Professional Documents
Culture Documents
PENGOBATAN DEPRESI
BAB I
PENDAHULUAN
Depresi merupakan kondisi emosional seseorang yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang
amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak dapat tidur,
kehilangan selera makan, hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa
dilakukan (Davitson dkk 2010).
Epidemiologi depresi seumur hidup menunjukan prevalensi 7-12% untuk pria dan 20-25% untuk
wanita. Dilaporkan terdapat 5-10% prevalensi mayor depresi pada pelayanan kesehatan primer.
Angka prevalensi yang tinggi ini dapat disebabkan kerena masalah kesehatan pada pasien
seperti, penyakit yang berhubungan kuat dengan faktor biologikal dan psikologikal sebagai
faktor predisposisi untuk depresi. Usia yang biasanya terjadi depresi pada usia dibawah 40 tahun
(Cole dkk 2003). Selain itu, depresi ditandai dengan tingginya tingkat kekambuhan: 22% sampai
50% dari pasien menderita episode berulang dalam waktu 6 bulan setelah pemulihan (WHO
2004).
Di Indonesia, data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional gangguan mental
emosional, meliputi depresi dan kecemasan, pada penduduk berusia di atas 15 tahun mencapai
11,6% atau diderita oleh sekitar 19 juta orang (APA, 2000).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood
disorder), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna dan putus asa (Hawari 2001).
2.1.2 Epidemiologi
Gangguan depresi berat merupakan gangguan depresi yang sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Sekitar 10% mendapatkan perawatan di perawatan primer dan
15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia
remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dan
Siste, 2013).
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2 kali lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan hormon,
pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model
perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail dan Siste, 2013).
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50 tahun. Gangguan
depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan
depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya
pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dan Siste,
2013).
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun,
dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan
depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data
epidemiologis menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat pada
orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau
pada mereka yang bercerai atau berpisah.Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan
lebih rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini
berbanding terbalik untuk laki-laki (Ismail dan Siste, 2013).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau berpisah (Kaplan, 2010).
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih
sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan (Ismail dan Siste, 2013).
2.1.3 Etiologi
Faktor penyebab depresi antara lain:
a. Faktor Biologi
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin norepineprin, dan
dopamin. Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik, aktifnya reseptor b2-presinaptik yang
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin mengakibatkan timbulnya depresi.
Aktivitas dopamin yang berkurang juga dapat mengakibatkan depresi. Pada beberapa penelitian
ditemukan bahwa jumlah serotonin yang berkurang di celah sinaps turut ikut serta dalam
menimbulkan depresi (Ismail dan Siste, 2013).
b. Faktor Genetik
Depresi bisa disebabkan oleh faktor keturunan. Resiko untuk terjadinya depresi meningkat antara
20 – 40 % untuk keluarga keturunan pertama. Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari orangtua
yang depresi psikotik dan depresi non-psikotik terdapat insiden yang tinggi dari gejala depresi
ini. Memiliki satu orangtua yang mengalami depresi, meningkatkan resiko dua kali pada
keturunannya. Resiko itu meningkat menjadi empat kali bila kedua orangtuanya sama-sama
mengalami depresi (Sadock dan Sadock 2010).
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang
berulang, teori kognitif, dan dukungan sosial. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres,
lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi
mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain
menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi.
Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Sadock dan Sadock 2010).
d. Faktor Kognitif
Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif
tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan
yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi (Sadock dan Sadock, 2010).
2.1.6 Diagnosis
2.1.6.1 Kriteria diagnosis PPDGJ-III
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) (Maslim 2001)
a. Gejala utama:
1) Afek depresif.
2) Kehilangan minat dan kegembiraan.
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunya aktivitas.
b. Gejala Lainnya:
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5) Gagasan atau perbuatan memebahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
7) Nafsu makan berkurang
c. Diperlukan masa sekurang-kurangnyan2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
2.1.7 Tatalaksana
1. Rawat Inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah untuk tujuan diagnostik, risiko bunuh diri bunuh diri
atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis untu mendapatkan makanan dan
tempat tinggal (Sadock dan Sadock 2010).
