed to flow from one form of desire to form the release of the release of
desire from one form of satisfaction to the satisfaction from one image to image
next without break. In the perspective of the other, the terms of political
discourse, economy, social culture, and the media in the global community
having a tendency lost his role as that of moral values. There are symptoms of
and vigor of deconstruction, that produces antagonism moral. This fact
demanding modern man to do spiritual enlightenment to more keep harmony
life, good to nature as well as with a fellow human being.Related to this graph,
the role of sufism who presents values affection, peace, and equlity. Through
sufism, humans can control a machine of her desire revved up driven at high
speed by global capitalism. Sufism al-ghazali dialogue with Various religions,
variety of spirituality and all of which actually unreligion today in dealing with
problems of grew up together dehumanity. That is why sufism al-ghazali can
play role as a door modern man to enter at universal harmony, something that
fails to offered by that emphasize exoteric formalism. The significance to sufism
today not only on formal piety but they even especially on ethics in the middle
of the hegemony of global culture as. This study attempted to analyze
historically with the approach philosophical about khazanah sufism al-ghazali in
responding to the challenge the hegemony of global culture.
Keywords: Sufism, tharekat, spirituality, diversity, harmonization
185
Dalmeri
Abstrak
Kemajuan ilmu pengetahuan dan sains teknologi yang pesat, namun
memunculkan problem yang makin rumit. Narasi kehidupan manusia
diarahkan untuk mengalir dari satu bentuk pelepasan hasrat ke bentuk pelepasan
hasrat dari satu bentuk kepuasan ke kepuasan berikutnya, dari satu citra ke citra
berikutnya, tanpa henti. Pada segi yang lain, wacana politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan media dalam masyarakat global memiliki kecenderungan
kehilangan perannya sebagai pengemban nilai-nilai moral. Ada gejala dan
semangat dekonstruksi, yang menghasilkan antagonisme moral. Kenyataan ini
menuntut manusia modern untuk melakukan pencerahan spiritual guna lebih
menjaga harmoni kehidupan, baik dengan alam maupun dengan sesama
manusia. Terkait dengan gejala ini, peran sufisme yang menyajikan nilai-nilai
kasih sayang, perdamaian, dan kesahajaan. Melalui sufisme, manusia dapat
mengendalikan mesin hasratnya yang dipacu kencang oleh kapitalisme global.
Sufisme Al-Ghazali membuka kemungkinan dialog dengan berbagai ragam
spiritualitas agama-agama, maupun non-agama yang semuanya sebenarnya
dewasa ini menghadapi masalah besar bersama yaitua ncaman kemanusiaan.
Karena itu, sufisme Al-Ghazali dapat berperan sebagai pintu manusia modern
untuk masuk pada universal harmony, sesuatu yang gagal ditawarkan oleh
keberagamaan yang hanya menekankan formalisme-eksoterik. Signifikansi
sufisme dan tasawuf dewasa ini bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru
terutama pada etika di tengah hegemoni budaya global. Penelitian ini berupaya
untuk menganalisi secara historis dengan pendekatan filosofis tentang khazanah
sufisme Al-Ghazali dalam merespon tantangan hegemoni budaya global.
Kata kunci: sufisme, tarekat, spiritualitas, keberagaman, harmoisasi
PENDAHULUAN
Dinamika sejarah Umat Islam memuat pro kontra atau kritik yang cukup
tajam terhadap sufisme, lebih khusus tarekat. Para pemikir Islam yang
cenderung literalis dan legalis menentang praktek-praktek sufi karena dianggap
menyediakan sarana bagi keyakinan-keyakinan non-Islam (Belhaj 2013: 83).
Opisisi terkuat terhadap tarekat datang dari gerakan Wahabiyah yang
mengkritik keras tarekat karena dinilai memperkukuh kepercayaan takhayul
yang berakar kuat dalam masyarakat awam (Dahlan et al. 2013: 69).
Tidak sedikit para peneliti Barat yang mempunyai pandangan bahwa
tarekat adalah gerakan yang dipastikan akan merosot, karena negara-negara
muslim telah mengikuti model-model pembangunan Barat, dan kaum elit
186 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global
di Jurjan (Syofrianisda and Abduh 2017: 71). Selama itu pula dia sempat
mempelajari Tasawuf dari Yusuf Nassaj (W. 487 H).
Setelah kurang lebih tiga tahun berada di tempat kelahirannya, Al-Ghazali
dalam usianya yang ke 20 pergi ke Naisapur, masih wilayah Khurasan salah satu
daerah terpenting sebagai pusat pemikiran pada dunia Islam ketika itu untuk
berguru pada Maha Guru di tempat tersebut, Al-Juwaini (419-478 H / 1028-
1085 M) yang bergelar Imam al-Haramain (Corbin, Sherrard, and Sherrard
2014: 272). Di sini pula Al-Ghazali diperkenalkan dengan berbagai cabang ilmu
yang berkembang ketika itu, seperti Teologi, Logika, Filsafat, Metode berdiskusi
dan lain-lain (Garden 2011: 582). Di antara murid-murid al-Juwaini, Al-
Ghazali adalah yang paling menonjol, sehingga dalam usianya yang masih muda
sudah mampu mengarang buku dalam bidang metodologi dan teori hukum
(Ushul Fiqh), al-Mankhul fi ‘Ilmil Ushul (Habibi 2016: 76).
Penting untuk dicatat, mulai dari sini bahwa dasar pengetahuan awal Al-
Ghazali adalah Fiqh Syafi’i, Tasawuf dan Teologi Al-Asy’ari. Dalam sejarahnya,
Syafi’i adalah seorang Faqih (dan Muhaddis juga) yang berusaha mengambil
jalan tengan antara Fiqh yang berwatak rasional, Hanafi dan tradisional, Maliki.
Syafi’i mencoba mensintesakan antara dua titik ekstrim tersebut. Hasil dari
sintesa itulah yang kemudian menjadi corak mazhab Syafi’i. Begitupun dengan
Asy’ariyah. Mainstream awal yang bercorak demikian itu yang kelak
mempengaruhi karir intelektual Al-Ghazali (AS 2016: 3). Selain itu juga perlu
dikemukakan bahwa falsafah yang diterima Al-Ghazali dari guru yang sangat
berpengaruh tersebut adalah falsafah yang ‘dibaca’ dengan ‘kacamata’ kalam.
Sebenarnya hal ini karena Al-Juwaini bukan seorang Filosof. Meskipun
demikian Al-Juwaini berusaha memadukan kedua ilmu tersebut yang ketika itu
saling berkompetisi (Hodgson and Rogers D. Spotswood Collection. 1974:
179).
Al-Ghazali tinggal di Naisapur sampai gurunya wafat pada tahun 478 H /
1085 M. Berawal dari situ, dia pindah ke Mu’askar dan kemudian ke Baghdad
bergabung di perguruan Nizamiyyah (Hitti 2002: 412). Barangkali karena
kecerdasannya yang luar biasa, ia diangkat menjadi guru besar dalam bidang
Fiqh dan Teologi ketika usianya masih relatif muda, 33 tahun. Dia mengajar
dan menjadi direktur perguruan tersebut selama empat tahun sebelum akhirnya
meninggalkan Baghdad (Michot 2013: 132).
Ada beberapa hipotesis mengapa Al-Ghazali meninggalkan Baghdad.
Pertama; adalah faktor psikologis semata. Al-Ghazali sudah merasa tidak tenang
tinggal di suatu tempat di mana kehidupan kedunawian sangat mencolok.
Kepergian Al-Ghazali adalah sebagai bentuk protes pada keadaan tersebut.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 189
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri
orang Saljuq di bawah pimpian Tughril Beg (w 455 /1063) pada 18 Desember
1037. Tughril Beg sendiri adalah seorang cucu dari Saljuq (Lane-Poole 1986:
150).
Pada masa kekuasaanya, Tughril berusaha menguasai beberapa propinsi
yang ada di sebelah timur imperium Abbasiyah. Bahkan Baghdad akhirnya
berada di bawah kendali politik dan militer Tughril. Setelah menguasai ibu kota
negara pusat, Baghdad, Tughril segera mengganti ‘idiologi’ negara dari Syi’ah ke
Sunni (kembali). Meski demikian dalam teologi masih menganut Mu’tazilah,
terutama ketika Perdana Menterinya Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur al-
Kunduri (416-456), seorang Mu’tazili sehingga tokoh-tokoh Asy’ariyah ketika
itu menjadi sasaran penangkapan (Hodgson and Rogers D. Spotswood
Collection. 1974: 176). Al-Juwaini adalah salah seorang dari mereka yang masuk
‘daftar hitam’ pencarian pemerintah tersebut. Hal ini memaksanya hidup dalam
pengasingan di Makkah dan Madinah. Karena itu ia dijuluki Imam al-Haramain
(Imam of the Holy Cities). Al-Juwaini menghabiskan waktunya untuk mengajar
di dua tempat tersebut selama empat tahun.
