You are on page 1of 6

Pengertian Detail Engineering Design (DED) Dalam Pekerjaan Konstruksi

Detail Engineering Design (DED) Dalam Pekerjaan Konstruksi dapat diartikan sebagai produk dari
konsultan perencana, yang biasa digunakan dalam membuat sebuah perencanaan (gambar kerja)
detail bangunan sipil seperti gedung, kolam renang, jalan, jembatan, bendungan, dan pekerjaan
konstruksi lainnya.

Detail Engineering Design (DED) bisa berupa gambar detail namun dapat dibuat lebih lengkap yang
terdiri dari beberapa komponen seperti di bawah ini:
1. Gambar detail bangunan/gambar bestek, yaitu gambar desain bangunan yang dibuat
lengkap untuk konstruksi yang akan dikerjakan
2. Engineer's Estimate (EE) atau Rencana Anggaran Biaya (RAB)
3. Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS)
4. Laporan akhir tahap perencanaan, meliputi
 laporan arsitektur;
 laporan perhitungan struktur termasuk laporan penyelidikan tanah (Soil Test)
 laporan perhitungan mekanikal dan elektrikal;
 laporan perhitungan IT (Informasi & Teknologi)
Untuk keterangan lebih jelasnya mengenai isi dari DED berikut ini:

 Gambar detail bangunan atau bestek bisa terdiri dari gambar rencana teknis. Gambar rencana teknis ini
meliputi arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal, serta tata lingkungan. Semakin baik dan lengkap gambar
akan mempermudah proses pekerjaan dan mempercepat dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi.

 Rencana Anggaran Biaya atau RAB adalah perhitungan keseluruhan harga dari volume masing-masing
satuan pekerjaan. RAB dibuat berdasarkan gambar. Kemudian dapat dibuat juga Daftar Volume Pekerjaan (Bill
of Quantity) serta spesifikasi dan harga. Susunan dari RAB nantinya akan direview, perhitungannya dikoreksi
dan diupdate harganya disesuaikan dengan harga pasar sehingga dapat menjadi Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

 Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) ini mencakup persyaratan mutu dan kuantitas material
bangunan, dimensi material bangunan, prosedur pemasangan material dan persyaratan-persyaratan lain yang
wajib dipenuhi oleh penyedia pekerjaan konstruksi. RKS kemudian menjadi syarat yang harus dipenuhi
penyedia sehingga dapat dimasukan ke dalam Standar Dokumen Pengadaan (SDP).

Demikianlah itu pengertian Detail Engineering Design (DED) dan komponen didalamnya. Semoga
bermanfaat.
Review Design Sebelum Pelaksanaan Proyek, Apa
Manfaatnya?
Posted on October 30, 2011 by budisuanda

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan design. Tak
ada design yang benar-benar sempurna. Ketidaksempurnaan produk manusia
termasuk design adalah hal yang alamiah. Jika ketidaksempurnaan tersebut adalah
hal yang tidak signifikan tentu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Namun
bagaimana jika ketidaksempurnaan yang terjadi adalah hal yang fatal?

Hasil pengamatan selama mengerjakan proyek, rasanya tidak pernah ada design yang
benar-benar sempurna. Selalu ada saja ketidaksempurnaan pada design. Kesalahan-
kesalahan tersebut bisa jadi karena waktu yang dibutuhkan untuk mendesign suatu
proyek terlalu singkat yang disebabkan oleh terbatasnya waktu untuk penyelesaian
proyek itu sendiri.

Sialnya, seringkali kesalahan-kesalahan tersebut apabila tidak diantisipasi dan


terlanjur dilaksanakan, lalu terjadi masalah, maka yang menanggung risikonya adalah
kontraktor. Hampir semua Owner baik pemerintah dan swasta, menganggap bahwa
risiko tersebut ada di kontraktor. Hal ini karena rendahnya pemahaman Owner dari
sisi perencanaan dan manajemen proyek. Padahal di luar negri tidaklah demikian.
Suatu kesalahan akan benar-benar diinvestigasi. Jika kesalahan di pihak perencana,
maka Perencanalah yang harus bertanggung jawab. Tidak heran di luar negri,
Architect (Perencana) memiliki risiko lebih besar ketimbang kontraktor. Di sana,
risiko kesalahan design inipun diasuransikan dengan biaya yang tidak sedikit alias
cukup mahal.

