You are on page 1of 13

JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN


PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

Nurmasadi Kurniawan1, Siti Rahmalia HD2, Ganis Indriati3

Mahasiswa/Staf Dinas Kesehatan Batam, Kepulauan Riau1


Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau2,3
Email: nurmasadi@gmail.com

Abstract

Pulmonary tuberculosis (PT) is one of between two diseases (tuberculosis extrapulmonary) which includes 80% of the
overall disease events PT. Control efforts TB nationally by implement strategies DOTS. DOTS strategy recommended
WHO globally because result in the case finding and successful of high treatment.The purpose of this study was to
determine the factors influence successful treatment of pulmonary tuberculosis in Puskesmas Harapan Raya 2013. The
research is descriptive with cross sectional approach. The number of sample were 43 respondents taken by total
sampling with data collected tool was patientsregisters TB data retrieval using with retrospective. The data collection
was analyzed by univariate and bivariate using with Fisher's Exact test. The univariat results showed that the agesof
majority respondents was age of productive (83,7%), male (69,8%), compliance of treatment (69,8%), smear-negative
for tuberculosis (76,7%) and used drug of cathegory I (95,3%). The bivariate analyzed showed that significant
relationship between compliance level and smear-negative for tuberculosisand age with type of treatment (ρ value
0,000 < 0,05 and ρ value 0,023 < 0,05). The results showed there was not significant relationship between age and
smear-negative for tuberculosis, sex and smear-negative for tuberculosis, sex and type of treatment, and compliance
level with type of treatment (ρ value 0,656 > 0,05, ρ value 0,237 > 0,05, ρ value 0,086 > 0,05, dan ρ value 1,000 >
0,05). Based on results of this study, it is suggest to people who have awareness, willingness, and ability to improve the
knowledge and compliance in completing treatment of pulmonary tuberculosis.

Keyword: age, level of compliance, pulmonary tuberculosis, sex,smear for tuberculosismicroscopic examination after
treatment, type of treatment

PENDAHULUAN (WHO, 2013). Kasus insiden TB di Provinsi


Tuberkulosis (TB) paru merupakan Riau berjumlah 53 per 100.000 penduduk
salah satu diantara dua penyakit (tuberkulosis pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 62
ekstra paru) yang disebabkan mycobacterial per 100.000 penduduk pada tahun 2013
yang paling menonjol yang dikenal oleh (Kemenkes Republik Indonesia, 2013).
masyarakat (Black & Hawks, 2005). TB Beban TB dapat diukur dengan jumlah
adalah penyakit infeksi kronis yang sering insiden, prevalensi, dan kematian (Kemenkes
terjadi atau ditemukan pada tempat tinggal Republik Indonesia, 2013). Estimasi insiden
dengan lingkungan yang padat penduduk atau TB di Indonesia berjumlah 202.301 kasus
daerah urban, yang kemungkinan besar telah baru BTA positif yang ditemukan pada tahun
mempermudah proses penularan dan berperan 2012, yang mengalami peningkatan
terhadap peningkatan jumlah kasus TB (Amin dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah
& Bahar, 2010). 197.797 kasus (Kemenkes Republik
Laporan World Health Organization Indonesia, 2013). Laporan WHO dalam
(WHO) dalam Global Tuberculosis Report Global Tuberculosis Report 2013 menyatakan
2013 menyatakan bahwa insiden kasus TB estimasi prevalensi TB di Indonesia
diperkirakan 8,6 juta orang dan kasus berjumlah 297 (termasuk Human
kematian akibat TB mencapai 1,3 juta pada Immunodeficiency) per 100.000 penduduk
tahun 2012. Indonesia menempati urutan tahun 2012, yang mengalami peningkatan
keempat diantara 22 negara dengan beban TB dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah 281
tertinggi (High Burden Country) di dunia per 100.000 penduduk dan estimasi kematian
yang berjumlah 400-500 ribu kasus insiden akibat TB berjumlah 27 per 100.000
TB per 100.000 penduduk pada tahun 2012

729
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

penduduk tahun 2012, dengan hasil yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
sama tahun 2011 (WHO, 2011; WHO, 2013). pengobatan pasien dan kinerja keseluruhan
Penyakit TB merupakan penyebab program (Kemenkes Republik Indonesia,
kematian nomor tiga setelah penyakit 2013).
kardiovaskular dan penyakit saluran napas Strategi ini direkomendasikan WHO
pada semua kelompok usia, dan nomor satu secara global dalam pengendalian TB karena
dari golongan penyakit infeksi (Kemenkes menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi
Republik Indonesia, 2013). Hasil Riset yaitu mencapai 85% (Kemenkes Republik
Kesehatan Dasar (Riskesda, 2013) pada bulan Indonesia, 2013). Angka penemuan kasus
Mei-Juni 2013 melaporkan bahwa prevalensi menunjukkan peningkatan yang signifikan
nasional TB paru tidak berbeda dengan tahun yaitu dari 21% pada tahun 2001 menjadi
2007 yaitu 0,4% dari seluruh penyakit di 82,38% pada tahun 2012. Angka keberhasilan
Indonesia (Balitbangkes Kemenkes Republik juga menunjukkan peningkatan yaitu dari
Indonesia, 2013). 87% pada tahun 2001 menjadi 90,2% pada
TB menjadi salah satu penyakit menular tahun 2012. Angka penemuan kasus dan
selain Human Immunodeficiency keberhasilan pengobatan merupakan indikator
Virus/AcquiredImmunodeficiency Virus yang digunakan untuk mengetahui
(HIV/AIDS) dan malaria yang upaya keberhasilan upaya pendeteksian kasus TB
pengendaliannya dinilai pada komitmen (Kemenkes Republik Indonesia, 2013).
global Millenium Development Goal’s Pengembangan strategi DOTS telah
(MDG’s). MDG’s menetapkan TB sebagai dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia
bagian dari tujuan di bidang kesehatan yang pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK);
terdiri dari; 1) menurunkan insidensi TB paru Puskesmas (96%) dan Rumah Sakit (RS)
pada tahun 2015; 2) menurunkan prevalensi (30%), baik Rumah Sakit Pemerintah, Swasta,
TB paru dan angka kematian akibat TB paru BUMN, dan TNI/Polri (Kemenkes Republik
menjadi setengahnya pada tahun 2015 Indonesia, 2013). Tiga FPK utama yang
dibandingkan tahun 1990; 3) sedikitnya 70% digunakan oleh pasien yang pernah menjalani
kasus TB paru dengan hasil Basil Tahan pengobatan TB antara lain Puskesmas,
Asam (BTA) positif terdeteksi dan diobati Rumah Sakit dan Praktik dokter swasta
melalui program Directly Observed (Dirjen P2PL Kemenkes Republik Indonesia,
Treatment Shortcourse (DOTS) atau 2011).
pengobatan TB paru dengan pengawasan Survei nasional tahun 2004
langsung oleh Pengawas Minum Obat menunjukkan bahwa pola pencarian
(PMO); dan 4) sedikitnya 85% tercapai pelayanan kesehatan pada anggota keluarga
Success Rate (SR) (Kemenkes Republik yang mempunyai gejala TB; 66% akan
Indonesia, 2013). memilih berkunjung ke Puskesmas, 49% ke
Upaya pengendalian TB secara nasional dokter praktik swasta, 42% ke Rumah Sakit
dilakukan dengan menerapkan strategi DOTS Pemerintah, 14% ke Rumah Sakit Swasta dan
mulai tahun 1995, yaitu strategi sebesar 11% ke bidan atau perawat praktik
penatalaksanaan TB yang menekankan swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat
pentingnya pengawasan untuk memastikan regional menunjukkan bahwa Puskesmas
pasien menyelesaikan pengobatan sesuai merupakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi (FPK) utama di Kawasan Timur Indonesia
DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu; (KTI) (Dirjen P2PL Kemenkes Republik
1) komitmen politis yang berkesinambungan; Indonesia, 2011).
2) penemuan kasus melalui pemeriksaan Ketidakpatuhan pasien TB untuk
dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) menjalani pengobatan pada Fasilitas
pengobatan yang standar, dengan supervisi Pelayanan Kesehatan (FPK) secara teratur
dan dukungan bagi pasien; 4) keteraturan tetap menjadi hambatan dalam mencapai
penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; angka kesembuhan yang tinggi (Kemenkes
dan 5) sistem pencatatan dan pelaporan yang Republik Indonesia, 2013). Hasil penelitian