Pengejaran terhadap orang-orang Asy’ariyah berhenti ketika Tughril Beg
meninggal dan digantikan oleh keponakannya, Alp Arselan dengan Perdana
Menteri Nidzam al-Mulk (1063-1072 M). Nidzam al-Mulk adalah seorang
Asy’ariyah tulen. Karena itu ketika ia menjadi Perdana Menteri, al-Juwaini
dipanggil kembali ke Naisapur untuk mengajar kembali. Nidzam al-Mulk
adalah seorang Birokrat-Intelek. Pada masa kepemimpinannya, disamping
menghidupkan kembali aliran Asy’ariyah juga mendirikan beberapa madrasah.
Metode pengajarannya, madrasah atau perguruan tersebut lebih mengutamakan
bidang Fiqh Syafi’i dan Teologi Asy’ariyah.
Alp Arselan terus meluaskan pengaruhnya. Ia berhasil mengalahkan
Khatlan, Herat dan Sighanyan serta Byzantium dalam pertempuran di
Manzikart pada tahun 1071. Pada saat itulah ia menerapkan sistem
pemerintahan Islam (Dar al Islam, abode of Islam) bagi dinastinya dan Darul
Harb bagi ‘negara’ non Muslim (Grunebaum 1996: 154). Setelah Alp Arselan
meninggal pada tahun 1072, kepemimpinan Saljuq dipegang oleh anaknya
Malikshah (1072-1092) dengan Perdana Menteri yang sama. Pada masa
kepemimpinannya penyerangan terhadap kaum Kristen di Barat dilanjutkan.
Pada masa kedua pemimpin itulah Saljuq mencapai puncak kejayaannya.
Kekuasaannya merentang dari Asia Tengah dan perbatasan India hingga Laut
Tengah dan dari Kaukasus dan laut Aral hingga teluk Persia. Setelah itu, Saljuq
berangsur-angsur mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan
kekuasaan atau tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang
192 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global
KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Hampir semua cabang ke-ilmuan yang berkembang pada masanya,
semuanya dipelajari oleh Al-Ghazali. Ini terlihat dari beragamnya karya tulis
yang dihasilkannya. Al-Ghazali adalah salah satu dari pemikir Muslim abad
pertengahan yang paling produktif dalam menuangkan pemikirannya dalam
bentuk tertulis, sehingga dalam usianya yang relatif pendek, hanya setengah
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 193
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri
abad lebih (ada yang menyebutnya 55, disamping 53), ia telah meninggalkan
karya yang melimpah. Dia sangat produktip dalam menulis bukan hanya ketika
di Baghdad dalam masa kecermerlangan dan kemakmurannya (sebelum krisis
spritual), tapi juga dalam masa pengembaraannya mencari ketenangan (masa
dan setelah krisis). Tidak ada kesepakan mengenai berapa jumlah keseluruhan
karya Al-Ghazali (Bouyges and Allard 1959: 6). Kemudian diantara karya-
karyanya ada yang berhasil ditemukan dan ada yang hilang, karena habis dibakar
atau dibuang ketika Baghdad direbut oleh bangsa Mongol.
Diantara karya Al-Ghazali yang hilang adalah: Yaqutut Ta’wil fi Tafsirit
Tanzil sebanyak 40 jilid, Sirrul ‘Alamin, suatu buku politik dan al-Madnun bihi
‘ala Ghairi Ahlihi. Karya-karya Al-Ghazali telah banyak mendapat perhatian
para ahli. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Barat, selain
Inggris terutama adalah Perancis. Lebih dari itu bahkan banyak penulis Barat
yang mengadopsi pemikirannya. Misalnya Dante dalam karyanya; Devino
Commidia dan M Asin Palacios dalam karyanya; Algazel: Dogmatic, Moral,
Ascetica dan J. Oberman dalam kayanya; Der Philosophice and Religioese
Subjectivismus Ghazalis. Mereka memetakan karya-karya tersebut dalam berbagai
bidang ke-ilmuan, diantaranya bidang hukum, logika, filsafat, etika, sufime dan
lain-lain.
Sebagaimana disebutkan bahwa Al-Ghazali mulai menulis ketika masih
dalam usia yang relatif muda. Di sini akan dikemukakan karya-karya Al-Ghazali
bukan menurut bidangnya, tapi berdasarkan tempat dan zaman di mana karya
itu dihasilkan. Karya-karya Al-Ghazali sewaktu berada di Baghdad adalah:
Maqasidul Falasifah, Tahafutut Tahafut, Mi’yarul ‘Ilm, Mizanul ‘Amal dan
Minhakun Nazar fil Mantiq. Ketika berada di Damaskus (489): al-Iqtisad fil
I’tiqad, Qawa’idul Qawa’id dan ar-Risalatul Qudsiyah. Ketika berada di
Palestina, Mesir, Makkah-madinah dan Tus (490-495): Ihya’’Ulumiddin dan ar-
Radd al-Jamil. Kemudian antara tahun 495-sampai tahun 498, tiga tahun
berada di Nizamiyah kemabli adalah: Bidayatul Hidayah, Jawahirul Qur’an,
Kitabul Arba’in, Kitabus Sa’adah, ad-Durratul Fakhirah, al-Qistasul Mustaqim,
faishalut Tafriqah bainal Islam wazzanadiqah. Kemudian sekembalinya dari
Baghdad, di tempat asalnya ia menulis Ayyuhal Walad, al-Munkiz Minaddalal,
Misykatul Anwar, al-Mustasfa min Ushulil Fiqh, Iljamul ‘Awam min ‘Ilmil Kalam
dan Mi’rajus Salikin. Dengan sekilas mengamati karya-karya yang berada pada
masing-masing periodenya, akan jelas bagaimana memahami dinamika
pemikiran Al-Ghazali. Dan tampak jelas pula corak dari masing-masingnya.
bukan hanya pada kesalehan formal, tetapi justru terutama etika global (AS
2016: 6).
Pada aspek inilah, sufisme Al-Ghazali berperan sebagai pintu manusia
modern untuk masuk pada universal harmony, sesuatu yang gagal ditawarkan
oleh keberagamaan yang hanya menekankan formalisme-eksoterik. Dengan
demikian, sumbangan nyata yang dapat diberikan sufisme terletak pada
kemampuannya menyeimbangkan ‘tata kosmos’ individu yang sering tidak
stabil, menuju insan beriman yang tetap dapat bergumul dalam modernitas.
Dalam hubungan ini, satu pengakuan penting ditulis oleh H. J. Witteveen, yang
juga peminat spiritualitas dan pengagum Hazrat Inayat Khan itu dalam bukunya
Sufism in Action (2003), dia mengatakan;
Kita telah melihat bahwa keseimbangan antara aktifitas dan ketenangan
yang dapat diberikan oleh praktek spiritual sangatlah penting bagi kesehatan dan
daya tahan kita. Dampaknya, keseimbangan ini membantu kita untuk
mempertahankan ritme yang tepat. Ritme adalah keseimbangan dalam waktu.
Kesehatan kita sangat tergantung pada keteraturan denyut jantung kita dan
sirkulasi darah kita. Dan hasil dari pekerjaan kita tergantung juga pada ritme
yang tepat dari pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita seharusnya tidak berjalan
terlalu cepat dari satu ide ke ide lain atau stagnan dalam kekakuan. Dan suasana
hati kita seharusnya tidak berubah terlalu cepat. Kita memerlukan ritme yang
kreatif. Bekerja dalam ritme tersebut akan membuahkan hasil terindah
(Witteveen 2003: 154).
Dengan demikian, jika dieksplorasi sisi-sisi lain yang dapat diperankan
sufisme untuk membangun kegiatan perekomian yang menyeimbangan
keselarasan keuntungan materi dan keuntunan moral. Tentunya keseimbangan
adalah konsep yang penting dalam ekonomi, tetapi keseimbangan yang yang
terbaik tidak semata-mata dihasilkan dari kepentingan diri yang sempit dari
semua partisipan ekonomi. Cita-cita spiritual akan membantu para pekerja di
dunia agar tidak terperangkap semata dalam kekuasaan atau keuntungan.
Bahkan, dengan tegas dapat dikatakan bahwa tasawuf akan membawa
perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem-pasar kapitalis, dan ekonomi
akan berfungsi dalam pola yang lebih spiritual.
PENUTUP
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, pada akhirnya dapat
disimpulakan bahwa dinamika sufisme sebagaimana yang diajarkan oleh Al-
Ghazali masih mempunyai posisi penting bagi kalangan modernism dengan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 203
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri
budaya yang berkembangan sangat pesat di era global. Fenomena ini tidak dapat
dipandang remeh mengingat ia telah memiliki modal sosial yang cukup
memadai untuk bisa berkembang. Meskipun banyak tantangan yang muncul,
semisal dampak modernitas yang kian tak terkendali, paradigma posmo yang
mendua, dan masalah-masalah sosial-politik antar negara yang cenderung
mengeras.
