You are on page 1of 23

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

PENGELOLAAN JALAN NAFAS PADA SEORANG PEREMPUAN USIA 77


TAHUN DENGAN PENURUNAN KESADARAN CURIGA STROKE NON
HEMORAGIK.

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

Cornelius Anggi Novatriyanto

22010117220111

Pembimbing :

dr. Reidy Bayu Nugroho

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Cornelius Anggi Novatriyanto


NIM : 22010117220111
Fakultas : Kedokteran Umum
Judul : Pengelolaan Jalan Nafas pada Seorang Perempuan dengan usia 77
tahun dengan Penurunan Kesadaran curiga stroke non hemoragik
Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang

Semarang, September 2018

Pembimbing

dr. Reidy Bayu Nugroho


BAB I

PENDAHULUAN

Kemampuan menjaga jalan napas tetap bebas merupakan keterampilan yang harus
dimiliki dalam pengelolaan pasien kritis dan untuk melakukan tindakan anestesi yang
aman.

Pada penderita gawat darurat menjaga jalan napas tetap bebas merupakan prioritas
utama. Kegagalan oksigenasi merupakan pembunuh tercepat. Kematian dini karena jalan
napas disebabkan :

a. Gagal mengetahui kebutuhan jalan napas tetap bebas


b. Gagal membuka jalan napas
c. Kekeliruan memasang alat bantu napas atau posisi berubah
d. Aspirasi isi lambung

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas, obstruksi
jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan infark jantung,
radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.

Pada contoh laporan kasus ini, pasien perempuan usia 77 tahun dengan penurunan
kesadaran akibat stroke non hemoragik dengan tindakan pengelolaan jalan napas di
Instalasi Gawat Darurat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Jalan Napas Atas

a. Hidung dan Mulut

Udara dihangatkan dan dihumidifikasi setelah masuk lubang hidung selama


pernapasan normal. Hambatan aliran udara melalui hidung dua kali dibandingkan melalui
mulut dan dua pertiga dari total hambatan jalan napas. Persyaratan rongga mulut dan
hidung ; n. olfaktorius untuk indra penciuman, n. trigeminus mensyarafi mukosa nasal,
palatum 2/3 lidah anterior, dan n. glossopharyngeal mensyarafi 1/3 posterior lidah, dan
soft palatine.

b. Faring

Cavum nasi dan cavum oris dihubungkan dengan laring dan esophagus oleh
faring. Faring merupakan suatu musculo facial tube yang dapat dibagi menjadi
nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Nasofaring dan orofaring dipisahkankan oleh
palatum, orofaring, dan hipofaring oleh epiglottis. Faring diinervasi N.IX
(glossopharyngeal) dan N. X (vagus).

Hambatan jalan napas dapat ditingkatkan oleh pembesaran jaringan limfoid di


nasofaring. Lidah penyebab utama hambatan di orofaring. Obstruksi karena lidah
diakibatkan oleh relaksasi m. genioglossus selama anestesi atau pada pasien tidak sadar.

c. Laring

Laring pada orang dewasa terletak antara vertebra cervical 3 sampai 6. Laring
disusun oleh otot,ligament, dan kartilago. Pita suara dibentuk dari ligament tiroaritenoid
dan merupakan bagian tersempit pada jalan napas orang dewasa. Laring diinervasi oleh
N. superior laryngeal dan N. recurrent laryngeal yang merupakan percabangan dari N. X
(Vagus). Hambatan yang sering terjadi karena obstruksi benda asing, laringospasme, dan
oedem mukosa.

d. Trakea
Trakea dimulai dari vertebra cervical 6 sampai carina yang rata-rata setinggi
vertebra thorakal 5. Panjang trakea 10-15 cm dan diperkuat oleh 16-20 cincin kartilago.
Hambatan jalan napas yang sering terjadi karena obstruksi benda asing.1
2.2 Menilai Jalan Napas

Pada pasien kritis jalan napas harus bebas. Untuk menilai hambatan jalan napas
harus menggunakan indera yang kita miliki. Kita lihat (look), dengar (listen), dan rasakan
(feel).

