You are on page 1of 112

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Apoteker

Program Studi Profesi Apoteker

Sekolah Tinggi Farmasi Bandung

Disusun oleh :

Linda Fitria Nurbaeti, S. Farm

21152032

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG

2016
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANDUNG

Oleh :

Linda Fitria Nurbaeti, S. Farm

21152032

Setelah membaca laporan ini dengan seksama menurut pertimbangan kami

Telah memenuhi persyaratan sebagai laporan praktek kerja profesi apoteker

Menyetujui,

Pembimbing PKPA Pembimbing PKPA

Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung UPT PKM Padasuka

Ermin Hermin, S.Si., Apt. Puspita Sri Rahayu, S.Farm., Apt

Pembimbing PKPA

Sekolah Tinggi Farmasi Bandung

Ika Kurnia Sukmawati, M.Si., Apt


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT karena berkat rahmat,
karunia dan kekuatan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Bandung dan
Puskesmas Padasuka pada bulan Mei 2016, sekaligus dengan pembuatan laporan
PKPA yang disusun untuk memenuhi persyaratan ujian Apoteker pada Program Studi
Profesi Apoteker di Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.

Selama proses Praktek Kerja Profesi Apoteker dan penyusunan laporan ini,
penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua
orang tua tercinta beserta penghargaan kepada :

1. Entris Sutrisno., M.HKes., Apt. selaku Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
2. Ibu Dr. Patonah, M.Si., Apt. Selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
3. Ika Kurnia Sukmawati, M.Si.,Apt Selaku pembimbing Praktek Kerja Profesi
Apoteker dari Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
4. Ermin Hermin. S.Si., Apt. selaku pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker di
DinasKesehatan Kota Bandung yang telah memberikan waktu, bimbingan dan
arahan selama PKPA.
5. Puspita Sri Rahayu. S.Farm., Apt. selaku pembimbing Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Puskesmas Padasuka yang telah memberikan waktu, bimbingan dan
arahan selama PKPA.
6. Keluarga tercinta terima kasih atas doa yang tak pernah henti, sahabat-sahabat
mahasiswa apoteker angkatan XIV STFB, seluruh pihak yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.

i
Harapan penulis, semoga ilmu, pengalaman, dan pengetahuan yang telah
didapatkan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker dapat bermanfaat di masa yang
akan datang.

Bandung, Mei 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ i

Daftar Isi...................................................................................................................... iii

Daftar Lampiran .......................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2. Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ................................................ 2
1.3. Waktu dan Tempat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ............................ 3

BAB II TINJAUAN UMUM DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG ........... 4

2.1. Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Bandung ............................... 4


2.1.1. Sejarah Dinas Kesehatan Kota Bandung ...................................... 4
2.1.2. Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung ......................................... 5
2.1.3. Organisasi Dan Personalia Dinas Kesehatan Kota Bandung ........ 5
2.1.4. Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung ............................. 5
2.1.5. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Bandung ........... 6
2.1.6. Kebijakan dan Program Dinas Kesehatan Kota Bandung ............ 7
2.2. Gambaran Umum Gudang Farmasi Kota Bandung ................................ 8
2.3. Persediaan Obat dan Perbekalan Farmasi di Dinas Kesehatan ............. 9
2.3.1. Perencanaan ................................................................................ 9
2.3.2. Pengadaan ................................................................................... 18
2.3.3. Penyimpanan ............................................................................... 22
2.3.4. Distribusi ...................................................................................... 26
2.3.5. Pencatatan dan Pelaporan .......................................................... 29
2.3.6. Supervisi dan Evaluasi.................................................................. 32

iii
2.4. Gambaran Umum Puskesmas ................................................................ 30
2.4.1. Definisi Puskesmas ...................................................................... 35
2.4.2. Prinsip Penyelenggaraan, Tugas dan Fungsi Puskesmas ............. 36
2.4.3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ........................... 36

BAB III TINJAUAN KHUSUS SEKSI FARBEKES DINAS KESEHATAN


KOTA BANDUNG DAN UPT PUSKESMAS PADASUKA ................. 57

3.1. Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan ................................... 57


3.2. Uraian Tugas Pokok dan Fungsi ................................................... 57
3.3. Pengawasan dan Pembinaan ....................................................... 58
3.4. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Farmasi................................. 64
3.4.1. Perencanaan .................................................................... 65
3.4.2. Pengadaan ....................................................................... 66
3.4.3. Penerimaan dan Pemeriksaan ......................................... 66
3.4.4. Penyimpanan ................................................................... 67
3.4.5. Distribusi .......................................................................... 68
3.4.6. Pencatatan dan Pelaporan .............................................. 69
3.4.7. Supervise dan Evaluasi .................................................... 69
3.5. Puskesmas Padasuka ................................................................... 70
3.5.1. Profil Puskesmas Padasuka.............................................. 70
3.5.2. Visi dan Misi UPT Puskesmas Padasuka .......................... 70
3.5.3. Struktur Organisasi UPT Puskesmas Padasuka ................ 71
3.5.4. Fasilitas di UPT Puskesmas Padasuka .............................. 71
3.5.5. Pengelolaan Obat di Puskesmas Padasuka ..................... 72
3.5.6. Pelayanan Resep di Puskesmas Padasuka ....................... 75
3.5.7. Pelayanan Informasi Obat ............................................... 76
3.5.8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) .......................... 76
3.5.9. Evaluasi Efek Samping Obat ............................................ 77

iv
3.5.10. Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS).... ..... 78

BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 89

5.1. Kesimpulan .................................................................................. 89


5.2. Saran ............................................................................................ 90

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 91

LAMPIRAN ................................................................................................................ 93

v
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Denah Lokasi Dinas Kesehatan Kota Bandung............................ 93
Lampiran 2. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung................... 94
Lampiran 3. Struktur Organisasi Puskesmas Padasuka.................................... 95
Lampiran 4. Karcis Pendaftaras Retribusi Pelayanan Kesehatan Umum......... 96
Lampiran 5. Blanko Resep Puskesmas Padasuka............................................. 97
Lampiran 6. Etiket……………………............................................................. 98
Lampiran 7. Kartu Stok Obat............................................................................ 99
Lampiran 8. Contoh LPLPO……………………………………………….… 100
Lampiran 9. Contoh Laporan Kunjungan………………………………....…. 101
Lampiran 10. Contoh Laporan Psikotropika dan Narkotika…………………... 102
Lampiran 11. Contoh Laporan POR…………………………………………... 104
Lampiran 12. Tugas Khusus (Poster)………………………………………… 105

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, sarana yang digunakan


untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yaitu apotek, instalasi farmasi
rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. Pelayanan
kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat
dilakukan oleh Apoteker.
Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan salah satu kegiatan yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam
Permenkes RI No 30 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yaitu
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan
dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (Drug Oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (Patient Oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care).
Peran apoteker di dalam melaksanakan fungsi baik di dinas kesehatan maupun
di puskesmas sudah sangat dibutuhkan, baik dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas
dibidang kesehatan terutama dalam manajemen atau pengelolaan perbekalan
kesehatan, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi dan pengendalian sampai
pada penyerahannya kepada pasien atau konsumen disertai dengan informasi obat.
Peran tersebut dinyatakan dalam PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
yaitu pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran
sediaan farmasi. Salah satu tempat dilaksanakannya pekerjaan kefarmasian adalah
puskesmas.

1
Apoteker yang bekerja di sarana puskesmas harus memiliki kemampuan dalam
menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik terhadap pasien sesuai ketentuan
yang berlaku, dapat mengambil keputusan yang tepat, mempunyai kemampuan
berkomunikasi antar profesi dengan baik, dapat menempatkan diri sebagai pimpinan
dalam situasi multidisipliner, mempunyai keinginan untuk belajar seumur hidup dan
membantu memberi pendidikan dan peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Pengalaman bekerja di Dinas Kesehatan dan Puskesmas merupakan hal yang
penting bagi seorang calon apoteker untuk dapatkan pengetahuan dan menjalankan
secara langsung, bagaimana pelaksanaan profesi apoteker di dinas kesehatan dan
puskesmas. Sehingga dapat mengetahui bagaimana cara penyelesaiannya dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi dan mengetahui hal-hal lain
yang belum diperoleh selama masa perkuliahan. Pengalaman tersebut dapat diperoleh
melalui Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA), sehingga diharapkan para calon
apoteker dapat membiasakan diri dengan pekerjaan profesinya dan menjadikannya
sebagai modal yang berguna bagi dirinya jika telah bekerja.
Sehubungan dengan adanya hal tersebut, maka Program Studi Profesi Apoteker,
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, bekerjasama dengan institusi pemerintahan bidang
farmasi yaitu Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk dapat melaksanakan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di UPT Puskesmas Padasuka. Dengan diadakannya
PKPA di institusi pemerintahan bidang farmasi ini, diharapkan seluruh mahasiswa
dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian dengan baik dan teratur sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan.

1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker


Tujuan dilakukannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di institusi pemerintahan
bidang farmasi adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan
tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di bidang
pemerintahan.

2
2. Memberi kesempatan kepada calon Apoteker untuk melihat dan mempelajari
strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan praktek farmasi di bidang pemerintahan.
3. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di
bidang pemerintahan.
4. Mempelajari pelayanan kefarmasian (manajemen pengelolaan obat, pelayanan
farmasi klinik) dipusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sesuai dengan etika
dan peraturan yang berlaku di dalam sistem pelayanan kesehatan.

1.3 Waktu dan Pelaksanaan PKPA


Praktek Kerja Profesi Apoteker dibagi menjadi 2 di UPT Puskesmas Padasuka
Kecamatan Cibeunying Kidul dilaksanakan mulai tanggal 02-20 Mei 2016 dan
Dinas Kesehatan Kota Bandung Jl.Supratman No 73 Citarum Bandung mulai
tanggal 23-28 Mei 2016.

3
BAB II
TINJAUAN UMUM
DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG

2.1. Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Bandung

2.1.1 Sejarah Dinas Kesehatan Kota Bandung


Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah salah satu instansi pemerintah yang
sudah ada sejak jaman kependudukan Belanda. Pada tahun 1946 sampai 1949 Dinas
Kesehatan disebut juga “Plaatselijke Gezond Heidsdienst Bandung” yang berkantor
di Gemeente Bandung. Pimpinannya adalah Dr. Molte V. Kuhlewein sebagai Hoofd
Gouvernementsart Hoofd V.D Plaatselijke Gezondheids Bandung.
Tahun 1950 Plaatselijke Gezond Heidsdienst berubah menjadi Jawatan
Kesehatan Kota Besar Bandung. Adapun pejabat yang ditunjuk adalah dr. R. Admiral
Suratedja, Kepala Kesehatan Kota Besar Bandung. Wakilnya berturut-turut dr. R.
Poerwo Soewarjo kemudian dr. R. Sadikun.
Kantor pusat Dinas Kesehatan berkedudukan di Gemeente Bandung atau
kantor Kotapraja Bandung yang sekarang dikenal sebagai kantor Pemerintah Daerah
Kotamadya Bandung sampai pertengahan tahun 1960 dan bagian preventif yang
sekarang dikenal dengan seksi pemberantasan penyakit menular berkantor di Jalan
Bawean Nomor 1 Bandung.
Pada tahun 1960 kantor pusat Dinas Kesehatan pindah ke jalan Badak Singa
Nomor 10 Bandung, menempati sebagian dari kantor penjernihan air yang sekarang
merupakan kantor perusahaan daerah air minum (PDAM) sampai tanggal 9 Oktober
1965. Pada tanggal 9 Oktober 1965 pindah lagi ke Jalan Supratman Nomor 73
Bandung sampai sekarang.
Pada tahun 1950 Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung terdiri dari 10 Balai
Pengobatan kemudian pada tahun 1972 berkembang menjadi 4 pusat kesehatan yang

4
terdiri dari 1 Pusat Kesehatan Masyarakat, 18 Balai Kesehatan Khusus kemudian 18
Balai Kesehatan Ibu dan Anak serta 6 Klinik Bersalin.

2.1.2 Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung


Dinas Kesehatan Kota Bandung terletak di jalan Supratman Nomor 73
Bandung dan dipimpin oleh dr. Hj. Ahyani Raksanagara, M.Kes. Dinas Kesehatan
Kota Bandung adalah instansi kesehatan tertinggi dalam satu wilayah administrasi
Pemerintahan Kota Bandung yang bertanggung jawab kepada Walikota Bandung.
Departemen Kesehatan berhubungan secara teknis fungsional dengan Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan sebaliknya. Dinas
Kesehatan Kota Bandung mempunyai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) terdiri
dari 73 Puskesmas (30 puskesmas induk dan 43 puskesmas pembantu), satu
Pelayanan Kesehatan Mobilitas dan satu Laboratorium Kesehatan.

2.1.3 Organisasi Dan Personalia Dinas Kesehatan Kota Bandung


Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung bedasarkan Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007, Tanggal 4 Desember 2007 dapat
dilihat pada Lampiran 2.

2.1.4 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung


1. Visi Dinas Kesehatan Kota Bandung
Dengan memperhatikan perkembangan pembangunan kesehatan keinginan,
harapan serta tujuan pembangunan kesehatan di Kota Bandung telah ditetapkan visi
yaitu “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, yang mempunyai makna, pertama suatu
kota yang secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan
sosial melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan memaksimalkan seluruh
potensi kehidupan baik secara bersama-sama maupun mandiri sehingga dapat
mewujudkan masyarakat yang berprilaku sehat, hidup di lingkungan yang aman,
nyaman dan sehat yang diawali dari terwujudnya kelurahan sehat dan kecamatan
sehat.

5
Kedua, mandiri adalah masyarakat berupaya berperan serta secara aktif dalam
mencegah, melindungi dan memelihara dirinya. Keluarga, masyarakat dan
lingkungannya agar terhindar dari resiko gangguan kesehatan.
2. Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung
Untuk merealisasikan visi “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, maka Dinas
Kesehatan Kota Bandung telah menetapkan misi pembangunan kesehatan sebagai
berikut:
a. Meningkatkan serta mendorong kesadaran individu, keluarga serta masyarakat
untuk hidup sehat secara mandiri.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
c. Mengutamakan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
d. Menggali potensi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

2.1.5 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Bandung


Dinas Kesehatan merupakan salah satu sistem kesehatan pemerintah daerah di
lingkungan pemerintah Kota Bandung yang bertanggung jawab dalam bidang
pembangunan kesehatan, rincian tugas pokok fungsi dinas kesehatan sebagai lembaga
dinas teknis.
1. Tugas Pokok
Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna
dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
2. Fungsi:
a. Melaksanakan tugas teknis operasional di bidang kesehatan yang meliputi
pengembangan dan pembinaan pelayanan kesehatan, pencegahan
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, kesehatan
keluarga, pelayanan kefarmasian dan pengawasan makanan dan minuman serta
pembinaan program berdasarkan kebijakan Walikota Bandung.
b. Pelaksanaan tugas teknis fungsional di bidang kesehatan berdasarkan kebijakan
Gubernur Provinsi Jawa Barat.

