You are on page 1of 9

Esai Deskriptif

Warkop
Warung kopi yang biasa disebut warkop, tak pernah tak terlihat di setiap wilayah-wilayah
dan pinggiran kota. Dengan kursi-kursi yang memanjang membuat nyaman dan sangat cocok untuk
tempat ngumpul bersama teman-teman atau pun kerabat. Dengan aneka makanan dan minuman
yang bisa dipesan. Rata-rata pengunjung warkop adalah mereka-mereka yang ingin bersantai dan
sekedar melepas lapar dan dahaga. Dan karena itu juga mereka terlihat sama dimata saya. Ketika
mereka duduk bercengkrama dan dengan lahapnya menikmati makanan yang disajikan. Ada juga
yang asyik menghisap vape sejenis rokok elektriknya. Yaa. . mereka terlihat sama dengan atribut itu,
koran, kopi, shisha, rokok, dan vape.
WARKOP PINGGIRAN 45 yang terletak di jl. Arifin Achmad Pekanbaru ini adalah salah satu
warkop yang terkenal di Pekanbaru ini tidak pernah lepas dari kata keramaian disetiap malamnya.
Kebetulan saya adalah waiters di warkop ini, setiap malam saya menemui konsumen yang datang.
Terlihat jelas perbedaan diantara semua pengunjung, ada yang datang sekedar menyantap
nikmatnya makanan, ada pula yang datang melepas lelah setelah kerja seharian. Dan ada pula yang
datang bersama teman-temannya untuk sekedar ngumpul bercanda dan bertukar informasi.
Berkali-kali saya dapati pelanggan yang hanya memesan secangkir kopi ekspreso dan sebotol
air mineral, mereka datang hanya untuk bermain gadget dan menikmati vape yang tak pernah lepas
dari genggaman mereka. Entahlah apa yang didapati dari hal itu, mungkin saja mereka sangat
menikmati hal itu.
Itulah warkop dengan segala rutinitasnya, dengan bermacam-macam karakter pelanggan
dan dengan bermacam-macam aktifitas yang mereka lakukan. Warkop adalah tempat berkumpul
dan santai yang tepat untuk hari yang melelahkan.

Esai Tajuk

Ramadhan, Piala Dunia dan pilpres, terasa saling berkaitan saat ini, untuk merefleksikan makna
kemenangan. Ramadhan, disebut “bulan kemenangan” yang ditandai dengan limpahan rahmat.
Piala Dunia dan pilpres, tak bisa dilepaskan dari hasrat untuk menjadi pemenang. Dalam politik, tak
ada kekuasaan tanpa kemenangan. Hasrat akan kemenangan merupakan sifat dasar manusia yang
kompetitif, juga hasrat untuk berkuasa (the will to power) seperti ditegaskan Nietzsche, menjadi
“manusia unggul” (Ubermensch).

Kemenangan adalah keberhasilan meraih target optimal yang diharapkan. Kemenangan ditentukan
oleh hasil akhir. Kemenangan dalam pilpres, misalnya, tak bisa dilepaskan dari hasil akhir
perhitungan suara. Karena itu, dalam kompetisi politik, nasihat bijak “kekalahan adalah kemenangan
yang tertunda” kerap terasa konyol. Sebab kekalahan dalam politik berarti “habis modal”. Apalagi
dalam kompetisi politik yang mengutamakan kapitalisasi modal untuk menggalang kemenangan.
Demi meraih hasil akhir kemenangan itulah, berbagai cara ditempuh, bila perlu menghalalkan segara
cara demi mencapai tujuan, seperti dogma Niccolo Machiavelli.

Dimensi Etis Kemenangan


Tapi kemenangan, sesungguhnya, tak melulu soal hasil. Ada dimensi etis yang
sesungguhnya inheren dan tak bisa diabaikan begitu saja dalam proses dan perjuangan mencapai
kemenangan. Itulah sebabnya “bagaimana meraih kemenangan” menjadi hal yang menentukan
kualitas suatu kemengan. Dimensi etis dalam kemenangan membuat kita menghargai proses,
sebagai bagian dari pergulatan mencapai kualitas keluhuran manusia. Sebab bila dimensi etis itu
hilang, maka kemenangan sebagai upaya meraih tingkat keluhuran, bisa menjadi sesuatu yang
merusak tatanan nilai.