Look : - Lihat gerak dada dan perut, ada tertinggal, paradoksal?

- Lihat tanda-tanda distress pernapasan


- Lihat warna kulit/mukosa : pucat, sianosis, kemerahan?
- Lihat tingkat kesadaran penderita dengan skala GCS atau AVPU

Listen : - Dengarkan gerak udara napas dengan telinga

Feel : - Rasakan gerak udara dengan pipi.


Hambatan jalan napas dapat disebabkan berbagai hal, diantaranya ;

Tanda-tanda obstruksi sebagian jalan napas

1. Stridor (napas berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur atau


melengking.
2. Retraksi otot dada ke dalam di daerah supraklavikular, suprasternal, sela iga dan
epigastrium selama inspirasi
3. Napas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/membesar)
4. Balon cadangan pada mesin anesthesia kembang-kempisnya lemah
5. Napas makin berat dan sulit (kerja otot-otot napas tambahan meningkat)
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan napas yang lebih
berat

Tanda-tanda obstruksi total jalan nafa atas, serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi
gejalanya lebih hebat dan stridor justru menghilang :

1. Retraksi lebih jelas


2. Gerak paradoksal lebih jelas
3. Kerja otot napas tambahan meningkat dan makin jelas
4. Balon cadangan tidak kembang-kempis lagi
5. Sianosis lebih cepat timbul.2

Obstruksi jalan napas total harus segera dikoreksi. Henti napas lebih dari 5 menit
dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen dan henti jantung. Obstruksi napas
parsial harus segera dikoreksi. Hipoksia dapat menyebabkan oedema paru, oedema otak,
henti jantung, henti paru sekunder, dan kerusakan otak. Penderita dengan tanda-tanda
obstruksi jalan napas harus segera ditolong. Hal itu dilakukan dengan cara membersihkan
jalan napas dan membebaskan jalan napas.

2.3 Membersihkan Jalan Napas

Langkah pertama menguasai jalan napas adalah membersihkan jalan napas.


Pembersihan ini dapat secara manual maupun dengan alat suction.

a. Gerak jari menyilang / Cross Finger


b. Gerak jari di belakang gigi / Finger Swab
c. Gerak angkat mandibular lidah
Gerak jari di belakang gigi dan gerak angkat mandibular lidah hanya boleh
dilakukan pada pasien koma untuk menghindari jari penolong tergigit pasien. Obstruksi
jalan napas karena cairan (ditandai suara gargling) diatasi dengan penghisapan/suction.
Obstruksi total harus segera dibersihkan dan dibebaskan dengan cara Heimlich maneuver.

2.4 Membebaskan Jalan Napas

Menjaga jalan napas tetap bebas dapat dilakukan tanpa alat, dengan alat atau
dengan tindakan operasi. Obstruksi karena lidah jatuh ke belakang dapat diatasi tanpa alat
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Neck lift dan head tilt tidak boleh dilakukan
pada pasien trauma untuk menghindari bertambahnya trauma pada cedera cervical. Cara
yang paling aman adalah jaw thrust.

Apabila chin lift atau jaw thrust belum membebaskan jalan napas maka dapat
dibantu dengan alat. Tindakan yang dapat dilakukan adalah memasang oropharyngeal
airway, nasopharyngeal tube, Laryngeal Mask Airway (LMA), pemasangan endotracheal
tube (ET).

Oropharyngeal tube jangan dipasang apabila reflex muntah masih ada.


Oropharyngeal airway dipasang pada pasien dengan kesadaran GCS <10 atau tingkat
kesadaran P, U pada sistem AVPU. Perkiraan ukurannya adalah dari bawah telinga
sampai sudut mulut pasien.

