You are on page 1of 27

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGIOMA (TUMOR OTAK)

1.1. Konsep Dasar


1.1.1. Pengertian
Meningioma adalah tumor jinak yang sering di temui dan sering melibatkan
semua lapisan meningen. Namun tumor ini di percaya berasal dari sel-sel arakhnoid.
Meningioma di temukan dalam otak dan sel saraf tulang belakang. (Black, 2014)
Tumor otak adalah tumor jinak pada selaput otak atau salah satu otak
(mariono, 2000)
Meningioma adalah salah satu tumor yang tumbuh dari membran protektif,
disebut meninges, yang mengelilingi otak dan syaraf tulang belakang. Kebanyakan
meningioma bersifat benign (bukan kanker) tetapi beberapa dapat menjadi malignan
(kanker)

Jadi, Meningioma merupakan salah satu dari jenis tumor otak yang bersifat
jinak, yang di identifikasi kan sebagai lelsi primer maupun sekunder yang melibatkan
semua lapisan meningen dan di temukan di otak dan sel saraf tulang belakang.

1.1.2. Anatomi

Meningen adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus enchepalon dan
medulla spinalis. Terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater, yang letaknya
berurutan dari superficial ke profunda. Bersama-sama,araknoid dan piamater disebut
leptomening.
Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari
lamina meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis
melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum (periosteum),
sehingga di antara lamina meningialis dan lamina endostealis terdapat spatium
extraduralis (spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus
venosus. Antara dura mater dan archnoid terdapat spatium subdurale yang berisi
cairan limfe. Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat pada permukaan
interior kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale
magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh
suatu lapisan sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu:
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebella
3. Falx cerebella
4. Diaphragm sellae
Arachnoid bersama-sama dengan pia mater disebut leptomeningens. Kedua
lapisan ini dihubungkan satu sama lain oleh trabekula arachnoideae. Arachniod
adalah suatu selubung tipis, membentuk spatium subdurale dengan dura mater.
Antara archnoid dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum yang berisi liquor
cerebrospinalis. Arachnoid yang membungkus basis serebri berbentuk tebal
sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis dan transparant. Arachnoid
membentuk tonjolan-tonjolan kecil disebut granulation arachnoidea, masuk kedalam
sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior.
Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan diantara folia
cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut
reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah cerebral. Pia terdiri
dari lapisan sel mesodermal tipis seperti endothelium. Berlawanan dengan arachnoid,
membrane ini ini menutupi semua permukaan otak dan medulla spinalis.
1.1.3. Etiologi

Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun


beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang
jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Para peneliti sedang mempelajari
beberapa teori tentang kemungkinan asal usul meningioma. Di antara 40% dan
80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus gen
neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12,
ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan
beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi
meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia muda. Disamping itu, deplesi
gen yang lain juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma.
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor.
Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan
tambahan dari platelet diturunkan faktor pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis
reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang mungkin memberikan kontribusi pada
pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah payudara kanker,
atau neurofibromatosis tipe 2 dapat risiko faktor untuk mengembangkan
meningioma. Multiple meningioma terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien,
terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa meningioma memiliki
reseptor yang berinteraksi dengan hormon seks progesteron, androgen, dan jarang
estrogen. Ekspresi progesteron reseptor dilihat paling sering pada meningioma
yang jinak, baik pada pria dan wanita. Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya
dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi dokter untuk menasihati
pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki
sejarah suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan
meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-kadang
mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan.

1.1.4. Klasifikasi

WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah


diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan
derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya
pun berbeda-beda di tiap derajatnya.
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat, jika tumor tidak menimbulkan
gejala, mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI
secara periodik. Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya dapat
menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat
direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan
bedah dan observasi yang berkelanjutan.
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan juga mempunyai angka
kekambuhan yang lebih tinggi. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal
pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi
setelah pembedahan.
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut
meningioma malignan atau meningioma anaplastik. Meningioma malignan
terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan
adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan terapi
radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.
Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi
dari tumor8 :
a. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx
adalah selaputyang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer
kiri dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah besar.
Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx.
b. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada
permukaan atas otak.
c. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah
belakang mata. Banyak terjadi pada wanita.
d. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang
menghubungkan otak dengan hidung.
e. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan
bawah bagian belakang otak.
f. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah
kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari.
g. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang
berumur antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pda medulla spinbalis
setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis
dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding
dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
h. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang paa atau
di sekitar mata cavum orbita.
i. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan
di seluruh bagian otak.
1.1.5. Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologik progresif. Gangguan
neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor :
gangguan fokal disebebkan oleh tumor dan kenaikan tekanan intracranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan
infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan
neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri
pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai gejala perunahan kepekaan neuron dihubungkan
dengan kompesi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Bebrapa
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga
memperberat ganggguan neurologist fokal.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor :
bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan
perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema
yang disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan
kenaikan volume intracranial dan meningkatkan tekanan intracranial. Obstruksi
sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateral ke ruangan subaraknoid
menimbulkan hidrosefalus.
Peningkatan tekanan intracranial akan membahayakan jiwa. Mekanisme
kompensasi memerlukan waktu lama untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tak
berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah
intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan
mengurangi sel-sel parenkim, kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan
herniasi unkus atau serebelum yang timbul bilagirus medialis lobus temporalis
bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula oblogata dan henti pernafasan terjadi
dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan intracranial yang cepat
adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi), dan
gangguan pernafasan.