6
c. Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan yang meliputi
kepegawaian, keuangan, umum dan perlengkapan.

2.1.6 Kebijakan dan Program Dinas Kesehatan Kota Bandung


Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang terdapat dalam setiap misi.
Pemerintah kota Bandung mengeluarkan kebijakan dalam bidang kesehatan sebagai
berikut.
1. Mengupayakan pembangunan kelurahan dan kecamatan berwawasan kesehatan.
2. Menggerakan semua potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan
dan mewujudkan lingkungan sehat perkotaan.
3. Mengupayakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan baik,
promotif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat.
4. Mengupayakan peningkatan SDM kesehatan.
5. Mengupayakan peningkatan sumber dan proporsi pembiayaan kesehatan melalui
advokasi dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam menjabarkan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung
pada pelaksanaan pembangunan Kesehatan Kota Bandung, dirumuskan dalam tiga
program pokok.
1. Program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat.
2. Program peningkatan pelayanan kesehatan.
3. Program pengawasan obat, makanan, minuman dan bahan berbahaya.
Program- program lainnya :
1. Program-program rencana pembangunan jangka menengah daerah bidang
kesehatan Kota Bandung :
a. Program obat dan perbekalan kesehatan
b. Program upaya kesehatan masyarakat
c. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
d. Program peningkatan sarana dan prasarana dan manajemen kesehatan
e. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit dan lingkungan sehat

7
2. Program pembangunan kesehatan :
a. Program obat dan perbekalan kesehatan
b. Program upaya kesehatan masyarakat
c. Program pengawasan obat dan bahan makanan
d. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
e. Program pembangunan lingkungan sehat
f. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
g. Program standarisasi pelayanan kesehatan
h. Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya
i. Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan
j. Program peningkatan pelayanan kesehatan lansia
k. Program pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
l. Program pelayanan administrasi perkantoran
m. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur
n. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur
o. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capai kinerja dan
keuangan.

2.2. Gambaran Umum Gudang Farmasi Kota Bandung


Gudang Farmasi merupakan bagian dari Seksi Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan, sehingga dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan pada
wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melalui Kepala Bidang SDK dan Seksi Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan. Gudang Farmasi Kota Bandung mempunyai tugas melaksanakan sebagian
tugas dinas kesehatan di bidang perencanaan, pangadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemeliharaan, pengelolaan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan yang
diperlukan dalam pelayanan kesehatan, pencegahan, pemberantasan penyakit serta
melaksanakan monitoring dan evaluasi.

8
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Gudang Farmasi mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1. Melaksanakan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan, pengelolaan, pencatatan
dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan.
2. Menyiapkan penyusunan rencana kebutuhan, pengadaan, pencatatan dan
pelaporan mengenai persediaan dan mutasi obat dan perbekalan kesehatan.
3. Mengamati kualitas/mutu obat dan perbekalan kesehatan secara umum baik yang
ada dalam persediaan maupun yang akan didistribusikan.
4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi penggunaan obat dan perbekalan
kesehatan serta melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan.

Gudang Farmasi dalam pelayanan kefarmasian meliputi pelayanan non klinik


yaitu, pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dari
unit pelayanan kesehatan dan UPK lainnya dibawah Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Sedangkan pelayanan kliniknya adalah informasi obat, konseling
dan evaluasi penggunaan obat.

2.3. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Farmasi di Dinas Kesehatan


2.3.1. Perencanaan
Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan awal yang amat
menentukan dalam pengadaan obat. Tujuan perencanaan obat dan perbekalan
kesehatan yaitu untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan
yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk obat
program kesehatan yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan
koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan
kesehatan sehingga pembentukan tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu
kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana
melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan
perencanaan obat di setiap kabupaten/kota.

9
Manfaat perencanaan obat terpadu :
1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran
2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan
3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran
4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat
5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat
6. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal

Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan melalui beberapa tahap


sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan Kebutuhan Obat
Pengadaan obat diawali dengan perencanaan kebutuhan dimana kegiatan yang
dilakukan adalah:
a. Tahap Pemilihan Obat
Pemilihan obat berdasarkan pada Obat Generik terutama yang tercantum
dalam Daftar Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Daftar Obat Essensial
Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan tentang Daftar Harga Obat untuk Obat Pelayanan
Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program Kesehatan. Fungsi pemilihan obat
adalah untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan pola
penyakit yang ada.
Pada perencanaan kebutuhan obat, apabila dana tidak mencukupi, perlu
dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada (dengan menggunakan
metode perhitungan ABC) dan untuk seleksi obat perlu dilakukan analisa VEN.
Untuk mendapatkan perencanaan obat yang tepat, seleksi kebutuhan obat
harus mempertimbangkan beberapa hal berikut :
1. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan,

10
2. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin, hal ini untuk menghindari
duplikasi dan kesamaan jenis,
3. Hindari penggunaan obat kombinasi kecuali jika obat tersebut mempunyai
efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal,
4. Memiliki rasio manfaat/biaya yang paling menguntungkan.

b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat


Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian setiap
bulan dari masing-masing jenis obat di Unit Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas
selama setahun, serta untuk menentukan stok optimum (stok kerja ditambah stok
pengaman = stok optimum).
Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:
1. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing Unit Pelayanan
Kesehatan/ Puskesmas.
2. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
Unit Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas.
3. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/ Kota.
4. Pola penyakit yang ada.

c. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat


Menentukan kebutuhan obat merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian
yang harus dilakukan oleh Apoteker di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu
(termasuk obat program), maka diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat
jenis, jumlah dan waktu serta mutu yang terjamin. Untuk menentukan kebutuhan
obat dilakukan pendekatan perhitungan melalui metode konsumsi dan atau
morbiditas.
1. Metode Konsumsi

11
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metoda konsumsi perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pengumpulan dan pengolahan data
b) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
c) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
d) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
Untuk Metode ini dapat menggunakan rumus:

A = (B+C+D) – E

Keterangan:
A : rencana pengadaan
B : pemakaian rata-rata x 12 bulan
C : buffer stock (10-20%)
D : lead time (3 – 6 bulan)
E : sisa stok
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan metode konsumsi:
a) Daftar obat
b) Stok awal
c) Penerimaan
d) Pengeluaran
e) Sisa stok
f) Obat hilang/rusak, kadaluarsa
g) Kekosongan obat
h) Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun
i) Waktu tunggu
j) Stok pengaman
k) pola kunjungan

12
2. Metode Morbiditas
Metoda morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan
pola penyakit. Adapun faktor yang perlu diperhatikan adalah perkembangan
pola penyakit dan lead time. Langkah-langkah dalam metoda ini adalah:
a) Memanfaatkan pedoman pengobatan.
b) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
c) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit.
d) Menghitung jumlah kebutuhan obat.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode morbiditas:
a. Perkiraan jumlah populasi.
Komposisi demografi dari populasi yang akan diklasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara:
1. 0 – 4 tahun,
2. 5 – 14 tahun,
3. 15 – 44 tahun,
4. 45 tahun (disesuaikan dengan LB-1),
5. atau ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (> 12 tahun) dan anak
(1 – 12 tahun).
b. Menetapkan pola morbiditas penyakit.
c. Masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok
umur yang ada.
d. Menghitung perkiraan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pedoman
pengobatan dasar di puskesmas.
e. Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh
populasi pada kelompok umur yang ada.
f. Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus dikali
jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar di puskesmas.

13
g. Untuk menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pemberian
obat dapat menggunakan pedoman pengobatan yang ada.
h. Menghitung jumlah kebutuhan obat yang akan datang dengan
mempertimbangkan faktor antara lain:
1. Pola penyakit
2. Lead time
3. Buffer stock
i. Menghitung kebutuhan obat tahun anggaran yang akan datang.
Manfaat informasi yang didapat adalah sebagai sumber data dalam
menghitung kebutuhan obat untuk pemakaian tahun mendatang dengan
menggunakan metoda morbiditas.

Jumlah Kasus x Jumlah Obat per kasus sesuai Pedoman


Pengobatan
d. Tahap Proyeksi Kebutuhan Obat
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah:
1) Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang.
Rancangan stok akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu
tunggu (lead time) dengan estimasi pemakaian rata - rata /bulan ditambah
Stok pengaman (buffer stock).
d = (Lt x R ) + sp
Keterangan :
d = rancangan stok akhir
Lt = Waktu tunggu (Lead Time)
R = Estimasi pemakaian rata-rata perbulan
sp = Stok pengaman (Buffer stock)
2) Menghitung rancangan pengadaan obat periode tahun yang akan datang.
Perencanaan pengadaan obat tahun yang akan datang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a=b+c+d-e–f
Keterangan:

14
a = Rancangan kebutuhan obat tahun yang akan datang
b= Kebutuhan obat untuk sisa periode berjalan (sesuai tahun anggaran yang
bersangkutan)
c = Kebutuhan obat untuk tahun yang akan datang
d = Rancangan stok akhir (jumlah obat yang dibutuhkan pada periode lead
time dan buffer stok tahun yang akan datang)
e = Perkiraan sisa stok akhir periode berjalan/ Stok awal periode yang akan
datang di IFK
f = Rencana penerimaan obat pada periode berjalan (Januari– Desember)
3) Menghitung rancangan anggaran untuk total kebutuhan obat, dengan cara:
a. Melakukan analisis ABC – VEN.
b. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan dengan
anggaran yang tersedia.
c. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan
data 10 penyakit terbesar.
4) Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran, dengan melakukan
kegiatan:
a. Menetapkan kebutuhan anggaran untuk masing-masing obat persumber
anggaran.
b. Menghitung persentase belanja untuk masing-masing obat terhadap
sumber anggaran.
c. Menghitung persentase anggaran masing-masing obat terhadap total
anggaran dari semua sumber.
2. Tahap Penyesuaian Rencana Pengadaan Obat
Dengan melaksanakan penyesuaian perencanaan obat dengan jumlah dana
yang tersedia, maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala
prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan untuk rencana pengadaan
obat tahun yang akan datang.
Beberapa metoda untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran
pengadaan obat:

15
1) Analisa ABC
Berdasarkan berbagai observasi dalam inventori manajemen, yang paling
banyak ditemukan adalah tingkat konsumsi pertahun hanya diwakili oleh relatif
sejumlah kecil item. Sebagai contoh, dari pengamatan terhadap pengadaan obat
dijumpai bahwa sebagian besar dana obat (70%) digunakan untuk pengadaan 10%
dari jenis/ item obat yang paling banyak digunakan, sedangkan sisanya sekitar 90%
jenis/ item obat menggunakan dana sebesar 30%. Oleh karena itu analisa ABC
mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya, yaitu:
Kelompok A: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat keseluruhan.
Kelompok B: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.
Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya
menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat keseluruhan.

Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:


a. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara
mengalikan kuantum obat dengan harga obat.
b. Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai yang terkecil.
c. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan.
d. Hitung akumulasi persennya.
e. Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%
f. Obat kelompok B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90% (menyerap dana ±
20%)
g. Obat kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d 100% (menyerap dana ±
10%)
2) Analisa VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat
yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap jenis obat

16
terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat
dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut:
Kelompok V: kelompok obat-obatan yang sangat esensial (vital), yang termasuk
dalam kelompok ini antara lain:
1. Obat penyelamat (life saving drugs)
2. Obat untuk pelayanan kesehatan pokok (obat anti diabetes, vaksin dan lain-lain)
3. Obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar.
Kelompok E: kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada
sumber penyebab penyakit.
Kelompok N: obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa
dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan.

Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:


a. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia. Obat
yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokan obat
menurut VEN.
b. Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar diusahakan
tidak terjadi kekosongan obat.

Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria penentuan
VEN yang sebaiknya disusun oleh suatu Tim. Dalam menentukan kriteria perlu
dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan masing-masing wilayah. Kriteria yang
disusun dapat mencakup berbagai aspek antara lain:
a. klinis
b. konsumsi
c. target kondisi
d. biaya

Langkah-langkah menentukan VEN :


a. Menyusun analisa VEN

17
b. Menyediakan data pola penyakit
c. Merujuk pada pedoman pengobatan.

3. Tahap Koordinasi Lintas Program


Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar
(PKD) dibiayai melalui berbagai sumber anggaran. Oleh karena itu koordinasi dan
keterpaduan perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan mutlak
diperlukan, sehingga pembentukan Tim Perencanaan Obat Terpadu adalah
merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penggunaan dana obat melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi
yang terkait dengan perencanaan obat di setiap Kabupaten/ Kota.
Berbagai sumber anggaran yang membiayai pengadaan obat dan perbekalan
kesehatan antara lain:
a. APBN atau Dana Alokasi Khusus (DAK)
b. APBD 1/Provinsi sebagai buffer
c. APBD II / Dana Alokasi Umum (DAU)
d. Askes/BPJS
e. Program Kesehatan
f. Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)
g. Sumber-sumber lain

2.3.2. Pengadaan
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk
penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan
perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan
Barang/ Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Pengadaan obat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

18
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dan Keputusan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah melalui :
1. Pelelangan Umum
2. Pelelangan Sederhana
3. Pelelangan Terbatas
4. Pemilihan Langsung
5. Seleksi Umum
6. Seleksi Sederhana
7. Sayembara
8. Kontes
9. Penunjukan langsung untuk
10. Swakelola
11. Pengadaan Langsung

Tujuan pengadaan obat adalah :


a. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan
pelayanan kesehatan.
b. Mutu obat terjamin.
c. Obat dapat diperoleh pada saat diperlukan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat adalah :


1. Kriteria obat dan perbekalan kesehatan/ memilih metoda pengadaan
2. Persyaratan pemasok
3. Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat
4. Penerimaan dan pemeriksaan obat
5. Pemantauan status pesanan
1. Kriteria Obat dan Perbekalan Kesehatan
a. Kriteria umum
1) Obat yang tercantum dalam daftar obat Generik, Daftar Obat.