Nasopharyngeal tube tidak merangsang muntah, pemasangan nasopharyngeal tube


harus dilakukan hati-hati pada pasien dengan fraktur basis cranium. Ukuran
nasopharyngeal tube untuk pasien dewasa diperkirakan sekitar 7 mm atau jari kelingking
kanan pasien.
Endotracheal tube (ET) dilakukan bila :

- Cara-cara lain untuk airway


- Sukar memberikan napas buatan
- Risiko aspirasi ke paru besar
- Mencegah pCO2  (cedera kepala)
- GCS <8
- Penurunan Kesadaran

Pemasangan ET memiliki risiko yang mungkin ditemukan adalah hipoksia karena


sapsme pita suara, naiknya tekanan darah, aritmia bradikardi sampai asistol, kenaikan
tekanan intracranial, dan gerakan leher dapat memperberat cedera cervical. Idealnya
intubasi harus dibantu obat anestesi dan obat pelumpuh otot.

Masalah yang sering ditemukan saat pemasanggan ET ada;lah intubasi


endobronchial, intubasi esophageal, dan kesulitan intubasi. Intubasi endo bronchial
menyebabkan ventilasi satu paru, shunting, dan kolaps paru insiden tersering paru kanan.

Intubasi esophageal terjadi bila ET masuk ke esophagus. Untuk menghindari itu


maka setelah intubasi dilihat naik turunnya dada dan dilakukan auskultasi di dada dan di
lambung.

Krikotiroidotomi dipertimbangkan apabila intubasi gagal padahal jalan napas


masih tersumbat dan pada pasien yang tidak dapat diberikan napas buatan dari atas
(mulut/hidung). Krikotiroidotomi merupakan jalur darurat untuk oksigenasi. Tindakan ini
hanya dapat dipertahankan dalam 10 menit karena tidak dapat membuang CO2.
Algoritma manajemen jalan nafas menurut ASA 2013 :

Airway management menurut DAS 2015 :


2.5 Pemasangan Endotracheal tube

Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotracheal tube pada pasien, diantaranya
adalah :

a. Untuk patensi jalan napas.intubasi endotracheal diindikasikan untuk menjamin


ventilasi, oksigenasi yang adekuat, dan menjamin keutuhan jalan napas.
b. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET harus dilaksanakan
pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi usus.
c. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi,
penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
d. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang. Pemeliharaan patensi jalan
napas atau penyampaian ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat
diandalkan
e. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan napas atas
f. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran secret pulmo
g. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan depresi
reflek muntah (anestesi umum)
h. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita suara,
tumor supraglotis dan subglotis
i. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif

Ada beberapa kontraindikasi relative pada intubasi trakea :

a. Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang tidak memberikan pemasangan ET
yang aman.
b. Trauma cervical, diperlukan immobilisasi yang komplit

Alat yang harus dipersiapkan adalah :

1. Magill Forsep
Dipakai jika ada kesulitan saat memasukkan ET dan digunakan untuk menjepit
ujung ET dan kemudian memasukkannya ke dalam trakea
2. Lubricans/jelly dan spray trakea
3. Suction cathether
4. Spuit
5. Plester
6. Stilet
7. Self-refilling bag-valve combination (misalnya ambu-bag) atau bag-valve unit
(ayres bag), konektor, tube, sumber oksigen.
8. Laringoskop dengan blade lengkung (tipe macintosh) atau lurus (tipe miller)
9. ET dengan berbagai ukuran
10. Nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway
11. Sarung tangan

Ketika akan melakukan intubasi dengan pasien, pastikan dilakukan dengan aman yaitu
STATICS.3

S = Scope; laryngoscope, stetoscope

T = Tube; endotracheal tube

A = Airway; oropharyngeal airway, nasopharyngeal airway

T = Tape; plester

I = Introducer; stillet, mandarin

C= Connector;

S = Suction; penghisap lendir.