730
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

Simamora (2004) menyatakan kebanyakan yang yang cara ekonomis sangat efektif dan
pasien tidak teratur dalam berobat selama fase efisien dalam menemukan kasus TB
intensif karena tidak adekuatnya motivasi (Aditama, 2005). Penemuan dan
terhadap kepatuhan berobat dan pasien penyembuhan pasien TB menular bertujuan
merasa enak pada akhir fase intensif sehingga untuk menurunkan kesakitan dan kematian
tidak perlu kembali untuk pengobatan akibat TB, penularan TB di masyarakat, dan
(Dermawanti, 2014). merupakan kegiatan pencegahan penularan
Ketidakpatuhan terhadap obat yang TB yang paling efektif di masyarakat (Dirjen
diberikan dokter juga dapat meningkatkan P2PL Kemenkes Republik Indonesia, 2011).
risiko morbiditas, mortalitas, dan resistensi Berdasarkan permasalahan tersebut maka
obat baik pada pasien TB maupun pada peneliti tertarik melakukan penelitian tentang
masyarakat luas. Diagnosa yang tepat, “faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan obat serta pemberian obat yang keberhasilan pengobatan TB paru”.
benar dari tenaga kesehatan ternyata belum
cukup untuk menjamin keberhasilan suatu TUJUAN PENELITIAN
terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan Untuk mengetahui faktor-faktor yang
pasien TB dalam mengkonsumsi obatnya mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB
(Dermawanti, 2014). paru (umur, jenis kelamin, tingkat kepatuhan,
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Riau didapatkan bahwa Kota Pekanbaru setelah pengobatan dan jenis pengobatan).
menempati urutan pertama dengan jumlah
penemuan pasien TB paru baru BTA positif MANFAAT PENELITIAN
sebesar 599 orang pada tahun 2013. Kota Manfaat penelitian ini diharapkan dapat
Pekanbaru mempunyai jumlah Puskesmas memberikan informasi dan dimanfaatkan
sebanyak 20 Puskesmas (termasuk 5 sebagai acuan ilmiah untuk melakukan
Puskesmas Rawat Inap). Data dari Dinas penelitian selanjutnya.
Kesehatan Kota Pekanbaru didapatkan bahwa
Puskesmas Harapan Raya menempati urutan METODOLOGI PENELITIAN
pertama dengan jumlah penemuan pasien TB Penelitian ini menggunakan desain
paru dan melakukan pengobatan sebanyak 43 penelitian cross sectionalanalitik. Sampel
orang pada tahun 2013. Setelah diobati pada penelitian ini adalah 43 orang pasien
didapatkan hasil pemeriksaan ulang BTA baru TB paru BTA positif yang berobat.
tetap positif pada akhir fase awal/intensif Pengambilan sampel menggunakan total
sebanyak 13 orang. samplingdengan pengambilan data secara
Keberhasilan pengobatan TB paru retrospektif berdasarkan register pasien TB.
ditentukan oleh kepatuhan pasien TB dalam Analisa data pada penelitian melalui dua
minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tahapan yaitu dengan menggunakan analisa
(Kemenkes Republik Indonesia, 2013). univariat dan bivariat.
Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan Analisa univariat untuk mengetahui
jenis OAT yang diminum, serta keteraturan karakteristik responden (umur, jenis kelamin,
waktu minum obat (Nainggolan, 2013). tingkat kepatuhan, hasil pemeriksaan dahak
Tingginya angka putus obat mengakibatkan secara mikroskopis setelah pengobatan, dan
tingginya kasus resistensi kuman terhadap jenis pengobatan) dan dijelaskan dalam
OAT yang membutuhkan biaya yang lebih bentuk tabel. Analisa bivariat untuk
besar dan bertambah lamanya pengobatan mengetahui hubungan antara umur, jenis
(Kemenkes Republik Indonesia, 2013). kelamin dan tingkat kepatuhan dengan
Keberhasilan pengobatan juga keberhasilan pengobatan (hasil pemeriksaan
ditentukan oleh penemuan kasus secara dahak secara mikroskopis setelah pengobatan
mikroskopis (Kemenkes Republik Indonesia, dan jenis pengobatan) menggunakan uji
2013). Hal ini dipilih mengingat secara umum Fisher’s Exact.
pemeriksaan mikroskopis merupakan cara HASIL

