You are on page 1of 37

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia menurut Hierarki Maslow.
Kekurangan oksigen dalam hitungan menit saja dapat mengancam jiwa seseorang,
oleh karena itu masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap system pernapasan
(respiratori) menuntut asuhan keperawatan yang serius.
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis. Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian
atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi
hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang
mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan
oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen
kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &Sudarth,2001).
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt tindakan yang
dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi
sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20
ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Gagal Nafas ?
2. Bagaimana Etiologi dari Gagal Nafas ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari Gagal Nafas ?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus Gagal Nafas ?
5. Bagaimana Penatalaksanaan dari Gagal Nafas ?
6. Bagaimana Patofisiologi dari Gagal Nafas ?
7. Bagaimana Proses Keperawatan pada kasus Gagal Nafas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Gagal Nafas
2. Untuk mengetahui Etiologi dari Gagal Nafas
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Gagal Nafas
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada kasus Gagal Nafas
5. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dari Gagal Nafas
6. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Gagal Nafas
7. Untuk mengetahui Proses Keperawatan pada kasus Gagal Nafas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan Martin T, 1997 ).
Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran O2 dan CO2 dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan (Heri Rokhaeni, dkk, 2001).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru
tidak dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel
tubuh sehingga menyebabkan PO2 <>2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C
Susane, 2001).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen
kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida
lebih besar dari 45mmHg (Hiperkapnia). (Smeltzer & Barr,2002).

B. Etiologi Gagal Nafas


1. Penyebab sentral
a. Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
b. Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchial.
c. Kelainan diparu : edema paru, atelektasis, ARDS.
d. Kelainan tulang iga/thoraks : fraktur costae, pneumo thorax,
haematothoraks.
e. Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri
2. Penyebab perifer
a. Trauma kepala : contusio cerebri
b. Radang otak : encephalitis
c. Gangguan vaskuler : perdarahan otak, infark otak
d. Obat-obatan : narkotika, anestesi.
e. Kadar oksigen (Pao2 < 8 kPa) atau CO2 (Paco2 > 6,7 kPa) arterial yang
abnormal digunakan untuk menentukan adanya gagal nafas. Maka gagal
nafas dibagi menjadi :
1) Hipoksemia (tipe 1) : kegagalan transfer oksigen dalam paru.
2) Hipoksemia (tipe 2) : kegagalan ventilasi untuk mengeluarkan CO2
(Hudak and Gallo, 2010).
f. Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan :
1) Luka di kepala
2) Perdarahan / trombus di serebral
3) Obat yang menekan pernafasan
4) Gangguan muskular yang disebabkan
5) Tetanus
6) Kelainan neurologis primer Penyakit pada saraf seperti medula
spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuskular yang
terjadi pada pernafasa sehingga mempengaruhi ventilasi.
7) Efusi pleura, hemathorak, pneumothorak Kondisi ini dapat
mengganggu dalam ekspansi paru.
8) Trauma Kecelakaan yang mengakibatkan cedera kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan hidung, mulut dapat mengarah pada
obstruksi jalan nafas dan depresi pernafasan.Penyakit akut paru
(pneumonia) yang disebabkan bakteri dan virus, asma bronchiale,
atelektasis, embolisme paru dan edema paru.
3. Faktor predisposisi
Terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu :
a. Struktur anatomi
1. Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang
iga yang kurang kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot
interkostal yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding
dada terbatas.
2. Saluran pernafasan
Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan
dewasa.Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½
dewasa, sedangkan ukuran tubuh dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi
bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan
menurunkan luas saluran pernafasan 75 %.
3. Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘ elastic recoil ’
untuk mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli
relatif lebih besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi,
jumlah alveoli akan bertambah sehingga akan menambah ‘ elastic
recoil’.
b. Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak
kerentangan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor
predisposisi gagal nafas.
c. Kelainan konginetal
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ
lain yang berhubungan dengan alat pernafasan.
d. Faktor fisiologis dan metabolic
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar
daripada dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat
mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut
di capai dengan menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama
adalah kehilangan kalori dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi otot
pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi dan anak kadar glikogen
rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan asam organik sebagai
hasil metabolisme anaerib akibatnya terjadi asidosis.
e. Penyebab gagal nafas
Jenis penyakit penyebab gagal nafas pada bayi / anak
Penyebab Bayi / Anak
Jalan nafas bagian atas :
Faring Makroglosis
Hipertropi tonsil