Kesulitan intubasi dapat diperkirakan dengan menggunakan standar dari Cormack dan
Lehan, yaitu :

a. Derajat/kelas I : Semua glottis terlihat, tidak ada kesulitan.

b. Derajat/kelas II : Hanya glottis bagian posterior yang terlihat, hal ini yang
menyebabkan kesulitan ringan. Penekanan pada leher dapat memperbaiki
penglihatan terhadap laring.

c. Derajat/kelas III : Tidak ada bagian glottis yang terlihat, tetapi glottis terlihat.
Dapat menyebabkan kesulitan yang agak berat.

d. Derajat/kelas IV : Epiglotis tidak terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan besar


atau dapat menggunakan perkiran Mallampati, yaitu
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Langkah intubasi ET :

1. Mempersiapkan perlengkapan sendiri, jangan bergantung pada orang lain

2. Mask ventilasi : diberikan oksigen dengan sungkup sebesar 10-15 L/menit. Pilih
ukuran masker yang sesuai, yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak
terlalu lebar menutupi pipi.

3. Pilih ukuran ET yang sesuai, dan dua ET cadangan dengan satu buah ET ukuran
lebih kecil dan satu buah ET yang lain berukuran lebih besar.

4. Periksa cuff ET dengan cara menginfasi/mengembangkan cuff kemudian


dicelupkan ke dalam air, dilihat cuff ET bocor atau tidak. Antara tube dengan
konektor harus terikat secara baik.

5. Beri pelican atau jeli lidokain pada daerah cuff sampai ujung distal ET dan stilet,
paling tidak ujung stilet berada 1 cm mendekati ujung tube.

6. Pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu laringoskop. Jika
nyala lampu laringoskop tidak terang, segera diganti dengan yang baru bersinar
terang. Periksa kedudukan laringoskop dan blade. Pastikan semua alat sudah
terpasang dan mudah dijangkau tangan.

7. Pasien terlentang dengan posisi sniffing untuk meluruskan aksis, aksis tersebut
perlu pengaturan posisi kepala, dimana oksiput ditinggikan ±10 cm dengan bantal,
dan kepala diekstensikan sehingga trakea dan daun laringoskop berada dalam satu
garis lurus dengan bahu tetap di meja, ekstensi kepala pada sendi atlanto-
occipital. Pasien dengan leher pendek, gigi penuh, mandibula yang tertarik ke
belakang, maksila yang menonjol dan mandibula yang sukar digerakkan, bisa
menghalangi/mengganggu kelurusan dari aksis oral, faring, dan laring sehingga
dapat menyebabkan kesulitan dalam melihat glottis dengan laringoskop

8. Letakan masker menutupi mulut dan hidung pasien dengan tangan kanan. Dengan
tangan kiri, letakkan jari kelingking dan jari manis pada mandibula pasien, dan
diangkat untuk membuka jalan napas bersamaan dengan menekan masker ke
wajah pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk.

9. Pompa kantung dengan tangan kanan

10. Oksigenasi pasien selama 3-5 menit, kemudian pasien ditidurkan atau dianestesi

11. Dada harus mengembangkan setiap pernapasan dan aliran udara sebaiknya tidak
terganggu. Bila tidak, perbaiki letak masker dan coba sekali lagi

12. Hentikan ventilasi waktu intubasi. Sebagai patokan, selama mengintubasi pasien
tahanlah napas dan hentikan upaya intubasi bila merasa tidak kuat menahan
napas. Hal ini untuk mencegah pasien kekurangan oksigen karena intubasi yang
terlalu lama.

13. Membuka mulut pasien dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanan
menyentuh premolar mandibula dan maksila kanan secara menyilang, lepaskan
gigi palsu jika ada.

14. Pegang laringoskop yang sudah menyala dengan tangan kiri dan masukkan blade
dari sudut kanan mulut pasien. Dorong dan geser lidah ke kiri sehingga lapang
pandangan tidak terhalang oleh lidah. Lindungi bibir dari cedera antara gigi dan
blade.

15. Perhatikan laring dengan cara geser dan angkat blade ke arah garis tengah sampai
terlihat uvula, faring, dan epiglottis. Bila memakai blade yang lengkung/curve
(Macintosh), ujung blade diletakkan pada valekula, sebelah anterior epiglottis,
didorong ke depan sampai terlihat rima glottis. Pemasukan yang terlalu dalam
akan mendorong epiglottis ke bawah. Bila memakai blade yang lurus (magill),
ujung blade ditempatkan di bagian posterior epiglottis, di dorong ke depan sampai
terlihat rima glottis. Pemasukan yang terlalu dalam ke esophagus akan
mengangkat seluruh laring keluar lapang pandang.