19
2) Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), daftar Obat Program Kesehatan, berdasarkan
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku.
3) Obat telah memiliki Izin Edar atau Nomor Registrasi dari Kementerian Kesehatan
R.I cq. Badan POM.
4) Batas kadaluarsa obat pada saat pengadaan minimal 2 tahun. Khusus untuk vaksin
dan preparat biologis ketentuan kadaluwarsa diatur tersendiri.
5) Obat memiliki Sertifikat Analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor batch
masing-masing produk.
6) Obat diproduksi oleh Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB.

b. Kriteria mutu obat


Mutu dari obat dan perbekalan kesehatan harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kriteria mutu obat dan perbekalan kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Persyaratan mutu obat harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum
dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
2) Industri Farmasi yang memproduksi obat bertanggung jawab terhadap mutu obat
melalui pemeriksaan mutu (Quality Control) yang dilakukan oleh Industri
Farmasi.
3) Pemeriksaan mutu secara organoleptik dilakukan oleh Apoteker penanggung
jawab Instalasi Farmasi Propinsi, Kabupaten/ Kota. Bila terjadi keraguan terhadap
mutu obat dapat dilakukan pemeriksaan mutu di Laboratorium yang ditunjuk pada
saat pengadaan dan merupakan tanggung jawab distributor yang menyediakan.

2. Persyaratan Pemasok
Pemilihan pemasok adalah penting karena dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas obat. Persyaratan pemasok sebagai berikut :
a. Memiliki izin Pedagang Besar Farmasi / Industri Farmasi yang masih berlaku.
b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus ada dukungan dari Industri Farmasi yang
memiliki Sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) bagi tiap bentuk
sediaan obat yang dibutuhkan untuk pengadaan.

20
c. Industri Farmasi harus memiliki Sertifikat CPOB bagi tiap bentuk sediaan obat
yang dibutuhkan untuk pengadaan.
d. Pedagang Besar Farmasi atau Industri Farmasi harus memiliki reputas yang baik
dalam bidang pengadaan obat.
e. Pemilik dan atau Apoteker penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi, Apoteker
penanggung jawab produksi dan quality control
f. Industri Farmasi tidak sedang dalam proses pengadilan atau tindakan yang
berkaitan dengan profesi kefarmasian.
g. Mampu menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak.

3. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat


Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber anggaran
perlu ditetapkan berdasarkan hasil analisis data:
a. Sisa stok dengan memperhatikan waktu
b. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran
c. Rata-rata pemakaian
d. Waktu tunggu/ lead time

Berdasarkan data tersebut dapat dibuat:


a. Profil pemakaian obat.
b. Penetapan waktu pesan.
c. Waktu kedatangan obat.

4. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat


Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan pengadaan agar
obat yang diterima sesuai dengan jenis dan jumlah serta sesuai dengan dokumen yang
menyertainya.

5. Pemantauan Status Pesanan


Pemantauan status pesanan bertujuan untuk :

21
a. Mempercepat pengiriman sehingga efisiensi dapat ditingkatkan
b. Pemantauan dapat didasarkan kepada sistem VEN.
c. Petugas Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota memantau status pesanan secara
berkala.
d. Pemantauan dan evaluasi pesanan harus dilakukan dengan memperhatikan:
1. Nama obat
2. Satuan kemasan
3. Jumlah obat diadakan
4. Obat yang sudah diterima
5. Obat yang belum diterima

2.3.3. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat dan
perbekalan kesehatan.
Tujuan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk :
1. Memelihara mutu obat
2. Menghindari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah
3. Menjaga kelangsungan persediaan
4. Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat meliputi:
1. Penyiapan sarana penyimpanan
2. Pengaturan tata ruang
3. Penyusunan obat
4. Pengamatan mutu obat
1. Penyiapan Sarana Penyimpanan
Ketersediaan sarana yang ada di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan
bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Adapun sarana yang minimal
sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut :

22
a. Gedung dengan luas 300 m2 – 600 m2
b. Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit
c. Komputer + Printer dengan jumlah 1 – 3 unit
d. Telepon & Faximile dengan jumlah 1 unit
e. Sarana penyimpanan:
1. Rak : 10 - 15 unit
2. Pallet : 40 - 60 unit
3. Lemari : 5 - 7 unit
4. Lemari Khusus : 1 unit
5. Cold chain (medical refrigerator)
6. Cold Box
7. Cold Pack
8. Generator
f. Sarana Administrasi Umum:
1. Brankas : 1 Unit
2. Mesin Tik : 1 – 2 unit
3. Lemari arsip : 1 – 2 unit
g. Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan:
1. Kartu Stok
2. Kartu Persediaan Obat
3. Kartu Induk Persediaan Obat
4. Buku Harian Pengeluaran Barang
5. SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)
6. LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat)
7. Kartu Rencana Distribusi
8. Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum

2. Pengaturan Tata Ruang


Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian
dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik.

23
Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan kebersihan dan menjaga gudang
dari kebocoran dan hewan pengerat juga harus diperhatikan ergonominya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah
sebagai berikut :
a. Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut:
1. Gudang jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan
ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan posisi dinding dan pintu untuk
mempermudah gerakan.
2. Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat
ditata berdasarkan sistem :
a. Arus garis lurus
b. Arus U
c. Arus L
3. Sirkulasi udara yang baik
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi
udara yang cukup di dalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan
memaksimalkan stabilitas obat sekaligus bermanfaat dalam memperbaiki kondisi
kerja petugas. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan menjadi
mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas
angin/ventilator/rotator. Perlu adanya pengukur suhu di ruangan penyimpanan obat
dan dilakukan pencatatan suhu.
b. Rak dan Pallet
Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat meningkatkan
sirkulasi udara dan pemindahan obat. Penggunaan pallet memberikan keuntungan:
1) Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir, serangan
serangga (rayap)
2) Melindungi sediaan dari kelembaban
3) Memudahkan penanganan stok
4) Dapat menampung obat lebih banyak

24
5) Pallet lebih murah dari pada rak
c. Kondisi penyimpanan khusus
a) Vaksin dan serum memerlukan Cold Chain khusus dan harus dilindungi dari
kemungkinan putusnya aliran listrik (harus tersedianya generator).
b) Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu
terkunci sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c) Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, eter dan pestisida harus disimpan
dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari
gudang induk
d. Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti
dus, karton dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus diletakkan pada tempat
yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Contohnya tersedia bak pasir,
tabung pemadam kebakaran, karung goni, galah berpengait besi.

3. Penyusunan Stok Obat


Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan
pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Gunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In First Out
(FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih awal
atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya obat
yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif
lebih tua dan masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
b. Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur. Untuk
obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan dalam rak dan pisahkan
antara obat dalam dan obat untuk pemakaian luar dengan memperhatikan
keseragaman nomor batch.
c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika. Simpan
obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan
kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.

25
a. Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus.
b. Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
c. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box
masing-masing.

4. Pengamatan mutu obat


Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami perubahan
baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati secara visual. Jika dari
pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara
organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium.

2.3.4. Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan
pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur
untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat dilakukan
agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan
menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat.
Tujuan distribusi adalah :
1) Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat
diperoleh pada saat dibutuhkan.
2) Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian
3) Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan
kesehatan.
4) Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan
program kesehatan.

Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :


1) Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan
umum di unit pelayanan kesehatan
2) Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk :

26
a. Program kesehatan
b. Kejadian Luar Biasa (KLB)
c. Bencana (alam dan sosial)

1. Kegiatan Distribusi Rutin


Perencanaan Distribusi
Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota merencanakan dan melaksanakan
pendistribusian obat ke unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya serta sesuai
kebutuhan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Perumusan stok optimum
Perumusan stok optimum persediaan dilakukan dengan memperhitungkan
siklus distribusi rata-rata pemakaian, waktu tunggu serta ketentuan mengenai stok
pengaman.
Rencana distribusi obat ke setiap unit pelayanan kesehatan termasuk rencana
tingkat persediaan, didasarkan kepada besarnya stok optimum setiap jenis obat di
setiap unit pelayanan kesehatan. Perhitungan stok optimum dilakukan oleh Instalasi
Farmasi Kab/Kota.
Stok optimum = pemakaian obat dalam satu periode tertentu + stok pengaman +
waktu tunggu

b. Penetapan frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan


Frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan ditetapkan dengan memperhatikan :
1) Anggaran yang tersedia
2) Jarak dan kondisi geografis dari IFK ke UPK
3) Fasilitas gudang UPK
4) Sarana yang ada di IFK

c. Penyusunan peta lokasi, jalur dan jumlah pengiriman


Agar alokasi biaya pengiriman dapat dipergunakan secara efektif dan efisien
maka IFK perlu membuat peta lokasi dari unit-unit pelayanan kesehatan di wilayah

27
kerjanya. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk pelaksanaan distribusi aktif dari
IFK. Jarak (km) antara IFK dengan setiap unit pelayanan kesehatan dicantumkan
pada peta lokasi.
Dengan mempertimbangkan jarak, biaya transportasi atau kemudahan fasilitas
yang tersedia, dapat ditetapkan rayonisasi dari wilayah pelayanan distribusi.
Disamping itu dilakukan pula upaya untuk memanfaatkan kegiatan-kegiatan tertentu
yang dapat membantu pengangkutan obat ke UPK misalnya kunjungan rutin petugas
Kabupaten ke UPK, pertemuan dokter Puskesmas yang diselenggarakan di
Kabupaten/Kota dan sebagainya.
Atas dasar ini dapat ditetapkan jadwal pengiriman untuk setiap rayon
distribusi misalnya ada rayon distribusi yang dapat dilayani sebulan sekali, ada rayon
distribusi yang dapat dilayani triwulan dan ada yang hanya dapat dilayani tiap enam
bulan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

2. Kegiatan Distribusi Khusus


Kegiatan distribusi khusus di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dilakukan
sebagai berikut:
a. Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota dan pengelola program Kabupaten/ Kota,
bekerjasama untuk mendistribusikan masing-masing obat program yang diterima
dari propinsi, kabupaten/ kota.
b. Distribusi obat program ke Puskesmas dilakukan oleh IFK atas permintaan
penanggung jawab program, misalnya pelaksanaan program penanggulangan
penyakit tertentu seperti Malaria, Frambusia dan penyakit kelamin, bilamana
obatnya diminta langsung oleh petugas program kepada IFK Kabupaten/ Kota
tanpa melalui Puskesmas, maka petugas yang bersangkutan harus membuat
permintaan dan laporan pemakaian obat yang diketahui oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Obat program yang diberikan langsung oleh petugas program kepada penderita di
lokasi sasaran, diperoleh/diminta dari Puskesmas yang membawahi lokasi
sasaran. Setelah selesai pelaksanaan pemberian obat, bilamana ada sisa obat harus

28
dikembalikan ke Puskesmas yang bersangkutan. Khusus untuk Program Diare
diusahakan ada sejumlah persediaan obat di Posyandu yang penyediaannya diatur
oleh Puskesmas.
d. Untuk KLB dan bencana alam, distribusi dapat dilakukan melalui permintaan
maupun tanpa permintaan oleh Puskesmas. Apabila diperlukan, Puskesmas yang
wilayah kerjanya terkena KLB/Bencana dapat meminta bantuan obat kepada
Puskesmas terdekat.

Tata Cara Pendistribusian Obat


1) IFK Kabupaten/ Kota melaksanakan distribusi obat ke Puskesmas dan di wilayah
kerjanya sesuai kebutuhan masing-masing Unit Pelayanan Kesehatan.
2) Puskesmas Induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling dan Unit-unit Pelayanan Kesehatan lainnya yang ada di
wilayah binaannya.
3) Distribusi obat-obatan dapat pula dilaksanakan langsung dari IFK ke Puskesmas
Pembantu sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah atas persetujuan Kepala
Puskesmas yang membawahinya. Tata cara distribusi obat ke Unit Pelayanan
Kesehatan dapat dilakukan dengan cara penyerahan oleh IFK ke Unit Pelayanan
Kesehatan, pengambilan sendiri oleh UPK di IFK, atau cara lain yang ditetapkan
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
Pencatatan Harian Pengeluaran Obat
Obat yang telah dikeluarkan harus segera dicatat dan dibukukan pada Buku
Harian Pengeluaran Obat sesuai data obat dan dilakukan dokumentasi. Fungsinya
sebagai dokumen yang memuat semua catatan pengeluaran, baik mengenai data obat
maupun dokumen yang menyertai pengeluaran obat tersebut. Manfaatnya sebagai
sumber data untuk perencanaan dan pelaporan.

2.3.5. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan data obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan obat-obatan secara tertib

29
baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang digunakan di
Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Tujuan pencatatan dan pelaporan
adalah tersedianya data mengenai jenis dan jumlah penerimaan, persediaan,
pengeluaran/ penggunaan dan data mengenai waktu dari seluruh rangkaian kegiatan
mutasi obat.
Kegiatan pencatatan dan pelaporan meliputi :
1. Pencatatan dan Pengelolaan Data untuk mendukung Perencanaan
2. Pengadaan Obat melalui kegiatan perhitungan tingkat kecukupan obat per UPK
3. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa rencana distribusi akan
dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat di IFK.
4. Perhitungan dilakukan langsung pada Kartu Rencana Distribusi Obat.
5. Tingkat kecukupan dihitung dari sisa stok obat di IFK dibagi dengan pemakaian
rata-rata obat di Unit Pelayanan Kesehatan.
Jika tingkat kecukupan obat semakin menurun maka petugas IFK dapat
mempergunakan catatan pada kartu Realisasi Pengadaan Obat untuk memberikan
umpan balik kepada pemegang kebijakan agar mempercepat pengadaan obat yang
alokasinya telah disetujui.
Jika semua pengadaan telah dilakukan, maka petugas IFK harus segera
menyesuaikan stok optimum obat bersangkutan untuk seluruh UPK. Tingkat
kecukupan dan sisa stok obat di IFK dalam mendukung rencana distribusi harus
selalu dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Laporan Pengelolaan Obat


Sebagai unit kerja yang secara fungsional berada di bawah dan langsung
bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maka IFK
memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan pengelolaan obat yang dilaksanakan.
Laporan yang perlu disusun IFK terdiri dari :
 Laporan dinamika logistik dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Walikota/Bupati dengan tembusan kepada Kadinkes Provinsi tiga bulan sekali

30
dan dari Provinsi ke Kementrian Kesehatan Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alkes tiga bulan sekali
 Laporan tahunan/ profil pengelolaan obat Kab/ Kota dikirim kepada Dinkes
Provinsi dan setelah dikompilasi oleh Dinkes Provinsi dikirimkan kepada
Kemenkes Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes

Pencatatan dan pelaporan terdiri dari :


a. Kartu stok dan kartu stok induk
b. LPLPO dan SBBK
c. Buku penerimaan
d. Buku pengeluaran

Pencatatan dan Kartu Stok


Fungsi :
1) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran,
hilang, rusak atau kedaluwarsa)
2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis
obat yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran.
3) Tiap baris data hanya diper untukkan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat.
4) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan
distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanannya.

Pencatatan Kartu Stok Induk


Fungsi :
1) Kartu Stok Induk digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan,
pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).
2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis
obat yang berasal dari semua sumber anggaran
3) Tiap baris data hanya diperuntukan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat

31
4) Data pada kartu stok induk digunakan sebagai :
a. Alat kendali bagi Kepala Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanan.
b. Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan dan distribusi
serta pengendalian persediaan.