Laring Laringotrakeobronkitis
Epiglotis akut
Laringitis difterika
Edema/stenosis pasca intubasi

Trakea Benda asing

Jalan nafas bagian bawah

Bronkus/bronkiolus Bronkiolitis
Status asmatikus

Alveoli Pneumonia
Kelainan jantung bawaan
Trauma
Luka bakar
Kompresi pulmonal Pneumonia
Trauma dada

Susunan saraf Trauma


Ensefalitis
Takaran obat berlebihan
Status epileptikus
Sindrom Guillain-Barre
Dikutip dari Brown dan Fisk, Anesthesia for Children, Intensive Care
aspeect, Blackwell Scientific Publ (1979).

C. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda.Gagal nafas
akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia
dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut
biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur
paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan
yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi
tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal
10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien
dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis,
hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan.
Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif
dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen
menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan
efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat
mengarah ke gagal nafas akut.
D. Pathway
Ventilator

Tekanan positif inspirasi

Darah ke jantung suplai ke otak vol tidal


Terhambat kurang
tinggi

Darah ke atrium kiri Venous return b(-)

Berkurang TIK meningkat


resiko

pneumotorak

cardiac output menurun

Hipotensi Ggn perfusi


jaringan

Kompresi mikro vaskuler


Kecemasan

Suplai darah ke paru b(-) Ggn oksigenasi


E. Manifestasi Klinis Gagal Nafas
Tanda
1. Gagal nafas total
a. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar / dirasakan.
b. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga
serta tidak ada perkembangan dada pada inspirasi.
c. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
2. Gagal nafas parsial
a. Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing, dan whizing.
b. Ada retraksi dada

Gejala
1. Hiperkapnia yaitu peningkatan kadar CO2 dalam tubuh lebih dari 45 mmHg
darah lengkap, elektrolit serum, sitologi, urinalisis, bronkogram,
bronkoskopi.
2. Pemeriksaan rontgen dada Hipoksemia terjadi takikardia, gelisah,
berkeringat atau sianosis atau PO2 menurun.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan analisa gas darah arteri (AGD)

Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg

2. Pemeriksaan rontgen dada untuk melihat keadaan patologik dan atau


kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui.
3. Pemeriksaan sputum, fungsi paru, angiografi, pemindahan ventilasi – perfusi.
4. Hemodinamik.
5. EKG :Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan,
disritmia

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Suportif / Non suportif
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak
langsung di tujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu:
a. Atasi Hipoksemia : terapi Oksigen
b. Atasi Hiperkarbia : perbaiki ventilasi
1) Perbaiki jalan nafas
2) Bantuan ventilasi : face mask, ambu bag
c. Terapi lainnya.
1) Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan
secepatnya untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali
dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali
dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hipercarbia drive
melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2
yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
oksigen benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk
pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat
manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan.
Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat
mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila
diperlukan oksigen dapat diberika terus-menerus.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu
sistem arus rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul
merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara
luas. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring
dengan aliran 1-6 L/menit, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-
44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran
menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah
didisain beberapa alat, diantaranya electronic demand device,
resevoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan
dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih
efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury mask
dan reservior nebulizer blenders. Alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat
untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-
35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal nafas tipe 2, bernafas
dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki
hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah
rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi
tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit
oksigen melalui mask, yang umunya cukup total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien
hipoksia dengan ventilasi abnormal.
2) Atasi Hiperkarbia : Perbaiki Ventilasi
Jalan nafas (Airway)
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan
pemberian obat-obat pernafasan. Pada semua pasien gangguan
pernafasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan nafas
atas. Pertimbangan untuk insersi jalan nafas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan nafas
artifisial dibandingkan jalan nafas alami.
Resiko jalan nafas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan
trakea (erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi
mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernafasan. Keuntungan jalan nafas artifisial adalah daapat melintasi
obstruksi jalan nafas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-
obatan, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi
fibreoptik.
Pada pasien gagal nafas akut, pilihan didasarkan pada apakah
oksigen, obat-obatan pernafasan, dan terapi pernafasan via jalan nafas
alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan nafas artifisial.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
Secara fisiologis :
a) Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b) PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c) Kapasitas vital <15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskuler
Secara klinis :
a) Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan nafas
b) Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemoginamik
c) Obstruksi jalan nafas (pertimbangan trakeostomi)
d) Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien.
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi
endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon
terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat.
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan asilitas dan
potensi manaat ventilasi tekanan positi tanpa pipa trakea ventilasi
tekanan positif dan infasif)

Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik


Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara
mulut kemulut atau mulut kehidung, biasanya digunakan sungkup muka
berkantung (face mask atau ambu gigi) dengan memompa kantungnya
untuk memasukkan udara kedalam paru.
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.
Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasi
perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba – tiba selalu berhubungan
dengan asidosis respiratorik. Namun, kegagalan ventilasi kronik
(PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena
kompensasi metabolik.dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH
<7,25) dan masalahnya tidak mengoreksi PaCO2. Pada pasien dimana
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekaik non invasi dengan nasal
atau face mask merupakan alternatif yang efektif, namun setelah
diketahui, pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET
dengan ventilasi mode assist control atau synchronized intermittent
ventilation dengan setting rate sesuai dengan laju nafas spontan pasien
untuk meyakinkan kenyamanan pasien.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal naas
atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal nafas (gawat nafas yang
tidak segera ditangani). Kondisi yang mengarah ke gagal nafas adalah
termasuk hipoksemia yang refrakter , hiperkapnia akut atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneomonia berat yang tetap
hipoksemia walaupun sudah diberikan oksign dengan tekanan tinggi
atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak dan
meknimbulkan asidosis. Sebanyak 75% pasien yang dipasang ventilator
lebih dari 48 jam maka emungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah
sakit (bukan saja lebas dari ventilator) jadi lebih kecil.

Terapi Supportif lainnya :


1) Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk mnegatasi gagal nafas
juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan
baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan telapak
tangan pada saat inspirrasi. Pasien melaukan batuk yang efektif.
Dilakukan juga tepukan – tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi vibrasi dan drainage postural. Kadang – kadang diperlukan
juga obat – obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
2) Bronkodilator. (agonis beta-andergenik/simpatomimetik). Obat –
obat ini lebih efektif diberikan perentar atau peroral, karena untuk
eferk bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih
sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi
yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-
andergenik yang dua hingga empat kali lebih banyak dari pada yang
direkomendasikan.
3) Peningkatan dosis (kualitas lebih besar dari pada nebulasasi) dan
peningkatan rekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulasasi
kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada
potensi, eikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara
yang tersedia adalah albuterol, metaprotetenol, terbutalin. Eek
samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantuk
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun
jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik
tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap
stimulasi beta-andergenik.
4) Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap
obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik.obat – obat ini kurang berperan pada asma, dimana
obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan
dengan bronkitis kronis, dimana tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal nafas,
antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
andergenik. Ipratropium bromida bersedia dalam bentuk MDI
(metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi. Eek samping
jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
5) Teofilin. Teoilin kurang kuat sebagai bronodilator dibandingkan
agonis beta andergenik. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi
kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta andergenik, dan aktifitas
anti inlamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah.
Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia,
perubahan status mental dan kejang.
6) Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan
inflamasi jalan nafas tidak diketahui secara pasti, tetapi perubahan
pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah
pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik
distribusinya pada gagal nafas akut, dan hampir selalu digunakan
preparat oral atau parentral. Efek samping kortikosteroid parentral
adalah hiperglikemia, hiperkalemia, retensi natrium dan air, miopati
steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gantrointestinal.
Pengguanaan kortikosteroid bersama – sama obat pelumpuh otot
non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
7) Ekspektoran dan Nukleonik. Cairan peroral atau parentral dapat
memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang
kekurangan cairan. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada
sekret jalan nafas, terutama pada pasien dengan ETT. Sedikit (3-5
ml) NaCl 0,9%, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik
juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan bila
berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak.
H. Penatalaksanaan Kausatif/spesifik
Sambil dilakukan reusitasi (terapi supportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga
pengobatan untuk masing – masing penyakit akan berlainan. Semua terapi diatas
dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di UGD sebelum
selanjutnya nanti dirawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan
pasien gagal nafas di ICU pada tahap berikutnya.