1.1.6. Tanda Gejala


Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor
pada otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh
terganggunya fungsi normal dari bagian khusus dari otak atau tekanan pada nervus
atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa didiagnosa pada
gejala awal. Gejala umumnya seperti :
1 Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada pagi
hari.
2 Perubahan mental
3 Kejang
4 Mual muntah
5 Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.
Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor :
6 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai
7 Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal,
perubahan status mental
8 Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan
pandang, kebutaan, dan penglihatan ganda.
9 Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.
10 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme
otot-otot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya
berjalan.
11 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus
12 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
13 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata
14 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala, pusing

1.1.7. Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat kita temukan pada pasien yang menderita
tumor otak ialah :
a. Gangguan fisik neurologis
b. Gangguan kognitif
c. Gangguan tidur dan mood
d. Disfungsi seksual
1.1.8. Pemeriksaan Radiologi
Umumnya pada banyak pasien, tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan
radiografi. Foto polos kepala dapat memberikan gambaran kalsifikasi karena ada
meningioma pada dasar tulang kepala dengan bentuk yang konveks. Meningioma
dapat mengakibatkan reaktif hyperostosis yang tidak berhubungan dengan ukuran
tumor. Osteolisis jarang mengakibatkan meningioma yang jinak dan malignan.
Pemeriksaan foto polos kepala sebagai penunjang penyaki meningioma masih
memiliki derajat kepercayaan yang tinggi. Gambaran yang sering terlihat plak
yang hyperostosis, dan bentuk sphenoid , dan pterion.
Kalsifikasi tanpa adanya tumor pada foto polos kepala dapat menunjukkan
hasil false-negatif pada meningioma. Banyak pasien dengan meningioma otak
dapat ditegakkan secara langsung dengan menggunakan CT atau MRI.

1.1.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu


sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan
pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini
antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh
terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau
radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan
faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya
mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang
untuk menurunkan kejadian rekurensi.

1. Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan
dapat segera diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2
antagonis beberapa hari sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik
perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk organisme
stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas
terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk organisme
anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan pendekatan melalui
mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid.
Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial :
· Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
· Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
· Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura
atau mungkin perluasan ekstradural ( misalnya sinus yang terserang atau tulang
yang hiperostotik)
· Grade IV : Reseksi parsial tumor
· Grade V : Dekompresi sederhana (biopsy)

2. Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak
dipakai untuk terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan
efektif untuk melanjutkan terapi operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus
rekurensi baik yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak. Pada
kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang sulit, keadaan
pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi, external
beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir
menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus
meningioma yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung
teori ini belum banyak dikemukakan.
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan
komplikasi yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat
rentan mengalami kerusakan akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat
ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat radioterapi .
3. Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu
penggunaan stereotaktik radioterapi ini semakin banyak dilakukan untuk
meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co
gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton,
ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat
mengurangi komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2,5 cm.
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan
gamma knife dan diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar 88%
pertumbuhan tumor ternyata dapat dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan
memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 %
kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien
yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan
tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit
neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya
sekitar 5 %.

4. Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak
diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi
sebagai terapi ajuvan untuk rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit
sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi
(baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan
adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan Yung),
walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak.
Laporan dari Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan
cyclophosphamide, adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka harapan
hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti
hydroxyurea sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada meningioma
dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi apoptosis dari beberapa sel
dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus pemberian
hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan
meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan
dapat memperpanjang waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma yang
agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas dibanding
pemberian dengan kemoterapi.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan
meningioma. Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan
mifepristone (anti progesteron). Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari
dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok onkolologi
Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan reseksi dan
refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi sementara
pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga
pasien.