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)


Kegunaan LPLPO :
a. Sebagai bukti pengeluaran obat di Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan.
b. Sebagai bukti penerimaan obat di Rumah Sakit/Puskesmas
c. Sebagai surat permintaan/pesanan obat dari Rumah Sakit/Puskesmas kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota cq. IFK
d. Sebagai bukti penggunaan obat di Rumah Sakit / Puskesmas

Laporan Pengelolaan Obat Tahunan


Fungsi:
Untuk mengetahui gambaran umum pengelolaan obat di daerah Kabupaten/Kota
selama satu tahun anggaran. Manfaat Informasi adalah sebagai dasar tindak lanjut
peningkatan dan penyempurnaan pengelolaan obat di Kabupaten/Kota dan bahan
masukan dalam penyusunan profil kesehatan Kabupaten/Kota.

2.3.6. Supervisi dan Evaluasi


Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga
secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi
dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah yang
digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara
kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga
jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga.

32
Supervisi yang dilakukan oleh petugas IFK adalah proses pengamatan secara
terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi Propinsi/Kabupaten/Kota)
terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas pada unit yang lebih rendah
(Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).
Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama.
Tujuan supervisi ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat
yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Ruang Lingkup Supervisi :
1. Pengelolaan obat meliputi :
a. Seleksi,
b. Pengadaan,
c. Penyimpanan,
d. Distribusi, pencatatan & pelaporan,
e. Monitoring & evaluasi

2. Sarana Prasarana :
a. Sarana Infrastruktur
b. Sistem pengelolaan
c. Sarana penunjang (software, hardware)

3. Sumber daya manusia (jumlah dan kualifikasi)


Supervisi Pengelolaan dan Penggunaan Obat
1. Kegiatan supervisi meliputi :
a. Proses penyusunan rencana
b. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list)
c. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)
d. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi tindak lanjut)
2. Kriteria petugas supervisi:

33
a. Memiliki pengetahuan mutakhir, bukan hanya dalam aspek penugasan,
kebijaksanaan tetapi juga informasi mutakhir yang berkaitan dengan rencana
kerja, sasaran kerja serta indikator kinerja unit organisasi.
b. Memiliki kemampuan dalam mengetahui semua ketentuan dan instruksi, standar
dan indikator evaluasinya.
c. Memiliki kemampuan dalam memastikan bahwa sistem informasi berjalan
dengan teratur, ada pencatatan dari semua parameter yang dimonitor, mekanisme
analisa, dan evaluasinya.

Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang diinginkan.
Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:
a. Rencana dengan realisasi
b. Hasil dengan sasaran,
c. Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku
d. Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur,
e. Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia
f. dan lain-lain

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang diharapkan


dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung
dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui
kondisinya.

Evaluasi bermanfaat untuk :


1. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang
berjalan
2. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya
3. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif
4. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi

34
2. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab
Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara
lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :
1. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan program.
Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program yang melengkapi
informasi untuk perbaikan program.
2. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu untuk
menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome, keberhasilan dan
kegagalan program.
3. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya dari
suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam pelaksanaan
program.
4. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa jika
kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan
pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan
perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang


sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan
atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk
penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran
yang ditetapkan. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan oleh penentu kebijakan
untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Indikator umumnya
digunakan untuk memonitor kinerja yang esensial.

2.4. Gambaran Umum Puskesmas


2.4.1. Definisi Puskesmas
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 30 tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang dimaksud dengan Pusat Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disingkat Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas

35
kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja.

2.4.2. Prinsip Penyelenggaraan, Tugas dan Fungsi Puskesmas


Permenkes No 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas prinsip penyelenggaraan
Puskesmas meliputi:
a. paradigma sehat;
b. pertanggungjawaban wilayah;
c. kemandirian masyarakat;
d. pemerataan;
e. teknologi tepat guna; dan
f. keterpaduan dan kesinambungan.
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat.

2.4.3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud meliputi:
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

36
Pelayanan farmasi klinik di Puskesmas meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.

Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus


didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber daya kefarmasian meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.
Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus dilakukan
pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi.
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada
unit pelayanan berupa ruang farmasi. Ruang farmasi dipimpin oleh seorang Apoteker
sebagai penanggung jawab. Puskesmas yang belum memiliki Apoteker sebagai
penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas
dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain. Pelayanan
Kefarmasian secara terbatas tersebut meliputi:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan pemberian
informasi Obat.

37
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas tersebut di bawah
pembinaan dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

A. Pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas


Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu
kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan
serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan
ketersediaan dan keterjangkauan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien,
efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian,
mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan.
Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk menjamin terlaksananya pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang
baik.
Kegiatan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Puskesmas.
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
a. Perkiraan jenis dan jumlah Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang mendekati
kebutuhan;
b. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
c. Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
Perencanaan kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas
setiap periode dilaksanakan oleh Ruang Farmasi di Puskesmas. Proses seleksi Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan dengan mempertimbangkan pola penyakit,
pola konsumsi Obat periode sebelumnya, data mutasi Obat, dan rencana

38
pengembangan. Proses seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional.
Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti
dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan
dengan pengobatan.
Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang
(bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat dengan
menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi dan analisa
terhadap kebutuhan Obat Puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada
anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer stock,
serta menghindari stok berlebih.

2. Permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Tujuan permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi
kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan pemerintah daerah setempat.

3. Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan dalam
menerima Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.
Tujuannya adalah agar Obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas yang terlibat
dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan,
pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.

39
Petugas penerimaan wajib melakukan pengecekan terhadap Obat dan Bahan
Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan
jumlah Obat, bentuk Obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), ditandatangani oleh
petugas penerima, dan diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat,
maka petugas penerima dapat mengajukan keberatan.
Masa kedaluwarsa minimal dari Obat yang diterima disesuaikan dengan
periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.

4. Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap Obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari
kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
a. bentuk dan jenis sediaan;
b. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban);
c. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan
d. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.

5. Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara merata dan
teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan
jaringannya.

40
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Obat sub unit pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan
waktu yang tepat. Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
b. Puskesmas Pembantu;
c. Puskesmas Keliling;
d. Posyandu; dan
e. Polindes.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain) dilakukan
dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock), pemberian Obat
per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan pendistribusian
ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan
kebutuhan (floor stock).

6. Pengendalian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Pengendalian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan untuk
memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan
Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit pelayanan
kesehatan dasar.
Pengendalian Obat terdiri dari:
a) Pengendalian persediaan;
b) Pengendalian penggunaan; dan
c) Penanganan Obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.

7. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan


Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara tertib, baik Obat

41
dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan
digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.
Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah:
a. Bukti bahwa pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai telah dilakukan;
b. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
c. Sumber data untuk pembuatan laporan.

8. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
a. Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun
pemerataan pelayanan;
b. Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
c. Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.

B. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien.
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan
dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.

42
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


1. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat, dan Pemberian Informasi Obat
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun
rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
b. Nama, dan paraf dokter.
c. Tanggal resep.
d. Ruangan/unit asal resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:


a. Bentuk dan kekuatan sediaan.
b. Dosis dan jumlah Obat.
c. Stabilitas dan ketersediaan.
d. Aturan dan cara penggunaan.
e. Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).

Persyaratan klinis meliputi:


a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
b. Duplikasi pengobatan.
c. Alergi, interaksi dan efek samping Obat.
d. Kontra indikasi.
e. Efek adiktif.

Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat merupakan


kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik Obat, memberikan

43
label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.Tujuan :
a. Pasien memperoleh Obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan.
b. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.

2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
a. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai).
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.

Kegiatan:
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan
pasif.
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat
atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain.
d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat.
e. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
f. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian.

44
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a. Sumber informasi Obat.
b. Tempat.
c. Tenaga.
d. Perlengkapan.

3. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas,
cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
Kegiatan:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada
pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa
yang dikatakan dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang
diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.
c. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat.
d. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.

Faktor yang perlu diperhatikan:


a. Kriteria pasien:
1) Pasien rujukan dokter.
2) Pasien dengan penyakit kronis.
3) Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli farmasi.

45
4) Pasien geriatrik.
5) Pasien pediatrik.
6) Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
b. Sarana dan prasarana:
1) Ruangan khusus.
2) Kartu pasien/catatan konseling.

Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat


risiko masalah terkait Obat misalnya lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik Obat,
kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat, kebingungan atau
kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat
dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.

4. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
a. Memeriksa Obat pasien.
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
c. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan Obat.
d. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi
pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi dan rekomendasi. Kegiatan visite mandiri:
a. Untuk Pasien Baru
1) Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan.

46
2) Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan jadwal
pemberian Obat.
3) Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari rumah, mencatat
jenisnya dan melihat instruksi dokter pada catatan pengobatan pasien.
4) Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan masalah terkait
Obat yang mungkin terjadi.
b. Untuk pasien lama dengan instruksi baru
1) Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
2) Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah pemberian Obat.
c. Untuk semua pasien
1) Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
2) Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah dalam
satu buku yang akan digunakan dalam setiap kunjungan.
Kegiatan visite bersama tim:
a. Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa catatan pegobatan
pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
b. Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien dan/atau keluarga
pasien terutama tentang Obat.
c. Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
d. Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan, seperti Obat yang
dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan lain-lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


a. Memahami cara berkomunikasi yang efektif.
b. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim.
c. Memahami teknik edukasi.
d. Mencatat perkembangan pasien.
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya
kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga
dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud

47
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat sehingga
tercapai keberhasilan terapi Obat.

5. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
a. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
a. Menganalisis laporan efek samping Obat.
b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek
samping Obat.
c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.

Faktor yang perlu diperhatikan:


a. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
Tujuan:
a. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
b. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan Obat.

48
Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.

Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Membuat catatan awal.
c. Memperkenalkan diri pada pasien.
d. Memberikan penjelasan pada pasien.
e. Mengambil data yang dibutuhkan.
f. Melakukan evaluasi.
g. Memberikan rekomendasi.

7. Evaluasi Penggunaan Obat


Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara terstruktur
dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif,
aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan:
a. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
b. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.

C. Sumber Daya Kefarmasian


1. Sumber Daya Manusia
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab, yang
dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan.

49
Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio
kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan
pengembangan Puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas
adalah 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari.
Semua tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi dan surat izin
praktik untuk melaksanakan Pelayanan Kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk Puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tahun dapat dilakukan penilaian kinerja tenaga kefarmasian yang
disampaikan kepada yang bersangkutan dan didokumentasikan secara rahasia. Hasil
penilaian kinerja ini akan digunakan sebagai pertimbangan untuk memberikan
penghargaan dan sanksi (reward and punishment).

1). Kompetensi Apoteker


a. Sebagai Penanggung Jawab
1. Mempunyai kemampuan untuk memimpin;
2. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengelola dan mengembangkan
pelayanan kefarmasian;
3. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri;
4. Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain; dan
5. Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi, mencegah, menganalisis dan
memecahkan masalah.
b. Sebagai Tenaga Fungsional
1. Mampu memberikan pelayanan kefarmasian;
2. Mampu melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian;
3. Mampu mengelola manajemen praktis farmasi;
4. Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian;
5. Mampu melaksanakan pendidikan dan pelatihan; dan
6. Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan.

50
2). Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan adalah salah suatu proses atau upaya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan di bidang kefarmasian atau bidang yang berkaitan
dengan kefarmasian secara berkesinambungan untuk mengembangkan potensi dan
produktivitas tenaga kefarmasian secara optimal. Puskesmas dapat menjadi tempat
pelaksanaan program pendidikan, pelatihan serta penelitian dan pengembangan bagi
calon tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
Tujuan Umum:
a. Tersedianya tenaga kefarmasian di Puskesmas yang mampu melaksanakan
rencana strategi Puskesmas.
b. Terfasilitasinya program pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga kefarmasian
dan tenaga kefarmasian unit lain.
c. Terfasilitasinya program penelitian dan pengembangan bagi calon tenaga
kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.

Tujuan Khusus:
a. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan pengelolaan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai.
b. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan Pelayanan Kefarmasian.
c. Terfasilitasinya studi banding, praktik dan magang bagi calon tenaga kefarmasian
internal maupun eksternal.
d. Tersedianya data Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan konseling tentang Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai.
e. Tersedianya data penggunaan antibiotika dan injeksi.
f. Terwujudnya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang optimal.
g. Tersedianya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
h. Terkembangnya kualitas dan jenis pelayanan ruang farmasi Puskesmas.

51
3). Pengembangan Tenaga Kefarmasian dan Program Pendidikan
Dalam rangka penyiapan dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan
tenaga kefarmasian maka Puskesmas menyelenggarakan aktivitas sebagai berikut:
a. Setiap tenaga kefarmasian di Puskesmas mempunyai kesempatan yang sama
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
b. Apoteker dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian harus memberikan masukan
kepada pimpinan dalam menyusun program pengembangan staf.
c. Staf baru mengikuti orientasi untuk mengetahui tugas, fungsi, wewenang dan
tanggung jawabnya.
d. Melakukan analisis kebutuhan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi
tenaga kefarmasian.
e. Tenaga kefarmasian difasilitasi untuk mengikuti program yang diadakan oleh
organisasi profesi dan institusi pengembangan pendidikan berkelanjutan terkait.
f. Memberikan kesempatan bagi institusi lain untuk melakukan praktik, magang,
dan penelitian tentang pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

Pimpinan dan tenaga kefarmasian di ruang farmasi Puskesmas berupaya


berkomunikasi efektif dengan semua pihak dalam rangka optimalisasi dan
pengembangan fungsi ruang farmasi Puskesmas.

2. Sarana dan Prasarana


Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi:
1). Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1 (satu) set meja
dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan. Ruang penerimaan resep
ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
2). Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas
meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan

52
disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk
pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer
ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label Obat, buku catatan pelayanan resep,
buku-buku referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis secukupnya. Ruang ini
diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup. Jika memungkinkan
disediakan pendingin ruangan (air conditioner) sesuai kebutuhan. 3). Ruang
penyerahan Obat
Ruang penyerahan Obat meliputi konter penyerahan Obat, buku pencatatan
penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang penyerahan Obat dapat digabungkan
dengan ruang penerimaan resep.
4). Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling, lemari buku,
buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku
catatan konseling, formulir jadwal konsumsi Obat (lampiran), formulir catatan
pengobatan pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling cabinet), serta 1 (satu) set
komputer, jika memungkinkan.
5). Ruang penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan
petugas. Selain itu juga memungkinkan masuknya cahaya yang cukup. Ruang
penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin
ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan
psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
6). Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan
pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan Kefarmasian dalam
jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan ruangan khusus yang memadai dan
aman untuk memelihara dan menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin
penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.