I. Masalah yang lazim muncul (Nanda,2015)


1. Gangguan pertukaran gas b.d akumulasi protein dan cairan dalam
interstisial/area alveolar, hipoventilasi alveolar, ehilangan surfaktan.
2. Disfungsi respon penyapihan ventilator b.d ketidakmampuan beradaptasi
dengan dukungan ventilator, ketidaktepatan laju penrunan dukungan
ventilator.
3. Resiko cidera
4. Resiko Infeksi
5. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai kebutuhan oksigen.
J. Discharge Planning
1. Jika terdapat penyakit pernafasan seja lama, diharapkan dapat mengetahui
faktor penyebab dan penanganannya sehingga menghindarkan terjadinya
gagal nafas.
2. Jika melakukan pendakian gunung yang kadar oksigennya tipis diharuskan
membawa tabung oksigen dan biasakan untuk menjaga kebugaran tubuh.
3. Patuhi aturan untuk pemakaian obat untuk menghindari overdosis yang dapat
mengakibatkan hipoventilasi.
4. Hindari rokok dan pemakaian obat terlarang serta hindari minum yang
beralkohol.
5. Konsultasikan indikasi penyebab dan penanganan darurat jika tidak ada
tenaga medis.
6. Bagi tenaga medis harus diperhatikan penyakit yang dapat mengakibatkan
gagal nafas dan biasanya pasien dengan ventilator mekanik, dan lakukan
pengkajian secara kontinyu status pernafasan dan kebutuhan akan ventilator,
lakukan pengukuran gas darah arteri secara sering atau sesuai instruksi.
Dokter, pantau terus saturasi oksigen arteri dalam oksimetri nadi,
rekomendasikan formula tinggi lipid daripada tinggi karbohidrat untuk
membatasi prodiksi karbondioksida. Pencegahan pemberian cairan intravena
yang berlebihan dan sebaliknya, asupan cairan kurang, pertahankan curah
jantung yang adekuat dll. (HarperE.A,1998:Fredricton,Nb,2002)

K. Pemeriksaan Diagnostik
Gas darah arteri (GDA) mencatat beratnya hipoksemia. Derajat hipoksemia
menjadi lebih berat (mis., PaO2< 50 mm) sebagai proses lanjut meskipun
peningkatan konsentrasi suplemen oksigen. Sebaliknya untuk hipoksemia
refraktori, PaCO2 rendah. Hasil lanjut menunjukkan peningkatan kompensasi
bermakna pada ventilasi menit (VE) dalam upaya mempertahankan PaO2, yang
ada sampai pasien menjadi lelah. Kotak displai 21-2 menunjukkan kesimpulan
SDPD, dari penampilan klinis sepanjang prosess penatalaksanaan.
L. Penatalaksanaan
Terapi modalitas untuk SDPD masih statik selama 20 tahun terakhir. Pada
saat penulisan ini, perawatan adalah pendukung dan terdiri dari bantuan ventilasi
dan TEAP, dengan harapan penggunaan waktu bagi pasien sampai faktor
kontribusi dapat dikoreksi dan beberapa penyembuhan paru dapat terjadi.
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki masalah ancaman
hidup segera: pengiriman oksigen ke jaringan tak adekuat sekunder terhadap
ketidakmampuan paru untuk mengoksigenasi, yang disebabkan oleh
abnormalitas V/Q berat dan kebocoran. Pengiriman oksigen ditentukan oleh
jumlah oksigen dalam darah dan curah jantung. Tujuan pengobatan kedua adalah
untuk meminimalkan tekanan vaskular paru untuk mencegah atau menghambat
kebocoran cairan pada membran kapiler alveolar.

M. Terapi oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapetik penting dan secara potensial
mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa sadar penyakit paru tampak
toleran dengan oksigen 100% selama 24 sampai 72 jam tanpa abnormalitas
fisiologi klinis penting. F1O2 tinggi (mis., >0,5) dalam waktu lama, namun dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelium dan epitelium. Jumlah
oksigen yang diberikan untuk SDPD harus paling rendah F1O2 yang
menghasilkan kandungan oksigen adekuat (mis., kandungan oksihemoglobin
>90%). Intubasi hampir selalu diindikasikan untuk mempertahankan F1O2 tetap
tinggi.