1.2. Manajemen Asuhan Keperawatan Pra-Operatif Bedah Kraniotomi


1.2.1. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan perioperative menyediakan data penting yang
diperlukan untuk merencanakan intervensi keperawatan dan memengaruhi hasil
pasien yang positif. Pengkajian akan menghasilkan pengetahuan yang diperlukan
untuk mengoodinasikan pendekatan tim terhadap manajemen perawatan pasien
perioperatif. Kunjungan praoperatif memungkinkan perawat perioperative untuk
menjalin hubungan dengan pasien dan keluarganya dan memvalidasi temuan yang
akan meuntun rencana perawatan intraoperatif. Masalah neurolgi pasien mungkin
membatasi partisipasinya dalam perawatan diri atau berpartisipasi dalam perencanaan
perawatan. Jadi, pengkajian praoperatif, penyuluhan, dan komunikasi harus
melibatkan pasien dan keluarga atau orang terdekat. Kontrak praoperatif
memungkinkan perawat untuk menjelaskan kejadian perioperatif dan ini membantu
untuk mengurangi rasa takut dan cemas yang berkaitan dengan intervensi bedah.
Sebelum memulai pengambilan riwayat, perawat perlu berbicara bebrapa saat
dengan pasien untuk membantu menciptakan suasana yang nyaman dan memastikan
bahwa pasien dapat mendengar dan memahami apa yang telah dikatakan. Pasien
bedah syaraf mungkin mengalami deficit sensori dan kognitif yang menghambat
komunkasi, oleh karena itu keluarga atau orang terdekat harus dilibatkan dan
menegaskan pertukaran informasi.
Berikut ini adalah berbagai keluhan utama atau alas an pasien dan keluarga
meminta pertolongan kesehatan sehingga membutuhkan adanya tindakan
pembedahan yang perlu dikaji perawat dalam asuhan keperawatan praoperatif bedah
syaraf.
1) Manifestasi Perubahan Itrakranial
Keluhan utama yang sering menjadi alas an pasien untuk meminta pertolongan
kesehatan biasanya berhubungan dengan peningkatantekanan intracranial dan adanya
gangguan fokal, seperti nyeri kepala hebat, muntah-muntah, kejang, dan
penurunantingkat kesedaran. Tanda perubahan intracranial merupakan salah satu
indikasi untuk dilakukan intervensi bedah syaraf. Pengkajian nyeri kepala dapat lebih
lengkap dengan menggunakan pendekatan PQRST.
2) Penuruna Fungsi Serebral
Keluhan keluarga pada pasien yang menderita tumor intracranial biasanya
menyatakan bahwa pasien mengalami penurunan dalam berperilaku, perubahan
tingkah laku, perubahan gaya bicara, dan perubahan motoric yang pada pasien tumor
intracranial. Pada beberapa kasus, pasien mengalami “Brain damage”, yaitu
kesukaran untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
Kondisi brain damage merupaka salah satu keluhan yang sering diakhiri dengan
intervensi bedah.
3) Pembesaran Kepala
Pasien dengan hidrosefalus yang mengalami pembesaran kepal secara progesif
biasanya disertai dengan peningkatan tekanan intracranial yang dimanifestasikan
dengan muntah, gelisah, nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda,
perubahan pupil dan kontriksi penglihatan perifer.
1. Pengakajian Psikososiospiritual
Pengakajian psikososial pada pasien bedah syaraf praoperatif meliputi
pengkajian kecemasan praoperatif baik pada pasien maupun keluarga, perasaan,
konsep diri, citra diri, sumber koping, kepercayaan spiritual, pengetahuan, persepsi,
dan pemahaman tentang prosedur bedah syaraf seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya.
1) Kecemasan Praoperatif
Pada beberapa studi yang penulis lakukan pada pasien dan keluarga yang
mengalami pembedahan syaraf, didapatkan data adanya peningkatan respons
kecemasan pada rentang kecemasan ringan sampai berat. Perbedaan tingkat
kecemasan ini dipengaruhi oleh banyak factor, meliputi: tingkat kondisi bedah saraf
dan prognosis hasil bedah, penerimaan pasien dan keluarga tentag penjelasan