Sedemikian besar tantangan era global ini sebenarnya makin menegaskan
keniscayaan mistisisme agama-agama, terlebih sufisme. Nilai-nilai perdamaian
antar kelompok, kesejukan dalam menghadapai setiap problem, semangat
bersama pencarian solusi, merupakan watak dasar spiritual yang tetap akan
mendapat tempat di tengah derasnya persaingan dan konflik antar umat
manusia yang cenderung mengeras.
DAFTAR PUSTAKA
Abenante, Paola, and Fabio Vicini. 2017. “Interiority Unbound: Sufi and
Modern Articulations of the Self.” Culture and Religion 18 (2): 57–71.
doi:10.1080/14755610.2017.1326689.
Akasoy, Anna. 2012. “Al-Ghazālī, Ramon Llull and Religionswissenschaft.” The
Muslim World 102 (1): 33–59. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01364.x.
Arberry, A. J. (Arthur John). 2002. Sufism: An Account of the Mystics of Islam.
Dover Publications.
———. 2011. An Introduction to the History of Sufism. Islamic Book Trust.
AS, Asmaran. 2016. “Menuju Ma’rifatullah: Menyelami Samudera Sufisme
Imam Al-Ghazali.” Jurnal Studia Insania 4 (1): 1–18.
doi:10.18592/jsi.v4i1.1110.
Azdajic, Dejan. 2016. “Longing for the Transcendent: The Role of Love in
Islamic Mysticism with Special Reference to Al-Ghazālī and Ibn Al-
ʿ Arabī.” Transformation: An International Journal of Holistic Mission
Studies 33 (2): 99–109. doi:10.1177/0265378815595237.
Baldwin, Erik. 2014. “Al-Ghazali, Averroës, and the Interpretation of the
Qur’an: Common Sense and Philosophy in Islam.” Religious Studies
Review 40 (3): 167–167. doi:10.1111/rsr.12156_5.
Belhaj, Abdessamad. 2013. “Legal Knowledge by Application: Sufism as Islamic
Legal Hermeneutics in the 10th/12th Centuries.” Studia Islamica 108 (1):
82–107. doi:10.1163/19585705-12341276.
Bin Ramli, Harith. 2010. “The Rise of Early Sufism: A Survey of Recent
Scholarship on Its Social Dimensions.” History Compass 8 (11): 1299–
204 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Sufisme al-Ghazali di Tengah Tantangan Hegemoni Modernisme Budaya Global
1315. doi:10.1111/j.1478-0542.2010.00718.x.
Bosworth, Clifford Edmund. 1996. The New Islamic Dynasties: A Chronological
and Genealogical Manual. Columbia University Press.
Bouyges, Maurice, and Michel Allard. 1959. Essai de Chronologie Des Oeuvres de
Al-Ghazali (Algazel).
Bruinessen, Martin van. 2013. Contemporary Developments in Indonesian Islam:
Explaining the "Conservative Turn"
Bruinessen, Martin van., and Julia Day Howell. 2013. Sufism and the “Modern”
in Islam. I.B. Tauris.
Bullet, Richard W. 1999. What Life Was like in the Lands of the Prophet: Islamic
World, AD 570-1405. Time-life Books.
Burrell, David. 2010. “Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on
Existence, Intellect, and Intuition - By Ibrahim Kalin.” Modern Theology
26 (4): 669–72. doi:10.1111/j.1468-0025.2010.01640.x.
Chittick, William. 2014. “Love in Islamic Thought.” Religion Compass 8 (7):
229–38. doi:10.1111/rec3.12112.
Corbin, Henry, Liadain Sherrard, and Philip Sherrard. 2014. History of Islamic
Philosophy.
Dahlan, A. Zaini, Siti Chamamah Soeratno, Sangidu Sangidu, and Ahmad
Mursyidi. 2013. “Konsep Makrifat Menurut Al-Ghazali Dan Ibnu ‘Arabi:
Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi.” Jurnal
Kawistara 3 (1). Universitas Gadjah Mada: 68–78.
https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/3962/3237.
Dalmeri, Dalmeri. 2016. “Menggugat Persatuan Roh Manusia Dengan Tuhan:
Dekonstruksi Terhadap Paham Ittihad Dalam Filsafat Abu Yazid Al-
Bustami.” Madania: Jurnal Kajian Keislaman 20 (2): 137–50.
doi:10.29300/MADANIA.V20I2.163.
Dickson, William Rory. 2016. Living Sufism in North America: Between
Tradition and Transformation.
Esposito, John L. 1999. The Oxford History of Islam. Oxford University Press.
Garden, Kenneth. 2011. “Coming Down from the Mountaintop: Al-Ghazālī’s
Autobiographical Writings in Context.” The Muslim World 101 (4): 581–
96. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01366.x.
———. 2014. “Duncan Macdonald’s Pioneering Study of Al-Ghazālī: Paths
Not Taken.” The Muslim World 104 (1–2): 62–70.
doi:10.1111/muwo.12038.
Geertz, Clifford. 2013. The Religion of Java. University of Chicago Press.
Gharib, Remah Y. 2017. “Preservation of Built Heritage: An Islamic
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 205
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri
doi:10.1007/s11841-014-0434-0.
Lane-Poole, Stanley. 1986. The Mohammedan Dynasties. Oriental University
Press.
Levering, Matthew. 2011. “Providence and Predestination in Al-Ghazali.” New
Blackfriars 92 (1037): 55–70. doi:10.1111/j.1741-2005.2009.01341.x.
Malik, Jamal., and John R. Hinnells. 2006. Sufism in the West. Routledge.
Michot, Yahya M. 2013. “An Important Reader of Al-Ghazālī: Ibn Taymiyya.”
The Muslim World 103 (1): 131–60. doi:10.1111/j.1478-
1913.2012.01421.x.
Mohamed, Yasien. 2011. “The Ethics of Education: Al-Iṣfahānī’s Al-Dharī‘a as a
Source of Inspiration for Al-Ghazālī’s Mīzān Al-’Amal.” The Muslim
World 101 (4): 633–57. doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01369.x.
Muhammadin, Fajri Matahati. 2016. “Refuting Da’esh Properly: A Critical
Review of the ‘Open Letter to Baghdadi.’” Journal of International
Humanitarian Action 1 (1): 11. doi:10.1186/s41018-016-0012-x.
Munir, Ghazali. 2014. “Kritik Al-Ghazālī Terhadap Para Filosof.” Jurnal
THEOLOGIA 25 (1): 143–58. doi:10.21580/TEO.2014.25.1.341.
Nasr, Seyyed Hossein. 1999. Sufi Essays. KAZI Publications.
Ratono, Dalmeri &. 2016. “Islamic Spirituality Movement and Its Implications
on Social and Political Ethics in Indonesia.” International Journal of
Islamic Thought 9: 10–17. www.ukm.my/ijit.
Suhrawardi , ʻ Umar ibn Muhammad, Mahmud ibn ’Ali Kashani, and H.
Wilberforce (Henry Wilberforce) Clarke. 1970. The “Awarifu Al-Ma”arif:
Written in the Thirteenth Century. S. Weiser.
Syaiful, Irfan Aulia, and Ririn Nur Abdiah Bahar. 2017. “Peran Spiritualitas
Dan Kepuasan Hidup Terhadap Kualitas Hidup Pada Wirausahawan
Muda.” Humanitas 13 (2): 122. doi:10.26555/humanitas.v13i2.6068.
Syofrianisda, Syofrianisda, and M Arrafie Abduh. 2017. “Corak Dan Pengaruh
Tasawuf Al-Ghazali Dalam Islam.” Jurnal Ushuluddin 25 (1): 69–82.
doi:10.24014/jush.v25i1.2559.
Treiger, Alexander. 2011. “Al-Ghazālī’s ‘Mirror Christology’ and Its Possible
East-Syriac Sources.” The Muslim World 101 (4): 698–713.
doi:10.1111/j.1478-1913.2011.01370.x.
Vicini, Fabio. 2017. “Thinking through the Heart: Islam, Reflection and the
Search for Transcendence.” Culture and Religion 18 (2): 110–28.
doi:10.1080/14755610.2017.1326958.
Witteveen, H. J. (Hendrikus Johannes). 2003. Sufism in Action: Spiritualising
the Economy. Vega.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 207
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Dalmeri
Abdul Ghofur
UNISMA Bekasi
alingghofur6@gmail.com
Abstract
Al-Ghazali as a philosopher, thinker and his life ended ascetic is one of a row of
name having service exceptional in science, chiefly Moslem. Psychology as a
branch of science has correlation in the knowledge referred to Al-Ghazali
through his book which until now were interested in it by the search continues
in the intellectual are able to present, his presence colored the Islamic world
thought mainly through the work of his magnum opus “Ihya Ulumuddin”.
Psychology is one of the field of science focus in investigating human behavior.
Psychology is important for the continuation of human life as studies in
psychology is about human behavior. Education has the big role to increase the
human life that’s way the psychology get big role to perfect the results.