Ada ‘kemenangan faktual’, dimana ukuran kemenangan didasarkan pada fakta, data,
peraturan/perundangan yang menjadi acuan ketetapkan. Berdasarkan fakta, kemenangan menjadi
tak terbantahkan. Semisal, dalam Piala Dunia 2014 kesebelasan Jerman mengalahkan Brasil 7-1.
Siapa pun, baik individu atau media, tak bisa membantah fakta itu. Kecuali bila ada televisi,
misalnya, “yang memang beda” lalu memanipulasi fakta itu menjadi kemenangan Brasil.
Karena kemenangan faktual bisa dimanipulasi, maka ada hal yang tak boleh dilupakan, yakni hal
yang substansial dalam kemengan. Inilah yang sering disebut dengan ‘kemenangan substansial’,
dimana proses dan cara bagaimana kemenangan diperjuangkan mendapat apresiasi, karena dimensi
etis yang dicapainya. Kesebelasan Belanda dikenal sebagai “juara tanpa mahkota” karena total
football-nya yang indah. Ada substansi yang membuat perjuangan meraih kemenangan menjadi
berharga, bahkan terkadang, mendapatkan apresiasi tinggi kemenangan faktual yang diraih tidak
dengan cara-cara elegan.
Ketika yang faktual dan subsantial menjadi hal yang tak terpisahkan, itulah ‘kemenangan ideal’. Fair
play, sebagaimana dalam sepakbola, adalah manifestasi keinginan mencapai yang ideal itu. Dimensi
etis itu memprasyaratkan bahwa yang substansial tak bisa dipisahkan dari perkara tekhnis dan
prosedural untuk mencapai kemenangan.

Dimensi etis juga membuat kemenangan sering dipandang sebagai sesuatu yang tak bisa dilepaskan
dari yang transendental, sebagaimana banyak diutamakan dalam implementasi keimanan; seperti
makna puasa sebagai upaya “meraih kemenangan” yang merupakan proses kesadaran yang bersifat
transcendental. Dalam ‘kemenangan transendental’ ada prosen pencarian yang bukan lagi untuk
semata-mata pembuktian kemenangan diri, tetapi pencapaian menuju yang ilahiah. Kemenangan
transcendental boleh jadi bersifat relatif dan sangan indivisual, tetapi kedalamaan makna yang
dicapainya bersifat keilahian (religiosistas) dan menjadi tak terukur nilainya, justru karena ia tak
hanya sekedar perkara yang faktual.

Hierarki Nilai

Bagaimana dimensi-dimensi kemenangan di atas menjadi relevan bagi tiap orang, tentu saja
berbeda-beda penyikapannya. Tapi kita bisa mengimplementasikan “hierarki nilai” Max Schekler,
filsuf Jerman, untuk “mengukur dan menilai”, sejauh apa kemengan itu mejadi berarti bagi
kemanusiaan kita. Menurut Scheler, terdapat hierarki nilai dari tingkat rendah ke yang lebih tinggi.
Hirearki ini bersifat mutlak atau absolut, mengatasi perubahan historis, dan terlebih “membangun
suatu sistem acuan dalam etika” untuk “mengukur dan menilai perubahan moral dalam sejarah”
(Paulus Wahana, 2008).

Hirearki nilai itu, (1) nilai kesengan, yang bisa dibilang tingkat terbawah, karena didasarkan pada
kesenangan inderawi, kepuasan yang ditimbulkannya hanya pencapaian kesenangan individua. (2)
nilai vitalitas atau kehidupan, meliputi seuatu yang luhur, kesejahteraan umum, yang tidak dapat
direduksikan. (3) nilai spiritual, yang lebih tinggi, yang tak bisa dilepaskan dari nilai estetis, benar
dan salah, juga pengetahuan. (4) nilai kesucian/keprofanan, yang bernilai absolut, yang membawa
pada pencerahan sekaligus penyerahan yang hakiki.