preoperasi, perubahan-perubahan yang diantisipasi baik fisik, finansial, psikologi,
spiritual, atau social, dan hasil akhir pembedahan yang diharapkan.
2) Konsep diri
Pasien dan keluarga yang akan menjalani bedah saraf mempunyai resiko
perubahan konsep diri yang maladaptive. Perawat mengkaji konsep diri pasien
dengan cara meminta mengidentfikasi kekuatan dan kelemahan dirinya. Pasien yang
cepat mengkritik atau merendahkan karakter dirinya mungkin mempunyai harga diri
yang rendah atau menguji pendapat perawat tentang karakter mereka.
3) Kepercayaan spirituall
Perawat perlu mengkaji adanya benda-benda spiritual yang sering pasien
gunakan apabila menghadapi tekana psikologis, seperti kitab suci yang dibutuhkan
pasien untuk menambah rasa percaya dirinya untuk menghadapi pembedahan.
4) Pegetahuan, persepsi, dan pemahaman
Prosedur bedah sarraf memiliki kompleksitas yang lebih banyak dibanding
pembedahan lainnya. Perawat perlu mengidentifikasi pengetahuan, harapan, dan
persepsi pasien, sehingga memungkinkan perawat untuk merencanakan penyuluhan
dan tindakan guna mempersiapkan emosional pasien
2. Pengkajian sosioekonomi
Prosedur bedah saraf akan memberi dampak pada status ekonomi pasien,
karena biaya perawatan, biaya operasi, dan pengobatan memerlukan dan yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajin terhadapp dampak
gangguan neurologis pasca operatif yang akan terjadi pada penurunan fisik
individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji pasien bedah saraf terdiri
dari dua masalah, yaitu: keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologic
hubungannya dengan peran social pasien, dan rencana pelayanan yang akan
mendukung adaptasi pada gangguan neurologic di dalam system dukungan
individu.
3. Pemeriksaan fisik
1) Suveri umum
Selama pengambilan riwayat atau pengkajian perioperatif, pasien harus
diobservasi dan dievaluasi dengan teliti. Perawat harus memperhatikan
muka pasien ketika mengajukan pertanyaan. Perawat mencatat apakah
pasien tampak sadar dan perhatian, melakukan kontak mata, mengantuk,
ataua mempunyai ekspresi muka dan efek yang tidak tepat. Kurangnya
respons efek yang tepat mungkin menunjukan penyakit mental,
penyalahgunaan obat, intelegansia subnormal, atau paralisis wajah.
Perawat memperhatikan apakah pasien gelisah atau irritable. Ini mungkin
menunjukan nyeri, anoreksia, atau peningkatan tekanan intracranial.
Pada keadaan perawatan sesungguhnya dimana waktu mengumpulkan
data untuk penilaian tingkat kesdaran sangat terbatas, maka Skala Koma
Glassgow (Galsgow Coma Scale/GCS) dapat memberikan jalan pintas
yang sangat berguna. Skala tersebut memungkinkan pemeriksa membuat
peringkat tiga respons utama pasien terhadap lingkungan, yaitu: Membuka
mata, Mengucapkan, dan gerakan.
2) Pemeriksaan fungsi serebral
Fungsi serebral yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam
komunikasi, fungsi intelektual, dan pola tingkah laku emosional.
Pemeriksaan ringkas ditujukan pada bedah saraf dengan tumor intracranial
terkait adanya gangguan dari kondisi mental, fungsi intelektual, dan
perubahan pola piker yang beruhubungan adanya lesi pada system saraf
pusat yang memerlukan intervensi bedah
Lobus serebral Fungsi Gangguan
Frontal - Penilaian - Gangguan penilaian
- Kepribadian bawaan - Gangguan penampilan dan
- Keahlian mental komplek (abstrak, kebersihan diri
membuat konsep, memperkirakan - Gangguan afek dan proses
masa depan) berpikir
- Fungsi motorik - Gangguan fungsi motorik
Temporal - Memori pendengaran - Gangguan memori kejadian
- Memori kejadian yang baru terjadi yang baru terjadi
- Daerah auditorius primer yang - Kejang psikomotor
memperngaruhi kesadaran - Tuli