16. Penekanan kartilago krikoid sampai menyumbat esophagus kira-kira sebesar 30-
40 N atau 8-9 pound berat badan. Menekan krikoid tidak dianjurkan pada pasien
sadar karena tidak nyaman, merangsang muntah, obstruksi jalan napas.

17. Masukkan ET yang sesuai ukuran dengan tangan kanan melalui sudut kanan
mulut pasien ke dalam trakea. Sambil melihat melalui blade laringoskop,
memasukkan ET sampai cuff tidak terlihat dari belakang pita suara.

18. Laringoskop ditarik sambil memasukkan pipa orofaring

19. Cuff dikembang/diinflasi dengan udara lewat spuit sekitar 5-10 cc sesuai dengan
kebutuhan.

20. Sambil memegang ET pada sudut bibir


pasien, cabut stilet jika dipakai segera berikan
ventilasi dan oksigenasi dengan unit kantong-
katup-oksigenasi yang terisi sendiri.

21. Auskultasi pada epigastrium untuk


menyingkirkan kemungkinan intubasi
esophagus. Jika pada waktu diberikan infasi
terdapt suara gurgle pada daerah epigastrium
dan dinding tidak mengembang berarti ET
masuk ke dalam esophagus, jika tidak terdengar suara gugle berarti masuk ke
dalam trakea.

22. Auskultasi daerah apek dan basal paru kanan dan kiri untuk menyingkirkan
kemungkinan intubasi bronkus dengan cara membandingkan suara paru kanan
dan kiri.

Fiksasi ET dengan plester melingkar ditempatkan di bawah dan diatas bibir yang
diperpanjang sampai ke pipi matikan isolasi di sekitar tube.1
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. AH
Umur : 77 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Rasamala Barat IV RT 002/ RW 004 ,Banyumanik
No. CM : B125091
Tgl masuk : 4 September 2018

II. DATA DASAR (EVALUASI ANESTESI PREOPERATIF)


1. Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien tanggal 4 September 2018 jam 08.30 di
IGD RSUP Dr Kariadi