Pada dasarnya kontraktor harus melakukan review design berdasarkan undang-


undang. Hal ini mungkin ditujukan agar design menjadi lebih sempurna terutama
setelah dikaji dari sisi pelaksanaan dan pengalaman kontraktor dalam pengerjaan
proyek sejenis.

Lalu apa manfaat dari review design oleh kontraktor? Walaupun bukan merupakan
tugas pokok dari kontraktor, namun langkah ini memiliki manfaat yang cukup
signifikan, yaitu:
1. Antisipasi risiko kontraktor karena kesalahan design yang umum
terjadi. Perlu diketahui bahwa risiko akibat kesalahan design umumnya berdampak
besar, apalagi jika bangunan tersebut telah dioperasikan. Sebagai contoh, pada suatu
proyek pembangunan gedung bedah sentral terjadi kesalahan penentuan kapasitas
unit AC karena dalam perhitungan cooling capacity nya tidak memperhitungkan
adanya exhaust fan atau sistem fresh air atau adanya hepa filter atau adanya alat
kesehatan dengan panas tinggi atau standart suhu kamar operasi yang berkisar 20 ±
2°C. Akibatnya ruang operasi menjadi tidak layak digunakan padahal antrian pasien
yang harus dibedah cukup banyak. Dampaknya tidak saja materiil tapi juga
immateriil.
2. Mengurangi risiko-risiko yang sering terjadi pada masing-masing pekerjaan
yang mengalami redesign sebagai langkah lanjutan dari review design. Pada proyek
konstruksi telah diketahui banyak risiko pada masing-masing item pekerjaannya.
Melakukan redesign akan mampu mengurangi dampak risiko-risiko tersebut.
Misalnya sistem pelat struktur beton yang semula dengan sistem konvensional diubah
menjadi sistem span deck atau precast half slab yang akan mengurangi risiko
kelangkaan material kayu yang saat ini semakin sulit untuk didapat.
3. Meningkatkan kepercayaan pihak-pihak terkait terhadap kemampuan
kontraktor. Kemampuan kontraktor dalam melakukan review design dan redesign
tentu akan memberikan dampak psikologis kepada pihak lain di proyek. Dimana
kompentensi ini sebelumnya adalah domain konsultan perencana dan konsultan
pengawas. Situasi komunikasi juga akan terpengaruh dengan adanya kemampuan
kontraktor tersebut.
4. Menghindari kerugian dan bahkan menambah keuntungan atas
terjadinya variation order karena redesign sebagai hasil proses review design yang
perlu disempurnakan. Namun, harus tetap mengutamakan aspek teknis dalam
melakukan redesign. Adanya redesign biasanya menghasilkan perubahan gambar,
sistem, spesifikasi, dan atau metode pelaksanaan. Perubahan-perubahan tersebut
akan membuat kontrak juga harus dirubah / addendum. Kondisi tersebut sering