Keywords: psychology, Ihya Ulumuddin, ascetic and psychotherapy
Abstrak
Al-Ghazali sebagai seorang filosof, pemikir dan kehidupan nya yang berakhir
asketik adalah salah satu sederet nama yang memiliki jasa yang luar biasa di
dalam ilmu pengetahuan, terutama Islam. Psikologi sebagai cabang ilmu
pengetahuan memiliki korelasi dengan ilmu-ilmu yang dimaksud. Al-Ghazali
melalui karya-karyanya mampu menghadirkan khazanah intelektual, kehadiran
nya mewarnai dunia pemikiran Islam terutama melalui karya Magnum Opus
nya Ihya Ulumuddin. Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang fokus dalam
meneliti tingkah laku manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa dengan
mempelajari perilaku manusia sama saja mempelajari hal yang sangat mendasar
dalam diri manusia. Manusia tumbuh dan berkembang, eksis, membangun diri
dan berkarya adalah tidak terlepas dari perilaku manusia itu sendiri. Pendidikan
209
Abdul Ghofur
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah sebuah kebutuhan dasar manusia yang keberadaan nya
bersifat primer. Pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang Tuhan amanahkan
kepada umat manusia sejak azali. Allah SWT menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baik bentuk dan ciptaan diantara makhluq-makhluq lain nya
adalah sebagai bentuk penghormatan Tuhan kepada manusia agar manusia
semakin bersyukur atas anugerah terbesar Sang pencipta kepada manusia.
Manusia adalah makhluq yang paling menarik untuk di pelajari dan di kaji,
karena setiap pertanyaan yang diajukan tentang hakikat manusia selalu menarik,
muncul hal-hal baru dalam diri manusia tersebut sehingga hal-ihwal dari
kemisterian hingga kini belum sempura untuk di kaji dan di gali.
Kesulitan yang di alami oleh para pemikir maupun para ilmuwan untuk
mengetahui hakikat manusia adalah tentang sisi ruhaninya. Pengetahuan
manusia tentang makhluq hidup terutama manusia dalam rangka mengetahui
jati diri terus dilakukan hingga kini, namun ternyata manusia hanya mampu
menguak beberapa sisi saja dari manusia. Ini membuktikan bahwa manusia
adalah makhluq dinamis, terus bergerak maju menuju kesempurnaan. Selalu
baru dan berusaha ingin memperbaiki diri dalam mewujudkan eksistensi diri.
Psikologi adalah salah satu bidang ilmu yang fokus dalam meneliti tingkah
laku manusia. Psikologi juga bisa dikatakan sebagai sebuah cabang ilmu yang
meneliti tentang perubahan inter dan intra individual pada diri manusia
(Elizabeth, 1980). Sebagai disiplin ilmu, psikologi sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan manusia mengingat kajian dalam psikologi adalah
tentang perilaku manusia. Bisa dikatakan bahwa dengan mempelajari perilaku
manusia sama saja mempelajari hal yang sangat mendasar dalam diri manusia.
Manusia tumbuh dan berkembang, eksis, membangun diri dan berkarya adalah
tidak terlepas dari perilaku manusia itu sendiri. Begitupun sebaliknya, bodoh
dan terbelakang juga disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri, sehingga
menjadi sangat penting bahwa manusia harus terus mengembangkan diri dalam
rangka untuk menyempurnakan hakikat dirinya.
Kajian-kajian tentang perilaku manusia merupakan sebuah upaya untuk
mengungkapkan hakikat dari eksistensi keberadaan manusia. Hal tersebut
berkaitan dengan latar belakang kehidupan, motivasi, harapan dan tujuan
210 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali
religius. Psikologi ini hanya pada tingkat sisi hayal dan mistis sehingga dalam
mengungkap nilai-nilai sisi kemanusiaan perlu disempurnakan. Dan hadirnya
Al-Ghazali adalah sebagai salah satu jawaban kekurangan tersebut.
Al-Ghazali atau nama lengkapnya Imam Abu Hamid Ibn Muhammad Al-
Ghazali al-Thusi adalah salah satu tokoh dalam kanca pemikiran Islam yang
mampu mewarnai dinamika perkembangan dunia Islam. Baik dari sisi filsafat,
ilmu kalam maupun tasawuf. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Ghazali
menganut teologi Asy’ariyah yang berpolemik dengan kalangan Muktazilah
namun kemudian dia meninggalkan semua pertikaian pemmikiran dan
berpindah menjadi seorang sufi yang sederhana (Ghazali, 2011). Al-Ghazali
berpandangan bahwa manusia secara utuh tidak bisa di lihat dari dimensi fisikal
dan emosional saja namun harus dilihat dari semua aspek yang termasuk di
dalam nya adalah aspek Rabbani, karena fitrah manusia adalah selalu ingin
menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. Hal inilah yang menjadikan Al-Ghazali
ingin menggali lebih dalam hakikat manusia.
Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali tentang konsep manusia dan struktur
kepribadian manusia sangat bersentuhan dengan aliran-aliran yang lain terutama
behaviouristik dan humanistic. Hanya saja kalau di kaji secara mendalam, Al-
Ghazali tampak lebih tajam dan detail ketika membahas tentang perilaku
manusia. Ini terbukti dari banyaknya para pemerhati yang mengikuti jejak Al-
Ghazali dalam menjadikan pijakan saat berbicara tentang perilaku manusia yang
tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai religius dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu adalah kebutuhan mendasar manusia yang tidak dapat dipisahkan.
Ini menjadi sangat penting keberadaan nya karena nilai-nilai perilaku manusia
sangat dipengaruhi oleh doktrin ketuhanan yang nantinya akan bermuara kpada
nilai agama.
Secara umum penelitian-penelitian pada area pemikiran Islam, khususnya
pada kajian tasawuf dan filsafat adalah kualitatif. Penelitian ini berusaha untuk
mendiskusikan tentang hakikat manusia yang memfokuskan kepada
pembahasan konsep psikologi menurut Al-Ghazali.
Penelitian ini juga bisa digolongkan sebagai penelitian kajian pustaka.
Oleh karenanya, dalam melaksanakan penelitian ini, pertama kali peneliti akan
berusaha untuk mengumpulkan beberapa data penelitian dengan cara memilih
beberapa buku, jurnal, artikel dan karya-karya ilmiah lainnya yang relevan
dengan materi kajian. Untuk selanjutnya, semua data yang terkumpul akan
dibagi menjadi dua bagian, yakni; data primer dan data sekunder.
PSIKOLOGI
Psikologi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani Psychology yang
merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa
dan logos berarti ilmu. Secara harfiah psikologi diartikan sebagai ilmu jiwa.
Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek
yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam beberapa dasawarsa ini istilah jiwa sudah jarang dipakai
dan diganti dengan istilah psikis. Psikologi dapat dipahami dengan arti ilmu
yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan yang dalam perkembangan nya
diartikan sebagai lmu tentang tingkah laku manusia (Singgih, 1996).
Ketika ada sebuah ungkapan pertanyaan, apa itu jiwa? Maka sejatinya
tidak seorangpun yang tahu dengan pasti jawaban nya. Karena kekaburan arti
tersebut maka tidak jarang muncul berbagai macam pendapat mengenai arti
jiwa. Dari hal yang berbeda ini maka secara otomatis muncul pula perbedaan
arti psikologi. Banyak sarjana memberi definisi tentang psikologi menurut aliran
dan versi mereka masing-masing sehingga tidak heran muncul definisi yang
berfariasi sebagaimana yang mereka pahami dari makna psikologi tersebut.
Setiap definisi sejatinya tidak memiliki hak untuk mengklaim kebenaran atas
definisi yang dimiliki karena definisi yang dia buat pasti akan bersifat subyektif
karena begitu sulit mendefiniskan makna psikologi secara obyektif dan tepat
sehingga dpat diterima oleh semua kalangan.
Pada zaman Renaisans, seorang tokoh bernama Rene Descartes (1596 –
1650) yang berasal dari Perancis pernah encetuskan sebuah definisi tentang
psikologi. Menurutnya bahwa yang dimaksud dengan “psikologi adalah ilmu
tentang kesadaran” (Sarlito, 1976). Sedangkan menurut George Berkeley,
(1685-1753) filosof dari Inggris mengatakan bahwa “psikologi adalah ilmu
tentang penginderaan”
Seiring dengan perkembangan disiplin ilmu psikologi, maka dengan
sendirinya lambat laun bermunculan definisi-definisi tentang psikologi. Salah
satu definisi yang bermunculan tersebut yang penulis temukan adalah ungkapan
dari Dogde Fernald dan Peter S Fernald, mereka mengatakan bahwa psikologi
adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang bertujuan untuk
mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut dalam
berbagai jalan yang bervariasi, baik melalui laboratorium, kelas-kelas mapun
dalam kehidupan sehari-hari (Dogde & Peter, 1996). Hal itu berbeda dengan
definisi yang dilontarkan oleh Ernest R. Hilgard dalam Introduction to psychology
yang mengatakan bahwa “psychology may be defined as the science that studies the
behavior of man and other animals”(Ernest, 1962). Terjemahan bebas dari apa
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 213
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata al-Naas (terambil dari kata
an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari
kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok
manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-Basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga
perlu disabarkan dan didamaikan dan manusia disebut sebagai Bani Adam
karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as
sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia
berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Penggunaan istilah
Bani Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan
kepada Adam dalam al-Qur'an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!).
Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam,
Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum)
sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Manusia dalam pandangan al- Qur'an bukanlah makhluk
anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan
menjadi manusia. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk
theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu
manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai
baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai
manusia takwa.
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan
mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang
menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan
melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari
surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah
pembawa dosa turunan.
Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang
sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi
di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban
dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia
diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan
baik (positif, haniif). Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia
adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki
kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa
kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-
dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 215
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat
seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas
sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi
manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Berkaitan dengan proses penciptaan nya, manusia telah diberikan sebuah
isyarat asal muasal kejadian nya sebagaimana Allah telah sampaikan di dalam
surat al-Mukminuun ayat 12-14 yang berbunyi:
“Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (al-
Mu’minuun: 12-14)
Dalam pembagian manusia, al-Ghazali membagi manusia menjadi empat
bagian, yaitu al-Ruh, al-Nafs, al-Qalb dan al-Aql.
1. Al-Ruh
Ruh mempunya dua pengertian, yaitu bersifat jasmani dan Ruhani.
Menurut pengertian jasmani, Ruh adalah bagian dari tubuh manusia, yaitu zat
yang amat halus bersumber dari dalam rongga hati (jantung) menjadi pusat dari
semua urat (pembuluh darah) yang terserak ke seluruh tubuh manusia. Senada
dengan pendefinisian jiwa secara umum, sebagaimana menurut Abu Nashr al-
Farabi yang dikutip oleh Kholid Al-Walid dalam buku nya yang berjudul
Perjalanan Jiwa menuju Akhirat, Ia mengatakan bahwa jiwa merupakan
gambaran dari substansi yang secara zat nya non materi, tetapi terikat dengan
materi dalam aktivitas nya. (Kholid, 2012: 76)
Sehingga karenanya manusia dapat hidup dan bergerak, dapat merasakan
berbagai rasa, baik pahit maupun manis, dan mengalami banyak perasaan,
seperti senang, susah, haus, atau lapar. Dengan mata dapat melihat, dengan
telingan dapat mendengar, dengan hidung dapat mencium, dengan otak dapat
berfikir, dengan tangan dapat menggenggam, mengangkat atau menggapai, dan
dengan kaki dapat melangkah. Saking rahasianya keberadaan sebuah ruh hingga
Allah berfirman “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh
itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (
Q.S. Al. Isra: 85 ). Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya, ia
juga penggerak bagi keberadaan jasad manusia, sifatnya ghaib. Ruh ini dapat
dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakekat) struktur manusia.
Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi
tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spriritual nafsani manusia.
Menurut al-Ghazali bahwa, manusia memiliki tingkatan-tingkatan ruh
rahaniah tertentu, antara lain:
1. Ruh inderawi, yaitu ruh yang menerima sesuatu yang dikirim oleh panca
indera. Ruh ini adalah asal dan awal ruh makhluk hidup. Dengannya semua
makhluk hidup menjadi hidup. Ruh ini sudah ada walaupun pada bayi
yang masih menyusu.
2. Ruh Khayali (Imajinatif) yaitu yang merekam keterangan dan
menyimpannya untuk kemudian menyampaikannya kepada ruh aqli
(intelegensi) pada saat dibutuhkan.
3. Ruh Aqli (Akal, intlegensi), yaitu yang mampu menyerap makna-makna di
luar indera dan khayal. Ruh ini adalah substansi manusiawi yang khusus,
tidak terdapat pada bayi ataupun hewan.
4. Ruh Pemikir, yaitu yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang murni. Kemudian
disatukan dalam bentuk ta’lifat (rangkaian) dan izdiwijat (duplikasi), lalu di
deduksi menjadi pengetahuan-pengetahun yang berharga lalu
dikembangkan.
5. Ruh suci kenabian (kudus), yaitu ruh yang tersingkap selubung-selubung
lauh-lauh ghaib dan hukum-hukum akhirat serta pengetahuan tentang
kerajaan langit dan bumi, bahkan pengetahuan-
pengetahuan rabbani (ketuhanan).
Dalam artian metafisik keempat unsur diatas adalah semakna dan tak
dibedakan satu dari lainnya, semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali
dan memahami sesuatu, diciptakan Allah dengan sifat kekal, serta merupakan
inti kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama antara lain al-
Lathifah al-Ruhaniyah atau al-Lathifah al-Rabbaniyyah. Nama-nama itu
berubah-ubah disebabkan oleh perubahan ruh manusia yang bermacam-macam.
Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan ruh, maka dinamakanlah ia sebagai
hawa nafsu. Jika ruh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut akal, jika
penyebabnya adalah rasa keimanan, dinamakanlah ia hati, dan bila ia mengenal
Allah dengan sebenar-benarnya dan melakukan pengabdian yang tulus lkhlas,
maka disebut ia ruh.
Allah SWT ketika berbicara tentang Ruh sangat tidak fulgar, mengingat
keberadaan Ruh sangat rahasia dan manusia sangat tidak mampu untuk
menguak secra detail dan sempurna. Sebagaiman di dalam surat Al-isra’ ayat 85
diatas maka maka al-Ghazali melarang orang-orang untuk menyelidiki dan
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 217
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
memikirkan hakikat Ruh. Sebab hal itu tidak dapat diselidiki oleh manusia
untuk selamanya-lamanya. Tetapi, apabila bersikeras dilakukan, hanya akan
membawa kesesatan dan perdebatan saja.
2. Al-Nafs
Dalam beberapa literature, Al-Nafs memiliki beberapa makna seperti jiwa,
sukma, diri, nafsu dan seterusnya. Namun dalam pembahasan kita saat ini
adalah dua makna, pertama yang menghimpun dua kekuatan antara syahwat
dan emosi dalam diri manusia. Pengertian nafs yang pertama adalah yang
menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. Istilah nafs
yang pertama ini menurut ahli tasawuf adalah nafsu, yang merupakan pokok
yang menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia, sehingga mereka mengatakan
bahwa kita harus melawan nafsu (hawa nafsu) dan memecahkannya (Ghazali,
1992: 584)
Sebenarnya dua unsur tersebut mempunyai maksud yang baik karena
mereka bertanggungjawab atas gejala-gejala jahat di dalam pribadi orang dan
seharusnya memadamkan api di dalam hati. Sebaliknya, kejahatan atau bagian
yang merusak dari amarah dan nafsu harus ditertibkan dan dibatasi tindakannya
di bawah penilaian mutlak dari kecerdasan didalam hati. Hal itu dapat dilatih
melalui mujahadah dan riyadhah (Ali, 1981).
3. Al-Qalb
Pengertian pertama adalah daging yang berbentuk buah shanaubar,
letaknya pada pinggir dada sebelah kiri yaitu daging khusus, yang di dalamnya
ada lubang yang berisi darah hitam, itulah sumber nyawa. Rasul Muhammad
SAW bersabda, “Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah)
yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging
itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (Qalb).’’
(HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir). Ungkapan Rasul Saw
tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia yang
dihubungkan dengan hati (Qalb), sering di asumsikan secara kurang tepat dalam
memaknai hati (Qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati
(mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu,
ditafsirkan akan berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak
tersebut.
Dalam kajian tasawuf makna al-Qalbu (hati) lebih menunjuk kepada
aspek Ruhani, substansi halus dan bukan materi yang berfungsi mengenal segala
sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan
sebuah gambar. Kemampuan Qalb dalam merefleksikan suatu hakikat
tergantung pada sifat Qalb, sesuai pengaRuh inderawi, syahwat, kemaksiatan,
dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat
menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di Qalb
ma’rifat terjadi. Menurut At-Tirmidzi, Qalb (hati) adalah pusat dari semua
perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan,
pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke Qalb (hati) dan dari Qalb (hati)
dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat
menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu
aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan
pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang
memerintah istana adalah raja yang baik (Ruh), maka akan baiklah semua
perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat
(nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
Al-Ghazali mengungkapkan makna Qalb dengan gambaran metaforik
sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari
sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan
penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali
lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada
habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu
pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau saluran irigasi, mengisi Qalb
dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi
sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat
pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati,
meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup
saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali Qalb lebih dalam lewat uzlah,
khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang
menyelubungi, sehingga memancar dari dalam Qalb ilmu pengetahuan yang
lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an) itu
merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu
(Q.S.Al-Ankabut:49).