731
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

Penelitian yang telah dilakukan mulai negatif sebanyak 33 orang (76,7%). Jenis
bulan Agustus 2014 sampai Januari 2015 pengobatan TB paru responden mayoritas
didapatkan hasil sebagai berikut: menggunakan paduan OAT kategori I
sebanyak 41 orang (95,3%).
A. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk B. Analisa Bivariat
mendapatkan data mengenai umur, jenis Analisa bivariat digunakan untuk
kelamin, tingkat kepatuhan, hasil pemeriksaan melihat hubungan antara satu variabel
dahak secara mikroskopis setelah pengobatan independen (umur, jenis kelamin, dan tingkat
dan jenis pengobatan. kepatuhan) dengan satu variabel dependen
(hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Tabel 1 setelah pengobatan dan jenis pengobatan).
Distribusi frekuensi responden berdasarkan Adapun dalam analisa ini menggunakan
umur, jenis kelamin, tingkat kepatuhan, hasil Fisher’s Exact.
pemeriksaan dahak secara mikroskopis
setelah pengobatan dan jenis pengobatan Tabel 2
Hubungan umur dengan hasil pemeriksaan
No Karakteristik Frekuensi Persentase dahak secara mikroskopis setelah pengobatan
1 Umur
Produktif (15- 36 83,7 Sputum BTA OR
Nila
50 tahun) BTA BTA Total (95%
Umur iρ
Tidak produktif 7 16,3 negatif positif CI)
(> 50 tahun) N % N % N %
Total 43 100 Produkt 28 77 8 22,2 36 100
1,400
2 Jenis kelamin if ,8
(0,22
Laki-laki 30 69,8 Tidak 5 71 2 28,6 7 100 0,65
7-
Perempuan 13 30,2 produkt ,4 6
8,626
Total 43 100 if
)
Total 33 76 10 23,3 43 100
3 Tingkat ,7
kepatuhan
Patuh 30 69,8
Tidak patuh 13 30,2 Pada tabel 2 diketahui mayoritas
Total 43 100 responden berada pada masa umur produktif
4 Sputum BTA dengan hasil pemeriksaan dahak secara
BTA negatif 33 76,7 mikroskopis setelah pengobatan adalah BTA
BTA positif 10 23,3 negatif sebanyak 28 orang (77,8%),
Total 43 100 sedangkan BTA positif sebanyak 8 orang
5 Jenis
(22,2%). Responden dengan umur tidak
pengobatan
Kategori I 41 95,3 produktif didapatkan hasil pemeriksaan dahak
Kombipak 2 4,7 secara mikroskopis setelah pengobatan adalah
Total 43 100 BTA negatif sebanyak 5 orang (71,4%),
sedangkan BTA positif sebanyak 2 orang
Pada tabel 1 diketahui data umur (28,6%).
responden berdasarkan klasifikasi Kemenkes Hasil analisa diperoleh nilai ρ 0,656 > α
Republik Indonesia (2011) mayoritas pada (0,05) yang berarti Ho gagal ditolak dan dapat
kelompok umur produktif secara ekonomis disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
sebanyak 36 orang (83,7%). Pada jenis umur dengan hasil pemeriksaan dahak secara
kelamin responden mayoritas laki-laki mikroskopis setelah pengobatan. Hasil analisa
sebanyak 30 orang (69,8%). Pada tingkat diperoleh nilai OR sebesar 1,400 (95%
kepatuhan responden mayoritas patuh CI=0,227-8,626) artinya responden dengan
sebanyak 30 orang (69,8%). Pada hasil kelompok umur produktif mempunyai
pemeriksaan dahak secara mikroskopis peluang 1,4 kali untuk mendapatkan hasil
setelah pengobatan responden mayoritas BTA
732
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

BTA negatif dibandingkan dengan kelompok Total 33 76,7 10 23,3 43 100 11,6
umur tidak produktif. 91)

Tabel 3 Pada tabel 4 diketahui mayoritas


Hubungan jenis kelamin dengan hasil responden yang patuh terhadap pengobatan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dengan hasil pemeriksaan dahak secara
setelah pengobatan mikroskopis setelah pengobatan adalah BTA
negatif sebanyak 30 orang (100%) dan tidak
Sputum BTA OR ada responden dengan BTA positif.
BTA BTA
Total
(95 Nila Responden yang tidak patuh didapatkan hasil
Jenis
negatif positi % iρ pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Kelamin
f CI) setelah pengobatan adalah BTA negatif
N % N % N % 0,19
sebanyak 3 orang (23,1%), sedangkan BTA
Laki-laki 21 70 9 30 30 100 4
Perem 12 92 1 7, 13 100 (0,0 0,23 positif sebanyak 10 orang (76,9%).
puan ,3 7 22- 7 Hasil analisa diperoleh nilai ρ 0,000 < α
Total 33 76 1 23 43 100 1,72 (0,05) yang berarti Ho ditolak dan dapat
,7 0 ,3 8) disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat kepatuhan dengan
Pada tabel 3 diketahui mayoritas hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
responden berjenis kelamin laki-laki dengan setelah pengobatan. Hasil analisa diperoleh
hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis nilai OR sebesar 4,333 (95% CI=1,606-
setelah pengobatan adalah BTA negatif 11,691) artinya responden yang patuh
sebanyak 21 orang (70%), sedangkan BTA mempunyai peluang 4,3 kali untuk
positif sebanyak 9 orang (30%). Responden mendapatkan hasil BTA negatif dibandingkan
dengan jenis kelamin perempuan didapatkan dengan responden yang tidak patuh.
hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
setelah pengobatan adalah BTA negatif Tabel 5
sebanyak 12 orang (92,3%), sedangkan BTA Hubungan umur dengan jenis pengobatan
positif sebanyak 1 orang (7,7%).
Hasil analisa diperoleh nilai ρ 0,237 > α Jenis pengobatan OR
Ni
(0,05) yang berarti Ho gagal ditolak dan dapat Kategori Kombi (95
Total lai
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara Umur I pak %
ρ
CI)
jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan dahak N % N % N % 1,40
secara mikroskopis setelah pengobatan. Hasil Produktif 36 100 0 0 36 100 0
analisa diperoleh nilai OR sebesar 0,194 (95% 0,
Tidak 5 71,4 2 28 7 100 (0,8
02
CI=0,022-1,728) artinya responden laki-laki produktif ,6 76-
3
mempunyai peluang 0,19 kali untuk Total 41 95,3 2 4, 43 100 2,23
mendapatkan hasil BTA negatif dibandingkan 7 7)
dengan responden perempuan.
Pada tabel 5 diketahui mayoritas
Tabel 4 responden umur produktif mendapatkan jenis
Hubungan tingkat kepatuhan dengan hasil pengobatan kategori I sebanyak 36 orang
pemeriksaan dahak secara mikroskopis (100%) dan tidak ada responden yang
setelah pengobatan mendapatkan jenis pengobatan kombipak.
Responden dengan umur tidak produktif
Sputum BTA OR mendapatkan jenis pengobatan kategori I
Ting Ni
BTA BTA (95 sebanyak 5 orang (71,4%), sedangkan
kat Total lai
negatif positif % mendapatkan jenis pengobatan kombipak
kepa ρ
CI) sebanyak 2 orang (28,6%).
tuhan
N % N % N % 4,33
Patuh 30 100 0 0 30 100 3
0, Hasil analisa diperoleh nilai ρ 0,023 < α
00 (0,05) yang berarti Ho ditolak dan dapat
Tidak 3 23,1 10 76,9 13 100 (1,6
0 disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
patuh 06-