53
Istilah ‘ruang’ di sini tidak harus diartikan sebagai wujud ‘ruangan’ secara fisik,
namun lebih kepada fungsi yang dilakukan. Bila memungkinkan, setiap fungsi
tersebut disediakan ruangan secara tersendiri. Jika tidak, maka dapat digabungkan
lebih dari 1 (satu) fungsi, namun harus terdapat pemisahan yang jelas antar fungsi.

D. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian


Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk
mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan
untuk keselamatan pasien (patient safety).

Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:


a. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
b. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama.
c. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya, respon dan
tingkat pendidikan masyarakat.

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan program


pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara
berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai standar.
b. Pelaksanaan, yaitu:
1. monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan
antara capaian dengan rencana kerja); dan
2. memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
1. melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan

54
2. meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung
untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.
Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses.
Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan.
Contoh: monitoring pelayanan resep, monitoring penggunaan Obat, monitoring
kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang
diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
a. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
b. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan.
Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu pelayanan
kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:
a. Langsung (data primer):
Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh pengambil data.
Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan kefarmasian.
b. Tidak Langsung (data sekunder):
Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung.
Contoh: catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
a. Survey
Survey yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Contoh:
survey kepuasan pelanggan.

55
b. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling pasien.
Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:
a. Audit
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan
pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja
yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan dengan menyempurnakan
kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi,
menyempurnakan pelayanan kefarmasian secara sistematis.
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
1) Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap pelayanan kefarmasian,
meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan, penggunaan sumber daya, hasil
yang didapat dan kualitas hidup pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan
berbasis bukti.
2) Audit Professional
Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh seluruh
tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang disepakati, penggunaan
sumber daya dan hasil yang diperoleh. Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen
mutu.
b. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan
pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh: kajian
penggunaan antibiotik.

56
BAB III
TINJAUAN KHUSUS
SEKSI FARBEKES DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG DAN UPT
PUSKESMAS PADASUKA

3.1. Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan


Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan (Farbekes) Dinas Kesehatan Kota
Bandung merupakan salah satu Seksi di Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK)
selain Seksi Promosi Kesehatan (Promkes) dan Seksi Pendayagunaan Tenaga dan
Sarana Kesehatan (Gunasarkes. Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan atau
disingkat Seksi Farbekes merupakan penggabungan dari tiga seksi yaitu Seksi
Farmasi, Seksi Napza, Makanan dan Minuman serta Seksi Obat Tradisional dan
Kosmetik di bawah SubDin Farmasi, Makanan dan Minuman. Mulai tahun 2008
SubDin Farmasi, Makanan dan Minuman berubah menjadi seksi farmasi dan
perbekalan kesehatan yang merupakan salah satu seksi pada bidang sumber daya
kesehatan. Seksi farmasi dan perbekalan kesehatan membawahi 2 bagian tugas
penting mengenai pengelolaan obat dan alat kesehatan, serta pengawasan dan
pembinaan obat, makanan, dan kosmetik. Untuk pengelolaan obat dan alat kesehatan
di Dinas Kesehatan Kota Bandung mempunyai 2 (dua) gudang farmasi yaitu, gudang
distribusi di Jalan Supratman No. 73 Bandung dan gudang penyimpanan di Jalan
Bapak Husein Cihampelas Bandung.

3.2. Uraian Tugas Pokok dan Fungsi


Sesuai dengan peraturan walikota Bandung No. 1307 tahun 2014 tentang
rincian tugas pokok dan fungsi satuan organisasi pada dinas daerah kota Bandung,
Tugas pokok seksi farmasi dan perbekalan kesehatan melaksanakan sebagian tugas di
bidang sumber daya kesehatan mengenai lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, seksi farmasi dan perbekalan kesehatan
mempunyai fungsi:

57
a. Pelaksanaan peyusunan rencana dan program kerja lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
b. Pelaksanaan penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
c. Pelaksanaan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan, dan
d. Pelaksanaan pengkoordinasian, monitoring, pengawasan dan pengendalian,
evaluasi dan pelaporan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.

3.3. Pengawasan dan Pembinaan


Bagian pengawasan dan pembinaan berada di bawah Seksi Farbekes bidang
sumber daya kesehatan. Bagian ini bertugas dalam mengawasi dan membina dari
sarana kesehatan dan sediaan farmasi serta makanan dan minuman, kosmetik serta
NAPZA.
Bagian pengawasan dan pembinaan akan melakukan pengawasan untuk
memeriksa sarana-sarana kesehatan. Dimana pemeriksaan dilakukan oleh minimal 3
orang, dan pemeriksaan tersebut berdasarkan anggaran yang dikeluarkan atas
persetujuan DPR. Setelah anggaran tersebut disetujui maka bagian ini akan
merencanakan tugasnya dan sarana mana saja yang perlu dilakukan pemeriksaan
(dibuat jadwalnya). Apabila ada penemuan untuk kasus tertentu maka bagian ini akan
turun langsung ke lapangan yaitu team reaksi cepat yang sudah dibentuk.
Prioritas sarana yang akan diperiksa :
a. Sarana kesehatan yang sudah ada temuan dari BPOM.
b. Sarana – sarana masukan dari puskesmas dan masyarakat.
c. Sarana yang belum di bina (dilihat dari rekapan sarana yang sudah dibina
sebelumnya).

Berikut dibawah ini sarana –sarana yang perizinannya / rekomendasinya


dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung :

58
a. Toko Obat
Toko obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat
bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran. Untuk mendirikan
Toko obat harus ada izin Kepala Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Penanggung
jawabnya adalah TTK.
b. Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker.
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu :
1) Permohonan izin apotek diajukan kepadaKepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja
setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala
Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat.
4) Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat
surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.
5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan
SIA.
6) Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala
Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan
Surat Penundaan.

59
7) Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu
bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
8) Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan
Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek, atau lokasi apotek tidak
sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya dua belas hari kerja wajib
mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya.

Hal hal yang diperiksa ketika dilakukan pemeriksaan di sarana apotek:


a. Bangunan : alamat apotek, denah ruangan, ruang tunggu, ruang peracikan obat,
ruang administrasi, tempat pencucian alat, kebersihan,sumber air, penerangan,
pemadam kebakaran, ventilasi, sanitasi, dan papan nama.
b. Administrasi : sp, kartu stok, blangko salinan resep, blangko faktur, buku
pembelian, buku penerimaan, buku penjualan, buku pengiriman, buku pesanan
narkotika/psikotropika, faktur narkotika/psikotropika, pencatatan harian
narkotika/psikotropika, pengarsipan resep narkotika/psikotropika, pelaporan
narkotika/psikotropika, pencatatan jumlah resep generik per bulan, pencatatan
jumlah keseluruhan resep per bulan.
c. Perlengkapan : lemari dan rak penyimpanan, lemari pendingin, lemari
penyimpanan narkotika dan psikotropika, etiket, wadah pengemas dan
pembungkus untuk penyerahan obat, alat pembuatan dan pengolahan serta
peracikan, buku standar yang diwajibkan, kumpulan peraturan perundang-
undnagan yang berhubungan dengan apotek.
d. SDM : kehadiran apoteker penanggung jawab. Apoteker pendamping, dan asisten
apoteker serta jaminan kesehatan disertai MOU.

60
c. Klinik
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau
spesialistik. Berdasarkan jenis pelayanan, klinik dibagi menjadi dua yaitu :
1. Klinik pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik
umum maupun khusus.
2. Klinik utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik
atau pelayanan medik dasardan spesialistik.
Setiap penyelenggaraan klinik wajib memiliki izin mendirikan yang diberikan
oleh pemerintah daerah kota/kabupaten dan izin operasional yang diberikan oleh
pemerintah daerah kota/kabupaten atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
d. Rumah sakit tipe B, C, dan D.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan pelayanan, sumber daya manusia,
peralatan dan bangunan serta prasarana rumah sakit dibedakan menjadi beberapa
kelas :
1) Rumah sakit tipe B yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar, 4
spesialis penunjang medis, 8 spesialis lain dan 2 subspesialis dasar.
2) Rumah sakit tipe C yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar dan 4
spesialis penunjang medis.
3) Rumah sakit tipe D yaitu rumah sakit yang terdiri dari 2 spesialis dasar.
Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

61
e. P-IRT
P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga) adalah izin jaminan usaha makanan
atau minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan atau izin
edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk dipasarkan secara
lokal. Izin P-IRT tersebut hanya diberikan kepada produk pangan olahan dengan
tingkat resiko yang rendah.
Mengacu pada peraturan pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 tentang
keamanan, mutu dan gizi pangan dan keputusan kepala BPOM RI No HK
00.05.5.1640. didalam SPP-IRT produsen akan mendapat 2 sertifikat yaitu sertifikat
penyuluhan keamanan pangan dan sertifikat pangan industri rumah tangga.
Sedangkan pada kasus hanya mengambil hasil produk olahan orang lain
kemudian dikemas kemudian diperjualbelikan, diperbolehkan dengan catatan, produk
yang dipasarkan itu sudah memiliki izin SPP-IRT produsen yang jelas dari dinas, S-
PIRT dikeluarkan oleh dinas dimana produksi itu dijalankan.
Alur atau tata cara memperoleh sertifikat PIRT:
a. Sertifikat PIRT
1) Pemohon mengambil formulir persayaratan ke Gunasarkes.
2) Gunasarkes menjelaskan persyaratan ke pemohon.
3) Pemohon melengkapi dan mengembalikan berkas persyaratan ke seksi
gunasarkes.
4) Gunasarkes memeriksa kelengkapan persyaratan, mencatat ke dalam buku
register, mengirim daftar nama pemohon ke farbekes untuk mengikuti
penyuluhan.
5) Farbekes mengumumkan nama peserta dan jadwal pemeriksaan ke sarana
PIRT, melaksanakan kunjungan ke pemohon, dan menyusun berita acara.
6) Pemohon melengkapi syarat sesuai berita acara.
7) Farbekes memberi no PIRT ke gunasarkes mengirim, mengetik, dan
memeriksa data, memparaf PIRT.
8) Bidang SDK dan sub bagian umum memeriksa dan memaraf sertifikat.
9) Kepala dinas menandatangan sertifikat.

62
10) Sub bagian umum mengarsip sertifikat dan menyerahkan sertifikat ke PIRT.
b. Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan
1) Pemohon mengambil formulir persayaratan ke Gunasarkes.
2) Gunasarkes menjelaskan persyaratan ke pemohon.
3) Pemohon melengkapi dan mengaembalikan berkas persyaratan ke seksi
Gunasarkes.
4) Gunasarkes memeriksa kelengkapan persyaratan, mencatat ke dalam buku
register, mengirim daftar nama pemohon ke farbekes untuk mengikuti
penyuluhan.
5) Farbekes mengirim surat undangan kegiatan prnyuluhan ke
pemohon.Pemohon mengikuti kegiatan penyuluhan minimal 50 peserta.
6) Farbekes memberi no sertifikat SPKP untuk penrbit sertifikat , mengetik
sertifikat PKP, memeriksa dan memaraf sertifikat PKP.
7) Bidang SDK dan sub bagian umum memeriksa dan memaraf sertifikat.
8) Kepala dinas menandatangani sertifikat.
9) Sub bagian umum mengarsip sertifikat dan menyerahkan sertifikat ke PIRT.

Jenis jenis pangan yang diizinkan mendapat sertifikat P-IRT adalah : hasil
olahan daging kering (abon, dendeng, kerupuk kulit, paru goreng kering), hasil olahan
ikan kering (abon ikan, cumi kering, kerupuk, petis, pempek pempek, preto ikan),
hasil olahan unggas kering (usus goreng, ceker goreng, telur asin), sayur asin das
sayur kering (acar, asinan/manisan sayur, keripik), hasil olahan kelapa (kelapa parut
kering, nata de coco, geplak), tepung dan hasil olahannya, minyak dan lemak, selai,
jeli dan sejenisnya, gula, kembang gula, dn madu, kopi, teh, coklat kering atau
campurannya, bumbu, rempah-rempah, minuman rigan dan minuman serbuk, hasil
olahan buah, hasil olahan biji bijian dan umbi, lain lain es (es mambo, es lilin, es
puter).
Jenis produk pangan yang tidak boleh izin sertifikat PIRT atau harus berizin
ke POM MD adalah produk susu, produk daging (kornet), ikan (sarden), bahan
tambahan pangan/BTP (pengawet, pewarna, pemanis, flavour, pengempal, dll) dan

63
produk pangan yang memerlukan penyimpanan khusus pada suhu rendah seperti
nugget, es krim, dll.
f. UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional)
UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional) adalah usaha yang dapat membuat
semua bentuk obat tradisional kecuali tablet dan effervesent. UKOT harus mendapat
rekomendasi dari kepala balai setempat dan rekomendasi dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Permohonan izin UKOT diajukan oleh pemohon kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
g. UMOT (Usaha Mikro Obat Tradisional)
UMOT adalah usaha yng hanya membuat sediaan obat tradisional dalam
bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Permohonan izin UMOT
diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

3.4. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan


Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan bagian dari kegiatan
seksi Farbekes dikelola oleh Kepala Seksi dibantu oleh Apoteker dan Tenaga Teknik
Kefarmasian (TTK) serta tenaga lain, yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
sebagai berikut:
a. Menyusun format perencanaan obat dan alat kesehatan.
b. Merekap kebutuhan obat puskesmas.
c. Merekap kebutuhan alat kesehatan dan obat gigi puskesmas.
d. Menyusun rencana kebutuhan obat dan alat kesehatan Dinas Kesehatan Kota
Bandung.
e. Memeriksa pengeluaran dan penerimaan obat bulanan.
f. Melaksanakan pengawasan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat
kesehatan, regensia dan vaksin.
g. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian obat dan alat kesehatan, obat yang
mengandung bahan narkotika dan sejenisnya.
h. Memeriksa penerimaan dan pengeluaran gudang distribusi.
i. Memeriksa penerimaan dan pengeluaran gudang penyimpanan.

64
j. Membuat laporan rekapitulasi stock opname.
k. Membuat laporan penerimaan obat.
l. Membuat laporan penerimaan alat kesehatan.
m. Membuat laporan penerimaan obat program.
n. Membuat laporan penerimaan obat APBN.