N. Ventilasi mekanis
Aspek penting perawatan SDPD adalah ventilasi mekanis. Tujuan terapetik
modalitas terapi ini adalah untuk memberikan dukungan ventilasi sampai
integritas membran alveolokapiler kembali baik. Dua tujuan tambahan adalah :
1. Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenasi selama periode kritis
hipokesemia
2. Mengembalikan faktor etiologi yang mengawali penyebab distres
pernafasan
Untuk membantu mengembalikan atau mencegah atelektasis, volume tidal
(VT ) yang dianjurkan adalah dari 10-15ml/kg.

O. Tekanan Ekspirasi-Akhir Positif


Ventilasi dan oksigenasi adekuat diberikan oleh volume ventilator dengan
tekanan tinggi dan kemampuan aliran, dimana TEAP dipertahankan dalam
alveoli melalui siklus pernafasan, selain itu mencegah atau mempertahankan
alveli kolaps pada akhir ekspirasi. TEAP menyebabkan simpanan KRF dengan
perbaikan tahanan jalan nafas dan komplains. Tujuan TEAP kontinu adalah
perbaikan oksigenasi dan selanjutnya penurunan konsentrasi oksigen inspirasi
yang diperlukan untuk memperbaiki hipoksemia yang mngancam hidup.
Komplikasi utama TEAP adalah penurunan curah jantung dan barotrauma.
Enfisema subkutan, pnemotorak, dan pnemomediastinum yang terjadi selama
ventilasi mekanis disebut barotrauma. Ini terjadi lebih sering bila pasien
diventilasi dengan VTdiatas 15ml/kg atau TEAP tingkat tinggi. Pasien dengan
status asmatikus dan penyakit paru obstriksi kronik dengan volume paru tinggi
juga berisiko untuk mengalami barotrauma selama ventilasi mekanis. Peralatan
selang dada torakostomi darurat harus siap tersedia.
Penurunan curah jantung sekunder terhadap TEAP disebabkan oleh
penurunan arus balik vena atau peningkatan tahanan vaskular pulmonal
pemonitoran cermat terhadap tekanan darah pasien., nadi, haluaran urin, dan
sensori penting. Dopamin atau nitropusidtelah digunakan untuk mengembalikan
curah jantung ke normal. Infus normal tambahan juga akan mengembalikan curah
jantung tetapi akan meningkatkan kandungan air paru.
Derajat TEAP untuk SDPD sangat kontroversial. Tujuan TEAP untuk
memperbaiki hipoksemia yang mengancam hidup sementara menggunakan
pendekatan terapetik paling aman. Banyak ahli pulmonal menggunakan ini, untuk
kebanyakan pasien, TEAP tingkat rendah (miss,<15cm H2 O). Awasi potensial
efek jantung karena TEAP, penambahan dan penurunan jumlah harus dibatasi
pada kenaikan dan penurunan 3 sampai 5 cm H2O. Tekanan darah harus dicatat
sebelum dan sesudah tiap perubahan. GDA akan memberikan dokumentasi
keefektifan TEAP (mis, perbaikan oksigenasi).

P. Kadar Hemoglobin
Kebanyakan volume oxygen ditranspor kedalam jaringan dalam ikatan
dengan hemoglobin. Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah
menurun. Sebagai akibat efek ventilasi mekanik, TEAP, dan suplemen akan
minimal. Pengukuran seri hemoglobin perlu untuk kalkulasi kandungan oksigen,
yang akan menentukan kebutuhan untuk tranfusi sel darah merah.

Q. Pemeliharaan jalan napas


Jalan napas definitif-selang endotrakeal atau selang trakeostomi-disediakan
tidak hanya sebagai jalan napas (dengan cuff utuh), memberikan dukungan
ventilasi kontinu, dan memberikan konsentrasi oksigen terus menerus.
Memelihara jalan napas meliputi mengetahui kapan menghisap, teknik
penghisapan lain, tekanan cuff adekuat, pencegahan nekrosis tekanan dari selang
endotrakeal atau orofangial, perawatan nasal dan oral untuk membuang
penumpukan sekresi, yang bila teraspirasi kedalam jalan napas bagian bawah
dapat menyebabkan infeksi paru sekunder, dan pemonitoran konstan terhadap
jalan napas bagian atas dan sekresi trakeal pada sisi trakeostomi terhadap adanya
tanda infeksi. Perawatan ini penting.