Parietal Dominan - Bicara - Afasia, agrafia, akalkulia,


- Berhitung (matematika) agnosia.
- Gangguan sensori (bilateral)
Nondominan - Kesadaran sensorik - Disorientasi
- Sintesis ingatan yang komplek - Apraksia
- Distorinkonsep ruang
- Hilang kesadaran sisi tubuh
yang berlawanan
Oksipital Memori visual penglihatan Deficit penglihatan dan buta

4. Pemeriksaan saraf kranial


- Saraf I : pada pasien tumor intracranial yang tidak mengompresi nervus ini
tidak ada kelainan pada fungsi penciuman
- Saraf II : gangguan lapang pandang disebabkan lesi pada bagian tertentu dari
lintasan visual.
- Papiladema disebabkan oleh statis vena yang menimbulkan pembengkakan
papilla saraf optikus. Bila terlihat pada pemeriksaan funduskopi, tanda ini
mengisyaratkann peningkatan tekanan intracranial.
- Saraf III, IV, dan VI : adanya kelumpuhan unilateral atau bilateral dari nrevus
VI merupakan manifestasi dari adanya glioblastoma multiforme.
- Saraf V : pada keadaan tumor intracranial yang tidak mengompresi nervus
trigeminus, maka tidak ada kelainan pada fungsi saraf ini.
1) System motoric
Lesi serebelum mengakibatkan gangguan pergerakan. Gangguan ini
bervariasi, tergantung pada ukuran dan lokasi spesifik tumor dalam
serebelum. Gangguan yang paling sering dijumpai, kurang menyolok,
tetapi memiliki karaakteristik yang sama dengan tumor serebelum adalah
hipotonia (tidak adanya resitensi normal terhadap regangan atau
perpindahan anggota tubuh dari sikap aslinya), dan hiperekstensibilitas
sendi.
2) Gerakan involunter
Pada keadaan tertentu biasanya mengalami kejang umum, terutama pada
tumor lobus okspital. Kejang berhubungan sekunder akibatarea fokal
kortikal yang peka.
3) Sistem sensori
Nyeri kepala merupakan gejala umum yang paling sering dijumpai pada
pasien tumor otak. Nyeri dapat digambarkan bersift ddalam, terus-
menerus, tumpul, dan kadang-kadang hebat sekali.
5. Pemeriksaan reflek patologis
Reflek patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada
orang-orang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Pada orang dewasa,
refleks patologis selalu merupakan tanda lesi UMN.
6. Pemeriksaan diagnnostik
Setiap kasus yang dicurigi menderita lesi intracranial harus menjalani evaluasi
medis lengkap dengan perhatian khusus pada pemeriksaan neurologi.
Radiologram tengkorak memberikan informasi yang sagat berharga mengenai
struktur penebalan, dan klasifikasi; posisi kelenjar pineral yang mengalami
pengapuran; dan posisi sela tursika.
1.2.2. Diagnosis Keperawatan
1) Resiko tinggi peningkatan intracranial (TIK) berhubungan dengan desakan
ruang oleh massa tumor intracranial dan edema serebral
2) Nyeri kepala berhubungan dengan traksi dan pergeseran struktur peka
nyeri
3) Kecemasan pasien/keliuarga berhubungan dengan rencana bedah saraf
1.2.3. Intervensi keperawatan
1) Resiko tinggi peningkatan intracranial (TIK) berhubungan dengan desakan
ruang oleh massa tumor intracranial dan edema serebral
Tujuan: Tidak terjadi peningkatan TIK pada pasien dalam waktu 3 x 24
jam
Kriteria Hasil:
- Pasien tidak gelisah
- Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, mual-muntah
- GCS: E4, V5, M6
- Tidak terdapat papilledema
- TTV dalam batas normal

Tindakan:
(1) Kaji factor penyebab koma, penurunan perfusi jaringan dan
memungkinkan penyebab peingkatan TIK
Rasional: Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan
atau tindakan pembedahan
(2) Evaluasi pupil
Rasional: Reaksi pupil dan pergerakan kembali bola mata merupakan
tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
(3) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya
prosedur
Rasional: Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK karena
efek rangsangan kumulatif
(4) Berikan penjelasan pada pasien (jika sadar) dan keliarga tentang sebab
dan akibat TIK meningkat
(5) Kolaborasi dengan tenaga medis dalam pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional: Mengurangi Hipoksemia, dimana dapat menigkatkan
vasolidatasi serebral dan volume darah sehingga menaikkan TIK

2) Nyeri kepala berhubungan dengan traksi dan pergeseran struktur peka


nyeri
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang, atau teradaptasi
Kriteria hasil:
- Secara subyektif pasien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diadaptasi
- Dapat mengidentifikasi aktivitas yanag meningkatkan atau menurunkan
nyeri
- Pasien tidak gelisah
- Pasien mengatakan tingkat nyero 1 dari skala 0-4