berarti adanya harga satuan baru yang ditentukan dalam masa pelaksanaan yang
berarti pula harga satuan yang sudah mempertimbangkan segala aspek termasuk
risiko. Sehingga harga satuan baru tersebut berpeluang besar memberikan
keuntungan tambahan bagi kontraktor. Bahkan apabila item yang dilakukan redesign
adalah item pekerjaan yang berpeluang besar terjadi risiko yang menyebabkan
kerugian, maka setidaknya potensi rugi tersebut telah dapat dinetralisir dengan
adanya review design.
5. Kontraktor berhak atas fee 50%. Ini berdasarkan kontrak kontrak
Internasional FIDIC, adanya VE (Value engineering) atau redesign sebagai hasil dari
proses review design ini maka kontraktor berhak atas fee sebesar 50% atas
penghematan biaya. Hal ini cukup berasalan karena ada nilai lebih berupa keuntungan
Owner atas kontribusi kontraktor yang tentu secara profesional harus diberikan. Di
Indonesia hal ini belum dipertimbangkan baik dalam Keppres, Perpres, Kepmen,
maupun standart kontrak Bappenas.
6. Mempercepat pelaksanaan apabila hasil review design dilanjutkan ke tahap
redesign dapat memberikan design yang mempercepat pelaksanaan. Sebagai contoh,
suatu optimasi design struktur kolom dan shearwall pada gedung bertingkat tinggi.
Semakin tinggi lantai, tentu saja dimensi struktur vertikal semakin kecil di lantai yang
semakin tinggi karena beban yang didukungnya akan semakin kecil. Perencana sering
mengambil sisi praktis untuk menyamakan dimensi struktur tersebut. Hasil optimasi
adalah berupa pengecilan dimensi elemen struktur vertikal. Ini berarti lebih sedikit
material yang dikerjakan yang akhirnya berarti pemangkasan waktu pelaksanaan
proyek. Terlebih pada lokasi proyek yang sulit atau sering mengalami kelangkaan
semen, maka optimasi struktur ini akan bermanfaat dalam mengatasi keterlambatan
proyek.
7. Meningkatkan mutu pelaksanaan dan kehandalan bangunan apabila
redesign menghasilkan design yang mampu meningkatkan mutu produk dan
kehandalannya. Kadang ditemui design yang kurang sempurna dalam hal aspek mutu
dan kehandalan. Misalnya adanya kolom bulat karena tuntutan arsitektur
menghendaki kolom bulat. Namun, kolom tersebut dilapisi oleh bahan finishing
tertentu seperti ACP (Alluminium composite Panel), GRC (Glass Rainforced Cement),
atau Stainless stell. Mestinya kolom struktur tidak perlu dibuat bulat karena kapasitas
kolom bulat lebih kecil dibanding kolom persegi dengan jumlah material / biaya yang
sama.
Apa perlu DED untuk mengusulkan
anggaran di APBD ?
Ditulis pada Mei 17, 2008