2. Farmakoterapi
Penggolongan Obat Anti Depresi (Rusdi 2007).
Golongan Nama Obat
Trisiklik Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine Tianeptine
Tertrasiklik Maprotiline, Mianserine, Amoxapine
MAOI Moclobemide
SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) Sertraline, Patoxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine,
Duloxetine, Citalopram
Atypical Trazodone, Mirtazapine, Venlafaxine
SSRI adalah obat yang paling sering dipilih karena efektif, mudah digunakan, dan efek
simpangnya relatif lebih sedikit bahkan dalam dosis yang besar. Obat trisiklik dan tetrasiklik
dapat menimbulkan sedasi. MAOI dapat menyebabkan hipertensi krisis jika pasien mengonsumsi
makanan yang mengandung tiramin yang tinggi, oleh karena itu membutuhkan perhatian yang
baik dalam diet (Sadock dan Sadock 2010).
3. Terapi Psikososial
a. Terapi Perilaku
Terapi perilaku didasarkan oada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif mengakibatkan
seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin sekaligus penolakan dari
masyarakat. Dengan memusatkan pada perilaku maladaptif di dalam terapi, pasien belajar
berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan positif. Data
yang ada sampai saat ini menunjukkan bahwa terapi perilaku adalah terapi yang efektif untuk
gangguan depresi berat (Sadock dan Sadock 2010).
b. Terapi Berorientasi Psikoanalitik.
Tujuan psikoterapi psikoanalitik adalah memberi pengaruh apda perubahan struktur atau karakter
kepribadian seseorang, bukan hanya untuk meredakan gejala. Perbaikan kepercayaan
interpersonal, keintiman, kapasitas berduka adalah sejumlah tujuan terapi psikoanalitik (Sadock
dan Sadock 2010).
c. Terapi Keluarga
Terapi keluarga terbukti membantu pasien untuk mengurangi dan bisa untuk menghadapi stres
dan dapat mengurangi kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak
perkawinan pasien atau fungsi keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan seluruh keluarga
dalam mempertahankan gejala pasien (Sadock dan Sadock 2010).
d. Terapi Kognitif
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan
membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif; mengembangkan cara berpikir
alternatif, fleksibel, dan positif; serta melatih respons perilaku dan kognitif yang baru (Sadock
dan Sadock 2010).
e. Terapi Interpersonal
Terapi interpersonal memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien saat ini.
Pertama, masalah interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disgungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat di
dalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresif saat ini. Terapi interpersonal efektif dalam
penatalaksanaan gangguan depresif berat, khususnya mungkin membantu menyelesaikan
masalah interpersonal. Program terapi interpersonal biasanya terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan
ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif. Perilaku khas seperti tidak asertif,
keterampilan sosial terganggu, dan pikiran distorsi dapat diselesaikan dalam pengaruhnya
terhadap hubungan interpersonal (Sadock dan Sadock 2010).
2.1.8 Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien cenderung
mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan,
sementara sebagian besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif berat memiliki
kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk
mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan
depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yang stabil, tidak
adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang
singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang
baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik,
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu
episode sebelumnya (Kaplan, 2010).
Latihan Inti
Latihan inti di iringi ketukan musik 130 – 133 per menit dengan durasi 20 menit 26 detik.