R. Pemantauan Fungsi Pernapasan


Alat hemodinamik untuk pasien dengan gagl pernapasan dimonitor pada
kegiatan rutin. Tipe pemonitoran yang selalu minimal pada umumnya atau
pemeriksaan sangat lengkap (karena alat pemantau hemodinamik) adalah yang
paling sederhana. Observasi ketat oleh petugas yang handal tentang fungsi paru
(dan pasien secara total) sepanjang waktu secara vital penting. Diagnosa fisik dan
pemeriksaan radiologi dada kontinu menjadi teknik dasar yang harus digunakan.
Teknologi harus dipertimbangkan sebagai cara peningkatan pemeriksaan
fisik dan radiografik daripada menggantikannya.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Identitas pasien, nama, umur , suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status pzrkawinan.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Apakah klien dulu pernah mengalami penyakit yang menyangkut
tentang system pernafasan misalnya asma. Infeksi pada paru dll.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Yaitu meliputi alasan klien masuk kerumah sakit dan yang dialami klien
saat ini misalnya aliran udara dimulut klien tidak terdengar/diraakan,
terdengar suara tambahan, adanta retraksi dada, penurunan
kesadaran,sianosis, takikardia, geliah dll.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita penyakit
yang sama dengan klien atau penyakit yang menyangkut dengan system
pernafasan.
3. Pengkajian ABC
a. Airway
1) Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)
2) Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing
b. Breathing
1) Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea
2) Menggunakan otot asesoris pernafasan
3) Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis
4) Pernafasan memakai alat Bantu nafas
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental
(ansietas, cemas)
4) Papiledema
5) Penurunan haluaran urine
d. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klient, dengan penilaian GCS,
dengan memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
e. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, adakah udem, pucat, tampak lemah,
adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat secara objektif.
4. Pemeriksaan Fisik
(Menurut pengumpulan data dasar oleh Doengoes)
a. Tekanan darah: Normal/turun (kurang dari 90-100 mmHg)
b. Nadi: Normal/meningkat (100-120x/menit)
c. RR: Normal/ meningkat (28-34x/menit)
d. Suhu: Normal/ meningkat
e. Kesadaran: composmentis / kesadaran menurun
f. Berat badan: menurun
g. Keadaan umum: lemah, pucat, bedrest
h. Mata: konjungtiva pucat, pandangan berkunang-kunang
i. Mulut: mukosa anemis
j. Leher: normal
k. Thorak dan paru-paru: sesak nafas, nafas pendek, ada suara tambahan,
ada retraksi dada
l. Kardiovaskular: TD turun, nadi cepat dan kecil, akral dingin dan pucat.
m. Abdomen: kandung kemih, konstipasi.
n. Genitalia: sedikit miksi
o. Muskuloskeletal dan integument: Kelemahan tubuh, kulit pucat, dingin,
berkeringat, kering.
BAB IV
LAPORAN KASUS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN
GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGENASI “GAGAL NAFAS”.

KASUS
Ny. W usia 45 tahun, dibawa ke IGD RSU Medika, dengan sesak nafas pasca
kecelakaan lalu lintas. Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah dan diarah
kepada bagian belakang, pasien mengalami penurunan kesadaran, nafas berat, sianosis,
hasil pulse oksimetri menurun 89%, tekanan darah 110/80 mmHg, dengan frekuensi
RR 30 x/menit, pendek dan dangkal, suhu tubuh 36,50 C nadi 110 x/menit dan lemah.
Pasien direncanakan dilakukan pemasangan ventilator.
A. PENGKAJIAN
Nama pengkaji :
Tanggal masuk : 15 Maret 2017 jam : 07.00 WIB
Tanggal pengkajian : 15 Maret 2017 jam : 07.20 WIB