733
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

signifikan antara umur dengan jenis Tidak 13 100 0 0 13 100 (0,8 0


pengobatan. Hasil analisa diperoleh nilai OR patuh 48-
Total 41 95,3 2 4,7 43 100 1,02
sebesar 1,400 (95% CI=0,876-2,237) artinya 7)
responden dengan kelompok umur produktif
mempunyai peluang 1,4 kali untuk Pada tabel 7 diketahui mayoritas
mendapatkan jenis pengobatan kategori I responden yang patuh terhadap pengobatan
dibandingkan dengan umur tidak produktif. mendapatkan jenis pengobatan kategori I
sebanyak 28 orang (93,3%), sedangkan
Tabel 6 mendapatkan kombipak sebanyak 2 orang
Hubungan jenis kelamin dengan jenis (6,7%). Responden yang tidak patuh
pengobatan mendapatkan jenis pengobatan kategori I
sebanyak 13 orang (100%) dan tidak ada yang
Jenis OR
Jenis pengobatan (95 Nil mendapatkan kombipak.
Total Hasil analisa diperoleh nilai ρ 1,000 > α
Kela Katego Kom % ai ρ
min ri I bipak CI) (0,05) yang berarti Ho gagal ditolak dan dapat
N % N % N %
1,18
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
Laki- 30 10 0 0 30 100 tingkat kepatuhan dengan jenis pengobatan.
2
laki 0
(0,9 0,08 Hasil analisa diperoleh nilai OR sebesar 0,933
Perem 11 84 2 15 13 100
37- 6 (95% CI=0,848-1,027) artinya responden
puan ,6 ,4
1,49 yang patuh mempunyai peluang 0,9 kali
Total 41 95 2 4, 43 100
0)
,3 7 mendapatkan jenis pengobatan kategori I
dibandingkan responden yang tidak patuh.
Pada tabel 6 diketahui mayoritas
responden berjenis kelamin laki-laki PEMBAHASAN
mendapatkan jenis pengobatan kategori I A. Univariat
sebanyak 30 orang (100%) dan tidak ada Mayoritas responden pada penelitian ini
responden yang mendapatkan kombipak. berada pada kelompok umur produktif
Responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 36 orang (83,7%). Hasil penelitian
mendapatkan jenis pengobatan kategori I ini sesuai dengan pernyataan Kemenkes
sebanyak 11 orang (84,6%), sedangkan Republik Indonesia (2011) bahwa sekitar 75%
mendapatkan kombipak sebanyak 2 orang pasien TB paru adalah kelompok umur yang
(15,4%). produktif secara ekonomis, yaitu 15-50 tahun.
Hasil analisa diperoleh nilai ρ 0,086 > α Umur produktif merupakan masa yang
(0,05) yang berarti Ho gagal ditolak dan dapat berperan penting dalam mencari nafkah di
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara luar rumah dan frekuensi keluar rumah yang
jenis kelamin dengan jenis pengobatan. Hasil sering dapat dimungkinkan terjadinya
analisa diperoleh nilai OR sebesar 1,182 (95% penularan TB paru (Tirtana, 2011). Potter &
CI=0,937-1,490) artinya responden laki-laki Perry (2009) menyatakan bahwa status
mempunyai peluang 1,18 kali untuk ekonomi mempengaruhi tingkat kesehatan
mendapatkan jenis pengobatan kategori I pasien dengan meningkatkan risiko penyakit
dibandingkan dengan responden perempuan. dan mempengaruhi cara atau tempat dimana
pasien memasuki sistem layanan kesehatan.
Tabel 7 Umur tidak produktif (>50 tahun) dalam
Hubungan tingkat kepatuhan dengan jenis melakukan pengobatan TB paru diperumit
pengobatan dengan pengobatan untuk penyakit-penyakit
lain yang menyertai sehingga menyebabkan
Ting
Jenis pengobatan OR
Ni bertambahnya efek samping obat, putus obat,
Kategori Kombi (95 dan meningkatnya kasus pengobatan ulang
kat Total lai
I pak %
kepa
CI)
ρ dan resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
tuhan Hal ini dapat dikarenakan berkurangnya
N % N % N % 0,93 1,
Patuh 28 93,3 2 6,7 30 100 3 00 absorbsi obat yang berhubungan dengan
734
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

perubahan fisiologis terkait usia dan kekuatan infeksi (termasuk gaya hidup seperti merokok
untuk melawan infeksi (Puspasari, 2014). dan pekerjaan yang berasal dari polutan dari
Pada awal kelahiran pertahanan tubuh dalam atau luar ruangan) dan progresivitas
sangat lemah dan akan meningkat secara penyakit. Faktor yang mempengaruhi
perlahan sampai umur 10 tahun, setelah masa keberhasilan pengobatan adalah akibat
pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam sulitnya akses ke fasilitas pelayanan
mencegah penyebaran infeksi melalui darah, kesehatan, perilaku mencari sarana pelayanan
tetapi lemah dalam mencegah penyebaran kesehatan, dan stigma (Puspasari, 2014).
infeksi di paru. Tingkat umur pasien tidak Keterbatasan informasi, transportasi,
produktif dapat mempengaruhi kerja efek dan kesehatan dan ketergantungan finansial
obat, karena metabolisme obat dan fungsi (biaya pengobatan) dapat menyebabkan
organ tubuh kurang efisien pada bayi yang kesulitan pada perempuan pasien TB untuk
sangat mudah dan pada orang tua, sehingga mencari pengobatan akibat kekhawatiran
dapat menimbulkan efek yang lebih kuat dan terhadap efek dari diagnosis TB yang
panjang pada kedua kelompok umur diterimanya (Puspasari, 2014).
(Amaliah, 2012). Selanjutnya, tingkat kepatuhan
Secara sosial ekonomi pada kelompok responden diketahui mayoritas patuh terhadap
umur produktif mempunyai mobilitas yang pengobatan sebanyak 30 orang (69,8%).
tinggi serta interaksi sosial yang tinggi Kepatuhan terhadap keberhasilan pengobatan
sehingga memudahkan untuk menerima sangat penting. Strategi Directly Observed
informasi dan intervensi sosial yang diterima Treatment Shortcourse (DOTS) selama
oleh pasien TB paru untuk melakukan bertahun-tahun terus dikembangkan untuk
pengobatan. Intervensi sosial dapat meliputi menjaga pengawasan langsung terhadap
kunjungan rumh oleh tenaga kesehatan untuk kepatuhan pasien dalam minum OAT
memberikan informasi dan edukasi tentang (Puspasari, 2014).
TB terhadap pasien TB dan keluarga. Pentingnya pengawasan langsung
Hal ini didukung oleh pelayanan adalah untuk memastikan pasien
kesehatan di Puskesmas Harapan Raya yang menyelesaikan pengobatan sesuai ketentuan
mempunyai Poli DOTS yang menangani sampai dinyatakan sembuh (Kemenkes RI,
pengobatan pasien TB paru dan petugas 2013). Hal ini didukung oleh pelayanan
kesehatan memberikan informasi dan edukasi kesehatan yang diberikan petugas Poli DOTS
kepada pasien TB paru untuk menyelesaikan Puskesmas Harapan Raya telah menerapkan
pengobatan dan melakukan memeriksakan strategi DOTS dalam memberikan
dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan. pengobatan kepada pasien TB paru.
Selanjutnya, untuk jenis kelamin Pada hasil pemeriksaan dahak secara
diketahui bahwa mayoritas berjenis kelamin mikroskopis setelah pengobatan mayoritas
laki-laki (69,8%). Hasil Riskeda tahun 2013 responden didapatkan BTA negatif sebanyak
menunjukkan bahwa diagnosis TB paru yang 33 orang (76,7%). Pemeriksaan dahak penting
ditemukan berdasarkan jenis kelamin yaitu dilakukan karena diagnosis TB paru dapat
laki-laki (0,4%) dibandingkan perempuan ditegakkan apabila didapatkan hasil BTA
(0,3%). Profil kesehatan Indonesia 2012 positif, disamping itu pemeriksaan dahak juga
sebelumnya juga menunjukkan kasus BTA memberikan evaluasi terhadap keberhasilan
positif pada laki-laki hampir 1,5 kali pengobatan yang sudah diberikan.
dibandingkan kasus BTA positif pada Pemeriksaan dahak mudah dan murah
perempuan. Sebesar 59,4% kasus BTA positif sehingga dapat dikerjakan di Puskesmas, akan
yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dan tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk
40,6% kasus berjenis kelamin perempuan mendapatkan dahak terutama pasien yang
(Kemenkes Republik Indonesia, 2013). tidak batuk atau batuk non produktif (Amin &
Angka penemuan kasus TB lebih tinggi Bahar, 2010).
pada laki-laki dibandingkan perempuan dapat Hasil dahak didapatkan negatif
mencerminkan dari pajanan pada risiko dimungkinkan masih sensitif bakteri