Jika hati ang dimaksud adalah daging yang berbentuk buah shanaubar
pengertian ini mempunyai pemaknaan umum yang terdapat juga pada hewan
dan orang mati. Pengertian kedua adalah yang halus (Lathifah Rabbaniyah
Ruhaniyyah) yang halus itu ialah hakekat manusia. Dialah yang merasa,
mengetahui dan mengenal dari manusia. Dia pula yang ditunjukkan dengan
pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari (Ghazali, 1994:898).
Kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya
ketuhanan) dan al-bashirah al-bathiniah (mata batin) yang memancarkan
keimanan dan keyakinan. Kalbu Ruhani ini merupakan bagian esensi dari nafs
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 219
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
dirinya jauh kepada Tuhan. Al-Qalb berada didalam diri manusia dan berkenaan
dengan Latifah, sementara Ruh menunjukan kelembutan Ilahi. Ibarat sebuah
lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya maka cahayanya menyinari
seluruh ruangan yang ada disekitarnya. Begitupun dengan al-Qalb yang
menyinari tubuh dengan kebaikan nya. Sementara al-Nafs juga merujuk kepada
makna Latifah yang bertugas menggabungkan antara amarah dan nafsu di dalam
diri manusia. Ini berfungsi untuk mengontrol amarah agar tidak melebihi dari
batas nya. Tindakan tersebut mutlak dibawah penilaian kecerdasan hati.
Sebagimana al-Qur’an menyatakan tentang pembagian nya yaitu Muthmainnah,
Lawwamah dan al-Amarah bi al-Su’. Muthmainnah adalah adalah kondisi
dimana nafsu telah mengalami kesempurnaan dan tidak mengalami gangguan-
gangguan keburukan sehingga secara khusus telah mengenal Allah sebagai
tujuan hidupnya, sementara Lawwamah adalah dimana keadaan nafsu tersebut
masih dalam proses berjuang untuk melawan segala bentuk amarah, gairah dan
lain sebagainya dan belum mndapatkan sebuah kedamaian dan Amarah bi al-Su’
adalah dimana kondisi diri dalam cengkeraman yang selalu mengajak pada
kejahatan. Al-Nafs terakhir ini sejatinya dalam keadaan sakit yang
membutuhkan pertolongan agar cahaya-cahaya Tuhan mampu menembus
kedalam dirinya. Tentu ini membutuhkan perjuangan besar untuk
mengobatinya sehingga pada akhirnya menjadi Muthmainnah.
Bagian terakhir adalah al-Aql, bagian yang paling relevan menurut al-
Ghazali adalah yang berkaitan dengan bagian yang merasakan pengetahuan
untuk menopang Ruh dalam rangka mendapatkan pengetahuan tentang Allah
SWT. Sehingga dapat dikatakan bahwa al-Aql juga bagian dari Latifah. Esensi
pengetahuan yang betul-betul dimiliki oleh individu dan merupakan pernyataan
tentanng mutu pengetahuan yang berada di dalam hati yang sifatnya sangat
ditentukan oleh keadaan al-Nafs tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa jiwa manusia sesungguhnya berupa Latifah,
Latifah tersebut adalah gabungan dari al-Qalb, al-Ruh, al-Nafs dan al-Aql yang
semuanya terintegrasi dan saling melengkapi satu sama lain sehingga
membentuk manusia. Mudah nya dalam memahami pembahasan ini, manusia
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama merupakan esensi berupa al-Qalb, al-
Ruh, al-Nafs dan al-Aql yang mengerucut pada Latifah atau lebih mudahnya kita
sebut sebagai jiwa. Ke empat hal tersebut juga belum sempurna untuk dikatakan
sebagai manusia, sebab ia membutuhkan perangkat lain untuk
mengaktualisasikan fungsi ke empat unsur tersebut. Ibarat sebuah kerajaan maka
disamping masyarakat didalamnya, kerajaan juga membutuhkan alat-alat,
undang-undang dan segala bentuk perangkat sebagai kesempurnaan nya.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 223
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus
cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara
mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para
muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya. Selain sifat-sifat umum di
atas pendidik kendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas
tertentu diantaranya: Sifat kasih sayang, mengajar dengan ikhlas dan tidak
mengharapkan upah dari muridnya, menggunakan bahasa yang halus ketika
mengajar, mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat,
dan kemampuan siswa, menghargai pendapat dan kemampuan orang lain dan
mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid.
Keutamaan ilmu bagi manusia adalah mampu mengantarkan seseorang
kepada Tuhan, karena dengan ilmu juga akan tampak dimana posisi seseorang
di hadapan Tuhan. Karena kedudukan inilah sehingga dalam psikologi
pendidikan sangat perlu untuk di kaji terlebih dalam pandangan al-Ghazali.
Allah beserta Rasul nya telah berulang kali menegaskan bahwa orang yang
memiliki ilmu memiliki derajat lebih tinggi dibanding dengan orang ahli ibadah
terlebih bukan keduanya. Sebagaimana firman Allah:
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ٌاث ٌ ٌوالل ٌه ٌب ٌما ح ٌّ ٌملىن خٌب ٌحر ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ
ٌ ٌم ٌوال ٌزًً ؤوجىا ال ٌّل ٌم دٌس ٌح٢ًٌ ٌشٌ٘ ٌْ الله ال ٌزًً ٌآمىىا ٌمى
“Allah akan meninggikan orang-orang beriman dan orang-orang yang menuntut
ilmu dengan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan”
Mengutip dari salah satu hadits Nabi tentang keutamaan ilmu yang di
riwayatkan oleh Turmudzi:
ٌٌْ هللا ٌح ٌتى ًٌ ٌشٌح ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ٌ مً خ ٌشج ٌفى ول ٌب ال ٌّل ٌم ٌ٘هى ٌفى ظٌبٌُ ٌل
”Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah
hingga ia pulang”. (HR. Turmudzi).
ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ
ًٌ ؤٌس ٌاد ٌَ ٌما ٘ ٌّلٌُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم
ٌ وم, ومً ؤساد ألاٌخشة ّ٘لُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم,مً ؤساد الذهُا ّ٘لُ ٌه ٌبال ٌّل ٌم
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah
ia memiliki ilmunya dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di
akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula dan barangsiapa yang menginginkan
kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR. Bukhari dan
Muslim)
Banyak para ahli berpendapat tentang ilmu, sebagian mengatakan bahwa
ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 225
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir
lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah
produk dari epistemologi (Van, 2008).
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan
manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita
harus mengerti apakah hakekat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata pribahasa
“mengerti berarti memaafkan segalanya”. Tujuan utama kegiatan keilmuan
adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum,
kaidah, asas dan sebagainya (Jujun, 2003).
Betapa mulia nya orang yang berilmu sehingga Allah dengan
kebijaksanaan nya menempatkan manusa sesuai dengan derajat keilmuan nya,
karena sesungguhnya tidaklah sama orang yang mengetahui dengan orang yang
tidak mengetahui.
Salah satu tujuan pendidikan sebagaimana pendapat para ahli, diantaranya
menurut Ki Hajar Dewantoro sebagai tokoh penting pendidikan di Indonesia
memberikan gambaran mengenai apa itu tujuan pendidikan. Menurutnya,
tujuan pendidikan yaitu mengajarkan berbagai ilmu kepada anak didik dengan
harapan agar anak bisa menjadi pribadi yang baik dan sempurna hidupnya yang
selaras dengan masyarakat dan alamnya. Berbeda dengan apa yang dikemukakan
J.J. Rousseau, seorang tokoh aliran naturalisme mengemukakan pendapatnya
mengenai tujuan pendidikan yaitu mempertahankan sifat baik yang ada di
dalam diri manusia untuk diajarkan ke anak didik sehingga menciptakan anak
didik yang dapat tumbuh secara alami layaknya manusia dengan kebaikan yang
mereka miliki.
Tujuan pendidikan secara umum bisa dibagi ke dalam beberapa fungsi
dalam tubuh pendidikan itu sendiri. Yang pertama, tujuan pendidikan sebagai
arah pendidikan. Dengan begitu, tujuan pendidikan ini menjadi rambu-rambu
jalan mana yang harus di lalui dari lokasi awal ke tempat tujuan. Sehingga
penekannya terletak pada jalan manakah yang tepat untuk dilalui pada kondisi
seperti ini. Sebagai contoh, jika guru ingin mengajarkan anak didiknya menjadi
pribadi yang kritis, maka guru berusaha untuk menciptakan proses belajar
mengajar yang memancing dan mengembangkan sikap kritis ini. Guru bisa
memancing siswa dengan sebuah pertanyaan atau sebuah cerita. Dari pertanyaan
atau cerita itu, siswa akan terpancing untuk bertanya ataupun menyanggah.
Inilah yang akhirnya menumbuhkan sikap kritis pada diri anak didik.