Tindakan Keperawatan
(1) Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri
norfarmakologik dan noninvasif
Rasional: Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nnfarmakologik linya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
(2) Ajarkan teknik-teknis untuk menurukan ketegangan otot rangka yang
dapat menurunkan intensitas nyeri
Rasional: Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan 02
oleh jaringan akan terpenuhi dan mengurangi nyeri
(3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut
Rasional: Mengalihkan perhatian nyeri ke hal-hal yang menyenangkan.
(4) Berikan kesemapatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan
(5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan
berapa lama nyeri akan berlangsung
Rasional: pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi
nyeri dan membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap
rencana terapeutik.
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional: Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
berkurang
3) Kecemasan pasien/keliuarga berhubungan dengan rencana bedah saraf
Tujuan: secara subyektif melaporkan rasa cemas berkurang
Kriteria hasil:
- Pasien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku dengan cara-cara
yang sehat kepada perawat
- Pasien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya
dan perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi
- Pasien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah tersebut
- Pasie dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik
Tindakan:
(1) Monitor respons fisik, seperti: kelemahan, perubahan tanda vital,
gerakan yang berulang-ulang. Catat kesesuaian respons verbal dan
noverbal selama komunikasi
Rasional: Digunakan dalam mengevaluasi derajat/tongkat
kesadaran/konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi
verbal
(2) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengungkapkan dan
mengekspresikan rasa takutnya
Rasional: Memberikan kesempatan untuj berkonsentrasi,
mendapatkan kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan
(3) Identifikasi/kaji ulang bersama pasien/keluarga tindakan pengaman
yang ada, seperti: kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suction
emergensi. Kemudian diskusikan arti dari bunyi alarm.
Rasional: Memberikan/menentramkanhati pasien untuk membantu
menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi konsentrasi
yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam
keadaan darurat.
(4) Catat reaksi dari pasien/keluarga. Berikan kesempatan untuk
mendiskusikan perasaaan/konsentrasi dan harapan masa depannya.
Rasional: Anggota keluarga dengan responsnya pada apa yang terjadi
dan kecemasan dapat disampaikan kepada pasien.
(5) Anjurkan aktivitas pengalih perhatian sesuai kemampuan individu,
seperti: menulis, menonton televise, dan keterampilan tangan
Rasional: Sejumlah keterampilan, baik secara sendiri maupun dibantu
selama pemasangan ventilator, dapat membuat pasien merasa
berkualitas dalam hidupnya
7. DiRuang prabedah
Diruang prabedah (ruang sementara), perawat melakukan pengkajian ringkas
mengenai kondisi fisik pasien dan kelengkapan yang berhubungan dengan
pembedahan. Diagnosis keperawatan individu bergantung pada pengkajian
keperawatan. Tinjau rekam medic untuk merencanakan kebutuhan pasien
yang spesifik dalam hubungannya dengan pendekatan bedah yang
direncanakan, posisi pasien, kebutuhan peralatan dan perlengkapan khusus,
tindakan pendahuluan (jalur kateter IV, cukur, dan lain-lain). Pengkajian
ringkas tersebut adalah sebagai berikut:
- Validasi: perawat melakukan konfirmasi identitas pasien sebagai data dasar
untuk mencocokan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan.
- Kelengkapan administrasi: status rekam medic, data-dat penunjang (hasil
laboratorium, radiologi, CT-Scan, serta nomor serial tengkorak harus
tersedia), dan kelengkaoan informed consent.
- Kelengkapan alat dan sarana: sarana pembedahan seperti benang, cairan
intravena, dan obat antibiotic profilaksis sesuai dengan kebijakan institusi.
- Pemeriksaan fisik: terutama tanda-tanda vital dan neurovascular (paratesia,
kesemutan, paralisis), serta pencukuran rambut pada bagian kepala.
- Tingkat kecemasan dan pengetahuan pendidikan

Diagnosis keperawatan di ruang sementara yang lazim ditegakkan adalah


kecemasan dan pemenuhan informasi.
Rencana intervensi yang lazim dilakukan adalah:
- Obeservasi TTV dan berkolaborasi dengan tim medis apabila ditemukan
perubana atau ketidaknormalan dari hasil pemeriksaan TTV. Observasi TTV
merupakan data dasara yang penting sebagai bahan evalusai pascabedah
diruang pemulihan.
- Pengaturan posisis fisiologis untuk menurunkan tingkat kecemasan
- Komunikasi terapeutik dan dukungan psikologis untuk menurunkan tingkat
kecemasan
- Penjelasan singkat tentang prosedur yang akan dilakukan perawat dan dokter
selama pasien masih sadar
- Pemasangan kateter IV dengan jarum berdiameter besar

Evaluasi yang diharapkan pada pasien diruang sementara adalah sebagai berikut:
- TTV dalam batas normal
- Respon nyeri tidak meningkat dan perdarahan terkontrol
- Tingkat kecemasan pasien menurun.
- Pasien dapat dukungan psikologis dan secara singkat dapat menjelaskan
perihal prosedur pembedahan
- Pasien sudah terpasang Kateter IV