B. BIODATA PASIEN
Identitas
Nama : Ny. W
Jenis kelamin : perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : pedagang
Usia : 45 tahun
Status pernikahan : menikah
No. RM : 16785
Diagnosa medis : gagal nafas
Tanggal masuk RS : 15 Maret 2017
Alamat : Palang, Tuban
C. PENANGGUNG JAWAB
Identitas
Nama : Tn. T
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : nelayan
Hubungan dengan klien : suami
Alamat : Palang, Tuban
D. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airways (jalan nafas)
Sumbatan : Terdapat broncospasme
Suara nafas : Terdengar suara ronchi
2. Breathing ( pernafasan )
Sesak dengan : Menggunakan otot tambahan
Frekuensi : 30 x/menit
Irama : Tidak teratur
Kedalaman: Dangkal
Reflek batuk : Tidak
Batuk : Non produktif, Tidak ada sputum
3. Circulation ( sirkulasi )
Sirkulasi perifer :
 Nadi : 110 x/menit
 Irama: teratur
 Denyut: lemh
 TD: 110/80 mmHg
 Ekstremitas : dingin
 Warna kulit : sianosis
 Nyeri dada: ada
 Karakteristik nyeri dada : seperti ditusuk – tusuk
 Capillary refill : < 3 detik
 Edema: tidak
4. Disability
 Alert: pasien mengalami penurunan kesadaran
 Voice respon: pasien masih berespon terhadap suara
 Pain respon: pasien berespon terhadap nyeri
 Unrespon : pasien masih dapat berespon
 Reaksi pupil: membesar saat diberi rangsangan
5. Eksposure/Enviroment/Event
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh : Terdapat jejas pada regio dada kanan
lateral bawah dan diarah kepada bagian belakang
Pemeriksaan penunjang :-
Penyebab kejadian : Kecelakaan Lalu Lintas

E. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Keluhan Utama : Pasien mengeluh sesak nafas
2. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi terhadap obat, makanan tertentu
3. Pasien tidak pernah melakukan pengobatan
4. Last meal ( makan terakhir ) : nasi kucing
5. Pengalaman pembedahan: pasien tidak mengalami riwayat pembedahan
6. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengalami penurunan kesadaran, nafas berat, sianosis, hasil pulse :
oksimetri 89%, TD 110/80 mmHg, dengan frekuensi RR 30 x/menit, pendek
dan dangkal, suhu tubuh 36,50 C, nadi 110 x/menit dan lemah.
7. Riwayat kesehatan dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami kecelakaan
sebelumnya.
F. PEMERIKSAAN FISIK ( HEAD TO TOE )
a. Kepala : bentuk simetris
 Rambut : panjang
 Warna : hitam
 Distribusi : rata
 Tekstur : halus
 Kulit : bersih dan lembab
b. Mata :
 Bola mata : bulat
 Kelopak mata: tidak ada odema
 Sclera : putih
 Pupil : isokor
 Reaksi pupil : membesar saat ada rangsangan cahaya
c. Telinga : bentuk simetris, tidak ada serumen
d. Hidung : simetris
e. Mulut : mukosa bibir pucat, gigi baik, tidak ada stomatitis
f. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
g. Dada
 Inspeksi : Terdapat jejas pada regio dada kanan lateral bawah dan
diarah kepada bagian belakang
 Palpasi : terdapat nyeri tekan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Ronkhi
h. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk Simetris
 Auskultasi : Bising usus 5 x/menit
 Palpasi : Timpani
 Perkusi : Tidak ada nyeri tekan
i. Ekstermitas/Muskuluskeletal
Ekstermitas : Atas (Pergerakan normal dan tidak ada lesi)
Bawah (Pergerakan normal dan tidak ada lesi)
j. Kulit/Intergumen
Turgor kulit : Turun
Mukosa kulit : Pucat

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LAB Analisa Gas Darah (AGD)
Ph Normal : 7,35
PCO2 : 48,0
PO2 : 75
HCO2 : 25
a. Analisa Data
No Data fokus Problem Etiologi Diagnosa
keperawatan
1 Ds : pasien mengeluh Gangguan Kurangnya Gangguan
sesak nafas perfusi suplai O2 perfusi
Do : jejas pada kepala jaringan dalam jaringan jaringan
bagian cerebral otak cerebral
belakang,sianosis, nafas berdasarkan
berat, RR 30x/menit , kurangnya
pulse oksimetri menurun suplai O2 dalam
89% , penurunan jaringan otak
kesadaran
2 Do : pasien mengalami Gangguan Vebtilasi Gangguan
penurunan kesadaran pertukaran gas perfusi pertukaran gas
dan nafas berat berdasarkan
Do : sianosis ventilasi
Tekanan darah : 110/80 perfusi
mmHg
RR : 30x/ menit pendek
dan dangkal
Nadi : 110x/menit dan
lemah
pH normal
PCO2 :48.0
PO2 : 75
HCO2 : 25