3.4.1. Perencanaan
Pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan oleh bagian
gudang farmasi seksi Farbekes Dinas Kesehatan Kota Bandung meliputi perencanan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan,
evaluasi.
Perencanaan adalah untuk menentukan jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan
puskesmas agar tepat dan sesuai kebutuhan. Perencanaan dilakukan agar tidak terjadi
kekosongan obat dan kelebihan obat. Perencanaan obat di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung mengunakan metode konsumsi.
Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data konsumsi
obat tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metode ini, perlu diperhatikan hal-hal yaitu pengumpulan data dan pengolahan data,
analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan perkiraan kebutuhan obat, dan
penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
Dalam proses perhitungan perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan
kesehatan Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung menggunakan metode
konsumsi dengan memperhitungkan rata-rata pemakaian pada periode tertentu, buffer
stock dan lead time dikurangi sisa stock akhir. Buffer stock dihitung 10 -20% persen
dari total pemakaian obat dalam satu tahun, sedangkan lead time merupakan waktu
tunggu antara pemesanan obat sampai diterima obat tersebut. Lead time dihitung dari
pemakaian rata-rata dikalikan dengan waktu tunggu berkisar antara 3-6 bulan, di
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung waktu tunggunya berkisar 3-6
bulan.

65
3.4.2. Pengadaan
Pengadaan adalah proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di
Puskesmas masyarakat Kota Bandung pada umumnya. Pengadaan obat dan alkes di
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan satu tahun sekali melalui
sistem lelang atau tender dan e-catalog.
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar
(PKD) dibiayai melalui berbagai sumber anggaran. Berbagai sumber anggaran yang
membiayai pengadaan obat dan perbekalan kesehatan tersebut antara lain:
1. APBN: Dana Alokasi Khusus (DAK), Program kesehatan, Program pelayanan
keluarga miskin.
2. APBD I
3. Dana Alokasi Umum (DAU)/APBD II : Obat Pendamping DAK, YANDAS,
ALDOK dan ALKES.
4. Sumber-sumber lain, seperti BPJS
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran pengadaan obat
dilakukan metoda Analisa ABC-VEN dengan tujuan sebagai berikut:
1. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana tersedia. Obat yang
perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokkan obat
menurut VEN.
2. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar
diusahakan tidak terjadi kekosongan obat. Untuk menyusun daftar VEN perlu
ditentukan lebih dahulu kriteria VEN. Kriteria sebaiknya disusun oleh suatu tim.
Dalam menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan
masing-masing wilayah.

3.4.3. Penerimaan Dan Pemeriksaan


Penerimaan dan pemeriksaan bertujuan agar obat yang diterima sesuai dengan
jumlah dan jenis serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Penerimaan dan
pemeriksaan perbekalan kesehatan dilakukan oleh panitia yang dibentuk oleh Dinas

66
Kesehatan dengan anggota yang terdiri dari Apoteker, Tenaga Teknik Kefarmasian
(TTK) dan Umum. Pemeriksaan ini dilakukan secara organoleptik, dan khusus untuk
pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pencatatan terhadap tanggal
kadaluwarsa, nomor registrasi, dan nomor batch terhadap obat yang diterima, juga
dilakukan pemeriksaan kesesuaian antar surat pesanan dengan fisik barang. Jika obat
sudah diterima dan diperiksa 100 % oleh PPHP, oleh PPHP diserahkan ke PPK, dari
PPK diserahkan ke KPA lalu kepada petugas pengelola obat. Setelah perbekalan
diterima oleh petugas pengelola obat, kemudian disimpan di gudang farmasi.

3.4.4. Penyimpanan
Penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
disusun bedasarkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out
(FIFO), kelas terapi dan bentuk sediaan. Untuk obat khusus seprti vaksin disimpan di
Seksi P2M (Pencegahan dan Peberantasan Penyakit Menular) Dinas Kesehatan Kota
Bandung. Sedangkan untuk penyimpanan narkotik dan psikotropik disimpan di
tempat khusus. Penataan ruangan gudang masih bersekat-sekat, sehingga
mempengaruhi dalam pengaturan penyimpanan obat dan alur keluar masuk obat.
Sarana penyimpanan di Gudang Farmasi Kota Bandung meliputi:
a. Gudang terdiri dari 446.5 m2 di jalan Supratman No. 73 Bandung dan di jalan
Bapak Husein Cihampelas Bandung.
b. Pallet, terdiri dari pallet kayu dan pallet plastik.
c. Rak.
d. Kulkas.
e. Lemari.
f. Alat penunjang keamanan.
g. Alat pemadam kebakaran.
h. Troli.

67
3.4.5. Distribusi
Kegiatan distribusi obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
terdiri dari :
1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan
umum di unit pelayanan kesehatan.
2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk:
a. Program kesehatan
b. Kejadian luar biasa (KLB)
c. Bencana (alam dan sosial)
Sistem distribusi di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
menggunakan sistem distribusi rutin yang dibagi menjadi dua yaitu distribusi aktif
dan distribusi pasif, distribusi aktif yaitu Puskesmas UPT memberikan Laporan
Pemakaian Obat dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) kepada gudang farmasi
Dinas Kesehatan Kota Bandung, Selanjutnya petugas dari gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung akan mendistribusikan obat dan perbekalan kesehatan
kepada puskesmas UPT. Distribusi pasif yaitu Puskesmas UPT memberikan Laporan
Pemakaian Obat dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) kepada gudang farmasi
Dinas Kesehatan Kota Bandung, Selanjutnya obat dan perbekalan kesehatan diambil
sendiri oleh puskesmas UPT di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung.
Distribusi di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung melaksanakan distribusi obat
dan perbekalan kesehatan ke puskesmas unit pelayanan teknis (UPT) sesuai
kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Puskesmas unit pelaksana teknis (UPT) mendistribusikan kebutuhan obat untuk
puskesmas jejaring, puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan lainnya
yang ada di wilayah binaannya.

68
3.4.6. Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Gudang Farmasi Dinas Kota Bandung
meliputi:
1. Pencatatan dan pengelolaan data untuk mendukung perencanaan pengadaan obat
melalui kegiatan perhitungan tingkat kecukupan obat per UPK.
2. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa rencana disrtibusi akan
dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat di Gudang Farmasi
3. Perhitungan dilakukan langsung pada Kartu Rencana Distribusi Obat.
4. Tingkat kecukupan dihitung dari sisa stok obat di Gudang Farmasi di bagi dengan
Pemakain rata-rata obat di Unit Pelayanan Kesehatan.

Pelaporan yang disusun oleh Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
meliputi:
1. Laporan dinamika logistik dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota ke
walikota/bupati dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setiap
3 bulan sekali dan dari provinsi kementrian Kesehatan melalui Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alkes 3 bulan sekali.
2. Laporan tahunan/profil pengelolaan obat kab/kota dikirim kepada Dinkes
Provinsi dan setelah dikompilasi oleh Dinkes Provinsi dikirimkan kepada
kemenkes melalui Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes.

3.4.7. Supervisi dan Evaluasi


Supervisi dan evaluasi pengelolaan dan penggunaan obat di Gudang Farmasi
Dinas Kota Bandung telah dilakukan terutama sarana penyimpanan gudang farmasi,
mulai dari kapasitas gudang dan fasilitas penyimpanan (Intern). Sedangkan supervisi
yang dilakukan ke unit lebih rendah (puskesmas) meliputi penggunaan obat generik,
penggunaan obat yang rasional dan bimbingan teknis di seluruh Puskesmas Kota
Bandung.

69
3.5. Puskesmas Padasuka
3.5.1. Profil Puskesmas Padasuka
UPT Puskesmas Padasuka merupakan unit kerja dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung dengan luas wilayah binaan satu kecamatan, yaitu kecamatan Cibenying
Kidul. Puskesmas padasuka berlokasi di Jl. Padasuka No 3 Kecamatan Cibenying
Kidul, Telepon (022) 7272113. UPT puskesmas padasuka dikepalai oleh dr. Dadan
Mulyana. UPT Puskesmas padasuka memiliki 1 puskesmas jejaring yaitu Puskesmas
Pasir Layung dan binaan 6 kelurahan:
1. Binaan PKM padasuka
a. Kelurahan Padasuka
b. Kelurahan Cicadas
c. Kelurahan Sukamaju
d. Kelurahan Cikutra
2. Binaan PKM pasir Layung
a. Kelurahan Sukapada
b. Kelurahan Pasir Layung

3.5.2. Visi dan Misi UPT Puskesmas Padasuka


Visi dari UPT Puskesmas Padasuka adalah “Terwujudnya Puskesmas Dengan
Pelayanan Prima Menuju Masyarakat Cibeunying Kidul Yang Sehat Dan Mandiri”.
Misi dari UPT Puskesmas Padasuka yaitu:
1. Mengembangkan Sumber Daya Manusia yang bekerja secara professional melalui
pembinaan dan peningkatan kompetensi secara terus menerus.
2. Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat secara
menyeluruh, Continuum of care, Paripurna, terjangkau, adil, dan merata.
3. Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat secara aktif melalui
optimilisasi upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) untuk
mendukung terwujudnya perilaku hidup bersih dan sehat.

70
4. Mengoptimalkan dan mengembangkan sarana dan prasarana serta memanfaatkan
kemajuan teknologi untuk mendukung peningkatan pelayanan kepada
masyarakat.
5. Mengoptimalkan koordinasi lintas sector untuk mewujudkan pembangunan
kesehatan di wilayah kerja.

3.5.3. Struktur Organisasi UPT Puskesmas Padasuka


Struktur organisasi di UPT Puskesmas Padasuka Kota Bandung terdiri atas:
a. Unsur Pimpinan :Kepala UPT
b. Unsur Pembantu Pimpinan :Kepala Sub Bagian TU
c. Pelaksana Tata Usaha :Kepagawaian, Umum, BendaharA
d. Kelompok jabatan fungsional :Dokter, Bidan, Perawat, Fungsional Umum,
Farmasi, Kesling, Gizi, Laboratorium
e. Penatalaksanaan di bagi dalam :Promkes, Kesling, KIA/KB, Gizi, P2M,
Pengobatan, Bersalin, Gigi, Perkesmas, UKS, Lansia, Farmasi, Laboratorium,
TB/HIV-HR.

3.5.4. Fasilitas di UPT Puskesmas Padasuka


Secara umum, fasilitas yang dimiliki UPT Puskesmas Padasuka adalah
sebagai berikut:
a. Area pendaftaran pasien
b. Ruang pengobatan umum
c. Ruang pengobatan gigi
d. Ruang pemeriksaaan anak Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
e. Ruang pengobatan TB
f. Ruang pengobatan KIA/KB
g. Ruang pemeriksaan laboratorium
h. Konsultasi gizi
i. Ruang pelayanan obat (depo obat dan gudang obat)
j. Ruang tunggu pasien

71
k. Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS)

Struktur Organisasi Staf di UPT Puskesmas Padasuka


 Kepala UPT : 1 orang
 Kepala Sub Bagian Tata Usaha : 1 orang
 dr. Umum : 4 orang
 dr. Gigi : 3 orang
 Bidan : 18 orang
 Perawat : 3 orang
 Apoteker : 1 orang
 Asisten Apoteker : 1 orang
 Sanitarian : 1 orang
 Gizi : 2 orang
 Laboratorium : 1 orang

3.5.5. Pengelolaan Obat di Puskesmas Padasuka


UPT Puskesmas Padasuka mempunyai tugas pokok melaksanakan
pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi:
a. Perencanaan dan pengadaan
b. Peneriman dan Penyimpanan
c. Distribusi
d. Pencatatan dan Pelaporan

A. Perencanaan dan pengadaan


Perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas
Padasuka disusun oleh bagian Farmasi, dengan menghitung berdasarkan metode
konsumsi, yaitu didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan bagian Farmasi, dilakukan hal-hal sebagai
berikut:

72
a. Analisa pemakaian obat tahun lalu berdasarkan data penerimaan dan pengeluaran
bulanan, LPLPO, jumlah kunjungan pasien, data penyakit terbanyak dan stok
akhir tahun.
b. Menghitung rata-rata pemakaian setiap jenis obat.
c. Menyusun perkiraan kebutuhan obat disetiap awal pelayanan kesehatan
menggunakan metode konsumsi (12 x pemakaian rata-rata perbulan) + stok
tunggu + stok pengaman.
d. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
e. Formulir perencanaan yang telah disusun kemudian disahkan oleh kepala
puskesmas dilanjutkan dengan pengajuan ke Dinas Kesehatan Kota Bandung
melalui seksi farmasi dan perbekalan kesehatan.

B. Penerimaan dan Penyimpanan Obat dan Alat kesehatan


Setiap pertengahan bulan obat didatangkan dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung ke puskesmas sesuai dengan permintaan LPLPO. Setelah perbekalan
farmasi diterima dari dinas kesehatan kota, perbekalan farmasi diperiksa oleh petugas
puskesmas. Pemeriksaan yang dilakukan adalah kesesuaian LPLPO dengan fisik
barang yang diterima, jumlah dan jenis barang, tanggal dan kadaluwarsa barang serta
fisik kemasan.
Cara penyimpanan obat di puskesmas disimpan berdasarkan bentuk sediaan
obat yang disusun secara alfabetis dan bentuk sediaan dengan metode First Expired
First Out dan first in first out..
Setiap penambahan dan pengeluaran obat dicatat di kartu stock dan dibukukan pada
buku penerimaan obat.

C. Distribusi Obat dan Alat Kesehatan


Pendistribusian obat di Puskesmas Padasuka dilakukan dengan cara :
1. Obat di distribusikan dari gudang menuju ruang obat.
2. Obat dan Alkes didistribusikan ke jejaring
3. Obat dan Alkes didistribusikan dari gudang menuju Poli TB

73
4. Obat dan Alkes didistribusikan dari gudang ke poli gigi
5. Obat dan Alkes di distribusikan dari gudang ke ruang bersalin
Pendistribusian obat yang berasal dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, pihak
Puskesmas Padasuka akan langsung mengantarkan obat dan alat kesehatan pada
jejaring sesuai dengan LPLPO, yaitu Puskesmas Pasir Layung.

D. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan data obat merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima
atau disimpan, maupun yang didistribusikan ke pasien.

Adapun kegiatan yang dicatat dan dilaporkan oleh UPT Puskesmas Padasuka
diantaranya:
1. Laporan Penggunaan Obat Rasional (POR)
Laporan Penggunaan Obat Rasional dilakukan pada pasien pertama
dengan kode penyakit Dyspepsia (K30), Diare Non spesifik (A09.1), ISPA
(J00), dan Myalgia (M79.1). laporan POR dilaporkan ke Dinkes Kota
Bandung setiap bulan.
2. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)
Puskesmas melaporkan pemakaian obat dan permintaan obat setiap
bulan ke Dinkes Kota Bandung.
3. Laporan Jumlah Kunjungan
Pada lembar terakhir LPLPO terdapat laporan jumlah kunjungan, adapun yang
dicatat yaitu jumlah kunjungan selama satu bulan untuk pasien umum, BPJS,
Jamkesmas, dan Askes.
4. Laporan Obat Narkotika dan Psikotropika
Puskesmas melaporkan pemakaian obat narkotika dan psitropika
setiap bulan ke Dinkes Kota Bandung.
5. Laporan tahunan (RKO)

74
Laporan tahunan ini biasanya dilakukan untuk perencanaan kebutuhan
obat selama satu tahun. Dilihat dari LPLPO tahun sebelumnya, dengan
menggunakan perhitungan metode konsumsi.