Kedua, tujuan pendidikan sebagai titik akhir. Berbeda dengan fungsi
tujuan pertama yang jangkauannya untuk saat ini, fungsi dari tujuan pendidikan
226 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Psikologi Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali
kedua ini lebih menekankan ke masa yang akan datang. Hasilnya tentu tidak
dapat kita lihat saat ini, tapi perlu waktu beberapa tahun lagi. Misalnya, guru
ingin membentuk anak didiknya dapat berdaya saing. Saat ini hasil dari
pendidikan yang mengarah ke siswa yang berdaya saing, belum akan terlihat
dengan jelas. Tujuan pendidikan ini akan terlihat ketika mereka sudah
berkecimpung di dunia kerja. Dengan kemampuan yang dimiliki, serta rasa
percaya diri yang sudah terpupuk sejak usia sekolah membuat mereka memiliki
kemampuan untuk bersaing dengan pekerja lainnya.
Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan dalam
kehidupan manusia. Manusia terlahir tidak dalam keadaan langsung pintar. Tak
ada manusia yang keluar dari perut ibunya dengan berilmu. Manusia tidak
mengerti segala hal dengan begitu saja. Untuk menjadi manusia berpengetahuan
dan berperadaban, manusia perlu di didik dan diarahkan. Pendidikan bukanlah
hal baru dalam sejarah peradaban manusia, karena usia pendidikan adalah setua
usia manusia hadir di bumi ini. Sebagai manusia pertama, Adam mendapatkan
pendidikan dan pengajaran langsung dari Penciptanya, yakni Allah SWT Tuhan
semesta raya.
Filosofi dan agama sama-sama menganggap perlu dan penting keberadaan
pendidikan. Keduanya menjadikan pendidikan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Ayat yang pertama diturunkan
dalam al-Qur'an juga menyinggung masalah pendidikan. Begitu pula para
utusan Allah, mereka diberi tugas mendidik dan mengajarkan kepada umat
manusia apa yang akan menjadi jalan kebahagiaan mereka di dunia hingga
akhirat. Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan adalah
untuk meningkatkan intelektual, dan keseimbangan jiwa individu peserta didik
yang lebih baik, bukan saja sebagai warga negara, akan tetapi menjadi manusia
bagi dirinya sendiri. Idealnya pendidikan memberikan andil besar dalam
memberi solusi terhadap krisis kemanusiaan yang kini melanda kehidupan.
Mulai pendidikan, kita ingin menghasilkan manusia yang jujur, bersemangat,
pekerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta kebersihan, toleran dan
sebaginya.
Namun pada kenyataanya, akhir-akhir ini pendidikan terasa mandul
dalam mencetak manusia seutuhnya sebagaimana tujuan pendidikan pada
awalnya. Orientasi pendidikan hanya berkutat pada pencapaian kesuksesan
kehidupan bermasyarakat dan ekonomi saja. Di sisi lain, kerusakan moral
semakin meningkat. Mulai dari merebaknya pergaulan bebas dan perzinahan,
narkoba, tawuran antar pelajar sampai pada taraf pembunuhan. Berita tentang
kenakalan peserta didik setiap hari menjejali mata dan telinga kita. Dampak
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 227
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
begitu pula anak SD, pendidikan yang diterima harus berbeda dengan
pendidikan yang diterima anak tingkatan SMP, SMA dan kuliah.
Pola perkembangan psikologi anak merupakan pola yang kompleks hasil
dari beberapa proses yakni, proses biologis, kognitif dan sosio-emosional.
1. Proses biologis merupakan perubahan dalam tubuh anak. Warisan genetik
memainkan peran penting dalam hal ini. Proses biologis berperan dalam
perkembangan otak, berat dan tinggi badan, perubahan kemampuan
bergerak dan perubahan harmonal di masa puber. Dan sangat dipengaruhi
oleh nilai gizi pada makanan.
2. Proses kognitif ialah perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan bahasa
anak. Proses perkembangan kognitif menjadikan seorang anak mampu
mengingat puisi, membayangkan bagaimana cara memecahkan persoalan
matematika, menyusun strategi kreatif serta menghubungkan kalimat
menjadi pembicaraan yang bermakna. Mampu merangkai sebuah kalimat
menjadi pidato atau orasi yang sangat bermanfaat dalam melatih kecerdasan
intelektualnya.
3. Proses sosio-emosional adalah perubahan dalam hubungan anak dengan
orang lain, perubahan emosi dan perubahan kepribadian. Cara pengasuhan
anak merupakan faktor penting dalam hal ini. Perkelahian anak, ketegasan
seorang anak perempuan dan perasaan gembira ketika mendapatkan nilai-
nialai baik merupakan cerminan proses perkembangan sosio-emosional.
Adapun manfaat mengetahui psikologi anak diantaranya adalah:
1. Dengan memahami perkembangan anak didik, seorang guru akan dapat
memberikan harapan yang realistis terhadap anak dan remaja.
2. Pemahaman tentang perkembangan anak dapat membantu seorang guru
dalam memberikan respon yang tepat terhadap perilaku tertentu seorang
anak.
3. Pengetahuan tentang perkembangan peserta didik dapat membantu guru
mengenali kapan perkembangan normal dari anak tersebut sesungguhnya
dimulai.
4. Dengan mengetahui pola normal perkembangan, memungkinkan para guru
untuk mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan terjadi pada
tubuh, perhatian dan perilakunya.
5. Pengetahuan tentang perkembangan memungkinkan para guru untuk
memberikan bimbingan belajar yang tepat kepada anak.
6. Studi perkembangan dapat membantu para guru untuk dapat lebih
memahami diri sendiri. Melalui psikologi perkembangan, kita akan
mendapatkan wawasan dan pemahaman perjalanan hidup kita sendiri.
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 231
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
PENUTUP
Psikologi adalah ilmu yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu
jiwa. Sementara makna jiwa sendiri masih sulit didefinisikan karena disamping
para pengkaji terus berusaha meneliti hakikat jiwa tersebut juga jiwa merupakan
objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Psikologi dalam perkembangan nya mengalami
pemekaran makna sehingga muncul berbagai aliran psikologi. Diantaranya
psikologi kepribadian yang ditandai dengan teori-teori yang muncul diantaranya
teori psikoanalisa baik klasik, kontemporer maupun yang lain, kedua adalah
psikologi fenomenologi yang menekankan kepada pentingnya mempersepsi dan
mengalami dirinya dan dunia sekitar. Dan yang ketiga adalah psikologi
behavioristik yang pokok ajaran nya adalah aspek kepribadian yang bersifat
relative atau menetap dengan hadirnya berbagai macam teori contohnya teori
psikologi konstitusi Sheldon, teori perkuatan Operan Skinner dan lain-lain.
Islam hadir dengan nilai-nilai kesempurnaan nya telah membahas
psikologi dalam bentuk yang berbeda, diantara tokoh-tokoh Islam yang
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 233
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Abdul Ghofur
berusaha menyajikan konsep ini adalah al-Kindi, Ibn Sina, Nasr al-Din al-
Thusi, dan bahkan al-Ghazali yang mana beliau menjadi objek kajian pada
penelitian ini.
Dalam memberikan terapi atas gangguan psikologi manusia, al-Ghazali
menerapkan penanaman nilai-nilai Ilahi kedalam jiwa manusia dengan cra
mengendalikan hati seperti mengikis sifat sombong, riya, dengki dan lain-lain
dengan memenuhi nilai-nilai kebaikan seperti membersihkan hati, Muraqabah,
Muhasabah dan lain-lain.
Berkaitan dengan potensi atau bakat, al-Ghazali berpendapat bhwa
manusia dilahirkan dalam keadaan netral, tidak jahat dan bahkan manusia
membawa potensi kebaikan dalam dirinya. Dan potensi-potensi ini adalah fitrah
atau Latifah Ilahiyyah. Keluarga, lingkungan memiliki peran penting dalam
pembentukan manusia kepada derajat yang tinggi. Ketinggian derajat manusia
bukan ditentukan dari strata sosial nya namun lebih kepada nilai-nilai kejiwaan
manusia dan untuk mendapatkan nya dibutuhkan ilmu yang mampu
mendekatkan diri kepada Allah. Untuk menjaga keseimbangan sebuah tahapan
dalam rangka mengaktualisasikan diri, menurut al-Ghazali manusia
membutuhkan sebuah metode terapi sufistik melalui Mujahadah, Muraqabah
dan Murabathah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1 (terj. Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH,
dari judul: Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet. IV
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jilid 2 (terj. Prof.TK.H.Ismail Yakub, MA-SH,
dari judul: Ihya Ulum al-Din) Pustaka Nasional, Singapura, 1994, Cet.
IV.
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, jilid 4 (terj. Drs. H.M.Zuhri,et.al., judul asli:
Ihya Ulum Al-Din, CV. Assy-syifa, Semarang, 1992.
Al-Ghazali, Al-Ajwibaat al-Ghazaliyah fi al-Masail al-ukhrowiyah, Cairo.
Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, Libanon, 1994.
Al-Ghazali, Minhajul Abidin (Jalan para Ahli Ibadah),
Khatulistiwa pers, Jakarta. 2011
Al-Ghazali, Mizan al-Amal, terjemahkan oleh M. Ali Chasan Umar, CV. Toha
Putra, Semarang, 1982.