735
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

Mycobacteium tuberculosis terhadap OAT pemeriksaan kesehatan oleh dokter spesialis


sehingga sebagian besar bakteri mati atau paru.
sampel dahak yang didapat masih banyak
tercampur saliva. Sulit untuk mendapatkan B. Bivariat
sampel dahak yang benar-benar berasal dari Hasil analisis statistik hubungan antara
sekret trakea atau bronkus (Soetedjo, 2005). umur dengaan hasil pemeriksaan dahak secara
Hasil penelitian Soetedjo (2005) juga mikroskopis setelah pengobatan diketahui
menunjukkan bahwa mayoritas responden bahwa sebanyak 28 orang (77,8%) responden
sebanyak 34 orang (97,1%) hasil pemeriksaan yang didapatkan BTA negatif pada hasil
dahak pada akhir terapi fase intensif pemeriksaan dahak setelah pengobatan.
didapatkan BTA negatif. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai
Sputum BTA tetap diperiksakan ρ sebesar 0,656 dimana nilai ρ > 0,05
walaupun ditemukan BTA negatif, sedikitnya sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
sampai tiga kali berturut-turut (sewaktu-pagi- hubungan antara umur dengan hasil
sewaktu). Pemeriksaan dahak sebaiknya tetap pemeriksaan dahak secara mikroskopis
diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus setelah pengobatan.
yang dianggap selesai pengobatan atau Peneliti berasumsi bahwa umur pasien
sembuh, sewaktu-waktu mungkin terjadi tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan dahak
silent bacterial shedding, yaitu terdapat dahak secara mikroskopis setelah pengobatan, akan
BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tetapi dipengaruhi oleh status gizi. Secara
TB paru yang relevan pada kasus-kasus yang teori menyatakan bahwa usia tidak
memperoleh kesembuhan (Amin & Bahar, berpengaruh. Pada usia berapapun tubuh
2010). hanya dapat melawan infeksi apabila dicukupi
Pada jenis pengobatan yang digunakan oleh makanan yang bergizi dalam jumlah
di Puskesmas Harapan Raya diketahui cukup (Aditama, 2005).
mayoritas menggunakan OAT kategori I Malnutrisi dan berkurangnya daya tahan
sebanyak 41 orang (95,3%). Paduan OAT tubuh dapat meningkatkan keparahan
yang digunakan di Indonesia pada kasus baru penyakit dan meningkatkan kematian.
pasien TB paru BTA positif diberikan paduan Penurunan daya tahan tubuh dapat
OAT kategori I yang disediakan dalam bentuk dipengaruhi oleh terinfeksi Human
paket berupa obat kombinasi dosis tetap Immunodeficiency
(OAT-KDT). Pasien juga dapat diganti Virus/AcquiredImmunodeficiency Virus
dengan paket kombipak (obat lepas yang (HIV/AIDS) dan malnutrsi apabila
terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, kekurangan kalori, protein, dan zat gizi (gizi
Pirazinamid, dan Etambutol) jika mengalami buruk) yang dapat meningkatkan risiko
efek samping OAT-KDT. terinfeksi TB paru (Dirjen P2PL Kemenkes
Paduan OAT disediakan dalam bentuk Republik Indonesia, 2011; Nainggolan,
paket yang bertujuan untuk memudahkan 2013).
pemberian obat dan menjamin kelangsungan Status gizi buruk pada pasien akan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun
(Kemenkes Republik Indonesia, 2013). sehingga memudahkan terinfeksi TB paru.
Paduan OAT yang diberikan oleh petugas Peningkatan dan perbaikan status gizi dengan
kesehatan Poli DOTS Puskesmas Harapan memberikan asupan makanan yang seimbang
Raya diberikan paduan OAT kategori I. pada pasien TB paru yang sedang menjalani
Adapun masih terdapat pasien TB paru yang pengobatan merupakan faktor penentu
mendapatkan obat kombipak sebanyak 2 keberhasilan konversi dahak BTA pasien TB
orang (4,7%) dikarenakan pasien tersebut paru (Amaliah, 2012).
merupakan pasien rujukan dari pelayanan Hasil penelitian Amaliah (2012)
kesehatan lain dan diberikan obat kombipak menunjukkan hubungan yang signifikan
dikarenakan sebelumnya telah melakukan antara status gizi dengan kegagalan konversi
(nilai ρ 0,001 < α (0,05)) dengan nilai OR