3.5.6. Pelayanan Resep di Puskesmas Padasuka


Alur pelayanan obat di UPT Padasuka yaitu pasien melakukan pendaftaran di
loket pendaftaran selanjutnya pemeriksaan (poli Umum, poli Gigi, Poli KIA, poli
lansia, Ibu hamil, MTBS, TB, dan PROLANIS), kemudian resep diproses dengan
sistem komputerisasi untuk kemudian dikerjakan oleh bagian farmasi.
Adapun tahap pelayanan resep yang dilaksanakan di Puskesmas Padasuka yaitu :
1. Dilakukan pengkajian resep untuk melihat kelengkapan resep yang meliputi :
nama pasien, umur pasien, alamat pasien, diagnosa dokter, tanggal penulisan
resep, nama dokter penulis resep, nama obat, dosis obat, cara pakai dan jumlah
obat.
2. Langkah selanjutnya menyiapkan obat sesuai dengan yang terdapat dalam resep,
dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa, dan keadaan fisik obat.
3. Pengemasan obat dimasukkan dalam wadah secara terpisah untuk masing-masing
obat, untuk menjaga mutu obat dan penggunaan yang salah.
4. Pembuatan etiket yang berisi tanggal, nama pasien, dosis obat, cara penggunaan,
dan bentuk sediaan, jika diperlukan ditulis indikasi obat tersebut sesuai dengan
permintaan pasien.
5. Proses penyerahan obat dilakukan dengan cara memanggil nama pasien disertai
dengan menanyakan alamat lengkap pasien, hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan pemberian resep kepada pasien yang tidak tepat (salah orang).

Saat penyerahan obat ke pasien diberikan pelayanan informasi obat berupa


penjelasan khasiat obat serta aturan pakai dan juga berupa konseling khusus untuk
pasien yang menderita beberapa penyakit (PROLANIS).

75
3.5.7. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat (PIO) adalah kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independent, akurat, komprehensif, terkini oleh
apoteker kepada pasien, tenaga kesehatan, masyarakat maupun pihak yang
memerlukan. Pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat,
etis, dan sangat diperlukan dalam penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Tujuan
dari pelayanan informasi obat adalah menyediakan dan memberikan informasi obat
kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain untuk meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian. Sasaran informasi obat:
1. Pasien dan atau keluarga pasien.
2. Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker
dan lain-lain.
3. Pihak lain: manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain.

Sarana dan prasarana pelayanan informasi disesuaikan dengan kondisi sarana


pelayanan kesehatan. Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi, tergantung
ketersediaan dan perkiraan kebutuhan dalam pelaksanaan pelayanan informasi obat.

3.5.8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan :
1. Mengidentifikasi obat dengan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping obat.
2. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO).
3. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional.

76
3.5.9. Evaluasi Efek Samping Obat
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah suatu proses jaminan mutu yang
terstruktur, dilaksanakan terus- menerus, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-
obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus
juga diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi
ini, definisi EPO diatas difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif.
Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek samping
yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk


meningkatkan pelayanan pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah
penting, unsur-unsur dasar berikut yang harus diperhatikan :
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara
sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin.
Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan menggunakan
kriteria yang absah secara klinik
5. Solusi masalah.

77
6. Menyanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau meniadakan
masalah.
7. Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi,
tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa
pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan Puskesmas.

Antara Apoteker dan Dokter diperlukan kerjasama untuk memastikan


penggunaan obat yang optimal. Tanggung jawab melaksanakan proses EPO secara
khas didelegasikan pada suatu komite dari staf medik.
UPT Puskesmas Padasuka melaksanakan program Evaluasi Penggunaan Obat
(EPO), penyakit yang dimonitoring evaluasi penggunaan obatnya terdiri dari empat
diagnosa, yaitu: Diare non spesifik (A09), Myalgia (M79.1), ISPA non Pneumonia
(J00).

3.5.10. Program Pengelolaan Penyakit Kronis


A. Definisi
PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan
proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan Peserta, Fasilitas
Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi
peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas
hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
B. Tujuan
Mendorong peserta penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup
optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke Faskes
Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik terhadap
penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait sehingga dapat
mencegah timbulnya komplikasi penyakit.

78
C. Sasaran
Seluruh Peserta BPJS Kesehatan penyandang penyakit kronis (Diabetes
Melitus Tipe 2 dan Hipertensi).

Program PROLANIS di Puskesmas Padasuka diikuti oleh 144 orang dengan


69 orang pasien Hipertensi, 38 orang pasien Diabetes Melitus serta 37 orang
pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi.

79
BAB IV
PEMBAHASAN
Dinas kesehatan kota Bandung merupakan dinas kesehatan yang memiliki
tanggung jawab pada aspek kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah kepada
masyarakat. Dinas Kesehatan Kota Bandung dipimpin oleh seorang Kepala Dinas
yang membawahi 4 bidang yaitu Bidang Bina Pelayanan Kesehatan, Bidang
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Bidang Sumber Daya
Kesehatan, dan Bidang Program Kesehatan. Bidang Sumber Daya Kesehatan
membawahi 3 seksi yaitu Seksi Pendayagunaan Tenaga dan sarana Kesehatan, Seksi
Promosi Kesehatan, dan Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan. Seksi Farmasi dan
Perbekalan Kesehatan terdapat 2 bagian yaitu bagian pembinaan dan pengawasan
serta bagian pengelolaan obat.
Bagian pengawasan dan pembinaan Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
Dinas Kesehatan Kota Bandung memiliki fungsi yaitu mengawasi dan membina
sarana-sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas, apotek, klinik, Pedagang
Eceran Obat (PEO), Instalasi Farmasi Rumah Sakit kelas A,B,C dan D, Instalasi
Farmasi Rumah sakit ibu dan anak, rumah sakit khusus serta Pangan Industri Rumah
Tangga (PIRT). Kriteria sarana yang akan dilakukan pembinaan adalah sarana yang
didapatkan temuan oleh Balai POM, sarana-sarana yang ada keluhan dari masyarakat
dan sarana kesehatan yang belum dibina ditahun sebelumnya. Dalam pembinaan dan
pengawasan apotek menjadi prioritas utama karena jumlahnya yang banyak dan
rawan penyalanggunaan obat.
Selain itu, bagian pengawasan dan pembinaan juga bertugas dalam
pengelolaan laporan narkotika dan psikotropika. Tujuan dari pengelolaan laporan
narkotika dan psikotropika dari seluruh apotek, rumah sakit, klinik dan puskesmas
adalah untuk memantau penggunaan obat-obatan golongan narkotika dan
psikotropika. Sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan obat-obatan
golongan narkotika dan obat-obat golongan psikotropika dari apotek-apotek, rumah
sakit, klinik dan puskesmas yang ada di Kota Bandung.

80
Bagian Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota
Bandung juga mempunyai tugas dalam Pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota
Bandung yang dilakukan oleh bagian gudang farmasi meliputi perencanan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan,
evaluasi. Perencanaan obat bertujuan untuk menentukan jenis dan jumlah yang tepat
sesuai kebutuhan unit pelayanan kesehatan dasar. Perencanaan di Dinas Kesehatan
Kota Bandung didasarkan pada metode ABC ( analisa berdasarkan penggunaan atau
penyerapan dana ) dan metode VEN ( Vital, Essensial, Non Essensial ). Perhitungan
perencanaan kebutuhan obat yaitu dengan melakukaan penentuan pendekatan
perhitungan metode konsumsi yang didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun
sebelumnya. Acuan dalam pemilihan obat harus mengacu kedalam Fornas/Doen.
Sedangkan kriteria pemilihan obat harus dipilih obat yang khasiatnya lebih besar
dibanding efek sampingnya, biaya murah dan obat tunggal.
Sumber anggaran berasal dari APBN bentuknya Dana Alokasi Khusus
(DAK), APBD I dalam bentuk obat, APBD II dalam bentuk dana pendamping (obat
yandas), alat kesehatan dan alat kedokteran. Untuk dana dari APBN berupa DAK
diusahakan harus ada di e-catalog, APBD I untuk obat penyakit menular seperti TB
dan PMS, APBD II bentuknya obat yandas untuk obat yang tidak termasuk e-catalog,
dan dana dana lain yaitu misalnya dari BPJS berupa dana kapitasi yang diberikan ke
puskesmas.

Dibentuknya Tim perencanaan terpadu bertujuan untuk :


1. Menghindari tumpang tindih anggaran,
2. Persamaan presepsi antara penyedia anggaran dengan pemakai anggaran
3. Koordinasi antara antara penyedia anggaran dengan pemakai anggaran
4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat
5. Penggunaan anggaran menjadi lebih optimal
6. Keterpadua antara evaluasi, penggunaan dan perencanaan.

81
Alur perencanaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung :
Untuk perencanaan obat satu tahun dibuat format RKO (Rencana Kebutuhan
Obat) kemudian format RKO disebarkan ke 30 UPT kemudian dari UPT disebarkan
ke puskesmas jejaringnya. Dinas Kesehatan Kota Bandung mempunyai 73 puskemas
yaitu 30 UPT dan 43 puskesmas jejaring. Setelah itu dibuat Tim perencanaan obat
terpadu Dinkes yang anggotanya terdiri dari kepala bidang SDK sebagai ketua,
kepala seksi farbekes sebagai sekertaris, anggotanya terdiri dari pengelola obat di
gudang farmasi, pengelola obat di UPT Puskesmas, bagian program di Dinas
Kesehatan dan kepala UPT puskesmas. Dari hasil kesepakatan Tim Perencanaan obat
terpadu Dinas Kesehatan Kota Bandung diperoleh jenis item obat yang akan dipesan,
selanjutnya diolah lagi oleh petugas gudang berdasarkan sumber anggaran kemudian
diserahkan ke PPK (Pejabat Pembuat Komitmen).
Pengadaan kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan oleh
tim Pengadaan dengan menggunakan sistem pengadaan katalog elektronik (e-
catalogue) dengan maksud untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang
aman, bermutu, dan berkhasiat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang
transparan, efektif, efisien serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk obat-
obat yang dibutuhkan tetapi tidak tercantum dalam daftar katalog elektonik maka
dilakukan sistem tender atau lelang.
Alur pengadaan di Dinas Kesehatan Kota Bandung :
1. Pengadaan berdasarkan katalog elektronik
Untuk barang yang ada di e-catalog, RKO yang telah dibuat diserahkan ke
PPK kemudian PPK menelompokan obat berdasarkan pemenang tender dan
diserahkan ke pejabat pengadaan untuk menanyakan kesanggupan menyediakan
barang dengan pemenang tender, setalah itu diserahkan kembali ke PPK untuk dibuat
SP dengan pemenang tender/ PBF.
2. Pengadaan untuk barang yang tidak terdapat di e-catalog
Untuk barang yang tidak ada di e-catalog dilakukan sistem lelang atau tender,
untuk dana diatas 200 juta PPK harus membuat HPS (Harga Perkiraan Sendiri),

82
kemudian diserahkan ke panitia pengadaan dan panitia pengadaan melakukan sistem
lelang dengan menggunakan e-purchasing sampai diperoleh pemenang tender.
Kemudian PPK membuat kontrak/SP dengan pemenang tender. Sedangkan untuk
tender dibawah 200 juta dilakukan penunjukan langsung.
Penerimaan dan pemeriksaan bertujuan agar obat yang diterima sesuai dengan
jumlah dan jenis serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Penerimaan dan
pemeriksaan perbekalan kesehatan dilakukan oleh panitia penerima hasil pekerjaan
(PPHP) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan dengan anggota yang terdiri dari
Apoteker, Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK) dan umum.
Alur penerimaan di Dinas Kesehatan Kota Bandung :
Obat yang dipesan dari pemenang tender diberitahukan ke PPK kemudian
PPK memberitahukan ke PPHP (Panitia penerima hasil pekerjaan). PPHP memeriksa
kesesuaian antara surat pesanan, faktur dan barang yang diterima meliputi
pemeriksaan secara organoleptik, pemeriksaan label dan kemasan, tanggal
kadaluwarsa, nomor registrasi, dan nomor batch. Kemudian setelah obat diterima
100%, PPHP menyerahkan ke PPK. PPK menyerahkan ke KPA (Kuasa Pengguna
Anggaran), KPA menyerahkan ke petugas pengelola obat untuk disimpan di gudang
farmasi.
Penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung diatur
didalam ruangan sedemikian rupa guna memudahkan untuk pengaturan keluar dan
masuk barang. Penyimpanan disusun bedasarkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO). Sediaan obat dalam dan obat luar dipisahkan
berdasarkan kelas terapi yang bertujuan untuk memudahkan pada saat menyediakan
obat untuk untuk didistribusikan ke puskesmas. Bentuk sediaan untuk obat khusus
seperti vaksin disimpan di Seksi P2M (Pencegahan dan Peberantasan Penyakit
Menular) Dinas Kesehatan Kota Bandung. Sedangkan untuk penyimpanan narkotik
dan psikotropik disimpan di tempat khusus. Dinas Kesehatan Kota Bandung
memiliki 2 gedung farmasi yang terdapat di Jalan Supratman no. 73 Bandung dan di
Jalan Cihampelas

83
Kegiatan distribusi obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
terdiri dari kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan
pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan. Sistem distribusi rutin terdiri dari
distribusi aktif yaitu kebutuhan tiap puskesmas dikirim oleh Dinas Kesehatan Kota,
dan distribusi pasif, yaitu kebutuhan tiap puskesmas diambil oleh puskesmas yang
bersangkutan. Distribusi aktif dilakukan diatas jarak 5 km dengan anggaran
perjalanan yang telah ditetapkan, sedangkan distribusi pasif dilakukan dibawah jarak
5 km dan tidak mendapatkan anggaran perjalanan.
Alur Distribusi Rutin di Dinas Kesehatan Kota Bandung :
Puskesmas UPT menyerahkan LPLPO ke Dinas Kesehatan Kota kemudian
diterima dan dianalisa berupa pemakaian, stok optimum dan sisa stok untuk
menentukan berapa jumlah obat yang akan diberikan dengan mempertimbangkan sisa
stok gudang farmasi, setelah itu dilakukan packing dan didistribusikan ke UPT
dengan membawa LPLPO, berita acara serah terima, band 35, band 29, kemudian
dibuat rekapan pemberian ke puskesmas dan dimasukan ke kartu stok untuk harian,
sedangkan untuk perbulan ditulis di kartu persediaan.
Selain itu terdapat kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat
untuk program kesehatan, kejadian luar biasa (KLB), dan bencana (alam dan sosial).
Alur Distribusi Bantuan di Dinas Kesehatan Kota Bandung :
Pemohon yang meminta bantuan harus mengirimkan surat ke kepala dinas
kesehatan kota bandung kemudian surat didisposisikan ke kepala bidang SDK dan
kepala seksi Farbekes. Kemudian Kepala seksi Farbekes menghubungi petugas
pengelola obat, petugas pengelola obat akan melihat sisa stok di gudang farmasi, jika
ketersediaan obat cukup maka permohonan obat akan dipenuhi.
Pencatatan dan pelaporan dilakukan untuk menghindari terjadi penyimpangan
atau kontrol dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan, terutama dalam
penerimaan dan pengeluaran obat dan perbekalan kesehatan. Pelaporan yang dibuat
merupakan rangkaian kegiatan yang telah dilakukan di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung. Supervisi dan evaluasi perlu dilakukan baik didalam