A. Keluhan utama:
Penurunan Kesadaran

B. Riwayat Penyakit Sekarang:


± 12 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mendadak mengalami penurunan
kesadaran. Pasien tidak mampu berkomunikasi (-), tidak didapatkan kejang (-) ,
demam (-), BAK dan BAB dalam batas normal. Keadaan pasien terus-menerus
semakin lemah, oleh keluarga pasien di bawa ke RSDK menggunakan ambulan
hebat. Selama di dalam ambulan pasien sempat mendapatkan penanganan berupa
pemasangan O2 10lpm, Infus RL loading 200 ml, pemasangan DC , pengecekan
GDS 102, dengan GCS E1M4V2 (GCS = 7).
C. Riwayat Dahulu
 ± 6 Bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami serangan
stroke dengan kelemahan anggota gerak kiri, bicara pelo , dan perot.
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
 Riwayat alergi obat disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Penyakit serupa disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang janda , pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Pembiayaan menggunakan BPJS.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Pasien tidak sadarkan diri, (GCS : 7 E1M4V2)
B. Kegawatan :
Airway : Curiga Lidah jatuh kebelakang, pemasangan OPA
Breathing : 28x/menit (tachypneu) , pergerakan dada simetris.
Circulation : HR 132x/menit (takikardi) reguler , isi dan tegangan
cukup , TD : 80/60 mmHg.
Disability : GCS E1M4V2 : 7
Pupil isokor 2,5 mm/2,5 mm
Refleks Cahaya +/+
Exposure : Jejas (-)
C. Pengkajian berkaitan dengan kegawatan
Jalan Nafas : SpO2 94%
Pernapasan : Takipneu
Sirkulasi : Gangguan Hemodinamik
Nyeri : Tidak Nyeri
D. Status Generalis
Sistem Kardiorepsirasi : SpO2 94% , Sinus Takikardi
Status Lokalis :
Refleks patologis (-/-)
Refleks Fisiologis (+/+)
Pupil  2,5mm/2,5mm
III. DIAGNOSIS
Penurunan Kesadaran dd Stroke Non Hemoragik
IV. TINDAKAN AWAL ANESTESI
1.1 Tindakan Life-Saving
 Nama Tindakan : Intubasi ET
 Diagnosis Banding : Penurunan Kesadaran dd Stroke Non Hemoragik
 Dasar Diagnosis : Klinis dan Penunjang
 Indikasi Tindakan : Impending gagal nafas
 Tata Cara : Sesuai Prosedur
 Tujuan : Bantuan Hidup lanjut
 Risiko : Patah gigi, False Route, Reflek Vagal, Kematian
 Komplikasi : Cardiac Arrest
 Prognosis : Dubia
 Alternatif & Risiko : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada
1.2 Tindakan Lanjutan (Initial Plan)
Assesment : Etiologi Penurunan Kesadaran
Rencana Pemecahan Masalah
IPDx : Pemeriksaan Laboratorium darah (Darah Lengkap, Ur/Cr , GDS ,
Asam Laktat , BGA) , Pemeriksaan X Foto Thoraks AP dan MSCT Kepala
tanpa Kontras.
IPRx :
- Intubasi ET dengan Oksigen 8L per menit + Jackson Reece
- Pasang Orofaringeal Tube , DC
- Infus 2 jalur RL 20 tpm
IPMx : Pengawasan kesadaran dan tanda vital (Tekanan darah, HR , RR ,
SpO2) dengan Monitor
IPEx :
- Edukasi kepada keluarga pasien tentan galat bantu nafas yang akan
diberikan sebagai pertolongan awal mengenai tujuan dan
komplikasinya
- Edukasi kepada keluarga mengenai kondisi pasien , pemeriksaan
yang akan dilakukan, pemeriksaan tambahan yang akan dilakukan,
dan kemungkinan prognosisnya.

V. CATATAN KEMAJUAN
Tanggal 4 September 2018 Pukul 14.00
Hasil Laboratorium (4 September 2018)
Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan Keterangan
(12/8/2018)
Hematologi Paket
Hemoglobin 14.2 g/dL 13-16
Hematokrit 43.0 % 40-54
Eritrosit 4.53 106/uL 4,4-5,9
MCH 31.3 Pg 27-32
MCV 94.9 fL 76-96
MCHC 33.0 g/dL 29-36
Leukosit 32.45 103/uL 5-14,5 H
Trombosit 161 103/uL 150-400
RDW 13.3 % 11,6-14,8
MPV 11.5 fL 4-11
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 97 mg/dL 80-160
Ureum 80 mg/dL 15-39 H
Kreatinin 1.7 mg/dL 0,6-1,3 H
Albumin 2.4 g/dL 3.4 – 5.0 L
SGOT 14 U/L 15 – 34 L
SGPT 80 U/L 15 - 60 H
Elektrolit
Natrium 134 mmol/L 136-145 L
Kalium 4.7 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 98 mmol/L 98-107
BGA Kimia
Temp 37.0 C
FiO2 60.0 %
pH 7,478 7,37-7,45
pCO2 25.8 mmHg 35-45 L
pO2 241.1 mmHg 83,0-108,0 H
pH (T) 7,478 7,35-7,45 H
pCO2(T) 25.8 mmHg
pO2(T) 241.1 mmHg
Koagulasi
PPT 16.7 detik 9,4-11,3
PPT Kontrol 13.8 Detik
PTTK 28.3 detik 27,7-40,2
APTT Kontrol 31.4 Detik

1. Pemeriksaan Penunjang
o X Foto Toraks AP Supine (4 September 2018)
Kesan : Cor tidak membesar
Gambaran Bronkopneumonia
Elongatio aorta diserta kalsifikasi arcus aorta
o MSCT Kepala tanpa Kontras (4 September 2018)
 Klinis: Penurunan Kesadaran , riwayat Stroke
Kesan : - Infark lakuner pada thalamus kanan,crus posterior capsula
interna kanan, nucleus lentiformis kanan, pons paramedian kanan
kiri
- Tak tampak perdarahan maupun tanda-tanda peningkatan
intracranial
- Gambaran aging atrofi cerebri
- Hiperostosis os frontal kanan kiri
- Sphenoiditis kiri