736
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

sebesar 3,500, artinya pasien dengan status kekambuhan TB paru. Merokok di


gizi kurus memiliki risiko terjadinya identifikasikan sebagai faktor risiko
kegagalan konversi sebesar 3,5 kali lebih kekambuhan TB paru. Merokok dapat
besar dibanding pasien dengan status gizi meningkatkan risiko 2-3 kali untuk
normal. mengalami kekambuhan TB paru (nilai ρ
Hasil analisa statistik hubungan antara 0,016) (Sianturi, 2013).
jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan dahak Hasil analisa statistik hubungan antara
secara mikroskopis setelah pengobatan tingkat kepatuhan dengan hasil pemeriksaan
diketahui sebanyak 21 orang (70%) responden dahak secara mikroskopis setelah pengobatan
yang didapatkan BTA negatif pada hasil diketahui sebanyak 30 orang (100%)
pemeriksaan dahak secara mikroskopis responden didapatkan BTA negatif pada hasil
setelah pengobatan. Berdasarkan hasil uji pemeriksaan dahak secara mikroskopis
statistik didapatkan nilai ρ sebesar 0,237 setelah pengobatan. Berdasarkan hasil uji
dimana nilai ρ > 0,05 sehingga dapat statistik didapatkan nilai ρ sebesar 0,000
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dimana nilai ρ < 0,05 sehingga dapat
jenis kelamin dengan hasil pemeriksaan dahak disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
secara mikroskopis setelah pengobatan. signifikan antara tingkat kepatuhan dengan
Tidak terdapat hubungan antara jenis hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
kelamin dengan hasil pemeriksaan dahak setelah pengobatan.
secara mikroskopis tetapi pajanan pada risiko Hal ini ini dikarenakan petugas
infeksi (termasuk gaya hidup seperti kesehatan Poli DOTS Puskesmas Harapan
merokok) mempengaruhi hasil pemeriksaan Raya telah memberikan informasi dan edukasi
dahak secara mikroskopis setelah pengobatan terkait kepatuhan dalam minum obat secara
(Puspasari, 2014). Kebiasaan merokok akan teratur dan menyelesaikan pengobatan sampai
merusak mekanisme pertahanan paru yang selesai yang didukung oleh adanya Pengawas
disebut mucociliary clearance (Susanti, Minum Obat (PMO). Hasil ini didukung oleh
Kountul & Buntuan, 2013). penelitian Supriyono, Wardani & Meikawati
Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru (2007) yang menunjukkan hubungan yang
tidak mudah membuang infeksi yang sudah signifikan antara kedisiplinan minum obat TB
masuk karena bulu getar dan alat lain di paru paru dengan tingkat keberhasilan paket TB
rusak akibat asap rokok. Asap rokok juga paru.
dapat meningkatkan tahanan jalan nafas Kepatuhan dapat diartikan sebagai
(airway resistance) dan menyebabkan perilaku pasien secara kognitif/intelektual
pembuluh darah di paru-paru mudah bocor yang mentaati semua nasehat dan petunjuk
dan dapat merusak makrofag yang merupakan yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis
sel yang dapat memfagosit bakteri patogen. (Subhakti, 2014). Kepatuhan minum obat
Merokok juga dapat menggangu efektifitas diukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan
sebagian mekanisme pertahanan respirasi yang telah diterapkan yaitu dengan
(Susanti, Kountul & Buntuan, 2013). pengobatan lengkap. Kepatuhan pengobatan
Hasil dari asap rokok dapat merangsang apabila kurang dari 90% maka akan
pembentukan mukus dan menurunkan mempengaruhi kesembuhan. OAT harus
pergerakan silia, dengan demikian terjadi diminum teratur sesuai jadwal, terutama pada
penimbunan mukosa dan peningkatan risiko fase pengobatan intensif untuk menghindari
pertumbuhan bakteri termasuk kuman TB terjadinya kegagalan pengobatan serta
Paru sehingga dapat menimbulkan infeksi terjadinya kekambuhan (Supriyono, Wardani
(Susanti, Kountul & Buntuan, 2013). Sianturi & Meikawati, 2007).
(2013) juga menyatakan bahwa pasien TB Hasil analisa statistik hubungan antara
paru yang mempunyai kebiasaan merokok umur dengan jenis pengobatan diketahui
berpengaruh pada kekambuhan. Hasil sebanyak 36 orang (100%) responden umur
penelitian Joanna et al. (2008) menyebutkan produktif mendapatkan OAT kategori I.
bahwa merokok berhubungan dengan Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai

737
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

ρ sebesar 0,023 dimana nilai ρ < 0,05 Terjadinya efek samping obat baik ringan
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat maupun berat dapat menyebabkan pasien
hubungan yang signifikan antara umur dengan tidak teratur minum obat dan berhenti
jenis pengobatan. sebagian atau seluruhnya minum obat bila
Hal ini dimungkinkan bahwa sistem kejadian efek samping tidak dilaporkan dan
imunologis pada umur tidak produktif segera ditatalaksana oleh petugas puskesmas.
(>50 tahun) pada umumnya menurun Tatalaksana kejadian efes samping obat perlu
sehingga sangat rentan terhadap berbagai ditangani secara tepat baik oleh petugas
penyakit, termasuk TB paru. Semakin tua puskesmas. Berhentinya pasien minum obat
umur akan terjadi perubahan fungsi secara harus segera ditangani secara tepat karena
fisiologik, patologik dan penurunan sistem akan membentuk perilaku yang menetap yaitu
pertahanan tubuh dan ini akan mempengaruhi pasien tidak mau melanjutkan minum obat
kemampuan tubuh menangani OAT yang (Amaliah, 2012).
diberikan (Nainggolan, 2013). Hasil analisa statistik hubungan jenis
Tingkat umur pasien dapat kelamin dengan jenis pengobatan diketahui
mempengaruhi kerja efek obat, karena bahwa sebanyak 30 orang (100%) responden
metabolisme obat dan fungsi organ kurang laki-laki mendapatkan OAT kategori I.
efisien pada umur tidak produktif seperti pada Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai
bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, ρ sebesar 0,086 dimana nilai ρ > 0,05
sehingga dapat menimbulkan efek yang lebih sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
kuat dan panjang pada kedua kelompok umur hubungan antara jenis kelamin dengan jenis
ini (Amaliah, 2012). pengobatan. Hal ini dikarenakan paduan OAT
Terapi TB pada umur tidak produktif (> yang digunakan adalah kategori I untuk
50 tahun) tidak mudah karena populasi lanjut pasien TB paru di Unit Pelayanan Kesehatan
usia tidak dapat diandalkan untuk minum obat (UPK) seperti Puskemas, tanpa melihat
secara teratur, pada waktu yang tepat atau perbandingan antara laki-laki dan perempuan.
dalam dosis yang tepat, terutama jika Hal ini didukung oleh penelitian
beberapa obat harus diminum secara Suharmiati dan Maryani (2011) bahwa
bersamaan. Hal ini dimungkinkan karena fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan oleh
memori yang buruk, penglihatan yang buruk pasien TB paru untuk mendapatkan
dan kebingungan mental. pengobatan yaitu Puskesmas, dibandingkan
Pasien lanjut usia sering menjadi apatis pelayanan kesehatan lainnya. Puskesmas
tentang pengobatan mereka dan sering menerapkan paduan OAT sesuai dengan
didapatkan kurangnya tekad atau keinginan tatalaksana pengobatan TB yaitu OAT-KDT.
untuk menyelesaikan program pengobatan Prinsip pengobatan menurut Dirjen
enam bulan. Suatu studi retrospektif P2PL Kemenkes Republik Indonesia (2011)
menunjukkan bahwa pasien TB paru lanjut bahwa OAT harus diberikan dalam bentuk
usia hampir tiga kali lipat lebih mungkin kombinasi beberapa jenis obat (OAT-KDT),
untuk bereaksi terhadap OAT dibandingkan dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan pasien-pasien umur produktif. dengan kategori pengobatan karena lebih
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa menguntungkan dan sangat dianjurkan untuk
lanjut usia merupakan prediktor penting mencegah kekambuhan dan mencegah
hepatotoksisitas akibat INH dan rifampisin. terjadinya resistensi kuman terhadap OAT
Manfaat terapi etambutol dan streptomisin akibat monoterapi. OAT-KDT membuat
harus dipertimbangkan terhadap risiko dalam pasien tidak dapat memilih obat yang
pengelolaan pasien lanjut usia dan dosisnya diminum dan jumlah butir obat yang harus
juga harus disesuaikan mengingat efek diminum lebih sedikit sehingga dapat
samping yang sering terjadi pada pasien lanjut meningkatkan ketaatan pasien dan
usia (Kemenkes Republik Indonesia, 2013). memperkecil kesalahan resep oleh dokter
Efek samping obat juga mempengaruhi karena berdasarkan berat badan. OAT-KDT
keteraturan pasien dalam minum obat. terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid), 3

