You are on page 1of 22

Topik: Congestive Heart Failure (CHF)

Tanggal (kasus): 1 Oktober 2018 Presenter: dr. Faidh Husnan


Tangal presentasi: Oktober 2018 Pendamping: dr. Nur Cahyono Anggorojati
Tempat presentasi: RSUD Majenang
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan  □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan pustaka
□ Diagnostik  □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa  □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi:
Pasien datang Pkl 21.20 WIB 01 Oktober 2018
Keluhan utama
Tn S 40 Tahun dengan keluhan sesak.

□ Tujuan:
 Mengetahui penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan CHF
Bahan bahasan: □ Tinjauan pustaka  □ Riset □ Kasus  □ Audit
Cara □ Diskusi □ Presentasi dan diskusi  □ E-mail □ Pos
membahas:
Data pasien: Nama: Tn S RM: 05 97 11
Nama klinik: RSUD Majenang
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
CHF
RPS:
Pasien datang dengan keluhan sesak napas dirasakan sejak 1 tahun dan memberat sejak satu hari
SMRS sampai pasien tidak dapat tidur. Sesak napas dirasakan terus menerus dan bertambah berat
jika pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan dari kamar ke kamar mandi serta
berkurang apabila pasien duduk atau tiduran menggunakan bantal yang tinggi. Pasien biasanya
tidur menggunakan 3 bantal. Setiap malam pasien hampir selalu terbangun dikarenakan sesak
napas yang dirasakannya.
Sesak napas pada pasien tidak disertai bunyi ngik-ngik. Keluhan ini disertai dengan kaki yang
membengkak. Kaki bengkak dirasakan sejak tiga hari yang lalu. Keluhan kaki bengkak sudah
pernah dirasakan sebelumnya. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam jangka
waktu lama. Keluhan kaki membengkan tidak kunjung membaik dalam tiga hari terakhir
sehingga membuat pasien sulit beraktivitas
Pasien juga menyatakan nyeri pada bagian ulu hati sejak kurang lebih satu minggu SMRS. Nyeri
ulu hati ini dirasakan seperti sebah dan kembung, hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman ketika
pasien bernafas. Nyeri ulu hati membaik apabila pasien diberikan makanan, dan memburuk
apabila tidak makan dalam jangka waktu yang lama. Nyeri ulu hati tidak diikuti dengan bab
berwarna hitam.
2. Riwayat kesehatan/Penyakit:
 Riwayat Hipertensi : Diakui
 Riwayat Penyakit Jantung : Diakui
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
 Riwayat batuk-batuk lama : Disangkal
 Riwayat sulit BAB/BAK : Disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya : Disangkal

3. Riwayat keluarga:
 Riwayat Hipertensi : Diakui
 Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
 Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
4. Riwayat Pekerjaan:
Pasien merupakan seorang petani
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik:
Pasien tinggal dengan mertua, dan kedua anaknya
6. Lain-lain: (-)
Daftar Pustaka:
1. Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L. et all, ed.17th Edition
Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill, 2152-2180.
2. Divisi “Critical Cardiology” dan Kardiologi Klinik Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskular Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia. 2008. Jakarta.
3. Dumitru, I., Baker, M., 2010. Heart Failure. Ohama: Departement of Internal Medicine,
Section of Cardiology, University of Nebraska Medical Center. Available from:
4. Dumitru, I., Baker, M., 2010.Heart Failure. Ohama: Departement of Internal Medicine, Section
of Cardiology, University of NebraskaMedical Center. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview[accessed 04 Oktober 2018].
5. Edwards, MM. O’Gara, PT. Lilly LS. Valvular Heart Disease. In: Lilly LS,
Ed.Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins;
2007.
6. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams &
Wilkins 2007.
7. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal medicine.2005; ed XVI
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview [accessed 04 Oktober 2018].
8. Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., et al 2009 Focused Update Incorporated Into the
ACC/AHA Guidelines for the Diagnosis andManagement of Heart Failure in the Adult: A
Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
onPractice Guidelines (Committee to revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and
Management of Heart Failure). Circulation 119;e391-e479.
9. Jessup, M., Brozena S., 2003. Heart Failure. N Engl J Med ; 2007-2018
10. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Volume 2.
11. Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta :
PAPDI, 1679-1679.
12. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
13. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.
Hasil pembelajaran:
1. Definisi CHF
2. Penatalaksanaan CHF