Lewat hierarki nilai itu, kita bisa meletakkan: ditingkatan mana sebuah kemenangan memperoleh
maknanya. Misalkan, kemenangan transendental bisa saja bernilai kesenangan pribadi, sejauh ia
hanya memberi kesenangan pada diri sendiri. Sebaliknya, kemenangan faktual bisa bernilai spiritual
atau mencapai tingkat keprofanan, apabila ia memberikan pencerahan dan nilai yang luhur bagi
banyak orang. Seberapa tinggi dan mulai kemenangan, pada akhirnya bisa dilihat dari seberapa
jauh ia memiliki kebergunaan seluas-luasnya.
Maka, bagaimana menilai kemenangan dalam pilpres kali ini, sesungguhnya bisa dilihat dari apakah
kemenangan itu hanya menguntungkan individu/golongan, ataukah kemenangan bangsa.
Bagaimana kemenangan itu dicapai, ditentukan serta diterima, akan memperlihatkan tingkatan
“hirearki nilai kemenangan” yang dicapai oleh bangsa kita hari ini. Dan dalam negara demokrasi,
kemenangan tertinggi mestilah menjadi kemenangan rakyat, karena kemenangan dalam politik
semestinya tidak berhenti sebagai kemenangan untuk mencapai kekuasaan dan ambisi pribadi, tapi
kemenangan yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Mantan presiden Abdurahman Wahid bernah menegaskan, “Tak ada satu pun kekuasaan yang layak
dipertahankan dengan pertumpahan darah.” Saya kira, begitu pun dengan kemenangan. Tak perlu
ada “pertumpahan darah” hanya untuk kemenangan. Apalagi bila kemenangan itu memang
diniatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Saya percaya, kemenangan terindah adalah kemenangan untuk kemanusiaan.

KOMPAS, Senin, 21 Juli 2014.