Al-Ghazali, al-Qawaid al-Asyr, dalam Majmu’at Rasail al Ghazali, Cairo. 1994
Francis mac Donald, The Republic of Plato, Oxford University Press, London,
1963
Frederick Copleston SJ, A History of Philosophy, Image Books, New York, 1960
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Kindi, Makalah dalam Filosof Muslim, Editor: MM,
Syarif MA, Mizan, Bandung, 1998
Hanna al-Fahri, Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Muassasah li
Thibaat wa al-Nasyr, Beirut, 1963
Ibrahim Madkour, Fi Falsafah al-Islamiyyah wa al manhaj wa Tadbiquh, Dar al-
Ma’arif, Cairo. 1968
Bakhtiar Hussein Siddiqi, Nasr al Din al-Thusi, makalah dalam filosof muslim,
Mizan, Bandung. 1999
Sigmund Freud, On Creativitty and Unconscious, Harper, New York
John B. Watson, Behaviourisme, university of Chicago press, USA, 1930
Frank G. goble, the Third Force, the Pshychology of Abraham Maslow.
Diterjemahkan oleh A. Supratiknya, Washington, New York
Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’yat al qubra, Dar al-Fikr, Mesir
Muhammad Ibrahim al-Fayyumi, al-imam al-Ghazali wa alaqat al-Yaqin bi al-
aql, Dar al-Fikr, Cairo
M. Sholihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Pustaka Setia, Bandung, 2003
Sayyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Mizan, Bandung,
2002.
Al-Zubaidi, Ittihaf al-Sadaat al-Muttaqin bi Sarh Ihya Ulumuddin, Dar Kutub,
Beirut. 1989
Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat (Filsafat Eskatologi Mulla
Sadra), Sadra International Institute, 2012.
M. Aamin al-Kurdi, Menyucikan hati dengan Cahaya Ilahi, (terj. Muzammal
Noer, judul asli: Tanwir Al-Qulub Li Mu’amalati ‘allam Al-Ghuyub),
Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003, Cet.I
Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`ân, 20 Kairo: Dar al-Kutub al-
Mishriyyah, 1964.
Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur`ân, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-
Turats al-‘Arabi, 1420 H).
Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Amatullah Amstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf,
Bandung: Penerbit Mizan, Cet. 1, 1996.
Yulianto
Universitas Islam Raden Rahmat Malang
ahmadyulianto955@gmail.com
Millatuz Zakiyah
Pusat Mata Kuliah Pendidikan Karakter Universitas Brawijaya
millatuzzakiyah@ub.ac.id
Abstract
Al Ghazali’s Zuhud is one of the thoughts of Al Ghazali that can be
implemented as an anticorruption education in early childhood and elementary
school. In this study discussed (1) how the concept of zuhud perspective Al
Ghazali and (2) how the implementation of zuhud as anti-corruption education.
Zuhud reactualization can be applied in the four basic needs of human life
include zuhud behavior in food ownership [al-maṭ'amu], dressed [al-malbasu],
and furniture [aṡāṡuu al-bayti]. On anticorruption education in preshool
education and elementary education, zuhud in Al Ghazali's perspective can be
actualized through two strategies, learning program and habituating.
Keywords: zuhud, anticorruption education, Al Ghazali
Abstrak
Zuhud perspektif Al Ghazali merupakan salah satu pemikiran Al Ghazali yang
dapat diimplementasikan dalam pencegahan tindak pidana korupsi melalui
pendidikan antikorupsi pada anak usia dini dan sekolah dasar. Dalam penelitian
ini dibahas (1) bagaimana konsep zuhud perspektif Al Ghazali dan (2)
bagaimana implementasi zuhud sebagai pendidikan antikorupsi. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa reaktualisasi perilaku konsep zuhud dapat diterapkan
dalam empat dasar kebutuhan hidup manusia meliputi perilaku zuhud dalam
239
Yulianto dan Millatuz Zakiyah
PENDAHULUAN
Pengaruh dan kedudukan al-Ghazali dalam perkembangan pemikiran
umat manusia adalah selevel Aristoteles (al-Badawi: 9, 1977) sehingga tidak
aneh jika pemikiran al-Ghazali dikaji oleh banyak pemikir dunia timur dan
dunia barat. Mulai dari proyek menterjemah, menyadur, mensyarah,
menduplikat, dan seterusnya. Bahkan di antara para pemikir yang terpengaruh
oleh gaya berpikir al-Ghazali tersebut terdapat nama-nama besar seperti
Mcdonald, Goldziher, Willim Henry Temple Gairdner, Luis Massignon,
Pallacios, dan lain sebagainya. Lebih dari itu bahkan ada yang berusaha
mengomparasikan antara pemikiran al-Ghazali dengan pemikir barat semisal
perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan Dekrates dalam permasalah
keraguan, perbandingan pemikiran al-Ghazali dengan Kant dalam konteks kritik
akal teoritis dan aplikatif, dan seterusnya (Qoribulloh: 8, 1978).
Di dunia timur khususnya Indonesia, pengaruh pemikiran al-Ghazali
terlihat sangat terang benderang. Mulai pemikiran tasawufnya yang dijadikan
pijakan resmi bertasawuf salah satu ormas keagamaan terbesar Indonesia
bernama Nahdlotul Ulama (Asyari: 9, 1418 H ) sampai berbagai pemikiran
pendidikannya yang di bedah dalam berbagai dimensinya: filsafat pendidikan,
konsep ilmu, tahap pendidikan, etika guru dan murid, motivasi belajar, dan lain
sebagainya (Iqbal: v dan vii, 2013). Bahkan dalam narasi Nurcholis Madjid,
salah satu tokoh cendikiawan muslin Indonesia, al-Ghazali adalah “salah seorang
pemikir paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam
sejarah intelektual manusia”. masih menurut Nurcholis Madjid, al-Ghazali
adalah “orang terpenting sesudah Nabi Muhammad saw., ditinjau dari pengaruh
dan peranannya menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan” (Madjid:
33, 1994).
Berdasarkan uraian tersebut, Hujjatul Islam Al Ghazali daat dikatakan
sebagai ulama multiera yang memungkinkan pemikirannya dapat
diaktualisasikan pada masa ini. Salah satu pemikira monumentalnya adalah
240 Hotel Borobudur Jakarta, 18 – 20 Januari 2018
Reaktualisasi Zuhud Al Ghazali Sebagai Model Pendidikan Antikorupsi
pada Pendidikan Anak Usia Dini dan Dasar
zuhud. Zuhud merupakan perilaku meninggalkan duniawi menuju ridlo ilahi.
Meskipun berdimensi spiritual, pemikiran zuhud ini ternyata dapat menjangkau
lebih dari sekadar dimensi manusia dan tuhan.
Di sisi lain, sebagai salah satu masalah genting yang dimiliki negara ini,
korupsi merupakan tindak pidana yang berdampak langsung terhadap stabilitas
negara. Berdasarkan laporan laman resmi KPK, per 30 Juni 2017, di tahun 2017
KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian:
penyelidikan 48 perkara, penyidikan 51 perkara, penuntutan 41 perkara,
inkracht 40 perkara, dan eksekusi 40 perkara. Total penanganan perkara tindak
pidana korupsi dari tahun 2004-2017 adalah penyelidikan 896 perkara,
penyidikan 618 perkara, penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan
eksekusi 454 perkara. Menurut survei ICW (2017) kerugian negara yang
disebabkan oleh tindak pidana korupsi sepanjang 2016 mencapai 3,085 triliun.
Gambar 1 Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi
(sumberhttps://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian literature review. Penelitian ini
menggunakan konsep zuhud persepektif Al Ghazali yang diperoleh dari al-
International Seminar on Imam al-Ghazali’s Sufism 243
The Role and Contribution of Imam al-Ghazali on Peace and Harmonious World
Yulianto dan Millatuz Zakiyah
Arbaˋ Īna Fī Uṣūliddīna dan Ihyā’ Ulūmiddīna. Konsep zuhud ini kemudian
disarikan sesuai kebutuhan pengembangan model pendidikan antikorupsi pada
pendidikan usia dini dan pendidikan dasar.
Program
Program
Pembiasaan
Pembelajaran
(Habituasi)
Pemodelan praktik
Jumat Beramal
jual-beli
dalam pembelajaran tematik pada anak usia SD. Untuk lebih jelasnya dapat
dirinci dalam tabel berikut.
Tabel 1 Kegiatan Pemodelan Jual Beli
No Kegiatan
Kegiatan 1
1. Guru dan siswa pergi ke pasar/ toko swalayan
2. Siswa diberi sejumlah uang untuk dibelanjakan
3. Siswa berbelanja selama 10 menit
4. Guru memberikan konsep “kebutuhan” dan “keinginan”
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fattah, Munawir dan Bisri, Adib, Qōmus al-Bisrī, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999.
Al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mursyidu al-Amīn, Cet. I, Jakarta: Darul Kutub al-
Islamiyah, 2004.