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Pasien datang dengan keluhan sesak napas dirasakan sejak 1 tahun dan memberat sejak satu hari
SMRS sampai pasien tidak dapat tidur. Sesak napas dirasakan terus menerus dan bertambah berat
jika pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan dari kamar ke kamar mandi serta berkurang
apabila pasien duduk atau tiduran menggunakan bantal yang tinggi. Pasien biasanya tidur
menggunakan 3 bantal. Setiap malam pasien hampir selalu terbangun dikarenakan sesak napas
yang dirasakannya.
Sesak napas pada pasien tidak disertai bunyi ngik-ngik. Keluhan ini disertai dengan kaki yang
membengkak. Kaki bengkak dirasakan sejak tiga hari yang lalu. Keluhan kaki bengkak sudah
pernah dirasakan sebelumnya. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam jangka
waktu lama. Keluhan kaki membengkan tidak kunjung membaik dalam tiga hari terakhir sehingga
membuat pasien sulit beraktivitas
Pasien juga menyatakan nyeri pada bagian ulu hati sejak kurang lebih satu minggu SMRS. Nyeri
ulu hati ini dirasakan seperti sebah dan kembung, hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman ketika
pasien bernafas. Nyeri ulu hati membaik apabila pasien diberikan makanan, dan memburuk
apabila tidak makan dalam jangka waktu yang lama. Nyeri ulu hati tidak diikuti dengan bab
berwarna hitam.

2. Objektif:
1. Keadaan umum : Tampak sesak, lemah
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda vital :
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Nadi : 88x/ menit regular
Respirasi : 28x/ menit
Suhu : 36,5ºC

4. BB : 50 kg
5. TB : 160 cm
6. Status Generalis
a. Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+)
Rambut : Tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat
isokor,diameter 3 mm

THT : Tonsil T1 – T1, lidah tampak kotor (-),


tremor (-),discharge (-), napas cuping hidung (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
Leher : deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, JVP 5+4
cmH2O
b. Pemeriksaan Dada
Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketinggalan
gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan
bentuk dada (-), retraksi interkostalis (+)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD


Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Ronki basah halus +/+ dibagian
basal, Ronki basah kasar -/-, Wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi epigastrium (+), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS kuat angkat.
thrill (+)
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : Apeks: M1 > M2, murmur diastolik. Punctum
maksimum pada apex, penyebaran ke lateral. Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) N
Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrik , test undulasi (+),
Hepatojugular Refleks (-)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Hepar : Sulit dinilai
Lien : Sulit dinilai
Renal : Nyeri ketok kostovertebrae -/-

Ekstremitas :
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - + +
Sianosis - - - -
Akraldingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

a. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah Rutin
HEMATOLOGI RUTIN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hb 14,8 g/dl 12,0-18,0
HCT 44  35-47
AL 7,03 103/l 4,5-10,5
AT 176.000 103/l 150-450
AE 5,7 106/l 4,5-6,5
GDS 71 mg/dL <200
SGOT/PT 43/25 U/L <25/<30
Ureum/kreatinin 17/1 10-50/0,6-1,3
2) EKG

3) Thorax Pa
Kesimpulan: Cardiomegali (LV, LA), Elongatio aorta, Gambaran bronkhitis, Pelebaran hilus
kanan-kiri Suspek dilatasi vaskuler dd/ Limfadenopati.