Esai Pribadi

Cerita tentang diriku sendiri

Nama saya Ria Ardiza. Nama panggilan saya Ria tapi biasanya orang-orang terdekat
saya memanggil IA. Saya lahir di Jakarta, 07 Desember 1993. Saya anak kedua dari tiga
bersaudara Dari kami bertiga saudara Saya sangatlah dekat dengan adik saya. Setiap anak pasti
sangat sayang oleh kedua orang tuanya sayapun begitu saya sangat sayang sekali dengan kedua
orang tua saya. semasa saya kecil saya sangat suka makan ayam goreng, es krim, kue-kue yang
isinya krim buah-buahan terutama buah durian sampai sekarangpun saya suka makan sehingga
badan saya menjadi gemuk (sedikit besar). Saya juga sangat suka jalan-jalan,membaca komik,
menonton film (film bergendre action, film indonesia jika ada yang bagus, kartun dan drama
korea), mendengarkan lagu-lagu.
Dimasa saya SD saya bersekolah di SDN XXIII Bekasi, waktu disekolah dulu saya
sangat aktif mengikuti ekstrakurikuler pramuka. Karena saya sangat aktif saya sering sekali
absensi atau izin disaat di jam pelajaran. Terkadang saya membawa buku pelajaran sedikit
karena sudah punya perkiraan pasti dijam pelajaran tertentu akan meminta izin keluar. Saya di
SD dulu termasuk anak yang biasa-biasa saja bukan anak-anak yang trendi atau anak-anak
berkelompok-kelompok saat beemain.
Saat SD saya juga bertemu teman yang sangat baik bahkan saya menjadi teman terdekat
saya. Dia bernama Ufairah Hanifah Indriatin setelah saya lulus SD saya melanjutkan SMP.
Saya mencoba daftar ke SMPN 07 Bekasi tapi gagal karena disaat tes ujian masuk SMP saya
hanya kurang nilai 0,5. Akhirnya saya mendaftar SMP Jaya pada saat tes ujian masuknya dan
hasilnya saya berhasil. Di SMP saya juga sangat aktif mengikuti ekstrakurikuler di PMR
(Palang Merah Remaja).
Disaat SMP saya sering sekali telat dan terkena hukum sehingga para guru-gurupun
bosan menghukum saya dan bingung harus menghukum apalagi. Sewaktu PMR mengadakan
pertandinngan saya terpilih untuk menjadi peserta perwakilan dari sekolah. Untuk
mempersiapkan perlombaan setiap hari saya dan tim saya melakukan pelatihan intensif
walaupun saya senang selama latihan di izinkan untuk tidak masuk di jam pelajaran dan badan
terasa hampir remuk karena keletihan tetapi saat perlombaan kami menang juara dua sekota
bekasi.
Setelah saya lulus SMP saya melanjutkan SMA. Saya mencoba mendaftar di
SMA 12 pada saat tes ujian masuknya dan hasilnya saya berhasil.disaat hari pertama masuk
SMA terasa berbeda, merasakan gugup, dan mulai-mulai bergaya karena sudah merasa dewasa
bukan lagi sebagai mahasiswi SMP. Dimasa-masa bangku SMA saya juga saya sering sekali
terkena hukuman karena terlambat. Hukumannya berupa berdiri di tengah lapangan dengan
sikap memberi hormat ke hadapan bendera merah putih, menyapu di dekat kelas-kelas lain
dll. Di SMA saya juga mengikuti ekstrakurikuler PASKIBRAKA tapi tidak terlalu aktif. pada
masa-masa SMA saya sangat senang jalan-jalan kemall bersama teman-teman, nonton, makan,
dll.Saya juga pernah membolos sekolah karena saya disaat itu saya tidak mengerjakan pr, disaat
mata pelajaran yang terakhir yaitu mata pelajaran olah raga saya pernah kabur bukan karena
sakit tapi karena ingin menonton suatu film dibioskop dengan teman-teman tapi akhirnya tidak
jadi menonton salah satu teman saya takut bertemu dengan orang tuanya di mall dan akhirnya
saya dan teman-teman saya hanya berkumpul bermain di suatu kedai pop ice sampai sore
hari. Saat SMA saya juga bertemu teman yang sangat baik dan cukup dekat sampai sekarang.
Dia bernama Gagat Woro Upadi, Fitriyanti, lulu, dllnya yang tidak bisa saya sebut namanya
semua. setelah saya lulus SMA saya melanjutkan kejenjang yang harus lebih serius yaitu
kuliah. Saya mencoba daftar di Universitas Jakarta dan ITB tapi gagal. Lalu saya menerima
surat undangan beasiswa dari Universitas Gunadarma. Akhirnya saya sekarang kuliah di