84
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung, maupun ke unit pelayanan
kesehatan. Pelaporan dan evaluasi contohnya :
1. Laporan Tahunan Pengelolaan Obat
2. Laporan semester setiap 6 bulan
3. Laporan sisa stok per 31 Desember
4. Laporan Ketersediaan Obat Per Bulan
5. Laporan Penggunaan Obar Generik
6. Laporan Monitoring Efek samping Obat ( MESO )
7. Laporan SIPNAP
8. Laporan Penggunaan Obar Rasional ( POR )
Pelaporan dan evaluasi sangat perlu dilakukan untuk menjaga agar pekerjaan
pengelolaan obat yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Supervisi dan
evaluasi juga merupakan cara untuk mengetahui dan memperbaiki kekurangan yang
ada.
Pemusnahan obat yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah
obat yang kadaluarasa dan obat rusak yang berasal dari gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung dan dari puskesmas-puskesmas yang berada wilayah di
kota bandung. Setelah terkumpul pemusnahaan dilakukan oleh pihak ketiga dengan
cara penunjukan langsung.
Pelayanan kefarmasian yang merupakan bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung dilaksanakan di Puskesmas. Pelayanan
kefarmasian di Puskesmas terdiri dari 2 aspek pelayanan yaitu aspek manajerial
(pelayanan farmasi non klinik) dan aspek profesional (pelayanan farmasi klinik).
Aspek manajerial (pelayanan farmasi non klinik) meliputi pengelolaan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan, Aspek profesional (pelayanan farmasi klinik)
meliputi pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling, pengkajian resep,
evaluasi penggunaan obat, promosi dan edukasi, serta pemantauan dan pelaporan efek
samping obat.
Proses pengelolaan obat yang ada di Puskesmas Padasuka meliputi
perencanaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, pencatatan dan pelaporan. Di

85
bagian farmasi Puskesmas Padasuka mempunyai 1 orang Apoteker dan 1 orang
asisten apoteker. Pengelolaan obat dilakukan dengan cara komputerisasi. Pekerjaan
kefarmasian klinis di Puskesmas Padasuka meliputi pelayanan informasi obat
dilakukan secara rutin oleh Apoteker yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan
dalam rangka mewujudkan pelayanan kefarmasian yang berkualitas.
Perencanaan dan pengadaan obat di UPT Puskesmas Padasuka dilakukan
setiap bulan dengan melihat total pemakaian bulan yang lalu ditambah kenaikan
kunjungan sekitar 10 - 20% dikurangi stok akhir di UPT Puskesmas Padasuka dan
jejaringnya (Puskesmas pasir layung). Hasil rekapan dicantumkan dalam LPLPO
(Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) dan diajukan ke Dinas Kesehatan
Kota Bandung.
Pada proses penerimaan obat dari Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Bandung seringkali jumlah yang diterima tidak sama dengan jumlah permintaan yang
tercantum dalam LPLPO, tergantung dari sisa stok yang ada di Gudang Farmasi.
Sebelum diterima, obat terlebih dahulu diperiksa mengenai jumlah, jenis, kemasan
dan kadaluwarsa obat. Dokumen yang dibawa oleh petugas dari Gudang Farmasi
berupa LPLPO, Berita Acara Serah Terima Barang dan Surat Bukti Barang Keluar
yang ditandatangani oleh pemegang barang Dinas Kesehatan Kota Bandung dan
penerima barang di Puskesmas Padasuka.
Setelah barang selesai diperiksa dan diterima, selanjutnya disimpan di gudang
obat Puskesmas Padasuka. Penyimpanan barang di Puskesmas Padasuka disusun
berdasarkan alfabetis dengan memperhatikan bentuk sediaan dan suhu penyimpanan.
Penyusunan barang di Puskesmas padasuka juga dengan cara FIFO yaitu barang yang
pertama datang maka akan pertama dikeluarkan dan FEFO yaitu barang yang pertama
expired akan pertama dikeluarkan.
Pendistribusian obat yang dilakukan oleh UPT padasuka ke Jejaring
(Puskesmas pasir layung) biasanya dilakukan keesokan harinya setelah barang
diterima dari Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung berdasarkan LPLPO
dari Puskesmas Jejaring. Selain ke jejaring pendistribusian dilakukan ke ruang obat,
ruang IGD, ruang bersalin, TB, KIA dan Poli Gigi.

86
Pencatatan dan Pelaporan data obat merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima
atau disimpan, maupun yang didistribusikan ke pasien. Pencatatan dan pelaporan
yang dilakukan antara lain : buku pengeluaran obat, LPLPO, Laporan Penggunan
Obat Bulanan, Laporan penggunaan obat rasional, laporan penggunaan narkotik dan
psikotropik, kartu stok gudang untuk pemasukan dan pengeluaran di gudang, Laporan
Tahunan, Laporan monitoring efek samping obat, pencatatan expire date, serta Berita
Acara serah terima (rusak/kadaluwarsa) dan penghapusan resep setiap 3 tahun sekali.
Alur pelayanan obat di UPT Padasuka :
Pasien melakukan pendaftaran di loket pendaftaran selanjutnya pemeriksaan
(Poli Umum, Poli Gigi, Poli KIA, Lansia), kemudian pasien akan diperiksa oleh
dokter dan dokter akan menulis resep secara komputerisasi. Resep masuk ke bagian
farmasi, kemudian dilakukan pengkajian resep untuk melihat kelengkapan resep yang
meliputi: nama pasien, umur pasien, alamat pasien, diagnosa dokter, tanggal
penulisan resep, nama dokter penulis resep, nama obat, dosis obat, cara pakai dan
jumlah obat. Jika dalam pengkajian resep dinyatakan telah memenuhi syarat, maka
petugas farmasi di puskesmas membuat etiket yang berisi tanggal, nama pasien, dosis
obat, cara penggunaan, dan bentuk sediaan, jika diperlukan ditulis indikasi obat
tersebut sesuai dengan permintaan pasien. Langkah selanjutnya mengambil obat
sesuai dengan yang terdapat dalam resep untuk dikemas. Pengawasan terakhir
dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien.
Proses penyerahan resep dilakukan dengan cara memanggil nama pasien
disertai dengan melihat kertas resep dan menanyakan alamat pasien, hal ini dilakukan
untuk menghindari kesalahan pemberian resep kepada pasien yang tidak tepat (salah
orang). Saat penyerahan obat ke pasien diberikan informasi obat berupa penjelaskan
khasiat obat serta aturan pakai dan juga berupa konseling khusus untuk pasien yang
menderita penyakit diabetes militus dan hipertensi.
Secara garis besar proses pengelolaan obat di UPT Padasuka mulai dari
perencanaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi sampai pencatatan dan pelaporan
sudah berjalan dengan baik. Pelayanan obat yang dilakukan oleh UPT Padasuka

87
sudah tepat dimana pengemasan obat dan penyerahan obat kepada pasien dilakukan
oleh apoteker dan asisten apoteker sehingga menghindari kesalahan pemberian obat.
Pelayanan kefarmasian yang meliputi PIO juga sudah dilakukan dengan baik, begitu
juga dengan penyuluhan kepada kader-kader yang ada di wilayah kerjanya.
Puskesmas Padasuka juga melakukan kegiatan PROLANIS ( Program
Pengelolaan Penyakit Kronis ) yang merupakan sistem pelayanan kesehatan dan
pendekatan proaktif yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan
untuk pasien yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit Diabetes Melitus dan
Hipertensi yang bertujuan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien serta meningkatkan peran masyarakat
dalam pencegahan komplikasi penyakit kronik lainnya. Kegiatan PROLANIS ini
meliputi penyuluhan kesehatan, senam, pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat.
Peserta PROLANIS di Puskesmas Padasuka berjumlah 144 orang 69 orang pasien
Hipertensi, 38 orang pasien Diabetes Melitus serta 37 orang pasien Diabetes Melitus
dan Hipertensi. Pertemuan dilakukan 1 bulan satu kali untuk setiap grup. Setiap
pertemuan dilaksanakan pemeriksaan gula darah ( gula darah puasa dan 2 jam setelah
puasa) untuk peserta dengan penyakit Diabetes Melitus yang bekerja sama dengan
Laboratorium Prodia dan pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan tekanan dara,
pemeriksaan berat badan dan tinggi badan sera penyuluhan untuk semua peserta
PROLANIS. Senam PROLANIS dilaksanakan setiap hari jumat.
Pelaporan dan pencatatan merupakan kegiatan akhir yang dilakukan oleh UPT
Puskesmas Padasuka, meliputi penggunaan obat yang dicatat sesuai dengan
pengeluaran obat, baik jenis dan jumlahnya. Yang dilampiri dengan daftar resep,
nama obat, dan permintaan obat untuk bulan berikutnya. Adapun pencatatan dan
pelaporannya meliputi : Buku bantu harian, Buku harian, LPLPO, Laporan
penggunaan obat rasional, laporan penggunaan Psikotropik dan Narkotik, laporan
penerimaan dan penggunaan bulanan, pencatatan pengeluaran di gudang (Kartu
Stok), Laporan Tahunan (Stok Opname harga tersebut), pencatatan expire date,
penghapusan barang (rusak/kadaluarsa) penghapusan resep/arsip yang di lakukan ± 3
tahun sekali. Serta pelaporan (monitoring efek samping obat).

88
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktek kerja profesi apoteker (PKPA) di Dinas Kesehatan Kota
Bandung, dapat disimpulkan bahwa:
1. Peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan kefarmasian
di Dinas Kesehatan, meliputi: aspek pelayanan yaitu aspek manajerial, teknik
kefarmasian serta pembinaan dan pengawasan.
2. Calon Apoteker mendapatkan kesempatan untuk memperlajari strategi dan
kegiatan-kegiatan tentang pengembangan bidang farmasi di pemerintahan.
3. Calon Apoteker mendapatkan gambaran nyata tentang pekerjaan kefarmasian di
Dinas Kesehatan.
4. Setelah melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Kota
Bandung dan Puskesmas Padasuka, calon apoteker mendapatkan pengalaman
dalam pelayanan farmasi (pelayanan produk, farmasi klinik/komunitas,
pendidikan dan penelitian) di puskesmas sesuai dengan etika dan peraturan yang
berlaku di dalam sistem pelayanan kesehatan.

89
5.2 Saran
A. Untuk Gudang Farmasi di Dinas Kesehatan Kota Bandung
1. Sehubungan dengan banyaknya obat-obatan di gudang perbekalan farmasi di
Dinas Kesehatan Kota Bandung maka dibutuhkan SDM yang lebih optimal
dimana dapat menjamin keamanan, mutu dan efisiensi obat dan perbekalan
farmasi.
2. Kondisi penyimanan khusus, untuk bahan bahan mudah terbakar seperti
alkohol dan eter harus disimpan di ruangan khusus, sebaiknya disimpan di
bangunan khusus terpisah dari gudang induk. Untuk pencegahan kebakaran
perlu dihidari adanya penumpukkan bahan bahan yang mudah terbakar seperti
dus, karton, dll. Alat pemadam kebakaran perlu dipasang pada tempat yan
mudah terjangkau
3. Untuk menghindari binatang pengerat yang akan merusak obat perlu dipasang
pest control dan menghindari penumpukan barang dimana binatang ini bisa
bersembunyi.

B. Untuk Puskesmas Padasuka


1. Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian,
dan pengawasan obat-obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang
dengan baik.
2. Sirkulasi udara yang baik merupakan salah satu faktor penting karena akan
memaksimalkan kualitas dari obat, idealnya dalam gudang terdapat AC,
namun biaya akan menjadi mahal untuk alternatif lain adalah menggunakan
kipas angin. Apabila kipas angin belum cukup maka perlu ventilasi melalui
atap.
3. Sehubungan banyaknya jumlah pasien di Puskesmas Padasuka maka
diperlukan SDM tenaga teknis kefarmasian yang lebih banyak guna dalam
menunjang peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.

90
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik


Indonesia No. 35 tentang Narkotika, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Presiden No. 54 Tahun


2010 dan Peraturan Presiden No. 70 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan barang/jasa Pemerintah, Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung.

Departemen Kesehatan RI, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor35/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor30/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja tentang Kefarmasian, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1331/Menkes/SK/X/2002, tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 167/KAB/B.VIII/1972 tentang
Pedagang Eceran Obat, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 006, tentang Industri Obat Tradisional dan Obat
Tradisional

91
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehahatan
Republik Indonesia Nomor 007, tentang Registrasi Obat Tradisional.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor. 09/Menkes/Per/II/2014. Tentang Klinik.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peratuaran Kepala Badan


Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No HK. 03.1.23.04.12.2205
tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia , 2003, Peraturan Kepala Badan


Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.5.1639
tentang IRT (CPPB-IRT).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004, Peraturan pemerintah Republik


Indonesia nomor 28 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan.

92
LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Dinas Kesehatan Kota Bandung

93
Lampiran 2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung

94
Lampiran 3 Struktur Organisasi Puskesmas Padasuka

95
Lampiran 4 Karcis Pendaftaran Retribusi Pelayanan Kesehatan Umum

96
Lampiran 5 Blanko Resep Puskesmas Padasuka

97
Lampiran 6 Etiket

98
Lampiran 7 Kartu Stok Obat

99
Lampiran 8 Contoh LPLPO

100
Lampiran 9 Contoh Laporan Kunjungan

101
Lampiran 10 Contoh Laporan Narkotik dan Psikotropik

102
Lampiran 10 Contoh Laporan Narkotik dan Psikotropik

103
Lampiran 11 Contoh Laporan POR

Formulir Laporan Rata-Rata Tiap Diagnosis Perbulan

104

You might also like