3. Assessment
Congestive Heart Failure (CHF) Stadium C NYHA III

4. Plan:
1. Non Farmakologis
a. Bed rest
b. Diet rendah garam
2. Farmakologi
a. O2 4 lpm (Nasal Kanul)
b. IVFD NaCl 0.9% 10 tpm
c. Injeksi Furosemide (drip) 5 mg/jam
d. P.O. Digoxin 1x1/2 Tab
e. P.O. Captopril 3x12.5mg
f. P.O. KSR 1x1
5. Ringkasan Kasus
Diagnosis pasien ini adalah gagal jantung kronik (NHYA III Stadium C) Didasarkan oleh
anamnesis, yaitu sesak napas dan kedua kaki bengkak. Pemeriksaan fisik ditemukan adanya
edema inferior, ronki basah halus pada kedua paru bagian basal, peningkatan JVP.
Pemeriksaan EKG didapatkan non progressing R pada lead precordial dan non complete right
bundle branch block dan pemeriksaan rontgen thorax didapatkan adanya kardiomegali.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien ini ekokardiogram untuk menentukan
kemungkinan kelainan katub. Penanganan pasien ini dilakukan dengan memberikan ACE
inhibitor, diuretik, dan glikosida jantung

6. Tinjauan Pustaka

Congestive Heart Failure (CHF)


A. Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari definisi ini adalah pertama,
definisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan
pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi
miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme
kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal
jantung.

Beberapa istilah dalam gagal jantung :


1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari pemeriksaan fisis, foto
thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah
jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala
hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal
jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3
macam gangguan fungsi diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan
perikard. High output heart failure ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan
paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya
melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan
distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2
ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis,
trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan
penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang
terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih
terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir selalu disertai
peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward failure), karena ventrikel yang lemah
tidak mampu memompa darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah
di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan akhirnya
peningkatan tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung
atau seluruh rongga jantung.

B. Epidemiologi
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan
rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500
ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal
jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65%
adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-
10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.

C. Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek septum
ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang
dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa :
aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta,
penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan
adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis.
Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan penyakit
parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri
pulmonalis atau trikuspid.
D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York Heart Association
(NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah
atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas
biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang
ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang
ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan apapun tanpa
keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat.
American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) heart failure
guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi
menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit jantung struktural
atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejala-gejala dari
gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki gejala-gejala dari gagal
jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus.

E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot
skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga (Sylvia & Price, 2006).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Kumar, 2007).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Kumar, 2007).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh
darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Greenberg, 2007).
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung
kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan
semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin (Greenberg, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding
ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri
(Greenberg, 2007).
Gambar 3. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan klinis
disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi,
pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis yang dipakai adalah Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung
kongestif
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
2 kriteria minor.

G. Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang sebaiknya
dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin
serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada
atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya
disfungsi diastolik pada LV.

3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura. begitu
pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada
gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi
LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial
kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada
LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang
normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan
dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan
sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk paling
berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-diastolic
volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah
dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh
perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada
regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya
adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