1.3. Asuhan Keperawatan Intraoperatif bedah kraniotomi


1. Dikamar operasi
Asuhan keperawatan intraoperative pemberian anestesi pada bedah kraniotomi
pada prinsipnya sama dengan asuhan keperawatan pada saat pemberian
anestesi secara umum yng telah di bahas.
2. Patofisiologi
Pasien yang dilakukan pembedahan akan melewati berbagai prosedur.
Prosedur pemberian anestesi, pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis,
dan prosedur bedah kraniotomi akan memberikan implikasi pada masalah
keperawatan yang akan muncul.
Efek dari anesetesi umum akan memberikan respons depresi atau iritabilitas
kardiovaskular, depresi pernapasan, dan kerusakan hati serta ginjal.
Penurunan suhu tubuh akibat suhu diruang operasi yang rendah, infus dengan
cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, luka terbuka pada tubuh,
aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut, obat-obatan yang digunakan
(vasilidator, anestesi umum) mengakibatkan peurunan laju metabolisme. Efek
anestesi akan mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal, sehingga
mempunyai resiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam
melakukan stroke volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah
jantung. Efek intervensi vedah dengan adanya cedera vascular dan banyaknya
jumlah volume darah yang keluar dari vascular memberikan adalah terjadinya
oenurunan perfusi perifer serta perubahan elektrolit dan metabolisme, karena
terjadinya mekanisme kompensasi pengaliran suplai hanya untuk orgal vital.
Respon pengaturan psosisi bedah akan menimbukan peingkatan resiko cedera
peregangan pleksus brakialis, tekanan berlebihan pada tonjolan-tonjolan
tulang yang berada dibawah (bokong, skapulam kalkeneus), tekanan pada
vena femoralis atau abdomen, dan cedera otot tungkai. Efek intevesi bedah
kraniotomi membuaat suat pintu masuk kuman (post de entree) sehingga
menimbulakn masalah resiko infeksi intraoperative. Selain itu juga
meningkatkan adanya cedera jaringan lunak (vascular, otot, saraf) prosedur
fiksasi intern serta kehilangan banyak darah intraoperasi. Intervensi bedah
dengaan nmenggunakan instrument dan perlaan listrik memunculkan masalah
resiko cedera intraioperasi yang perlu di waspadai perawat perioperatif.
3. Pengkajian
Pengakajian intraoperative bedah kraniotomi secara ringkas mengkaji ha-hal
yang berhubungan dengan pembedahan. Dianataranya adalah validasi
identitas dann prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan, serta
konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi.
4. Diagnosis keperawatan
1) Risiko cedera berhubungan dengan pengaturan posisi bedah dan trauma
prosedur pembedahana
2) Risiki infeksi behbungan dengan adanya post de entrée luka pembedahan
dan penurunan imunitas sekunder efek anestesi
5. Rencana Intervensi
Tujuan utama keperawatan pada jenis pembedahan bedah kraniotomi adalah
menurunkan resiko cedera, mencegah kontaminasi intraoperative, dan
optimalisasi hasil pembedahan. Kriteria yang diaharapkan, misalnya: pada
saat masuk ruang pemulihan kondisi TTV dalam batas normal, tidak terdapat
adanya cedera tekan sekunder dari penngaturan posisi bedah, dan luka
pascabedah tertutup kasa.
Rencana yang disusun dan akan dilaksanakan pada resiko cedera maupun
resiko infeksi adalah sebagai berikut:
1. Kaji ulang identitas pasien
Rasional: perawat ruang operasi memeriksa kembali identitas dan kardeks
pasien. Lihat kembali lembar persetujuan tindakan, riwayat kesehatan,
hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil pemeriksaan diagnostic.
2. Siapkan sarana scrub
Rasional: sarana scrub, meliputi cairan antiseptic cuci tangan pada
tempatbta, gaun (terdiri dari gaun kedap air dan baju bedah steril), duk
penutup, dan duk berlubang dalam kondisi lengkap dan siap pakai.
3. Lakukan persiapan meja bedah dan sarana pendukung
Rasional: meja bedah pada pembedahan kraniotomi sama sepeeti meja
bedah lainnya. Sarana pendukung seperti penahan bahu dan punggung
disiapkan pada saat pengaturan posisi
4. Atur posisi endotrakeal dengan fiksasi yang optimal
Rasional: untuk menjaga kepatenan jalan napas selam pengaturan posisi
dan saat intraoperasi.
5. Bandingkan status neurovascular sebelum dan setelah operasi
Rasional: mendeteksi kapan terjadinya penyebab cedera