738
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), meningkatkan ketaatan penderita dalam


dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, minum obat sehingga penanggulangan TB
dan etambutol) sangat direkomendasikan. secara teratur dapat tercapai (Suharmiati &
(Kemenkes Republik Indonesia, 2013 Maryani, 2011).
Hasil analisa statistik diketahui bahwa
sebanyak 28 orang (93,3%) responden yang KESIMPULAN
patuh terhadap pengobatan menggunakan Hasil penelitian didapatkan karakteristik
OAT kategori I. Berdasarkan hasil uji statistik umur responden mayoritas adalah umur
didapatkan nilai ρ sebesar 1,000 dimana nilai produktif (83,7%), berjenis kelamin laki-laki
ρ > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa (69,8%), patuh terhadap pengobatan (69,8%),
tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
dengan jenis pengobatan. Hal ini setelah pengobatan adalah BTA negatif
dimungkinkan karena kepatuhan terhadap (76,7%) dan jenis pengobatan yang digunakan
pengobatan merupakan salah satu faktor adalah paduan OAT kategori I (95,3%).
penting yang mempengaruhi hasil terapi. Hasil analisa bivariat didapatkan tidak
Ketidakpatuhan pasien terhadap ada hubungan antara umur dengan hasil
pengobatan TB umum terjadi dan merupakan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
penyebab penting bagi gagal pengobatan dan setelah pengobatan (nilai ρ = 0,656), tidak ada
relaps. Ketidakpatuhan pada pengobatan juga hubungan antara jenis kelamin dengan hasil
dapat berakibat pada timbulnya resistensi pemeriksaan dahak secara mikroskopis
sehingga memerlukan pengobatan yang lebih setelah pengobatan (nilai ρ = 0,237), terdapat
lama dan lebih mahal serta rendahnya tingkat hubungan yang signifikan antara tingkat
kesembuhan dibandingkan TB yang sensitif kepatuhan dengan hasil pemeriksaan dahak
OAT (Puspasari, 2014). secara mikroskopis setelah pengobatan (nilai
Pengobatan bagi penderita penyakit TB ρ = 0,000), terdapat hubungan yang signifikan
paru akan menjalani proses yang cukup lama, antara umur dengan jenis pengobatan (nilai ρ
yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan = 0,023), tidak ada hubungan antara jenis
atau bahkan bisa lebih. Lamanya pengobatan kelamin dengan jenis pengobatan (nilai ρ =
yaitu antara 6-9 bulan sering menyebabkan 0,086), dan tidak ada hubungan antara tingkat
pasien frustasi atau bosan minum obat kepatuhan dengan jenis pengobatan (nilai ρ =
sehingga menyebabkan pengobatan tidak 1,000).
sesuai anjuran yang akan mengakibatkan
pasien menjadi resisten. Penyakit TB paru SARAN
dapat disembuhkan secara total apabila Bagi Ilmu Keperawatan memakai hasil
penderita patuh terhadap pengobatan penelitian ini sebagai sumber informasi
(Suharmiati & Maryani, 2011). tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
Pengobatan yang tidak selesai akan keberhasilan pengobatan dengan strategi
berakibat kuman TB resisten terhadap obat- DOTS khususnya pada pasien yang telah
obatan TB (Multi Drug Resisten). MDR-TB didiagnosis TB paru.
merupakan bentuk TB yang tidak merespon Bagi Puskesmas hasil penelitian ini
terhadap standar 6 bulan pengobatan yaitu diharapkan menjadi bahan masukan bagi
menggunakan obat standar atau first-line puskesmas dalam memberikan promosi
(resisten terhadap isoniazid dan rifampicin). kesehatan terkait kepatuhan pasien TB paru
Akibat dari kejadian tersebut akan dalam menyelesaikan pengobatan hingga
membutuhkan waktu 2 tahun untuk diobati dinyatakan sembuh dan peningkatan
dengan obat yang 100 kali lebih mahal kemitraan dengan berbagai pihak terutama
dibandingkan pengobatan dengan obat standar Pengawas Minum Obat (PMO).
(first-line). Mengantisipasi hal tersebut maka Bagi masyarakat hasil penelitian ini
perlu dilakukan peningkatan kemitraan dapat menjadi bahan masukan bagi
dengan berbagai pihak terutama seorang PMO masyarakat pada umumnya agar mereka
(Pengawas Menelan Obat) untuk mempunyai kesadaran, kemauan, dan