H. Penatalaksanaan
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan
rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal jantung yaitu:
Stage A
Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah kelainan
struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko seperti
hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hiperlipidemia,merokok, konsumsi
alkohol, dan penggunaan obat-obatan kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi kejadian
kardiovaskular. Evaluasi periodik terhadap gejala dan tanda dari gagal jantung dapat dilakukan
pada pasien ini. Ventricular rate hausfi kontrol atau restorasi ke irama sinus pada pasien dengan
takiaritmia supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal jantung. Kelainan tiroid
juga harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko tinggi. Penyedia kesehatan
harus melakukan evaluasi nonivasif terhadap fungsi ventrikel kiri (mis, LVEF) pada pasien
dengan riwayat keluarga dengan kardiomiopati ataupun pasien yang menerima intervensi
kardiotoksik (Rekomendasi kelas I).
ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien dengan resiko
tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat penyakit aterosklerosis, DM, dan
hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan sebagai pengganti ACE inhibitor
(Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan suplemen nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan struktural jantung
tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)
Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan mengurangi
resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi dan progresi dari
remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada stadium A harus diaplikasikan pada
semua pasien dengan stadium B. Penyekat reseptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada
semua pasien dengan riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta blocker
juga diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE inhibitor harus digunakan pada
pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada gejala gagal jantng, meskipun telah
mengalami infark miokardium. Angiotensin II receptor blocker juga harus diberikan pada
pasien post-MI tanpa gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Revaskularisasi
koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang belum mengalami gejala gagal
jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup jantung harus direkomendasikan pada pasien
stenosis dan regurgitasi katup tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I).
ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan hipertorfi
ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah dan tanpa gejala
dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Penempatan ICD dapat dilakukan
pada pasien dengan kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai
fraksi ejeksi ventrikel kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat terapi medis
kronis (Rekomendasi Kelas II).
Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF (ejection fraction) rendah, irama
sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian suplemen nutrisi tidak direkomendasikan. Ca
channel blocker dengan efek inotrofik negatif dapat berbahaya pada pasien asimptomatik dengan
LVEF rendah dan tidak ada gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).
Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada pasien stage
ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada pasien dengan gejala sekarang
atau terdahulu dari gagal jantung dan penurunan LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE
inhibitor direkomendasikan pada semua pasien dengan gejala gagal jantung dan penurunan EF,
kecuali ada kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol, dan
metoprolol terbukti mengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada pasien ini kecuali
kontraindikasi. ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor.
Obat-obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus dihentikan dan
dicegah penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat antiaritmia, dan Ca Channel blocker.
Pemasangan implantable cardioverter-defibrillator direkomendasikan sebagai pencegahan
sekunder untuk memperpanjang survival pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi
ventrikular, atau takikardia ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini juga sebagai
pencegahan primer terhadap sudden cardiac death pada pasien kardiomiopati dilatasi iskemik
atau penyakit jantung iskemik dengan masa post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF ≤ 35% dengan
NYHA fungsional kelas II atau III. Pasien dengan LVEF ≤35%, irama sinus, dan NYHA
fungsional kelas III dan IV dengan durasi QRS ≥0,12 detik, harus dilakukan terapi resinkronisasi
jantung, dengan atau tanpa ICD. Pemberian antagonis aldosterone direkomendasikan pada pasien
dengan gejala sedang sampai berat dan penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus ≤2,5
mg/dL pada pria atau ≤2,0 mg/dL pada wanita dan kadar kalium harus ≤5,0 mEq/L . Kombinasi
hidralazine dan nitrat direkomendasikan pada pasien afro-amerika dengan gejala sedang dan berat
meskipun terapi yang optimal. Pada pasien gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik
dengan LVEF yang normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku.
Kontrol rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan fibrilasi atrium.
Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan penggunaan diuretik pada pasien
dengan LVEF normal.(Rekomendasi Kelas I).
Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan kontrol rate
ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama pada pasien dengan indikasi lain
penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan pada pasien dengan penurunan LVEF untuk
mengurangi masa rawatan. Penambahan kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan
penurunan LVEF pada pasien dengan gejala yang persisten dapat dilakukan. Penggunaan terapi
resinkronisasi jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi yang tepat. Kombinasi
hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE inhibitor dan
ARB, hipotensi ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner dapat dilakukan pada pasien
tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau iskemik miokardium. Restorasi dan
maintenance terhadap irama sinus pada pasien dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki
gejala pada gagal jantung dan LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca
antagonis efektif pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal. Penggunaan digitalis untuk
meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal belum diketahui
manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).
Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonist tidak
direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan secara rutin pada pasien
stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik positif dapat berbahaya dan tidak
direkomendasikan. Penggunaan suplemen nutrisi dan terapi hormon tidak direkomendasikan
(Rekomendasi Kelas III).
Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap retensi
cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris tahap akhir. Transplantasi
jantung terhadap pasien yang sesuai dapat direkomendasikan pada pasien ini, selain itu
penanganan khusus juga dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan
end-of-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan implantable
defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi alat tersebut (Rekomendasi
Kelas I).
Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien dengan
gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50% dengan terapi medis.
Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan pada gejala yang sangat berat.
Penggantian katup mitral belum terbukti pada pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi
mitral berat sekunder. Infus intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi
gejala dapat dilakukan (Rekomendasi Kelas II).
Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan kardiomiopati non-
iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari agen vassoaktif dan inotropik positif
tidak direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi
Kelas III).
Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. Alur Guideline ACC/AHA Tahun 2009


Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung meliputi:
1. Non farmakologi
Penyuluhan umuma.

a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.


b. Mengontrol berat badan
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam (<2 gr/hari)
ii. Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)
iii. Hindari konsumsi alcohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus
2. Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis
rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan
dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan,
berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik dantiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.

b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonaldan pada gagal jantung yang
disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

c. Beta Blocker
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian
dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila
keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung kelas fungsional II danIII.

d. Angiotensin II antagonis reseptor


Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan ACE
inhibitor dan diuretik.

e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat


Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat
dipertimbangkan.

f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel
kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.

g. Antikoagulan dan antiplatelet.


Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk.

h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atauaritmia ventrikel yang
tidak menetap.

i. Antagonis kalsium dihindari.

I. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada
penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

Majenang, Oktober 2018

DOKTER INTERNSHIP DOKTER PENDAMPING

dr. Faidh Husnan dr. Nur Cahyono Anggorojati


Lampiran

Follow up

Tanggal Keadaan Klinis Planning

S: Sesak
O: KU CM
P: Inf RL 500 cc/24 jam
TD: 170/100 mmHg
Inj Omz 40 mg/24 jam
N: 88 reg
Inj Furosemid drip 5
RR: 28x/m
mg/jam
01 10 18 S: 36,4
Po Digoxin 1x1/2 tab
22.05 SpO2: 96
Po Captopril 3x12.5 mg
St.lokalis:
DC
Thorax:
O2 4 lpm nk
S1<S2 G-M-
Sd ves+/+ Rbk +/+ di basal
A: Dyspneu ec CHF NYHA III
S: Sesak berkurang
O: KU CM
P: Inf RL 500 cc/24 jam
TD: 150/90 mmHg
Inj Omz 40 mg/24 jam
N: 80 reg
Inj Furosemid drip 5
RR: 24x/m
mg/jam
S: 36,4
Po Digoxin 1x1/2 tab
02 10 18 SpO2: 98
Po Captopril 3x12.5 mg
St.lokalis:
DC
Thorax:
O2 4 lpm nk
S1<S2 G-M-
Batasi intake cairan
Sd ves+/+ Rbk +/+ di basal
minimal
A: Dyspneu ec CHF NYHA III
S: Sesak berkurang P: Inf RL 500 cc/24 jam
O: KU CM Inj Omz 40 mg/24 jam
03 10 18
TD: 150/90 mmHg Inj Furosemid drip 5
N: 80 reg mg/jam
RR: 22x/m Po Digoxin 1x1/2 tab
S: 36,5 Po Captopril 3x12.5 mg
SpO2: 99% Aff DC
St.lokalis: O2 2 lpm nk
Thorax: Batasi intake cairan
S1<S2 G-M-
Sd ves+/+ Rbk +/+ di basal
minimal
A: Dyspneu ec CHF NYHA III
S: tak ada keluhan, sesak
berkurang
O: KU CM
TD: 150/90 mmHg
N: 80 reg BLPL
RR: 22x/m Obat Pulang
S: 36,5 Furosemid 20 mg 1-0-0
04 10 18
SpO2: 98 Digoxin 1x1/2 tab
St.lokalis: Ksr tab 1x1
Thorax: Antacid 1-1-1 ac
S1<S2 G-M-
Sd ves+/+ Rbk +/+ di basal
minimal
A: Dyspneu ec CHF NYHA III
LAPORAN KEGIATAN
LAPORAN PORTOFOLIO
Congestive Heart Failure

Pendamping:
dr. Nur Cahyono Anggorojati

Disusun oleh:
dr. Faidh Husnan

RSUD MAJENANG
KABUPATEN CILACAP
2018

You might also like