1.4. Asuhan Keperawatan pascaoperatif bedah kraniotomi

Proses keperawatan pascaoperatif bedah kraniotomi merupkan salah satu bagian


dari asuhan keperawatan periopertaif, dimana asuhan pascaoperatif bedah terdiri atas:

- Asuhan yang diberikan pada pasien dari kamar operasi dan di ruang pulih
sadar sampai kesadaran pasien optimal
- Asuhan yang dilakukan setelah kondisi pasien stabil dari ruang pemulihan dan
dilanjutkan diruang perawatan intensif
- Asuhan lanjutan setelah pasien kembali ke bangsal rawat inap bedah.
1. Di ruang Pulih Sadar
Asuhan keperawatan pasaca bedah kraniotomi diruang pulih sadar secara
umum sama dengan asuhan keperawatan pasaca bedah dengan anestesi umum
lainnya. Focus pengkajian dan intervensi pascabedah kraniotomi adalah selalu
memperhatikan status respirasi, status jemodinamik, dan penurunan resiko
hipotermi.
2. Diruang perawatan intensif
Pasien pascabedah kraniotomi memerlukan keadaan umum secara ketat
sampai kondisi fisik dan seluruh organ berfungsi dengan optimal. Focus
asuhan keperawatan pascaoperatif bedag saraf I ruang intensif, meliputi:
- Manajemen status respirasi dan kardiovaskular
- Manajemen nyeri keperawatan
- Manajemen ambulasi
3. Diruang rawat inap
Setelah kondisi stabil dari ruang intensif, pasien akan mendapatkan perawatan
lanjutan di ruang inap. Penting bagi perawat untuk memperhatikan prses
pemindahan dan transportasi ini. Perawat berusaha untuk tetap menjaga
kesejajaran kepala dan selang pirau ventrikuloperitoneal.
Focus asuhan keperawatan pascaoperatif bedah saraf di ruang rawat inap
adalah melanjutkn asuhan yang dilakukan di ruang intensif. Intervensi yang
lazim dilakukan, meliputi:
- Manajemen nyeri keperawatan
- Manajemen ambulasi dini
- Manajemen penurunan resiko infeksi luka pascabedah kraniotomi
(penggantian balutan biasanya di lakukan di hari ke 3 pascabedah. Metode
pelaksanaan disesuaikan dengan prosedur institusi tentang perawatan luka
bersih.
CRANIOTOMI

Pre Operatif Intra Operatif Post Operatif

Gangguan Tindakan invasif bedah Penurunan reaksi Efek anestesi


neurologik anestesi umum, efek
progresif intervensi bedah

Prosedur bedah
Luka insisi
(stimulasi nyeri) Kontrol kesadaran
Peningkatan
tekanan masih menurun
intrakranial
Resiko Infeksi Resiko
Perdarahan Nyeri Akut
(Post Op)
Respons resiko
posisi bedah
Bertambahnya (paratesia, cedera
massa dalam tekan)
tengkorak

Kerusakan
Nyeri akut integritas
Prosedur operasi
jaringan
invasif

Ansietas
DAFTAR PUSTAKA

Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran


Universtas Indonesia; 2003. Hal 393-4.
Focusing on tumor meningioma[ cited 2009 November 20]. Availble
from:http://www.abta.org/meningioma.pdf
Patogenesis, histopatologi, dan klasifikasi meningioma[cited 2009 November 20].
Availble from
:http://www.neuroonkologi.com/articles/Patogenesis,%20histopatologi%20dan
%20klasifikasi%20meningioma.doc
Luhulima JW. Menings. Dalam: Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: Bagian
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.
Image of meninx. [cited 2009 November 20]. Available from:www. American
Society of Oncology
Netter HF, etc. Spinal nerve origin. In: Neuroanatomy and neurophysiology. USA:
Icon Custom Communication: 2002. P. 24
Meningiomas. [cited 2009 November 20]. Available from: www. Mayfieldclinic.com
Meningioma[cited 2009 November 20]. Available from:. http://www.cancer.net
Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology. SA:
Medical University of Southern Africa; 2004. p. 3-5.
Neuroradiology Imaging Teaching Files Case Thirty Six-Meningioma. [cited 2009
November 20]. Available from: http://www.uhrad.com/mriarc/mri036.htm
Black, j. M. (2014). jakarta: pentasada media edukasi.
mariono, r. (2000). jakarta: penerbit buku kedokteran (EGC).
mutaqqin, a., & sari, k. (2009). asuhan keperawatan perioperatif: Konsep,
Proses, dan aplikasi. jakarta: salemba medika.

You might also like