VI. DIAGNOSIS
- Penurunan Kesadaran ec curiga Stroke Non Hemoragik
- Leukositosis
- Alkalosis

VII. TINDAKAN ANESTESI


- Intubasi ET + bagging oksigen 8L per menit
- Pasang orofaringeal tube
- Infus 2 jalur RL 500cc 20 tpm
- Pengawasan dengan monitor
- Pemasangan DC urin bag
- Pemeriksaan laboratorium darah
- Pemeriksaan Foto Thoraks AP
- Pemeriksaan MSCT Non Kontras
- Konsul TS saraf
- Terapi TS Saraf
- Rehidrasi
- Vascon 0.05 mg/KgBB/Menit sampai denyut MAP >75 mmHg
- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam
- Vit B3B6B12 1 tab/8 jam
- Konsul ICU
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 77 tahun dengan penurunan
kesadaran ± 12 jam SMRS. Saat pasien datang dilakukan penilaian triage dan
pasien kemudian dimasukkan ke label merah oleh karena GCS 7 serta mengalami
distress nafas dan gangguan hemodinamik. Dilakukan penilaian ABC dan
didapatkan pasien mengalami distress nafas ditambah dengan kesadaran menurun
(GCS 7) sehingga dilakukan pemasangan endotracheal tube dan orofaringeal tube
untuk mencegah lidah jatuh dengan bantuan oksigen 8 lpm. Pasien mengalami
gangguan hemodinamik berupa takikardi. Sehingga pasien diberikan cairan
maintenance dengan RL yang menyerupai cairan isotonis tubuh dengan laju 20
tpm. Dicurigai penyebab dari penurunan kesadaran karena adanya stroke non
haemorrhage.

Untuk mencari etiologi, pasien dilakukan pemeriksaan darah lengkap,


kimia klinik dan BGA serta X Foto thoraks dan MSCT kepala tanpa kontras.
Didapatkan adanya peningkatan leukosit (32.450 u/L), Glukosa sewaktu 97
mg/dL, dan gambaran BGA (PCO2 : 25,8 . PO2 : 241.1). Dari hasil X Foto
thoraks didapatkan gambaran elongatio aorta dan bronkopneumonia. Dari hasil
MSCT kepala tanpa kontras didapatkan adanya Infark lakuner pada thalamus
kanan,crus posterior capsula interna kanan, nucleus lentiformis kanan, pons
paramedian kanan kiri.

Pasien kemudian di konsulkan ke TS Saraf untuk penanganan stroke non


hemoragik.. Pasien diusulkan untuk dirawat lanjut di ruangan intensif (ICU).

.
BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien merupakan pasien dengan penurunan kesadaran karena
stroke non haemorhagik. Pasien datang dengan penurunan kesadaran, impending
gagal nafas dan gangguan hemodinamik. Pada pasien dilakukan pemasangan
endotrakeal tube ,orofaringeal tube, bantuan ventilasi tekanan positif untuk
mengatasi gangguan nafas dan infus Ringer Lactat 500cc dengan 20 tpm untuk
maintenance cairan. Pasien diusulkan untuk dirawat lanjut di ruang rawat intensif.
Namun kondisi pasien memburuk dan mengalami cardiac arrest.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Prof,Dr, et al. Anestesiologi Edisi 2. Bagian anestesiologi dan terapi

intensif Fakultas Kedokteran UNDIP. 2013

2. Kreit JW, Rogers RM. Approach to the patient with respiratory failure. In
Shoemaker, Ayres, Grenvik, Holbrook (Ed) Textbook of Critical Care. WB
Sauders, Philadelphia. 1995, p 680-7

3. Muhiman M, dkk. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif FKUI. 2004.

You might also like