b. Diagnosa
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan kurangnya suplai
O2 dalam jaringan otak
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi

c. Intervensi Keperawatan
N TGL / DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
O HARI
1 Rabu, Gangguan Setelah dilakukan
1. Bina hubungan Untuk
15 perfusi tindakan saling percaya mempermudah
Maret jaringan keperawatan selama antara pasien dan dalam mencari
2017 cerebral 2 x 24 jam klien keluarga informasi
Jam berhubungan mampu bernafas
09.00 dengan
kurangnya dengan normal
2. Monitor frekuensi
suplai O2 dengan K.H : pernafasan pasien Untuk
dalam 1. Frekuesi tiap 2 jam mengetahui
jaringan otak pernafasan normal keadaan
(16 – 20 x / menit) 3. Berikan posisi pernafasan
2. Tidak terdengar semi fowler pasien saat ini
suara nafas tambahan
3. Tidak sesak Untuk
meningkatkan
4. Ajarkan kepada ekspansi paru
pasien untuk
tekhnik nafas dalam

5. Kolaborasi Untuk relaxsasi


dengan tim medis pasien
pemberian terapi
yang sesuai

Untuk
membantu
proses
penyembuhan

k. Implementasi Keperawatan
No. Hari, Diagnosa Implementasi Paraf
tanggal/jam
1. Rabu, 15 maret Gangguan - membina hubungan saling
2017. perfusi percaya dengan pasein dan
09.00 jaringan keluarga
cerebral pasien kooperatif
berhubungan
dengan - Memonitoring frekuensi
kurangnya pernafasan setiap 2 jam
suplai o2 Frekuensi pernafasan pasien
dalam jaringan 30X/menit
otak
- Memberikan posisi semi
fowler
Pasien nyaman

- Mengajarkan pasien untuk


tehnik naafas dalam
Pasien kooperatif

- Melakukan kolaborasi dengan


tim medis, pemberian terapi
nebulizer
Pasien kooperatif

2. Kamis, 16 - Memonitoring frekuensi


maret 2017 pernafasan setiap 2 jam
10.00 Frekuensi pernasan 28X/menit
- Memberikan poisisi semi
fowler
Pasien nyaman dan kooperatif

- Melakukan kolaborasi dengan


tim medis, pemberian terapi
nebulizer
Pasien kooperatif

l. Evaluasi Keperawatan
No Hari/Tanggal/Jam Diagnosa Evaluasi Paraf
keperawatan
1 Rabu, 15 Maret Gangguan perfusi S : pasien mengatakan
2017 pukul 14.00 jaringan cerebral b.d bahwa masih sesak dan Ⱦ
WIB kurangnya suplai O2 nyeri pada dada
dalam jaringan otak O : pasien lemah, pucat
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 36,5°C
Nadi : 110x/menit
RR : 30x/menit
A : Masalah gangguan
perfusi jaringan
cerebral belum teratasi
P : intervensi nomer 1,
2, 3, 6 dilanjutkan
2 Kamis , 16 Maret S : pasien mengatakan
2017 pukul 14.00 masih sesak tetapi
WIB sudah tidak nyeri Ⱦ
O : Wajah pasien lebih
rilex dan nyaman
TD : 129/80 mmHg
Suhu : 36,50 C
Nadi : 96x/menit
RR : 28x/menit
A : masalah gangguan
perfusi jaringan
cerebral teratasi
sebagian
P : intervensi
dilanjutkan dan
menganjurkan pasien
untuk melakukan nafas
dalam mandiri ketika
terasa sesak.
BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan
asidosis.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang
dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi
sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20
ml/kg).

b. Saran
Perlu adanya edukasi kepada masyarakat tentang gagal napas dan bagaimana cara
pertolongan pertama supaya dapat meminimalisir tingkat kematian yang
diakibatkan oleh gagal napas.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta: EGC;
1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993.
Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan
I, Universitas Airlangga, Surabaya.
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC,
Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta.

You might also like