Universitas Gunadarma dan mengambil fakultas ilmu komputer dengan jurusan sistem
informasi. Pada sekarang ini di kuliah saya juga bertemu teman yang sangat baik dan cukup
dekat. Dia bernama Yulia Puspita, Aprilia Radiaty, Nur Ayusolihatin,Ayu dwi,
Iman,Bonaventura,Ila,Sofi,Valian,Egit Heri Wijaksono,Avrijal,Fariski Zaki,Muhammad
Rifky,Leni,dede arif,eka putra,dllnya yang tidak bisa saya sebut namanya semua. saya di kuliah
sekarang juga sangat senang jalan-jalan bersama teman-teman, nonton, makan, dll. Dimasa-
masa kuliah sekarang sangatlah berbeda dan sangat menyenangkan semoga saja pertemanan
yang saya jalani semuanya tidak akan berhenti ataupun putus berkomunikasi dan berteman
terus sampai saya tua nanti. Cukup sekian cerita tentang diriku sendiri dan terimakasih yang
sudah membacanya.
Penulis Mengubah Sejarah Hidup Dengan Madre
Dewi Lestari, yang juga dikenal dengan nama pena Dee, lahir di Bandung, 20 Januari 1976.
Sepanjang kiprahnya sebagai penulis sejak tahun 2001, Dee telah memepereoleh berbagai
penghargaan karya sastra dan semua bukunya selalu menjadi bestseller. Beberapa bahkan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Namun baginya, hadiah terbesar sebagai penulis ada
ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah, hidup pembacanya.
Madre merupakan buku Dee yang ketujuh sekaligus kumpulan fiksi ketiganya setelah Filosofi Kopi
(2006) dan Rectoverso (2008). Ia tinggal di pinggir kota Jakarta yang tenang bersama suami dan
dua anaknya tercinta.
Madre yang menceritakan kisah hidup seorang bernama Tansen tiba-tiba mendapat warisan dari
orang yang sangat belum dia kenal. Bernama Tan Sie Gie, orang yang mencantumkan namanya
dalam daftar warisan di surat wasiatnya. Seketika itu Tansen bingung karena merasa dimasukkan
ke dalam cerita yang dia tidak mengetahui sama sekali apa yang sedang terjadi.
Suatu hari, Tansen bersama seorang pengacara yang ditunjuk Pak Tan menuju sebuah toko tua
tanpa plang. Masuklah kedua orang itu dan di dalam disambut oleh Pak Hadi, penjaga toko tua
itu. Rupanya penjaga rumah itu sangat menantikan sekali kedatngan Tansen ke tempat yang mati
itu. Sempat Tansen menolak dan ingin memberikan warisan yang menjadi hak nya itu untuk
diberikan kepada Pak Hadi. Namun seiring berjalannya waktu, saat Pak Hadi menceritakan silsialh
dah cerita asal muasal kenapa nama Tansen disebut dalam surat wasiatnya. Namun pada
akhirnya Tansen mau menerima harta warisan itu dari pak Hadi. Dikeluarkannya amplop dan
diberikan kepada Tansen. Ternyata isi amplop itu adalah kunci untuk membuka bankas yang saat
dibuka berisi sebuah biang yang disebut Madre.
Sejak itu, kehidupan Tansen yang semula tak teratur, hidup bebas hari demi hari mulai berubah.
Pekerjaan yang ia geluti kini adalah untuk menghidupkan kembali toko yang telah lama mati.
Padahal dulu toko roti itu merupakan yang terlaris di Jakarta. Mulai saat itu, Tansen mulai serius
menggarap pekerjaan besarnya itu sesuai dengan jiwa pemudanya hingga sukses dan berjaya
seperti dulu kala.
Sebagaimana karya-karya Dewi Lestari ada pada isi dan bentuk ceritanya. Gaya bercerita Dee
yang pandai menciptakan cerita-cerita yang tidak begitu berat untuk dibaca. Kekuatan antar
kalimat yang mengalir ringan dan selalu membuat penasaran namun tidak asalan, selalu
ditunjukkan dari setiap karya-karya Dewi Lestari. Dalam gaya bercerita yang sangat imajinatif,
mengutamakan sesuatu yang sangat luar biasa menjadi ciri khas Dewi Lestari. Konflik yang berat
dibuat ringan menurut gaya pemikiran Dewi Lestari.
Madre, memiliki tema yang bisa dikatakan lain. Dia mampu membuat cerita yang mengangkat
sesuatu yang ada dimasyarakat walaupun dari sesuatu yang kecil menjadi karya yang bagus.
Keseimbangan antara isi dan bentuk membuat berbeda dengan yang biasa dijumpai dari
pengarang-pengarang yang lain. Selain itu gaya bahasa yang digunakan tidak monoton.