Kemarin habis jum’atan beberapa teman berdebat di kantin kantor mengenai bagaimana
sebenarnya prosedur pengusulan proyek dalam APBD. Mas Zaenal si “raja ngeyel” berpendapat
bahwa usulan proyek itu harus ada DED (Detail Engineering Design)-nya dulu. Ada yang
bersikukuh bahwa pokoknya ada lokasi yang bisa di-drop-in proyek ya berarti bisa saja usulan itu
diterima. Lantas yang lain bertanya, siapa yang akan menerima atau menolak usulan proyek itu ?
trus siapa yang berhak mengusulkan dan seterusnya, pokoknya rame dan “njelehi” kalau nuruti
debat konco – konco tersebut (lha wong 2 jam ndak selesai juga he he he). Daripada saya ikut
berpolemik dan ikut senewen karena tampaknya masing – masing sama – sama ndak megang
dasar aturan, maka saya ndak ikut – ikut adu mulut disitu dan milih nulis saja disini, gitu lhoooh !
Menurut saya, sebenarnya masalah prosedur pengusulan proyek, DED dan lain – lain terkait
proses penyusunan dan pelaksanaan APBD mengikuti beberapa dasar regulasi (di Permendagri
13/2006 dan Keppres 80/2003) sebagai berikut :
Usulan proyek atau kegiatan (termasuk menetapkan keluaran/ output proyek/ kegiatan) di-
usulkan oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) melalui format RKA (Rencana Kerja dan
Anggaran) SKPD dengan tetap mengacu kepada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah) serta penjabaran pertahunnya di RKPD (Rencana Kerja Pemerintahan
Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara).
Dalam menetapkan rencana keluaran/ output proyek tiap tahunnya disamping melihat pada target
– target yang ada di RPJMD, RKPD dan KUA, maka SKPD juga harus mengacu ke SPM
(Standar Pelayanan Minimal) masing – masing sektor di daerah tersebut, ini kalau ada lho !
Hampir semua daerah belum punya SPM, termasuk Surabaya (soalnya Pemerintah Pusat yang
sektor-nya diwakili dengan keberadaan kementerian/ departemen belum juga menyelesaikan SPM
tersebut, mungkin sibuk dengan urusan-nya sendiri, sehingga Pemda tidak mempunyai acuan.
Lagian ketentuan-nya SPM di daerah harus mengacu ke SPM yang dikeluarkan Pusat, ini ndak
bela diri lho he he he).
Dalam menentukan kebutuhan biaya masing – masing kegiatan, SKPD juga harus melihat pada
SSH (Standar Satuan Harga) dan ASB (Analisa Standar Belanja) agar tidak terjadi kelebihan
alokasi anggaran karena barang/jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan terlalu mahal atau ndak bisa
dilaksanakan karena terlalu murah.
Lho kok ndak pakai DED ? lantas DED itu ada dimana posisi-nya ? Di Permendagri 13/2003
jelas disebutkan bahwa dasar pengusulan anggaran ya RPJMD, KUA, PPAS, SPM, SSH dan
ASB. Tidak ada satu kalimat atau kata yang menyebut-kan DED. Yang pasti ada di Permendagri
13/2006 (pasal 16) adalah penjelasan bahwa anggaran itu fungsinya diantaranya adalah
OTORISASI, maksudnya bahwa anggaran daerah itu menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Misalkan alokasi anggaran belanja tertentu
sudah ditetapkan untuk suatu SKPD, berarti angka alokasi dan penjelasan atas rencana
penggunaan anggaran tersebut adalah sebagai pedoman pelaksanaan belanja/ kegiatan dengan
tidak boleh melebihi plafon alokasinya.
Nah pada saat pelaksanaan kegiatan inilah jika SKPD menggunakan penyedia barang/jasa (entah
dengan cara PL atau Lelang), maka perlu DED yang didalamnya memuat informasi tentang
Gambar Teknis, spesifikasi teknis dan RAB (Rencana Anggaran Biaya). Menurut Keppres
80/2003, berkas – berkas ini menjadi bagian dari Dokumen Lelang. Nantinya bisa saja hasil DED
menunjukkan bahwa kebutuhan anggaran suatu kegiatan tersebut tidak sampai menghabiskan
plafon alokasi yang ada di APBD. Disamping itu saat pembuatan OE (Owner Estimate =
perhitungan ulang rincian rencana biaya dalam DED dengan mengacu kepada harga pasar saat
akan mulai pengadaan) oleh panitia pengadaan, biasanya nilainya lebih rendah daripada plafon.
Apalagi jika pengadaan menggunakan sistem eProcurement dengan sistem pascakualifikasi yang
kompetitif dan transparan, penghematan terhadap plafon anggaran bisa lebih dari 25%
Nah tuh ! berarti DED itu baru diperlukan pada saat persiapan pengadaan kan ? DED tidak harus
disediakan pada saat penyusunan APBD, tetapi jika ada ya malah baik karena begitu APBD
disahkan dan DPA sudah diterbitkan maka SKPD bisa langsung melelang paket pekerjaan-nya
(pekerjaan cepat selesai).
So ! mohon teman – teman yang kemarin berdebat di kantin jangan neruskan lagi debatnya,
banyak pekerjaan dan tugas melayani masyarakat yang menunggu kita. Jika masih juga ndak
sependapat (terutama mas Zaenal) jangan nyari saya di kantor, cukup debat di blog ini saja, tulis
saja ketidak-sependapat-an sampeyan di fasilitas ”komentar” he he he.
Salam.

You might also like