739
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

kemampuan untuk meningkatkan Philadelphia: Elsevier’s Health


pengetahuan dan kepatuhan dalam Sciences.
menyelesaikan pengobatan yang dianjurkan Dermawanti. (2014). Hubungan komunikasi
oleh petugas kesehatan. interpersonal petugas kesehatan
Bagi Peneliti Selanjutnya diharapkan terhadap kepatuhan pasien menjalani
hasil penelitian ini menjadi bahan pengobatan TB paru di Puskesmas
perbandingan dan masukan bagi peneliti Sunggal Medan Tahun 2014. Fakultas
selanjutnya dan diharapkan peneliti Kesehatan Masyarakat Universitas
selanjutnya dapat melakukan observasi Sumatera Utara Medan. Diperoleh
keberhasilan pengobatan tentang tingkat tanggal 1 Juli 2014 dari
kepatuhan dengan hasil pemeriksaan dahak http://repository.usu.ac.id.
secara mikroskopis dan jenis pengobatan yang Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
didapatkan. dan Penyehatan Lingkungan,
Kementerian Kesehatan Republik
1
Nurmasadi Kurniawan, Mahasiswa Indonesia. (2007). Pedoman penerapan
Program Studi Ilmu Keperawatan DOTS di rumah sakit. Jakarta:
Universitas Riau, Indonesia Kementerian Kesehatan Republik
2
Siti Rahmalia HD, Dosen Bidang Indonesia.
Keilmuan Keperawatan Medikal Bedah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Program Studi Ilmu Keperawatan dan Penyehatan Lingkungan,
Universitas Riau, Indonesia Kementerian Kesehatan Republik
3
Ganis Indriati, Dosen Bidang Indonesia. (2011). Pedoman nasional
Keilmuan Keperawatan Anak Program pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Studi Ilmu Keperawatan Universitas Kementerian Kesehatan Republik
Riau, Indonesia Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
DAFTAR PUSTAKA dan Penyehatan Lingkungan,
Aditama, T. Y. (2005). Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik
diagnosis, terapi dan masalahnya, edisi Indonesia. (2013). Petunjuk teknis
V. Jakarta: YP-IDI. manajemen terpadu pengendalian
Amaliah, R. (2012). Faktof-faktor yang tuberkulosis resistan obat. Jakarta:
berhubungan dengan kegagalan Kementerian Kesehatan Republik
konversi penderita TB paru BTA positif Indonesia.
pengobatan fase intensif di Kabupaten Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Bekasi tahun 2010. Fakultas Kesehatan (2013). Profil kesehatan Indonesia
Masyarakat Universitas Indonesia. 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Diperoleh tanggal 20 Januari 2015 dari Republik Indonesia.
http://lib.ui.ac.id/. Nainggolan, H.R.N. (2013). Faktor yang
Amin, Z. & Bahar, A. (2010). Buku ajar ilmu berhubungan dengan gagal konversi
penyakit dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: pasien TB paru kategori I pada akhir
InternaPublishing. pengobatan fase intensif di Kota
Badan Penelitian dan Pengembangan Medan. Diperoleh tanggal 28 Agustus
Kesehatan, Kementerian Kesehatan 2014 dari http://repository.usu.ac.id.
Republik Indonesia. (2013). Riset Potter, P.A. & Perry, A.G. (2009).
kesehatan dasar 2013. Jakarta: Fundamental keperawatan, edisi 7 buku
Kementerian Kesehatan Republik 1. Alih bahasa Ferderika, A. Jakarta:
Indonesia. Salemba Medika.
Black, J.M. & Hawks, J.H. (2005). Medical- Pusat Data dan Informasi, Kementerian
surgical nursing; Clinical management Kesehatan Republik Indonesia. (2013).
for positive outcomes Vol. 2, 7th edition. Ringkasan eksekutif; data dan informasi
kesehatan provinsi Riau. Jakarta:

740
JOM Vol 2 No 1, Februari 2015

Kementerian Kesehatan Republik (BTA) pada sputum penderita batuk ≥2


Indonesia. minggu di Poliklinik Penyakit Dalam
Puspasari, N. (2014). Karakteristik pasien BLU RSUP Prof. Dr. R.D Kandou
tuberkulosis yang memperoleh Manado. Jurnal e-Clinic, Vol.1, No.1,
pengobatan kategori 2 di UP4 Provinsi Maret 2013. Diperoleh tanggal 22
Kalimantan Barat tahun 2009-2012. Januari 2015 dari
Fakultas Kedokteran Universitas http://download.portalgaruda.org/.
Tanjungpura. Diperoleh tanggal 23 Tirtana, B.T. (2011). Faktor-faktor yang
Januari 2015 dari mempengaruhi keberhasilan
http://jurnal.untan.ac.id/. pengobatan pada pasien tuberkulosis
Sianturi, R. (2013). Analisis faktor yang paru dengan resistensi obat
berhubungan dengan kekambuhan TB tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah.
paru. Fakultas Ilmu Keolahragaan Fakultas Kedokteran Universitas
Universitas Negeri Semarang. Diponegoro. Diperoleh tanggal 12
Diperoleh tanggal 25 Januari 2015 dari Agustus 2014 dari
http://ib.unnes.ac.id/. http://eprints.undip.ac.id/.
Soetedjo, F.A. (2005). Perbandingan World Health Organization. (2011). Global
kepekaan pemeriksaan kuman BTA dari tuberculosis report 2012. WHO Library
dahak spontan dengan dahak induksi Cataloguing-in-Publication Data.
salin 0,9% pada akhir terapi fase World Health Organization. (2013). Global
intensif DOTS. Fakultas Kedokteran tuberculosis report 2013. WHO Library
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Cataloguing-in-Publication Data.
Diperoleh tanggal 22 Januari 2015 dari
http://elib.fk.uwks.ac.id.
Subhakti, K.A. (2014). Hubungan dukungan
keluarga dengan tindakan penderita TB
paru melakukan kontrol ulang di
Puskesmas Sidomulyo. Pekanbaru: UR.
Naskah asli tidak dipublikasikan.
Suharmiati & Maryani, H. (2011). Analisis
hubungan penggunaan obat
FDC/Kombipak pada penderita yang
didiagnosis TB paru berdasarkan
karakteristik. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Vol. 14, No. 2, April 2011.
Diperoleh tanggal 25 Januari 2015 dari
http://download.portalgaruda.org/.
Supriyono, W.A., Wardani, R.S. &
Meikawati, W. (2007). Hubungan
faktor karakteristisk, cara minum obat
dan kedisiplinan minum obat TBC paru
dengan tingkat keberhasilan
pengobatan paket TBC paru di
Puskesmas Ngembal Kulon Kabupaten
Kudus Tahun 2007. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Semarang. Diperoleh
tanggal 13 Desember 2014 dari
http://digilib.unimus.ac.id.
Susanti, D., Kountul, C. & Buntuan, V.
(2013). Pemeriksaan basil tahan asan

741

You might also like