Pendinginan
Pendinginan diiringi ketukan musik 125 per menit dengan durasi 6 menit 8 detik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, untuk pengobatan depresi melalui CBT berbasis internet dapat
digunakan akses internet melalui situs resmi gratis tentang CBT berbasis internet, contohnnya
MoodGYM, sedangkan apabila untuk komunikasi interpersonal antara terapis dan penderita
depresi guna melihat keadaan sehari-hari penderita dapat digunakan komunikasi tatap muka
melalui telepon genggam, bisa dengan video call atau penderita mengirim foto wajah dirinya
sendiri kepada terapis. Setelah itu terapis dapat mengirimkan kuesioner GHQ-12, yang nantinya
apabila sudah diisi oleh penderita, terapis dapat melihat keadaan kejiwaan pasien saat itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Depresi merupakan suatu gangguan mood yang memiliki karakteristik khusus. Depresi
dijelaskan sebagai kondisi emosional seseorang yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang
amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak dapat tidur,
kehilangan selera makan, hasrat seksual, dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa
dilakukan. Penyebab dari gangguan depresi berkaitan dengan: biologi, genetik, psikososial,
psikodinamik, dan kognitif.
Latihan fisik didefinisikan sebagai bentuk fisik kegiatan yang secara khusus direncanakan,
terstruktur, dan berulang-ulang.
Terapi kognitif perilaku adalah perawatan psikologis yang membahas interaksi antara bagaimana
kita berpikir, merasa, dan berperilaku. Terapi kognitif perilaku berbasis internet memiliki
beberapa keunggulan, antara lain terapi dapat dilakukan setiap waktu dan tempat, bekerja pada
kecepatan mereka sendiri, dan meninjau materi sesering yang diinginkan serta mengurangi waktu
terapis tetap menjaga efektivitas.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik dan terapi kognitif perilaku berbasis internet
berpengaruh dalam menurunkan gejala depresi pada penderita gangguan depresi, sehingga terapi
latihan fisik dan terapi kognitif perilaku dapat dipertimbangkan untuk menjadi tambahan terapi
pada penderita gangguan depresi selain tetap psikofarmaka menjadi terapi utama.
3.2 Saran
Penulis merasa banyak terdapat kekurangan dalam referat ini, sehingga kritik maupun saran guna
untuk kemajuan dalam penulisan referat ini. Diharapkan untuk dapat mengembangkan lagi dan
melanjutkan tentang isi referat ini yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (APA), 2000. Depression. Retrieved March 14, 2012,
from http://www.apa.org/health-reform/depression.html
Brick, L. 2001. Bugar Dengan Senam Aerobik (Terjemahan). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Carek PJ, Laibstain SE, Carek SM, 2011. Exercise for The Treatment of Depression and Anxiety.
Charleston: NT’L. J. PSYCHIATRY IN MEDICINE.
Cole S, Christensen J, Cole M, Feldman M, 2003. Mental & Behavior Disorder. In: Behavioral
Medicine in Primary Care. 2nd ed. New York: McGraw-Hill.
Craft LL, Perna F, 2009. The Benefits of Exercise for the Clinically Depressed. Prim Care
Companion J Clin Psychiatry.
Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M, 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Dimeo F, Bauer M, Varahram I, 2001. Benefits from Aerobic Exercise in Patients with Major
Depression. Tersedia dari: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=1724301%too=pmcentrez&rendertype=abstract\nhttp://bjsportmed.com/content/35/2/114.s
hort
Gega L, Marks I, Mataix-Cols D, 2004. Computer-aided CBT Self-help for Anxiety and
Depressive Disorders: Experience of a London Clinic and Future Directions. Journal of Clinical
Psychology.
Goldberg DP, Gater R, Sartorius N, Ustun TB, Piccinelli M, Gureje O dan Rutter C, 1997. The
validity of two versions of the GHQ in the WHO study of mental illness in general health care.
Psychological Medicine.
Hallgren M, Kraepelien M, Öjehagen a, Lindefors N, Zeebari Z, Kaldo V, Forsell Y, 2015.
Physical Exercise and Internet-Based Cognitive-Behavioural Therapy in The Treatment of
Depression: Randomised Controlled Trial. The British Journal of Psychiatry.
Hawari, H, 2001. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
I.M Ingram. dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC.
Idaiani S. Dan Suhardi, 2006. Validitas dna Reliabilitas General Health Questionnaire utuk
Skrining Distres Psikologik dan Disfungsi Sosial di Masyarakat. Bul. Penel. Kesehatan.