Esai Reflektif
“Pentingnya Kurikulum bagi Guru”

Sering sekali kita mendengar bahwa masa depan bangsa terletak pada generasi muda. Mutu
bangsa di kemudian hari bergantung pada pendidikan yang dinikmati anak-anak saat ini, terutama
dalam pendidikan formal. Apapun yang akan dicapai di sekolah harus ditentukan oleh kurikulum
sekolah. Guru merupakan seorang yang seharusnya telah menguasai kurikulum, seorang guru
memiliki peranan yang sangat penting dalam mencetak generasi muda yang berkualitas serta
berperan penting memegang dan mengatur nasib bangsa dan Negara ke depannya.
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di
Indonesia, karena pendidikan Indonesia yang dimaksud ialah pendidikan yang dilakukan di bumi
Indonesia untuk kepentingan Indonesia.
Apa itu kurikulum? Kurikulum merupakan perangkat mata pelajaran dan program pendidikan
yang diberikan oleh suatu bangsa penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang
akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.Penyusunan
perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang sekolah.
Peranan landasan filosofis pendidikan adalah memberikan rambu-rambu apa dan bagaimana
seharusnya pendidikan dilakukan. Rambu-rambu tersebut bertolak pada kaidah metafisika,
epistemology, dan aksiologi pendidikan sebagaimana study dalam filsafat pendidikan.
Salah satu fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang pada
dasarnya kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan
berinteraksi satu sama lainya dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Komponen merupakan suatu
sistem dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya,
sebab kalau satu komponen saja tidak ada atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para ahli
berbeda pendapat dalam menetapkan komponen-komponen kurikulum.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947,1952,1964,1968,1975,1984,1994,1999,2004, dan
2006. Perubahan logis tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahansistem
politik,sosial budaya,,ekonomi dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu pancasila dan UUD 1945,
perbedaannya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya. Beberapa masa pemberlakuan kurikulum yaitu kurikulum sederhana(1947-1964),
pembaharuan kurikulum (1968-1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), dan
kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP. Melalui unit 4 akan mempelajari perkembangan kurikulum
sekolah(KTSP) Untuk itu, sajaian ini akan dikemas daalam tiga subunit yang terdiri atas :
1. Kurikulum rencanan pelajaran, 2. Kurikulum Berbasis pada pencapaian tujuan serta, 3. Kurikulum
Berbasis kompetensi(KTSP).
Perbedaan Kurikulum 2006 dan 2013. Kurikulum 2013 Standar komptensi
lulusan ditentukan terlebih dahulu, melalui Pemendikbud , setelah itu baru ditentukan standar isi
yang berbentuk kerangka dasar kurikulum sedangkan KTSP standar isi ditentukan terlebih dahulu
melalui Pemendiknas, setelah itu ditentukan SKL melalui Pemendiknas. Pada Kurikulum 2013 Aspek
kompetensi lulusan ada keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputu aspek kompetensi
sikap,keterampilan,dan pengetahuan sedangkan pada kurikulum 2006 lebih menekankan pada aspek
pengetahuan. Sereta pada Kurikulum 2013 jumlah jam pelajaran per minggu lebih banyak dan jumlah
mata pelajaran lebih sedikit dibanding KTSP.
Menurut saya Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini semakin. Hal ini terbukti dari kualitas
guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru saat ini kurang kompeten . Banyak orang yang
menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Sarana pembelajaran juga
turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah
terbelakang. Namun bagi penduduk terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Pengajar yang kreatif adalah memiliki banyak metode
dalam mengajar peserta didik serta bersikap jujur dalam penilaian. Menurut saya Pendidikan bukan
lagi sebatas kewajiban yang harus dilakukan tetapi merupakan proses hidup menuju suatu
kesuksesan dan kesejahteraan tiap individu.Indonesia harus memiliki Kurikulum yang konsisten dan
tetap mengutamakan tujuan pendidikan nasional.
Oleh karena itu, disini saya menekankan kepada guru-guru di Indonesia untuk dapat
memberikan penyampaian materi yang menarik dan menjadikan waktu-wktu belajar menjadi waktu-
waktu paling menyenangkan bagi anak didik,serta mampu mengoptimalkan kurikulum yang ada.
Semoga sistem pendidikan di negara kita menemukan bentuk optimalnya, menjadikan kurikulum kita
konsisten dan sesuai bagi setiap generasi bangsa. Serta mampu mengubah sudut pandangnya dan
berorientasi pada kualitas. Tidak hanya dari pengajar , tapi juga peserta didik, masyarakat, dan
lingkungan. Karena dengan adanya kurikulum yang konsisten dengan mengutamakan kualitas,
kemampuan individu akan menjadi berkembang dan berguna.

You might also like